BAB II METODOLOGI
A. Identifikasi Masalah Keyakinan bahwa wayang merupakan produk budaya sejati bangsa Indonesia antara lain ditegaskan oleh G.A.J. Hazeu, Brandes, N.J. Krom, Prof. Kern, dan W.H. Rassers; kelima sarjana Barat yang memiliki perhatian besar terhadap wayang.
Hazeu berpendapat
bahwa pertunjukan wayang kulit purwa adalah hasil kebudayaan Indonesia, karena nama-nama atau istilah-istilah yang dipakai dalam pergelaran wayang, seperti: wayang, kelir (layar pertunjukan), kothak, keprak, bléncong (lampu panggung), dan dhalang adalah bahasa Jawa asli, bukan sadapan dari istilah asing tegasnya India. Selanjutnya dijelaskan bahwa pertunjukan wayang Jawa sangat erat kaitannya dengan upacara-upacara animisme, dinamisme, dan totemisme
yang
tumbuh
sebelum
orang
Indonesia
mendapat
pengaruh kebudayaan India (Hazeu 1979:50–54). Brandes dan N.J. Krom memperkuat pernyataan Hazeu dengan memberikan bukti-bukti sebagai berikut.
Pertama, meskipun repertoar cerita wayang
(Ramayana dan Mahabharata) berasal dari India, tetapi telah diadaptasi oleh nenek moyang orang Indonesia (Jawa) serta dipadukan dengan mitos-mitos dan/atau legenda-legenda Indonesia Kuna. Kedua, sebelum tahun berdirinya Candi Kalasan, orang Jawa telah memiliki wayang, gamelan, syair, cara berlayar, bersawah, kenal
4
mengerjakan logam, memiliki mata uang, tahu hal perbintangan, memiliki batik, dan memiliki sistem pemerintahan yang teratur (Soetrisno 1980:4–5). Prof. Kern menyatakan bahwa pekerjaan dalang identik dengan pekerjaan seorang shaman, peréwangan, baliyan, atau dhukun di zaman prasejarah. Ia adalah seorang yang ahli dalam berkomunikasi dengan dunia gaib, mampu menuturkan kisah-kisah petualangan nenek moyang, dan mampu menyembuhkan penyakit, karena itu ia diangkat sebagai pemimpin upacara animistik. Pernyataan Kern ini berlandaskan pada kata “widhu mangidung”, “kedhi”, dan “baliyan” yang terdapat pada lempengan tembaga berangka tahun 782 Çaka.
Kata “kedhi” dan
“baliyan” diartikan sebagai seorang dukun wanita yang tidak bersuami karena kurang sempurna kewanitaannya, sedangkan kata “widhu mangidung” diidentikkan dengan kata “juru bharata” yang berarti tukang cerita (Hazeu 1979:75–76). Rassers memberikan bukti: (1) bahwa pertunjukan wayang telah mengalami evolusi dari ritus-ritus inisiasi kuna yang asli; (2) bahwa semua bagian dari alat-alat teknik wayang ditandai dengan istilah-istilah (Jawa) asli dan bukan India; dan (3) kehadiran figur-figur asli dari para abdi-pelawak dengan mencolok (yang merupakan makhluk-makhluk mitologi asli Indonesia) yang memiliki peranan sangat menonjol dalam pertunjukan-pertunjukan wayang, tetapi tidak ada padanannya dalam wiracarita-wiracarita India (Holt 2000:174).
5
B. Rumusan masalah Dari semua uraian diatas dirumuskan permasalah desain sebagai berikut. Bagaimana cara membuat media promosi cetak yang dapat mempromosikan/ mempublikasikan segala sesuatu di museum wayang dengan menarik. Dengan cara membuat visualisasi desain yang akrab dengan selera kaum remaja, dengan menggunakan desain yang berbeda dari yang sebelumnya, kali ini saya menggunakan desain-desain karakter wayang bergaya vektor. C. Maksud dan Tujuan Perancangan 1. Maksud Perancangan Merancang media promosi cetak untuk museum wayang jakarta. Penyadaran, mengajak dan memberikan peluang untuk para pengunjung
museum
wayang
untuk
lebih
mengetahui
dan
mengenal kebudayaan asli indonesia yaitu wayang. Dengan mengajak semua kalangan umum dari SD, SMP, SMA dan serta orang tua, namun khususnya kaum remaja untuk kembali mengunjungi dan mempelajari nilai luhur dari kearifan lokal.
2. Tujuan Perancangan • Merancang visual yang lebih disukai oleh kaum remaja disaat ini dan sedang marak dipergunakan dan dimanfaatkan 6
• mengoptimalkan pendekatan media cetak agar dapat menarik minat para remaja agar lebih menyukai karya yang telah dirancang • memunculkan keinginan untuk lebih mengenal dan mempelajari tentang wayang
3. Manfaat Tujuan Perancangan a. Remaja • Peluang remaja yang ingin mengunjungi museum wayang sebagai tempat wisata sekaligus tempat belajar b. Turis Asing • Turis asing yang ingin mengunjungi museum wayang memperkenalkan
budaya
lokal
dan
menyebarkan
ke
mancanegara, agar budaya kita lebih dikenal di dunia. c. Budayawan • Sebagai tempat untuk mencari informasi dan sebagai tempat kajian budaya.
4. Batasan dan Ruang Lingkup Masalah Dalam perancangan media promosi ini, penulis mengajak kaum remaja untuk lebih mencintai dan melestarikan budaya dengan pembuatan media-media promosi terkait permasalahan desain dan
7
visualisasi dalam pembuatan media cetak dalam media promosi ini, konsep-konsep yang dibuat
hanya membahas dan membatasi
lingkupan tentang: • Demografi
: dari 12 - 22 tahun
• Geografi
: Masyarakat di kota jakarta
• Psikografi
: Perkembangan media promosi cetak
yang makin berkembang pesat dan praktis • Status ekonomi
: Semua kalangan
5. Metode Perancangan Metode pengumpulan data untuk perancangan media promosi cetak museum wayang, dilakukan dengan cara: • Observasi Mengamati dan terjun langsung ke lapangan melihat kendalakendala yang ada. • Internet Mengumpulkan data dengan browsing berbagai website di internet yang memuat informasi yang mendukung dalam proses pembuatan perancangan ini. • Studi Pustaka/ Literatur Mengumpulkan data dari berbagai buku pengetahuan dan buku-buku ilmiah.
8
6. Metode Analisa Data Menggunalan metode deduktif, dimana data atau informasi yang telah diperoleh terkumpul dikembangkan dan dianalisis lebih lanjut agar dapat memunculkan minat dan menjadikan museum wayang sebagai sarana belajar dan cagar budaya.
7. Kerangka berfikir
Gambar 2.1.Kerangka berfikir Sumber: Rekayasa digital penulis
9