BAB II PEER GROUP SUPPORT (DUKUNGAN KELOMPOK SEBAYA) DAN RESILIENSI SISWA A. Peer Group Support (Dukungan Kelompok Sebaya) 1. Pengertian Peer Group Support (Dukungan Kelompok Sebaya) Selama masa remaja, pembentukan kelompok teman berdasarkan konteks perkembangan adalah normal. Kecenderungan membentuk kelompok seperti ini dimulai sejak dalam tahap kanak-kanak. Kelompok teman bermain, teman sekolah, pramuka merupakan contoh kecenderungan alami remaja untuk membentuk kemelekatan kelompok yang menyediakan suatu pelepasan sosial.1 Teman sebaya (peers) adalah anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Biasanya dalam lingkungan sekolah, remaja membentuk kelompok-kelompok yang biasa disebut persahabatan. Dalam persahabatan yang terjalin diantara remaja. Terdapat dukungan-dukungan sebagai tanda kepedulian terhadap satu sama lain.2 Dalam dunia psikologi, dukungan kelompok sebaya disebut peer group support. Mead dkk mendefinisikan peer group support sebagai suatu sistem pemberian dan penerimaan bantuan dengan rasa hormat, tanggung jawab bersama,
1
Kathryn dan David Geldard, Konseling Remaja: Pendekatan Proaktif Untuk Anak Muda, alih bahasa oleh Eka Adi Nugraha, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 71. 2 Santrock, Adolescene, Edisi Ke-6, alih bahasa Shinto B. Adelar dan Sherly Saragih (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 219.
36 36
37
dan kesepakatan bersama yaitu melalui dukungan, persahabatan, empati, saling berbagi, dan saling memberi bantuan.3 Disisi lain, solomon berpendapat bahwa peer group support diartikan sebagai dukungan sosial emosional, dukungan instrumental, dan saling berbagi dalam kondisi apapun untuk membawa perubahan sosial atau pribadi yang diinginkan. Jadi dapat disimpulkan, bahwa peer group support adalah jenis dukungan sosial yang menggabungkan informasi, penilaian (feedback) dan bantuan emosional. 4 2. Fungsi Peer Group Support (Dukungan Kelompok Sebaya) Dukungan kelompok sebaya yang terjadi dalam persahabatan, mempunyai beberapa fungsi, antara lain: a. Sebagai teman (companionship). Persahabatan akan memberikan kesempatan kepada remaja untuk menjadi seorang teman yang siap menyertai atau menemani dalam berbagai aktivitas bersama sepanjang waktu. b. Sebagai orang yang merangsang hal yang positif (positive stimulation). Ketika seorang sahabat sedang mengalami suatu kegagalan atau dalam suasana kesedihan, maka remaja dapat berperan sebagai pendorong (motivator) dan membantu memberi jalan keluar pemecahan masalah, sehingga dapat lepas dari kesedihan. Seorang sahabat sejati, akan dapat membangkitkan semangat untuk menghadapi permasalahannya dengan tabah dan dapat menyelesaikannya dengan berhasil.
3
Shery Mead, et.al., Peer Support A Theoretical Prespective, 2001, hlm.6. Phyllis Solomon, Peer Support/Peer Provided Services Underlying Processes, Benefits, and Critical Ingredients (Philadelphia: Psychiatric Rehabilitation Journal, 2004), hlm. 393. 4
38
c. Memberikan dukungan secara fisik (psysical support). Dengan persahabatan, seorang mau mengorbankan waktu, tenaga dan bantuan materil-moril kepada sahabatnya. Bahkan ia akan hadir secara fisik ketika sahabatnya sedang mengalami penderitaan/kesedihan. Dengan kehadiran fisik dari sahabatnya, maka seseorang dapat merasakan perhatian dan pertolongan secara tulus. d. Memberi
dukungan
ego
(ego
support).
Persahabatan
menyediakan
pengharapan, yaitu adanya dukungan yang membangkitkan semangat berani, menumbuhkan perasaan diri berharga (dihargai), merasa diri menarik perhatian orang lain (attractive). e. Sebagai pembanding sosial (sosial comparison). Persahabatan memberi kesempatan dan informasi penting tentang pribadi, karakter, sifat-sifat, minat bakat dan kemampuan yang dimiliki oleh orang lain. Dengan mengetahui hal itu, individu dapat merefleksikan ke dalam diri-sendiri sehingga ia dapat belajar baik secara langsung maupun tidak langsung tentang orang itu, untuk meningkatkan kemampuannya agar menjadi lebih baik. f. Memberikan suasana keakraban (intimacy/affection). Suasana kehangatan, keakraban, kedekatan emosional, kepercayaan, penerimaan diri individu secara tulus, nampaknya hanya ditemukan dalam hubungan persahabatan. Hubungan yang bersifat teman, rupanya tidak mampu menyediakan hal itu. Oleh karena itu, dalam suasana persahabatan, seorang individu tidak akan merasa malu untuk mengungkapkan berbagai perasaan, pengalaman, pemikiran, maupun
39
harapan-harapannya. Apakah yang dialami itu bersifat positif atau negatif? Maka pihak lain akan mengevaluasi dan membantu agar menjadi lebih baik.5 3. Ciri-ciri Peer Group Support (Dukungan Kelompok Sebaya) Mead dan MacNeil menjelaskan ciri-ciri dukungan kelompok sebaya (peer group) sebagai berikut:6 a. Dukungan peer group tidak selalu menganggap orientasi masalah. Terlepas dari kenyataan bahwa orang mungkin berkumpul hanya berbagi pengalaman tentang masalah kesehatan psikologis, percakapan tidak harus fokus pada pengalaman itu. Ada kepercayaan yang lebih dan keterbukaan dengan orang lain. b. Penilaian dan evaluasi bukan bagian dari hubungan. Sebaliknya, orang berusaha
untuk
tanggung
jawab
bersama
dan
komunikasi
yang
memungkinkan mereka untuk mengekspresikan kebutuhan mereka satu sama lain tanpa ancaman atau paksaan. c. Dukungan peer group mengasumsikan timbal balik penuh. Tidak ada peran pembantu statis. Meskipun ini tidak mengherankan, timbal balik adalah kunci untuk membangun hubungan yang alami. d. Dukungan peer group mengasumsikan evolusi sistemik sebagai lawan pemulihan individu dari masalah atau penyakit tertentu.
5
Agoes Dariyo, Psikologi Perkembangan Remaja (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hlm.
102-103. 6
3.
Sherry Mead and Cheryl MacNeil, ( Peer Support: A Systemic Approach, 2005), hlm. 2-
40
e. Terakhir, dukungan peer group membutuhkan orang-orang yang memikirkan kembali arti keselamatan. Tanggung jawab dari dukungan peer group membutuhkan orang untuk mengambil makna relasional dari keselamatan. 4. Aspek-aspek Peer Group Support (Dukungan Kelompok Sebaya) Menurut Solomon, aspek-aspek peer group support terdiri dari:7 a. Dukungan emosional. Aspek ini mencakup penawaran harga diri, lampiran dan kepastian. b. Dukungan instrumental. Aspek ini mencakup penawaran bahan barang dan jasa. c. Dukungan informasi. Aspek ini mencakup penawaran saran, bimbingan, dan umpan balik. 5. Faktor yang Mempengaruhi Peer Group Support (Dukungan Kelompok Sebaya) Menurut Colarossi dan Eccles, menjelaskan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi peer group antara lain:8 a. Laporan anak dari dukungan mereka sendiri b. Laporan anak dari dukungan orang tua mereka sendiri c. Depresi dan harga diri Selain itu, berbagai alasan yang menjadikan remaja membuat kelompokkelompok (persahabatan) didasari oleh beberapa hal, antara lain:9
7
Phyllis Solomon, op.cit., hlm 397-398. Lissa G. Colarossi and Jacquelynne S. Eccles, A Prospective Study of Adolescents‟ Peer Support”: Gender Differences and The Influence of Parental Relationship (Journal of Youth Adolescence, Vol. 29, No. 6, 2000), hlm. 664-665. 8
41
a. Proksimitas, remaja cenderung bergabung dengan remaja lain yang berdekatan. Misalnya, para siswa yang rumahnya masih bertetangga atau berasal dari sekolah yang sama sebelumnya. b. Kesamaan sikap, minat atau keyakinan. Para remaja yang mempunyai minat atau keyakinan yang sama cenderung berkelompok. c. Saling tergantung untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Adanya tujuan bersama menyebabkan beberapa remaja bergabung dalam satu kelompok. d. Dukungan timbal balik yang positif (mutual positive support) dan kenikmatan berafiliasi. Kelompok dapat memberi dukungan yang positif bagi remaja serta membuat remaja merasa memiliki afiliasi. Hal ini dapat menghindarkan remaja dari kesepian. e. Dukungan emosional. Kelompok juga dapat memberi dukungan emosional kepada anggotanya. f. Identitas sosial. Keanggotaan remaja dalam kelompok membuat remaja memiliki identitas. 6. Pentingnya Persahabatan Bagi Remaja Istilah adolescene atau remaja berasal dari kata latin adolescere (kata bendanya adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa”. Secara psikologis, masa remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa, usia di mana anak tidak lagi merasa di
9
Sarlito W. Sarmono dan Eko A. Meinarno, Psikologi Sosial (Jakarta: Salemba Humanika, 2009), hlm. 170.
42
bawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama.10 Di Indonesia istilah pubertas atau adolescensia dipakai dalam arti yang umum, sesuai keahlian dalam bidang masing-masing. Dalam pembahasan ini akan dipakai istilah remaja. Masa remaja merupakan masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa.11 Salzman dalam Syamsu Yusuf, mengemukakan bahwa remaja merupakan masa perkembangan sikap tergantung (dependence) terhadap orang tua kearah kemandirian (independence), minat-minat seksual, perenungan diri, perhatian terhadap nilai-nilai estetika, dan isu-isu moral.12 Erikson mengemukakan bahwa istilah adolesensia merupakan masa di mana terbentuk suatu perasaan baru mengenai identitas. Identitas mencakup cara hidup pribadi yang dialami sendiri dan sulit dikenal oleh orang lain. Secara hakiki ia tetap sama meskipun telah mengalami berbagai macam perubahan.13 Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis. Yang mana periode ini merupakan masa yang sangat penting dalam kehidupan seseorang khususnya dalam pembentukan kepribadian individu.14
10
Hurlock, Development Psycology A life-Span Approach, Edisi Ke-6, alih bahasa Istiwidayanti dan Soedjarwo (Jakarta: Erlangga), hlm. 206. 11 Elfi Yuliani Rochman, Psikologi Perkembangan (Yogyakarta: Teras, 2005), hlm. 177. 12 Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak & Remaja (Bandung: Rosdakarya, 2001), hlm. 184. 13 Elfi Yuliani Rochman, op.cit., hlm. 178. 14 Hendriati Agustiani, Psikologi Perkembangan (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm 28.
43
Batasan usia remaja yang umum digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun. Rentan waktu usia remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu: 12-15 tahun = masa remaja awal, 15-18 tahun = masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun = masa remaja akhir.15 Masa remaja awal, merupakan transisi keluar dari masa kanak-kanak, menawarkan peluang untuk tumbuh bukan hanya dalam dimensi fisik, tetapi juga dalam kompetensi kognitif dan sosial. Otonomi, harga diri dan intimasi. Periode ini juga amat berisiko. Sebagaian anak muda sulit menangani perubahan yang terjadi dalam satu waktu dan mungkin membutuhkan bantuan untuk menghadapi bahaya di sepanjang jalan.16 Tahap remaja melibatkan suatu proses yang menjangkau suatu periode penting dalam kehidupan seseorang. Masa remaja menghadirkan banyak tantangan, karena banyaknya perubahan yang harus dihadapi mulai dari perubahan fisik, psikologis, biologis, dan sosial. Proses-proses perubahan penting akan terjadi dalam diri remaja jika perubahan-perubahan ini mampu dihadapi secara adaptif dan dengan sukses.17 Masa remaja dianggap sebagai usia yang menimbulkan ketakutan dan berbagai masalah, banyak anggapan populer tentang remaja yang mempunyai arti yang bernilai, namun sayangnya, banyak juga anggapan negatif mengenai remaja. Stereotip remaja yang menyatakan bahwa remaja adalah anak-anak yang tidak rapih, tidak dapat dipercaya, dan cenderung merusak, juga berperilaku merusak.18
15
Desmita, Psikologi Perkembangan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 190. Diane E. Papalia, Human Development (Psikologi Perkembangan), Edisi Kesembilan, Cet. Ke-1, alih bahasa oleh A. K. Anwar, ( Jakarta: Kencana, 2008), hlm. 535. 17 Kathryn dan David Geldard, op.cit., hlm. 6. 18 Hurlock, op.cit., hlm. 208. 16
44
Terlebih remaja masa kini lebih banyak mengahadapi tuntutan dan harapan, demikian juga bahaya dan godaan, yang lebih kompleks ketimbang yang dihadapi remaja generasi lalu.19 Dalam menghadapi badai perkembangan, tidak sedikit remaja yang berhasil mengatasi berbagai rintangan, hal ini bertentangan dengan stereotip remaja yang dianggap sebagai orang yang sangat tertekan dan tidak kompeten. Mereka menjadikan berbagai rintangan dan kegagalan sebagai peluang dan tantangan utnuk bangkit meraih keberhasilan. Dalam upaya untuk saling menguatkan, remaja membutuhkan dukungan serta bantuan orang lain, umumnya mereka membentuk kelompok sebaya untuk saling berbagi bersama, dan pada akhirnya berhasil melaksanakan tugas-tugas perkembangan secara wajar. Pentingnya relasi teman sebaya dikalangan remaja membuat mereka membentuk kelompok sebaya. Teman sebaya (peers) merupakan anak-anak atau remaja dengan tingkat usia atau tingkat kedewasaan yang sama. Interaksi teman sebaya dengan usia yang sama memainkan peran yang unik di kalangan remaja. Dari kelompok teman sebaya, remaja menerima umpan balik mengenai kemampuan mereka. Remaja belajar tentang apakah apa yang mereka lakukan lebih baik, sama baiknya, atau bahkan lebih buruk dari apa yang dilakukan remaja lain. Pengaruh teman sebaya dapat menjadi positif dan negatif.20 Jean Piaget dan Sullivan menyatakan melalui interaksi teman sebayalah anak-anak dan remaja belajar mengenai pola hubungan yang timbal balik dan setara. Anak-anak menggali prinsip-prinsip kejujuran dan keadilan dengan cara 19 20
Santrock, op.cit., hlm. 17. Ibid., hlm. 219-220.
45
mengatasi ketidaksetujuan dengan teman sebaya. Mereka juga belajar untuk mengamati dengan teliti minat dan pandangan teman sebaya dengan tujuan untuk memudahkan proses penyatuan dirinya ke dalam aktivitas teman sebaya yang sedang berlangsung. Sullivan menambahkan alasan bahwa remaja belajar menjadi teman yang memiliki kemampuan dan sensitif terhadap hubungan yang lebih akrab dengan menciptakan persahabatan yang lebih dekat dengan teman sebaya yang dipilih.21 Persahabatan merupakan hubungan antar individu yang ditandai dengan keakraban, saling percaya, menerima satu dengan yang lain, mau berbagi perasaan, pemikiran dan pengalaman, serta kadang-kadang melakukan aktivitas bersama. Dengan persahabatan, seorang remaja akan memperoleh teman untuk bergaul, sehingga akan dapat mengembangkan ketrampilan sosial, konsep diri, harga diri, dan akan memperoleh dukungan emosional bila mengahadapi suatu masalah.22 Intensitas dan nilai penting dalam persahabatan, juga waktu yang dihabiskan bersama teman, mungkin lebih besar pada masa remaja ketimbang waktu lain dalam rentang kehidupan. Baik pertemanan maupun persahabatan menjadi lebih resiprokal. Remaja awal mulai lebih menyandarkan dukungan dan intimasi kepada teman ketimbang orang tua, dan mereka berbagi lebih banyak rahasia kepada sebayanya.23
21
Ibid., hlm. 220. Agoes Dariyo, op.cit., hlm. 101. 23 Diane E. Papalia, op.cit., hlm. 620. 22
46
Seorang sahabat sejati akan memiliki kedekatan secara emosional (emotional attachment) dengan dengan individu yang dipercayainya. Karena dipercaya, maka seorang sahabat akan mau menjadi tempat pencurahan perasaan baik suka maupun duka dari sahabatnya, demikian pula sebaliknya. Hubungan akrab tersebut bukan sekedar basa-basi yang nampak dari sisi luar saja, tetapi keakraban tersebut merupakan cerminan dari sifat ketulusan (kemurnian) hati yang paling dalam.24 Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hubungan persahabatan sangatlah penting di kalangan remaja guna mendapat dukungan untuk bertahan terhadap stres dan mampu menghadapi berbagai permasalahan secara positif. Dan salah satu faktor faktor yang berperan terhadap keberhasilan individu atau remaja dalam mengahadapi berbagai kesulitan adalah daya lentur individu atau resilience. Hubungan teman sebaya atau persahabatan memberikan peran dan arti penting terhadap resiliensi individu. Untuk membangun resiliensi siswa di sekolah adalah
dengan
memperkuat
hubungan-hubungan
(relationship).
Meliputi
peningkatan hubungan diantara individu dan pribadi prososial. Bila siswa dapat bergaul dengan baik, biasanya mereka juga menunjukkan perilaku dan sikap yang positif dan saling membantu. Mereka juga saling memberikan dorongan dalam belajar, saling memberikan saran, dan saling menolong. Selain itu hubungan yang baik akan mendorong perilaku siswa yang positif seperti kerja sama, tolong menolong dan saling menghormati.
24
25
Sehingga bagi siswa yang terpuruk akan
Agoes Dariyo, op.cit., hlm. 102. Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010), hlm 210. 25
47
merasa terbantu dengan adanya dukungan kelompok teman sebaya dan siswa tersebut mampu kembali untuk menjalani aktivitas sehari-harinya secara sehat. Dalam konteks Islam, Rosulullah memberi nasehat kepada umatnya agar pandai memilih teman, mengingat hubungan pertemanan memiliki dampak positif dan negatif terhadap perilaku seseorang. Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Musa al-Asy’ari bahwasanya Rasulullah bersabda: 26 “ Perumpamaan teman yang baik dan teman yang jelek adalah seperti orang yang membawa (penjual) minyak misik (minyak wangi) dan peniup ubub. Seseorang yang membawa misik adakalanya ia memberi kamu misik, adakalanya kamu memberi misik dari dia, dan adakalanya kamu bisa mencium bau wangi misik. Adapun peniup ubub, maka adakalanya ia menyebabkan baju kamu terbakar atau adakalanya kamu mencium bau tidak sedap.” Berdasarkan hadis di atas, hendaklah remaja muslim membangun persahabatan berdasarkan petunjuk Nabi Muhammad saw. Karena dengan memilih teman yang baik, dapat melindungi dari hal-hal yang buruk dan perbuatan yang menyimpang. Sehingga persahabatan yang dibina berlandaskan agama dapat mengarahkan remaja kearah yang baik dan mempunyai dampak yang positif. 27 B. Resiliensi 1. Pengertian Resiliensi Secara bahasa, resiliensi merupakan istilah Bahasa Inggris dari kata resilience yang berarti daya pegas, daya lentur atau kegembiraan. Istilah resilien diformulasikan pertama kali oleh Block (dalam Stanley) dalam nama egoresilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan 26
Sayyid Muhammad Az-Za’balawi, Pendidikan Remaja antara Islam dan Ilmu Jiwa, (edisi terjemahan oleh Abdul Hayyi al-Kattani, dkk) (Jakarta: Gema Insani, 2007), hlm. 456. 27 Ibid., hlm. 456.
48
kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal.28 Istilah resiliensi diperkenalkan oleh Redl pada tahun 1969 dan digunakan untuk menggambarkan bagian positif dari perbedaan individual dalam respons seseorang terhadap stres dan keadaan yang merugikan lainnya.29 Di sisi lain, Reivich dan Shatte (dalam Sri Mulyani) mendefinisikan bahwa resiliensi merupakan kemampuan individu untuk melakukan respon dengan cara yang sehat dan produktif ketika berhadapan dengan adversity atau trauma, di mana hal tersebut sangat penting untuk mengendalikan tekanan hidup sehari-hari.30 Grotberg (dalam Desmita) secara sederhana mengartikan resiliensi sebagai kapasitas yang bersifat universal, dan dengan kapasitas tersebut, individu, kelompok ataupun komunitas mampu mencegah, meminimalisir, ataupun melawan pengaruh yang bisa merusak saat mereka mengalami musibah atau kemalangan.31 Schoon mengutip beberapa ahli dan menyimpulkan bahwa resiliensi merupakan proses dinamis di mana individu menunjukkan fungsi adaptif dalam mengahadapi adversity yang berperan penting bagi dirinya. Sedangkan Bernard
28
Stanley J. Huey and John R. Weisz, “Ego Control, Ego Resiliency, and the Five-Factor Model as Predictors of Behavioral and Emotional Problems in Clinic-Referred Children and Adolescents” (Los Angeles: Journal of Abnormal Psychology University of California, No. 3, Vol. 106, 1997), hlm. 404. 29 Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, op.cit., hlm. 199. 30 Sri Mulyani Naution, Resiliensi (Daya Pegas Menghadapi Trauma Kehidupan) (Medan: USU Press, 2011), hlm. 3. 31 Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, op.cit., hlm. 200.
49
mendefinisikan resiliensi sebagai kemampuan untuk bangkit dengan sukses walaupun mengalami situasi penuh risiko yang tergolong parah.32 Lebih jauh Reivich dan Shatte mengatakan bahwa resiliensi merupakan mind-set yang memungkinkan manusia mencari berbagai pengalaman dan memandang hidupnya sebagai suatu kegiatan yang sedang berjalan. Resiliensi menciptakan dan mempertahankan sikap positif dari si penjelajah. Resiliensi memberikan rasa percaya diri untuk mengambil tanggungjawab baru dalam pekerjaan, tidak malu untuk mendekati seseorang yang ingin dikenal, mencari pengalaman yang akan memberi tantangan untuk mempelajari tentang diri sendiri dan berhubungan lebih dalm dengan orang lain. Aplikasi resiliensi ini dinamakan reaching out. Dengan reaching out kehidupan menjadi lebih kaya, hubungan dengan seseorang menjadi lebih dalam dan dunia seakan lebih luas.33 Menurut Wolins (dalam Anne Dell), menjelaskan bahwa resiliensi adalah kemampuan luar biasa yang dimiliki individu dalam menghadapi kesulitan, untuk bangkit dari kesulitan yang menjadi fondasi dari semua karakter positif dalam membangun kekuatan emosional dan psikologis seseorang secara sehat yaitu individu yang memiliki initiative, independent, insight, relationship, creativitas, humoris, dan morality.34 Sedangkan dalam Lazarus, resiliensi didefinisikan sebagai kemampuan untuk mengatasi hambatan dan stres dengan menggunakan strategi coping adaptif
32
Sri Mulyani, op.cit., hlm. 2. Ibid., hlm. 4. 34 Collen Anne Dell, “Resiliency and Holistic In Halant Abuse Treatment”,(Canada: Journal of Aboriginal Health, Maret, 2005), hlm. 5- 6. 33
50
untuk mempertahankan tingkat yang efektif dari penyesuaian diri dan fungsi.35 Jadi, dapat disimpulkan bahwa resiliensi merupakan kapasitas individual untuk bertahan dalam situasi yang stressfull, namun tidak berarti bahwa resiliensi merupakan suatu sifat (traits), melainkan lebih merupakan suatu proses (process). Dari beberapa definisi yang telah dipaparkan para ahli tersebut, dapat dipahami bahwa resiliensi adalah kemampuan atau kapasitas insani yang dimiliki seseorang,
kelompok
atau
masyarakat
yang
memungkinkannya
untuk
menghadapi, mencegah, meminimalkan dan bahkan menghilangkan dampakdampak yang merugikan dari kondisi kehidupan yang menyengsarakan menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Sehingga resilien akan membuat seseorang berhasil menyesuaikan diri dalam berhadapan dengan kondisi yang tidak menyenangkan, serta dapat mengembangkan kompetensi sosial, akademis dan vikasional sekalipun berada di tengah kondisi stress hebat yang inheren dalam kehidupan dunia dewasa ini.36 Seperti yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya bahwa Islam juga mengajarkan agar umatnya mempuyai kemampuan resiliensi. Dalam Islam, resiliensi dikenal dengan istilah sikap tawakal. Seperti yang dijelaskan dalam Qs. al-Mu‟minun ayat 286, bahwa sikap tawakal saat mendapatkan cobaan merupakan kondisi psikis yang harus dikembangkan oleh setiap individu yang pada aplikasinya tingkat resiliensi seseorang menjadi lebih baik, sehingga ia akan
35
Amber Lazarus, “Relationships Among Indicators of Child and Family Resilience and Adjustment”, (America: The Emory Center for Myth and Ritual in American Life, No. 36, Maret, 2004), hlm. 5. 36
Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, op.cit., hlm. 201.
51
mampu bertahan saat terjadi musibah dalam hidupnya. Hal ini karena adanya kesadaran bahwa Tuhan tidak menguji hamba-Nya kecuali sesuai dengan kemampuannya. Tuhan mencintai orang-orang yang sabar (al-Baqarah: 146), yaitu orang-orang yang senantiasa teguh dalam memegang komitmen religius (ketakwaan) dan melakukan kontrol dan evaluasi diri, serta aksi positif setiap saat.37 Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa resiliensi adalah adaptasi positif dalam menghadapi kesulitan dan kemampuan luar biasa dari individu untuk menahan kesulitan dan bangkit dari kesulitan yang dihadapi seseorang secara sehat. 2. Faktor-faktor Resiliensi Grothberg menyatakan bahwa faktor risiko dalam kehidupan dapat berasal dari berbagai sumber, yaitu sumber eksternal, dalam keluarga dan dari dalam diri sendiri. Sementara menurut Schoon ada beberapa faktor risiko yang dialami individu sehinggan mereka diharapkan untuk mampu bangkit dari berbagai risiko tersebut dan memiliki resiliensi.38 Berbagai faktor tersebut antara lain sebagai berikut:39 a. Anggota dari kelompok berisiko tinggi, misalnya anak-anak dari keluarga yang serba kekurangan dalam kebutuhan materialnya serta hidup dalam kemelaratan. b. Tumbuh di lingkungan yang penuh kekerasan. 37
Dimas Indianto, “Visi Profetik Puisi Yang Karya Abdul Wachid B.S” (Purwokerto: Ibda‟ Jurnal Kebudayaan Islam, Volume 11, Nomor 2, Juli-Desember, 2013), hlm. 163. 38 Sri Mulyani, op.cit., hlm. 7. 39 Ibid.
52
c. Terlahir memiliki cacat fisik, trauma fisik atau penyakit. d. Mengalami kondisi penuh tekanan dalam jangka waktu yang lama, misalnya mengalami disfungsi dalam keluarga atau anak-anak dari orang tua yang memiliki gangguan mental. e. Menderita trauma, misalnya kekerasan fisik atau seksual, atau berada dalam situasi perang. Hasil penelitian Reivich dan Shatte menunjukkan bahwa kebanyakan orang menganggap dirinya cukup memiliki resiliensi, padahal sebenarnya kebanyakan orang tidak siap secara emosional ataupun psikologis untuk menghadapi penderitaan. Setiap orang berisiko untuk putus asa dan merasa tidak berdaya, namun demikian, walaupun seseorang bisa saja memiliki resiliensi dalam area spesifik dalam kehidupannya, tetapi mungkin masih membutuhkan pertolongan untuk mengatasi penderitaan pada area kehidupan yang lain.40 Manusia membutuhkan resiliensi agar mampu bangkit dari adversity. Bila biasanya adversity dapat menyebabkan depresi atau kecemasan, dengan kemampuan resiliensi seseorang akan dapat mengambil makna dari kegagalan dan mencoba lebih baik dari yang pernah ia lakukan, sehingga menurunkan risiko depresi atau kecemasan. Kunci resiliensi adalah kemampuan mengenali pikiran sendiri dan struktur keyakinan, memanfaatkan kekuatan untuk meningkatkan keakuratan dan fleksibilitas berpikir sehingga mampu mengatur konsekuensi emosional dan
40
Ibid., hlm. 8.
53
behavioral secara lebih baik. Kemampuan ini dapat diukur, diajarkan serta ditingkatkan.41 Reivich dan Shatte mengatakan bahwa ada tujuh keterampilan yang dibutuhkan seseorang agar mampu menilai diri sendiri dan lingkungan secara akurat. Ketrampilan ini dapat dipelajari serta dapat meningkatkan tujuh faktor dalam kemampuan resiliensi:42 a) Learning your ABCS/Pelajari ABC Anda Individu harus
“mendengarkan” pikirannya, mampu mengidentifikasi apa
yang akan ia katakan pada dirinya sendiri ketika berhadapan dengan sesuatu permasalahan, dan ia juga harus memahami bagaimana pemikirannya mempengaruhi perasaan dan perilaku dirinya. b) Avoiding thinking traps/Hindari hambatan dalam berpikir Individu harus mengidentifikasi kebiasaannya dalam merespon permasalahan dan bagaimana mengoreksinya. c) Detecting iceberg/Deteksi gunung es Individu harus mampu mengidentifikasi deep belief yang ia miliki dan menentukan kapan hal tersebut membantu dan kapan hal tersebut menjerumuskannya. d) Challenging beliefs/Uji keyakinan Individu harus mempelajari bagaimana menguji accuracy of beliefs yang dimiliki mengenai permasalahan yang dihadapi dan bagaimana mendapatkan solusi yang tepat. 41
Ibid., hlm. 13. Reivich & Shatte, The Resilience Factor: 7 Keys to Finding Your Inner Strength and Overcoming Life‟s Hurdles. (New York: Broadway Books, 2002), chapter 2. 42
54
e) Putting in perspective/ Tempatkan pada perspektif yang tepat Individu mampu menghentikan cara berpikir “what-if” yang ia miliki dan lebih mempersiapkan diri untuk menghadapi permasalahan yang terjadi. f) Calming and focusing/ Tenang dan fokus Individu mampu untuk
tetap tenang dan fokus pada permasalahan yang
dihadapi. g) Real-time Resilience/ Resiliensi tepat waktu Kemampuan diri untuk bisa dengan cepat mengubah counter productive thoughts menjadi resilience thought. Ketujuh keterampilan di atas berhubungan erat dengan faktor-faktor dalam kemammpuan resiliensi, sebab dalam menggunakan ketrampilan tertentu maka faktor-faktor
resiliensi
akan
dapat
ditingkatkan.
Reivich
dan
Shatte
mengidentifikasikan tujuh faktor resiliensi. Ketujuh faktor tersebut adalah:43 a. Pengendalian Emosi (Emotion Regulation) Pengendalian emosi adalah kemampuan kemampuan individu untuk tetap tenang menghadapi tekanan. Individu yang resilien mampu menggunakan seperangkat keterampilan yang dikembangkan dengan baik untuk membantu mengendalikan emosi, perhatian dan tingkah lakunya. Individu yang kesulitan mengendalikan emosinya, sering kali melampiaskan emosinya secara emosional kepada orang lain, dan karena itu, orang lain sulit bekerja sama dengannya. Orang yang demikian memiliki kesulitan dalam membangun dan mempertahankan hubungan interpersonal dengan orang lain.
43
Sri Mulyani, op.cit., hlm. 18-22.
55
Tidak semua emosi perlu dikontrol atau ditekan. Tidak semua rasa marah, kecewa, sedih, cemas dan rasa bersalah harus dihilangkan. Pengekspresian emosi (positif atau negatif) secara tepat merupakan hal yang sehat dan konstruktif, juga merupakan bagian dari resiliensi. Ketrampilan satu dan enam akan bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan ini. dengan mempelajari ABCS-nya, seseorang akan mampu mengenali keyakinan yang memproduksi emosi yang tidak membangun. Apabila individu mampu untuk tetap tenang dan fokus maka ia akan mendapatkan efek relaksasi sehingga ia mampu mengontrol emosinya. b. Pengendalian Dorongan (Impulse control) Pengendalian dorongan adalah kemampuan individu untuk mengatur dan mengendalikan dorongan-dorongan yang muncul dalam dirinya. Termasuk dalam kemampuan ini adalah kemampuan untuk menunda suatu keinginan. Regulasi emosi dan pengendalian dorongan berhubungan erat. Kuatnya kemampuan seseorang dalam mengontrol dorongan menunjukkan kecenderungan seseorang untuk memiliki kemampuan tinggi dalam regulasi emosi. Orang yang mampu mengontrol dorongan dengan baik secara sifnifikan akan lebih sukses secara sosial maupun akademis. c. Optimisme Optimisme adalah suatu keyakinan bahwa segala sesuatu dapat berubah menjadi lebih baik, dan pandangan masa depan sebagai masa yang relatif cerah. Individu yang resilien menaruh harapan terhadap hari esok dan yakin bahwa dirinya dapat mengupayakan arah hidupnya menjadi lebih baik. Optimisme
56
menyiratkan bahwa seseorang memiliki keyakinan akan kemampuannya mengatasi adversity, yang mungkin muncul di masa depan. Hal ini merefleksikan rasa mampu, keyakinan akan kemampuan memecahkan masalah sendiri dan memimpin diri sendiri. Optimisme dan self efficacy sering berjalan beriringan. Namun demikian, optimisme yang tidak realistis justru akan membuat seseorang mengabaikan ancaman sesungguhnya yang pada dasarnya justru perlu dipersiapkan. Jadi kunci resiliensi dan kesuksesan adalah memiliki optimisme yang realistis yang bergandengan dengan efikasi diri. d. Causal analisys Causal anlisys menunjukkan bahwa seseorang memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi penyebab masalahnya secara akurat. Jika seseorang mampu mengidentifikasi penyebab masalah secara akurat, maka ia tidak akan melakukan kesalahan yang sama terus menerus. Menurut Martin E.P. Seligman, learned helplessness merupakan kondisi yang dihasilkan oleh persepsi bahwa manusia tidak dapat mengontrol lingkungannya sendiri. Manusia tidak dapat melakukan sesuatu
untuk
mencampuri situasi/ kejadian yang ia alami. Ada dua model penjelasan tentang bagaimana menjelaskan kepada diri sendiri akan minimnya kemampuan dalam mengontrol lingkungan sendiri yang diistilahkan dengan „explanatory style‟: 1) Optimistic explanatory stle Gaya ini mencegah helplessness. Individu dengan gaya ini cenderung lebih sehat dibanding individu dengan pessimistic explanatory style.
57
2) Pessimistic explanatory style Gaya ini menyebarkan helplessness pada seluruh area kehidupan. Orang yang pesimis meyakini bahwa tindakan mereka hanya memiliki sedikit konsekuensi. Mereka kurang bersedia mencoba mencegah penyakit dengan mengubah perilakunya. Gaya ini membawa individu pada penyakit fisik dan depresi. Orang yang pesimis membuat penjelasan yang bersifat personal, permanaen dan meresap pada diri sendiri tentang berbagai kejadian negatif. Dengan demikian, helplessness mengubah karakter dari singkat dan terlokalisir menjadai tahan lama dan tergeneralisasi. Explanatory style memainkan peran penting dalam resiliensi. Sangatlah mudah untuk dilihat bagaimana explanatory style mempengaruhi causal analisys. Orang –orang yang selalu menghayati bahwa penyebab masalahnya adalah orang lain, tidak akan dapat menemukan cara mengubah situasi. Mereka akan merasa helpless dan hopeless (tak berdaya dan tak punya harapan). Untuk meningkatkan ketrampilan causal analisys. e. Empati Empati menunjukkan bagaimana seseorang mampu membaca sinyal-sinyal dari orang lain mengenai kondisi psikologis dan emosional mereka, melalui isyarat nonverbal, untuk kemudian menentukan apa yang dipikirkan dan dirasakan orang lain. Empati sangat berperan dalam hubungan sosial dimana seseorang ingin dimengerti dan dihargai. Seseorang yang rendah empatinya, walaupun memiliki tujuan yang baik, akan cenderung mengulangi pola perilaku yang tidak resilien. Mereka dikenal memaksakan emosinya dan keinginan orang lain.
58
LearningYour ABCs dan Detecting Iceberg dapat digunakan untuk memahami apa yang mengarahkan jalan seseorang melintasi dunia. f. Self Efficacy Self efficacy menggambarkan perasaan seseorang tentang seberapa efektifnya ia berfungsi di dunia ini. hal itu menggambarkan keyakinan bahwa kita dapat memecahkan masalah, kita dapat mengalami dan memiliki keberuntungan dan kemampuan untuk sukses. Mereka yang tidak yakin tentang kemampuannya akan mudah tersesat. g. Reaching out Resiliensi bukan sekedar kemampuan mencapai aspek positif dalam hidup. Resiliensi merupakan sumber daya untuk mampu keluar dari kondisi sulit (reaching out) merupakan kemampuan seseorang untuk bisa keluar dari “zona aman” yang dimilikinya. Individu-individu yang memiliki kemampuan reachingout tidak menetapkan batas yang kaku terhadap kemampuan-kemampuan yang mereka miliki. Mereka tidak terperangkap dalam suatu rutinitas, mereka memiliki rasa ingin tahu dan ingin mencoba hal-hal baru, dan mereka mampu untuk menjalin hubungan dengan orang-orang baru dalam lingkungan kehidupan mereka. 3. Karakteristik Individu yang Resilien Seperti halnya dalam memberikan definisi, para ahli juga berbeda pendapat dalam merumuskan ciri-ciri yang dapat menggambarkan karakteristik
59
individu yang resilien. Benard misalnya, individu yang resilien biasanya memiliki empat sifat-sifat umum, yaitu:44 a. Sosial competence (Kompetensi sosial): kemampuan untuk memunculkan respons yang positif dari orang lain, dalam artian mengadakan hubunganhubungan yang positif dengan orang dewasa dan teman sebaya. b. Problem solving skills (Ketrampilan pemecahan masalah): kemampuan untuk berpikir secara abstrak, reflektif dan fleksibel. Serta dapat mencoba mencari solusi dengan meminta bantuan orang lain. c. Autonomy (Otonomi): suatu kesadaran tentang identitas diri sendiri dan kemampuan
untuk
bertindak
secara
independen
serta
melakukan
pengontrolan terhadap lingkungan. d. A sense of purpose and future (Kesadaran akan tujuan dan masa depan): suatu kesadaran akn tujuan-tujuan, aspirasi pendidikan, ketekunan, pengharapan dan kesadaran akan suatu masa depan yang cerah. Sementara itu Wollins mengajukan tujuh karakteristik internal sebagai tipe individu yang resilien, yaitu:45 a. Morality (moralitas), yang ditunjukkan dengan pertimbangan seseorang tentang baik dan buruk, mendahulukan kepentingan orang lain dan bertindak dengan integras. b. Humour (humor), yang terlihat dari kemampuan seseorang menunjukkan rasa humor di tengah situasi yang menegangkan atau dapat mencairkan suasana.
44
Bonie Benard, “Fostering Resiliency in Kids: Protective Factors in the Family, School, and Community”, (Journal of Western Regional Center Drug-Free Schools and Communities), hlm. 2-4. 45 Collen Anne Dell, op.cit., hlm. 3.
60
c. Creativity (kreatif), yang ditunjukkan melalui permainan-permainan kreatif dan pengungkapan diri sebagai kelangsungan hidup. d. Initiative (inisiatif), yang terlihat dari upaya individu melakukan eksplorasi terhadap lingkungan dan kemampuan individual untuk mengambil peran. e. Relationship (hubungan), yang terlihat dari upaya individu untuk menjalin hubungan dengan orang lain. f. Independence (independen), yang terlihat dari kemampuan individu menghindar atau menjauhkan diri dari keadaan yang tidak menyenangkan. g. Insight (berwawasan), yang terlihat dari kesadaran kritis individu terhadap kesalahan atau penyimpangan yang terjadi dalam lingkungannya atau bagi orang dewasa ditunjukkan dengan perkembangan persepsi tentang apa yang salah dan mengapa ia salah. Sedangkan Henderson dan Milstein (dalam Desmita), menyebutkan 12 karakteristik internal resiliensi, yaitu:46 a. Kesediaan diri untuk melayani orang lain. b. Menggunakan ketrampilan-ketrampilan hidup, yang mencakup ketrampilan mengambil keputusan dengan baik, tegas, ketrampilan mengontrol impulsimpuls dan problem solving. c. Sosiabilitas, kemampuan untuk menjadi seorang teman, atau kemampuan untuk membentuk hubungan-hubungan yang positif. d. Memiliki perasaan humor. e. Lokus kontrol internal.
46
Desmita, Psikologi Perkembangan Peserta Didik, op.cit., hlm. 203.
61
f. Otonomi, independen g. Memiliki pandangan yang positif terhadap masa depan. h. Fleksibelitas. i. Memiliki kapasitas untuk terus belajar. j. Motivasi diri. k. Kompetensi personal. l. Memiliki harga diri dan percaya diri. Kemudian Grotberg menggambarkan karakteristik dan sifat-sifat individu yang resilien ke dalam tiga kategori, Untuk kekuatan individu, dalam diri pribadi digunakan istilah “I Am”, untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya, digunakan istilah “I Have”, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah “I Can”.47 a. I Am Faktor I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri. Faktor ini meliputi perasaan, sikap, dan keyakinan di dalam diri remaja. Ada beberapa bagian-bagian dari faktor dari I Am yaitu : a) Perasaan dicintai dan perilaku yang menarik Remaja tersebut sadar bahwa orang menyukai dan mengasihi dia. Anak akan
bersikap
baik
terhadap
orang-orang
yang
menyukai
dan
mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain.
47
Ibid., hlm. 203-207.
62
b) Mencintai, empati, dan altruistik Remaja mengasihi orang lain dan menyatakan kasih sayang tersebut dengan banyak cara. Dia peduli akan apa yang terjadi pada orang lain dan menyatakan kepedulian itu melalui tindakan dan kata-kata. Remaja merasa tidak nyaman dan menderita karena orang lain dan ingin melakukan sesuatu untuk berhenti atau berbagi penderitaan atau kesenangan. c) Bangga pada diri sendiri Remaja mengetahui dia adalah seseorang yang penting dan merasa bangga pada siapakah dirinya dan apa yang bisa dilakukan untuk mengejar keinginannya. Remaja tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkannya. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut. d) Otonomi dan tanggung jawab Remaja dapat melakukan sesuatu dengan caranya sendiri dan menerima konsekuensi dari perilakunya tersebut Remaja merasa bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut. Individu mengerti batasan kontrol mereka terhadap berbagai kegiatan dan mengetahui saat orang lain bertanggung jawab. e) Harapan, keyakinan, dan kepercayaan Remaja percaya bahwa ada harapan baginya dan bahwa ada orang-orang dan institusi yang dapat dipercaya. Remaja merasakan suatu perasaan benar dan salah, percaya yang benar akan menang, dan mereka ingin
63
berperan untuk hal ini. Remaja mempunyai rasa percaya diri dan keyakinan dalam moralitas dan kebaikan, serta dapat menyatakan hal ini sebagai kepercayaan pada Tuhan atau makhluk rohani yang lebih tinggi. b. I Have Faktor I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber dalam meningkatkan daya lentur. Sebelum anak menyadari akan siapa dirinya (I Am) atau apa yang bisa dia lakukan (I Can), remaja membutuhkan dukungan eksternal dan sumber daya untuk mengembangkan perasaan keselamatan dan keamanan yang meletakkan fondasi, yaitu inti untuk mengembangkan resilience. Aspek ini merupakan bantuan dan sumber dari luar yang meningkatkan resiliensi, sumbersumbernya adalah sebagai berikut: a) Trusting relationships (mempercayai hubungan) Orang tua, anggota keluarga lainnya, guru, dan teman-teman yang mengasihi dan menerima remaja tersebut. Anak-anak dari segala usia membutuhkan kasih sayang tanpa syarat dari orang tua mereka dan pemberi perhatian primer (primary care givers), tetapi mereka membutuhkan kasih sayang dan dukungan emosional dari orang dewasa lainnya juga. Kasih sayang dan dukungan dari orang lain kadang-kadang dapat mengimbangi terhadap kurangnya kasih sayang dari orang tua. b) Struktur dan aturan di rumah Orang tua yang memberikan rutinitas dan aturan yang jelas, mengharapkan remaja mengikuti perilaku mereka, dan dapat mengandalkan anak untuk melakukan hal tersebut. Aturan dan rutinitas itu meliputi tugas-tugas yang
64
diharapkan dikerjakan oleh anak. Batas dan akibat dari perilaku tersebut dipahami dan dinyatakan dengan jelas. Jika aturan itu dilanggar, anak dibantu untuk memahami bahwa apa yang dia lakukan tersebut salah, kemudian didorong untuk memberitahu dia apa yang terjadi, jika perlu dihukum, kemudian dimaafkan dan didamaikan layaknya orang dewasa. Orang tua tidak mencelakakan anak dengan hukuman, dan tidak ada membiarkan orang lain mencelakakan anak tersebut. c) Role models Orang tua, orang dewasa lain, kakak, dan teman sebaya bertindak dengan cara yang menunjukkan perilaku remaja yang diinginkan dan dapat diterima, baik dalam keluarga dan orang lain. Mereka menunjukkan bagaimana cara melakukan sesuatu, seperti berpakaian atau menanyakan informasi dan hal ini akan mendorong anak untuk meniru mereka. Mereka menjadi model moralitas dan dapat mengenalkan remaja tersebut dengan aturan-aturan agama. d) Dorongan agar menjadi otonom Orang dewasa, terutama orang tua, mendorong anak untuk melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain dan berusaha mencari bantuan yang mereka perlukan untuk membantu remaja menjadi otonom. Mereka memuji remaja tersebut ketika dia menunjukkan sikap inisiatif dan otonomi. Orang dewasa sadar akan temperamen remaja, sebagaimana temperamen mereka sendiri, jadi mereka dapat menyesuaikan kecepatan dan tingkat tempramen untuk mendorong anak untuk dapat otonom.
65
e) Akses pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan layanan keamanan. Remaja secara individu maupun keluarga, dapat mengandalkan layanan yang konsisten untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh keluarganya yaitu rumah sakit dan dokter, sekolah dan guru, layanan sosial, serta polisi dan perlindungan kebakaran atau layanan sejenisnya. c. I Can “I can” adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk mengungkapkan perasaan dan pikiran dalam berkomunikasi dengan orang lain, memecahkan masalah dalam berbagai seting kehidupan (akademis, pekerjaan, pribadi dan sosial)
dan
mengatur
tingkah
laku,
serta
mendapatkan
bantuan
saat
membutuhkannya. Ada beberapa aspek yang mempengaruhi faktor I can yaitu : a) Berkomunikasi Remaja mampu mengekspresikan pemikiran dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengarkan apa yang dikatakan orang lain serta merasakan perasaan orang lain. b) Pemecahan masalah Remaja dapat menilai suatu permasalahan, penyebab munculnya masalah dan mengetahui bagaimana cara memecahkannya. Anak dapat mendiskusikan solusi dengan orang lain untuk menemukan solusi yang diharapkan dengan teliti. Dia mempunyai ketekunan untuk bertahan dengan suatu masalah hingga masalah tersebut dapat terpecahkan.
66
c) Mengelola berbagai perasaan dan rangsangan Remaja dapat mengenali perasaannya, memberikan sebutan emosi, dan menyatakannya dengan kata-kata dan perilaku yang tidak melanggar perasaan dan hak orang lain atau dirinya sendiri. Anak juga dapat mengelola rangsangan untuk memukul, melarikan diri, merusak barang, berbagai tindakan yang tidak menyenangkan. d) Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain Individu memahami temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi, dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi. e) Mencari hubungan yang dapat dipercaya Remaja dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian, guna mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan interpersonal. Resiliensi merupakan hasil kombinasi dari sifat-sifat I HAVE. I AM, dan I CAN tersebut. Untuk menjadi seorang yang resilien, tidak cukup hanya memiliki satu karakter saja, melainkan harus ditopang oleh karakteristik-karakteristik yang lain. Oleh sebab itu, untuk menumbuhkan resiliensi siswa/remaja, ketiga karakteristik tersebut harus saling berinteraksi satu sama lain.
67
C. Peran Peer Group Support (Dukungan Kelompok Sebaya) Dalam Mengembangkan Resiliensi Siswa Telah diketahui bahwa daya lentur (resilience) merupakan kapasitas manusiawi yang dimiliki seseorang dan berguna untuk menghadapi, memperkuat diri, atau bahkan mengubah kondisi kehidupan yang tidak menyenangkan (trauma) menjadi suatu hal yang wajar untuk diatasi. Orang-orang yang resilien mampu mengambil hikmah dibalik kegagalan, dan mereka menggunakan kegagalannya untuk membangun cita-cita yang lebih tinggi. Menurut Grotberg sebagaimana dikutip Desmita, kapasitas seseorang untuk menjadi resilien bukanlah jatah yang ditentukan secara genetik, melainkan dapat dipelajari daripada diturunkan.48 Setiap orang mampu mengajari diri masing-masing untuk menjadi resilien karena resiliensi berada dalam kontrol masing-masing. Dalam kaitannya dengan proses terbentuknya resilien dalam diri remaja, dukungan teman sebaya sangat berperan dalam mengembangkan resiliensi pada diri mereka. Beberapa penelitian menyatakan bahwa teman sebaya merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan pada masa-masa remaja. Berdasarkan kenyataannya remaja dalam masyarakat modern seperti sekarang ini menghabiskan sebagian waktunya bersama teman sebaya mereka. Pembentukan hubungan persahabatan remaja erat kaitannya dengan perubahan aspek-aspek pengendalian psikologis yang berhubungan dengan kecintaan pada diri sendiri dan munculnya phallic conflicts. Studi-studi
48
Desmita, Psikologi Perkembangan, op.cit., hlm. 229.
68
kontemporer tentang remaja, juga menunjukkan bahwa hubungan yang positif dengan teman sebaya diasosiasikan dengan penyesuain yang positif.49 Begitu pula dengan Hartup yang mencatat bahwa pengaruh teman sebaya memberikan fungsi-fungsi sosial dan psikologis yang penting bagi remaja. Bahkan dalam studi lain ditemukan bahwa hubungan teman sebaya yang harmonis selama remaja, dihubungkan dengan kesehatan mental yang positif pada usia setengah baya.50 Keeratan, keterbukaan dan perasaan senasib yang muncul diantara sesama remaja, dapat menjadi peluang bagi mereka untuk memfasilitasi perkembangan remaja. Konformitas teman sebaya dapat berdampak positif dan negatif. Jadi, agar interaksi antar siswa (remaja) dapat berdampak positif dan dapat memberikan dukungan dalam mengembangkan resilensi, maka remaja perlu bantuan orang dewasa lainnya, seperti orang tua dan guru dan masyarakat sekitar. Dalam rangka meningkatkan resiliensi siswa melalui dukungan teman sebaya, sekolah dapat menjadi wadah bagi siswa untuk menciptakan interaksi positif bersama teman sebayanya. Layanan bimbingan kelompok dapat dimanfaatkan sebagai upaya memfasilitasi perkembangan resiliensi siswa. Karena, layanan bimbingan kelompok merupakan suatu cara memberikan bantuan (bimbingan) kepada individu (siswa) melalui kegiatan kelompok. Dalam layanan bimbingan kelompok, aktivitas dan dinamika kelompok harus diwujudkan untuk membahas berbagai hal yang berguna bagi pengembangan atau pemecahan
49 50
Desmita, Psikologi Perkembangan, op.cit., hlm 220. Ibid., hlm. 220.
69
masalah siswa yang menjadi peserta layanan.51 Keuntungan dari layanan bimbingan kelompok adalah berkembangnya kemampuan sosialisasi siswa, khususnya kemampuan komunikasi, menghargai pendapat orang lain, belajar dari orang lain, kerja kelompok, membantu orang lain, toleransi, percaya diri dan peningkatan tanggung jawab. Begitu pula dengan konseling kelompok yang merupakan salah satu bentuk konseling dengan memanfaatkan kelompok untuk membantu, memberi umpan balik (feedback) dan pengalaman belajar.52 Konseling kelompok kecil sangat efektif dalam menangani masalah psikologis, misalnya masalah antar pribadi. Konseling kelompok mempunyai tujuan pokok menciptakan suasana bantuan antarpribadi yang memungkinkan tiap individu mengembangkan insight pada dirinya sendiri dan mencapai penyesuaian personel yang lebih sehat, dapat pula menekankan masalah perkembangan, pelibatan pilihan dan nilai, sikap dan emosi, serta bersifat pencegahan dan penyembuhan masalah.53 Masalah psikologis dapat ditangani pada saat yang bersamaan denagn persoalan anatarprubadi. Harry Stack Sullivan dan pencetus teori hubungan antarpribadi lainnya menyatakan bahwa saat orang-orang menyatakan dirinya dalam hubungan sosial, mereka juga mencerminkan dinamika yang mendasari fungsi
internal
mereka.
Oleh
karena
itu,
orang-orang
lebih
mudah
mengungkapkan masalah yang terjadi dalam diri mereka dalam situasi kelompok 51
Tohirin, Bimbingan dan Konseling Sekolah (Berbasis Integrasi), (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), hlm. 170. 52 Latipun, Psikologi Konseling, Edisi Ke-3, (Malang: UMM Press, 2003), hlm. 178. 53 Andi Mappiare, Pengantar Konseling dan Psikoterapi, Edisi Ke-2, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 165.
70
kecil. Saat mereka menangani masalah tersebut dalam situasi antarpribadi yang menerima dan mendukung, mereka berkembang menjadi pribadi yang semakin utuh, dan mengembangkan dinamika antarpribadi yang sehat.54
54
Farid Mashudi, Psikologi Konseling (Yogyakarta: IRCiSoD, 2013), hlm. 249.