BAB II Paradigma dan Metodologi dalam Ilmu Politik Pokok Bahasan a. Ontologi, Epistemologi dan Metodologi Ilmu Politik Sebuah pengetahuan yang valid dan reliable hanya dapat dihasilkan dari proses pengaplikasian sebuah metode ilmiah yang sesuai dengan jalur filsafat pengetahuan yang benar berdasarkan seluruh tingkat pemahaman baik aspek ontologi, epistemologi, metodologi sampai dengan metode. Penggunaan dan pembatasan melalui sebuah paradigma berfikir tertentu juga harus dilakukan terlebih dahulu untuk mendapatkan sebuah pengetahuan yang spesifik dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Secara sederhana oleh Apter (1996) paradigma didefinisikan sebagai sebuah kerangka acuan dari ide-ide yang membentuk konteks umum bagi analisa. Pada dasarnya paradigma memadukan berbagai asumsi filosofis dengan kriteria pengetahuan yang sah dan paduanpaduan tersebut saling berbeda satu sama lain. Oleh beberapa ilmuwan paradigma disamakan pengertian dan penggunaannya dengan perspektif. Tinjauan ontologis berkaitan dengan pertanyaan tentang apakah kita meyakini adanya sebuah realitas dan apa yang kita yakini sebagai sebuah realitas. Ketika kita percaya bahwa realitas itu ada, maka kita akan berada pada pilihan ontologi berupa materialisme. Namun jika kita meyakini bahwa realitas itu tidak ada dan yang ada hanyalah pikiran atau ide manusia tentang sebuah realitas, maka kita berada pada sisi yang lain yaitu idealisme. Pada saat kita melihat sebuah hamparan lahan yang ditumbuhi berbagai vegetasi dan didominasi pepohonan kemudian kita menyebutnya sebagai sebuah hutan dan menyatakan bahwa hutan itu ada sebagaimana yang kita lihat tersebut, maka kita mengikuti aliran materialisme. Namun jika kita menyatakan bahwa itu hanyalah konstruksi pikiran manusia indonesia bahwa yang seperti itu disebut hutan dan bisa jadi orang Afrika misalnya menyebutnya sebagai kebun, sehingga eksistensi hutan itu bersifat relatif, maka kita mengikuti paham ontologis idealisme. Kemudian secara epistemologis, kita dihadapkan pada pertanyaan apa bukti yang kita ajukan dan bisa diterima oleh orang lain yang bisa mendasari keyakinan kita terhadap sesuatu (pengetahuan). Pada saat kita meyakini akan keberadaan sebuah hutan dengan tanda-tanda atau sifat yang dapat kita amati secara langsung (ada areal dan pepohonan), maka kita berada pada ranah epistemologi positivisme. Tetapi jika keyakinan terhadap
1
sesuatu itu tidak harus melalui observasi atau pengamatan langsung namun cukup dengan dampak atau efek yang dapat kita rasakan dari adanya sebuah entitas atau realitas tersebut, maka kita berada pada ranah epistemologi realisme. Sebagai contoh bahwa kita meyakini akan adanya angin tanpa harus bisa melihat wujud dari angin itu dan cukup merasakan efek dari adanya angin tersebut. Yang ketiga adalah jika keyakinan kita pada sesuatu (pengetahuan) bersandar pada interpretasi atau konstruksi pikiran manusia masing-masing terhadap sesuatu hal, maka pada kasus itu kita berada pada ranah epistemologi interpretivisme. Jadi dapat dipahami bahwa paham positivisme dan realisme berada pada bingkai ontologi materialisme dan di sisi lain paham interpretivisme berada dalam bingkai ontologi idealisme. Dalam sebuah aplikasi metode ilmiah (penelitian), paham positivisme dan realisme ini dikenal dengan istilah pendekatan kuantitatif, sedangkan paham interpretivisme disebut pendekatan kualitatif. Setiap ilmuwan diperkenankan untuk memilih atau berdiri pada satu sisi ontologis dan epistemologis tertentu dalam upaya mereka untuk menciptakan sebuah pengetahuan melalui riset-riset ilmiah. Pilihan tersebut harus ditetapkan dari awal karena itu akan menentukan metodologi dan metode yang bisa dipilih dalam sebuah aplikasi metode ilmiah. Mekanisme berlaku untuk seluruh bidang ilmu terutama yang berkecimpung dalam ilmu-ilmu sosial tidak terkecuali ilmu politik. Hal ini sejalan dengan apa yang dinyatakan oleh Marsh & Stoker (1995) bahwa dalam diskusi tentang bagaimana menghasilkan sebuah pengetahuan, perbedaan pemilihan posisi dari sisi ontologi dan epistemologi akan menentukan perbedaan orientasi dan pilihan metodologi. Metodologi secara sederhana oleh Apter (1996) diterjemahkan dengan pengetahuan atau pengkajian tentang metode dan teknik-teknik untuk menghasilkan sebuah knowledge yang memiliki vaiditas dan tingkat kepercayaan tinggi. Secara filosofis istilah metodologi selalu berkaitan dengan pertanyaan bagaimana kita akan melakukan sebuah aktifitas penelitian dengan batasan-batasan ide, konsep dan kerangka acuan tertentu untuk menghasilkan sebuah pengetahuan yang valid dan reliable. Pilihan bentuk aktifitas riset tersebut sekali lagi harus berada pada jalur atau sesuai dengan pilihan epistemologi tertentu. Sebagai contoh misalnya ketika kita akan menjelaskan sebuah konsep dan entitas berupa birokrasi, maka kita dapat menjelaskannya dari sisi apa yang harus ada pada sebuah birokrasi, bagaimana perilaku berokrasi, dan dapat pula dijelaskan dengan bagaiaman
2
aturan-aturan main dalam birokrasi. Jadi ada banyak pilihan cara untuk menjelaskan atau menghasilkan pengetahuan ataupun teori tentang birokrasi, dengan kata lain ada banyak pilihan metodologi dalam menjelaskan konsep birokrasi. Secara sederhana metodologi dapat pula dipahami dengan ilmu tentang bagaimana sebuah aktifitas riset menentukan metode dan pilihan teori yang harus diambil serta bagaimana memperlakukan teori tersebut. Jadi dalam sebuah metodologi terkandung padanya metode dan teori. Dalam ilmu politik, ada banyak pilihan pendekatan metodologi guna menghasilkan sebuah pengetahuan diantaranya adalah sebagaimana yang dijelaskan oleh Marsh dan Stoker (1995) dan juga yang lainnya
meliputi : normativisme,
institusionalisme, behavioralisme (berada pada bingkai epistemologi positivisme) dan teori kritis,
konstruktivisme,
postmodernisme
(berada
pada
bingkai
epistemologi
interpretivisme). Normativisme akan berkonsentrasi pada pembahasan tentang penemuan dan pengaplikasian berbagai nilai-nilai moral ideal yang seharusnya ada dan digunakan dalam ranah relasi dan praktek-praktek politik. Institusionalisme lebih menekankan pada aspek aturan main, prosedur dan organisasi-organisasi formal dalam sisem politik dan dampak yang ditimbulkannya dalam praktek-praktek politik. Sedangkan behavioralisme akan berusaha untuk menjelaskan secara sistematis mengenai perilaku politik baik secara individual maupun berkelompok. Kemudian dalam ranah interpretivisme, teori kritis akan menekankan pada pembahasan pada struktur dan konfigurasi global atau sebuah relasi kekuasaan sebagai sebuah objek untuk mencari tahu bagaimana struktur itu terjadi dan apa konsekuensi dari struktur tersebut. Teori ini berupaya untuk melihat relasi antara nilai-nilai dan norma dalam sebuah masyarakat dengan sebuah pengetahuan. Teori kritis menganggap bahwa kehidupan atau realitas sosial selalu secara otomatis melekat dalam setiap teori manapun. Misalnya ketika suatu teori tentang masyarakat ternyata tidak bisa dipisahkan atau sangat dipengaruhi oleh struktur sosial masyarakat yang diteorikan, maka arahan, tujuan dan kepentingan dalam teori tersebut merupakan suatu bentuk emansipasi. Teori ini melihat bahwa ilmu pengetahuan selalu merupakan refleksi dari sebuah kepentingan. Postmodernisme berusaha untuk melihat relasi antara kekuasaan dengan pengetahuan. Metode pendekatan ini memandang bahwa konsep atau gagasan politik dan pembangunan merupakan sebuah pengetahuan, dan pengetahuan tersebut tidak pernah
3
lepas dari kekuasaan. Jadi menurut penganut pandangan ini, pengetahuan (knowledge) adalah sebuah kekuasaan (power). Penerapan atau aplikasi dari berbagai pendekatan metodologis di atas akan sangat bergantung pada struktur permasalahan yang hendak dicarikan jawaban dan pilihan bagaimana atau dari sisi mana jawaban tersebut akan diuraikan. Sebagaimana dicontohkan sebelumnya bahwa untuk menjelaskan sebuah birokrasi dapat dilakukan dari sisi atutan mainnya, perilakunya maupun bentuk dan format organisasi dari birokrasi tersebut, sehingga hal ini akan mempengaruhi pilihan metodologinya. Selain itu juga sangat bergantung pada penempatan diri periset dalam meyakini sebuah realitas dan bagaimana melihat keterkaitan antara subjek dan objek dalam sebuah penelitian ilmiah. b. Perspektif, Metode dan Teori Paradigma merupakan seperangkat proposisi yang menerangkan bagaimana dunia dan kehidupan secara umum dipersepsikan. Pengertian paradigma seringkali disetarakan dengan perspektif atau sudut pandang. Paradigma juga dimaknai sebagai ideologi dan praktek suatu komunitas ilmuwan yang menganut suatu pandangan yang sama atau realitas, memiliki seperangkat kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian, dan menggunakan metode serupa (Salim, 2006) Lebih lanjut, Salim (2006) menjelaskan bahwa sejak abad pencerahan terdapat empat paradigma ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh para ilmuan yaitu : positivisme, post-positivisme, teori kritis dan konstruktivisme (interpretif). Perbedaan dari keempat perspektif atau paradigma tersebut dapat dilihat dari cara pandang masing-masing terhadap realitas dan cara yang ditempuh untuk mengembangkan sebuah ilmu pengetahuan terutama dari aspek ontologis, epistemologis dan metodologis. Aspek ontologis berkaitan dengan pertanyaan apa hakekat dari sesuatu, atau apa hakekat dari suatu realitas. Kemudian aspek epistemologis berkenaan dengan hakekat hubungan antara peneliti atau penggali ilmu dengan objek yang diteliti. Sedangkan aspek metodologis berhubungan dengan pertanyaan bagaiman sebuah metode penelitian dan teori digunakan dalam upaya untuk menemukan pengetahuan. Secara ontologis, positivisme memandang bahwa kenyataan yang dapat dimengerti itu ada dan dikendalikan oleh hukum atau mekanisme alam yang kekal. Pengetahuan mengenai sebuah fenomena dapat disajikan dalam bentuk generalisasi yang bebas waktu dan konteks serta dalam bentuk hukum sebab akibat. Post-positivisme melihat kenyataan 4
itu ada, namun karena keterbatasan manusia maka kenyataan tersebut tidak dapat dimengerti secara tuntas. Teori kritis memandang bahwa kenyatan yang ada haruslah diperiksa kembali secara kritis agar dapat dipahami sesempurna mungkin. Dan yang terakhir konstruktivisme atau interpretif akan melihat kenyataan itu sebagai sesuatu yang relatif, di mana kenyataan ada dalam bentuk konstruksi mental manusia. Jika ditinjau dari aspek epistemologis, positivisme mengasumsikan bahwa antara peneliti dan objek tidak saling mempengaruhi atau terpisah dan ini berbeda dengan pandangan post-positivis maupun teori kritis bahwa antara peneliti dan objek tidak dapat dipisahkan. Konstruktivisme memandang bahwa sebuah temuan merupakan hasil interaksi antara peneliti dengan objek yang diteliti. Dalam dimensi metodologis, positivisme selalu berangkat dari acuan kerja utama berupa eksperimen dan manipulasi. Pertanyaan dan hipotesa dinyatakan dalam bentuk proposisi yang harus diuji guna mengetahui kebenarannya. Post-positivisme berusaha untuk memodifikasi eksperimen dan manipulasi, dan nantinya bukan kebenaran yang dicari melainkan sebuah hipotesa. Sedangkan konstruktivisme melihat bahwa objek yang diteliti merupakan hal yang dikonstruksikan secara kurang sempurna oleh peneliti karena kurangnya informasi dan data. Akibatnya konstruksi tersebut dapat berubah-ubah sejalan dengan proses penelitian. Dalam perkembangan sejarah kajian ilmu politik, paling tidak terdapat empat perspektif utama yang banyak digunakan dan dikembangkan oleh para ilmuwan. Keempat perspektif itu adalah klasik, behavioralisme, post-behavioralisme dan kritis-realis. Jika ditelaah lebih lanjut maka perspektif klasik dan behavioralis memiliki kesamaan asumsi dasar dengan perspektif positivisme. Sedangkan post-behavioralisme memiliki kesamaan asumsi dengan konstruktivisme atau interpretif. Secara ontologis post-positivisme dikenal dengan kenyataan kritis atau kritis-realis yang menyatakan bahwa kenyataan harus diperiksa secara kritis agar dapat dipahami secara lebih sempurna. Menurut Gulo (2002), ilmu pengetahuan terdiri atas seperangkat teori dalam bidang tertentu. Dengan teori tersebut kita dapat membaca kenyataan-kenyataan empiris di sekitar kita. Tanpa teori kita buta tentang peristiwa-peristiwa empiris, dan sebaliknya tanpa dihadapkan dengan kenyataan empiris, suatu teori akan menjadi lumpuh. Kenyataan empiris yang sama bisa saja dijelaskan secara berbeda ketika teori yang digunakan untuk membacanya berbeda.
5
Teori merupakan seperangkat proposisi yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain. Keterkaitan tersebut tersusun dalam sebuah sistem yang memungkinkan kita memiliki pengetahuan yang sistematis tentang suatu peristiwa secara utuh. Salah satu ciri dari teori adalah dapat diuji secara empiris, dan ini menjadi tugas dari metodologi penelitian untuk melakukan pengujian tersebut. Teori paling tidak memiliki tiga fungsi, yaitu fungsi eksplanatif (menjelaskan hubungan antar peristiwa), prediktif (peramalan) dan kontrol (pengendalian peristiwa). Secara sederhana, metode penelitian merupakan cara untuk menjawab pertanyaanpertanyaan penelitian dalam rangka menjelaskan sebuah fenomena. Wujud kongkret dari sebuah metode penelitian adalah berupa desain penelitian (research design). Menurut Burnham dkk., (2004), setiap kegiatan penelitian selalu memiliki logika baik secara implisit maupun eksplisit yang menunjukkan kerangka dan strategi dari penelitian tersebut. Desain penelitian akan memuat atau menggambarkan beberapa tahapan penting dalam setiap penelitian, misalnya penetapan hipotesa yang akan diuji, menyajikan daftar pertanyaan penelitian dan menetapkan data-data yang harus dikumpulkan untuk dapat melakukan pengujian hipotesa dan menjawab pertanyaan penelitian.
c. Hubungan antara Perspektif, Metode dan Teori Secara umum perspektif atau paradigma merupakan seperangkat kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam sebuah penelitian. Khususnya dalam dunia penelitian, ada beberapa perspektif atau paradigma yang sering digunakan, misalnya perspektif positivist, postpositivist dan interpretif. Sebagai konsekuensi dari perbedaan perspektif yang dianut, manusia akan melihat dengan cara berlainan mengenai hubungan antara peneliti dan yang diteliti, bagaimana peneliti melihat sebuah realitas, dan bagaiman peran nilai dalam menjelaskan sebuah realitas tersebut. Seorang yang menggunakan perspektif positivist, maka ia akan melihat sesuatu yang dia teliti atau sebuah kenyataan sebagai objek sebagai sesuatu yang berada di luar sana yang terpisah dari peneliti dan dapat diukur secara objektif menggunakan instrumen tertentu. Disini peneliti harus mempertahankan jarak dan independent dari objek yang diteliti. Peneliti juga tidak diperkenankan mempengaruhi penelitiannya dan harus menghindarkan pernyataan-pernyataan yang berkaitan dengan nilai dalam laporannya
6
melalui penggunaan bahasa-bahasa yang sifatnya impersonal serta mengajukan argumentasi berdasarkan data atau fakta di lapangan. Sedangkan seseorang yang berperspektif interpretif, maka dia akan berkeyakinan bahwa yang dimaksud realitas sebenarnya adalah apa yang dikonstruksikan oleh individu yang terlibat dalam situasi penelitian. Dalam hal ini peneliti justru berinteraksi dengan objek yang diteliti. Sebagai konsekuensinya adalah nantinya nilai-nilai dalam diri peneliti akan sangat berpengaruh terhadap argumentasi yang dia bangun dan cenderung menggunakan bahasa yang bersifat personal. Perbedaan perspektif yang digunakan dalam sebuah penelitian akan melahirkan metodologi atau keseluruhan proses penelitian yang berbeda pula. Ketika sebuah penelitian menggunakan sebuah perspektif tertentu, maka perspektif itulah nantinya yang menentukan teknik-teknik atau metode penelitian yang sebaiknya digunakan guna menjawab pertanyaan penelitian tertentu. Hal ini akan menunjukkan konsistensi peneliti dalam menggunakan logika berfikir tertentu. Hubungan antara perspektif dan metode penelitian tertentu bersifat langsung, mencakup pemberlakuan caracara berfikir dan bagaimana konsep serta teori dikembangkan dalam sebuah penelitian. Dengan kata lain bahwa perspektif akan mempengaruhi desain penelitian sebagai bentuk lebih nyata dari metode penelitian yang akan dijalankan. Desain
penelitian
merupakan
seperangkat
pedoman
yang
luwes
yang
menghubungkan antara perspektif atau paradigma dengan metode pengumpulan bahanbahan empiris. Sebuah desain penelitian akan menempatkan periset dalam dunia empiris dan menghubungkannya dengan tempat, orang, kelompok, lembaga, dan kumpulan bahan yang relevan untuk diinterpretasi termasuk didalamnya dokumen-dokumen atau arsip. Dengan kata lain sebuah desain penelitian akan mencakup sejumlah ketrampilan, asumsi dan praktek yang digunakan oleh peneliti ketika dia harus bergerak dari perspektif menuju dunia empiris (Salim, 2006). Ketika seseorang menggunakan perspektif positivist, maka logika yang nantinya akan digunakan adalah logika deduktif yang padanya sebuah teori serta hipotesis akan diuji dalam urutan sebab akibat. Dalam hal ini sebelum proses penelitian dilaksanakan, konsep, teori, variabel dan hipotesis dipilih atau ditentukan terlebih dahulu. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengembangkan generalisasi guna memberikan kontribusi pada teori
7
tertentu sehingga peneliti akan dapat meramalkan atau menjelaskan sebuah realitas dengan lebih baik dan meyakinkan. Namun jika perspektif interpretif yang digunakan, maka logika berfikir yang digunakan adalah logika induktif. Beberapa kategori atau temuan akan muncul dari interaksi antara penelitiu dengan seluruh informasi berikut jaringan yang telah ditentukan sebelumnya oleh peneliti. Pemunculan ini dianggap lebih komprehensif dalam menjelaskan sebuah fenomena sesuai dengan konteksnya menuju pada proses dibangunnya teori-teori yang dapat digunakan sebagai acuan untuk memahami sebuah realitas. Selain mempengaruhi desain penelitian, perbedaan perspektif juga akan melahirkan strategi penelitian yang berbeda pula. Strategi penelitian ini akan menentukan metode pengumpulan dan analisis data empiris di lapangan. Sebagai contoh ketika seseorang menggunakan perspektif positivist, maka pendekatan yang harus digunakan adalah pendekatan kuantitatif dengan beberapa ciri antara lain terpisahnya peneliti dengan objek yang diteliti, selalu berangkat atau dibimbing oleh teori-teori tertentu, dan selalu berusaha untuk menguji teori tersebut. Jika pendekatan ini yang dipilih maka metode penelitian yang dapat digunakan atau yang sesuai antara lain adalah metode survei, eksperimental, analisis isi (content analysis) dan analisis data sekunder. Namun ketika perspektif interpretif yang dipilih, maka pendekatan yang harus digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan ciri utama antara lain menyatunya peneliti beserta segenap nilai yang ada padanya dengan objek yang diteliti. Interaksi dan hasil pemahaman peneliti terhadap seluruh informan serta data-data empiris akan memunculkan sebuah pengetahuan yang utuh mengenai sebuah realita tertentu yang ini kemudian disebut dengan teori. Jadi dalam penelitian ini tidak harus diawali dengan teori dan bahkan cenderung untuk menemukan sebuah teori baru. Metode penelitian yang dapat dipilih untuk pendekatan kualitatif ini antara lain adalah metode studi kasus, studi komparatif, etnografi dan analisis wacana (discourse analysis). d. Kehutanan dalam Perspektif Ilmu Politik Sampai dengan akhir abad-20, ilmu pengelolaan hutan masih berada dalam bingkai ontologi hutan sebagai fungsi dari flora dan fauna, yang kemudian dikelola dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan manusia. Hal ini menyebabkan ilmu-ilmu kehutanan seperti manajemen hutan, ekonomi sumberdaya hutan, keteknikan hutan, dan silvikultur, semuanya terkonstruksi oleh premis bahwa pohon berkayu merupakan komoditi dalam 8
hutan yang paling memiliki nilai ekonomi tinggi dibanding dengan manfaat hutan lainnya. Sebagai akibat dari kontruksi ilmu seperti ini maka paradigma pengelolaan hutan yang digunakan adalah bahwa seluruh kegiatan teknis kehutanan (penanaman, pemeliharaan, pemanenan dan pemasaran) hanya ditujukan untuk menghasilkan kayu sebagai produk utama (timber management). Pandangan sempit inilah yang juga mendominasi pikiran para ahli kehutanan di Indonesia, dan bahkan di sebagian besar belahan dunia paling tidak sampai dengan era 1990-an. Kenyataan dilapangan menunjukkan bahwa sumberdaya hutan terus mengalami degradasi seiring dengan berjalannya waktu. Perkembangan ilmu kehutanan tidak berhasil mempertahankan ataupun meningkatkan kualitas dan kuantitas hutan di Indonesia. Sehingga kalau kita mau berfikir kritis dan lapang dada, mesti ada yang keliru atau kurang dalam kita mengembangkan perangkat lunak untuk mengelola hutan selama ini. Ontologi hutan sebagai fungsi flora dan fauna sebenarnya sudah tidak dapat menjawab problematika yang ada. Pandangan tersebut hanya akan membatasi ruang gerak pengembangan ilmuilmu kehutanan berikut seni dalam mengelola hutan. Sementara itu problematika dalam pengurusan dan pengelolaan hutan dewasa ini semakin kompleks dengan bermacam sumber persoalan. Tidak hanya pada hal-hal yang bersifat teknis kehutanan, namun juga menyangkut persoalan perilaku aktor-aktor serta relasi yang dibangun antar aktor tersebut ketika mereka mulai melakukan berbagai aktifitas kehutanan. Sehingga untuk dapat melakukan identifikasi secara komprehensif terhadap problematika tersebut diperlukan berbagai disiplin ilmu lain terutama ilmu-ilmu sosial termasuk di dalamnya ilmu politik. Berbagai fenomena di kehutanan jelas menunjukkan bahwa ada keterkaitan erat antara kebijakan pengelolaan dan mekanisme pencapaian kebijakan tersebut dengan situasi dan kondisi sosial ekonomi masyarakat serta politik negara. Pada awal pemerintahan Suharto, sektor kehutanan menjadi salah satu andalan untuk dapat menghasilkan uang sebagai tambahan modal guna membiayai pembangunan. Untuk tujuan itulah sekitar tahun 1970-an, pemerintah memberikan ijin pengusahaan hutan (terutama di luar jawa) kepada beberapa pengusaha pribumi yang notabene dekat dengan Suharto. Yang terjadi adalah eksploitasi hutan yang tak terkontrol dan tak terkendali yang cenderung mengabaikan kelestarian hutan dan ekosistemnya serta tidak memperhatikan kesejahteraan masyarakat terutama di sekitar hutan. Diketahui bahwa hasil eksploitasi
9
hutan ini selain digunakan untuk kagiatan pembangunan di beberapa sektor lain juga terutama untuk menggemukkan perut penguasa (Suharto cs) dan pengusaha yang menjadi kliennya. Hal ini berlangsung sampai dengan tahun 1990-an dimana kerusakan hutan di Indonesia menjadi sedemikian hebat hingga puncaknya tahun 1998 (era reformasi), yang pada saat itu terjadi penjarahan (pencurian kayu besar-besaran) hutan negara yang dipicu oleh kondisi sosial politik yang tidak stabil. Kenyataan ini sebenarnya juga diakibatkan oleh adanya paradigma pengelolaan hutan yang hanya melihat bagaimana hutan (kayu) dapat menghasilkan uang sesuai dengan target produksi dari perusahaan maupun negara. Sebenarnya sejak tahun 1970-an sudah ada beberapa pemikir kehutanan yang menyadari bahwa salah satu penyebab kerusakan hutan di Indonesia adalah karena meningkatnya problematika sosial dan ekonomi masyarakat sekitar hutan khususnya dan secara umum rakyat Indonesia. Sementara itu akses dan kesempatan mereka untuk memanfaatkan dan menikmati hasil hutan sangatlah kecil, dan ini mendorong timbulnya illegal cutting dengan alasan pemenuhan kebutuhan hidup. Belakangan muncul sebuah ide atau paradigma baru dalam melihat hutan dan kehutanan yang dijiwai dengan ontologi hutan sebagai fungsi dari flora, fauna dan manusia. Dalam pandangan ini manusia menjadi salah satu subsistem yang menyusun ekosistem hutan yang harus selalu menjadi variabel dalam menyusun sebuah rancangan atau sistem pengelolaan hutan. Diharapkan nantinya akan tercipta satu sinergi antara hutan dan manusia dalam mencapai keseimbangan ekosistem sehingga masing-masing tidak saling merusak dan merugikan bahkan sebaliknya. Akhirnya paradigma baru tersebut dipandang akan menjadi solusi terhadap permasalahan kehutanan Indonesia. Berangkat dari paradigma baru tersebut pemerintah sejak tahun 1980-an sudah berusaha merevisi visi dan misi dalam pengelolaan hutan menjadi lebih berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat. Kemudian pemerintah menciptakan programprogram yang berbasis kehutanan sosial misalnya Program Perhutanan Sosial, Hutan Kemasyarakatan, Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat dan terakhir Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan) yang kesemuanya dijiwai oleh semangat untuk menjadikan masyarakat sebagai mitra dan sekaligus tujuan utama dari pembangunan sektor kehutanan. Dari sekilas gambaran pengelolaan hutan di Indonesia di atas dapat dipahami bahwa beberapa kebijakan dalam pengelolaan hutan tidak dapat lepas atau sangat
10
dipengaruhi oleh kondisi politik Indonesia dan sosial kemasyarakatan. Contoh empiris adalah diberikannya hak untuk eksploitasi hutan secara leluasa kepada para klien penguasa yang menjadikan penguasa sebagai patron mereka. Hal ini adalah dalam rangka mencapai tujuan bersama mereka yang lebih bersifat kepentingan pribadi. Kemudian juga digulirkannya beberapa program kehutanan sosial yang disinyalir merupakan respon dari tuntutan masyarakat, ternyata hanya sekedar lips service saja dan kenyataannya pemerintah tidak serius dalam menjawab tuntutan tersebut. Sebagai contoh digulirkannya Program Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (PHBM) pada tahun 2001 oleh Perum Perhutani dan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL) sejak tahun 2003, ternyata belum sepenuhnya mengakomodir keinginan dan problematika yang dihadapi masyarakat yang merupakan salah satu pihak yang akan diuntungkan dari program tersebut. Selain itu juga beberapa program atau gerakan rehabilitasi hutan yang berbasis sosial kemasyarakatan tidak sesuai dengan problematika lapangan yang sebenarnya. Asumsi-asumsi yang dibangun pemerintah saat menggulirkan sebuah kebijakan sangat jauh berbeda dengan realita dan nilai-nilai yang sebenarnya terjadi atau ada dalam masyarakat. Beberapa penyebabnya antara lain pemerintah tidak melakukan assesment terlebih dahulu terhadap permasalahan dan keadaan sosial masyarakat sebagai data awal perumusan sebuah kebijakan dan juga kurangnya partisipasi level menengah ke bawah (sampai masyarakat) dalam perencanaan maupun implementasi sebuah kebijakan. Seringnya kebijakan tersebut hanya memenuhi kepentingan beberapa kelompok orang atau pihak yang dekat dengan kekuasaan. Berangkat dari kenyataan di atas, ilmu-ilmu kehutanan harus segera menyesuaikan dan mengembangkan diri guna mendukung paradigma baru tersebut. Ilmu kehutanan harus disinergikan dengan ilmu-ilmu sosial, politik dan kebijakan, yang banyak berbicara mengenai manusia, negara dan kekuasaan dalam berbagai dimensi dan sudut pandang keilmuan. Teori-teori sosial dan politik harus menjadi salah satu landasan berfikir dalam merumuskan satu model atau sistem perencanaan dan pengelolaan hutan. Selain itu juga dapat dimanfaatkan untuk mengkaji serta mengevaluasi apakah berbagai kebijakan besar disektor kehutanan sekarang ini sudah memenuhi standar idealitas atau kewajaran dalam pandangan ilmu sosial maupun politik. Dari uraian di atas sebenarnya terbuka peluang yang cukup besar untuk mengadakan penelitian ilmiah untuk menggali dan memahami berbagai fenomena yang
11
terjadi di dunia kehutanan menggunakan kacamata atau pendekatan ilmu politik. Sebagai contoh antara lain : - memotret dan memahami beberapa kebijakan kehutanan dalam rentang waktu tertentu, faktor politik apa yang menjadi pemicu utama munculnya kebijakan tersebut dan apa implikasinya terhadap hutan dan masyarakat sipil - melakukan evaluasi terhadap beberapa program rehabilitasi hutan terutama yang memiliki landasan sebagai gerakan sosial dan atau politik (misal GN-RHL dan PHBM) dengan menggunakan indikator-indikator sosial politik guna menemukan realita-realita yang kemungkinan menjadi kelemahan atau kesalahan dan akhirnya menjadi kendala terhadap pencapaian tujuan mulia dari program tersebut, untuk kemudian dapat memberikan alternatif solusi dari permasalahan yang ada Khusus untuk pelung riset yang kedua, berbagai pertanyaan yang sekarang sering muncul terkait dengan pelaksanaan kedua program tersebut antara lain : mengapa kedua program tersebut saat ini dinilai kurang berhasil (dari beberapa aspek) dan kurang diminati oleh masyarakat? apa yang kurang dari fasilitasi oleh pemerintah terhadap program ini? mengapa pihak atau lembaga yang mendapat kewenangan eksekusi program di berbagai level tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik? mengapa pemerintah seolah setengah hati dalam melaksanakan program ini?. Berbagai pertanyaan diatas mungkin dapat dicarikan jawabannya melalui pendekatan (metodologi dan teori) dalam ilmu politik untuk melakukan kajian pada program tersebut. Pendekatan atau metodologi yang dapat dimanfaatkan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan diatas adalah pendekatan institusionalisme ataupun behavioralisme yang berangkat dari epistemologi positivisme. Dari kajian ini sangat dimungkinkan akan muncul berbagai alternatif solusi dari beberapa permasalahan yang selama ini menjadi kendala bagi keberhasilan pelaksanaan program. Dari sisi bagaimana menghasilkan sebuah kebijakan pengelolaan hutan, maka berbagai teori agenda setting maupun analisis kebijakan juga akan sangat membantu untuk mengidentifikasi dan memecahkan berbagai permasalahan yang muncul. Dengan kata lain, dinamika yang terjadi dalam kegiatan pengurusan dan pengelolaan hutan di Indonesia hingga saat ini sangat membutuhkan kontribusi dari disiplin ilmu lain guna memecahkan setiap persoalan yang muncul dengan tingkat kompleksitas yang tinggi. Disiplin ilmu politik merupakan salah satu yang dapat
12
dimanfaatkan untuk baik secara multidisipliner maupun interdisipliner bahu-membahu dengan ilmu kehutanan guna mengurai problematika pengelolaan hutan dan menyajikan berbagai alternatif solusi pemecahannya. Kedepannya perlu dikembangkan berbagai riset interdisipliner antara ilmu kehutanan dan ilmu politik baik oleh mahasiswa maupun tenaga pendidik guna menciptakan pengetahuan-pengetahuan baru seputar politik kehutanan dan lingkungan yang mungkin dapat dimanfaatkan oleh berbagai pihak yang memperoleh kewenangan dalam mengelola hutan. Hal ini merupakan tantangan yang harus mulai dirintis bersama secara kolektif oleh setiap elemen akademisi di dunia kehutanan Indonesia. Hasil Pembelajaran a. Mampu memahami dan menjelaskan : (1) Paradigma/pendekatan dalam ilmu politik (2) Metodologi dan metode dalam ilmu politik b. Mampu menggunakan pendekatan dan metodologi tersebut untuk memotret dan menganalisis kondisi kehutanan Indonesia dari berbagai aspek
Aktifitas (1) Membaca bahan ajar sebelum kuliah, (2) Membaca bahan bacaan/pustaka yang relevan (3) Mencari contoh kasus dalam pengelolaan hutan di Indonesia sebagai bahan diskusi (4) Diskusi dan menjawab kuis
Kuis dan latihan (1) Jelaskan pentingnya perspektif dan metodologi dalam melakukan analisis politik hutan dan berikan contoh kasus yang menguatkan argumentasi saudara ! (2) Terangkan metodologi dalam ilmu politik yang berada dalam epistemologi positivist dan interpretif serta berikan contoh kasus dikehutanan yang dapat dianalisis dengan metodologi tersebut ! (3) Mengapa ilmu kehutanan maupun praktek pengelolaan hutan dewasa ini sangat membutuhkan sentuhan atau kontribusi dari ilmu-ilmu politik ? Berikan contoh kasus yang menguatkan argumentasi saudara !
13
DAFTAR PUSTAKA
Al Hardallu A. 2003. Environmental Governance. Dept. of Political Science. University of Khartoum. Sudan Aliadi A, Kaswinto, Rusyana N, Suporahardjo, Muslih, Isnaini N & Rosita. 2006. Promoting Good Forest Governance Practice in Indonesia. Lembaga Alam Tropika Indonesia. Amal I. 2002. Pembaruan Tata Pemerintahan Daerah Otonom dalam Pengintegrasian Pilar-pilar Good Governance. Prosumen dan Forkoma MAP. UGM. Yogyakarta. Anderson J. 2000. Four Considerations for Decentralized Forest Management: Subsidiarity, Empowerment, Pluralism and Social Capital. Dalam Enters T, Durst PB & Victor M (eds). 2000. Decentralization and Devolution of Forest Management in Asia and The Pacific. FAO & RECOFTC Report 18 & RAP Publication / I. Bangkok. Thailand. Anonim. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan. Jakarta. Anonim. 2011. Peran Serta Swasta dalam Pengelolaan Kawasan Konservasi. Prosiding Workshop. Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta Anwar WK. 2002. Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Hutan. BP Arupa. Yogyakarta. Apter D.E. 1996. Pengantar Analisa Politik. PT Pustaka LP3ES Jakarta. Indonesia Awang SA, Widayanti WT, Himmah B, Astuti A, Septiana RM, Solehudin & Novenanto A. 2008. Pemberdayaan Lembaga Masyarakat Desa Hutan. Pusat Kajian Hutan Rakyat. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta . Banerjee, S.B. 2003. Who Sustains Whose Development? Sustainable Development and the
Reinvention
of
Nature.
SAGE
Publications,
London.
http://www.colby.edu/personal/t/thtieten/susdevgen.html. Agustus 2007. Barr C.M., 1998, Bob Hasan, The Rise of Apkindo, Bahan Bacaan Seminar Ekonomi Politik, Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik, UGM, Yogyakarta Berger G. 2003. Reflections on Governance; Power Relations and Policy Making in Regional Sustainable Development. Journal of Environmental Policy & Planning Vol 5, No. 3, ICCR Austria.
14
Bruhl, T. and Simonis, U.E. 2001. World Ecology and Global Environmental Governance. Science Center Berlin D-10785, Jerman. http://skylla.wz-berlin.de/pdf/2001/ii01402.pdf. Juli 2008. Burnham P., dkk., 2004, Research Methods in Politics, Palgrave Macmillan, New York Cohen JM & Uphoff NT. 1980. Participationns Place in Rural Development: Seeking Clarity through Specifity. World Development. Vol. 8. Cunningham F., 2001, Theories of Democracy, Routledge, London & New York Dwiyanto A., dkk., 2006, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Erawan I.K.P., dkk, 2007, Handout Mata Kuliah Teori Perilaku Politik, Sekolah Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik, UGM, Yogyakarta Escobar A., 1995, Encountering Development (Making and Unmaking of Third World), Princetown University Press, Princetown, New Jersey. Fakih M., 2006, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta Fattah A. 2000. Konservasi di Hutan Produksi Bagi Pengelolaan Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan. Prosiding Seminar nasional keharusan Konservasi di Hutan Produksi. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Forrester G., 2002, Indonesia Pasca Soeharto, Tajidu Press, Yogyakarta Gaffar A. 2006. Politik Indonesia; Transisi Menuju Demokrasi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Gulo, W., 2002, Metodologi Penelitian, PT Gramedia, Jakarta Handadhari, T. 1999. Membenahi Manajemen Pengusahaan Hutan. Di dalam : Prosiding Seminar
Menempatkan
Kembali
Ilmu Kehutanan
dalam Pembangunan
Kehutanan Masa Depan, Reuni Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta, 3-4 Desember 1999. Hlm.75-80. Hettne, B. 2001. Teori Pembangunan dan Tiga Dunia. PT Gramedia, Jakarta. 526hlm. Humphreys, D. 1996. Forest Politics. Earthscan Publication Ltd., London. 299hlm. Jessop B. 1998. The Rise of Governance and The Risk of Failure. Blackwell Publishers. United Kingdom.
15
Jordan A, Wurzel RK & Zito AR. 2003. New Instruments of Environmental Governance; Patterns and Pathways of Change. Economic and Social Research Council’s. UNDP. Khakim A. 2005. Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia dalam Era Otonomi Daerah. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. Kooiman J. 1993. Modern Governance. London: Sage. Lay C., dkk., 2007, Handout Mata Kuliah SeminarPolitik Lokal, Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik, UGM, Yogyakarta Marsh D. & Stoker G., 1995. Theory and Methods in Political Science. Macmillan Press Ltd. London Maryudi A. 2009. Forest Matters. Germany Mas'oed M., 2003, Politik, Birokrasi dan Pembangunan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Mas´oed M., 2003, Negara, Kapital dan Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Morrison
E.
2007.
Governance
Reform
and
Forests.
www.IIED.org/
NR/forestry/projects/forest.html.pdf Nurdjana IGM dkk.,2005, Korupsi dan Illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Nugroho R. 2007. Analisis Kebijakan. PT. Elex Media Komputindo. Kelompok Gramedia. Jakarta. Nurrochmat DR. 2005. Strategi Pengelolaan Hutan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Panggabean S.R., 2007, Manajemen Konflik; Handout Mata Kuliah Governance dan Manajemen Konflik Politik, Program Pascasarjana, Jurusan Ilmu Politik, UGM Philipus & Aini N. 2006. Sosiologi dan Politik. Rajawali Press. Jakarta Pierre J & Peter GB. 2000. Governance, Politics and the State. London. Macmillan Press Ltd. Prakosa M., 1996, Renjana Kebijakan Kehutanan, Aditya Media, Yogyakarta Pratikno dkk., 2007, Handout Mata Kuliah Seminar Birokrasi Indonesia, Sekolah Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik, UGM, Yogyakarta Pratikno & Lay C., 2006, Alternatif terhadap perspektif Pluralism; Governability, Handout Mata Kuliah Politik Indonesia Pruit D.G. dan Rubin J.Z., 2004, Teori Konflik Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
16
Putnam R. 1995. Bowling Alone: America’s Declining Social Capital. Journal of Democracy. January. Raditte DS, Suprijadi D & Susanti A. 2006. Laporan Analisa Dampak dan Manfaat Gerhan di Kabupaten Gunung Kidul. Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. Ritzer G. dan Goodman D.J., 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta Salim A., 2006, Teori & Paradigma Penelitian Sosial, Tiara Wacana, Yogyakarta Santoso H., 1999, Konflik Berkepanjangan Masyarakat Sekitar Hutan vs Pemerintah, Warta FKKM Volume 2, Nomor 2, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta Santoso H., 2001, Perlawanan Masyarakat Desa Hutan; Kasus Randublatung Jawa Tengah, Warta FKKM Volume 4, Nomor 7, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta Santosa P., 2003, Pengelolaan Negara, Mekanisme Pasar dan Dinamika Ekosistem; Tiga Medium Interaksi Pemerintahan, Jurnal Transformasi, Volume 1, Nomor 1 Santosa P., 2006, Handout Mata Kuliah Teori Politik:Demokrasi, Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik, UGM, Yogyakarta Santosa P., 2007, Handout Mata Kuliah Politik Ekonomi dan Lingkungan, Program Pascasarjana Jurusan Ilmu Politik, UGM, Yogyakarta Sedarmayanti. 2004. Good Governance. CV. Mandar Maju. Bandung. Setiahadi R., 2001, Konflik Desa Hutan, Warta FKKM Volume 4, Nomor 12, Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta Slamet Y. 1989. Konsep-konsep Dasar Partisipasi Sosial. Pusat Antar Universitas Studi Sosial. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Simon H., 1999, Pengaturan Hasil Hutan, Bagian Penerbitan Fakultas Kehutanan, UGM, Yogyakarta Stoker G. 1998. Governance as Theory : Five Propositions. Blackwell Publishers. 108 Cowley Road Oxford. United Kingdom. Sumarto HS. 2003. Inovasi, Partisipasi dan Good Governance. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Sukisno, 1999, Kesejahteraan Masyarakat dalam Hubungannya dengan Pencurian Kayu Jati di BKPH Pojok KPH Purwodadi, Skripsi, Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta Sumitro A., 2005, Ekonomi Sumberdaya Hutan, Debut Press, Yogyakarta
17
Suparno. 2006. Perencanaan Lokasi, Tata Organisasi Pelaksanaan dan Pengawasan Program Gerhan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Makalah Seminar Nasional
Arahan Pembentukan Unit Manajemen Program Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Yogyakarta. Susandi, A. 2007. Emisi Karbon dan Potensi CDM dari Sektor Energi dan Kehutanan Indonesia.
Departemen
Geofisika
dan
Meteorologi.,
ITB,
Bandung.
http://armisusandi.com/index.php?lang=&action=article.detail&kategori=working _paper&IDArtikel.pdf. Maret 2009. Thoha M., 1991, Perspektif Perilaku Birokrasi, CV. Rajawali, Jakarta Utomo W. 2007. Administrasi Publik Baru Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Usman S., 2007, Analisis Konflik Sosial; Handout Matakuliah Sosiologi Politik, Jurusan Sosiologi, Fisipol, UGM, Yogyakarta Varma S.P., 2003, Teori Politik Modern, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Walker M. 1995. Toward a Global Civil Society. Providende RI. Bergham Books. Weidelt H.J., 1995, Silvikultur Hutan Alam Tropika, Bagian Penerbitan Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta Wilenius, M. 1999. Sociology, Modernity and the Globalization of Environmental Change. International
Sociology,
London.
http://www.unites.uqam.ca/aep/devdur_revues.htm. Maret 2009. Yunanto S.E., 2006, Pendalaman Demokrasi Lokal melalui Masyarakat Sipil, Sekolah Pascasarjana UGM, Yogyakarta Zartman W., 1997, Governance and Conflict Management, Brooking Institution Press, Washington D.C.
18