BAB II LANDASAN TEORI SAKSI NONMUSLIM DAN PEMBUKTIAN A. Pengertian dan Dasar Hukum Pembuktian Secara etimologi pembuktian berasal dari kata bukti artinya suatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Kata bukti jika mendapat awalan pe - dan akhiran - an maka mengandung arti proses, perbuatan, atau cara membuktikan. Sedangkan dalam arti terminologi pembuktian berarti usaha menunjukan benar atau salahnya terdakwa dalam sidang pengadialan. Pembuktian menurut bahasa berasal dari kata bukti yang artinya sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa, tanda atau keterangan nyata. Pembuktian membuktikan,
adalah
usaha
proses
menunjukkan
atau benar
cara, atau
perbuatan salahnya
terdakwa dalam sidang pengadilan.17 Sedangkan pembuktian dalam Hukum Islam disebut dengan al-bayyinah, yang secara etimologi berarti keterangan, yaitu segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang benar. Dalam istilah teknis, berarti alat-alat bukti dalam sidang pengadilan. Menurut Ibnu al17
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, hlm. 172.
16
Qayyim, kesaksian hanyalah salah satu jenis dari al-bayyinah yang dapat digunakan untuk mendukung dakwaan seseorang, menurut ia al-bayyinah adalah sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menjelaskan yang benar di depan majelis hakim, baik berupa keterangan, saksi, dan berbagai indikasi yang dapat dijadikan pedoman oleh majelis hakim untuk mengembalikan hak kepada pemiliknya.18 Sedangkan menurut jumhur ulama bayyinah merupakan sinonim dengan syahadah, sedang arti syahadah adalah keterangan orang yang dapat dipercaya di depan sidang pengadilan dengan lafal kesaksian untuk menetapkan kebenaran atas orang lain.19 Saksi dalam bahasa Arab disebut al-syahadah, masdar dari syahada yaitu al-syuduh yang berarti al-hudur (hadir).20 Secara bahasa berarti berita pemutus, sedangkan secara istilah artinya pemberitahuan orang yang jujur untuk menetapkan kebenaran dengan lafal kesaksian didalam majelis peradilan.21 Kesaksian merupakan kewajiban peradilan atas hakim untuk mewajibkannya, hukum mendatangkan kesaksian dengan segala syarat-syaratnya
merupakan
keharusan,
18
jika
kewajiban
Basiq Djalil, Peradilan Islam, Amzah, 2012, hlm. 44. Ibid., hlm. 45. 20 Aris Bintara, Hukum Acara Peradilan Islam Dalam Kerangka Fiqh al-Qadha, Jakarta: Rajawali Pers, 2012, hlm. 71. 21 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Waadilatuhu, Juz 9, Cet ke4, Dar al-Fiqr, 2002, hlm. 6082. 19
17
menghadirkan saksi ditinggalkan semuanya akan berakibat menghilangkan kebenaran, memberi kesaksian hukuman fardhu „ain, seorang saksi harus memberikan kesaksiannya dan tidak boleh menyembunyikan jika dibutuhkan di persidangan. Dalam acara di persidangan, posisi saksi dalam pembuktian sangat penting, karena dari proses pembuktian tersebut dapat diketahui secara jelas mengenai suatu peristiwa, meskipun terkadang masalah yang timbul adalah bukti tersebut terpercaya atau palsu, hal inilah yang akhirnya penting sekali kecermatan bagi hakim untuk mengambil keputusan atas suatu perselisihan
tersebut
karena
keputusan
hakim
harus
berlandaskan alat bukti dan keyakinannya sehingga tercipta suatu keputusan hukum yang adil. Mengenai kewajiban pembuktian ini telah di sebutkan dalam beberapa ayat al-Qur‟an dan Hadits diantaranya adalah :22 a. Al-Baqarah ayat 224
َِْٓ إٌَبط١َا ثُٛظٍِذ ْ َُرٚ اَُٛرَزَمٚ اَُّٚب ِٔىُُْ أَْْ رَ َجش٠ْ ؾشْضَخً أل ُ ٌٍََٗا اٍُٛج َؿ ْ ََال رٚ (ٕٕٗ: ٌُ )اٌجمشاح١ٍِؾ َ ٌؽ١ِّع َ ٌٍََُٗاٚ Jangahlah kamu jadikan (nama) Allah dalam sumpahmu sebagai penghalang untuk berbuat kebajikan, bertakwa dan mengadakan perdamaian di antara manusia, Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 224). 22
Aris Bintania, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta, Rajawali Pers, 2012, hlm. 17.
18
a) Tafsir ayat ”Urrdhah” ( )ؾشضخmempunyai beberapa makna. Di antara sekian banyak makna itu ada dua buah yang paling jelas dalam ayat 224. Pertama, dengan makna sasaran, tafsir ayat ini ialah ”Maka janganlah kamu jadikan sumpah atas nama Allah itu sebagai sasaran bagimu untuk tidak melakukan kebajikan”. Karena untuk menghormati nama Allah yang telah kamu ucapkan dalam sumpah itu maka terhalanglah melanggar kebajikan karena kamu takut akan melanggar sumpah itu. Maksudnya melarang bersumpah dengan mempergunakan nama Allah untuk tidak mengerjakan yang baik seperti: Demi Allah, saya tidak akan membantu Anak yatim. Tetapi apabila sumpah itu telah terucapkan, haruslah dilanggar dengan membayar kafarat. Kedua, dengan makana patut dan kuat. Dalam bahasa arab terdapat ungkapan perempuan yang dikatakan urdhah linnikah artinya perempuan yang sudah patut dan kuat untuk nikah.23 b) Azbabun Nuzul Makna yang pertama dikuatkan oleh beberapa riwayat seperti Ibnu Jarir yaang menerangkan sebab turun ini, dia berkata ”Telah bersumpah Abu Bakar Siddiq tidak akan 23
Abdul Hakim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 96-97
19
membelanjai Masyithah lagi, karena dia turut campur dalam komplotan menuduh Aisyah melakukan perbuatan serong”. Maka turunlah ayat 22 dari surat An-Nuur yaitu, ”Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orangorang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah”. Juga tersebut dalam sahihain dan lain-lain, nabi Muhammad SAW. Bersabda: ”Barangsiapa yang bersumpah akan memutuskan silaturrahim atau memperbuat maksiat, hendaklah dilanggar sumpah-sumpahnya itu dan dia kembali dari apa yang telah disumpahkannya itu”.24 Seumpama seorang bersumpah bahwa ia tidak akan melakukan suatu perbuatan yang baik, seperti yang pernah dilakukan oleh Abu Bakar Siddiq,
yang
bersumpah
yang
bersumpah
tidak
akan
membelanjai Masyithah lagi. Berangkat dari susunan ayat ini, dia terus menerus melanggar sumpahnya itu dan kembali memberi belanja kepada Masyithah, kemudian dia membayar kafarat sumpah yang telah dilanggarnya itu.25 Makna yang kedua berarti ”janganlah kamu jadikan nama Allah itu untuk menguatkan sumpahmu akan berbuat baik.” Artinya, melarang 24 25
Ibid., hlm. 97-98. Ibid., hlm. 98.
20
memperbanyak sumpah, walaupun sumpah kebajikan kepada orang yang banyak mengucapkan sumpah itu, bukanlah orang yang baik, seperti firman Allah dalam surat Al Qalam ayat 10 yaitu, ”Dan janganlah kamu ikuti Setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina,”Sebagaimana telah diterangkan Allah dalam ayat ini, menurut tafsiran yang pertama, mereka yang telah bersumpah tidak akan mengerjakan suatu pekerjaaan atau akan meninggalakan pekerjaan, ternyata baginya lebih baik melanggar sumpah itu, maka baik sekali kalau dilanggar sumpahnya itu, dan dia hendaknya membayar kafarat, sebagaimana diterangkan Allah dalam surat Al-Ma‟idah ayat 89 yaitu,”Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak”.26 b. Al-Baqarah ayat 225
ٌٍََُٗاٚ ُُْ ُثىٍُُٛؤَاخِ ُزوُُْ ِثَّب وَغَجَذْ ُل٠ ٌَِْٓىَٚ َُُّْب ِٔى٠ْ َ أِِٟ فُْٛؤَاخِ ُزوُُُ اٌٍَُٗ ثِبٌٍَغ٠ ال (ٕٕ٘: ٌُ) اٌجمشاح١ٍِد َ ٌسُٛغَف Allah tidak menghukum kamu karena sumpahmu yang tidak kamu sengaja, tetapi Dia menghukum kamu karena niat yang terkandung dalam hatimu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. ( QS. Al – Baqarah: 225 ). 26
Ibid.
21
a) Tafsir ayat Tidak
menuntut
yaitu
tidak
menuntut
pertanggungjawaban yang pada gilirannya mengakibatkan sanksi, siksa atau kewajiban memenuhinya. Sumpah dinamai
(ٓ١ّ٠) yamin yang secara harfiah bermakna “tanggan kanan” jamaknya adalah (ّْب٠ )أaiman, dari segibahasa bearti ”sesuatu yang batal” (ٛ )اٌٍغal-lagwu. Sesuatu yang demikian biasanya lahir dari spontanitas tanpa pikir dan pertimbangan termasuk dugaan yang keliru ini bearti sumpah yang sia-sia (lagha) dimaksud apabila seseorang bersumpah dengan lidahnya tetapi diikuti oleh hatinya dengan tidakl ada niat dan maksud.27 b) Asbabun Nuzul Menurut keterangan Abu Hurairah dan segolongan salaf maknanya ialah seseorang yang bersumpah yang menyangka tidak akan mengerjakannya, rupanya kemudian terjadi tidak sebagaimana yang disangkanya semula. Ada juga riwayat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa sumpah yang sia-sia itu seumpama seorang yang bersumpah dalam keadaan marah. Abu Hanafiah menerangkan bahwa dalam hal ini dia tidak wajib 27
Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2000),
hlm. 451.
22
membayar kafarat jika dusta itu disengajanya dan sumpahnya itu termasuk dosa besar, dan jika dalam hal ini dia terlupa, tidak disengajanya,maka sumpah itu masuk sumpah yang sia-sia.28 c. Al-Baqarah ayat 282
ِ َا ِْ َشأَرَبٚ ًُج ْ ُ َِْٓ َفش١ٍَج ُ ََٔب سَُٛى٠ ٌَُْ ِِْْْٓ ِِٓ سِّجَبٌِىُُْ فَئ٠َذ١َِٙا شُِٚذٙش ْ َاعْ َزٚ... ََالٚ َٜخش ْ ُضًَّ إِدْذَا َُّ٘ب فَزُ َز ّوِشَ إِدْذَا َُّ٘ب اْأل ِ ََذَاءِ أَْْ رُٙش ّ ٌَْْ َِِٓ اََِِّّٛٓ َرشْض ٍَِِٗ أَجٌَٝشًا ِإ١ِْ وَجَٚشًا أ١ِطغ َ ُُٖٛا أَْْ َرىْزُجََُّٛالَ َرغْئٚ اَُٛذَآءُ إِرَا َِبدُؾُٙش ّ ٌَؤْةَ ا٠ ًَْ رِجَبسَحُٛا إِالَّ أَْْ رَىُٛ أَالَّ َرشْرَبثَْٝٔأَدَٚ َِبدَحَٙش ّ ٌٍِ ََُْٛأَلَٚ ِغطُ ؾِٕذَ اهلل َ َرٌِىُُْ أَ ْل ُُْؿْز٠َ ا إِرَا رَجَبُِٚذٙش ْ َأَٚ َ٘بُٛىُُْ جَُٕبحٌ أَالَّ رَىْزُج١ْ ٍَؾ َ َْظ١ٍََْٕىُُْ َف١ََب ثَٙٔ ُٚش٠ِضشَحً رُذ ِ دَب ُُُ َؿٍُِّّى٠ُ َٚ َا اهللَُٛارَّمٚ ُُْقُ ثِىُٛا فَئَُِّٔٗ فُغٍُٛإِْ رَ ْف َؿَٚ ُذ١ََِٙالَ شٚ ُُضَآسَّ وَبرِت٠ ََالٚ (ٕ٨ٕ: ُ) اٌجمشاح١ٍَِ ٍء ؾٟ ْ َهلل ِث ُىًِّ ش ُ َاٚ هلل ُ ا ...Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksisaksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka 28
Abdul Hakim Hasan, Tafsir Al-Ahkam, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 99-100.
23
sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. Al-Baqarah: 282). a) Tafsir ayat Kata (ُٕز٠ )رذاtadayantum, diterjemahkan dengan arti bermuamalah terampil dari kata (ٓ٠ )دdain. Kata ini memiliki banyak arti, tetapi makna setiap kata yang dihimpun oleh hurufhuruf kata dain itu (yakni dal, ya‟ dan nun) selalu menggambarkan hubungan antar dua pihak, salah satunya berkedudukan lebih tinggi dari pihak yang lain. Kata ini antara lain bermakna hutang, pembalasan, kataan, dan agama. Kesemunya mengambarkan hubungan timbal-balik itu, atau dengan kata lain bermuamalah. Muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang dimaksud adalah muamalah yang tidak secara tunai, yakni hutang-piutang.29 Setelah menjelaskan tentang hutang piutang atau muamalah sekarang menyangkut persaksian baik dalam tulis menulis maupun lainnya. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang lelaki diantara kamu. Kata saksi yang digunakan dalam ayat ini (ٓ٠ ذٙ )شbukan
(ٓ٠ )شب٘ذini berarti bahwa saksi yang dimaksud adalah benar29
Quraisy Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2000), hlm. 563-564.
24
benar yang wajar serta dikenal kejujurannya: sebagai saksi tang telah berulang-ulang melaksanakan tugas tersebut banyak ulama menerjemahkan dan memahami lanjutan ayat-ayat ”kalau bukan dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua oarang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai yakni yang disepakati oleh yang melakukan transaksi. Yang dinamai saksi adalah orang yang berpotensi menjadi saksi walaupun ketika itu dia belum melaksanakan kesaksian dan dapat juga secara aktual menjadi saksi. Salah satu bentuk mudharat yang dapat dialami oleh
saksi
dan
penulis
adalah
hilangnya
kesempatan
memperoleh rezeki karena itu tidak salahnya memberikan mereka ganti biaya trasportasi dan biaya administrasi sebagai imbalan jerih payah dan pengunaan waktu mereka. Para penulis dan saksi hendaknya tidak juga merugikan yang bermuamalah dalam memperlambat kesaksian, apabila menyembunyikannya atau melakukan penilisan yang tidak sesuai dengan kesepakatan mereka jika kamu wahai para saksi dan penulis serta yang melakukan muamalah maka sesungguhnya hal ituadalah suatu kefasikan pada dirimu.30
30
Ibid., hlm. 566-568.
25
b) Asbabun Nuzul Perintah menulis utang piutang dipahami oleh banyak ulama sbagai anjuran, bukan kewajiban. Demikian praktek para sahabat Nabi ketika itu demikian juga yang terbaca pada ayat berikut, memang sungguh sulit. Perintah itu diterapkan oleh kaum muslim ketika turunya ayat ini. Jika perintah menulis hutang piutang bersifat wajib karena kepandaian tulis menulis ketika itu sangat langka. Namun ayat ini mengisyaratkan perlunya belajar tulis menulis karena dalam hidup ini stiap orang dapat
mengalami
kebutuhan
pinjam
dan
meminja,
ini
diisyaratkan oleh penggunaan kata idza apabila pada awal pengalan ayat ini yang lazim digunakan untuk menunjukkan kepastin akan terjadinya sesuatu.31 Dalam pandangan mazhab Maliki, kesaksian wanita dibenarkan dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta benda, tidak dalam kriminal, pernikahan, perceraian dan rujuk. Mazhab Hanafi lebuih luas dan lebih sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kodrat wanita, mereka membenarkan kesaksian wanita dalam hal-hal yang berkaitan dengan harta, persoalan rumah tangga kecuali dalam soal kriminal.32
31 32
Ibid., hlm. 564-565. Ibid., hlm. 566-567.
26
d. An-Nisa‟ ayat 135
ِٚ َ أَْٔ ُفغِىُُْ أٍَٝؾ َ ٌََْٛٚ ٌٍَِِٗ ََذَاءٙش ُ ِغط ْ َٓ ثِبٌْ ِم١َِِاَٛا لُُٛٔٛا وََُِٕٛٓ آ٠َِب اٌَزٙ٠ُ ََب أ٠ ٌََْٜٛٙ ا اَُّٛب فَال رَزَجِؿِٙ ِثٌَْٝٚ َشًا فَبٌٍَُٗ أ١ِْ فَمًَٚب أ١َِٕىُْٓ غ٠َ َِْْٓ إ١َِاأل ْلشَثٚ ِْٓ٠ََاٌِذٌْٛا شًا)إٌغبء١َِْ خَجٍَُّٛا فَئَِْ اٌٍََٗ وَبَْ ِثَّب َر ْؿُْٛ ُرؿْشِضَٚا أٍُْٚٛإِْْ َرَٚ اٌُٛأَْْ َرؿْ ِذ (ٖٔ٘: Wahai orang-orang yang beriman Jadilah kamu penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah walaupun terhadap dirimu sendiri atau terhadap ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika dia ( yang terdakwa ) kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatan ( kebaikannya ). Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka ketahuilah Allah Mahateliti terhadap segala apa yang kamu kerjakan.(QS. An-Nisa: 135). a) Tafsir ayat Firman (ٓ ثبٌمغط١ِاٛالٛٔٛ )وjadilah penegak-penegak keadilan, merupakan redaksi yang sangat kuat. Perintah berlaku adil dapat dikemukakan dengan menyatakan (اٌٛ )إؾذberlaku adillah. Lebih tegas dari ini adalah (ٓ١اِمغطٛٔٛ )وjadilah orangorang adil, dan lebih tegas dari ini adalah (ٓ ثب ٌمغط١ّالب ئٛٔٛ)و jadilah penegak-penegak keadilan, dan puncaknya adalah redaksi ayat di atas; jadilah penegak jadilah penegak-penegak keadilan yang sempurna lagi sebenar-benarnya.yakni hendaklah secara sempurna dan penuh perhatian kamu jadikan penegak 27
keadilan menjadi sifat yang melekat pada diri kamu dan kamu laksanakan dengan penuh ketelitian.Firman ( ذاءاهللٙ )شmenjadi saksi-saksi karena Allah mengisyaratkan juga bahwa persaksian yang ditunaikan itu, hendaknya demi karena Allah, bukan untuk tujuan-tujuan duniawi yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Ilahi. Kata (ش١ )خجkhabir, digunakan untuk siapa yang mendalami suatu masalah.33 b) Asbabun Nuzul Ibnu Jarir Ath-Thabari mengemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kasus yang dialami Nabi saw. ketika dua orang satu kaya dan yang lainya miskin di mana hati Nabi saw. cenderung membela si miskin karena iba kepadanya akibat kemiskinannya. Allah meluruskan kecenderungan tersebut melalui ayat ini. Firman-Nya (اٌُِٛ أَْْ َرؿْذٌََْٜٛٙ ااُٛ ) َفٍَبرََٕجِؿyang diterjemahkan di atas dengan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran, dapat juga berarti jaganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena karena enggan berlaku adil.34 e. Al-Maidah ayat 8 33
Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz VI, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1960), hlm. 590-591. 34 Ibid., hlm. 591.
28
ٍَ َْْٛ ل ُ ج ِشَِ َٕىُُْ شََٕآ ْ َ٠ َالٚ ط ِغ ْ َذَا َء ثِبٌْ ِمٙش ُ ٌٍَِِٗ َٓ١َِِاَٛا لُُٛٔٛا وََُِٕٛٓ آ٠َِب اٌَزٙ٠ُ ََب أ٠ شٌ ِثَّب١ِا اٌٍََٗ إَِْ اٌٍََٗ خَجَُٛارَمٚ ََْٜٛ أَ ْلشَةُ ٌٍِزَمُٛ٘ اٌُٛا اؾْ ِذٌُٛ أَال َرؿْ ِذٍَٝؾ َ ﴾٨:ْ ﴿اٌّبئذحٍَُّٛ َر ْؿ Wahai orang-orang yang beriman! Jadilah kamu sebagai penegak keadilan karena Allah, (ketika) menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, Karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Mahateliti apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah: 8) a) Tafsir ayat Ayat ini serupa redaksinya dengan surat An-Nisa‟ ayat 135 hanya saja disana dinyatakan kunu qawwamina bil qisth syuhada‟a
li-llahi,
sedang
ayat
diatas
berbunyi
kunu
qawwaminali-llahi syuhada‟a bil qisth. perbedaan redaksi boleh disebabkan karena ayat surat An-Nisa diatas dikemukakan dalam konteks ketetapan hukum dalam pengadilan yang disusul dengan pembicaran dengan kasus seorang muslim yang menuduh seorang Yahudi secara tidak sah, selanjutnya dikemukakan tentang hubungan pria dsan wanita, sehingga yang ingin digarisbawai oleh ayat itu adalah pentingnya keadilan kemudian disusul dengan kesaksian. Karena itu redaksinya mendahulukan kata al-qisth (adil) baru kata syuhada‟ (saksisaksi). Adapun dalam ayat Al-Maidah ini, ia ingin mengigatkan 29
perjanjian-perjanjian dengan Allah dan rasul-Nya, sehingga yang ingin digarisbawahi adalah pentingnya melaksanakan secara sempurna perjanjian itu, dan itulah yang dikandung oleh kata qawwamin lillah. Ada juga yang berpendapat bahwa ayat surat An-Nisa ‟ dikemukakan dalam konteks kewajiban berlaku adil ter hadap diri, kedua orang tua dan kerabat sehingga wajar jika kata al-qisth atau keadilan yang didahulukan sedang ayat Al-Maidah dikemukakan dalam konteks permusuhan dan kebencian, sehingga yang perlu lebih dahulu diingatkan adalah keharusan melaksanakan segala sesuatu demi Allah, karena akan hal ini yang akan lebih mendorong meninggalkan permusuhan dan kebencian.35 b) Asbabun Nuzul Keadilan adalah pintu yang terdekat kepada takwa, sedang rasa benci adalah membawa jauh dari Tuhan. Apabila kamu telah dapat menegakkan keadilan, jiwamu sendiri akan merasai kemenangan yang tiada taranya, dan akan membawa martabatmu naik di sisi Allah. Lawan Adil adalah zalim, dan zalim adlah salah satu dari puncak maksiat kepada Allah. maksiat akan menyebabkan jiwa sendiri menjadi remuk dan 35
Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2001),
hal. 39.
30
merana. “Dan takwalah kepada Allah.” Artinya, pelihara hubungan baik dengan Tuhan, supaya diri lebih dekat dengan Tuhan. “sesungguhnya Allah amat Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.36 f. Riwayat Muslim dari Ibnu Juraij dari Ibnu Abi Malikah dari Ibnu Abbas ...ِ اٌُّْذَؼٍَٟؾ َ ُْثَخ١َاَ ٌْج Bukti (harus ada) atas penggugat/pendakwa. (Riwayat Muslim dari Ibnu Juraij dari Ibnu Abi Malikah dari Ibnu Abbas).
g. Riwayat Bukhari dan Muslim dari al-„Asy‟asy bin Qais َُْٕٗ١ِّ٠َ َٚشَبِ٘ذَانَ ا (datangkan) dua orang saksimu atau sumpahnya. (Riwayat Bukhari dan Muslim dari al-„Asy‟asy bin Qais). B. Saksi dalam Pembuktian Jarimah a. Pengertian dan Dasar Hukum Kesaksian dalam Islam dikenal dengan istilah Asysyahadah menurut bahasa memiliki arti sebagai berikut : 1. Pernyataan atau pemberian yang pasti, 2. Ucapan yang keluar dari pengetahuan yang diperoleh dengan penyaksian langsung,
36
Ibid.
31
3. Mengetahui sesuatu secara pasti, mengalami, dan melihatnya. Kesaksian
adalah
pemberitaan
yang
benar
untuk
menetapkan suatu hak dengan lafal syahadah atau kesaksian di depan sidang pengadilan.37 Definisi lain dapat juga dikatakan ialah pemberitaan akan hak seseorang atas orang lain, baik hak tersebut bagi Allah ataupun hak manusia, pemberitaan yang terbit dari keyakinan, bukan perkiraan.38 Persaksian merupakan salah satu alat bukti yang penting dalam pembuktian hukum pidana islam. Hal ini dikarenakan persaksian dapat menjadikan pembuktian lebih objektif karena adanya saksi yang menguatkan. Saksi juga menjadi kunci dalam pembuktian dalam suatu tindak pidana apabila pelaku tidak mengaku. Selain itu apabila salah satu saksi memberikan keterangan yang berbeda dengan keterangan pelaku maka hal tersebut dapat dijadikan bahan pertimbangan terkait pembuktian kasus tersebut oleh hakim. Tanpa adanya saksi ini pada umumnya akan sulit dibuktikan bahwa seseorang telah melakukan suatu jarimah.
37
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami Waadilatuhu, Juz 9, hlm.
38
Basiq Djalil, Peradilan Islam, hlm. 55.
202.
32
Apabila
jumlah
saksi
kurang
dari
empat,
maka
persaksiannya tersebut tidak dapat diterima. Hal ini apabila pembuktiannya itu hanya berupa saksi saja dan tidak ada alat bukti lain. Dasar hukumnya yaitu sebagai berikut:39
a) Surah An-Nisaa‟ ayat 15 )إٌغبء... َُُِٓ َأسْ َثؿَخً ِِ ْٕىْٙ١ٍَؾ َ اُِٚذٙش ْ دشَخَ ِِْٓ ِٔغَب ِئىُُْ فَبعْ َز ِ َٓ اٌْفَب١َِؤْر٠ َِٟاٌٍَبرٚ (ٔ٘: Dan (terhadap) para wanita yang mengerjakan perbuatan keji, hendaklah ada empat orang saksi di antara kamu (yang menyaksikan)...(QS. An-Nisa‟:15)
b) Surat An-Nuur ayat 4 َٓ١ُُْٔ٘ ثَّبُٚجٍِذ ْ َذاءَ فَبٙش ُ ِا ثِؤَسْ َثؿَخَُٛؤْر٠ ٌَُْ ََُُْ ا ٌُّْذْظَٕبدِ ثُِٛ ْش٠َ َٓ٠َ اٌَزٚ (ٗ:سٌٕٛ )ا...ًجٍْذَح َ Dan oarang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,...(QS. An-Nuur: 4) c) Surat An-Nuur ayat 13
ُُُ٘ ٌٌٍََِّٰٗ ِئهَ ؾِْٕذَاَُٚذَاءِ فَؤُٙش ّ ٌا ثِبَُٛؤْر٠ ٌَُْ َْذَاءَ ۚفَئِرٙش ُ ِْٗ ثَِؤسْثَؿَ ِخ١ٍَؾ َ اٌَُٚب جَبءْٛ ٌَ (ٖٔ:سٌٕٛ ا...)ُْٛا ٌْىَبرِث 39
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 36.
33
Mengapa mereka (yang menuduh itu) tidak mendatangkan empat orang saksi atas berita bohong itu? Oleh karena mereka tidak mendatangkan saksi-saksi maka mereka itulah pada sisi Alloh orang-orang yang dusta (QS. An-Nuur: 13) d) Hadis Nabi saw.
َ َْ اْالعْالََ أٝيَ ٌؿَبْ وَبَْ فَٚ َ ا: ََ اهللُ ؾَُْٕٗ لَبيَٝؾَْٓ أََٔظ ثْٓ ٍَِه سَضٚ ْ ْٗ١ٍَؾ َ اهللٍَٝط َ َٟخَ ثؤَ ِْ َشأَرٗ فَمَبيَ ٌَُٗ إٌَج١َِاليُ ثْٓ َأ َ ٘ َُٗهَ ثْٓ عَذَّْؤَ لَزَف٠ْ شَش ٌَُُٗسجَبٚ ٍَٝ ْؿ٠َ ُْٛدشَجَُٗ أَث ْ َْثُ أ٠ْشنَ ) اٌْذَذٙغ َ َْٝإٌَب فَذَذٌ فٚ َُٕخ١َ اٌج: ٍََُع َ َٚ (ٌثمَبد Dari Anas ibn Malik ra. Ia berkata: Li‟an pertama yang terjadi dalam Islam adalah bahwa Syarik ibn Sahma dituduh oleh Hilal ibn Umayah berzina dengan istrinya. Maka Nabi bersabda kepada Hilal:”Ajukanlah saksi. Apabila tidak maka engkau dikenakan hukuman had.”(Hadis ini dikelurkan oleh Abu Ya‟la dan perawinya dapat dipercaya)40
e) Dalam riwayat lain menurut Imam Nasa‟i, Nabi bersabda sebagai berikut:
َْشنٙغ َ َٝإٌَب فَذَ ٌذ فٚ َ َذَأٙش ُ اثْذ ثَؤسْ َثؿَخ Ajukanlah empat orang saksi, Apabila tidak bisa maka hukuman had akan dikenakan terhadapmu.41
40
Muhamad Ibn Ismail al-Kahlani, Subul al-Salam, cet IV, Mesir: Mustofa al-Baby al-Halaby, 1960, hlm. 16. 41 Abdul Qodir audah, Tasyri‟ Jina‟i, hlm. 396.
34
b. Syarat-syarat Menjadi Saksi Untuk dapat diterima persaksian, harus dipenuhi syaratsyarat yang umum berlaku untuk semua jarimah. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut:42 a) Balig (Dewasa) Seorang saksi dalam setiap jarimah disyaratkan harus balig. Apabila belum balig (dewasa) maka persaksiannya tidak dapat diterima. Hal ini berdasarkan kepada firman Alloh dalam Surat Al-Baqarah ayat 282:
(ٕ٨ٕ: )اٌجمشاح...ُُٓ ِِٓ سِّجَبٌِى ِ ْ٠َذ١َِٙا شُِٚذٙش ْ َاعْ َزٚ... ... Dan persaksian dengan dua orang saksi dari orang – orang lelaki diantaramu ...(QS. Al-Baqarah: 282) Lafaz ُ سجَبيmenurut bahasa berarti laki-laki yang sudah dewasa dan tidak termasuk di dalamnya anak-anak di bawah umur. Alasan lain adalah Nabi saw.
َٓ سُفؽَ اٌ َمٍَُُ ؾَٓ َثٍَبثَخ ؾ: َ ص َ لَبيَٝب أََْ إٌَجْٕٙ ََ اهللُ ؾٝؾَْٓ ؾَئشَخَ سَض ٖاٚىْ ُجشَ ) س٠َ َٝ دَزَٟؾَٓ اٌظَجٚ ََ ْج َشأ٠ َٝ دَزٍََٝؾَٓ ا ٌُّْجْ َزٚ َْمع١َغْز٠َ َٝإٌَئَ دَز (ُاٌذبوٚ ٗاثٓ ِبجٚ ٜإٌغئٚ دٚ داٛأثٚ أدّذ Dari aisyah ra. bahwa Nabi saw. bersabda: “dihapuskan ketentuan hukum dari tiga orang, (1) dari orang yang tidur sampai dia bangun, (2) dari orang gila sampai dia sembuh, (3) 42
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2005, hlm. 38.
35
dari anak di bawah sampai ia dewasa. ( diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, Nasa‟i, Ibn Majah, dan al-Hakim )43 b) Berakal Seorang saksi disyaratkan harus berakal. Orang yang berakal adalah yang mengatahui kewajiban yang pokok dan yang bukan, yang mungkin dan yang tidak mungkin, serta mudarat dan manfaat. Dengan demikian, persaksian orang yang gila dan kurang sempurna akalnya (ma‟tuh) tidak dapat diterima. Hal ini dadasarkan kepada hadis Aisyah yang telah disebutkan di atas, yang di dalamnya disebutkan:
َ ْج َشاَء٠ َٝ دَزٍَََٝؾَْٓ أٌُّْجْزٚ... ... Dan dari orang gila sampai dia sembuh. c) Kuat Ingatan Seorang saksi disyaratkan harus mampu mengingat apa yang disaksikannya dan memahami serta menganalisis apa yang di lihatnya, di samping dapat dipercaya apa yang dikatakannya. Dengan demikian, apabila pelupa, persaksiannya tidak dapat diterima. Juga disamakan dengan lupa orang yang banyak keliru dan lalai. Akan tetapi kalo keliru atau salahnya hanya sedikit, persaksiannya masih dapat diterima. Alasan tidak diterimanya orang yang pelupa adalah karena orang pelupa itu apa yang dikatakannya tridak dapat 43
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hlm. 39.
36
dipercaya sehingga kemungkinan kekeliruan dan kesalahan dalam persaksiannya.44 d) Dapat Berbicara Seorang saksi disyaratkan harus bisa bicara. Apabila ia bisu, status persaksiannya diperselisihkan oleh banyak ulama. Menurut mazhab Hambali, orang bisu persaksiannya tidak dapat diterima, walaupun isyaratnya dapat dipahami, kecuali dia dapat menulis, Dalam hal ini ia bisa melaksanakan persaksian dengan tulisannya. Dalam madhad Hanafi persaksian orang yang bisu juga tidak dapat di terima, baik dengan isyarat mapun dengan tulisan. Adapaun dalam mazhab Syafi‟i terdapat dua pendapat. Sebagian ulama Syafi‟iyah dapat menerima persaksian orrang yang bisu, karena isyaratnya separti ucapan, sebagaimana dilakukan dalam akad nikah dan talak. Akan tetapi sebagian lagi berpendapat kesaksian orang bisu tidak dapat diterima, karena isyarat yang menggantikan ucapan itu hanya berlaku dalam keadaam darurat. Kalo orang bisu diterima isyaratnya sebagai pengganti ucapannya, seperti dalam nikah dan talak, hal itu dikarenakan keadaan darurat, karena tidak ada jalan lain selain dengan isyarat. Namun dalam persaksian kondisinya tidak dianggap sebagai keaadaan darurat, karena masih banyak orang yang bisa berbicara yang dapat digunakan sebagai saksi. Dalam 44
Ibid., hlm. 41.
37
mazhab Syi‟ah Zaidiyah juga ada dua pendapat. Pendapat pertama membolehkan persaksian orang bisu, dan pendapat yang lain tidak membolehkannya.45 e) Dapat Melihat Orang yang menjadi saksi disyaratkan harus dapat melihat apa yang disaksikannya. Apabila saksi tersebut orang yang buta maka para ulama berselisih faham tentang diterimanya persaksian tersebut. Menurut kelompok Hanafiyah, persaksian orang buta tidak dapat diterima. Hal ini karena untuk dapat melaksanakan persaksian, saksi harus dapat menunjukan objek yang disaksikannya. Disamping itu, orang yang buta hanya dapat membedakan sesuatu dengan pendengarannya. Pendapat Imam Abu Hanifah tentang tidak diterimanya persaksian orang yang buta berlaku di dalam kasus yang untuk mengetahuinya harus dengan cara dilihat atau didengar. Akan tetapi, Imam Abu Suyuf membolehkan persaksian orang yang buta dalam masalah
yang cara mengetahuinya dengan
pendengaran. Adapun dalam cara mengetahuinya harus dengan penglihatan, Imam Abu Yusuf apabila saksi itu dalam waktu menyaksikan peristiwa, dia dapat melihat, meskipun pada waktu
melaksanakan persaksian ia buta, asal ia mengetahui
nama dan keturunan dari orang yang sedang diadili. Imam Zufar 45
Ibid.,
38
berpendapat bahwa persaksian orang yang buta di dalam jarimah selain hudud dan qishash, yang cara mengetahuinya dengan pendengaran. Pendapat Imam Zufar ini meruoakan salah satu pendapat Imam Abu Hanifah.46 Golongan Malikiyah menerima persaksian orang yang buta dalam masalah yang berkaitan dengan ucapan yang bisa diketahui dengan pendengaran, asal tidak ragu-ragu dan ia meyakini objek yang disaksikannya. Apabila ragu maka persaksiannya tidak sah. Adapun dalam masalah-masalah yang harus dilihat dengan mata maka persaksian orang buta tidak dapat diterima. Pendapat Malikiyah ini umumnya sama dengan pendapat Syafi‟iyah. Hanya saja dalam mazhab Syafi‟i ada sebagian ulama yang menerima kesaksian orang buta secara mutlak dalam kasus yang berkaitan dengan ucapan.47 Madhab Hambali membolehkan persaksian orang buta dalam tindak pidana yang berhubungan dengan ucapan, mereka membolehkan persaksian terhadap apa yang disaksikannya sebelum ia menjadi buta, apabila ia mengetahui orang yang disaksikannya itu, baik namanya maupun keturunannya. Mazhab Zaidiyah pada prinsipnya sama dengan mazhab Syafi‟i, yaitu tidak membolehkan orang yang buta dalam peristiwa yang harus 46 47
Abdul Qodir audah, Tasyri‟ Jina‟i, hlm. 399. Ibid., hlm. 400.
39
diketahui
dengan
penglihatan.
Akan
tetapi
Zaidiyah
membolehkan persaksian orang buta secara mutlak, baik dalam tindak pidana yang berkaitan dengan ucapan maupun yang berkaitan dengan perbuatan.48 f) Adil Seseorang yang menjadi saksi disayaratkan harus adil. Dasarnya adala firman Allah dalam surat Ath-Thalaaq ayat 2: ... ُُْي ِِ ْٕى ٍ ْ ؾَ ْذََٞٚا رُِٚذٙش ْ َأَٚ ... ...Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu ... (QS. Ath-Thalaaq: 2) Juga didasarkan kepada surat Al-Hujarat ayat 6:
َبٌَ ٍخٙج َ ًِِب ثْٛ َا لُٛج١ِا أَْْ رُظَُٕٛ١َعكٌ ثَِٕجَئٍ فَزَج ِ ا إِْْ جَبءَوُُْ فَبََُِٕٛٓ آ٠َِب اٌَزٙ٠ُ ََب أ٠ (ٙ :ٓ )اٌذجشاد َ ١ِِٰ َِب َف َؿٍْزُ ُْ َٔب ِدٍَٝؾ َ اُٛفَزُظْجِذ Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan satu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keaadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu (QS. Al-Hujarat: 6) Dalam ayat pertama Alloh memerintahkan untuk menerima persaksian orang yang adil, sedangkan dalam ayat yang kedua Alloh memerintahkan untuk menangguhkan berita yang disampaikan oleh orang yang fasik, dan persaksian pada hakikatnya adalah suatu berita. 48
Ibid., hlm. 401.
40
Pengertian adil
menurut
malikiyah adalah
selalu
memelihara agam dengan jalan menjauhi dosa besar dan menjaga diri dari dosa kecil, selalu menunaikan amanat dan bermuamalah dengan baik. Ini tidak berarti tidak melakukan maksiat sama sekali, karena hal itu tidak mungkin bagi manusia biasa. Ulama Hanafiyah berpendapat adil itu adalah konsisten (istiqomah) melaksanakan ajaran agama Islam, mendahulukan pertimbangan akal daripada hawa nafsu. Dengan perkataan lain adil menurut ulama Hanafiyah adalah menjauhi dosa besar dan tidak melanggengkan dosa kecil, lebih banyak kebaikannya daripada keburukannya, dan lebih banyak benarnya daripada salahnya. Ulama Syafiiyah pada prinsipnya sama pendapatnya dengan Malikiyah, yaitu bahwa adil itu menjauhi dosa besar dan tidak melanggengkan dosa kecil. Sementara ulama Hambaliyah berpendapat bahwa adil itu adalah lurusnya seseorang dalam agamanya, dan ucapan serta perbuatannya.49 Dengan
memperhatikan
pendapat-pendapat
ulama
(madhab) tersebut, dapat diambil suatu pengertian bahwa apabila seseorang dalam kehidupannya masih sering melakukan dosa besar dan membiasakn dosa kecil, serta lebih banyak keburukannya daripada kebaikannya maka dia dianggap sebagai orang fasik dan dia diperbolehkan untuk menjadi saksi. 49
Ibid., hlm. 402-403.
41
Untuk menetapkan dan membuktikan sifat adil pada seseorang, para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Abu Hanifah dan Zhahiriyah, keadilan seseorang itu dapat diketahui dengan meminta pendapat atau penilaian dari tersangka (mashud „alaih).
Apabila
orang
yang
disaksikan
perbuatannya
menyatakan bahwa saksi bukan orang tercela maka saksi dianggap adil dan persaksiannya dapat diterima. Adapun menurut Malikiyah, Syafiiyah, dan Hambaliyah serta Imam Abu Yusuf dari pengikut madhab Hanafi, untuk menyatakan adilnya seseorang tergantung kepada penialaian hakim. Apabila menurut penilaian hakim, saksi adalah orang yang memenuhi sifat-sifat adil maka dia bisa diterima persaksiannya.50 g) Islam Seorang saksi disyaratkan harus beragama Islam. Dengan demikian, persaksian orang yang buakn Islam
tidak dapat
diterima, baiki untuk perkara orang muslim maupun perkara nonmuslim. Hal ini merupakan prinsip yang diterima oleh para fuqaha. Dasarnya adalah firman Alloh dalam surat Al-Baqarah ayat 282:
(ٕ٨ٕ: )اٌجمشاح...ُُٓ ِِٓ سِّجَبٌِى ِ ْ٠َذ١َِٙا شُِٚذٙش ْ َاعْ َزٚ... ... Dan persaksian dengan dua orang saksi dari orang – orang lelaki diantaramu ...(QS. Al-Baqarah: 282) 50
Ibid., hlm. 404-405.
42
Dasar yang lain adalah surat Ath-Thalaaq ayat 2: ... ُُْي ِِ ْٕى ٍ ْ ؾَ ْذََٞٚا رُِٚذٙش ْ َأَٚ ... ...Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu ... (QS. Ath-Thalaaq: 2) h) Tidak Ada Penghalang Persaksian Disamping syarat-syarat yang telah dijelaskan di atas, seorang saksi juga disyaratkan tidak ada hal-hal yang dapat menghalangi seseorang untuk diterimanya persaksiannya. Halhal yang dapat menghalangi diterimanya persaksiannya adalah sebagai berikut: 1) Hubungan keluarga (kerabat), seperti orang tua terhadap anaknya juga suami terhadap istrinya, atau sebaliknya. 2) Permusuhan 3) Tuhmah, yaitu adanya sesuatu antar saksi dan orang yang disaksikannya yang mendorong timbulnya prasangka. Atau dengan melaksanakan persaksian, saksi akan memperoleh keuntungan, contoh persaksian buruh terhadap majikannya.51
51
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, hlm. 44.
43
C. Pendapat Para Ulama Tentang Saksi Nonmuslim Mengenai kesaksian nonmuslim dengan membaginya dalam dua kategori penjelasan berikut ini:52 a) Kesaksian nonmuslim untuk dan atas sebagian mereka Ada perbedaan mengenai hal ini menurut ulama salaf maupun khalaf. Imam Ahmad bin Hambal bahwa telah bercerita kepada Qosabishah, telah bercerita kepada Sufyan bin Hasyim bahwa Asy Syu‟bi berkata: “Dibolehkan kesaksian orang-orang Yahudi atas orang-orang Nasran”i. “Hambal berkata, ”aku mendengar Abu Malikah membolehkan kesaksian sebagian mereka terhadap sebagian yang lain”, sedangkan kesaksian mereka terhadap orang-orang muslim tidak di perbolehkan. Ibnu Hazm mengatakan bahwa diriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Umar bin Abdul Aziz bahwa beliau membolehkan kesaksian orang-orang Nasrani terhadap orangorang Majusi, atau sebaliknya. Diriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Asy-Syu‟bi, Syuraikh, dan Ibrahim An-Nakha‟i bahwa menurut mereka , diperbolehkan kesaksian nonmuslim terhadap sebagian nonmuslim lainnya. Demikian pendapat pertama yang membolehkan kesaksian nonmuslim terhadap nonmuslim lainnya meskipun keduannya berbeda agama. 52
Asadulloh Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, cet. 1, Pustaka Yustisia, 2009, hlm. 60.
44
Adapun pendapat kedua menyatakan bahwa kesaksian nonmuslim atas nonmuslim lain yang berbeda agama tidak diperbolehkan. Ibnu Abu Syaiban meriwayatkan, dari Ibnu Uyainah, dari Yunus, dari Hasan, dia berkata bahwa apabila berbeda agama maka kesaksian sebagian mereka terhadap sebagian yang lainnya tidak diperbolehkan. Atha‟
menyatakan bahwa bahwa tidak dibolehkan
kesaksian satu pemeluk agama dengan pemeluk agama yang lainnya, kecuali orang-orang Islam terhadap pemeluk agama lain. Demikian pula pendapat An-Nakha‟i.53 b) Kesaksian nonmuslim terhaadap dan atas sebagian orang Islam Perihal kesaksian nonmuslim terhadap orang muslim, diperbolehkan hanya dalam perkara wasiat di perjalanan. Hal ini telah tegas ditunjukan dalam al-Qur‟an. Allah AWT berfirman:
ِ َّخِ ٱثَْٕب١َِطٌَْٛٓ ٱ١ِْدُ دٌَّْٛ ضشَ أَدَ َذوُُُ ٱ ْ َ َِْٕىُُْ إِرَا د١ََٰذَحُ ثٙش َ ۟إََُِٛٓ ءَا٠َِب ٱٌَّزُّٙ٠ََٰٓؤ٠ ُُ ٱٌَْؤسْعِ فَؤَطَٰجَ ْزىِٝضشَثْزُُْ ف َ ُُْشِوُُْ إِْْ أَٔز١ْ َخشَاِْ ِِْٓ غ َ ْ ءَاََٚا ؾَ ْذيٍ ِِّٕىُُْ أَٚر (ٔٓٙ : )اٌّبئذح... ِْدٌَّْٛ جَخُ ٱ١ُِِّظ Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, hendaklah wasiat itu disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu juka kamu
53
Ibid., hlm. 61.
45
dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian ...(QS. Al-Maidah: 106).54 Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dua orang berlainan agama dengan kamu adalah orang-orang nonmuslim dari golongan ahli kitab (Yahudi atau Nasrani), dan bukannya orang-orang nonmuslim selain ahli kitab. Dan hal demikian kesaksian nonmuslim diperbolehkan dalam keadaan darurat. Ibnu Qoyyim berpendapat bahwa yang dimaksud dua orang yang berlainan agama dengan kamu tidak terbatas dengan ahli kitab saja, tetapi nonmuslim seluruhnya. Menurutnya, membatasi ayat tersebut dengan ahli kitab saja tidak terdapat dalilnya dan dapat berakibat mempersempit jenis-jenis perkara yang diberikan dispensasi dalam perkara pembuktian. Adapun adanya keadaan darurat, Ibnu Qoyyim dan yang lainnya mensyaratkannya. Artinya, nonmuslim diperbolehkan menjadi saksi selama dalam keadaan hanya memungkinkan untuk itu. Akan tetapi terhadap prinsip yang sudah disepakati ini terdapat dua pengecualian sebagai berikut.
54
Ibid., hlm. 62.
46
1) Persaksian nonmuslim terhadap perkara orang Islam Golongan Hanafiyah berpendapat bahwa persaksian orang kafir dzimmi atas perkara sesamanya dan orang kafir harbi atas perkara sesamanya dapat diterima. Hal ini didasarkan kepada tindakan Rasulullah saw, yang memperkenankan persaksian orang Nasrani atas perkara sesama mereka. Golongan Zaidiyah membolehkan persaksian nonmuslim atas perkara orang yang seagama dengannya, tetapi tidak bagi orang yang beragama lain. Akan tetapi, Malikiyah dan Syafiiyah menolak sama sekali persaksian nonmuslim secara mutlak, baik untuk perkara orang Islam maupun perkara nonmuslim. 2) Persaksian nonmuslim atas perkara muslim dalam hal wasiat di perjalanan Golongan Hanabilah berpendapat bahwa apabila orang Islam yang sedang bepergian meninggal dan berwasiat dengan disaksikan para nonmuslim maka persaksian mereka dapat diterima, apabila tidak ada orang lain yang beragama Islam. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat Al-Maidah ayat 106. Pendapat Zhahiriyah dalam hal ini sama dengan pendapat Hanabilah. Akan tetapi Malikiyah, Hanafiyah, Syafiiyah serta Zaidiyah tidak menerima persaksian nonmuslim
47
dalam kasus ini, karena orang fasik aja tidak diterima, apalagi orang kafir.55 Ibnu berpendapat
Taimiyah bahwa
dan
dalam
muridnya keadaan
Ibnu
al-Qoyyim
darurat,
persaksian
nonmuslim atas muslim bisa diterima dengan mengiaskanya kepada diterimanya persaksian nonmuslim dalam masalah wasiat. Hal ini karena diterimanya persaksian nonmuslim dalam kasus wasiatpun sebabnya karena keadaan darurat.56
55
Abdulloh Ibnu Qodamah, VII, hlm. 199. Ibn al-Qoyyim al-Jauziyah, Ath-Tharuq al-Hukmiyah fi AsSiyasah Asy-Syari‟ah, Mathba‟ah Sunnah al-Muhamadiyah, 1953, hlm. 176180. 56
48