--Pembuktian saksi testimonium de auditu--
KEKUATAN PEMBUKTIAN PENGGUNAAN SAKSI TESTIMONIUM DE AUDITU SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN NEGERI KARANGANYAR Aurelia Dini Vera Hapsari, Chandra Arvintha Puput P, Dewi Wulandari Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta ABSTRAK Dalam sidang perkara perdata di Pengadilan Negeri masih banyak penggunaan saksi testimonium de auditudalam pembuktian suatu perkara perdata.Keberadaan saksi testimoniumde Auditu merupakan cara pintas yang digunakan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk memperkuat dan mempermudah pada saat pembuktian di persidangan. Hal ini tentu akan menimbulkan perbedaan konsepsi kekuatan pembuktian dari seorang saksi testimonium de auditu oleh Hakim. Penulisan ini berdasarkan metode normatif yang tidak dapat melepaskan fakta empiris yang terdapat di persidangan perkara perceraian melalui penghadiran seorang saksi testimonium de Auditu pada Pengadilan Negeri Karanganyar. Fakta empirik dan aturan dasar normatif perundang-undangan yang dijadikan sebagai dasar untuk kemudian dianalisis menggunakan metode interpretasi dan teknik analisis induksi. Terkait bahan hukum yang diperoleh melalui studi kepustakaan dari Perpustakaan maupun berkas yang dimiliki Pengadilan Negeri Karanganyar. Kata Kunci: Kekuatan pembuktian, Testimonium de Auditu, alat bukti, Perceraian. ABSTRACT In civil session in the court there are still employing the witnesses testimonium de auditu in the verivication of civil matter. The existence witnesses testimonium de auditu is a shortcut which use by the lawsuit partner of civil to strengthened or make easier in the verivication court. It will cause the diffeense of conception verivication strength from the witness testimonium de auditu.This writing is based of normative method that can not escaping the empiric fact that contained in divorce court through the presence of the witnesses testimonium de auditu in Karanganyar civil court. The Empiric fact and basic rule of normative legislation that become a basic for analising by using interpretasion method and inuction analising technic.Concerned law material that optained through literatue studies from the library and document from Karanganyar Civil Court. Key word : verivication strength, testimonium de auditu, proof instrument, divorce 1
A. PENDAHULUAN Perkara perceraian pada dasarnya adalah perkara personen recht (berhubungan dengan orang), namun pada kondisi tertentu perkara perceraian dapat
juga
mengandung
unsur
personen
recht
dan
zaken
recht
(kebendaan).Perkara perceraian mempunyai perbedaan dengan perkara lainnya karena saksi yang dihadirkan dalam perkara perceraian berasal dari pihak keluarga. Pada sidang perkara perceraian diperlukan suatu ketelitian hakim dalam tahap pembuktian di persidangan. Hukum pembuktian (law of evidence) dalam proses peradilan merupakan bagian yang sangat kompleks, karena pembuktian berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian peristiwa masa lalu dan suatu kebenaran. Dalam pembuktian diperlukan alat bukti yang menunjang untuk mencapai suatu kebenaran formil.Kebenaran formil dalam hukum acara perdata ialah kebenaran yang hanya didasarkan pada formalitas-formalitas hukum.Membuktikan artinya mempertimbangkan secara logis kebenaran suatu fakta/peristiwa berdasarkan alatalat bukti yang sah dan menurut hukum pembuktian yang berlaku. Didalam hukum acara perdata telah dikenal ada 5 (lima) macam alat bukti, yaitu alat bukti tulisan, saksi, persangkaan, pengakuan dan alat bukti sumpah. Saksi sebagai salah satu alat bukti dalam hukum acara perdata mempunyai jangkauan sangat luas hampir meliputi segala bidang dan segala macam sengketa perdatakecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Berdasarkan Pasal 171 HIR, Pasal 1970 KUHPerdata, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi di persidangan haruslah berdasarkan sumber pengetahuan yang jelas, dan sumber pengetahuan yang dibenarkan hukum. Dalam arti kata, kesaksian tersebut berdasarkan penglihatan, atau pendengaran yang
2
bersifat langsung dari peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan pokok perkara yang disengketakan para pihak. Pada dasarnya yang diatur dalam HIR naupun KUHPerdata adalah saksi yang nyata-nyata mendengar atau melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang terjadi akan tetapi ada juga kesaksian yang berasal dari orang lain. Keterangan seorang saksi yang bersumber dari cerita orang lain atau keterangan yang disampaikan orang lain kepadanya ini berarti: a. Berada di luar kategori keterangan saksi yang dibenarkan Pasal 171 HIR, Pasal 1907 KUH Perdata. b. Keteragan saksi yang demikian, hanya berkualitas sebagai testimonium de auditu, yaitu kesaksian atau keterangan karena mendengar dari orang lain. c. Disebut juga kesaksian tidak langsung atau bukan saksi mata yang megalami, melihat,atau
mendengar
sendiri
peristiwa-peristiwa
perkara
yang
disengketakan. Bentuk keterangan yang demikian dalam Common Law disebut hearsay evidence.Keterangan yang diberikan saksi dalam persidangan, berisi keterangan yang disampaikan tangan pertama (first-hand hearsay) kepada saksi. Dalam Common Law, terdapat berbagai aturan atau ketentuan yang bersifat eksepsional yang membolehkan dan menerima hearsay sebagai alat bukti saksi (testimonial evidence). Akan tetapi jika tidak ada hal yang esepsional, hearsay evidence dilarang secara absolut (absolutely prohibited), meskipun keterangan yang diberikan benar-benar dipercaya (reliable) (Harahap, M. Yahya. 2012 : 661). Bentuk dari keterangan saksi testimonium de auditu ini sering kita jumpai dalam proses persidangan. Keterangan saksi hanya menerangkan hal-hal yang tidak ia ketahui sendiri melainkan dari orang lain. Terlebih dalam perkara perceraian, para pihak menghadirkan alat bukti saksi dalam persidangan karena pada dasarnya dalam perkara perceraian alat bukti saksi merupakan alat bukti yang utama. Dan bagaimana apabila alat bukti saksi dalam persidangan bersifat testimonium de auditu. 3
Berdasarkan uraian tersebut maka dalam karya ilmiah ini akan dibahas mengenai
penggunaan
keterangan saksi
testimonium de auditu
dalam
persidangankhususnya dalam perkara perceraian yang ada di Pengadilan Negeri Karanganyar. Bagaimana pertimbangan hakim dalam penggunaan keterangan saksi tersebut dalam pembuktian di persidangan dengan pokok penelitian “KEKUATAN PEMBUKTIAN PENGGUNAAN SAKSI TESTIMONIUM DE AUDITU SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PERCERAIAN DI PENGADILAN NEGERI KARANGANYAR” B. METODE PENELITIAN Dalam penulisan jurnal ini, penulis mempergunakan metodologi kualitatif. Menurut Bogdan dan Taylor mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.Menurut Kirk dan Miller mendefinisikan penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya (Herdiansyah, Haris. 2010 : 9). Jenis penulisan ini menggunakan penelitian hukum normatif (legal research) atau dikenal sebagai penelitian hukum doktrinal atau penelitian hukum kepustakaan yaitu hanya studi dokumen yakni menggunakan sumber-sumber data sekunder saja berupa peraturan perundang-undangan, teori hukum dan pendapat para ahli.Itu sebabnya digunakan analisis secara kualitatif (normatif-kualitatif) karena datanya bersifat kualitatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundangundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin atau ajaran (Fajar, Mukti. dan Achmad,Yulianto. 2010 : 34). 4
Dalam penulisan jurnal ilmiah ini mendasarkan kepada fakta empirik yang terdapat di persidangan perceraian melalui penghadiran saksi testimonium de auditu pada Pengadilan Negari Karanganyar yang kemudian di analisis menggunakan metode penelitian normatif. Penelitian normatif digunakan dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai saksi.Serta bahan hukum yang digunakan dapat diperoleh dari bahan sekunder dari Pengadilan Negari Karanganyar dan Perpustakaan. Sehingga pengumpulan bahan hukum menggunakan studi kepustakaan dan teknis analisis bahan hukum dengan penafsiran atau interprestasi. C. PEMBAHASAN 1. Kekuatan Pembuktian Kesaksian Testimonium de auditu Dalam pembuktian perkara perdata tidak selamanya menggunakan alat bukti tulisan atau akta. Dalam kenyataannya bisa terjadi: a. Sama sekali penggugat tidak memiliki alat bukti tulisan untuk membuktikan dalil gugatan. b. Alat bukti tulisan yang ada tidak mencukupi batas minimal pembuktian karena alat bukti tulisan yang ada hanya berkualitas sebagai permulaan pembuktian (Harahap, M. Yahya. 2012 : 623). Dalam hal seperti itu maka alat bukti yang lain yang dapat diajukan adalah mengahadirkan saksi-saksi dalam persidangan. Pembuktian dengan saksi ini seperti dalam Pasal 1895 KUH Perdata yang berbunyi “Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang”. Saksi yang digunakan sebagai alat bukti yang sah di dalam persidangan adalah saksi yang mendengar, melihat, dan mengalami sendiri yang bersifat langsung dari peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan pokok perkara
yang
disengketakan
oleh
para
pihak
dan
diajukan
ke 5
persidangan.Namun, disinggung juga mengenai saksi yang mendengar dari pihak lain, tentang terjadinya suatu perbuatan atau peristiwa hukum yang diajukan dipersidangan tersebut. Kesaksian tersebut merupakan kesaksian testimonium de auditu atau hear’s say evidence. Kesaksian tidak langsung atau testimonium de auditu atau hear’s say evidence adalah suatu kesaksian dari seseorang di muka pengadilan untuk membuktikan kebenaran suatu fakta, tetapi saksi tersebut tidak mengalami atau mendengar maupun melihat sendiri fakta tersebut. Dia hanya mendengarkan dari pernyataan atau perkataan orang lain, dimana orang lain tersebut menyatakan mendengar, mengalami, atau melihat fakta tersebut sehingga nilai pembuktian tersebut sangat bergantung pada pihak lain yang sebenarnya berada di luar pengadilan. Jadi, pada prinsipnya banyak kesangsian atas kebenaran kesaksian tersebut sehingga sulit diterima sebagai nilai alat bukti penuh (Fuady, Munir. 2006 : 132). Alat bukti keterangan saksi di dalam persidangan merupakan alat bukti yang bisa saja tidak terpercaya karena saksi bisa saja berbohong walaupun itu bisa disengaja maupun tidak, menambah atau mengurangi keterangan yang sebenarnya terjadi, saksi mendramatisir kejadian yang dia ketahui, serta sebagai manusia biasa tentu saja ingatan saksi bisa berkurang dan tidak akurat. Seperti pendapat M. Yahya Harahap yang menerangkan bahwa banyak penulis yang menggambarkan alat bukti keterangan saksi, tidak dapat dipercaya (unreliable) (Harahap, M. Yahya. 2012 : 625). Berbagai alasan dikemukakan antaralain : a. Saksi sering cenderung berbohong, baik sengaja atau tidak. b. Suka mendramatisir, menambah atau mengurangi dari kejadian yang sebenarnya. c. Ingatan manusia atas suatu peristiwa, tidak selamanya akurat, sering dipengaruhi emosi, baik pada saat memberi keterangan di sidang
6
pengadilan, sehingga kemampuan untuk mengamati dan menerangkan sesuatu tidak proporsional. Berdasarkan alasan di atas maka berdasarkan ketentuan Pasal 1906 KUH Perdatamenempatkan kualitas dan kekuatan pembuktian saksi merupakan nilai kekuatan pembuktian bebas. Hakim dapat menilai kualitas alat bukti saksi secara bebas sesuai dengan undang-undang dan keyakinan hakim. Hal ini tergantung sejauh mana seoarang saksi dapat memberikan keterangannya dalam persidangan. Pada dasarnya saksi yang bisa digunakan sebagai alat bukti harus memenuhi syarat-syarat. Adapun persyaratan yang harus dipenuhi terhadap alat bukti saksi meliputi persyaratan formil dan materiil yang bersifat kumulatif dan bukan alternatif. Artinya bila suatu kesaksian tidak memenuhi seluruh syarat yang dimaksud maka kesaksian itu tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Adapun syarat formil sesuai dengan Undang-Undang yang melekat pada alat bukti saksi antara lain : a. Saksi adalah orang yang tidak dilarang oleh undang-undang untuk menjadi saksi. b. Saksi memberikan keterangan di persidangan. c. Saksi mengucapkan sumpah sebelum memberikan keterangan. d. Ada penegasan dari saksi bahwa ia menggunakan haknya sebagai saksi, jika undang-undang memberikannya hak untuk mengundurkan diri sebagai saksi. e. Saksi diperiksa seorang demi seorang. Sedangkan syarat materiil yang harus dipenuhi seorang saksi, sesuai dengan ketentuan Undang-Undang antara lain :
7
a. Keterangan saksi berdasarkan alasan dan pengetahuan, maksudnya keterangan saksi harus berdasarkan alasan-alasan
yang mendukung
pengetahuan saksi atas peristiwa/fakta yang diterangkannya. b. Fakta yang diterangkan bersumber dari penglihatan, pendengaran dan pengalaman saksi itu mempunyai relevansi dengan perkara yang disengketakan. c. Keterangan saksi saling bersesuaian dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti lain. Apabila dilihat dari syarat materiil saksi sebagai alat bukti berdasarkan pasal 171 HIR, pasal 1907 KUH Perdata, keterangan yang diberikan harus berdasarkan sumber yang jelas, dan sumber pengetahuan yang dibenarkan hukum mesti merupakan pengalaman, penglihatan, atau pendengaran yang bersifat langsung dari peristiwa atau kejadian yang berhubungan dengan pokok perkara yang disengketakan para pihak(Harahap, M.Yahya. 2012 : 661). Pasal 171 HIR (1) Tiap-tiap kesaksian harus disertai keterangan-keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya. (2) Pendapat atau dugaan khusus yang timbul dari pemikiran, tidak dipandang sebagai kesaksian. Pasal 1907 KUH Perdata“Tiap kesaksian harus disertai keterangan tentang bagaimana saksi mengetahui kesaksiannya. Pendapat maupun dugaan khusus, yang diperoleh dengan memakai pikiran, bukanlah suatu kesaksian.” Ketentuan tersebut mengisyaratkan bahwa kesaksian yang diberikan oleh saksi dalam pengadilan haruslah peristiwa/kejadian yang didengar, dilihat, atau dialami sendiri oleh saksi, sehingga perlu adanya penjelasan dari 8
saksi tentang peristiwa atau kejadian yang diterangkannya melalui pendengarannya, penglihatannya, atau yang dialami secara langsung tersebut. Sehingga kesaksian yang diperoleh melalui pemikiran bukanlah suatu kesaksian. Meskipun demikian, penggunaan testimonium de auditu tidak dilarang untuk dijadikan persangkaan, di mana keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain dapat dianggap sebagai persangkaan. Meskipun demikian penggunaan saksi testimonium de auditu tidak dilarang, menurut Prof. Wirjono Prodjodikoro kesaksian testimonium de auditu tidak merupakan suatu pendapat atau persangkaan yang didapat secara berfikir, maka dari itu tidak dilarang(Ali, Chidir. 1987 : 54).Hal ini dapat dilihat atau ditemui dalam Mahkamah Agung No. 308 K/Sip/1959 tanggal 11 November 1959. Pendapat atau dugaan yang diperoleh karena berpikir bukanlah merupakan kesaksian. Demikian juga kesaksian yang didengar dari orang lain yang disebut testimonium de auditu tersebut jika didasarkan pada Pasal 171 ayat (2) HIR/Pasal 308 ayat (2) Rbg/1907 BW bukan merupakan alat bukti dan tidak perlu dipertimbangkan (Mahkamah Agung tgl 15-03-1972 No. 547 K/Sip/1971 tanggal 05-05-1971 No. 803 K/Sip/1970), tapi dalam putusan tanggal 11 November 1959 No. 308 K/Sip/1959 Mahkamah Agung menyatakan bahwa meskipun testimonium de auditu tidak dapat digunakan sebagai alat bukti langsung namun penggunaaannya tidak dilarang sebagai persangkaan. Ada pendapat lain dari penggunaan saksi testimonium de auditu dalam pembuktian di persidangan. Menurut Munir Fuady, dalam bukunya Teori Pembuktian mengemukakan bahwa: “saksi de auditu dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Hal ini sangat bergantung pada kasus perkasus.Apabila ada alasan yang kuat untuk mencapai kebenaran dari saksi de auditu.Jadi paling 9
tidak keterangan saksi de auditu dapat dipakai sebagai petunjuk (Fuady, Munir. 2012 : 146). Fokus utama dari dipakainya saksi de auditu adalah sejauh mana dapat dipercaya ucapan saksi yang tidak ke pengadilan.jika menurut hakim yang menyidangkan keterangan saksi pihak ketiga tersebut cukup reasionable (beralasan) maka keterangan saksi itu dapat diakui sebagai alat bukti tidak langsung, yakni lewat alat bukti petunjuk. Pada dasarnya walaupun kesaksian de auditu (saksi yang mendapat keterangan yang diberitahukan atau diperoleh dari orang lain) dikecualikan dari keterangan saksi, namun setidaknya dapat menjadi alat bukti petunjuk. Penggunaan testimonium de auditu dalam perkara perceraian pada umumnya tidak diperkenankan karena tidak berhubungan dengan peristiwa yang dialami sendiri, tetapi hakim tetap mempunyai kebebasan dalam memberikan pendapat bahwa keterangan yang bersifat testimonium de auditu ini dapat dijadikan persangkaan dalam pembuktian di persidangan.
M. Yahya Harahap dalam tulisannya beliau berpendapat : “ Pada umumnya sikap para praktisi hukum yang secara otomatis menolak testimonium de auditu sebagai alat bukti tanpa adanya analisis dan pertimbangan yang argumentatif, dengan mengambil contoh putusan Mahkamah Agung No. 881 K/Pdt/1983 tanggal 30 April 1984 yang menegaskan saksi-saksi yang diajukan penggugat semuanya terdiri dari de auditu sehingga keterangan yang mereka berikan tidak sah sebagai alat bukti” Sifat kesaksian testimonium de auditu yang tidak memenuhi persyaratan sebagai saksi terkadang pada suatu ketika sangat penting (indispensability) untuk mendapatkan keterangan dalam beberapa kasus. Seperti yang dikutip oleh M. Yahya Harahap dalam bukunya yang berjudul Hukum Acara Perdata menjelaskan bahwa: 10
“ Oleh karena itu dalam hal tertentu, barangkali perlu diatur keadaan yang bersifat eksepsional yang membenarkan atau mengakui testimonium de auditu sebagai alat bukti. Salah satu alasan eksepsional yang dapat dibenarkan dalam Common Law, apabila saksi utama yang mengalami, melihat, dan mendengar sendiri meninggal dunia, dan sebelum dia meninggal menjelaskan segala sesuatu peristiwa itu kepada seseorang. Dan peristiwa yang dipermasalahkan tidak dapat terungkap tanpa ada penjelasan dari seseorang yang mengetahuinya, maka dalam kasus yang demikian secara eksepsional dapat dibenarkan sebagai alat bukti” (Harahap, M. Yahya. 2012 : 662). Penggunaan saksi testimonium de auditu walaupun tidak memenuhi syarat sebagai saksi dalam pembuktian di persidangan perkara perdata tetap diperhitungkan. Penilaian terhadap sifat pembuktian tergantung dari majelis hakim yang memeriksa setiap perkara. Dalam satu perkara hakim dapat menggunakan kesaksian testimonium de auditu secara eksepsional seperti pendapat M. Yahya Harahap dapat dibenarkan sebagai alat bukti, tetapi juga kesaksian testimonium de auditu tersebut juga tidak memenuhi atau mencukupi dalam batas minimum pembuktiani sehingga tidak diperkenankan sebagai alat bukti.
2. Penggunaan
Kesaksian
Testimonium
de
Auditu
Dalam
Perkara
Perceraian Di Pengadilan Negeri Karanganyar Kesaksian testimonium de auditu sering digunakan dalam pembuktian di persidangan. Terdapat berbagai macam alasan yang mendasari penggunaan kesaksian testimonium de auditu dalam proses pembuktian di persidangan, salah satunya adalah guna memperlancar jalannya persidangan. Keterangan saksi yang tidak memenuhi persyaratan sebagai saksi sering dijumpai dalam perkara perceraian di Pengadilan Negeri Karanganyar.Dalam perkara perceraian alasan-alasan klasik yang sering muncul dari para pihak yang menghadirkan saksi testimonium de auditu adalah tidak semua pihak mampu 11
menghadirkan saksi yang benar-benar mendengar dan melihat secara langsung permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga Penggugat dan Tergugat.Ini menjadi dilema dalam pembuktian perkara perdata dalam perkara perceraian. Keterangan saksi de auditu biasanya menjelaskan berdasarkan hal-hal apa saja yang ia ketahui melalui cerita dari orang lain, mendengar dari orang lain. Dalam perkara perceraian biasanya pihak yang menjadi saksi adalah orang yang dekat dengan Penggugat atau Tergugat, yang mana Penggugat ataupun Tergugat tersebut menceritakan kejadian-kejadian yang dialami kepada saksi.Oleh karena itu saksi tidak mengetahui sendiri kebenaran hal-hal tersebut. Dalam pembuktian dipersidangan perkara perdata, keterangan saksi merupakan alat bukti yang mempunyai keterbatasan, karena alat bukti pertama dalam hukum acara perdata adalah alat bukti surat(Sasangka, Hari. 2005 : 61). Akan tetapi dalam perkara perceraian alat bukti saksi merupakan alat bukti yang menentukan. Dalam perkara perceraian pada umumnya sangat jarang ditemui alat bukti surat atau tulisan atau akta yang dapat membuktikan bahwa benar telah terjadi hal yang memutuskan para pihak untuk bercerai. Demikian yang terjadi dalam persidangan di Pengadilan Negeri Karanganyar dalam perkara perceraian, para pihak yaitu penggugat dan tergugat pada umumnya menghadirkan saksi-saksi sebagai alat bukti dalam persidangan. Minimnya alat bukti surat dalam perkara perceraian tersebut membuat para pihak baik itu penggugat maupun tergugat menghadirkan saksi-saksi yang tidak memenuhi persyaratan sebagai alat bukti. Penghadiran saksi-saksi tersebut sebatas untuk memenuhi kuantitas dalam pembuktian.Oleh karena itu keterangan saksi dalam persidangan perceraian banyak yang menerangkan sifatnya de auditu.
12
Berdasarkan Pasal 1906 KUH Perdata yang menempatkan kualitas dan kekuatan pembuktian saksi merupakan nilai kekuatan pembuktian bebas, maka dalam penilaian kesaksian testimonium de auditu ini hakim bebas menilai sesuai dengan keyakinan hakim. Pada dasarnya keterangan saksi sebagai testimonium de auditutidak dibenarkan menjadi alat bukti, akan tetapi dapat dijadikan sebagai persangkaan oleh hakim. Pengertian alat bukti persangkaan lebih jelas dirumuskan dalam Pasal 1915 KUH Perdata, dibanding dengan Pasal 173 HIR atau Pasal 310 RBG (Harahap, M. Yahya. 2012 : 684) , yang berbunyi “ persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum”. Dari pengertian alat bukti persangkaan tersebut, berarti kesaksian testimonium de auditu ini apabila dapat dijadikan sebagai alat bukti persangkaan maka kesaksian saksi tesebut harus dikaitkan dengan alat bukti lain agar dapat diketahui permasalahannya secara jelas. Hakim dalam pembuktian di persidangan perkara perceraian di Pengadilan Negeri Karanganyar menggunakan keterangan saksi testimonium de auditu ini sebagai jalan untuk dikaitkan dengan alat bukti lain atau dengan keterangan alat bukti lain guna memperoleh suatu keterangan yang benar atau juga keterangan saksi testimonium de auditu ini yang pertama dapat dijadikan sebagai persangkaan. Dalam hal ini hakim diberi kebebasan menilai suatu keterangan saksi, apakah keterangan saksi testimonium de auditu itu karena tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti sehingga tidak dapat diterima sebagai alat bukti, atau keterangan saksi testimonium de auditu ini dianggap sebagai suatu persangkaan dengan pertimbangan yang obyektif dan rasional dan persangkaan itu dapat dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu. Keterangan saksi testimonium de auditu sebagai alat bukti apabila mereka terdiri dari beberapa orang dan keterangan yang disampaikan 13
langsung mereka dengar dari tergugat atau penggugat untuk melengkapi keterangan saksi lain yang memenuhi syarat formil dan materiil kesaksiaan sehingga memenuhi batas minimal pembuktian, atau keterngan saksi testimonium de auditu dipergunakan untuk menyusun persangkaan. Karena sebagai kesaksian keterangan saksi testimonium de auditu memang tidak ada nilainya akan tetapi bukan berarti Hakim lantas dilarang untuk menerimanya. Yang dilarang jika saksi menarik kesimpulan-kesimpulan, memberikan pendapatpendapat atau perkiraan-perkiraan (Subekti, R. 1997 : 42). Walaupun hakim diberi kebebasan dalam menilai keterangan saksi, tetapi dengan adanya ketentuan pasal 169 HIR (pasal 1905 KUH Perdata) kebebasan tersebut dibatasi(Samudera,Teguh. 1992 : 61). Ketentuan pasal 1905 KUH Perdata mengundang akan adanya alat bukti lain yang mendukung keterangan saksi. Oleh karena itu yang kedua keterangan saksi testimonium de auditu ini dapat dibenarkan sebagai alat bukti untuk melengkapi batas minimal unus testis nullus testis yang diberikan oleh satu saksi. Kemudian yang ketiga testimonium de auditu ini dapat diterima sebagai alat bukti yang berdiri sendiri mencapai batas minimal pembuktian tanpa memerlukan alat bukti lain jika saksi testimonium de auditu ini terdiri dari beberapa orang. Saksi testimonium de auditu ini harus memenuhi syarat materiil sebagai seorang saksi. Hal ini sesuai dengan Putusan Mahkamah Agung No.239 K/Sip/1973 tanggal 25 November 1975, keterangan saksi pada umumnya adalah menurut pesan, namun harus dipertimbangkan dan hampir semua kejadian atau perbuatan hukum yang terjadi pada masa lalu tidak mempunyai surat, tetapi berdasarkan pesan turun-temurun, sedangkan saksisaksi yang langsung menghadapi perbuatan hukum itu pada masa lalu sudah tidak ada lagi yang hidup sekarang, sehingga dengan demikian pesan turun-temurun itulah yang dapat diharapkan sebagai keterangan dan menurut keterangan dan pengetahuan majelis hakim sendiri pesan-pesan seperti itu 14
oleh masyarakat tertentu pada umumnya secara adat dianggap berlaku dan benar. Walaupun demikian hal itu harus diperhatikan dari siapa pesan itu diterima berikut orang yang memberi keterangan harus orang yang menerima langsung pesan. Ternyata masalah tersebut telah sepenuhnya terpenuhi dimana orang yang menerangkan pesan didalam majelis persidangan pengadilan adalah orang yang langsung menerima pesan. D. PENUTUP 1. Kekuatan Pembuktian Kesaksian Testimonium de auditu Pertama, Hakim tetap mempunyai kebebasan dalam memberikan pendapat bahwa keterangan yang bersifat testimonium de auditu ini dapat dijadikan persangkaan dalam pembuktian di persidangan ataupun digunakan sebagai alat bukti dengan didampingi alat bukti lainnya. Kedua, keterangan saksi testimonium de auditu ini dapat dibenarkan sebagai alat bukti untuk melengkapi batas minimal unus testis nullus testis yang diberikan oleh satu saksi. Kemudian yang ketiga testimonium de auditu ini dapat diterima sebagai alat bukti yang berdiri sendiri mencapai batas minimal pembuktian tanpa memerlukan alat bukti lain jika saksi testimonium de auditu ini terdiri dari beberapa orang. 2. Penggunaan
Kesaksian
Testimonium
de
Auditu
Dalam
Perkara
Perceraian Di Pengadilan Negeri Karanganyar Hakim dalam pembuktian di persidangan perkara perceraian di Pengadilan Negeri Karanganyar menggunakan keterangan saksi testimonium de auditu ini sebagai jalan untuk dikaitkan dengan alat bukti lain atau dengan keterangan alat bukti lain guna memperoleh suatu keterangan yang benar atau juga keterangan saksi testimonium de auditu ini yang pertama dapat dijadikan sebagai persangkaan. Dalam hal ini hakim diberi kebebasan menilai suatu keterangan saksi, apakah keterangan saksi testimonium de auditu itu karena 15
tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti sehingga tidak dapat diterima sebagai alat bukti, atau keterangan saksi testimonium de auditu ini dianggap sebagai suatu persangkaan dengan pertimbangan yang obyektif dan rasional dan persangkaan itu dapat dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu.
E. DAFTAR PUSTAKA Ali, Chidir. 1987. Responsi Hukum Acara Perdata. Bandung: CV Armico. Fajar, Mukti. dan Achmad,Yulianto. 2010. Dualisme Penelitian Hukum: Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fuady, Munir. 2012. Teori Hukum Pembuktian (Pidana dan Perdata). Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. ___________. 2006. Teori Hukum Pembuktian. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti. Harahap, M. Yahya. 2012. Hukum Acara Perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika. Herdiansyah, Haris. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika. Samudera,Teguh. 1992. Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata. Bandung: Alumni. Sasangka, Hari. 2005. Hukum Pembuktian dalam Perkara Perdata. Bandung: Mandar Maju. Subekti, Prof.R.,SH. 1997. Hukum Pembuktian. Jakarta :Pradnya Paramita. F. KORESPONDENSI 1.
Nama
: Aurelia Dini Vera Hapsari
Alamat
: Ngambak Kalang, RT 01/RW 03, Bekonang, Mojolaban, Sukoharjo.
2.
Nomor telefon
: 085642195992
Email
:
[email protected]
Nama
: Chandra Arvintha Puput Prasetyastuti
Alamat
: Jalan Cahaya No. 5 Ngoresan, Jebres, Surakarta.
Nomor telefon
: 085647084434 16
3.
Email
:
[email protected]
Nama
: Dewi Wulandari
Alamat
: Jalan Cahaya No. 5 Ngoresan, Jebres, Surakarta.
Nomor telefon
: 08562552392
Email
:
[email protected]
17