44
BAB II KEDUDUKAN HAK TANGGUNGAN TERHADAP PENINGKATAN HAK GUNA BANGUNAN ATAS TANAH UNTUK RUMAH TINGGAL A. Pengertian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Menurut UUPA 1. Pengertian Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan merupakan salah satu hak-hak atas tanah yang bersifat primer, selain Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai atas tanah. Perkembangan Hak Guna Bangunan merupakan hak primer yang mempunyai peranan penting kedua, setelah Hak Guna Usaha. Hal ini disebabkan Hak Guna Bangunan merupakan pendukung sarana pembangunan perumahan yang sementara ini semakin berkembang dengan pesat. Pengertian Hak Guna Bangunan ditemukan dalam Pasal 35 dan 39 UUPA. Dari ketentuan kedua pasal UUPA tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu yang paling lama 30 tahun. Atas permintaan pemegang hak dan dengan mengingat keperluan serta keadaan bangunan-bangunannya, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang dengan waktu paling lama 20 tahun. 95 Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain serta dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. 95
Jangka waktu pemberian Hak Guna Bangunan selama 30 tahun dan dengan perpanjangan 20 tahun ini selain diatur dalam Pasal 35 UUPA juga disebutkan dalam Pasal 25 PP Nomor 40 Tahun 1996.
32
Universitas Sumatera Utara
45
Boedi Harsono mendefenisikan bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah negara atau milik orang lain, selama jangka waktu yang terbatas.96 Hak tersebut dapat dialihkan kepada pihak lain dan dapat juga dijadikan jaminan kredit dengan dibebani Hak Tanggungan.97 Menurutnya, tanah Hak Guna Bangunan ini tidak dibenarkan untuk digunakan bagi usaha pertanian, karena hak tersebut diadakan khusus bagi penyediaan tempat untuk bangunan. 98 Bangunan tersebut wajib dibangun sendiri untuk kemudian dimiliki oleh pemegang HGB bersangkutan. Menurut UUPA tidak dimungkinkan orang lain menguasai / menggunakan tanah HGB pihak lain untuk sendirian dan memiliki bangunan diatasnya, biarpun dengan persetujuan pemegang HGB. Pihak lain hanya dimungkinkan mengenai tanah Hak Milik pada pihak lain, bukan tanah HGB (Pasal 44 UUPA).99 Ali Achmad Chomzah berpendapat, yang dimaksud dengan Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dalam jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan waktu 20 tahun lagi, dapat beralih dan diperalihkan kepada pihak lain, dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.100
96
Boedi Harsono, (Selanjutnya disebut Boedi Harsono I), Hukum Agraria Indonesia / Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, 1997, hlm. 242. 97 Ibid, hlm. 262 98 Ibid, hlm. 260 99 Boedi Harsono, (Selanjutnya disebut Boedi Harsono II), Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, 2003, hlm. 288 100 Ali Achmad Chomzah, Op.Cit, hlm. 31
Universitas Sumatera Utara
46
Jadi, dalam hal ini pemilik bangunan berbeda dari pemilik hak atas tanah dimana bangunan tersebut berdiri. Dengan kata lain pemegang HGB bukanlah pemegang hak atas tanah dimana bangunan tersebut didirikan.101 Maria S.W. Sumardjono mendefenisikan bahwa Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri dalam jangka waktu paling lama tiga puluh tahun dan atas permintaan pemegang hak dapat diperpanjang dengan dua puluh tahun. HGB dapat diperoleh dari tanah negara ataupun tanah (hak) milik orang lain.102 Berbeda dengan pendapat para ahli hukum sebelumnya, Maria S.W. Sumardjono berpendirian bahwa pemegang HGB adalah sekaligus pemegang hak atas tanah dan bangunannya. Dengan perkataan lain hak atas tanah dan bangunan berada disatu tangan atau tidak terpisah. Apabila HGB itu (dalam pengertian pemegang HGB bukanlah pemegang hak atas tanah dimana bangunan tersebut didirikan) akan dibebani dengan hak lain, maka satu-satunya kemungkinan yang terbuka adalah pembebanannya dengan hak sewa atas bangunan, yang berarti yang menjadi objek sewa menyewa adalah bangunan dan bukan (hak atas) tanahnya. Konstruksi yuridis HGB tidak memungkinkan bahwa seseorang mempunyai bangunannya saja tanpa menjadi pemegang hak atas tanahnya.103
101
Kartini Mulyadi dan Gunawan Widjaja, Seri Hukum Harta Kekayaan : Hak-Hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, 2004, hlm.190 102 Maria S.W. Sumardjono, Op.Cit, hlm. 145 103 Ibid
Universitas Sumatera Utara
47
Menurutnya apabila konsep tersebut diterapkan dalam pemilikan satuan rumah susun / apartemen, maka jelas pemegang HGB semula adalah developer / perusahaan pembangunan rumah susun. Bila kemudian seseorang membeli satuan rumah susun / apartemen untuk dirinya, maka disamping pemilikan satuan rumah susun tersebut (HMSRS) yang bersifat individual dan terpisah, juga meliputi pemilikan bersama atas bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan Hak Milik Satuan Rumah Susun tersebut. Konsekwensinya adalah bahwa pemilik satuan rumah susun harus memenuhi syarat sebagai pemegang hak atas tanah (Pasal 8 HMSRS). Bagi warga negara asing
yang tidak merupakan subyek HGB, pemilikan apartemen
diperbolehkan apabila rumah susun tersebut dibangun di atas tanah hak pakai.104 Alasan pemilikan apartemen / bangunan tersebut terpisah dari status penguasaan hak atas tanahnya, karena berlakunya asas pemisahan horizontal 105 dalam Hukum Tanah Nasional, menurut Maria S.W. Sumardjono menunjukkan kesalahan dalam penerapannya (miskonsepsi dan misaplikasi). Asas itu menurutnya mengandung pengertian, bahwa pada prinsipnya pemilikan bangunan terpisah dengan penguasaan tanahnya, kecuali jika menurut kenyataan pemilikan bangunan dan
104
Ibid, hlm. 146 Asas pemisahan horizontal adalah suatu asas yang mebagi, mambatasi dan memisahkan pemilikan sebidang tanah dengan apapun yang ada di bawah / di dalamnya, menurut garis mendatar secara horizontal dipermukaan tanah tersebut. Akibatnya menurut asas pemisahan ini, pemilik sebidang tanah belum tentu atau tidak otomatis menjadi pemilik segala sesuatu yang ada diatas atau dibawah / di dalam permukaan tanah tersebut, Sebagaimana dikutip dari A. Ridwan Halim, Hukum Pemukiman Perumahan dan Rumah Susun (Suatu Himpunan Tanya Jawab Praktis), Doa dan Karma, Jakarta, 2001, hlm. 96-97. 105
Universitas Sumatera Utara
48
penguasaan hak atas tanahnya berada pada satu tangan. Terhadap pengertian HGB sudah jelas bahwa asas pemisahan horizontal tidak berlaku.106 Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 14 Tahun 1960 juncto Peraturan Ditektur Jenderal Agraria Nomor 4 Tahun 1968 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor SK 59/DDA/1970 ditegaskan bahwa dalam hal peralihan HGB diperlukan izin yang pada intinya mewajibkan pemohon untuk memberikan keterangan tentang jumlah tanah atau rumah yang sudah dipunyai beserya isteri dan anak-anak yang masih menjadi tanggungannya untuk menentukan apakah permohonan tersebut dikabulkan atau tidak. Peraturan-peraturan tersebut pada prinsipnya dimaksudkan mengadakan pengawasan terhadap pemindahan hak atas tanah agar tidak terjadi pelanggaran terhadap ketentuan UUPA, misalnya berkaitan dengan persyaratan subyek hak atas tanah.107 Berkaitan dengan penerapan asas pemisahan horizontal tersebut, Bachtiar Effendie menggarisbawahi bahwa : ....Tidak ada satu pasal pun dalam Undang-Undang Pokok Agraria yang secara tegas telah menjabarkan asas pemisahan horizontal tersebut ke dalam pasal-pasal dari Undang-Undang Pokok Agraria. ...Penerapan asas pemisahan horizontal tersebut tidak selalu mutlak diterapkan kendatipun Undang-Undang Pokok Agraria telah mencabut Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya (termasuk mencabut Pasal 500 juncto 571 ayat 1 juncto 601 Kitab UndangUndang Hukum Perdata). ...Penerapan asas pemisahan horizontal haruslah secara kasuistis / perkasus sehingga dengan demikian penyelesaian kasus tersebut akan dapat memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.108
106
Maria S.W. Sumardjono, Op.Cit, hlm.145 Ibid, hlm. 146-147 108 Bachtiar Effendie, Op.Cit, hlm. 90 107
Universitas Sumatera Utara
49
Pendapat diatas didukung oleh Boedi Harsono. Menurutnya asas pemisahan horizontal di kota-kota tidak dapat dipertahankan secara mutlak, sebab di kota-kota bangunan-bangunan pada umumnya permanen dan sulit bagi orang untuk mengetahui siapa pemilik bangunan, sehingga untuk kelancaran lalu lintas hukum, maka pemilik tanah dianggap pemilik bangunan di atasnya selama tidak dibuktikan orang lain pemiliknya. Menurut beliau di desa masih berlaku asas pemisahan horizontal antara tanah dan bangunan (tanaman diatasnya) pemilik tanah dapat terpisah dari pemilik bangunan / tanaman di atasnya.109 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam hal penguasaan Hak Guna Bangunan di desa-desa masih berlaku asas pemisahan horizontal antara tanah dengan benda-benda / bangunan-bangunan/ tanaman yang berada diatasnya sedangkan untuk daerah perkotaan asas pemisahan horizontal tidaklah dapat dipertahankan lagi secara mutlak. 2. Terjadinya Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara Menurut A.P. Parlindungan, secara umum yang merupakan alas Hak Guna Bangunan ini adalah :110 a) Ketentuan konversi dari ex BW dan ex Hak Adat. b) Berdasarkan limpahan wewenang sebagaimana diatur oleh ketentuan PMDN No.6 Tahun 1972, yaitu sampai dengan 2.000 (dua ribu) m² wewenang dari
109
Ibid, hlm.91 A.P. Parlindungan, Tanya Jawab Hukum Agraria & Pertanahan, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm. 33. 110
Universitas Sumatera Utara
50
Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan diatas 2.000 (dua ribu) m² merupakan wewenang Kepala Badan Pertanahan Nasional. c) Ketentuan perjanjian antara pemegang Hak Milik, dengan seseorang untuk menimbulkan Hak Guna Bangunan atas Hak Milik (pasal 37 UUPA). d) Karena pemegang Hak Pengelolaan dengan seseorang untuk menimbulkan Hak Guna Bangunan dan dilakukan dengan suatu perjanjian dan diproses menurut PMDN No.6 Tahun 1972. e) Karena ketentuan Peraturan Menteri Agraria Nomor 2 Tahun 1993. Sedangkan menurut Sudargo Gautama, ketentuan mengenai konversi hak-hak atas tanah dari hak Barat ke dalam hak-hak berdasarkan UUPA selain dalam UUPA juga diatur dalam Peraturan Agraria Nomor 2 Tahun 1960, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1963, Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 7 Tahun 1965 dan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 4 Tahun 1961. Ketentuan mengenai konversi tersebut dapat dilihat dalam tabel pada halaman berikut :
Universitas Sumatera Utara
51
Tabel. Konversi Hak-hak Atas Tanah Dari Hak Barat ke dalam Hak-hak Atas Tanah Menurut UUPA.111
Pasal 1.1
Hak Barat Hak Eigendom
Dikonversi Hak Milik
1.2
Hak Eigendom
Hak Pakai
1.3
Hak Eigendom kepunyaan orang asing, dwi kewarganegaraan dan badan-badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah Hak Eigendom dibebani dengan hak opstal dan ertpacht Hak Eigendom tersebut dalam Ayat 3 pasal ini dibebani hak opstal dan ertpacht a) Hak ertpacht untuk perusahaan kebun besar b) Hak ertpacht untuk pertanian kecil Pemegang Conceasie dan sewa untuk perusahaan kebun besar
Hak Guna Bangunan
Hak opstal dan ertpacht untuk perumahan atas tanah negara
1.4
1.5
III.
IV.
V.
Subjek Hak a) WNI Tunggal b) Badan hukum yang ditunjuk oleh pemerintah, bankbank negara, koperasi pertanian, badan-badan hukum (sosial, agama) Perwakilan asing yang dipergunakan sebagai kediaman Kepala Perwakilan dan Gedung Kedutaan a) WNI Tunggal b) Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia
Jangka Waktu Selamanya
Hak Guna Bangunan
Pasal 36 UUPA
Untuk perumahan dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan Hak Guna Usaha
Atas nama bekas pemegang hak-hak opstal dan ertpacht
Selama sisa waktu hak opstal / ertpacht tersebut dengan catatan maksimal 20 tahun a) 20 tahun sejak UUPA b) Sisa waktu hak opstal / ertpacht yang sudah habis waktunya menjadi Hak Pakai
Selama tanah di pergunakan untuk keperluan tersebut 20 tahun
Selama tanah dipergunakan untuk keperluan tersebut 20 tahun
Pasal 30 UUPA
a) 20 tahun sejak UUPA b) Sisa waktu hak opstal / ertpacht yang sudah habis waktunya menjadi Hak Pakai
Hak Guna Usaha dalam waktu 1 tahun sejak UUPA
Pasal 20 UUPA
Hak Guna Bangunan
Pasal 36 UUPA
Lalai / tidak memenuhi syarat : a) Berlangsung selama sisa waktu tetapi batas maksimalnya adalah selama 5 tahun b) Sesudah itu hapus c) Berlangsung sisa waktu tapi batas maksimalnya adalah 20 tahun Lalai / tidak memenuhi syarat : a) Berlangsung selama sisa waktu tetapi batas maksimalnya adalah selama 5 tahun b) Sesudah itu hapus c) Berlangsung sisa waktu tapi batas maksimalnya adalah 20 tahun
Hapus
111
Sudargo Gautama, Tafsiran Undang-Undang Pokok Agraria, hlm.79-81. Sebagaimana dikutip dari Moh Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3S, Jakarta, 1998, hlm. 191
Universitas Sumatera Utara
52
Berdasarkan ketentuan konversi UUPA tersebut, maka sejak tanggal 24 September 1960 semua hak atas tanah yang lama (kecuali hak ulayat) secara serentak dan demi hukum menjadi salah satu hak sesuai dengan UUPA. Namun, hak-hak atas tanah yang telah dikonversi tersebut (termasuk Hak Guna Bangunan) sejak tanggal 24 September 1980 sudah tidak ada lagi, karena jangka waktu maksimumnya hanya 20 (duapuluh) tahun. Status tanahnya sekarang ini adalah tanah negara, kecuali jika bekas pemegang haknya mengajukan permohonan hak baru sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1979 juncto Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 3 Tahun 1979. Dengan demikian, sekarang ini satu-satunya cara untuk memperoleh Hak Guna Bangunan atas tanah yang langsung dikuasai olah negara (tanah negara dalam arti sempit) adalah melalui permohonan hak. Pasal 22 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menyebutkan bahwa : "Hak Guna Bangunan atas tanah negara diberikan dengan keputusan pemberian hak oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk." Pemberian Hak Guna Bangunan tersebut didaftar dalam buku tanah pada Kantor Pertanahan (Pasal 23 ayat (1)). Sebagai tanda bukti hak, maka kepada pemegang HGB diberikan sertipikat hak atas tanah (Pasal 23 ayat (3)). Dari rumusan dan pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa dalam hal pemberian Hak Guna Bangunan oleh negara (pengertian pertanahan yang dikelola oleh Badan Pertanahan Nasional itu dalam pengertian sempit), maka pendaftaran yang dilakukan adalah merupakan saat lahirnya Hak Guna Bangunan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
53
Berdasarkan asal tanahnya, terjadinya Hak Guna Bangunan dapat dijelaskan sebagai berikut :112 1. Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara 2. Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Pengelolaan 3. Hak Guna Bangunan atas Tanah Hak Milik Hak Guna Bangunan atas tanah negara dan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan terjadi dengan keputusan pemberian hak yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional berdasarkan Pasal 4, Pasal 9 dan Pasal 14 Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 dan prosedur terjadinya Hak Guna Bangunan ini diatur dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999. Hak Guna Bangunan ini terjadi sejak keputusan pemberian hak tersebut didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah. Sebagai tanda bukti haknya diterbitkan sertifikat. (Pasal 22 dan 23 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996). Sedangkan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik terjadi dengan pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT). Akta PPAT ini wajib didaftarkan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota setempat untuk dicatat dalam Buku Tanah (Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996).
112
Urip Santoso, Op.Cit, 2005, hlm.106-107
Universitas Sumatera Utara
54
3. Subjek Hukum yang Dapat Menjadi Pemegang Hak Guna Bangunan Pada prinsipnya menurut Pasal 36 UUPA dan Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 menyatakan yang dapat menjadi pemegang Hak Guna Bangunan adalah Warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Menurut pasal ini, orang atau badan hukum yang mempunyai Hak Guna Bangunan dan tidak lagi memenuhi syarat-syarat tersebut di atas dalam jangka waktu 1 (satu) tahun wajib melepaskan atau mengalihkan hak itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Jika Hak Guna Bangunan tersebut tidak dilepaskan atau dialihkan dalam jangka waktu tersebut, maka hak tersebut hapus demi hukum, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain akan diindahkan, menurut ketentuan yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah. 4. Kewajiban dan Hak Pemegang Hak Guna Bangunan Kewajiban pemegang Hak Guna Bangunan ditetapkan dalam Pasal 30 dan 31 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 dan hak pemegang Hak Guna Bangunan dalam Pasal 32 sampai dengan Pasal 34 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996.113 1. Pemegang Hak Guna Bangunan berkewajiban : a. Membayar uang pemasukan yang jumlah dan cara pembayarannya ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya;
113
Sunaryo Basuki, HGU, HGB, Hak Pakai Sebagaimana diatur Lebih Lanjut Dalam PP No.40 Tahun 1996, Mata Kuliah Hukum Pokok-Pokok Hukum Tanah Nasional, Magister Kenotariatan Dan Pertanahan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 13
Universitas Sumatera Utara
55
b. Menggunakan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan dan perjanjian pemberiannya; c. Memelihara dengan baik tanh dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidupnya; d. Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada negara, pemegang Hak Pengelolaan atau pemegang Hak Milik sesudah Hak Guna Bangunan itu hapus; e. Menyerahkan Sertipikat Hak Guna Bangunan yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan; f. Memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanahnya yang terkurung karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup perkarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air (Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996). 2. Pemegang Hak Guna Bangunan berhak : a. Menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya; b. Membebani Hak Guna Bangunan dengan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan piutang kreditor; c. Mengalihkan Hak Guna Bangunan kepada pihak lain karena : jual-beli, tukarmenukar, hibah, penyertaan dalam modal perseroan (inberg) dilaksanakan dengan akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah dan wajib didaftarkan di Kantor Pertanahan. d. Peralihan karena pewarisan harus dibuktikan dengan surat wasiat atau surat keterangan waris dari instansi yang berwenang; e. Peralihan karena lelang wajib dibuktikan dengan Berita Acara Lelang; f. Hak Guna Bangunan beralih karena hukum kepada ahli waris pemegang hak. 5. Pembebanan Hak Tanggungan Atas Hak Guna Bangunan Menurut Pasal 1 ayat (1) UUHT atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,
Universitas Sumatera Utara
56
untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan tertentu yang diutamakan kreditor tertentu, terhadap kreditor-kreditor lain. Ketentuan yang menegaskan bahwa Hak Guna Bangunan dapat dibebankan dengan Hak Tanggungan ini dapat ditemukan dalam Pasal 39 UUPA, Pasal 4, Pasal 18, Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 dan Pasal 4 UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Bendabenda yang Berkaitan dengan Tanah (UUHT), yang berbunyi sebagai berikut : a. Pasal 39 UUPA : Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebankan hak tanggungan. b. Pasal 4 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 : Hak atas tanah yang dapat dibebankan hak tanggungan adalah : 1. Hak Milik; 2. Hak Guna Usaha; 3. Hak Guna Bangunan. c. Pasal 33 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 1. Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. 2. Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hapus dengan hapusnya Hak Guna Bangunan. d. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan Hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan adalah :
Universitas Sumatera Utara
57
1. Hak Milik; 2. Hak Guna Usaha; 3. Hak Guna Bangunan. 6. Hapusnya Hak Guna Bangunan Secara umum ketentuan mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan selain diatur dalam Pasal 40 UUPA sebagaimana disebutkan dalam Bab I tulisan ini, secara lebih lengkap dapat ditemukan dalam Pasal 35 hingga Pasal 38 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, yang menyatakan sebagai berikut :114 Pasal 35 (1) Hak Guna Bangunan hapus karena: a. Berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian atau perpanjangannya atau dalam perjanjian pemberiannya; b. Dibatalkan oleh pejabat berwenang, pemegang hak pengelolaan atau pemegang Hak Milik sebelum jangka waktunya berakhir, karena : i. Tidak dipenuhinya kewajiban-kewajiban pemegang hak / dilanggarnya ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31 dan Pasal 32, atau; ii. Tidak dipenuhinya kewajiban syarat-syarat atau kewajibankewajiban yang tertuang dalam perjanjian pemberian Hak Guna Bangunan dan pemegang Hak Milik atau perjanjian penggunaan tanah Hak Pengelolaan, atau; iii. Putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. c. Dilepaskan secara sukarela oleh pemegang haknya sebelum jangka waktu berakhir. d. Dicabut berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961. e. Ditelantarkan f. Tanahnya musnah 114
Peraturan Pemerintah tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah, PP Nomor 40 Tahun 1996, Lembaran Negara Nomor 58 Tahun 1996, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3643, Pasal 35.
Universitas Sumatera Utara
58
g. Ketentuan Pasal 20 ayat (2) (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai hapusnya Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Presiden. Apabila kita bandingkan dengan ketentuan Pasal 40 UUPA, maka pada dasarnya Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 ini merupakan pengulangan kembali ketentuan Pasal 40 UUPA, dengan beberapa tambahan dan penjelasan. Akibat hapusnya Hak Guna Bangunan terhadap :115 a. Atas tanah Negara Mengakibatkan tanahnya menjadi tanah negara (Pasal 36 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996), apabila Hak Guna Bangunan atas tanah Negara hapus dan tidak diperpanjang atau diperbaharui, maka bekas pemegang Hak Guna Banguna wajib membongkar bangunan dan benda-benda yang ada diatasnya dan menyerahkan tanahnya kepada Negara dalam keadaan kosong selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun sejak hapusnya Hak Guna Bangunan tersebut dan pembongkaran bangunan dan benda-benda diatasnya atas biaya bekas pemegang Hak Guna Bangunan. Jika bekas pemegang Hak Guna Bangunan lalai dalam memenuhi kewajibannya, maka bangunan dan benda-benda yang ada diatas tanah bekas Hak Guna Bangunan itu dibongkar oleh Pemerintah atas biaya bekas pemegang Hak Guna Bangunan. Namun jika bangunan dan benda-benda yang dimaksud masih diperlukan, maka bekas pemegang hak diberikan ganti rugi yang bentuk dan jumlahnya diatur lebih lanjut dengan Keputusan Presiden (Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996). b. Atas tanah Hak Pengelolaan Mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan pemegang Hak Pengelolaan (Pasal 36 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996) dan bekas pemegang Hak Guna Bangunan wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang Hak Pengelolaan dan memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian penggunaan tanah bagian Hak Pengelolaan yang bersangkutan (Pasal 18). c. Atas tanah Hak Milik Mengakibatkan tanahnya kembali ke dalam penguasaan pemegang Hak Milik (Pasal 36 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996) dan bagi pemegang Hak Guna Bangunan wajib menyerahkan tanahnya kepada pemegang
115
Sunaryo Basuki, Op.Cit, hlm.15
Universitas Sumatera Utara
59
Hak Milik serta memenuhi ketentuan yang sudah disepakati dalam perjanjian Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik (Pasal 38 PP). B. Tinjauan Umum Perjanjian Kredit 1.
Pengertian Perjanjian Pada Umunya Perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan disamping sumber lain,
seperti undang-undang. Pengaturan tentang perjanjian dapat ditemui dalam Buku III Bab II Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi : ”Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Rumusan perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata tersebut terdapat kelemahan yaitu yang menyatakan ”satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata mengikatkan mengandung arti tidak hanya dari satu pihak saja, melainkan dari kedua belah pihak. Sedangkan maksud dari perjanjian itu sendiri adalah mengikatkan diri dari kedua belah pihak, sehingga nampak kekurangannya dimana setidak-tidaknya harus ada rumusan ”saling mengikatkan diri”. Jadi nampak jelas adanya konsensus/kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian.116 Menurut R.Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.117 Dari peristiwa itu timbullah suatu hubungan antara dua
116
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan (Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian Dan Dari Undang-Undang, Cet.I, Mandar Maju, Semarang, 1994, hlm.45 117 R. Subekti, Op.Cit, Jakarta, Intermasa, 1987, hlm.1
Universitas Sumatera Utara
60
orang tersebut yang dinamakan perikatan. Perjanjian itu menerbitkan perikatan antara dua orang yang membuatnya. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menyatakan bahwa suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dari bunyi pasal tersebut seolah-olah mengandung suatu pernyataan bahwa kita diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja dan perjanjian itu mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang. Tentu kebebasan ini dengan pembatasan dalam hal tidak melanggar undang-undang, ketertiban dan kesusilaan. Dalam hukum perjanjian berlaku asas konsensualitas (sepakat), yang mengandung arti suatu perjanjian harus ada kesepakatan. Asas konsensualitas mengandung pengertian bahwa dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul itu sudah
lahir
sejak
tercapainya
kata
sepakat.
Pasal
1320
KUHPerdata
menyatakan : ”untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : 1. 2. 3. 4.
sepakat mereka yang mengikatkan dirinya kecakapan untuk membuat suatu perikatan suatu hal tertentu suatu sebab yang halal Dari uraian tersebut diatas tidak disebutkan suatu formalitas tertentu
disamping kesepakatan yang telah tercapai itu, maka dapat disimpulkan bahwa suatu perjanjian itu sudah sah apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai hal-hal pokok dari perjanjian ini.
Universitas Sumatera Utara
61
2.
Beberapa Pendapat Mengenai Pengertian Jaminan Kredit Kata kredit berasal dari bahasa Romawi, yakni credere yang artinya
percaya118, bila dihubungkan dengan bank, maka terkandung pengertian bahwa bank selaku kreditor percaya meminjamkan uang kepada nasabah atau debitur, karena debitur dapat dipercaya kemampuannya untuk membayar lunas pinjamannya setelah jangka waktu yang ditentukan.119 Dilihat dari sudut ekonomi, kredit diartikan sebagai penundaan pembayaran, karena pengembalian atas penerimaan uang dan atau suatu barang
tidak
dilakukan
bersamaan
pada
saat
menerimanya,
melainkan
pengembaliannya dilakukan pada masa tertentu yang akan datang. Beberapa pakar juga mengemukakan mengenai pendapatnya mengenai definisi kredit, yakni H.M.A Savelberg menyatakan bahwa kredit merupakan dasar setiap perikatan (verbintenis) dimana seseorang berhak menuntut sesuatu dari orang lain sebagai jaminan, dimana seseorang menyerahkan sesuatu dari orang lain sebagai jaminan, dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu.120 Mr. J.A. Levy merumuskan arti hukum dari kredit, yakni menyerahkan secara sukarela sejumlah uang untuk dipergunakan secara bebas oleh penerima kredit, penerima kredit berhak
118
Lihat Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1978, hlm. 19. Lihat juga Sidharta P. Soerjadi, Segi-Segi Hukum Perkreditan di Indonesia, Kertas Kerja dalam Simposium Aspek-Aspek Hukum Masalah Perkreditan, BPHN dan Bina Cipta, 1987, hlm.11. 119 Ibid, Sidharta P. Soerjadi, hlm. 11 120 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm.24
Universitas Sumatera Utara
62
mempergunakan
pinjaman
itu
untuk
keuntungannya
dengan
kewajiban
mengembalikan jumlah uang pinjaman itu di belakang hari.121 Adapun Muchdarsyah Sinungan memberikan pengertian kredit, yakni suatu pemberian prestasi oleh suatu pihak kepada pihak lainnya dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada waktu tertentu disertai dengan suatu kontra prestasi berupa bunga.122 Secara yuridis formal, ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan telah ditegaskan pengertian kredit, yakni penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Adapun persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain (debitur) dengan syarat-syarat dan kewajiban tertentu yang harus dipenuhi disebut perjanjian kredit.123 Pengertian jaminan menurut Mariam Darus Badrulzaman adalah suatu tanggungan yang diberikan oleh seorang debitur dan atau pihak ketiga kepada kreditor untuk menjamin kewajibannya dalam suatu perikatan. 124 Adapun Suyanto, ahli hukum perbankan mendefinisikan jaminan adalah penyerahan kekayaan atau 121
Mgs. Edy Putra Tje’Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta, 1986, hlm.1 122 Ibid, hlm.2 123 Adrian Sutedi, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta, 2010 hlm.20 124 Mariam Darus Badrulzaman, Ibid, 2000, hlm.12
Universitas Sumatera Utara
63
pernyataan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu utang.125 Disisi lain, Hartono Hadisaputro berpendapat bahwa jaminan adalah sesuatu yang diberikan kepada kreditor untuk menimbulkan keyakinan bahwa kreditor akan memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan.126 Didalam praktik perbankan masalah jaminan ini sangat penting artinya, terutama yang berhubungan dengan kredit yang dilepas kepada nasabahnya. Dalam kentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan menyatakan bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas iktikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah / debitur untuk melunasi utangnya atau mengambalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan. Selanjutnya Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 menyatakan bahwa untuk memperoleh keyakinan, sebelum memberikan kredit, Bank harus melakukan penilaian analisis terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari debitur. Dari Pasal 8 Undang-Undang Perbankan dapat disimpulkan bahwa agunan itu hanya merupakan salah satu unsur dari jaminan kredit. Dari rumusan tersebut dapat diketahui bahwa kredit itu merupakan perjanjian pinjam meminjam uang antara bank sebagai kreditor dengan nasabah sebagai debitur. 125
Thomas Suyanto, Dasar-Dasar Perkreditan I, Gramedia, Jakarta, 1998, hlm.70 Hartono Hadisaputro, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta, 1984, hlm.50 126
Universitas Sumatera Utara
64
Dalam perjanjian ini bank sebagai pemberi kredit percaya terhadap nasabah dalam jangka waktu yang disepakatinya akan dikembalikan (dibayar) lunas. Tenggang waktu antara pemberian dan penerimaan kembali menurut Edy Putra Tje’Aman, merupakan suatu hal yang abstrak yang sukar diraba, karena masa antara pemberian dan penerimaan prestasi tersebut dapat berjalan dalam beberapa bulan, tetapi dapat pula berjalan beberapa tahun.127 Memang dapat terjadi demikian, karena dalam praktik banyak terjadi nasabah tidak menepati waktu yang diperjanjikan dalam mengembalikan pinjamannya dengan berbagai alasan. Oleh karena itu, dalam rumusan pengertian kredit ditegaskan mengenai kewajiban nasabah untuk melunasi utangnya sesuai dengan jangka waktunya disertai dengan kewajibannya yang lain yaitu dapat berupa bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang diberikan oleh bank (kreditor) mengandung resiko, sehingga dalam pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang sehat dan berdasarkan prinsip kehatihatian serta penilaian seksama pada berbagai aspek. 3.
Karakteristik Jaminan Kredit Perjanjian kredit merupakan perjanjian pinjam-meminjam uang antara bank
dengan pihak lain (nasabah). Perjanjian kredit selalu terkait dengan pengikatan
127
Edy Putra Tje’Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, Liberty, Yogyakarta, 1989, hlm.10
Universitas Sumatera Utara
65
jaminan. Hal ini dilakukan oleh pihak Bank agar Bank mendapat kepastian bahwa kredit yang diberikan kepada nasabahnya dapat dipergunakan sesuai dengan kebutuhan dan dapat kembali dengan aman. Jadi, dengan adanya jaminan yang diikat dalam bentuk perjanjian jaminan tertentu akan dapat mengurangi risiko yang mungkin terjadi apabila penerima kredit wanprestasi atau tidak dapat mengembalikan kredit atau pinjamannya. Dengan demikain, jaminan dalam perjanjian kredit ini bertujuan untuk menjamin bahwa utang debitur akan dibayar lunas. Hak-hak jaminan kredit itu tidak berdiri sendiri, melainkan terkait kepada hak lain, yang menjadi hak utamanya. Oleh karena itu, sifat hak-hak jaminan ini adalah accessoir (ikutan), yaitu mengikuti perikatan utamanya. Hal ini berarti apabila perikatan utamanya telah musnah hak jaminannya musnah pula. Sifat ini melekat pada semua hak jaminan kredit. Dalam praktik perbankan, sifat dari hak jaminan itu ada yang bersifat hak kebendaan dan ada yang bersifat hak perorangan. 128 Yang termasuk jaminan yang bersifat hak kebendaan adalah gadai, fidusia, hipotik, dan Hak Tanggungan. Adapun yang termasuk jaminan yang bersifat hak perorangan antara lain borgtoch (perjanjian penanggungan), perutangan tanggung menanggung, perjanjian garansi dan lain-lain. Hak kebendaan memberikan kekuasaan yang langsung terhadap bendanya, sedangkan hak perorangan menimbulkan hubungan langsung antara perorangan yang satu dengan yang lainnya.
128
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, Liberty, Yogyakarta, 1980, hlm.38
Universitas Sumatera Utara
66
Tujuan dari jaminan yang bersifat kebendaan adalah untuk memberikan hak vershaal yaitu hak untuk meminta pemenuhan piutangnya kepada kreditor, terhadap hasil penjualan dari benda-benda tertentu dari debitur untuk pemenuhan piutangnya. Adapun jaminan yang bersifat perorangan bertujuan untuk memberikan hak vershaal kepada kreditor, terhadap benda keseluruhan dari debitur untuk memperoleh pemenuhan dari piutangnya.129 4.
Sifat dan Kedudukan Perjanjian Jaminan Perjanjian yang merupakan perikatan antara kreditor dengan debitur atau
pihak ketiga yang isinya menjamin pelunasan utang yang timbul dari pemberian kredit, lazim disebut Perjanjian Jaminan Kredit. Sifat perjanjian jaminan ini lazimnya dikonstruksikan sebagai perjanjian yang bersifat accessoir, yaitu senantiasa merupakan perjanjian yang dikaitkan dengan perjanjian pokok, mengabdi pada perjanjian pokok. 130 Suatu perjanjian jaminan tidak akan ada apabila tidak ada perjanjian pokok atau dengan kata lain perjanjian jaminan itu selalu menyertai perjanjian pokok, tetapi sebaliknya perjanjian pokok tidak selalu menimbulkan perjanjian jaminan.131 Dengan demikian, perjanjian jaminan kredit ini dibuat atau ada, karena adanya perjanjian yang mendahului, yaitu perjanjian kredit. Sesuai dengan tujuannya, perjanjian jaminan kredit memang dibuat untuk menjamin kewajiban dari debitur yang ada dalam perjanjian kredit, yaitu melunasi kredit tersebut. Jadi tanpa adanya 129
Ibid Ibid, hlm.37 131 Edy Putra The’Aman, Op. Cit, hlm.41 130
Universitas Sumatera Utara
67
perjanjian kredit, perjanjian jaminan kredit tidak akan ada. Dalam ilmu hukum, kedudukan dari perjanjian kredit adalah perjanjian pokok (principal), sedangkan kedudukan dari perjanjian jaminan kredit tersebut sebagai perjanjian ikutan atau tambahan (accessoir). Konsekuensi hukumnya adalah apabila suatu perjanjian kredit telah dinyatakan tidak berlaku atau gugur, akibatnya perjanjian jaminan kredit sebagai perjanjian ikutan secara otomatis menjadi gugur. Jadi, kedudukan perjanjian jaminan kredit sebagai perjanjian yang accessoir itu akan menjamin kuatnya lembaga jaminan tersebut bagi keamanan pemberian kredit oleh kreditor. Sebagai perjanjian yang bersifat accessoir juga memperoleh akibat hukum seperti halnya perjanjian accessoir yang lain, yaitu :132 a. b. c. d. e.
Adanya tergantung pada perjanjian pokok Hapusnya tergantung pada perjanjian pokok Jika perjanjian pokok batal, ikut batal Ikut beralih dengan beralihnya perjanjian pokok Jika perutangan pokok beralih karena cessi, subrograsi, akan ikut beralih juga tanpa adanya penyerahan khusus.
5.
Beberapa Macam Jaminan Secara umum macam jaminan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Jaminan timbul karena Undang-Undang, yang merupakan jaminan umum Jaminan yang timbul karena undang-undang maksudnya adalah bentuk-bentuk jaminan yang adanya telah ditentukan oleh suatu undang-undang. Jaminan yang lahir karena undang-undang ini diatur dalam Pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata.
132
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit, hlm.37
Universitas Sumatera Utara
68
Pasal 1131 KUHPerdata pada intinya menyatakan bahwa segala harta kekayaan debitur, baik yang berupa benda bergerak dan tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari walaupun tidak diserahkan sebagai agunan, menurut hukum menjadi jaminan atas seluruh utang-utang debitur. Dikatakan timbul karena undang-undang disebabkan oleh berdasarkan undang-undang, yaitu Pasal 1131 KUHPerdata, dengan sendirinya segala harta kekayaan seseorang menjadi jaminan dari utang yang dibuat. Karena tidak adanya pengikatan secara khusus dan meliputi seluruh harta kekayaan debitur, jaminan kredit yang timbul karena undang-undang ini juga menjadi jaminan bagi semua orang yang mengutangkan kepadanya. Jadi, bila terhadap harta kekayaan debitur dilakukan penjualan, hasil dari pada penjualan tersebut dibagi-bagi menurut keseimbangan (proporsional) sesuai besar-kecilnya piutang masing-masing, kecuali ada alasan-alasan yang sah bagi kreditor tertentu untuk didahulukan pelunasan piutangnya (Pasal 1132 KUHPerdata). Kedudukan pada kreditur satu sama lainnya terhadap harta kekayaan seseorang debitur yang demikian itu lazim disebut concurrent atau saling bersaing. b. Jaminan karena perjanjian, yang merupakan jaminan yang khusus Jaminan yang timbul karena perjanjian, secara yuridis baru timbul karena adanya suatu perjanjian antara bank dengan pemilik agunan atau barang jaminan, atau antara bank dengan orang pihak ketiga yang menanggung utang debitur. Jaminan ini dapat dibedakan antara bentuk jaminan yang bersifat perorangan dan bersifat kebendaan.
Universitas Sumatera Utara
69
1. Jaminan yang bersifat perorangan Jaminan ini menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu dan dapat dipertahankan terhadap debitur seumumnya.133 Jaminan perorangan antara lain terdiri atas : i. Perjanjian penanggungan (borgtocht) Yakni suatu persetujuan dengan mana seseorang pihak ketiga guna kepentingan si berpiutang, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatannya si berutang apabila orang ini sendiri tidak memenuhinya (Pasal 1820 KUHperdata). Tujuan dan isi perjanjian penanggungan ini adalah memberikan jaminan untuk dipenuhinya perutangan dalam perjanjian pokok. ii. Perjanjian Garansi Ketentuan mengenai perjanjian ini terdapat dalam Pasal 1316 KUHPerdata. Perjanjian garansi pada dasarnya sama dengan perjanjian penanggungan, yaitu sama-sama adanya pihak ketiga yang berkewajiban memenuhi prestasi. Perbedaannya adalah pada perjanjian garansi kewajiban tersebut dicantumkan di dalam perjanjian pokok yang berdiri sendiri. Adapun pada perjanjian penanggungan adanya kewajiban untuk memenuhi prestasi dari si penanggung apabila debitur wanprestasi tercantum dalam perjanjian accessoir.134 iii. Perjanjian Tanggung Menanggung
133 134
Ibid. hlm.47 Ibid, hlm.83
Universitas Sumatera Utara
70
Hal ini dapat kita temukan dalam Pasal 1280 KUHPerdata, dimana ditentukan bahwa akan terjadi sesuatu perikatan tanggung menanggung dipihak orangorang yang berhutang manakala mereka semuanya diwajibkan melakukan hal yang sama, sedemikian bahwa salah satu hal dapat dituntut untuk seluruhnya, dan pemenuhan oleh salah satunya membebaskan orang-orang berutang yang lainnya terhadap si berpiutang. Jaminan perorangan (personal guarantee) secara tegas juga diatur dalam Pasal 1820 KUHPerdata, penanggungan adalah suatu perjanjian dengan mana pihak ketiga, guna kepentingan si berpiutang mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan si berutang manakala orang ini sendiri tidak memenuhinya. Adapun Pasal 1821 KUHPerdata menyatakan bahwa tiada penanggungan jika tidak ada suatu perikatan pokok yang sah. Perikatan
penanggungan
merupakan
kebutuhan
dasar
yang
selalu
berhubungan dengan perjanjian pokok, yaitu sebagai berikut :135 1. 2. 3. 4.
Tidak ada pertanggungan, jika tidak ada perjanjian pokok. Jumlah pertanggungan melebihi jumlah utang pokok Penjamin berhak mengajukan keberatan atas utang pokok Pertanggungan akan hapus, jika utang pokok itu hapus.
2. Jaminan yang bersifat kebendaan Jaminan ini merupakan jaminan yang berupa hak mutlak atas suatu benda, yang berarti mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu dari debitur, dapat
135
Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm.28
Universitas Sumatera Utara
71
dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikat bendanya (droit de suite) dan dapat diperalihkan.136 Jaminan kebendaan ini antara lain terdiri atas : i. Gadai Mengenai gadai ini diatur dalam Buku II Titel 20 Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUHPerdata. Dalam Pasal 1150 KUHPerdata dinyatakan bahwa gadai adalah suatu hak yang diperoleh kreditor atas suatu barang bergerak, yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu utang, dan yang memberikan kewenangan kepada kreditor untuk mendapatkan pelunasan dari barang-barang tersebut lebih dahulu dari kreditor-kreditor lainnya, terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya sama harus didahulukan. Selanjutnya dalam Pasal 1152 KUHPerdata mengatakan bahwa hak gadai atas benda-benda bergerak atas piutang-piutang diletakkan dengan membawa barang gadainya di bawah kekuasaan si berpiutang atau seorang pihak ketiga tentang siapa yang telah disetujui oleh kedua belah pihak. Hak gadai ini bersifat accessoir artinya merupakan tambahan saja dari perjanjian pokoknya, yaitu perjanjian utang-piutang (kredit). Perjanjian gadai ini diadakan dengan maksud untuk menjaga jangan sampai si berutang (debitur) itu lalai membayar kembali utangnya. Disamping itu, hak gadai tidak dapat dibagi-bagi, artinya sebagian hak gadai itu tidak menjadi hapus dengan dibayarnya sebagian dari utang. Gadai itu tetap mengikat seluruh benda yang dijadikan jaminan. 136
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.Cit, hlm.46
Universitas Sumatera Utara
72
Benda-benda yang dapat dijadikan jaminan dalam gadai adalah semua benda bergerak, yang terdiri atas : a. Benda bergerak yang berwujud b. Benda bergerak yang tidak berwujud, yaitu yang berupa berbagai hak untuk mendapatkan pembayaran uang, yaitu yang berwujud surat-surat piutang yang aan toonder (kepada si pembawa), aan order (atas tunjuk) serta naam (atas nama).137 Mengenai hapusnya gadai, hak gadai itu hapus apabila : 1. Benda jaminan keluar dari kekuasaan pemegang sendiri 2. Perjanjian pokoknya hapus, misalnya apabila utang-piutang itu sudah dibayar lunas. ii. Fidusia Fidusia (Fidusia Eigendom Overdracht) adalah pengalihan kepemilikan, berdasarkan kepercayaan. Perkataan fiducia berarti kepercayaan, dimana para pihak saling memberikan kepercayaan penuh kepada pihak lain untuk mengalihkan hak miliknya, tetapi benda-benda yang dijadikan jaminan itu merupakan jaminan utang.138 Definisi lain dari fiducia (Fiduciaire Eigendoms Overdracht) ialah penyerahan hak milik atas dasar kepercayaan, maksudnya penyerahan hak milik atas barang-barang debitur yang dijadikan jaminan itu kepada kreditor atas dasar
137 138
Ibid, hlm.98 Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm.33
Universitas Sumatera Utara
73
kepercayaan saja, sedangkan secara fisik barang-barang yang bersangkutan masih tetap ada pada debitur.139 Fidusia di Indonesia telah berkembang sejak tahun 1931, yang terdapat di dalam putusan pengadilan (arrest HGH dalam perkara BPM-Cligent). Pada awalnya fidusia selalu dihubungkan dengan bentuk gadai ilegal. Akan tetapi, karena adanya permintaan yang kuat dari kalangan masyarakat terhadap lembaga yang demikian, dimana jaminan benda bergerak tetap dikuasai oleh debitur, karena diperlukan oleh debitur sebagai sarana pengelolaan bisnisnya. Akhirnya lama kelamaan fidusia menjadi sah. Lembaga fidusia pertama kali ditujukan pada benda bergerak, tetapi kemudian berkembang kepada benda tidak bergerak. Perjanjian fidusia selama ini menekankan pendaftaran pada benda bergerak dan benda tidak bergerak dengan menggunakan format tertentu. Perjanjian fidusia harus didaftarkan atau dicatat dalam sertifikat kepemilikannya. Pendaftaran benda bergerak sebagai jaminan dalam bentuk kendaraan bermotor, mesin, peralatan pabrik, kapal laut, perahu kecil dengan berat minimal 20 m³ harus didaftarkan dalam pendaftaran khusus. Debitur yang menandatangani perjanjian pinjaman dengan pihak lain (bank) dengan menempatkan hak miliknya sebagai jaminan lewat lembaga Fiducia Eigendom Overdracht, merupakan subjek pembatasan pengawasan karena barangbarang debitur telah diletakkan sebagai jaminan. 139
Hartono Hadisaputro, Op.Cit, hlm.50
Universitas Sumatera Utara
74
Umumnya, pembatasan yang diterapkan kepada debitur adalah dalam hal pertama, debitur tidak menggunakan barang yang sama sebagai jaminan terhadap jaminan pinjaman yang lain, dan barang-barang yang disebutkan tidak boleh dijual, atau dialihkan tanpa persetujuan kreditor. Jika debitur lalai dia harus tunduk atas perbuatan hukumnya, misalnya dari tindakan penggelapan atau pencurian. Kedua, jaminan dalam bentuk barang-barang yang dapat dijual, persediaan dan gudang penyimpanan, debitur diwajibkan secara periodik mengirimkan daftar barang kepada kreditor. Lembaga ini muncul atas dasar kebutuhan masyarakat akan kredit dengan jaminan benda-benda bergerak, tetapi benda-benda yang bersangkutan diperlukan dan dipergunakan oleh pemiliknya untuk melakukan usaha atau untuk mencari nafkah, sehingga sulit untuk melaksanakan syarat inbezitstelling jika dijadikan jaminan dengan gadai. Dalam praktik, objek fidusia mula-mula tertuju pada benda bergerak sebagai jaminan, seperti terhadap kenderaan bermotor, perkakas rumah tangga, persediaan barang, mesin-mesin pabrik, kapal-kapal yang berukuran di bawah 20 m³, dan sebagainya, tetapi kemudian objek fidusia tersebut berkembang meliputi pula benda tidak bergerak, seperti terhadap bangunan-bangunan, misalnya rumah, dan bahkan hak-hak atas tanah dapat difidusiakan (biasanya tanah dengan status hak pakai), yang tidak memenuhi syarat untuk dijaminkan dengan hipotik. Dengan dimasukkannya Hak Pakai atas tanah Negara dan bangunan serta benda-benda yang melekat di atas sebagai objek Hak Tanggungan dalam Undang-
Universitas Sumatera Utara
75
Undang Hak Tanggungan, objek yang berupa tanah dan bangunan di dalam fiducia sudah tidak lagi diberlakukan. iii. Hipotik Jaminan dibedakan antara jaminan atas benda-benda bergerak dan bendabenda tidak bergerak. Apa yang melekat di dalam jaminan selalu memenuhi kewajiban yang dapat dinilai dengan uang. Pelaksanaan perjanjian penjaminan harus merupakan barang-barang yang dapat dijual dan penguasaannya terhadap sejumlah uang yang diberikan kepada kreditor. Oleh karena itu, barang-barang yang dijaminkan mengikuti hak-hak yang melekat pada barang yang dikuasai dan dapat dipindahkan kepada pihak atau orang lain. Dua hal penting yang berhubungan dengan hukum pertanggungan, yakni pendaftaran hak-hak milik yang melekat pada barang-barang yang dijaminkan dan hak-hak untuk menjual, apabila debitur tidak mampu membayar pinjamannya. Kata hipotik atau hypotheek berasal dari hukum Romawi yaitu hypotheca. Dalam bahasa Belanda terjemahannya adalah onderzetting, dan dalam bahasa Indonesia adalah pembebanan.140 Menurut Pasal 1162 KUHPerdata, hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tidak bergerak untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan.
140
Mariam Darus Badrulzaman, Bab-Bab tentang Hypotheek, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm.15
Universitas Sumatera Utara
76
Berdasarkan Pasal 1162 KUHPerdata, objek yang dapat dibebani dengan hipotik adalah benda-benda tidak bergerak. Undang-undang yang ada selama ini menentukan bahwa benda tidak bergerak yang dapat dibebani hipotik adalah sebagai berikut : a. Tanah dengan status Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan yang telah didaftarkan (Pasal 25,33 dan 39 UUPA). b. Rumah susun berikut tanah tempat bangunannya atau hak milik atas satuan rumah susun, jika tanahnya tanah hak milik atau hak guna bangunan. (Pasal 12 ayat (1) a dan Pasal 13 a UU No.16 Tahun 1985). c. Kapal laut Indonesia yang berukuran 20 m³ isi kotor keatas yang sudah didaftarkan. (Pasal 314 ayat (3) KUHD). Objek dari hipotik tersebut harus sudah ada pada saat hipotik dibebankan. Pembebanan hipotik terhadap benda yang baru akan ada dikemudian hari adalah batal. Ketentuan mengenai hal ini diatur dalam Pasal 1175 KUHPerdata. Sekarang ini dengan berlakunya Undang-Undang Hak Tanggungan, hipotik yang mengatur mengenai tanah dinyatakan sudah tidak berlaku lagi. Disamping itu, Pasal 51 UUPA, telah menegaskan jaminan atas tanah, yang menyatakan bahwa Hak Tanggungan yang dapat dibebankan pada hak milik, hak guna usaha, dan hak guna bangunan tersebut dalam Pasal 25, 33 dan 39 diatur dengan undang-undang. Selanjutnya, Pasal 57 UUPA menyatakan bahwa selama undang-undang mengenai Hak Tanggungan dalam Pasal 51 belum terbentuk, yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan
mengenai
hypotheek
tersebut
dalam
KUHPerdata
dan
Universitas Sumatera Utara
77
credietverband dalam Staatsblad 1908-542 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937-190. Jadi ketentuan mengenai hypotheek (hak tanggungan untuk tanah barat) dan Credietverband (pertanggungan untuk tanah Indonesia) tetap berlaku ketentuan Staatsblad 1908-542 untuk tanah-tanah pertanian berdasarkan hukum adat sebagaimana diubah dengan Staatsblad 1937-190. Kreditor pemegang hak, untuk menjamin sebagai dari tanah, baik itu hypotheek atau credietverband, merupakan kreditor preference, dimana kreditor mempunyai hak yang disebut droit de suite, yang berarti bahwa meskipun hak atas tanah itu dipindahkan kepada pihak lain, kreditor tetap memiliki hak untuk menjual tanah, dalam hal debitur tidak mampu memenuhi kewajibannya, karena adanya pertanggungan pembebanan hak tanah. Disamping itu, pemegang jaminan hak atas tanah juga memiliki hak droit de preference yang berhubungan dengan kreditor lain. Kreditor preference memiliki hak yang diutamakan untuk memperoleh sejumlah hasil-hasil penjualan dari jaminan atas tanah. Mengenai sahnya hak jaminan, perjanjian pertanggungan harus dibuat dan ditandatangani dalam akta autentik, dalam hal ini oleh PPAT (the Land Deed Officer). Akta tersebut secara tegas harus menyatakan jumlah pinjaman yang dijaminkan dan tanah-tanah yang diletakkan pada jaminan. iv. Hak Tanggungan Dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dalam Pasal 1 angka 1 UUHT dinyatakan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang
Universitas Sumatera Utara
78
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Jadi, berdasarkan ketentuan UUHT ini, dimungkinkan adanya tanah dan bangunan ataupun tanaman atau hasil karya yang terdapat diatas tanah itu untuk dijaminkan terpisah dari tanahnya (sesuai dengan perkataan berikut atau tidak berikut). Hal ini terjadi apabila kepemilikan antara tanah dan bangunan, tanaman atau hasil karya tersebut tidak dimiliki oleh satu orang. UUHT berlaku juga terhadap pembebanan hak jaminan atas Rumah Susun dan Hak Milik atas Satuan Rumah Susun, termasuk yang didirikan di atas tanah Hak Pakai atas Tanah Negara. Sesuai Pasal 12 dan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun (UURS) yang berkenaan dengan penjaminan rumah susun beserta tanah tempat bangunan itu sendiri juga harus tunduk pada peraturan UUHT tersebut, sehingga penjaminan dengan fidusia tidak berlaku lagi. Dengan berlakunya UUHT ini, dinyatakan pula bahwa ketentuan yang mengatur mengenai credietverband serta ketentuan yang mengatur mengenai hipotik yang berlaku selama ini, sepanjang yang berhubungan dengan tanah sudah tidak berlaku lagi. Pembebanan rumah beserta tanah yang haknya dimiliki oleh pihak yang sama dengan adanya UUHT dibebani dengan Hak Tanggungan. Dengan demikian untuk jaminan terhadap hak atas tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda yang
Universitas Sumatera Utara
79
merupakan satu kesatuan dengan tanahnya, berlaku Hak Tanggungan. Adapun fidusia dan hipotik dapat diberlakukan untuk penjaminan bukan tanah. Dengan adanya UUHT, satu-satunya lembaga jaminan atas tanah yang berlakui adalah Hak Tanggungan yang diatur dalam UUHT. C. Ruang Lingkup Hak Tanggungan 1. Pengertian Hak Tanggungan Setelah menunggu selama 34 tahun sejak UUPA menjanjikan akan adanya Undang-Undang tentang Hak Tanggungan. Pada tanggal 9 April 1996, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632 lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah. Kehadiran lembaga hak tanggungan ini dimaksudkan sebagai pengganti dari Hypotheek (selanjutnya disebut dengan hipotik) sebagaimana yang diatur dalam Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia sepanjang mengenai tanah, dan credietverband yang diatur dalam Staatsblad 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Staatsblad 1937-190, yang berdasarkan Pasal 51 UUPA, masih diberlakukan sementara sampai dengan terbentuknya UUHT tersebut. Dalam penjelasan umum UUHT dikemukakan bahwa ketentuan-ketentuan dalam peraturan perundang-undangan mengenai hipotik dan credietverband berasal dari zaman kolonial Belanda dan didasarkan pada hukum tanah yang berlaku sebelum berlakunya hukum tanah nasional, sebagaimana ketentuannya telah diatur dalam
Universitas Sumatera Utara
80
UUPA dan dimaksudkan diberlakukan untuk sementara waktu, sambil menunggu terbentuknya undang-undang yang dimaksud dalam Pasal 51 UUPA.141 Dalam UUPA ditentukan macam-macam hak atas tanah yang dapat diberikan kepada orang per orang, sekelompok orang secara bersama-sama dan badan-badan hukum. Salah satu hak yang diberikan kepada pemegang hak atas tanah terhadap tanah yang dikuasainya adalah menjaminkan hak atas tanah untuk suatu utang tertentu dengan dibebani Hak Tanggungan. UUPA mengatur bahwa hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan. Dasar hukum mengenai Hak Tanggungan tersebut terdapat dalam Pasal 51 UUPA juncto Pasal 57, 25, 33 dan 39 UUPA. Menurut Pasal 1 ayat (1) UUHT, Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain. Berdasarkan rumusan tersebut apa yang disebut Hak Tanggungan meliputi 4 (empat) hal, sebagai berikut :142 a. Objek Hak Tanggungan b. Pemberi dan Pemegang Hak Tanggungan 141
Sutan Remy Sjahdeini, Hak Tanggungan, Asas, Ketentuan-Ketentuan Pokok dan Masalah yang dihadapi oleh Perbankan (Sutau Kajian Mengenai Undang-Undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung, 1999, hlm. 2-3. 142 Sunaryo Basuki, Op.Cit, hlm.31
Universitas Sumatera Utara
81
c. d. e. f.
Tata cara pemberian pendaftaran, peralihan, dan hapusnya Hak Tanggungan Eksekusi Hak Tanggungan Pencoretan Hak Tanggungan Sanksi administratif. Dengan demikian UUHT sifatnya unit karena memuat lengkap ketentuan yang
menyangkut Hak Tanggungan sampai proses eksekusinya. Kehadiran UUHT, bertujuan untuk : 1. Menuntaskan unifikasi (kesatuan) Hukum Tanah Nasional, dengan menyatakan tidak berlaku lagi ketentuan hypotheek dan credietverband (pasal 29 UUHT). 2. Menyatakan berlakunya UUHT dan Hak Tanggungan dinyatakan sebagai satusatunya hak jaminan atas tanah. Oleh karena itu tidak berlaku lagi fidusia sebagai hak jaminan atas tanah. Boedi Harsono, menyatakan bahwa Hak Tanggungan sebagai hak penguasaan atas tanah, yang berisikan kewenangan bagi kreditor untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan agunan, tetapi bukan untuk dikuasai secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cidera janji (wanprestasi) dan mengambil hasilnya, baik seluruh atau sebagian sebagai pembayaran lunas utang debitur kepadanya.143 Dalam tataran sejarahnya, Hak Tanggungan tersebut semula sebelum berlaku UUPA telah dikenal hak jaminan atas tanah, antara lain : 144 1) Hypotheek, bila obyeknya hak-hak barat seperti Hak Eigendom, Hak Erpacht dan Hak Opstal; 2) Credietverband, bila obyeknya Hak Milik Adat; 3) Fiducia, di luar obyek hak barat dan hak adat, seperti Grant; 4) Masa UUPA sampai dengan 1996, berlaku hypotheek dan credietverband sebagai aturan hukum peralihan; 143
Pendapat Boedi Harsono, sebagaimana dikutip oleh Urip Santoso (Selanjutnya disebut Urip Santoso II), dalam bukunya Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, Prenada Media, Jakarta, 2010, hlm.412. 144 Mhd Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Op.Cit, hlm. 334-335
Universitas Sumatera Utara
82
5) Masa Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996, berlaku Hak Tanggungan. Pada Hak Tanggungan sebagai salah satu hak penguasaan atas tanah yang bersifat perseorangan terdapat dua pihak yang menguasai tanah, yaitu pihak debitur menguasai tanahnya secara fisik, sedangkan pihak kreditur menguasai tanah secara yuridis atas tanah yang dijaminkan oleh debitur. Pada Hak Tanggungan, pihak kreditor mempunyai hak untuk menjual lelang untuk mengambil pelunasan utang jika debitur wanprestasi. Hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan harus memenuhi dua syarat yang ditentukan oleh UUHT, yaitu : 1. Hak atas tanah tersebut menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftarkan 2. Hak atas tanah tersebut menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Kedua syarat tersebut di atas bersifat kumulatif, artinya apabila salah satu syarat tidak dipenuhi, maka hak atas tanah tersebut tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. Syarat-syarat hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan diperluas oleh I Soegiarto, yaitu:145 1. dapat dinilai dengan uang 2. merupakan hak yang telah didaftarkan (daftar umum pendaftaran tanah sebagai syarat untuk memenuhi asas publisitas).
145
I Soegiarto, Hak Atas Tanah Negara, Jurnal Hukum Bisnis, Vol I, Yayasan Pengembangan Hukum Bisnis, Jakarta, 1997, hlm.97
Universitas Sumatera Utara
83
3. bersifat dapat dipindahtangankan (dalam hal debitor cidera janji benda tersebut dapat dijual dimuka umum). 4. memerlukan penunjukan dengan peraturan perundang-undangan. Sependapat dengan I Soegiarto, Boedi Harsono menyatakan bahwa untuk dapat dibebani hak jaminan atas tanah, objek yang bersangkutan harus memenuhi empat syarat, yaitu :146 1. dapat dinilai dengan uang 2. termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum 3. mempunyai sifat dapat dipindahtangankan 4. memerlukan penunjukan oleh undang-undang 2. Objek Hak Tanggungan Berdasarkan UUHT, objek yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah berserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Dalam Pasal 4 UUHT tersebut dijelaskan bahwa hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai atas Tanah Negara, yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan serta hak-hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah. Dalam hal ini
146
Boedi Harsono, Segi-Segi Yuridis Undang-Undang Hak Tanggungan, Makalah Seminar, Fakultas Hukum Universitas Trisakti Bekerja sama dengan Kantor Menteri Negara Agraria / Badan Pertanahan Nasional dan BPP Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Jakarta, 10 April 1996, hlm.11
Universitas Sumatera Utara
84
pembebanannya harus dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Apabila bangunan, tanaman dan hasil karya yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan
atas
benda-benda
tersebut
hanya
dapat
dilakukan
dengan
penandatanganan pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik. Pada prinsipnya, objek Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah yang memenuhi dua persyaratan, yakni wajib didaftarkan (untuk memenuhi syarat publisitas)
dan
dapat
dipindahtangankan
untuk
memudahkan
pelaksanaan
pembayaran utang yang dijamin pelunasannya. Dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tanah, dapat diindentifikasi objek Hak Tanggungan, yaitu :147 1. 2. 3. 4.
Hak Milik Hak Guna Usaha Hak Guna Bangunan Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuannya wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan 5. Hak Pakai atas tanah Hak Pengelolaan 6. Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan, atau Hak Pakai atas tanah negara UUHT menetapkan bahwa Hak Guna Bangunan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan. UUHT tidak memerinci Hak Guna Bangunan yang mana yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak
147
Urip Santoso II, Op.Cit, hlm. 417
Universitas Sumatera Utara
85
Tanggungan. Hak Guna Bangunan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 ada tiga macam, yaitu Hak Guna Bangunan atas tanah negara, Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan dan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik. Dari tiga macam Hak Guna Bangunan tersebut seharusnya UUHT menetapkan bahwa hanya Hak Guna Bangunan atas tanah negara dan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Pengelolaan yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan, sedangkan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik tidak dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan, dikarenakan Hak Guna Bangunan atas tanah Hak Milik meskipun wajib didaftar akan tetapi tidak dapat dipindahtangankan kepada pihak lain. 3. Subjek Hak Tanggungan Dalam Hak Tanggungan juga terdapat subjek hukum yang menjadi hak tanggungan yang terkait dengan perjanjian pemberi Hak Tanggungan. Di dalam suatu perjanjian Hak Tanggungan ada dua pihak yang mengikatkan diri, yaitu sebagai berikut :148 1. Pemberi Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menjaminkan objek Hak Tanggungan. 2. Pemegang Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang menerima Hak Tanggungan sebagai jaminan dari piutang yang diberikannya.
148
Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm.54
Universitas Sumatera Utara
86
UUHT memuat ketentuan mengenai subjek Hak Tanggungan dalam Pasal 8 dan Pasal 9, yaitu sebagai berikut :149 1. Pemberi Hak Tanggungan, adalah orang perorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Kewenagan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan itu dilakukan. 2. Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang. Yang dapat menjadi subjek Hak Tanggungan selain Warga Negara Indonesia, dengan ditetapkannya Hak Pakai atas tanah Negara sebagai salah satu objek Hak Tanggungan, bagi Warga Negara Asing juga dimungkinkan untuk dapat menjadi subjek Hak Tanggungan apabila memenuhi syarat. Sebagai pemegang Hak Tanggungan dapat berstatus Warga Negara Indonesia, badan hukum Indonesia, Warga Negara Asing atau badan hukum asing tidak disyaratkan harus berkedudukan di Indonesia oleh karena itu jika perjanjian kreditnya dibuat di luar negeri dan pihak pemberi kreditnya orang asing atau badan hukum asing yang berdomisili di luar negeri dapat pula menjadi pemegang Hak Tanggungan, sepanjang perjanjian kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah Republik Indonesia (penjelasan Pasal 10 ayat (1) UUHT).
149
Gunardi dan Markus Gunawan, Op.Cit, hlm. 228-229
Universitas Sumatera Utara
87
Apabila salah satu pihak, pemberi Hak Tanggungan atau pemegang Hak Tanggungan, berdomisili di luar Indonesia baginya harus pula mencantumkan domisili pilihan di Indonesia dan dalam hal domisili pilihan itu tidak dicantumkan, kantor Pejabat Pembuat Akta Tanah tempat pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan dianggap sebagai domisili yang dipilih. Bagi mereka yang akan menerima Hak Tanggungan, haruslah memperhatikan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UUHT yang menentukan, bahwa kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada Pasal 8 ayat (1) UUHT tersebut di atas harus ada (harus telah ada dan masih ada) pada pemberi Hak Tanggungan pada saat pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan. 4. Beberapa Asas Hak Tanggungan Hak Tanggungan sebagai satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu mempunyai empat asas, yaitu sebagai berikut : 1. Memberikan kedudukan yang diutamakan (preferent) kepada kreditornya. Hal ini berarti bahwa kreditor pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak didahulukan di dalam mendapatkan pelunasan atas piutangnya dari pada kreditor-kreditor lainnya atas hasil penjualan benda yang dibebani Hak Tanggungan tersebut. 2. Selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek tersebut berada. Artinya benda-benda yang dijadikan objek Hak Tanggungan itu tetap terbebani Hak Tanggungan walau di tangan siapapun benda itu berada. Jadi
Universitas Sumatera Utara
88
meskipun hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan tersebut telah beralih atau berpindah-pindah kepada orang lain, namun Hak Tanggungan yang ada tetap melekat pada objek tersebut dan tetap mempunyai kekuatan mengikat.150 3. Memenuhi asas Spesialitas dan Publisitas. Asas Spesialitas maksudnya wajib dicantumkan berapa yang dijamin serta benda yang dijadikan jaminan, juga identitas dan domisili pemegang dan pemberi Hak Tanggungan yang wajib dicantumkan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Asas Publisitas maksudnya wajib dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan.151 4. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, artinya dapat dieksekusi seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti.152 Disamping itu, Hak Tanggungan mempunyai sifat tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan. Hal ini berarti suatu Hak Tanggungan membebani secara utuh benda yang menjadi objeknya dan setiap bagian daripadanya. Oleh karena itu, apabila sebagian dari utang dibayar, pembayaran itu tidak membebaskan sebagian dari benda yang dibebani Hak Tanggungan. Penyimpangan terhadap asas ini hanya dapat dilakukan apabila hal tersebut diperjanjikan secara tegas di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. 150
Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit , hlm. 383 dan 410 Mhd Yamin Lubis dan Abd Rahum Lubis, Op.Cit, hlm. 335-336 152 Boedi Harsono I, Op.Cit, hlm. 15, 38 151
Universitas Sumatera Utara
89
Asas tidak dapat dibagi-bagi itu dapat disimpangi dalam hal Hak Tanggungan dibebankan pada beberapa hak atas tanah dan pelunasan utang yang dijamin dilakukan dengan cara angsuran sebesar nilai masing-masing hak atas tanah yang merupakan bagian dari objek Hak Tanggungan yang akan dibebaskan dari Hak Tanggungan tersebut. Dengan demikian, Hak Tanggungan itu hanya akan membebani sisa objek Hak Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi. Sifat lainnya dari Hak Tanggungan adalah bahwa Hak Tanggungan merupakan ikutan (accessoir) pada perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang (perjanjian kredit). Dengan demikian, hapusnya Hak Tanggungan tergantung pada perjanjian pokoknya, yaitu utang yang dijamin pelunasannya tersebut. Hak Tanggungan dapat dibebankan lebih dari satu kali terhadap objek yang sama untuk menjamin pelunasan lebih dari satu utang. Hal ini menimbulkan adanya tingkatan-tingkatan bagi pemegang Hak Tanggungan. Peringkat Hak Tanggungan tersebut ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan. Selain beberapa asas Hak Tanggungan tersebut diatas, dalam pembebanan Hak Tanggungan juga terdapat beberapa janji-janji. Dalam ketentuan Pasal 11 ayat (2) UUHT disebutkan bahwa dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, yaitu :153 a. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk menyewakan objek Hak Tanggungan dan/atau menentukan maupun mengubah jangka waktu sewa dan/atau menerima uang sewa dimuka, kecuali dengan persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan.
153
Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 80-101.
Universitas Sumatera Utara
90
b.
c.
d.
e.
f.
Janji ini tidak saja mengikat para pihak, tetapi juga akan dapat dimajukan terhadap penyewa oleh pemegang Hak Tanggungan. Janji yang membatasi kewenangan pemberi Hak Tanggungan untuk mengubah bentuk atau tata susunan objek Hak Tanggungan, kecuali dengan persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan. Dengan janji ini berarti pemberi Hak Tanggungan tidak dapat dengan bebas untuk mengubah bentuk maupun tata susunan dari benda yang ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan, kecuali mengenai hal itu telah mendapat persetujuan secara tertulis sebelumnya dari pemegang Hak Tanggungan. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk mengelola Hak Tanggungan itu berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negari yang daerah hukumnya meliputi objek Hak Tanggungan apabila debitur sungguh-sungguh cidera janji. Dalam hal ini dapat diperjanjikan bahwa apabila debitur ternyata tidak memenuhi kewajibannya untuk melunasi utangnya, pemegang Hak Tanggungan berwenang untuk mengelola objek Hak Tanggungan itu untuk memperoleh pelunasan piutangnya berdasarkan penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menyelamatkan objek Hak Tanggungan jika hal itu diperlukan untuk pelaksanaan eksekusi atau untuk mencegah menjadi hapusnya atau dibatalkannya hak yang menjadi objek Hak Tanggungan karena tidak dipenuhi atau dilanggarnya ketentuan undang-undang. Janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk melakukan sesuatu demi menyelamatkan objek Hak Tanggungan apabila diperlukan ini dimaksud untuk melindungi kepentingan pemegang Hak Tanggungan agar objek Hak Tanggungan itu masih ada pada saat pelaksanaan eksekusi atau untuk menjamin bahwa hak atau tanah yang dijadikan objek Hak Tanggungan itu tidak hapus atau dicabut. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual atas kekuasaan sendiri objek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji. Dalam hal ini dapat diperjanjikan dengan tegas bahwa apabila ternyata di kemudian hari debitur cidera janji yaitu jika uang pokok tidak dilunasi semestinya, atau jika bunga yang tertuang tidak dibayar, ia secara mutlak akan dikuasakan untuk menjual benda yang menjadi objek Hak Tanggungan dimuka umum, untuk mengambil pelunasan uang pokok maupun bunga, serta biaya-biaya yang dikeluarkan dari pendapatan penjualan itu. Pemegang Hak Tanggungan yang mencantumkan janji ini di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan memiliki parate154 eksekusi. Janji yang diberikan oleh pemegang Hak Tanggungan, pertama bahwa objek Hak Tanggungan tersebut tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan. Ini 154
Parate eksekusi adalah menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi haknya tanpa perantaran hakim. Mariam Darus Badrulzaman, Op.Cit, hlm. 65
Universitas Sumatera Utara
91
g.
h.
i.
j.
k.
merupakan suatu janji mengenai larangan melakukan pembersihan Hak Tanggungan atas benda yang dijaminkan oleh pemilik baru atas benda tersebut apabila benda itu beralih kepemilikannya (baik karena jual beli maupun hibah). Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan itu tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan. Dengan dicantumkannya janji ini di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan, pemberi Hak Tanggungan tidak boleh melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tersebut. Apabila ia akan melepaskan haknya atas objek Hak Tanggungan tersebut, ia harus mendapat persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari ganti rugi yang diterima oleh pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya apabila objek Hak Tanggungan dilepaskan haknya oleh pemberi Hak Tanggungan atau dicabut haknya untuk kepentingan umum. Apabila ternyata terhadap objek Hak Tanggungan tersebut dilepaskan haknya untuk kepentingan umum, dengan janji ini, pemegang Hak Tanggungan berhak memperoleh pelunasan piutangnya dari ganti rugi yang diterima oleh penerima Hak Tanggungan itu. Janji bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh seluruh atau sebagian dari uang asuransi yang diterima oleh pemberi Hak Tanggungan untuk pelunasan piutangnya jika objek Hak Tanggungan diasuransikan. Pemegang Hak Tanggungan berhak meminta diperjanjikan asuransi pada benda yang menjadi objek Hak Tanggungan. Dalam hal benda yang menjadi objek Hak Tanggungan ini telah diperjanjikan bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memperoleh uang asuransi tersebut jika terjadi keadaan yang tidak dapat diduga (overmacht) yang menimbulkan suatu kerugian yang menimpa benda yang diasuransikan tersebut, untuk pelunasan piutangnya, agar janji asuransi ini berlaku pula untuk perusahaan asuransi, janji ini harus diberitahukan kepada perusahaan asuransi tersebut. Janji bahwa pemberi Hak Tanggungan akan mengosongkan objek Hak Tanggungan pada waktu eksekusi Hak Tanggungan. Ada kalanya barang yang dijaminkan dikuasai atau dihuni oleh pihak lain maupun oleh pemberi Hak Tanggungan itu sendiri. Apabila terjadi demikian, hal tersebut akan mengakibatkan harga penawaran dan minat untuk membeli benda yang merupakan objek Hak Tanggungan itu menjadi menurun pada saat pelelangan. Sehubungan dengan hal itu, agar pihak pemegang Hak Tanggungan tidak dirugikan, atas kesepakatan kedua belah pihak di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dicantumkan janji pengosongan ini. Janji yang menyimpangi bahwa sertifikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan Hak Tanggungan akan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan. Artinya para pihak dapat memperjanjikan bahwa pemberi Hak Tanggungan memberi kuasa dengan hak substitusi
Universitas Sumatera Utara
92
kepada pemegang Hak Tanggungan untuk menerima dan menyimpan sertifikat tersebut sampai utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan tersebut lunas. Perlindungan terhadap kepentingan kreditor (pemegang Hak Tanggungan) ini mempunyai batasan yaitu bahwa pemegang Hak Tanggungan tidak boleh memiliki objek Hak Tanggungan. Oleh karena itu, janji yang memberikan kewenangan kepada pemegang Hak Tanggungan untuk memiliki objek Hak Tanggungan apabila debitur cidera janji adalah batal demi hukum. Janji ini adalah untuk melindungi debitur (pemberi Hak Tanggungan) dari syarat-syarat yang diajukan kreditor. 5. Syarat Sahnya Pembebanan Hak Tanggungan Pembebanan Hak Tanggungan terdiri dari dua tahap, yaitu pemberian Hak Tanggungan dan pendaftaran Hak Tanggungan. Tata cara pembebanannya wajib memenuhi syarat yang ditetapkan dalam Pasal 10 ayat (1), Pasal 11 ayat (1), Pasal 12, Pasal 13 serta Pasal 14 UUHT. Syarat sahnya pembebanan Hak Tanggungan yaitu : a. pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan APHT oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 10 ayat (2) UUHT). b. pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat spesialitas (Pasal 11 ayat (1) UUHT) yang meliputi : i. nama dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan. ii. domisili para pihak, pemegang dan pemberi Hak Tanggungan
Universitas Sumatera Utara
93
iii. penunjukkan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan. iv. nilai tanggungan v. uraian yang jelas mengenai obyek Hak Tanggungan Dengan demikian yang disebut syarat spesialitas adalah penunjukan secara jelas utang atau utang-utang yang dijamin pelunasannya dengan Hak Tanggungan (iii diatas) dan jika utangnya belum disebutkan nilai tanggungan (iv. diatas) serta uraian yang jelas tanah dan bangunan yang ditunjuk sebagai objek Hak Tanggungan (v. datas).155 c. pemberian Hak Tanggungan wajib memenuhi syarat publisitas (supaya diketahui oleh siapa saja) melalui pendaftaran Hak Tanggungan pada Kantor Pertanahan setempat (Kabupaten/Kota) d. batal demi hukum, jika diperjanjikan bahwa pemegang Hak Tanggungan akan memiliki obyek Hak Tanggungan apabila debitor cidera janji (pasal 12 UUHT). 6. Lahir dan Berakhirnya Hak Tanggungan Menurut Pasal 13 ayat (1) UUHT, terhadap pembebanan Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Selain itu di dalam Pasal 13 ayat (5) juncto ayat (4) UUHT juga dinyatakan bahwa Hak Tanggungan tersebut lahir pada hari tanggal buku tanah Hak Tanggungan, yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya. Dengan demikian, Hak Tanggungan itu lahir dan baru mengikat setelah dilakukan pendaftaran, karena jika tidak dilakukan pendaftaran itu pembebanan Hak Tanggungan tersebut 155
Sunaryo Basuki, Op.Cit. hal.36
Universitas Sumatera Utara
94
tidak diketahui oleh umum dan tidak mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak ketiga. Sedangkan berakhirnya Hak Tanggungan tertuang dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUHT, yang menyatakan bahwa Hak Tanggungan berakhir atau hapus karena beberapa hal sebagai berikut : a. Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan Hapusnya utang itu mengakibatkan Hak Tanggungan sebagai hak accessoir menjadi hapus. Hal ini terjadi karena adanya Hak Tanggungan tersebut adalah untuk menjamin pelunasan dari utang debitur yang menjadi perjanjian pokoknya. Dengan demikian, hapusnya utang tersebut juga mengakibatkan hapusnya Hak Tanggungan. b. Dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan. Apabila debitor atas persetujuan kreditor pemegang Hak Tanggungan menjual objek Hak Tanggungan untuk melunasi utangnya, maka hasil penjualan tersebut akan diserahkan kepada kreditor yang bersangkutan dan sisanya dikembalikan kepada debitor. Untuk menghapuskan beban Hak Tanggungan, pemegang Hak Tanggungan memberikan pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut kepada pemberi Hak Tanggungan (debitor). Dan pernyataan tertulis tersebut dapat digunakan oleh Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada buku tanah dan sertipikat hak tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan yang bersangkutan (Pasal 22 UUHT).
Universitas Sumatera Utara
95
c. Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan suatu penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri. Pembersihan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri hanya dapat dilaksanakan apabila objek Hak Tanggungan dibebani lebih dari satu Hak Tanggungan dan tidak terdapat kesepakatan diantara para pemegang Hak Tanggungan tersebut mengenai pembersihan objek Hak Tanggungan dan beban yang melebihi harga pembeliannya, dan apabila pembeli tersebut membeli benda tersebut dari pelelangan umum. Pembeli yang bersangkutan dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang (yang daerah kerjanya meliputi letak objek Hak Tanggungan yang bersangkutan) untuk menetapkan pembersihan tersebut dan sekaligus menetapkan ketentuan mengenai pembagian hasil penjualan lelang tersebut diantara para yang berpiutang (kreditor) dan peringkat mereka menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 19 ayat (3) UUHT) Ketentuan Pasal 18 ayat (1) UUHT tidak berlaku apabila : 1. pembelian dilakukan secara sukarela (tanpa melalui lelang) 2. dalam APHT yang bersangkutan secara tegas diperjanjikan oleh para pihak bahwa objek Hak Tanggungan tidak akan dibersihkan dari Hak Tanggungan (Pasal 11 ayat (2) huruf f UUHT). d. Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. Alasan hapusnya Hak Tanggungan yang disebabkan karena hapusnya hak atas tanah yang
Universitas Sumatera Utara
96
dibebani Hak Tanggungan tidak lain dan tidak bukan adalah sebagai akibat tidak terpenuhinya syarat objektif sahnya perjanjian, khususnya yang berhubungan dengan kewajiban adanya objek tertentu, yang salah satunya meliputi keberadaan dari bidang tanah tertentu yang dijaminkan. Dengan demikian, berarti setiap pemberian Hak Tanggungan harus memerhatikan dengan cermat hal-hal yang dapat menyebabkan hapusnya hak atas tanah yang dibebankan dengan Hak Tanggungan tersebut. Oleh karena, setiap hal yang menyebabkan hapusnya hak atas tanah tersebut demi hukum juga akan menghapuskan Hak Tanggungan yang dibebankan diatasnya, meskipun bidang tanah dimana hak atas tanahnya tersebut hapus masih tetap ada, dan selanjutnya telah diberikan pula hak atas tanah yang baru atau yang sama jenisnya. Dalam hal yang demikian, maka kecuali kepemilikan hak atas tanah telah berganti, maka perlu dibuatkan lagi perjanjian pemberian Hak Tanggungan yang baru, agar hak kreditor untuk memperoleh pelunasan mendahulu secara tidak pari passu dan tidak prorata dapat dipertahankan. Hak atas tanah dapat hapus antara lain karena hal-hal sebagaimana disebut dalam Pasal 27, Pasal 34 dan Pasal 40 UUPA atau peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam hal Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang dijadikan objek Hak Tanggungan berakhir jangka waktu berlakunya dan diperpanjang berdasarkan permohonan yang diajukan sebelum berakhirnya jangka waktu tersebut, Hak Tanggungan dimaksud tetap melekat pada hak atas tanah yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
97
Menurut Pasal 22 UUHT setelah Hak Tanggungan hapus, Kantor Pertanahan mencoret catatan Hak Tanggungan tersebut pada bukti tanah hak atas tanah dan setifikatnya. Adapun sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan ditarik dan bersama-sama buku Hak Tanggungan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Kantor Pertanahan. Jika sertifikat sebagaimana dimaksud diatas karena sesuatu sebab tidak dikembalikan kepada Kantor Pertanahan, hal tersebut dicatat pada buku tanah Hak Tanggungan. D. Hak Tanggungan Sebagai Jaminan Kredit Pada Bank Ketentuan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan menyatakan bahwa Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan tarif hidup rakyat banyak. Hal ini berarti dalam kegiatan seharihari Bank pada umumnya selalu berusaha menghimpun dana sebanyak-banyaknya dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan kemudian mengelola dana tersebut untuk disalurkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk pinjaman atau kredit. Selain itu, di dalam Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 menyatakan kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjammeminjam antara bank dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Universitas Sumatera Utara
98
Jadi, untuk dapat dilaksanakannya pemberian kredit itu, harus ada suatu persetujuan atau perjanjian antara Bank sebagai kreditor dengan nasabah penerima kredit sebagai debitor yang dinamakan perjanjian kredit. Dalam memberikan kredit kepada masyarakat, Bank harus merasa yakin bahwa dana yang dipinjamkan kepada masyarakat itu akan dapat dikembalikan tepat pada waktunya berserta bunganya dan dengan syarat-syarat yang telah disepakati bersama oleh Bank dan nasabah yang bersangkutan di dalam perjanjian kredit. Untuk mengetahui kemampuan dan kemauan nasabah mengembalikan pinjaman dengan tepat waktu, di dalam permohonan kredit, bank perlu mengkaji permohonan kredit, yaitu sebagai berikut :156 1. Character (kepribadian) Salah satu unsur yang harus diperhatikan oleh bank sebelum memberikan kreditnya adalah penilaian atas karakter kepribadian atau watak dari calon debiturnya. Karena watak yang jelek akan menimbulkan perilaku-perilaku yang jelek pula. Perilaku yang jelek ini termasuk tidak mau membayar utang. Oleh karena itu, sebelum kredit diluncurkan, harus terlebih dahulu ditinjau apakah misalnya calon debitur berkelakuan baik, tidak terlibat tindakan-tindakan kriminal, bukan merupakan penjudi, pemabuk atau tindakan tidak terpuji lainnya. 2. Capacity (kemampuan) Seorang calon debitur harus pula diketahui kemampuan bisnisnya, sehingga dapat diprediksi kemampuannya untuk melunasi utangnya. Kalau kemampuan bisnisnya kecil, tentu tidak layak diberikan kredit dalam skala besar. Demikian juga jenis bisnisnya atau kinerja bisnisnya sedang menurun, kredit juga semestinya tidak diberikan, kecuali jika menurunnya itu karena biaya, sehingga dapat diantisipasi bahwa dengan tambahan biaya lewat pelunasan kredit, maka trend atau kinerja bisnisnya tersebut dipastikan akan semakin membaik. 3. Capital (modal) Permodalan dari suatu debitur juga merupakan hal yang penting harus diketahui oleh calon kreditornya karena permodalan dan kemampuan keuangan dari suatu denitur akan mempunyai korelasi dengan tingkat kemampuan bayar kredit. Jadi, masalah likuiditas dan solvabilitas dari suatu badan usaha menjadi penting artinya. 156
Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm.13
Universitas Sumatera Utara
99
Dapat diketahui misalnya lewat laporan keuangan perusahaan debitur, yang apabila perlu diisyaratkan audit oleh independent auditor. 4. Collateral (agunan) Tidak diragukan lagi bahwa betapa pentingnya fungsi agunan dalam setiap pemberian kredit. Agunan merupakan the las resort bagi kreditor, dimana akan direalisasikan atau dieksekusi jika suatu kredit benar-benar dalam keadaan macet. 5. Condition of Economy (kondisi ekonomi) Kondisi perekonomian secara mikro maupun makro merupakan faktor penting pula untuk dianalisis sebelum suatu kredit diberikan, terutama yang berhubungan langsung dengan bisnisnya pihak debitur, misalnya jika bisnis debitur adalah dibidang bisnis yang selama ini diproteksi atau diberikan hak monopoli oleh pemerintah. Jika misalnya terdapat perubahan policy dimana pemerintah mencabut proteksi atau hak monopoli, maka pemberian kredit terhadap perusahaan tersebut mesti ekstra hati-hati.157 Menurut Munir Fuady, selain menerapkan prinsip 5 C’s juga menerapkan apa yang dinamakan dengan prinsip 5 P’s, sebagai berikut :158 1. Party (para pihak) Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap pemberian kredit. Pihak pemberi kredit dalam hal ini adalah bank harus memperoleh suatu “kepercayaan” terhadap para pihak, dalam hal ini debitur, mengenai bagaimana karakter, kemampuan dan sebagainya. 2. Purpose (tujuan) Tujuan dari pemberian kredit juga sangat penting diketahui oleh pihak bank (kreditur). Harus dilihat apakah kredit akan digunakan untuk hal-hal yang positif yang benar-benar dapat meningkatkan pendapatan (income) kegiatan usaha atau perusahaan dari debitur. Dari pemberian kredit itu pihak bank (kreditur) harus pula diawasi agar kredit tersebut benar-benar diperuntukan untuk tujuan seperti yang diperjanjikan dalam perjanjian kredit. 3. Payment (pembayaran) Perlu diperhatikan pula apakah sumber pembayaran kredit dari calon debitur cukup tersedia dan aman, sehingga dengan demikian diharapkan bahwa kredit yang disalurkan kepada debitur tersebut dapat dibayar kembali oleh debitur yang bersangkutan. 4. Profitability (perolehan keuntungan)
157
Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Cetakan Ke-2. Edisi Revisi, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 21-22 158 Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996, hlm.23
Universitas Sumatera Utara
100
Unsur perolehan laba oleh debitur tidak kurang pula pentingnya dalam suatu pemberian kredit yang disalurkan. Untuk kreditor harus mengantisipasi apakah laba yang akan diperoleh oleh perusahaan lebih besar daripada bunga pinjaman dan apakah pendapatan perusahaan dapat menutupi pembayaran kembali kredit, cash flow dan sebagainya. 5. Protection (perlindungan) Perlindungan terhadap kredit oleh perusahaan debitur merupakan hal yang penting bagi kreditor. Untuk itu perlindungan dari kelompok perusahaan atau jaminan dari perusahaan (holding), ataupun jaminan pribadi pemilik perusahaan yang diperhatikan. Diantara kelima asas tersebut salah satunya adalah collateral adalah berupa barang-barang yang diserahkan oleh debitur kepada bank selaku kreditor sebagai jaminan terhadap pembayaran kembali atas kredit yang diterimanya. Dalam membuat perjanjian kredit, bank pada umumnya tidak akan memberikan kredit begitu saja tanpa memperhatikan jaminan yang diberikan debitur untuk menjamin kredit yang diperolehnya itu.159 Oleh sebab itu, kalau menyalurkan kredit bank tersebut meminta kepada debitur untuk menyediakan agunan sebagai jaminan untuk mengamankan kreditnya. Dengan bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, yang membutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, untuk itu diperlukan lembaga hak jaminan yang kuat serta mampu memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partsipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
159
Munir Fuady, Op.Cit, 2002, hlm.43
Universitas Sumatera Utara
101
Walaupun didalam Pasal 1131 KUHperdata dikatakan bahwa segala kebendaan orang yang berutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan, namun sering orang tidak merasa puas dengan jaminan yang dirumuskan secara umum. Oleh karena itu, bank perlu meminta supaya benda tertentu dapat dijadikan jaminan yang diikat secara yuridis. Dengan demikian, apabila debitur tidak menepati janjinya, bank dapat melaksanakan haknya dengan mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi dari kreditor lainnya untuk mendapatkan pelunasan piutangnya. Tanah merupakan barang jaminan untuk pembayaran utang yang paling disukai oleh lembaga keuangan yang memberikan fasilitas kredit. Sebab tanah, pada umumnya, mudah dijual, harganya terus meningkat, mempunyai tanda bukti hak, sulit digelapkan dan dapat dibebani hak tanggungan yang memberikan hak istimewa kepada kreditor.160 Didalam UUPA, hak jaminan atas tanah yang dinamakan Hak Tanggungan mendapat pengaturan dalam Pasal 25, Pasal 33, Pasal 39, Pasal 51 dan Pasal 57. Di dalam Pasal 25, Pasal 33 dan Pasal 39 UUPA ditetapkan mengenai hak-hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani Hak Tanggungan, yaitu tanah dengan status hak milik, hak guna usaha serta hak guna bangunan. Menurut Pasal 51 UUPA, Hak Tanggungan itu akan diatur dengan undang-undang dan dalam Pasal 57
160
Effendi Perangin, Praktek Penggunaan Tanah Sebagai Jaminan Kredit, Rajawali Pers, Jakarta, 1991, hlm.ix
Universitas Sumatera Utara
102
UUPA dinyatakan bahwa selama undang-undang tersebut belum terbentuk maka yang berlaku adalah ketentuan-ketentuan mengenai Hipotik dan Creditverband. Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah, ketentuan-ketentuan mengenai hipotik atas tanah yang terdapat dalam Buku II KUHPerdata dan ketentuan-ketentuan mengenai Creditverband yang terdapat dalam Staatsblad 1908 Nomor 542 dinyatakan sudah tidak berlaku lagi, karena dipandang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan kegiatan perkreditan, sehubungan dengan perkembangan tata ekonomi Indonesia.161 Terbitnya UUHT ini sangat berarti terutama didalam menciptakan unifikasi hukum tanah nasional, khususnya di bidang hak jaminan atas tanah.162 Dalam Pasal 1 ayat (1) UUHT, disebutkan bahwa Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Hak Tanggungan ini merupakan lembaga hak jaminan yang kuat atas benda tidak bergerak berupa tanah yang dijadikan jaminan, karena memberikan kedudukan yang lebih tinggi (didahulukan) bagi kreditor pemegang Hak Tanggungan
161
A.P Parlindungan II, Op.Cit, hlm.13 Naning Indratni, UUHT Menciptakan Unifikasi Hukum Tanah Nasional, Suara Pembaruan 31 Maret 1996 162
Universitas Sumatera Utara
103
dibandingkan dengan kreditur lainnya.163 Dengan demikian, dari uraian diatas dapat dirasakan bahwa masalah jaminan ini sangat penting dalam rangka pelaksanaan pemberian kredit. Lembaga Hak Tanggungan sebagai perwujudan amanat Pasal 51 juncto Pasal 57 UUPA, berlandaskan pada hukum adat yang menganut asas pemisahan horizontal yang menyatakan bahwa tanah terpisah dengan segala sesuatu yang berada diatasnya. Berdasarkan hal tersebut dapat dipahami bila hukum adat tidak mengenal hak kebendaan sebagaimana dalam hukum perdata barat. Searah dengan hal itu, apabila Hak Tanggungan mendasarkan diri secara konsisten pada hukum adat maka ia tidak mempunyai ciri-ciri khusus sebagaimana yang dimiliki oleh hypotheek yang dilekati hak kebendaan. Ciri-ciri yang menonjol dari Hak Tanggungan
yang menyebabkan
memberikan jaminan kepastian bagi pihak-pihak yang berkepentingan khususnya bagi bank sebagai lembaga keuangan yang mengelola dana masyarakat baik melalui simpanan giro, tabungan dan menyalurkan dalam bentuk pinjaman kepada masyarakat berupa pinjaman kredit :164 1. Memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya (droit de preference) 2. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada (droit de suite) 3. Hak tanggungan bersifat mutlak 4. Mudah dan pasti eksekusinya.
163 164
Sutan Remy Sjahdeni, Op.Cit, hlm.15 Adrian Sutedi, Op.Cit, hlm.18
Universitas Sumatera Utara
104
E. Kedudukan Hak Tanggungan Atas Tanah Khusus untuk Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai untuk rumah tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan dan pemiliknya bermaksud untuk meningkatkan statusnya menjadi Hak Milik berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1998 tentang Perubahan Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai Atas Tanah untuk Rumah Tinggal yang dibebani Hak Tanggungan menjadi Hak Milik, berlaku ketentuan sebagaimana dibawah ini :165 1. Perubahan hak tersebut dimohonkan oleh pemegang hak atas tanah dengan persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan. 2. Perubahan hak tersebut mengakibatkan Hak Tanggungan dihapus. 3. Kepala Kantor Pertanahan karena jabatannya, mendaftar hapusnya Hak Tanggungan yang membebani Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang diubah menjadi Hak Milik, bersamaan dengan pendaftaran Hak Milik yang bersangkutan. 4. Untuk melindungi kepentingan kreditor / bank yang semula dijamin dengan Hak Tanggungan atas Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang menjadi hapus, sebelum perubahan hak didaftar, pemegang hak atas tanah dapat memberikan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (selanjutnya disebut dengan SKMHT) dengan objek Hak Milik yang diperolehnya sebagai perubahan dari Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai tersebut. 5. Setelah perubahan hak dilakukan, pemegang hak atas tanah dapat membuat Akta Pemberian Hak Tanggungan (selanjutnya disebut APHT) atas Hak Milik yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan hadir sendiri atau melalui SKMHT. Berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1998, saat hapusnya Hak Tanggungan adalah pada saat pendaftaran Hak Milik. Oleh karena itu, sebelum perubahan hak didaftar, pemegang hak atas tanah sebaiknya memberikan SKMHT dengan objek Hak Milik yang diperolehnya, karena setelah Hak Milik terdaftar, Hak Tanggungan tersebut
165
Sutan Remi Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 157-158
Universitas Sumatera Utara
105
menjadi hapus. Pada saat hapusnya Hak Tanggungan itu kreditor menjadi kreditor konkuren yang hanya dijamin dengan SKMHT. Namun, kemudian kreditor dapat membuat APHT berdasarkan SKMHT itu. Terhadap ketentuan Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1998 terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :166 1. Jangka waktu Surat Kuasa Memasang Hak Tanggungan (SKMHT). Berdasarkan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1998 jangka waktu SKMHT terbatas yaitu sebagaimana termuat dalam Pasal 15 ayat (4) dan ayat (5) UUHT. 2. Peringkat SKMHT. Tidak diatur mengenai peringkat apabila ada beberapa SKMHT. Akan tetapi, mengingat bahwa SKMHT dibuat untuk objek tanah Hak Milik yang bidang tanahnya adalah sama dengan bidang tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai sebelumnya dan utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan adalah sama dengan hutang yang dijamin sebelumnya dan kreditornya adalah tetap, peringkat Hak Tanggungan pada saat dibuat SKMHT, seyogianya adalah sesuai dengan peringkat yang termuat dalam sertipikat Hak Tanggungan yang semula membebani tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai. Kreditor pemegang SKMHT ini haruslah kreditor yang semula pemegang Hak Tanggungan, sebab ketentuan Peraturan Menteri 166
Ibid, hlm.158
Universitas Sumatera Utara
106
Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional ini dibuat untuk memberikan kepastian hukum bagi pemegang Hak Tanggungan yang tanahnya sedang dimohonkan perubahan hak atas tanah. 3. Atas perubahan hak, bagi kreditor perlu memperhatikan bahwa terdapat periode dimana kreditor tidak lagi menjadi kreditor preferen, yaitu sejak Hak Tanggungan hapus (pada saat Hak Milik terdaftar) sampai saat Hak Tanggungan terdaftar. Pada periode tersebut, kreditor hanya berkedudukan sebagai kreditor pemegang SKMHT. Mengingat bahwa APHT hanya dapat dibuat setelah Hak Milik terdaftar, periode tersebut memakan waktu sesuai dengan ketentuan lahirnya Hak Tanggungan, yaitu tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya. 4. Ketentuan ini hanya berlaku khusus untuk tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai untuk rumah tinggal yang sedang dibebani Hak Tanggungan.
Universitas Sumatera Utara