BAB II LANDASAN TEORITIS PROFIL PENARI SINTREN
2.1 Proses Perubahan Pada Kesenian Sintren Sebuah kebudayaan dimana pun dan kapan pun akan mengalami sebuah proses perubahan. Perubahan tersebut terjadi diakibatkan oleh adanya banyak faktor, diantaranya keadaan masyarakat dimana kebudayaan tersebut lahir. Salah satu kebudayaan yakni diantaranya kesenian sintren, dalam pertunjukannya sintren telah mengalami perubahan sejak lama, antara lain terhadap fungsinya, profil penarinya, teknis maupun perubahan yang menyangkut pandangan dan apresiasi masyarakat. Perubahan yang terjadi dalam perkembangan sintren karena adanya perubahan soisial yang dipicu oleh adanya beberapa faktor, seperti yang diungkapkan oleh Soekanto (1990:350) yaitu sebagai berikut :
Perubahan sosial yang tidak dikehendaki (unintented-change) atau perubahan yang tidak direncanakan (unplaned-change), merupakan perubahan-perubahan yang terjadi tanpa dikehendaki, berlangsung di luar jangkauan pengawasan masyarakatdan menyebabkan timbulnya akibatakibat sosial yang tidak diharapkan masyarakat.
Sampai pada saat ini proses perubahan sosial seperti yang diungkapkan terjadi pada kesenian sintren sekar pandan di Keraton Kecirebonan. Seni pertunjukan sintren hakekatnya merupakan wujud perilaku masyarakat yang di latar belakangi oleh sistem kepercayaan, pengetahuan, norma-norma serta nilainilai sosial budaya masyarakat Cirebon dan sekitaranya. Tradisi ini juga telah diwariskan dari satu generasi pada generasi berikutnya secara turun temurun dan
13
14
berkesinambungan. Kesenian, baik yang bersifat tradisonal maupun non tradisional merupakan karya seni yang setatis yang tidak akan berubah jika tidak dilakukan secara sengaja. Oleh sebab itu, kesenian akan bersifat dinamis seandainya mengalami perubahan karena berbagai hal yang mempengaruhinya. Perubahan yang terjadi terhadap kesenian tradisional dapat dipengaruhi oleh karena berbagai hal, salah satunya adalah karena sistem pewarisan secara tradisional yang biasa digunakan didalam pembelajaran kesenian tradisional. Seperti disampaikan oleh Sumardjo (2001:11) sebagai berikut:
“Seni pertunjukan diajarkan atau diwariskan secara lisan oleh guru kepada muridnya (biasanya bapak kepada anaknya) dengan langsung melihat, mendengar, meniru, dan melakukan, jadi tidak ada patokan buku yang harus dipegang. Semuanya berdasarkan penafsiran baik pada guru maupun bagi si murid, sehingga penambahan dan pengurangan bisa terjadi hanya dalam satu atau dua generasi”.
Dari pernyataan tersebut di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa tindakan dan aktivitas manusia yang melahirkan kebudayaan tidak bisa terlepas dari latar belakang pengetahuan, kepercayaan, norma serta nilai-nilai yang dianut dari generasi satu kegenerasi berikutnya dengan cara melihat, mendengar, menirukan. Seperti yang diungkapkan oleh yakub sumardjo, “jika pengajarnya lupa dengan materi yang akan diajarkan, tidak mustahil dia akan mengajarkan hal yang berbeda dengan materi yang seharusnya diajarkan. Hal lain yang dapat menimbulkan
perubahan
dari
sistem
pembelajaran
seperti
itu,
adalah
kemungkinan pengajar merubah sendiri setruktur yang harusnya dia ajarkan
15
kepada para siswanya”. Hal ini dapat disimpulkan bahwa setiap pelaku seni memiliki apresiasi dan estetika yang berbeda. Proses pewarisan juga dapat dibedakan menjadi beberapa jenis seperti yang diungkapkan oleh Tuti Artha dan Ahimsa (2004:54) bahwa :
warisan budaya dapat dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan pemiliknya, yakni 1) warisan yang merupakan milik pribadi, milik seorang individu. 2) warisan yang merupakan milik keluarga luas atau jenis kelompok kekerabatan yang lain. 3) warisan yang dianggap sebagai milik suatu komunitas, masyarakat tertentu atau bangsa tertentu (Negara).
Sehubungan dengan paparan diatas maka peneliti menarik kesimpulan bahwa adanya perbedaan dalam pewarisan budaya atas kepemilikannya bukan menjadi suatu penghalang dengan bermunculnya kesenian-kesenian tradisional baru yang patut kita pelihara dan melestarikannya serta dapat mewariskan kepada generasi-generasi berikutnya.
2.2 Teori Evolusi Dalam Proses Perubahan Sosial Budaya Perubahan sosial budaya adalah perubahan atau tindakan individu sesuai dengan struktur sosial dan sistem budaya yang dianut oleh individu atau masyarakat yang bersangkutan. Spindler (1977), Lauer (1986), dan Haperkamp, Hans dan Smelser (1977) dalam Ali, Abdullah (2007) menggambarkan makna perubahan sosial adalah perubahan masyarakat menyangkut aspek proses sosial, struktur sosial, tatanan sosial dan realita sosial. Proses sosial merupakan kehidupan histories masyarakat yang saling berinteraksi, saling berkomunikasi melahirkan suatu tindakan yang bertahap membawa perkembangan.
16
Perubahan sosial adalah perubahan yang terjadi dalam jangka waktu tertentu berkaitan dengan peranan institusi secara evolusi. Menurut Suwarsono dan Alvin (1991:10) dalam Ali, Abdullah (2007) dijelaskan bahwa:
“Pertama, bahwa perubahan sosial merupakan gerakan searah garis lurus. Masyarakat berkembang dari masyarakat primitip menuju masyarakat maju. Dengan kata lain, masa depan masyarakat dunia sudah jelas dan dapat diramalkan akan menjadi masyarakat maju. Kedua, bahwa perubahan menuju bentuk masyarakat moderen merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Perubahan sosial berjalan secara perlahan-lahan, sedikit demi sedikit dan bertahap”.
Seperti yang diungkapkan juga menurut Koentjaraningrat (1987:31) proses perubahan evolusi sosial secara universal adalah :
Konsepsi tentang proses evolusi sosial universal, semua hal tersebut harus dipandang dalam rangka masyarakat manusia yang telah berkembang dengan lambat (berevolusi), dari tingkat-tingkat yang rendah dan sederhana, ketingkat-tingkat yang makin lama makin tinggi dan komplex. Proses evolusi seperti itu akan dialami oleh semua masyarakat manusia dimuka bumi, walaupun dengan kecepatan yang berbeda-beda.
Hal itulah yang menyebabkan pada masa sekarang masih ada juga kelompok-kelompok manusia yang hidup dalam masyarakat yang belum banyak berubah, artinya mereka baru berada pada tingkatan-tingkatan permulaan dari proses evolusi sosial mereka, ketika bangsa-bangsa lain berada pada tingkattingkat pertengahan dari proses itu, selain itu ada pula bangsa-bangsa yang telah mencapai tingkat evolusi sosial yang tertinggi. Proses-proses perubahan kebudayaan, dalam sebuah penelitian komperatif untuk mencapai pengertian mengenai proses perubahan kebudayaan dalam
17
masyarakat seringkali digunakan oleh para ahli antopologi sebagai suatu metode penelitian lapangan. Dalam membandinkan suatu kebudayaan, unsur kebudayaan,atau pranata sosial, para ahli antopologi memang cenderung merinci kebudayaan itu pada bagian-bagian yang lebih khusus. Proses perubahan suatu kebudayaan itu ternyata sering kali tidak terjadi serentak dalam waktu yang sama pada semua bagian dari kebudayaan itu, tetapi terjadiya secara deferensial atau berbeda-beda dalam setiap bagiannya. Penyebab terjadinya perubahan sosial pada umumnya terjadi karena dua faktor utama yang hakekatnya satu sistem yakni faktor eksternal sebagai unsur yang datang dari luar masyarakat (seperti difusi, akulturasi, dan moderenisasi) serta faktor internal yakni unsur yang timbul dari dalam (seperti potensi, motifasi dan inovasi). Dari unsur sistem-sistem tersebut, ada dua hal penting yang dianggap paling dominan dalam mempengaruhi proses terjadinya perubahan sosial budaya masyarakat, yakni inovasi dan moderenisasi. Paparan di atas jika dikaitkan dengan pertunjukan sintren yang dianggap sebagai seni tradisi yang merupakan warisan budaya masa lampau (lalu) yang syarat dengan religius, mistik dan magis. Fungsinya yang dulu untuk kebutuhan upacara daur hidup, sekarang perkembangannya mengalami pergeseran nilai budaya, hal ini disebabkan karena faktor perubahan zaman. Faktor lain yang mempengaruhi perubahan kebudayaan adalah karena adanya perubahan teknologi dan komunikasi pada masyarakat. Mengenai hal ini khayam (2000: 383) menjelaskan bahwa :
18
Perkembangan sistem teknologi komunikasi tidak hanya berhasil mengantarkan secara langsung bentuk-bentuk seni tradisional kerumahrumah penduduk, melainkan berhasil pula menawarkan alternative tontonan lain yang berbeda dengan bentuk seni yang pertama tadi.(…) selain itu ditampilkan pula acara-acara musik, seperti musik dangdut, musik pop, musik jazz, musik rok, dan sebagainya. Lewat radio, televisi, dan kaset video masyarakat mengenal tari Bali, Minangkabau dan bahkan break dance. Tawaran tersebut membuat selera masyarakat tidak lagi secara total menghayati salah satu bentuk seni.
Kemajuan perubahan teknologi komunikasi tersebut memiliki pengaruh yang sangat tinggi terhadap kesenian tradisional. Dalam hal ini minat masyarakat untuk menonton pertunjukan secara langsung berkurang, mereka lebih suka menonton lewat televisi dari pada harus secara langsung datang ke tempat pertunjukan. ”Menonton pertunjukan melalui pesawat televisi atau mendengarkan melalui radio tidak hanya memberikan rasa santai, tetapi juga memberikan jaminan keamanan dari berbagai gangguan, baik yang berupa hujan maupun kejahatan” (Khayam, 2000: 383-384). Dengan beralihnya minat masyarakat dari kesenian tradisional kepada kesenian non tradisional, tentunya akan sangat berpengaruh terhadap berbagai pertunjukan kesenian tradisional yang ada di masyarakat. Hal itu dapat kita lihat dalam pertunjukan-pertunjukan tradisional yang dilakukan oleh masyarakat dalam berbagai acara seperti pada acara hajatan maupun acara lainnya yang diadakan oleh masyarakat ataupun lembaga. Konsep perubahan lain yang dijadikan landasan dalam penelitian ini adalah konsep yang disampaikan oleh Kodiran yang ditulis oleh Narawati (2003: 31) bahwa: ”Mekanisme dinamika kebudayaan yang berasal dari luar adalah difusi (diffusion), akulturasi (aculturation) dan perbauran (assimilation)”. Ketiga
19
unsur yang disampaikan oleh Kodiran tersebut di atas adalah hal yang sangat penting yang terjadi di dalam perubahan berbagai karya seni pertunjukan sebagai salah satu bagian dari kebudayaan. Kondisi seperti tersebut di atas tidak saja terjadi pada kesenian-kesenian tradisional yang ada di kota-kota besar, tetapi juga kesenian-kesenian yang ada di kota-kota kecil bahkan di desa-desa pun mengalami hal yang sama. Seperti halnya yang terjadi pada kesenian sintren di mana dalam pertunjukan dan profil penarinya mengalami perubahan. Perubahan yang terjadi dikarenakan bergesernya minat masyarakat terutama generasi muda dari kesenian tradisional kepada kesenian lain. Dewasa ini, globalisasi sebagai suatu budaya baru semakin muncul wahananya, telah menampakan identitasnya ke arah yang komersial.pada dasarnya munculnya budaya baru atau budaya global di pengaruhi juga oleh sistem perdagangan bebas dan terbuka, sehingga muncul pula yang disebut dengan ekonomi industri, yang didalamnya termasuk industri budaya. Dalam era globalisasi ini bukan tenaga dan fikiran saja yang dijual, melainkan komitmen dan loyalitas dari senimannya. M. Jajuli (2000:91-92) mengungkapkan bahwa : kesadaran berekspresi seniman cenderung adanya pergeseran sikap, orientasi, dan kepentingannya, misalnya pergeseran dari kolektifitas ke individualitas, dari motif sosial ke ekonomi, dan dari kemampuan nilai ke ketidak mampuan nilai. Fenomena budaya global ini ternyata telah mendorong lahirnya berbagai seni pertunjukan baru yang secara sengaja melepaskan diri dari konsep-konsep seni tradisi dan bereksperimen untuk mencari identitas baru dengan harapan laku
20
dijual. Dengan demikian seni pertunjukan mengalami perkembangan dan perubahan yang signifikan seiring dengan perkembangan zaman, meskipun secara realita dalam setiap bentuk perubahan tersebut akan mengarah pada dampak positif dan negatifnya sistem atau nilai dari nilai pertunjukan itu sendiri, namun pada intinya seni pertunjukan telah mengalami proses perjalanan mengikuti alur perkembangan zaman. Konsekuensi logis yang perlu dipikirkan adalah bagaiman cara kita mempertahankan kesenian tradisional diera globalisasi sekarang ini. Pasalnya bentuk perubahan yang terjadi telah menghadapkan kita pada dua sisi aspek yang berbeda yakni menuju perubahan positif atau negatif . Mengamati beberapa konsep yang telah dijelaskan diatas, bila dikaitkan dengan pertunjukan sintren yang berkembang di Cirebon dan sekitarnya, maka kesenian tradisional tersebut sedang mengalami perubahan dan pergeseran kebudayaan. Perubahan yang terjadi pada pertunjukan dan profil penari sintren adalah karena di dalamnya tidak lagi seperti dulu, berangkat dari pemikiran tersebut maka seyogyanya kesenian tradisional tidak perlu takut dari pergeseran zaman, namun bagaimana cara mensiasati kondisi tersebut agar menjadi setabil dan kondusif.
2.3 Tradisi Dalam Kepercayaan Tradisi sebagai sistem budaya, mengandung makna adanya sistem gagasan berdasarkan pengetahuan, keyakinan, norma serta nilai-nilai sosial budaya. Tradisi yang selama ini dipahami sebagai adat istiadat yaitu kebiasaan yang diwariskan
21
secara turun temurun secara berkesinambungan, hakekatnya merupakan makna dari kebudayaan, karena berkaitan erat dengan perilaku dan masyarakat pendukungnya, seperti yang diungkapkan oleh Al-Jabar (2000), ‘tradisi berasal dari kata “turats” dalam bahasa arab (wa-ra-tsa) berarti segala yang diwarisi manusia dari orang tuanya’. Perilaku pada masyarakat di Jawa sangat tampak jelas adanya sinkretisme Budaya. Grunebaum (1951:74) menggambarkan bahwa “pendapat para mistikus kejawen yang memahami dunia langit dan bumi laksana sebuah pertunjukan Wayang”. Dari pernyataan di atas, bahwa tradisi di atas merupakan manisfestasi dari warisan tradisi Hindu masa lalu. Pada masa penyebaran agama islam di Cirebon yang dilakukan oleh para wali seni pertunjukan merupakan media yang paling efektif untuk menyebarkan Agama Islam, terlihat jelas pada adaptasi antara masyarakat, budaya dan materi yang disajikan. Langkah-langkah ini memang wajar dilakukan mengingat pada saat itu antara misi yang dibawa oleh tontonan, sekaligus merupakan tuntunan bagi masyarakat yang memiliki latar belakang budaya beragam. Dalam mitos Jawa tradisi pewayangan juga dipraktekan oleh Sunan Kali Jaga , karena itu kalangan masyarakat Islam Jawa dan penganut aliran mistik, tidak merasa penting untuk mempermasalahkan apakah bentuk pertunjukan sintren tergolong perbuatan syirik atau bukan. Sintren diibaratkan sebagai Wayang dan dukun atau mulandang sebagai dalang.
22
2.4 Sejarah Perkembangan Sintren Suatu
kajian
sejarah
kebudayaan
dapat
menyorot
keseluruhan
perkembangan kebudayaan di suatu Daerah atau Negara, namun dapat juga secara khusus memberikan sorotan terhadap salah satu aspek sejarah kebudayaan, ataupun
beberapa
komponen
kebudayaan,
seperti
sistem
kepercayaan
pengetahuan, perekonomian, kesenian, komunikasi (bahasa) dan lain-lain. Suatu gambaran sejarah kebudayaan (budaya) Cirebon yang sekarang ada merupakan bagian budaya hasil pengaruh perkembangan budaya masa lampau. Dalam perkembangannya kebudayaan dan agama sebenarnya memiliki suatu benang merah. Kebudayaan pada dasarnya merupakan manifestasi sistem gagasan manusia yang dilatar belakangi oleh pengetahuan, kepercayaan, norma dan nilai-nilai sosial budaya yang dianutnya. Wujud kebudayaan adalah perilaku atau tindakan seseorang berdasarkan pada sistem budaya tersebut. Sementara itu, agama secara praktis adalah pengamalan norma dan nilai-nilai kepercayaan berdasarkan pengetahuan yang diterima oleh seseorang, baik dari gagasan para tokoh yang dianggap panutan maupun bersumber dari wahyu. Kebudayaan dan Agama secara antropologi bertemu pada titik yang sama, yakni tindakan, perilaku atau pengamalan seseorang berdasarkan latar belakang pengetahuan, kepercayaan, norma-norma, dan nilai-nilai yang diyakininya. Meskipun demikian di antara keduanya bisa berbeda, karena kebudayaan hasil pemikiran atau gagasan manusia, sedangkan Agama adalah ide atau gagasan yang bersumber dari wahyu Tuhan. Letak geografis Cirebon yang berada di persimpangan jalan dari berbagai jurusan, menyebabkan kebudayaan di kota pesisir ini terkesan bertumpang-tindih.
23
Salah satu yang melekat yaitu kebudayaan Hindu, indikasi ini terlihat misalnya pada lambang keraton berupa harimau putih, yang menurut catatan sejarah merupakan peninggalan dari kerajaan Hindu-Sunda. Kalau kita cermati dinamika yang terjadi dalam kebudayaan Cirebon, akan tampak perwujudan persembahan rakyat pada cara kehidupan keagamaan. Sejarah mencatat sebelum kebudayaan Hindu masuk penduduk pulau Jawa, termasuk Cirebon memuja segala manifestasi alam yang mereka lihat sekitarnya seperti tumbuh-tumbuhan, batu, karang, laut, juga sungai, bahkan angin dan topan yang sekali-kali mengganggu kehidupan mereka. Mereka percaya, bahwa segala manisfestasi alam ini mempunyai roh sendiri, umpamanya roh nenek moyang mereka yang selalu hadir dan mengamati mereka, yang menjaga kehidupan dan kesehatan. Dengan demikian, bagi orangorang pra-Hindu semua kesenian bahkan dekorasi pada benda-benda fungsional merupakan perwujudan kepercayaan Agama. Menurut Dahuri, dkk. (2004:135) bahwa, kesenian sintren pada jaman animisme dan dinamisme mempunyi indikasi yang kuat, bahwa kesenian ini dijadikan sebagai media pendekatan diri kepada para leluhur yang disebut barata tunggal, sebab dalam sesajen dan mantra-mantra yang digunakan dalam pagelaran kesenian ini cukup kuat mengarah kekesimpulan itu. Jika memang demikian adanyan, bisa jadi awalnya kesenian ini adalah suatu ritual keagamaan yang berubah menjadi kesenian. Kehidupan rakyat pesisiran Cirebon selalu memiliki tradisi yang kuat dan mengakar. Pada hakikatnya tradisi tersebut bermula dari keyakinan rakyat setempat terhadap nilai-nilai luhur nenek moyang atau bahkan bisa jadi bermula
24
dari kebiasaan atau permainan rakyat biasa kemudian menjadi tradisi yang luhur. Mungkin orang-orang dulu hidup di wilayah pesisiran tidak akan mengira, bahwa tradisi tersebut hingga kini menjadi mahluk langka yang bernama kebudayaan, banyak dicari orang untuk sekedar objek penelitian dan maksud-maksud tertentu lainya yang tentu saja akan beraneka ragam. Salah satu tradisi rakyat Cirebon adalah sintren, kesenian ini menjadi sebuah pertunjukan yang langka, bahkan di daerah kelahiran sintren sendiri. Sintren dalam perkembangannya kini, palingpaling hanya dapat dinikmati setiap satu tahun sekali pada upacara-upacara atau pesta laut seperti Nadran di daerah pesisir dan hajatan-hajatan orang-orang tertentu. Berdasarkan beberapa sumber kalangan seniman tradisi Cirebon, sintren mulai dikenal pada awal tahun 1940-an, menurut Yuhanah, (1983:1333) bahwa, kesenian sintren diawali oleh permainan anak-anak di daerah pesisir, ada yang beranggapan bahwa kesenin sintren merupakan kesenian tradisi yang berasal dari daerah Jawa Tengah yaitu Pemalang, Tegal, Brebes keselatan sampai Cilacap, dan kemudian berkembang di daerah Indramayu, Cirebon, dan Kuningan.
2.5 Legenda Sintren Legenda adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap oleh yang empunya cerita sebagai suatu kajian yang sungguh-sungguh pernah terjadi. Legenda sering sekali dipandang sebadai “sejarah” kolektif (folk history), walaupun “sejarah” itu karena tidak tertulis telah mengalami distori, sehingga sering kali dapat jauh berbeda dengan kisah aslinya. (Danandjaja, 1997: 66)
25
Dari segi asal usul bahasa (etimologi) sintren merupakan gabungan dari dua suku kata “si” dan “tren”. “Si” dalam bahasa Jawa berarti “ia” atau “dia” dan “tren” berarti “tri” yang berarti panggilan dari kata “putri” (Sugiarto, 1989:15), sehingga sintren adalah “si putri” yang menjadi pemeran utama dalam kesenian tradisional sintren. Kesenian sintren diawali oleh cerita rakyat atau disebut juga legenda yang dipercaya oleh masyarakat memiliki dua versi yaitu sebagai berikut. Versi pertama, berdasarkan pada legenda cerita percintaan Sulasih dan R.Sulandono seorang putra Bupati di Mataram Joko Bahu atau dikenal dengan nama Bahurekso dan Rr.Rantamsari. Percintaan Sulasih dan R.Sulandono tidak direstui oleh orang tua Sulandono, sehingga R. Sulandono diperintahkan ibunya untuk bertapa dan diberikan selembar kain (sapu tangan) sebagai sarana kelak untuk bertemu dengan Sulasih setelah masa pertapaannya selesai, sedangkan Sulasih diperintahkan untuk menjadi penari pada setiap acara bersih desa diadakan sebagai sarat dapat bertemu R. Sulandono. Tepat pada saat bulan purnama diadakan acara bersih desa, diadakan berbagai pertunjukan rakyat, pada saat itu Sulasih menari sebagai bagian pertunjukan, dan R.Sulandono turun dari pertapaanya, secara sembunyi-sembunyi dengan membawa saputangan pemberian ibunya. Sulasih yang menari kemudian dimasuki kekuatan sepirit Rr. Rantamsari sehingga mengalami “Trance”
dan
saat itu pula R. Sulandono melemparkan saputangannya sehingga Sulasih pingsan. Saat Sulasih “trance” atau kemasukan roh halus (kesurupan) ini yang disebut “Sintren”, dan pada saat R.Sulandono melempar saputangannya di sebut sebagai
26
“balangan”. Dengan ilmu yang dimiliki R. Sulandono maka Sulasih akhirnya dapat dibawa kabur dan keduanya dapat mewujudkan cita-citanya untuk bersatu dalam mahligai perkawinan. Versi kedua, Sintren dilatar belakangi oleh kisah percintaan Ki Joko Bahu (Bahurekso) dengan Rantamsari, yang tidak direstui oleh Sultan Agung Raja Mataram. Untuk memisahkan cinta keduanya, Sultan Agung memerintahkan Bahurekso menyerang VOC di Batavia. Bahurekso melaksanakan titah Raja berangkat ke VOC dengan menggunakan perahu Kaladita (Kala-Adi-Duta). Saat berpisah dengan Rantamsari itulah, Bahurekso memberikan sapu tangan sebagai tanda cinta. Tak lama terbetik kabar, bahwa Bahurekso gugur dalam medan peperangan, sehingga Rantamsari begitu sedihnya mendengar orang yang dicintai dan dikasihi sudah mati. Terdorong rasa cintanya yang begitu besar dan tulus, maka Rantamsari berusaha melacak jejak gugurnya Bahurekso. Melalui perjalanan sepanjang wilayah pantai utara. Rantamsari menyamar menjadi seorang penari sintren dengan nama Dewi Rantamsari. Dengan bantuan sapu tangan pemberian Ki Bahurekso akhirnya Dewi Rantamsari dapat bertemu dengan Ki Bahurekso yang sebenarnya masih hidup. Akibat kegagalan Bahurekso menyerang Batavia dan pasukannya banyak yang gugur, maka Bahurekso tidak berani kembali ke Mataram, melainkan pulang ke Pekalongan bersama Dewi Rantamsari dengan maksud melanjutkan pertapaannya untuk menambah kesaktian dan kekuatannya guna menyerang Batavia lain waktu. Sejak itu Dewi Rantamsari dapat hidup bersama dengan Ki Bahurekso hingga akhir hayatnya. Paparan di atas
27
adalah sekilas tentang legenda sintren yang dipercayai oleh beberapa kalangan masyarakat, adapun kebenaranya sampai sekarang tidak bisa dipastikan. Keterangan tersebut sulit dibuktikan kebenarannya, namun diantara masyarakat Cirebon berusia lanjut serta beberapa seniman sintren ada yang menganggap cerita tersebut suatu peristiwa yang pernah terjadi pada masa lamapau. Penulis menduga, bahwa cerita tersebut merupakan salah satu upaya seniman desa untuk melegitimasi atau mengabsahkan keberadaan seni sintren.