BAB II NILAI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DAN PERILAKU KEAGAMAAN A. Nilai Pendidikan Agama Islam 1. Nilai Nilai adalah ubahan skor hasil pengukuran menurut acuan dan skala tertentu. Pengukuran menghasilkan skor, sedang penilaian menghasilkan nilai. Nilai berbeda dengan skor. Dalam tes hasil belajar, skor merupakan jumlah jawaban yang benar yang dapat dibuat oleh siswa. Pengukuran dilakukan dengan menerangkan skor atau bilangan pada jawaban yang diberikan oleh siswa. Skor itu kemudian menjadi nilai setelah diubah dengan acuan dan skala tertentu. Dari nilai pengambilan keputusan tertentu dalam pendidikan dapat dibuat.28 Sedangkan menurut Juhaya S. Praja dalam bukunya Aliran-Aliran Filsafat dan Etika, nilai artinya harga. Sesuatu mempunyai nilai bagi seseorang karena ia berharga bagi dirinya. Pada umumnya orang mengatakan bahwa nilai sesuatu benda melekat dan bukan di luar benda.29 Menurut Riseri Frondizi, dalam bukunya Pengantar filsafat Nilai, nilai merupakan kualitas yang tidak tergantung pada benda; benda adalah
28 29
Purwanto, Evaluasi Hasil Belajar (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 205. Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika (Jakarta: Prenada Media, 2003), hlm.
59.
24
25
sesuatu yang bernilai. Ketidaktergantungan ini mencakup setiap bentuk empiris, nilai adalah kualitas a priori.30 Salah satu tugas yang paling memusingkan kepala dan menantang bagi guru adalah menilai hasil belajar siswa. Tetapi bagaimanapun juga tugas ini tidak dapat diabaikan apalagi dihindari. Untuk menilai hasil belajar siswa harus digunakan suatu kriteria. Kriteria penilaian hasil belajar banyak macamnya, mungkin sebanyak guru yang memberikan nilai. Satu hal yang pada umumnya disepakati adalah menjelaskan arti nilai yang diberikan kepada siswa. Paling tidak, nilai hendaknya menginformasikan harga diri standar bahan pelajaran suatu mata pelajaran.31 Faktor yang mempengaruhi validitas penilaian: a. Karakteristik dan kondisi siswa b. Pelaksanaan penilaian dan prosedur penskoran c. Proses pembelajaran.32 Sedangkan pelaksanaan penilaian sendiri dipengaruhi oleh 2 faktor, yaitu: a. Subjektivitas seorang penilai yaitu ketertarikan seorang penilai. b. Objektivitas penilai yaitu seorang penilai menilai berdasarkan kualitas objek yang dinilai.33
30
Riseri Frondizi, Pengantar Filsafat nilai, terj. Cuk Ananta Wijaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm. 1. 31 Haryu Islamuddin, Psikologi PendidikanCet. Ke-1 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012) hlm. 234-235. 32 Kusaeri, Acuan dan Teknik Penilaian Proses & Hasil Belajar dalam Kurikulum 2013 (Yogyakarta: Ar Ruzz Media, 2014), hlm. 52-53.
26
2. Pendidikan a. Pengertian Pendidikan Pendidikan adalah proses perubahan sikap dan tingkah laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui usaha pengajaran dan pelatihan.34 Pendidikan merupakan sebuah proses kegiatan yang disengaja atas input siswa untuk menimbulkan suatu hasil yang diinginkan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Sebagai sebuah proses sengaja maka pendidikan harus dievaluasi hasilnya untuk melihat apakah hasil yang dicapai telah sesuai dengan tujuan yang diinginkan dan apakah proses yang dilakukan efektif untuk mencapai hasil yang diinginkan.35 Pendidikan agama Islam adalah usaha sadar dan terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran Islam, dibarengi dengan tuntutan untuk menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar-umat beragama sehingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa.36 b. Pendidikan Agama Islam Pendidikan Agama Islam adalah upaya sadar dan terencana menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati, hingga mengimani ajaran Islam, dibarengi dengan tuntunan untuk 33
Riseri Frondizi, op. cit., hlm. 19-20. Ibid.,hlm. 3. 35 Purwanto, op. cit., hlm. 18. 36 Baharudin, Pendidikan dan Psikologi Perkembangan (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), hlm. 196. 34
27
menghormati penganut agama lain dalam hubungannya dengan kerukunan antar umat beragama hingga terwujud kesatuan dan persatuan bangsa. Pendidikan Agama Islam adalah suatu usaha untuk membina dan mengasuh peserta didik agar senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh. Lalu menghayati tujuan, yang pada ahirnya dapat mengamalkan serta menjadikan ajaran Islam sebagai pandangan hidup.37 c. Tujuan Pendidikan Berbicara tentang tujuan pendidikan tidak bisa lepas dari tujuan hidup manusia.Sebab, manusia hanyalah suatu alat yang digunakan oleh manusia untuk memelihara kelanjutan hidupnya.38 Tujuan pendidikan adalah perubahan perilaku yang diinginkan terjadi setelah siswa belajar. Tujuan pendidikan dapat dijabarkan mulai
dari
tujuan
nasional,
institusional,
kurikuler
sampai
instruksional. Tujuan nasional pendidikan adalah cita-cita Negara terhadap warga Negara setelah mengikuti pendidikan. Tujuan nasional merupakan tujuan yang terlalu luas untuk dilihat perubahan perilakunya dan diukur. Untuk mempermudah pengukurannya, tujuan nasional dioperasionalisasikan ke dalam tujuan institusional yaitu tujuan pendidikan pada masing-masing jenjang dan jenis lembaga.
37
Abdul Majid, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi: Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 30. 38 Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam (Jakarta: Al-Husna Zikra, 2000),hlm. 339.
28
Tujuan institusional juga belum dapat dilihat perubahan perilakunya sehingga
belum
dapat
diukur.
Sehingga
tujuan
institusional
dioperasionalisasikan ke dalam tujuan untuk setiap bidang studi atau mata pelajaran atau mata kuliah yang disebut tujuan kurikuler. Tujuan kurikuler juga belum dapat dilihat perubahan perilaku dan diukur sehingga dijabarkan lagi ke dalam tujuan pendidikan pada tingkat pengajaran yang disebut tujuan instruksional. Tujuan instruksional dapat berupa tujuan yang bersifat umum dan khusus. Tujuan instruksional umum adalah tujuan pengajaran yang perubahan perilaku siswa yang belajar masih merupakan perubahan internal yang belum dapat diukur dan dilihat. Tujuan instruksional khusus adalah tujuan pengajaran di mana perubahan perilaku telah dapat dilihat dan diukur. Kata kerja yang menggambarkan perubahan perilaku telah spesifik sehingga memungkinkan dilakukan penafsiran.39 Tujuan pendidikan agama Islam pada hakikatnya sama dan sesuai dengan tujuan diturunkan agama Islam, yaitu untuk membentuk manusia yang muttaqin yang rentangannya berdimensi infinitum (tidak terbatas menurut jangkauan manusia), baik secara linear maupun secara algoritmik (berurutan secara logis) berada dalam garis Mukmin-Muslim-Muhsin dengan perangkat komponen, variabel, dan parameternya
masing-masing
kompetitif.
39
Purwanto, op. cit., hlm. 35-37.
yang
secara
kualitatif
bersifat
29
Tujuan pendidikan Islam dapat dipecah menjadi tujuan-tujuan berikut ini: - Membentuk manusia Muslim yang dapat melaksanakan ibadah mahdah. - Membentuk
manusia
Muslim
yang
di
samping
dapat
melaksanakan ibadah mahdah, juga dapat melaksanakan ibadah muamalah dalam kedudukannya sebagai anggota masyarakat dalam lingkungan tertentu. - Membentuk warga negara yang bertanggung jawab kepada masyarakat dan bangsanya dan tanggung jawab kepada Allah, penciptanya. - Membentuk dan mengembangkan tenaga professional yang siap dan terampil atau tenaga setengah terampil untuk memungkinkan memasuki teknostruktur masyarakat. - Mengembangkan tenaga ahli di bidang ilmu (agama dan ilmuilmu Islami lainnya). Oleh karena itu, pendidikan Islam sangat penting keberadaannya karena pendidikan agama Islam merupakan suatu upaya atau proses, pencarian, pembentukan, dan pengembangan sikap dan perilaku untuk mencari, mengembangan, memelihara, serta menggunakan ilmu dan perangkat teknologi atau keterampilan demi kepentingan manusia sesuai dengan ajaran Islam. Oleh karena itu, pada hakikatnya proses pendidikan Islam merupakan proses pelestarian dan penyempurnaan
30
kultur Islam yang selalu berkembang dalam suatu proses transformasi budaya yang berkesinambungan di atas konstanta wahyu yang merupakan nilai universal.40 B. Perilaku Keagamaan 1. Pengertian Perilaku Keagamaan Perilaku berarti tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau lingkungan.41 Keagamaan berasal dari kata dasar agama yang berarti sistem, prinsip kepercayaan kepada Tuhan dengan ajaran kebaktian dan kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Kata keagamaan mendapat awalan ke- dan akhiran –an yang mempunyai arti sesuatu (segala tindakan) yang berhubungan dengan agama.42 Aktivitas beragama bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual (beribadah), tetapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan akhir. Bukan hanya yang berkaitan dengan aktivitas yang tampak dan dapat dilihat dengan mata, tetapi juga aktivitas yang tak tampak dan terjadi dalam hati seseorang.43 Menurut Ramayulis dalam bukunya yang berjudul Psikologi Agama, tingkah laku keagamaan adalah segala aktivitas manusia dalam kehidupan didasarkan atas nilai-nilai agama yang diyakininya.Tingkah laku keagamaan tersebut diwujudkan dari rasa dan jiwa keagamaan berdasarkan kesadaran dan pengalaman beragama pada diri sendiri. 40
Baharudin, op. cit., hlm. 196-197. Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), hlm. 755. 42 Ibid., hlm. 11. 43 Djamaludin Ancok dan Fuad Nashori Suroso, Psikologi Islami (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994), hlm. 76. 41
31
Tingkah laku keagamaan itu sendiri pada umumnya didorong oleh adanya suatu sikap keagamaan yang merupakan keadaan yang ada pada diri seseorang.44 2. Macam-macam Perilaku Keagamaan Dalam buku Sosiologi Agama karya Hendro Puspito, perilaku atau pola kelakuan dibagi menjadi 2 macam, yaitu: a. Pola kelakuan lahir Pola kelakuan lahir adalah cara bertindak yang ditiru oleh orang banyak secara berulang-ulang. b. Pola kelakuan batin Pola kelakuan batin adalah cara berfikir, berkemauan dan merasa yang diikuti oleh banyak orang berulang kali.45 Menurut Glock dan Stark, ada lima macam dimensi keberagamaan, yaitu: 1) Dimensi
keyakinan.
Dimensi
ini
berisi
pengharapan-
pengharapan di mana orang religious berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu dan mengakui kebenaran doktrindoktrin tersebut. 2) Dimensi praktik agama. Dimensi ini mencakup perilaku pemujaan, ketaatan, dan hal-hal yang dilakukan orang untuk menunjukkan komitmen tehadap agama yang dianutnya.
44
Ramayulis, Psikologi Agama, Cet ke-10 (Jakarta: Kalam Mulia, 2013), hlm. 117-118. Hendro Puspito, Sosiologi Agama (Yogyakarta: Kanisius, 1983), hlm. 111.
45
32
3) Dimensi pengalaman. Dimensi berisikan dan memperhatikan fakta bahwa
semua
agama mengandung pengharapan-
pengharapan tertentu, meski tidak tepat jika dikatakan bahwa seseorang yang beragama dengan baik pada suatu waktu akanmencapai pengetahuan subjektif dan langsung mengenai kenyataan terakhir. 4) Dimensi pengetahuan agama. Dimensi ini mengacu pada harapan bahwa orang-orang yang beragama paling tidak memiliki sejumlah minimal pengetahuan mengenai dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci dan tradisi-tradisi. 5) Dimensi pengalaman atau konsekuensi. Dimensi ini mengacu pada identifikasi akibat-akibat keyakinan keagamaan, praktik, pengalaman, dan pengetahuan seseorang dari hari ke hari.46 Walaupun tak sepenuhnya sama, dimensi
keyakinan dapat
disejajarkan dengan akidah, dimensi praktik agama disejajarkan dengan syariah dan dimensi pengamalan disejajarkan dengan akhlak.47 3. Faktor yang Berpengaruh dalam Perkembangan Agama Pada Masa Anak-anak Sifat keagamaan pada anak-anak tumbuh mengikuti pola ideas concept on authority, yaitu ide keagamaan pada anak hampir sepenuhnya autoritarius, yaitu maksudnya faktor keagamaan pada diri mereka
46
Djamaluddin Ancok dan Fuat Nashori Suroso, op. cit., hlm. 77-78. Ibid., hlm. 80.
47
33
dipengaruhi oleh faktor dari luar diri mereka.48 Menurut penelitian Ernest Harms, yang dikemukakan oleh Ramayulis, perkembangan agama anakanak itu melalui beberapa fase atau tingkatan, yang antara lain adalah: a. The Fairy Tale Stage (Tingkatan Dongeng) Tingkatan ini dimulai pada anak yang berusia 3-6 tahun. Pada tingkatan ini, konsep mengenai Tuhan lebih banyak dipengaruhi oleh fantasi dan emosi, hingga dalam menanggapi agama pun, anak masih menggunakan konsep fantastis yang diliputi oleh dongengdongeng yang kurang masuk akal. Pada perkembangan ini, anak menghayati konsep ketuhanan sesuai dengan tingkat perkembangan intelektualnya. b. The Realistic Stage (Tingkatan Kenyataan) Tingkatan ini dimulai sejak anak masuk Sekolah Dasar hingga ke usia (masa usia) adolesense. Pada masa ini, ide ketuhanan anak sudah mencerminkan konsep-konsep yang berdasarkan kepada kenyataan (realitas).Konsep ini timbul melalui lembaga-lembaga keagamaan dan pengajaran agama dari orang dewasa lainnya.Pada masa ini, ide keagamaan anak didasarkan atas dorongan emosional, hingga mereka dapat melahirkan konsep Tuhan yang formalis. Berdasarkan hal itu, pada masa ini, anak-anak tertarik dan senang pada lembaga keagamaan yang mereka lihat dikelola oleh orang
48
Noer Rohmah, Pengantar Psikologi Agama (Yogyakarta: Teras, 2003), hlm. 104-105.
34
dewasa dalam lingkungan mereka. Segala bentuk tindak (amal) keagamaan mereka ikuti dan pelajari dengan penuh minat. c. The Individual Stage (Tingkat Individu) Pada tingkat ini, anak telah memiliki kepekaan emosi yang paling tinggi sejalan dengan perkembangan usianya.49 4. Ciri-ciri Keagamaan pada Anak-anak a. Orientasi Egosentris Ciri keberagamaan pada anak-anak yang pertama yang paling jelas adalah orientasi egosentris. Anak memiliki kesadaran akan diri sendiri sejak pada tahun pertama dalam pertumbuhannya dan akan berkembang sejalan dengan pertambahan pengalamannya. Apabila kesadaran akan diri itu mulai subur pada diri anak, maka akan tumbuh keraguan pada rasa egonya. Semakin bertumbuh semakin meningkat pula egoismenya.Sehubungan dengan hal itu maka dalam masalah keagamaan anak telah menonjolkan kepentingan dirinya dan telah menuntut konsep keagamaan yang mereka pandang dari kesenangan pribadinya. Doa masa anak-anak dilandasi oleh orientasi egosentris. Elkind, Spilka, dan Long, mempelajari konsep doa anak-anak. Tingkat pertama, umur 5-7 tahun, anak secara sadar menghubungkan doa dengan Tuhan atau formula doa tertentu yang diajarkan orang kepada mereka. Pada tingkat kedua, umur 7-9 tahun, doa secara 49
Bambang Syamsul Arifin, Psikologi Agama (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2008), hlm.
49-50.
35
khusus dihubungkan dengan kegiatan atau gerak-gerik tertentu tetapi tetap konkrit dan amat pribadi. Dalam tingkat ketiga, umur 9-12 tahun, ide tentang doa sebagai komunikasi antara anak dan Tuhan mulai tampak. Baru pada tahap ketiga itu isi doa beralih dan keinginan egosentris ke masalah yang tertuju pada orang lain yang bersifat etis. b. Kekonkritan Antropomorfis Ciri
kedua
antropomorfis,
keagamaan di
mana
anak-anak
kata-kata
dan
adalah
kekonkritan
gambaran-gambaran
keagamaan diterjemahkan ke dalam pengalaman-pengalaman yang sudah dijalani dan biasanya dalam bentuk orang-orang yang sudah dikenal. Anak-anak biasanya berusaha menghubungkan penjelasan keagamaan yang abstrak dengan dunia pengalaman mereka yang konkrit. c. Eksperimentasi, Inisiatif, Spontanitas Ciri
ketiga,
eksperimentasi
agama
masa
dengan
anak-anak
individualitas,
itu
tumbuh
inisiatif,
dan dan
spontanitas.Agama pada masa anak dengan demikian cenderung mengambil ciri eksperimentasi dan spontanitas lahir dalam bentukbentuk teologis yang tak teramalkan dan individualistis. d. Kurang Mendalam/Tanpa Kritik Ciri pengertian kurang mendalam atau kurang kritis artinya bahwa pemahaman anak-anak terhadap ajaran agama dapat saja
36
mereka terima tanpa kritik.Kebenaran yang mereka terima tidak begitu mendalam sehingga cukup sekedarnya saja dan mereka sudah merasa puas dengan keterangan yang kadang-kadang kurang masuk akal. Namun demikian hal ini tidak menafikan beberapa orang anak yang memiliki ketajaman pikiran untuk menimbang pemikiran yang mereka terima dari orang lain. e. Ucapan dan Praktek Ciri kelima agama anak, berupa ucapan dan praktek.Kehidupan agama pada anak-anak sebagian besar tumbuh mula-mula dalam bentuk verbal (ucapan). f. Suka Meniru Ciri kelima agama anak adalah suka meniru. Tindak keagamaan yang dilakukan oleh anak-anak pada dasarnya mereka peroleh dari meniru. Para ahli psikologi menganggap, bahwa dalam segala hal anak merupakan peniru yang ulung. Sifat peniru ini merupakan modal yang positif dalam pendidikan keagamaan pada anak. g. Ciri ketujuh agama anak adalah rasa heran. Rasa heran dan kagum merupakan tanda dan sifat keagamaan yang terakhir pada anak. Anak-anak hanya kagum terhadap keindahan lahiriah saja. Hal ini merupakan langkah pertama dari pernyataan kebutuhan anak akan dorongan untuk mengenal.50
50
Ramayulis, op.cit.,hlm. 56-59.