10
BAB II LANDASAN TEORI, TINJAUAN PUSTAKA, DAN KERANGKA PIKIR 2. 1. Landasan Teori 2.1.1. Pengertian Wacana Tarigan (1987: 27) menyatakan bahwa wacana adalah satuan bahasa yang terlengkap dan tertinggi atau terbesar di atas kalimat atau klausa dengan koherensi dan kohesi tinggi yang berkesinambungan, yang mampu mempunyai awal dan akhir yang nyata, disampaikan secara lisan atau tulis. Djajasudarma (1994: 3) berpendapat bahwa pemahaman wacana merupakan satuan bahasa yang terlengkap dan merupakan satuan tertinggi dalam hierarki gramatikal, adalah pemahaman yang berasal dari pernyataan, wacana (discourse) adalah satuan bahasa terlengkap; dalam hierarki gramatikal tertinggi atau terbesar. Secara etimologi, Istilah „wacana‟ berasal dari bahasa Sanskerta wac/wak/vak, artinya „berkata‟, „berucap‟. Bila dilihat dari jenisnya, kata wac dalam lingkup morfologi bahasa Sanskerta, termasuk kata kerja golongan III parasmaepada(m) yang bersifat aktif, yaitu „melakukan tindakan ujar‟. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan menjadi wacana. Bentuk ana yang muncul di belakang adalah sufiks (akhiran), yang bermakna „membendakan‟ (nominalisasi). Jadi, kata wacana dapat diartikan sebagai „perkataan‟ atau „tuturan‟ (Mulyana, 2005:3). Lebih lanjut lagi, Mulyana mengatakan bahwa wacana adalah bentuk bahasa yang bersifat komunikatif, interpretatif, dan kontekstual. Artinya, pemakaian bahasa ini selalu mengandaikan terjadi
10
11
secara dialogis,
perlu
adanya kemampuan
menginterpretasikan
dan
memahami konteks terjadinya wacana. Konteks ialah situasi atau latar terjadinya suatu komunikasi. Konteks dapat dianggap sebagai sebab dan alasan terjadinya suatu pembicaraan/ dialog. Pada hakikatnya, wacana adalah wujud nyata komunikasi verbal manusia (Mulyana, 2005: 21-26). Dalam kamus bahasa Inggris Webster‟s new Twentieth Century Dictionary (1983:522) menjelaskan bahwa kata wacana merupakan kata serapan yang digunakan sebagai pemadan kata dari bahasa Inggris discourse. Kata discourse sendiri berasal dari bahasa Latin discursus yang berarti „lari kian kemari‟(yang diturunkan dari dis- „dari, dalam arah yang berbeda‟, dan currere „lari‟). Lebih lanjut dinyatakan bahwa wacana dapat berarti: 1) Komunikasi pikiran dengan kata-kata, ungkapan ide-ide atau gagasan-gagasan, konversi atau percakapan. 2) Komunikasi secara umum, terutama sebagai suatu subjek studi atau pokok telaah. 3) Risalah tulis, disertasi formal, kuliah, ceramah, khotbah. Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa wacana adalah pemakaian bahasa dalam komunikasi, baik disampaikan secara lisan (berupa percakapan, ceramah, kuliah, khotbah, dsb.) maupun secara tertulis (seperti bahasa yang dipakai dalam tulisan ilmiah, disertasi surat, dan sebagainya) (Sumarlam, 2010: 17). Menurut Kridalaksana (2008: 259), wacana (discourse) adalah satuan bahasa terlengkap, dalam hierarki gramatikal merupakan satuan gramatikal
12
tertinggi atau terbesar. Wacana ini direalisasikan dalam bentuk karangan yang utuh (novel, buku, seri ensiklopedia, dsb), paragraf, kalimat atau kata yang membawa amanat yang lengkap. Sobur (2012: 11) mengatakan bahwasanya wacana adalah rangkaian ujar atau rangkaian tindak tutur yang mengungkapkan suatu hal yang disajikan secara teratur, sistematis, dalam kesatuan yang koheren, dibentuk oleh unsur segmental maupun suprasegmental bahasa. Mungkin terdapat adanya perbedaan mengenai konsep-konsep wacana, namun pada hakekatnya adalah sama. Bahwa wacana merupakan satuan bahasa tertinggi dan terlengkap dalam tataran kebahasaan, baik berbentuk lisan maupun tulisan yang saling berhubungan sehingga membentuk satu kesatuan yang berkesinambungan (koheren). Berdasarkan pada beberapa pendapat di atas, wacana memiliki unsur penting, yaitu kohesi yang mendukung adanya kepaduan dari wacana. Dari pendapat para ahli di atas, maka besar kemungkinannya wacana dapat diklasifikasikan menjadi berbagai jenis. 2.1.2. Jenis-Jenis Wacana Wacana dapat diklasifikasikan menjadi berbagai jenis menurut dasar pengklasifikasiannya. Misalnya, berdasarkan bahasanya, media yang dipakai untuk mengungkapkan, jenis pemakaian, bentuk, serta cara dan tujuan pemaparannya. Menurut Tarigan (1987: 51) wacana diklasifikasikan menurut media yaitu wacana lisan dan wacana tulis, berdasarkan pengungkapannya dibagi menjadi wacana langsung dan tidak langsung, berdasarkan bentuk yaitu wacana drama, wacana puisi, dan wacana prosa, dn berdasarkan
13
penempatan menjadi wacana penuturan dan wacana pembeberan. Sumarlam (2010: 30) mengklasifikasikan wacana berdasarkan (a) bahasa yang dipakai, (b) media yang digunakan yang dibedakan atas wacana tulis dan wacana lisan, (c) sifat dan jenis pemakaiannya yang dibedakan antara wacana monolog dan dialog, (d) berdasarkan bentuknya diklasifikasi menjadi prosa, puisi, dan drama, dan (e) berdasarkan tujuan pemaparannya dibedakan menjadi wacana narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, dan persuasi. Pemaparannya tentang wacana termasuk lengkap dan mudah dipahami. Dari uraian pendapat di atas, jelaslah bahwa wacana merupakan satuan bahasa yang terlengkap yang berfungsi sebagai alat komunikasi lisan maupun tulis. Berdasarkan pemaparan mengenai jenis-jenis wacana di atas, wacana rubrik Wacan Bocah, Manja, dan Cerkak dalam majalah Panjebar Semangat, merupakan wacana yang bermediakan tulis dengan bahasa Jawa sebagai sarana pengungkapnya, berbentuk prosa tulis (karena disampaikan dalam bentuk prosa yang menggunakan media tulis). rubrik Wacan Bocah, Manja, dan Cerkak dalam majalah Panjebar Semangat ini cenderung bersifat naratif dan deskriptif. 2.1.3. Analisis Wacana Disiplin ilmu bahasa yang mempelajari wacana disebut dengan analisis wacana. Kartomihardjo (1993: 21) dalam makalahnya yang disajikan pada PELBA VI mengatakan bahwa analisis wacana adalah cabang ilmu bahasa yang dikembangkan untuk menganalisis suatu unit bahasa yang lebih besar dari kalimat dan lazim disebut wacana. Unit bahasa yang dimaksud
14
biasa berupa paragraf, teks bacaan, undangan, percakapan, cerita pendek, dan lain sebagainya. Stubbs (dalam Marcellino, 1993:5) mengatakan bahwa analisis wacana (discourse analysis) merujuk pada upaya mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih luas di atas kalimat atau klausa, dan karenanya mengkaji satuan-satuan kebahasaan yang lebih luas, seperti pertukaran percakapan atau teks tulis. Brown dan Yule (1996: 1) menyatakan bahwa “The analysis is, necessarily, the analysis of language in use”. Dari batasan itu dapat diketahui bahwa analisis wacana adalah analisis atas bahasa yang digunakan. Selanjutnya, Brown dan yule (1996: 1) menyatakan “That function which language serves in the expression of „conten‟ we will describe as transactional, and that function incolved in expressing social relations and personal attitudes we will describe as interactional”. Jelaslah bahwa mereka menganalisis wacana bertitik tolak dari segi fungsi bahasa yang meliputi, (1) transaksional, yaitu fungsi bahasa untuk mengungkapkan isi dan (2) interaksional, yakni fungsi bahasa yang terlibat dalam pengungkapan hubungan sosial dan sikap-sikap pribadi. Mereka juga mengatakan bahwa teks adalah rekaman suatu peristiwa komunikatif. Teks yang dimaksudkan dapat berupa teks tulis dan teks lisan. Jadi Brown dan Yule membedakan antara teks dengan wacana. Menurut Dardjowidjojo (dalam Mulyana, 2005: 1) analisis wacana merupakan kajian yang meneliti bahasa baik dalam bentuk lisan maupun tulis. Kajian wacana berkaitan dengan pemahaman tentang tindakan manusia
15
yang dilakukan dengan bahasa (verbal) dan bukan bahasa (nonverbal). Hal ini menunjukkan bahwa untuk memahami wacana dengan baik dan tepat, diperlukan bekal pengetahuan kebahasaan, dan bukan kebahasaan (umum). Dari berbagai penjelasan di atas analisis wacana sebagai metode atau cara untuk menganalisis fitur-fitur bahasa secara spesifik yang berkontribusi terhadap penafsiran teks-teks di berbagai konteks. Analisis wacana didefinisikan secara luas, bahwa bahasa diatur dalam teks-teks dan konteks. Analisis wacana dapat menyelidiki fitur bahasa dari yang kecil dan secara spesifik dari aspek struktur kalimat, dan juga menyelidiki fitur teks dan konteks yang menyebar sebagai genre atas pandangan sosial budaya. 2.2. Kohesi Konsep kohesi diungkap pertama kali oleh Halliday (1967/1968) dalam Notes on Transitivity and Theme in English. Hal tersebut diungkapkan kembali oleh Halliday bersama Ruqaiya Hasan dalam Cohesion in English (1976). Kohesi, menurut Halliday dan Hasan (1976: 10), mengacu pada keterkaitan makna yang menghubungkan suatu unsur dengan unsur sebelumnya dalam teks, yaitu apabila interpretasi sejumlah unsur dalam sebuah teks tergantung pada unsur lainnya. Lebih lanjut Halliday dan Hasan (1976: 27) mengungkapkan juga bahwa kalimat-kalimat dalam sebuah teks saling berhubungan melalui kohesi. Selanjutnya, mengklasifikasikan kohesi secara garis besar berdasarkan dua hal. Pertama, berdasarkan pilihan bentuk yang digunakannya, kohesi dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian: (1) kohesi gramatikal, yaitu hubungan kohesif yang dicapai dengan penggunaan
16
elemen dan aturan gramatikal, meliputi referensi, substitusi, dan elipsis; dan (2) kohesi leksikal, yaitu efek kohesif yang dicapai melalui pemilihan kosakata.
Kedua,
berdasarkan
asal
(nature)
hubungannya,
kohesi
diklasifikasikan lebih jauh berdasarkan tiga hal, yaitu (1) keterkaitan bentuk (relatedness of form) yang meliputi substitusi, elipsis, dan kolokasi leksikal; (2) keterkaitan referensi (relatedness of reference) yang meliputi referensi dan reiterasi leksikal; dan (3) hubungan semantik (semantic connection) yang diperantarai oleh konjungsi. Dalam analisis wacana, segi bentuk atau struktur lahir wacana disebut aspek gramatikal wacana, sedangkan segi makna atau struktur batin wacana disebut aspek leksikal wacana. Konsep kohesi pada dasarnya mengacu kepada hubungan bentuk. Artinya, unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh. Dengan kata lain, kohesi termasuk dalam aspek internal struktur wacana. Tarigan (1987: 96) menyatakan bahwa kohesi adalah hubungan antarkalimat di dalam sebuah wacana baik dalam strata gramatikal maupun dalam strata leksikal tertentu. Dengan demikian kohesi merupakan organisasi sintaktik, merupakan wadah kalimat-kalimat yang disusun secara padu dan padat untuk menghasilkan tuturan. Menurut Moeliono (1988: 34), untuk memperoleh wacana yang baik dan utuh, maka kalimat-kalimatnya harus kohesif. Hanya dengan hubungan kohesif seperti itulah suatu unsur dalam wacana dapat diinterpretasikan, sesuai dengan ketergantungannya dengan unsur-unsur lainnya. Hubungan
17
kohesif dalam wacana sering ditandai oleh kehadiran pemarkah atau penanda khusus yang bersifat lingual-formal. Djajasudarma (2012: 39) memaparkan bahwa kohesi merujuk pada perpautan bentuk, sedangkan koherensi pada perpautan makna. Pada umumnya, wacana yang baik memiliki keduanya. Kalimat atau kata yang dipakai bertautan; pengertian yang satu menyambung pengertian yang lainnya secara berturut-turut. 2.2.1. Kohesi Gramatikal Secara lebih rinci, aspek gramatikal wacana meliputi: (1) pengacuan (reference), (2) penyulihan (substitution), (3) pelesapan (ellipsis), (4) perangkaian (conjunction). Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa pembahasan keempat pemarkah tersebut mengacu pada teori Halliday dan Hasan (1976) dan beberapa pendapat lainnya. Berikut adalah penjelasan dari keempat aspek gramatikal tersebut: 2.2.1.1.
Referensi/ Pengacuan
Referensi adalah pengungkapan kembali acuan yang sama melalui bentuk yang berbeda, baik situasional maupun tekstual. Referensi yang bersifat situasional disebut eksofora (exophora), dan yang bersifat teksual disebut endofora (endophora) (Halliday dan Hasan 1976: 31). Referensi tekstual dapat dibagi lebih lanjut berdasarkan arah acuannya dalam teks, yaitu anafora (anaphora) jika terdapat sebuah bentuk yang mengacu ke bentuk lain yang terdapat sebelumnya dan katafora (cataphora) jika terdapat sebuah bentuk yang mengacu ke bentuk lain yang terdapat sesudahnya.
18
Secara tradisional, referensi berarti hubungan antara kata dengan benda. Lyons (dalam Brown dan Yule, 1996:28) mengatakan bahwa hubungan yang ada antara kata-kata dan barang-barang adalah hubungan referensi: kata-kata mengacu pada (refer to) barang-barang. Pandangan tradisional ini terus dinyatakan dalam penyelidikan-penyelidikan bahasa (misalnya semantik leksikal) yang mendeskripsikan hubungan antara suatu bahasa tertentu dan dunia, tanpa hadirnya pemakai-pemakai bahasa. Namun Lyons dalam keterangannya yang lebih belakangan ini mengenai sifat referensi, mengemukakan hal yang berikut: „penuturlah yang mengacu (dengan menggunakan suatu ungkapan yang sesuai): Lyons menerapkan ungkapan itu pada referensi dengan perbuatan mengacu (reffering)‟. Tepatnya, pandangan mengenai sifat referensi yang terakhir inilah yang harus dianut penganalisis wacana. 2.2.1.1.1. Pengacuan Persona Halliday dan hasan (1976: 37) menyatakan bahwa: “Personal reference is reference by means of function in the speech of situation, through the category of person.” Jadi, referensi persona adalah penunjukkan yang mengacu pada orang atau yang diorangkan. Yang termasuk dalam referensi persona adalah segala bentuk persona berupa kata ganti orang, baik tunggal maupun jamak. Mulyana (2005:18) mengatakan bahwa pengacuan persona meliputi kata ganti orang (pronomina persona) pertama, kata ganti orang kedua, dan kata ganti orang ketiga.
19
Pengacuan persona direalisasikan melalui pronomina persona (kata ganti orang), yang meliputi persona pertama (persona I), kedua (persona II), dan ketiga (persona III), baik tunggal maupun jamak. Pronomina persona I tunggal, II tunggal, dan III tunggal ada yang berupa bentuk bebas (morfem bebas) dan ada pula yang terikat (morfem terikat). Selanjutnya yang berupa bentuk terikat ada yang melekat di sebelah kiri (lekat kiri) dan ada yang melekat di sebelah kanan (lekat kanan) (Sumarlam, 2010: 42). Bagan pengacuan persona dapat dilihat seperti di bawah ini: Pengacuan Persona
I
Tunggal: - aku, - kula, - dalem. a. Lekat kiri: dakb. Lekat kanan: -ku
III
II
Jamak: - kita sedaya, - kula lan panjenengan sedaya, - awake dhewe
Tunggal: - kowe, -awakmu, -ndika, -sampeyan, -panjenengan a. Lekat kiri: kok-/kob. Lekat kanan: - mu
Jamak: -panjenengan sedaya
Tunggal: -dheweke, -Panjenenganipun a. Lekat kiri: dib. Lekat kanan: -e/-ne
Jamak: -dheweke kabeh
Bagan 1. Pengacuan Persona
Contoh pengacuan persona antara lain sebagai berikut: “Kodhok, apa sing ngajak omong aku mau kowe?” takone Dewi Risti. (P.1/PK.6/PS.6/08-02-2014). „Kodhok, apa yang mengajak bicara aku tadi kamu? Tanya Dewi Risti‟
20
Pada contoh di atas terdapat satuan lingual Aku sebagai perwujudan kekohesifan wacana pada aspek gramatikal. Satuan lingual Aku ini merupakan pengacuan pronomina persona pertama tunggal bentuk bebas yang mengacu kepada tokoh Dewi Risti yang berada dalam teks. Karena yang diacu berada dalam teks maka jenis pengacuan ini disebut pengacuan endofora dan kataforis karena yang diacu disebutkan setelahnya atau antesedennya berada di sebelah kanan. 2.2.1.1.2.
Pengacuan Demonstratif
Halliday dan Hasan (1976: 57) menyatakan bahwa: “ demonstrative reference is essentially a form of verbal pointing. The speakers identifies the referent by locating it on a scale of proximity.” Jadi, pengacuan demonstratif pada dasarnya adalah sebuah kata ganti penunjuk verbal. pembicara diiidentifikasi dengan mengacu pada tempat atau lokasi dari pembicara. Menurut Mulyana (2005:18), pengacuan demonstratif adalah kata ganti penunjuk: ini, itu, di sana, di situ. Pengacuan demonstratif (kata ganti penunjuk) dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pronomina demonstratif waktu (temporal) dan pronomina demonstratif tempat (lokasional). Pronomina demonstratif waktu ada yang mengacu pada waktu kini (seperti kini dan sekarang), lampau (seperti kemarin dan dulu), akan datang (seperti besok dan yang akan datang), dan waktu netral (seperti pagi dan siang). Sementara itu, pronomina demonstratif tempat ada yang mengacu pada tempat atau lokasi yang dekat dengan pembicara (sini, ini), agak jauh dengan pembicara (situ, itu), jauh dengan pembicara (sana), dan menunjuk tempat secara eksplisit
21
(Surakarta, Yogyakarta) (Sumarlam, 2010: 44). Bagan pengacuan demonstratif dapat ditunjukkan seperti di bawah ini:
Sekarang: -saiki, -sakniki, -samenika Lampau: -dhekmben, -rumiyin, - kalawingi,- kalawau, -mau, dsb.
Temporal/ waktu
Yad: -mangke,- mengko, -benjing, dsb. Netral: -enjing, -siyang, -sonten, -dalu, -jam 6, -rina, -wengi, -rinten, -dalu, -senin, dsb.
Pengacuan Demonstratif
Dekat dengan penutur: -kene,- iki
Lokasioner / tempat
Agak jauh dengan penutur:- kono, -iku, -kuwi Jauh dengan penutur: -kana, -kae Menunjuk secara eksplisit: -Klaten, -Boyolali, -Sala, dsb.
Bagan 2. Pengacuan Demonstratif
Contoh pengacuan demonstratif yaitu: a) b)
“Mangertiya kodhok, bal emase kasenenganku saiki nyemplung ing tlaga kuwi.”(D.1/PK.8/PS.6/08-02-2014) „Mengertilah katak, bola emas kesukaanku sekarang tenggelam di telaga itu‟ “... Ora bali mulih nyang Nederland,...”(D.420/IKLK.5/PS.20/17-05-2014) „....Tidak pulang ke Nedherland....‟
Tampak pada contoh (a) terdapat pengacuan demonstratif waktu yang ditandai dengan satuan lingual saiki „sekarang‟ yang mengacu pada waktu kini, yaitu pada saat tuturan itu dilakukan (tidak diketahui secara
22
pasti kapan tuturan itu dilakukan) namun dapat diperkirakan yaitu saat Dewi Risti kehilangan bola emasnya yang jatuh ke telaga. Kemudian satuan lingual jam setengah wolu pada tuturan (b) satuan lingual Nederland merupakan pronomina demonstratif tempat yang menunjuk tempat secara eksplisit yaitu salah satu negara di Eropa yang merupakan asal negara dari leluhur Frans Husken. 2.2.1.1.3.
Pengacuan Komparatif
Halliday dan Hasan (1976: 37) menyatakan bahwa: “ comparative reference is indirect reference by means of identity or similarity.” Jadi, pengacuan komparatif secara tidak langsung adalah pengacuan dengan melihat pada identitas atau kesamaan. Mulyana (2005: 18), menjelaskan bahwa pengacuan komparatif adalah penggunaan kata yang bernuansa perbandingan. Misalnya: seperti, bagaikan, sama, identik, serupa, dan sebagainya. Pengacuan komparatif (perbandingan) ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang bersifat membandingkan dua hal atau lebih yang mempunyai kemiripan atau kesamaan dari segi bentuk/wujud, sikap, sifat, watak, perilaku, dan sebagainya (Sumarlam, 2010: 46). Contohnya sebagai berikut: “.... Nasibe ya padha karo aku entuk biji “D” ing mata kuliah Metodologi Penelitian.”(K.39/EB.1/PS.25/21-06-2014) „....Nasibnya ya sama seperti aku dapat biji D di mata kuliah Metodologi Penelitian.‟
Satuan lingual padha karo „sama seperti‟ pada tuturan di atas mengacu pada perbandingan antara Rini Wulandari dengan Dewi, yang
23
dibandingkan adalah nasib keduanya yang sama-sama dapat nilai D pada mata kuliah Metodologi Penelitian. 2.2.1.2.
Substitusi/ Penyulihan Halliday dan Hasan (1976: 88-89) menyatakan bahwa: “Substitution as
the replacement of one item by another. Substitution is a relation between linguistic item, such as word or phrases.” Jadi, substitusi adalah penggantian satu unsur dengan unsur yang lainnya. Substitusi dalam linguistik ialah penggantian unsur seperti kata atau frase. Mulyana (2005: 28), menjelaskan bahwa substitusi atau penggantian adalah proses dan hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar. Kridalaksana (2008: 229) menjelaskan bahwa substitusi adalah proses atau hasil penggantian unsur bahasa oleh unsur lain dalam satuan yang lebih besar untuk memperoleh unsur-unsur pembeda atau untuk menjelaskan suatu struktur tertentu; misalnya /p/ dengan /b/ dalam pa, atau senang dengan sering dalam mereka senang bergurau. Sumarlam (2010: 47-49) membedakan substitusi menjadi empat bagian dari segi satuan lingualnya yaitu substitusi nominal, verbal, frasal, dan klausal. Tampak pada contoh kutipan data substitusi di bawah ini: Ing wektu candhake antarane Dewi Risti lan sang Pangeran padha ngronce tali-tali katresnan. Sabanjure sekarone bisa urip bebarengan kanthi sih-sihan lan kebak kabagyan.(S.8/PK.27/PS.6/08-02-2014) „Di waktu dekat antara Dewi Risti dan sang Pangeran meronce tali-tali asmara. Selanjutnya keduanya bisa hidup bersama dengan berdampingan dan penuh kebahagiaan.‟
Sebagai perwujudan kekohesifan wacana pada aspek gramatikal tampak pada contoh di atas terdapat penggantian satuan lingual berupa frasa Dewi
24
Risti lan san Pangeran „Dewi Risti dan sang Pangeran‟ yang disulih dengan kata sekarone „keduanya‟. Menurut penjelasan di atas, penyulihan dapat berfungsi sebagai variasi bentuk, sekaligus untuk menghilangkan kemonotonan akibat penyebutan unsur yang sama secara berkali-kali. Dengan kata lain, Substitusi frasal merupakan penggantian satuan lingual tertentu yang berupa frasa dengan satuan lingual lainnya yang berupa kata atau frasa. Interpretasi atas unsur pengganti hanya dapat dilakukan dengan memperhatikan antesedennya. Begitu pula dengan substitusi verbal merupakan penggantian suatu konstituen lain yang berkategori verba. Substitusi nominal merupakan penggantian suatu konstituen dalam teks yang berkategori nomina dengan konstituen lain yang berkategori nomina. Dan substitusi klausal adalah penggantian suatu konstituen yang berupa klausa dengan yang tidak berupa klausa. 2.2.1.2.
Elipsis/ Pelesapan Elipsis dan substitusi mempunyai hubungan fundamental yang sama
antara bagian-bagian teks. Di mana ada elipsis berarti terdapat presupposition dalam struktur kalimat itu. Presupposition adalah sesuatu yang harus diisi atau dimengerti. Halliday dan Hasan (1976: 88) menyatakan: “ellipsis can be interpreted as that form of substitution in which the item is replaced by nothing. “ Jadi, elipsis dapat diartikan sebagai yang bentuk substitusi dimana unsur itu digantikan oleh unsur kosong. Lebih lanjut lagi, Halliday dan Hasan (1976: 142) menjelaskan bahwa titik awal pembahasan elipsis adalah „sesuatu yang tak terkatakan‟. Tidak ada implikasi di sini bahwa yang tak terkatakan tidaklah dapat dipahami. Sebaliknya, yang tak terkatakan justru dapat
25
dipahami, dan cara lain untuk merujuk elipsis sebenarnya adalah sesuatu yang dipahami, dalam arti khusus adalah pemahaman tanpa berkata. Sama halnya dengan substitusi, elisis dibedakan atas elipsis nominal, elipsis verbal, dan elipsis klausal. Mulyana (2005: 28) menyatakan bahwa elipsis juga merupakan penggantian unsur kosong (zero), yaitu unsur yang sebenarnya ada tetapi sengaja dihilangkan atau disembunyikan. Senada dengan itu, Sumarlam (2010: 50) mengatakan bahwa elipsis atau pelesapan ialah salah satu jenis kohesi gramatikal yang berupa penghilangan atau pelesapan satuan lingual tertentu yang telah disebutkan sebelumnya. Dikenal ada tiga jenis elipsis atau pelesapan yaitu pelesapan nominal, pelesapan verbal, dan pelesapan klausal. Contoh pelesapan adalah sebagai berikut: “.... Aku ora bisa nyauri gelem apa ora, mung bisa nampani kembang mawar minangka tandha katresnane mas Bondan.” (E.46/TOD.7/PS.6/08-02-2014) „.... Aku tidak bisa menjawab mau apa tidak, (aku) hanya bisa menerima bunga mawar sebagai tanda cintanya mas Bondan.‟
Pada teks diatas, terdapat pelesapan satuan lingual yang berupa kata, yaitu kata aku yang berfungsi sebagai subjek atau pelaku tindakan tersebut. Subjek yang sama itu dilesapkan sebanyak satu kali, yaitu sebelum kata nglebokake pada klausa kedua. Dan apabila kata aku tidak dilesapkan, akan menghasilkan kalimat yang tidak efektif, tidak efisien, dan tidak praktis, seperti terlihat pada pada teks di bawah ini: “.... Aku ora bisa nyauri gelem apa ora, Ø mung bisa nampani kembang mawar minangka tandha katresnane mas Bondan. “ “.... Aku ora bisa nyauri gelem apa ora, aku mung bisa nampani kembang mawar minangka tandha katresnane mas Bondan.”
26
2.2.1.3.
Konjungsi/ Perangkaian
Halliday dan Hasan (1976: 226) menyatakan: “conjunction is rather different in nature from the other cohesive relations, from both reference, on the one hand, and substitution and ellipsis on the other.” Jadi, kohesi tidak terdapat dalam elemen konjungsi, melainkan tercipta secara tidak langsung melalui keberadaannya yang memberikan makna tertentu bagi hubungan antarelemen dalam teks. Lebih lanjut lagi, Halliday dan Hasan membagi konjungsi menjadi empat macam meliputi konjungsi aditif (additive), adversatif (adversative), kausal (causal), dan konjungsi temporal (temporal). Di dalam bahasa Jawa, Sry Satriya Tjatur Wisnu (2008: 143) membagi konjungsi menjadi dua, yaitu (1) konjungsi di dalam kalimat (intrakalimat), dan (2) konjungsi di luar kalimat (antarkalimat). Konjungsi di dalam kalimat dibedakan menjadi dua, yaitu konjungsi subordinatif dan koordinatif. Contoh konjungsi Subordinatif, seperti: yen, sabab, dhek (gek), waton, awit..., dsb. Yang termasuk konjungsi koordinatif, yaitu: lan, saha, sarta, banjur..., dsb. Kemudian konjungsi antarkalimat, antara lain: ...awit sakingpunika..., ...Nadyan mengkono..., ...Pramila..., dsb. Konjungsi adalah salah satu jenis kohesi gramatikal yang dilakukan dengan cara menghubungkan unsur yang satu dengan unsur yang lain dalam wacana. Unsur yang dirangkaikan dapat berupa satuan lingual kata, frasa, klausa, kalimat, dan dapat juga berupa unsur yang lebih besar dari itu, misalnya alinea dengan pemarkah lanjutan dan topik pembicaraan dengan pemarkah alih topik atau pemarkah disjungtif.
27
Dilihat dari segi makna pun, perangkaian unsur dalam wacana mempunyai bermacam-macam makna. Makna perangkaian beserta konjungsi yang dapat dikemukakan di sini antara lain sebagai berikut: 1) Sebab-akibat (kausalitas)
: amarga, awit, jalaran, awit saka, dadi,
mula, nganti, mulane. 2) Pertentangan
: ananging, ewa semono, jebul, kamangka,
ewadene. 3) Kelebihan (eksesif)
: tur, tur maneh, karo maneh, lan maneh.
4) Perkecualian
: kajaba
5) Konsesif
: ewa semono, ewadene.
6) Tujuan
: kareben, supaya.
7) Penambahan (aditif)
: karo, lan, saha, klawan, sarta, apa dene.
8) Pilihan (alternatif)
: apa, karo.
9) Harapan (optatif)
: amrih, kareben, saperlu, supaya.
10) Urutan (sekuensial)
: banjur, terus, nuli.
11) Perlawanan
: ananging, ewa semono, jebul, kamangka,
ewadene. 12) Waktu (temporal)
: bareng, lagi, nalika, sakdurunge, dhek,
nalika, sasuwene. 13) Syarat
: bilih, angger, menawa, yen, waton, janji,
upama. 14) Cara
: kanthi, sarana, sinambi).
Contoh dari konjungsi adalah sebagai berikut: “.... Kajaba kuwi, sang raja dhewe kondhang adil lan wicaksana.” (Kj.352/PK.1/PS.6/08-02-2014) ‘... Terlebih, sang raja sendiri terkenal adil dan bijaksana.‟
Pada contoh di atas, terdapat konjungsi lan yang berfungsi untuk menambahkan satuan lingual sebelum konjungsi lan dengan satuan lingual
28
setelah konjungsi itu. Konjungsi lan pada contoh di atas menyatakan makna penambahan (aditif). 2.2.2.
Kohesi Leksikal Halliday dan Hasan (1976: 274) menyatakan bahwa: “This (lexical
cohesion) is the cohesive effect achieved by the selection of vocabulary”. Jadi, kohesi leksikal adalah ikatan kohesi yang muncul dalam wacana karena pilihan kata. Lebih lanjut lagi, Halliday dan Hasan (1976) membedakan kohesi leksikal menjadi (1) reiterasi (reiteration) dan (2) kolokasi (collocation). Reiterasi (reiteration) masih dibedakan lagi menjadi repetisi (repetition), sinonim (synonim), superordinat (superordinate), dan kata umum/ generik (general nouns). Renkema (2004: 105) membedakan kohesi leksikal (lexical cohesion) menjadi (1) repetisi (repetition), (2) sinonimi (synonymy), (3) hiponimi/ hiperonimi (hyponymy/hyperonymy), (4) meronimi (meronymy), (5) antonimi (antonymy), dan (6) kolokasi (collocation). Sumarlam (2010: 55) menjelaskan bahwa kohesi leksikal ialah hubungan antarunsur dalam wacana secara semantis. Dalam hal ini, untuk menghasilkan wacana yang padu pembicara atau penulis dapat menempuhnya dengan cara memilih kata-kata yang sesuai dengan isi kewacanaan yang dimaksud. Hubungan kohesif yang diciptakan atas dasar aspek leksikal, dengan pilihan kata yang serasi, menyatakan hubungan makna atau relasi semantik antara satuan lingual yang satu dengan satuan lingual yang lain dalam wacana. Kohesi leksikal dalam wacana dapat dibedakan menjadi enam macam, yaitu (1) repetisi (pengulangan), (2) sinonimi ( padan kata), (3) kolokasi (sanding kata), (4) hiponimi (hubungan atasbawah), (5) antonimi (lawan kata), dan (6) ekuivalensi (kesepadanan).
29
2.2.2.1.
Repetisi/ Pengulangan
Repetisi (perulangan) adalah penyebutan kembali satu unit leksikal yang sama yang telah disebutkan sebelumnya (Halliday dan Hasan 1976: 278). pengulangan itu berupa satuan lingual (bunyi, suku kata, kata, atau bagian kalimat) yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Berdasarkan tempat satuan lingual yang diulang dalam baris, klausa atau kalimat, repetisi dapat dibedakan menjadi sembilan macam, yaitu repetisi epizeuksis, tautotes, anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis, epanalepsis, anadiplosis, dan repetisis utuh atau penuh. (Sumarlam, 2010: 55). 2.2.2.1.1.
Repetisi Epizeuksis
Repetisi epizeuksis ialah pengulangan satuan lingual (kata) yang dipentingkan beberapa kali secara berturut-turut. Contohnya adalah: “Ing jaman biyen ana sawijining kerajaan kang cukup kawentar. Ing kerajaan kasebut ora nate ana sing jenenge ontran-ontran...” (R.1/PK.1/PS.6/08-022014) „Ing zaman dulu ada satu kerajaan yang cukup terkenal. Di kerajaan tersebut tidak pernah ada yang namanya ontran-ontran...‟
Pada tuturan di atas, kata kerajaan diulang beberapa kali secara berturut-turut untuk menekankan pentingnya kata tersebut dalam konteks tuturan itu.
2.2.2.1.2. Repetisi Tautotes Repetisi tautotes ialah pengulangan satuan lingual (sebuah kata) beberapa kali dalam sebuah konstruksi. Contoh repetisi tautotes yaitu: “Aku ndremimil turut dalan. Atiku ngomel terus. Rasane kudu gembor-gembor ing tengah lapangan ben atiku rada ayem. Mangkel.” (R.82/EB.4/PS.25/2106-2014)
30
„Aku mengoceh sepanjang jalan. Hatiku mengomel terus. Rasanya harus teriak-teriak di tengah lapangan biar hatiku agak tenang. Sebal.‟
Pada contoh di atas, tampak satuan lingual atiku diulang dua kali dalam sebuah konstruksi. 2.2.2.1.3. Repetisi Anafora Repetisi anafora ialah pengulangan satuan lingual berupa kata atau frasa pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya. Contohnya yaitu: “Iku haram lan bisa ngrusak pikiran. Aku ora bakal ngombe banyu setan kuwi. Aku wedi marang Gusti Allah.”(R.94/GC.27/PS.43/25-10-2014) „Itu haram dan bisa merusak pikiran. Aku tidak akan minum air setan itu. aku takut kepada Gusti Allah.‟
Pada teks tersebut, terdapat repetisi anafora yang ditandai dengan pengulangan satuan lingual aku pada awal kalimat kedua dan di awal pada kalimat ketiga. 2.2.2.1.4. Repetisi Epistrofa Repetisi epistrofa ialah pengulangan satuan lingual kata/frasa pada akhir baris (dalam puisi) atau akhir kalimat (dalam prosa) secara berturut-turut. Contohnya: “Mangerteni kahanan kaya mengkono sang raja banjur mrentahake Dewi Risti mbukak lawang. Kanthi polatan peteng Dewi Risti manut lan mbukak lawang. Sabanjure kodhok diajak mlebu.” (R.107/PK.18/PS.6/08-02-2014) „Mengetahui keadaan seperti itu sang raja lalu memerintahkan Dewi Risti membuka pintu. Dengan tatapan kesal Dewi risti bersedia membuka pintu. Selanjutnya kodok diajak masuk.‟
Tampak pada tuturan di atas, satuan lingual mbukak lawang diulang sebanyak dua kali secara berturut-turut pada akhir kalimat. 2.2.2.1.5. Repetisi Simploke Repetisi simploke ialah pengulangan satuan lingual pada awal dan akhir beberapa baris/ kalimat berturut-turut.
31
2.2.2.1.6. Repetisi Mesodiplosis Repetisi mesodiplosis ialah pengulangan satuan lingual di tengahtengah baris atau kalimat secara berturut-turut. Contohnya: “Dewi Risti banjur nyaguhi apa penjaluke kodhok ing ngarepe kuwi. Klebu nyaguhi gelem ngancani nalika mangan lan ngombe, uga nalika turu. Dewi Risti nganti gelem nyaguhi penjaluke kodhok sing kaya mengkono kanthi pawadan mosok kodhok bisa urip suwe ing lemah.” (R.117/PK.10/PS.6/08-022014) „Dewi Risti lalu menyanggupi permintaan kodok yang di depannya itu. termasuk sanggup menemani ketika makan dan minum, juga ketika tidur. Dewi Risti sampai menyanggupi permintaan kodok yang seperti itu dengan dasar masa kodok bisa hidup lama di tanah.‟
Pada teks di atas, terdapat pengulangan satuan lingual ditengahtengah kalimat. Satuan lingual tersebut yaitu kata nyaguhi.
2.2.2.1.7. Repetisi Epanalepsis Repetisi epanalepsis ialah pengulangan satuan lingual, yang kata/frasa terakhir dari baris/ kalimat itu merupakan pengulangan kata/frasa pertama. Contohnya adalah: “.... Payon warunge padha bocor, dadi prei sedina kanggo dandan payon....” (R.131/KMP.5/PS.30/26-07-2014) „.... Atap warungnya pada bocor, jadi libur sehari buat memperbaiki atap...‟
Pada contoh di atas terdapat repetisi epanalepsis, yaitu satuan lingual payon pada akhir kalimat merupakan pengulangan satuan lingual yang sama pada awal kalimat. 2.2.2.1.8.
Repetisi Anadiplosis
Repetisi anadiplosis ialah pengulangan kata/frasa terakhir dari baris/kalimat itu menjadi kata/frasa pertama pada baris/kalimat berikutnya. Contohnya: .... Ing kono kabener nuju padha sarapan. Sarapane roti mertega nganggo diwenehi keju....(R.132/SSS.3/PS.14/05-04-2014) „.... Di situ tepat pada sarapan. Sarapannya roti mentega ditambah keju...‟
32
Tampak pada contoh di atas, kata sarapan pada akhir kalimat pertama, diulang menjadi kata pertama pada awal kalimat kedua. 2.2.2.1.9.
Repetisi Utuh/ Penuh
Repetisi utuh atau repetisi penuh yaitu pengulangan satuan lingual secara utuh atau secara penuh. Satuan lingual yang diulang ini dapat berupa satu baris, atau satu kalimat secara utuh atau bahkan satu bait atau beberapa kalimat secara utuh. Contohnya adalah sebagai berikut: “...Bareng wis rada sareh, lan lenggah nanging ora kersa ngendikan malah banjur nangis maneh karo sambat-sambat bapak...bapak...aku nyuwun pangapura...aku nyuwun pangapura...ngono bola-bali.” (R.142/G.1/PS.5/0102-2014) „...berhubung sudah agak diam, dan duduk tetapi tidak mau bilang malah menangis dan berkeluh-kesah bapak...bapak...saya minta maaf...saya minta maaf...begitu berulangkali‟
Tampak pada contoh teks tersebut, terdapat pengulangan secara penuh yaitu pada satuan lingual aku nyuwun pangapura . 2.2.2.2.
Sinonimi/ Padan Kata Sinonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal
yang sama atau ungkapan yang maknanya kurang lebih sama dengan ungkapan lain (Halliday dan Hasan 1976: 278). Sinonimi merupakan salah satu aspek leksikal untuk mendukung kepaduan wacana. Sinonimi berfungsi menjalin hubungan makna yang sepadan antara satuan lingual tertentu dengan satuan lingual lain dalam wacana. 2.2.2.2.1.
Sinonimi morfem (bebas) dengan morfem (terikat)
.... “Putri, tulung bukaken lawang iki. Apa kowe lali karo janji sing wis nate mbokucapake marang aku,” kandhane kodhok rada banter. (Sn.1/PK.17/PS.6/08-02-2014) „....‟Putri, tolong bukakan pintu ini. Apa kamu lupa dengan janji yang pernah kauucapkan kepadaku,‟ kata kodok agak keras.‟
33
Pada tuturan di atas, tampak morfem bebas kowe, bersinonim dengan morfem terikat mbok-. 2.2.2.2.2. Sinonimi kata dengan kata “Nanging kowe sedulurku mas, yen kowe sengsara, aku ya melu susah” (Data. 3057/IKLK.64/PS.20/ 17-05-2014). „tapi kamu saudaraku mas, kalau kamu sengsara, aku ya ikut susah‟
Tampak pada contoh di atas, terdapat sinonimi kata dengan kata yaitu kata sengsara yang bersinonim dengan susah. Kedua kata tersebut maknanya sepadan. 2.2.2.2.3.
Sinonimi kata dengan frasa atau sebaliknya
Bareng esuk-esuk nalika ngunjuk wedang sinambi mbukak layang kabar ing kono ana berita TELAH MENINGGAL DENGAN TENANG RADEN PANJI DANAR WICAKSANA!!! Koran terus dibuwang wae ora ana reaksi apaapa....(Sn.49/G.8/ PS.5/01-02-2014) „Ketika pagi saat minum sambil buka surat kabar di situ ada berita TELAH MENINGGAL DENGAN TENANG RADEN PANJI DANAR WICAKSANA!!! Koran terus dibuang saja tidak ada reaksi apa-apa...‟
Kepaduan wacana di atas didukung oleh aspek leksikal yang berupa sinonimi antara kata koran „koran‟ dengan frasa layang kabar „surat kabar‟. 2.2.2.2.4. Sinonimi frasa dengan frasa “.... Klawer meneng bae, ora kandha apa-apa (Sn.55/SJJ.24/PS.18/03-05-2014) „.... Klawer diam saja, tidak bilang apa-apa pada ibunya...‟
karo
emboke....”
Pada contoh di atas, terdapat sinonimi frasa dengan frasa yang dibuktikan dengan frasa meneng bae pada klausa pertama dan ora kandha apa-apa
pada klausa terakhir. Kedua ungkapan itu
mempunyai makna yang sepadan. 2.2.2.3.
Antonimi/ Oposisi Makna Antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang
lain atau relasi semantis di antara kata yang memiliki makna berlawanan
34
(Halliday dan Hasan 1976: 279).
Sumarlam (2010: 62-66) menyatakan
bahwa antonimi dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang lain, atau satuan lingual yang maknanya berlawanan/ beroposisi dengan satuan lingual yang lain. Antonimi disebut juga oposisi makna. Pengertian oposisi makna mencakup konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya kontras makna saja. Lebih lanjut, Sumarlam membedakan antonimi menjadi lima macam dengan berdasar dari sifatnya, yaitu (1) oposisi mutlak, (2) oposisi kutub, (3)oposisi hubungan, (4) oposisi hierarki, dan (5) oposisi majemuk. 2.2.2.3.1. Oposisi mutlak Oposisi mutlak adalah pertentangan makna secara mutlak. Contohnya adalah: “.... Sawise njinggengi kahanan ing sakiwa-tengene pranyata ora ana sapasapa....” (A.1/PK.5/PS.6/08-02-2014) „.... Setelah melihat keadaan di kiri kanannya ternyata tidak ada siapa-siapa...‟
Pada tuturan di atas, terdapat oposisi mutlak antara kata kiwa dan kata tengen. 2.2.2.3.2. Oposisi kutub Oposisi kutub adalah oposisi makna yang tidak bersifat mutlak, tetapi bersifat gradasi. Artinya, terdapat tingkatan makna pada kata-kata tersebut. Sebagai contoh adalah: “.... Kanthi cara diuncalake mendhuwur lan yen wis mudhun dicekel maneh....” (A.14/PK.3/PS.6/08-02-2014) „.... Dengan cara dilempar ke atas dan kalau sudah turun ditangkap lagi...‟
Pada teks di atas, terdapat oposisi kutub yang dinyatakan dengan satuan lingual mendhuwur „meninggi‟ beroposisi kutub dengan mudhun „turun‟. Kedua kata tersebut dikatakan beroposisi kutub karena terdapat
35
gradasi di antara keduanya, yaitu adanya realitas dhuwur banget „tinggi sekali, rada dhuwur „agak tinggi‟, dhuwur „tinggi, mudhun „turun‟, rada mudhun „agak turun‟. 2.2.2.3.3. Oposisi hubungan Oposisi hubungan adalah oposisi makna yang bersifat saling melengkapi. Karena oposisi ini bersifat saling melengkapi, maka kata yang satu dimungkinkan ada kehadirannya karena kehadiran kata yang lain yang menjadi oposisinya, atau kehadiran kata yang satu disebabkan oleh adanya kata yang lain. “Ibu mung pengin sing apik kanggo kowe Ris. Amerga ibu ngeman karo awakmu. Masmu wis ndhisiki gara-gara ibu lan bapak sibuk ngurus awak dhewe-dhewe. Ibu ora lila yen iku kadadeyan maneh marang awakmu.”(A.20/PKJ.13/PS.7/15-02-2014) „Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu Ris. Karena ibu sayang padamu. Kakakmu sudah mendahului karena ibu dan bapak sibuk mengurus diri sendirisendiri. Ibu tidak ikhlas kalau itu terjadi lagi pada dirimu‟
Pada contoh tuturan tersebut, terdapat oposisi hubungan yang ditandai dengan satuan lingual ibu dengan satuan lingual bapak. 2.2.2.3.4. Oposisi hirarkial Oposisi hirarkial adalah oposisi makna yang menyatakan deret jenjang atau tingkatan. Satuan lingual yang beroposisi hirarkial pada umumnya kata-kata yang menunjuk pada nama-nama satuan ukuran (panjang, berat, isi), nama hitungan, penanggalan, dan sejenisnya. Contohnya: “Sinaune wiwit saka SD SMP SMA entuk rangking no. 1 terus....” (A.35/G.5/PS.5/01-02-2014) „Belajarnya dari SD SMP SMA selalu dapat peringkat no 1...‟
Pada contoh di atas, terdapat oposisi hirarkial yang menyatakan realitas tingkatan sekolah formal, yaitu antara SD, SMP, SMA.
36
2.2.2.3.5. Oposisi majemuk Oposisi majemuk adalah oposisi makna yang terjadi pada beberapa kata (lebih dari dua). Perbedaan antara oposisi majemuk dengan oposisi kutub terletak pada ada tidaknya gradasi yang dibuktikan dengan dimungkinkannya bersanding dengan kata agak, lebih, dan sangat pada oposisi kutub, dan tidak pada oposisi majemuk. Adapun perbedaannya dengan oposisi hirarkial, pada oposisi hirarkial terdapat makna yang menyatakan jenjang atau tingkatan yang secara realitas tingkatan yang lebih tinggi atau lebih besar selalu mengasumsikan adanya tingkatan yang lebih rendah atau lebih kecil.
2.2.2.4. Kolokasi/ Sanding Kata Kolokasi
atau
sanding kata
adalah
asosiasi
tertentu
dalam
menggunakan pilihan kata dan kata tersebut cenderung digunakan secara bersanding. Kata-kata yang berkolokasi adalah kata-kata yang cenderung dipakai dalam suatu domain atau jaringan tertentu (konteks tertentu). Misalnya pada jaringan pendidikan akan digunakan kata-kata yang berkaitan dengan masalah pendidikan dan orang-orang yang terlibat di dalamnya, seperti guru, murid, buku, sekolah, pelajaran, dan alat tulis (Sumarlam, 2010: 67). Contohnya adalah sebagai berikut: “Bener mbokne, nanging aku dhewe durung oleh incengan. Mentas menyang nggonane pakdhe tani, tak ungak, lumbunge kothong. Ing pojokan ana kecerane gabah sathithik, tak cucuk, jebul wis gabug, aku banjur miber kleperan ing dhuwur omah, tolah-toleh ana ngendi olehe ndhelikake parine,” ujare manuk lanang.(Ko.1/ESNPT.7/PS.20/17-05-2014) „Benar bu, tapi aku sendiri juga belum dapat makanan. Sesudah sampai d tempat pakde tani, kuintip, lumbungnya kosong. Di pojokan ada sisa padi sedikit. Ku cucuk, ternyata sudah gabuk, aku lalu terbang di atas rumah, tolehtoleh di mana olehnya menyembunyikan padinya,‟ Ujarnya burung jantan.
37
Pada contoh di atas tampak pemakaian kata-kata cenderung terdapat kata-kata yang dipakai dalam domain pertanian yaitu tani „petani‟, lumbunge „lumbungnya‟, gabah „kulit padi‟, parine „padinya‟. 2.2.2.5. Hiponimi/ Hubungan Atas-Bawah Hiponimi adalah satuan bahasa (kata, frasa, kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna satuan lingual yang lain. Satuan lingual yang mencakupi beberapa unsur atau satuan yang berhiponim disebut “hipernim” atau “superordinat”, sedangkan unsur yang tercakupi disebut “hiponim” atau “subordinat”. Hubungan antarunsur bawahan/hiponim disebut kohiponim.
Fungsi
hiponimi
adalah
untuk
mengikat
hubungan
antarunsur/antar satuan lingual dalam wacana secara semantis, terutama untuk menjalin hubungan makna yang mencakupi dan yang tercakupi (Sumarlam, 2010: 68). Contohnya yaitu: .... Nek gelem, ngenggonana kiosku ing pojok kidul wetan pasar. Ngiras anggone usaha, dodolan apa ta apa, karo anakmu wadon kae.....(Hi.3/IKLK.64/PS.20/17-05-2014) „....Kalau mau, tempati kiosku di pojok Selatan Timur pasar. Coba usaha, jualan apa sana, dengan anak perempuanmu itu....‟
Pada contoh di atas terdapat hiponimi lewat kata kata yaitu hipernimnya adalah usaha, unsur yang tercakupi ialah dodolan. 2.2.2.6.
Ekuivalensi/ Kesepadanan Ekuivalensi adalah hubungan kesepadanan antara satuan lingual
tertentu dengan satuan lingual yang lain dalam sebuah paradigma. Dalam hal ini, sejumlah kata hasil proses afiksasi dari morfem asal yang sama menunjukkan adanya hubungan kesepadanan. Misalnya hubungan makna antara kata belajar, mengajar, pelajar, pengajar, dan pelajaran yang
38
dibentuk dari bentuk asal ajar (Sumarlam, 2010: 69). Contoh dari ekuivalensi adalah sebagai berikut: “.... Mula pamujine manuk Greja menyang wong iku tansah becik. Anggone ngoceh pating cruwit. Yen dijarwakna tegese mangkene: ndara-ndara manungsa padha tak pujekake sugih,...” (Ek.1/SSS.2/PS.14/05-04-2014) „.... Pantas doanya burung Greja pada orang itu selalu baik. Olehnya ngoceh cuit-cuit. Kalau diartikan seperti ini: ndara-ndara manusia selalu kudoakan kaya,...‟
Pada contoh tersebut, terdapat hubungan kesepadanan yang ditandai dengan satuan lingual pamujine „doanya‟, pujekake „doakan‟ yang dibentuk dari morfem yang sama yaitu puji „doa‟ 2.2.3.
Tema, Topik, dan Judul Wacana sebagai satu pesan yang lengkap, berhubungan dengan banyak
fenomena kebahasaan. Secara garis besar, hubungan itu bertalian dengan tema, topik, judul, paragraf, maupun kohesi dan koherensi. Keberadaan tema, topik, judul berkaitan dengan nilai pesan dilihat dari hierarki lingkup informasi. Keberadaan paragraf, yang pada jenis wacana tertentu menjadi unsur langsung wacana, berkaitan dengan cara penutur menata unsur-unsur pesan. Keberadaan kohesi dan koherensi berkaitan dengan cara penutur menjalin antarunsur pesan sehingga memperlihatkan kepaduan. Karena fenomena keberadaan tema, topik, judul, paragraf, serta kohesi dan koherensi merupakan fenomena inti kewacanaan. Wedhawati (2006: 596) menerangkan bahwa konsep tema, topik, dan judul berkaitan erat dengan dunia tulis menulis. Tiga konsep itu merujuk ke pengertian yang sama, yaitu pesan. Perbedaannya terlihat pada cakupan lingkup atau abstraksi yang paling luas. Topik merupakan perincian dari tema, sedangkan judul merupakan perincian dari topik. Dengan kata lain, judul merupakan gambaran pesan yang paling terperinci.
39
Tema merupakan perumusan dan kristalisasi topik-topik yang akan dijadikan landasan pembicaraan, atau tujuan yang akan dicapai melalui topik tersebut (Keraf, 1984:107). Mulyana (2005:37-38) menjelaskan bahwa tema yang baik setidaknya memiliki empat sifat, yaitu (1) kejelasan, menyangkut pada gagasan sentral, uraian kalimat, dan rincian-rinciannya; (2) kesatuan/keutuhan, ialah mengacu dan menuju pada gagasan utama (tema); (3) perkembangan, berarti ada proses pengembangan tema secara maksimal, logis, dan teratur; (4) keaslian, dimaknai sebagai kejujuran dalam mengungkapkan fakta-fakta, gagasan, dan pikiran dengan kemampuan sendiri. Topik berasal dari bahasa Yunani topoi, yang artinya „tempat‟. Secara mendasar, topik diartikan sebagai pokok pembicaraan. Moeliono (1988:351) menjelaskan bahwa wujud topik bisa berbentuk frasa atau kalimat yang menjadi inti pembicaraan atau pembahasan. Dalam wacana, topik menjadi ukuran kejelasan wacana. Topik yang jelas akan menyebabkan struktur dan isi wacana menjadi jelas. Sebaliknya, topik yang tidak jelas, atau bahkan tulisan tanpa topik, menyebabkan tulisan menjadi kabur dan sulit dimengerti maksudnya. Judul merupakan bagian terkecil dari keseluruhan wacana. Mulyana (2005:43) menerangkan bahwa judul memiliki sifat yang sangat spesifik dan informatif, dan biasanya langsung mengarah pada isi wacana (karangan). Judul menjadi sangat penting, karena dianggap sebagai pintu informasi paling awal, ringkas, dan mewakili isi tulisan (karangan) yang dijelaskannya. Meskipun isi karangan tidak selalu dapat ditebak melalui judul yang disajikan pengarangnya. Hal ini dimungkinkan karena pada umumnya pembaca memiliki skema mental/ pikiran atau pengetahuan umum untuk membayangkan atau menerka sesuatu yang
40
didengar atau dibacanya itu. Hierarki antara tema, topik, dan judul dapat dilihat pada bagan di bawah ini:
Tema
Topik
Judul
Judul
Topik
Judul
Judul
Bagan 3. Hierarki tema, topik, dan judul
Meskipun tema, topik dan judul dapat dibeda-bedakan, tetapi dalam realisasinya terkadang terjadi tumpang tindih. Yang jelas, tema bersifat lebih makro dibanding topik, dan topik lebih makro dibanding judul. Satu tema dapat dipilah menjadi dua atau banyak topik, dan satu topik dapat dipilah menjadi menjadi dua atau banyak judul. 2.2.4.
Majalah Panjebar Semangat
Panjebar Semangat merupakan majalah mingguan berbahasa Jawa yang diterbitkan oleh PT Pancaran Semangat Jaya, yang beralamat di Jl. Bubutan 85-B Surabaya 60174. Majalah ini adalah majalah bahasa Jawa tertua di Indonesia yang terbit pertama kali tanggal 2 September 1933 dan sampai sekarang masih eksis. Majalah Panjebar Semangat tidak hanya terdistribusi di Jawa maupun Indonesia saja, melainkan juga terdistribusi ke luar negeri, seperti di Suriname, Kaledonia Baru, Malaysia, Thailand, Burma, dan Vietnam.
41
Pemrakarsa berdirinya majalah Panjebar Semangat adalah Dr. Soetomo, yang juga pelopor berdirinya organisasi Boedi Oetomo di masa perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Dr. Soetomo mendirikan penerbitan majalah ini bertujuan “Kanggo sesuluh lan tuntunane rakyat anggayuh kamulyaning nusa lan bangsa adhedhasar Pancasila”, ungkapan tersebut kurang lebih mempunyai maksud mempersatukan rakyat, menyulut semangat rakyat untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Pada setiap edisinya, di sampul depan majalah ini terdapat semboyan beraksara Jawa “Sura dira jayaningrat lebur dening pangastuti”, yang berarti kejahatan sekuat apapun akan kalah/sirna oleh kebaikan. Dalam majalah ini terdapat berbagai macam rubrik. Di antaranya adalah Pangudarasa, Sariwarta, Dredah & masalah, Yok apa rek kabare,,, Surabaya?, Olah raga, Obrolan, cerita sambung, Paran pitakon bab hukum, Cerkak (Crita Cekak), Padhalangan, Kok rena-rena, Ngleluri tulisan jawa, Widyamakna basa Jawa, Kawruh agama islam, Kasarasan, Taman geguritan, Apa tumon, Glanggang remaja, Ngarang Ajaran, Manja (Roman Remaja), Wacan bocah, Astrologi, Cangkriman prapatan PS. Berdasarkan banyaknya rubrik Panjebar Semangat di atas, Wacan Bocah, Roman Remaja, dan Crita Cekak adalah termasuk di dalamnya. Rubrik Wacan Bocah, Ngarang Ajaran, maupun Crita Cekak berdasarkan pengklasifikasian wacana, ketiganya termasuk dalam kategori wacana prosa tulis berbahasa Jawa yang bersifat fiktif dan dipaparkan secara naratif.
42
2.3. Tinjauan Pustaka Disertasi dari Riyadi Santosa (2010) dengan judul “Form and Meaning of Conjunctive Relation and its Implication on Style”. Penelitian ini menemukan bentuk dan makna hubungan konjungtif di dalam enam majalah populer Indonesia yakni
Kartini, tempo, Gadis, Aneka, Bobo, dan Ino.
Mengeksplorasi bagaimana bentuk dan makna hubungan konjungtif mempengaruhi penggunaan intrikasi gramatikal di dalam editorial, feature, dan berita di dalam enam majalah populer tersebut. Selanjutnya, menganalisis gaya bahasa sebagai akibat penggunaan hubungan konjungtif di dalam ke enam majalah populer Indonesia tersebut. Dan menemukan peranan hubungan konjungtif di dalam membangun struktur teks di dalam editorial, feature, dan berita di dalam enam majalah populer Indonesia tersebut. Penelitian tesis Makyun Subuki (2008) dengan judul “Kohesi dan Koherensi dalam Surat Al-Baqarah”. Penelitian ini menjelaskan kohesi dalam surat Al-Baqarah dapat diwujudkan, hubungan perwujudan kohesi dengan koherensi yang dicapai antarbagian dalam teks surat Al-Baqarah, dan kohesi yang dinyatakan secara eksplisit melalui peranti kohesi dapat mencukupi untuk pemahaman teks. Sri Widyarti Ali (2010) dengan judul “Penanda Kohesi Leksikal dan Gramatikal dalam Cerpen “The Killers” Karya Ernest Hemingway”. Penelitian ini mengkaji sebuah cerpen dengan mendeskripsikan kohesi gramatikal dan leksikal pada wacana tersebut. Serta menjelaskan alasan pemakaian kohesi gramatikal dan leksikal pada cerpen “The Killers”.
43
Nowo Ratnanto (2010) dengan judul “Kohesi Gramatikal dan leksikal Editorial The Jakarta Post”. Penelitian ini mendeskripsikan jenis dan penggunaan penanda kohesi gramatikal dan leksikal dalam teks editorial The Jakarta Post. Bayu Indrayanto (2011) meneliti “Penyulihan dalam novel “Emprit Abuntut Bedhug” Karya Suparto Brata”. Penelitian ini mengkhususkan permasalahan pada tipe-tipe penyulihan, fungsi sintaktik penyulihan, dan posisi dan jarak konstituen antara unsur tersulih dan penyulih dalam novel “Emprit Abuntut Bedhug” karya Suparto Brata. Endang Retnaningdyah Elis Noviati Mariani (2012) dengan judul “Analisis Wacana Tekstual dan Kontekstual Naskah Lakon Sandosa Sokrasana: Sang Manusia Karya Yanusa Nurgraha. Objek penelitian ini adalah naskah drama”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kekohesian alat-alat bahasa secara gramatikal dan leksikal serta menjelaskan aspek kontektual dalam Naskah drama tersebut. Penelitian Akbar Al Masjid (2014) dengan judul Peranti Kohesi dan Nilai Pendidikan dalam Rubrik Wacan Bocah pada Majalah Panjebar Semangat dan Djaka Lodang Serta Relevansinya dengan Pembelajaran Bahasa Jawa di Sekolah. Penelitian ini selain mengkaji kohesi, juga fokus pada permasalahan pendidikan meliputi nilai-nilai pendidikan dan relevansi Wacan Bocah dengan pembelajaran Bahasa Jawa di sekolah. Penelitian Syamsul Ghufron (2012) dengan judul “Peranti Kohesi dalam Wacana Tulis Siswa: Perkembangan dan Kesalahannya”. Penelitian ini
44
bertujuan untuk mendeskripsikan peranti kohesi dalam wacana tulis siswa sekolah dasar, perkembangannya, dan kesalahan penggunaannya. Penelitian D. Jupriono (2012) dengan judul “ Analisis Wacana Berita Konflik Pekerja Tambang P.T. Freeport Indonesia”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konteks situasi, prinsip interpretasi lokal, prinsip analogi, kohesi-koherensi, implikatur, praanggapan, dan referensi-inferensi dalam berita tentang konflik pekerja tambang PT Freeport Indonesia. Penelitian Susi Haryanti (2012) dengan judul “ Kohesi Leksikal dalam Artikel Majalah Ridebike edisi Bulan November 2012-Februari 2013”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kohesi leksikal dalam wacana keolahragaan. Penelitian Ni Luh Komang Candrawati (2011) dengan judul “Referensi Sebagai Penanda Kohesi dalam Berita Utama Harian Bali Post”. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan jenis-jenis referensi yang dimuat dalam Berita Utama Harian Bali Post. Penelitian M. Oky Fardian Gafari (2009) dengan judul “Kekohesian dan Kekoherensian Paragraf dalam Bahasa Surat Kabar Harian Waspada”. Penelitian ini membahas tentang pemakaian alat kohesi leksikal dan gramatikal pada harian Waspada, dan membahas kekoherensian paragraf pada teks berita utama di harian Waspada. Penelitian Deliana (2010) dengan judul “Kesinambungan Topik dalam Wacana Klasik Minangkabau”. Penelitian ini membahas tentang hasil pengukuran masing-masing perangkat gramatikal, tingkat kesinambungan topik, tingkat kesinambungan fungsi gramatikal topik, tingkat kesinambungan
45
faktor keinsanan topik, peran setiap bentuk topik, dan derajat kesinambungan topik dalam Kaba Klasik Minangkabau. Penelitian Jeniati I (2010) dengan judul, “Kohesi Konjungtor dalam Wacana Narasi Bahasa Toraja”. Penelitian ini membahas tentang kohesi gramatikal yang digunakan para penutur dalam membangun kesatuan wacana, khususnya untuk menemukan dan memaparkan kohesi konjungtor dalam wacana narasi Toraja. Penelitian Nur Fatimah (2009) dengan judul “Aspek Wacana dalam Cerita Anak Berbahasa Inggris”. Penelitian ini membahas tentang perangkat kohesi dalam wacana dan meneliti karakter anak-anak dalam cerita-cerita anak berbahasa Inggris. Penelitian Yosi Wulandari (2012) berjudul “Pendayagunaan Struktur Teks Wacana Kesejahteraan Rakyat dalam Tajuk Rencana Harian Kompas”. Penelitian ini menjelaskan tematik, skematiksintaksis, stilistik dan kekuatan struktur wacana masyarakat pada editorial Kompas. Penelitian Desri Wiana (2011) berjudul “Analisis Kohesi Pada Rubrik “Opini” Surat Kabar Analisa”. Penelitian ini mendeskripsikan jenis alat kohesi gramatikal yang digunakan pada kelima wacana yang dianalisis dan jenis alat kohesi gramatikal yang digunakan pada kelima wacana yang dianalisis dan jenis alat kohesi yang mendominasi di dalam setiap wacana yang dianalisis.
46
2.4. Kerangka Pikir Dalam penelitian ini akan digambarkan kerangka pikir sebagai berikut:
Rubrik Wacan Bocah, Manja, dan Cerkak dalam majalah Panjebar Semangat Kohesi Gramatikal: 1. Pengacuan 2. Penyulihan 3. Pelesapan 4. perangkaian
Kohesi
Kohesi Leksikal: 1. Repetisi 2. Sinonimi 3. Kolokasi 4. Hiponimi 5. Antonimi 6. ekuivalensi
Perbandingan penggunaan kohesi gramatikal dan leksikal antara rubrik Wacan Bocah, Manja, dan Cerkak dalam majalah Panjebar Semangat.
Peran kohesi dalam membangun tema
Bagan 4. Kerangka Pikir Kohesi pada rubrik Wacan Bocah, Manja, dan Cerkak dalam majalah Panjebar Semangat.