BAB II LANDASAN TEORI II.1 Kerangka Teori dan Literatur Penentuan klasifikasi dan besarnya nilai jual objek pajak sebagai dasar pengenaan atas Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998 tentang Penentuan Klasifikasi Dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Terhadap Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan , sudah tidak memadai untuk digunakan sebagai dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan. Dalam rangka memberikan kepastian hukum, keadilan bagi Wajib Pajak, dan stabilitas dalam penentuan Nilai Jual Objek Pajak, perlu dilakukan penyesuaian klasifikasi dan penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan yaitu berdasarkan pertimbangan sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010, serta di dalam buku Himpunan Undangundang Perpajakan 2010 oleh Mohammad Zain dan Suryo Hermana (2010) untuk melaksanakan ketentuan Peraturan Daerah Ibukota Jakarta Nomor 18 Tahun 2010 yaitu tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (hal 363) yang menimbang bahwa dengan berlakunya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (hal 313), terdapat perluasan objek Pajak Daerah dalam bentuk mendaerahkan Pajak Pusat menjadi Pajak Daerah yaitu Bea Perolehan Hak atas Tanah Dan Bangunan yang dapat meningkatkan kemampuan keuangan serta kemandirian daerah dalam membiayai pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan daerah akan dianggap perlu serta berguna dalam keterkaitannya satu sama lain. 12
II.1.1 Pengertian Pajak Secara Umum Begitu banyak para ahli pajak baik dari dalam negeri ataupun dari luar negeri yang telah memberikan definisi pajak menurut paradigmanya masing-masing. Walaupun banyak paradigma mengenai pengertian pajak, akan tetapi pada dasarnya mempunyai banyak persamaan secara substansinya. Prof. Dr. Rochmat Soemitro yang telah dikutip oleh Dra. Siti Resmi, menyatakan bahwa “ Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontrapretasi) yang langsung dapat ditunjuk, dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum” (hal. 1). Kemudian definisi tersebut disempurnakan menjadi, “ Pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment” (hal. 1). Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2008 tentang perubahan keempat atas Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Pasal 1) menyatakan pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bahkan didalam Undang-undang Dasar 1945 amandement ke empat juga terdapat bahasan mengenai pajak yaitu Pasal 22D serta Pasal 23A yang memberitahukan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.
13
Berdasarkan
pengertian-pengertian diatas tersebut, maka dapat disimpulkan
bahwa pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut: 1. Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya. 2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjuk adanya kontrapretasi individual oleh pemerintah. 3. Pajak dipungut oleh negara baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah. 4. Pajak diperuntukan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari pemasukannya masih terdapat surplus, digunakan untuk membiayai public investment.
II.1.2 Klasifikasi Pajak Pajak di Indonesia dapat diklasifikasikan berdasarkan:
1. Menurut Golongan a. Pajak Langsung : pajak yang harus dipikul atau ditanggung sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dilimpahkan atau dibebankan kepada orang lain atau pihak lain. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh) b. Pajak Tidak Langsung : pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
14
2. Menurut Sifat a. Pajak Subjektif : pajak yang pengenaannya memperhatikan keadaan pribadi Wajib Pajak atau pengenaan pajak yang memperhatikan keadaan subjeknya. Contoh : Pajak Penghasilan (PPh) b. Pajak Objektif : pajak yang pengenaannya memperhatikan objeknya baik berupa benda, mengakibatkan
keadaan, perbuatan, atau pristiwa yang
timbulnya
kewajiban
membayar
pajak,
tanpa
memperhatikan keadaan pribadi Subjek Pajak (Wajib Pajak) maupun tempat tinggal. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), serta Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). 3. Menurut Lembaga Pemungut a. Pajak Negara (pusat) : pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara pada umumnya. Contoh : PPh, PPN dan PPnBM. b. Pajak Daerah : pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah masing-masing. Pajak daerah terdiri dari : 1. Pajak Provinsi (Daerah Tingkat I), contoh : Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air, Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan diatas Air, Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor. 15
2. Pajak Kabupaten/Kota (Daerah Tingkat II) contoh : Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hibran, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Parkir dan Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C, PBB, serta Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Sarang Burung Walet.
II.1.3 Fungsi Pajak Setiap negara mempunyai tujuan dalam pemungutan pajak, yaitu untuk membiyayai pengeluaran pemerintahan yang dikeluarkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat itu sendiri, misalkan untuk membangun fasilitas-fasilitas umum dan sebagainya. Pemungutan pajak tersebut diharapkan menciptakan keadilan bagi Wajib Pajak sesuai dengan besaran pajak yang dibebankan terhadap Objek Pajak yang dimiliki rakyat dan Objek Pajak tersebut dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Maka dari itu pemungutan pajak diharapkan dapat menambah pertumbuhan ekonomi dalam suatu negara. Terdapat dua fungsi pajak, yaitu fungsi budgetair (sumber keuangan negara) dan regularend (pengatur) : 1. Fungsi Budgetair (sumber keuangan negara) Pajak merupakan salah satu penerimaan pemerintah untuk membiayai pengeluaran baik rutin maupun pembangunan. Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah berupaya memasukan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Upaya tersebut dilakukan dengan ekstensifikasi maupun intensifikasi pemungutan pajak melalui penyempurnaan peraturan berbagai jenis pajak. Pada fungsi ini dapat dianalisis dengan melihat APBN atau APBD untuk Pajak Daerah. Pemungutan pajak dalam 16
APBN merupakan bagian dari penerimaan atau pendapatan dalam negeri, bila jumlah penerimaan dalam negeri melebihi pengeluaran rutin maka sisanya merupakan tabungan pemerintah. 2. Fungsi Regularend (pengatur) Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, serta mencapai tujuan-tujuan tertentu diluar bidang keuangan. Sebagai contoh : pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dikenakan pada saat terjadi transaksi jual beli barang mewah. Semakin mewah barang tersebut maka tarif pajak yang dikenakan semakin tinggi sehingga barang tersebut semakin mahal harganya. Keberlakuan pajak tersebut dimaksudkan agar rakyat tidak berlombalomba untuk mengkonsumsi barang-barang mewah. Pajak diambil dari orang pribadi atau badan untuk digunakan dalam pembangunan serta pemeliharaan prasarana dan sarana dalam kepentingan umum serta membiayai penyelenggaraan pemerintah. II.1.4 Syarat Pemungutan Pajak Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan, maka dijelaskan dalam buku perpajakan oleh Prof.Dr.Mardiasmo (2009) pemungutan pajak harus memenuhi syarat sebagai berikut : 1. Pemungutan pajak harus adil (syarat keadilan) Sesuai dengan tujuan hukum yaitu mencapai keadilan, undang-undang dan pelaksanaan harus adil. Adil dalam perundang-undangan adalah mengenakan pajak secara umum dan merata, serta disesuaikan dengan kemampuan masing17
masing, sedangkan adil dalam pelaksanaannya adalah dengan memberikan hak kepada wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran serta mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak. 2. Pemungutan pajak harus berdasarkan undang-undang (syarat yuridis) Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 Ayat 2. Hal ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik untuk negara atau warganya. 3. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomi) Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat. 4. Pemungutan pajak harus efisien (syarat finansial) Sesuai fungsi budgetair, biaya pemungutan pajak harus dapat ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya. 5. Sistem pemungutan pajak harus sederhana Sistem pemungutan yang sederhana
akan memudahkan dan mendorong
masyarakat dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, syarat ini telah dipenuhi oleh undang-undang perpajakan yang baru. II.1.5 Asas Pemungutan Pajak Terdapat tiga asas pemungutan dalam pajak namun yang di terapkan oleh Indonesia adalah asas domisili dan asas sumber sedangkan asas kebangsaan hanya bersifat parsial, berikut ini penjelasan masing-masing asasnya : 1. Asas Domisili (Asas Tempat Tinggal) Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan yang berasal dari 18
dalam maupun luar negeri. Setiap Wajib Pajak yang berdomisili atau bertempat tinggal di wilayah Indonesia dikenakan pajak atas seluruh penghasilan yang diperoleh baik dari Indonesia maupun luar Indonesia. 2. Asas Sumber Asas ini menyatakan bahwa negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. Setiap orang yang memperoleh penghasilan dari Indonesia dikenakan pajak atas penghasilan yang diperoleh tadi. 3. Asas Kebangsaan Asas ini menyatakan bahwa pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara. Misalkan pajak bangsa asing di Indonesia dikenakan atas setiap orang asing yang bukan berkebangsaan Indonesia tetapi bertempat tinggal di Indonesia.
II.1.6 Sistem Pemungutan Pajak Sistem pemungutan pajak dapat dibedakan menjadi tiga macam, antara lain: 1. Official Assessment System Sistem pemungutan pajak yang memberi kewenangan aparatur perpajakan untuk menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak
19
sepenuhnya berada di tangan para Aparatur Perpajakan. Contoh : Pajak Bumi dan Bangunan 2. Self Assessment System Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang Wajib Pajak dalam menentukan sendiri jumlah pajak yang terutang setiap tahunnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Dalam sistem ini, inisiatif serta kegiatan menghitung dan memungut pajak sepenuhnya berada di tangan Wajib Pajak. Wajib Pajak dianggap mampu menghitung pajak, mampu memahami undang-undang perpajakan yang sedang berlaku, dan mempunyai kejujuran yang tinggi, serta menyadari akan pentingnya membayar pajak. Contoh : PPn dan PPnBM 3. With Holding System Sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga yang ditunjuk untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Penunjukan pihak ketiga ini dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan, keputusan presiden, dan peraturan lainnya
untuk
memotong
dan
memungut
pajak,
menyetor,
dan
mempertanggung jawabkan melalui sarana perpajakan yang tersedia. Contoh : PPh Pasal 21
20
II.2
Teori Pajak Bumi dan Bangunan
II.2.1 Definisi Pajak Bumi Dan Bangunan Menurut Erly Suandy (2006) yang dimaksud Pajak Bumi dan Bangunan adalah “pajak yang bersifat kebendaan dan besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek atau bumi, tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besar pajak”. (hal 64). Sedangkan menurut Prof. Mardiasmo (2009) “Bumi adalah permukaan bumi atau tubuh bumi yang ada dibawahnya. Permukaan bumi ini meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia. Bangunan adalah kontruksi teknik yang ditanam atau diletakan secara tetap pada tanah dan atau perairan.” (hal 311). Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa Pajak Bumi dan Bangunan adalah penerimaan negara yang berasal dari rakyat atas kebendaan objek atau bumi, tanah dan atau bangunan yang sebagian besar hasilnya diserahkan kepada daerah masing-masing untuk meningkatkan pendapatan daerah tersebut.
Sebelum Tahun 1985 disadari telah berlaku sistem
perpajakan atas tanah dan bangunan, khususnya pajak kebendaan dan kekayaan, telah menimbulkan beban pajak berganda bagi masyarakat. Kesadaran tentang adanya pajak berganda atas pajak kebendaan dan kekayaan tersebut dituangkan dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 yang kemudian disempurnakan menjadi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 yang isinya adalah : Bahwa sistem perpajakan yang berlaku selama ini, khususnya pajak kebendaan dan kekayaan, telah menimbulkan beban pajak berganda bagi masyarakat dan oleh karena itu perlu diakhiri melalui pembaharuan sistem perpajakan yang sederhana, mudah, adil dan memberi kepastian hukum.
21
Perubahan peraturan atau Undang-undang diatas bukan sekedar untuk kepentingan pemerintahan saja, melainkan untuk menyederhanakan peraturan pajak yang banyak menimbulkan kesalahpahaman, apa lagi peran Pajak Bumi dan Bangunan menjadi semakin bertambah penting semenjak dikeluarkannya paket kebijakan 23 Oktober 1993 sebagai akibat diserahkannya sebagian Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah dan juga ditetapkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang telah dicabut atau diganti dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, Pemerintahan Daerah menerima 100% hasil Pajak Bumi dan Bangunan dengan imbangan 65% dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten dan kota, 35% dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan, sehingga Pajak Bumi dan Bangunan di jadikan sarana yang efektif untuk meningkatkan pendapatan asli daerah. Maka dengan demikian hasil akhir dari Dana Bagi Hasil (DBH) dalam rangka tertib administrasi Laporan Keuangan Transfer ke Daerah, penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan pada akhir tahun anggaran yang dibagikan kepada daerah pada awal tahun anggaran berikutnya, perlu diterbitkan Surat Perintah Membayar Pengesahan Dana Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan serta Dana Bagi Hasil yang selanjutnya disingkat DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Republika Indonesia Nomor : 94/PMK.07/2012 Tentang Penyaluran Dana Bagi Hasil Pajak Bumi 22
Dan Bangunan Sektor Pedesaan Dan Perkotaan Atas Penerimaan Pada Akhir Tahun. Tujuan dan arah penyempurnaan Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan adalah untuk menunjang kebijakan pemerintah menuju kemandirian bangsa dalam pembiayaan pembangunan yang sumber utamanya berasal dari penerimaan pajak. Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pajak yang dikenakan atas harta tidak bergerak, oleh sebab itu yang dipentingkan adalah objeknya dan oleh karena itu keadaan atau status orang atau badan yang merupakan subjek tidak penting serta tidak mempengaruhi besaran pajak, atas dasar tersebut maka pajak ini bisa disebut juga pajak objektif. II.2.2 Objek Pajak Bumi dan Bangunan Yang menjadi objek Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi dan atau bangunan sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 2 dan Pasal 2 ayat (1) tentang klasifikasi objek pajak, yang dimaksud dalam klasifikasi objek pajak tersebut adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman, serta memudahkan perhitungan pajak yang terutang. Dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 1 Ayat (2) dijelaskan apa saja yang termasuk dalam bumi, yaitu mencakup sawah, ladang, kebun, tanah, pekarangan, dan tambang, sedangkan yang termasuk kedalam bangunan adalah mencakup rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, emplasemen, pagar mewah, dermaga, taman mewah, fasilitas umum yang memberi banyak manfaat, jalan tol, kolam renang, anjungan minyak lepas pantai. Namun dalam pembahasan ini objek dari Pajak Bumi dan Bangunan yang akan dibahas adalah bangunan berupa perumahan mewah atau apartemen, karena bangunan 23
merupakan suatu kebutuhan yang penting bagi manusia sejak dulu hingga sampai saat ini, maka dari itu diperlukan nilai jual dari bangunan tersebut secara tepat. Besarnya Pajak Bumi dan Bangunan terutang ditentukan oleh keadaan atau komponen dari objek itu sendiri yaitu bangunan, maka perlu untuk kita mengetahui berapakah besaran nilai jual dari bangunan tersebut dengan memperhatikan faktor-faktornya seperti letak, peruntukan, pemanfaatan serta kondisi, sedangkan bangunan yaitu komponen bahan yang digunakan, rekayasa, letak, kondisi lingkungan dan lain-lain. II.2.3 Pengecualian Objek Pajak Ada beberapa objek pajak yang tidak dikenakan (pengecualian) atau dibebaskan dari pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan sesuai dengan Undang-undang Republika Indonesia Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 3, Objek Pajak tersebut adalah: 1. Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan. 2. Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, taman pengembalaan yang dikuasai oleh desa, serta tanah negara yang belum dibebani suatu hak. 3. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis. 4. Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan. 5. Digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
24
Namun ada juga yang dimaksud dengan tidak memperoleh keuntungan yaitu bahwa Objek Pajak itu diusahakan untuk melayani kepentingan umum, dan nyata-nyata tidak ditunjukan untuk mencari keuntungan. Hal ini dapat diketahui antara lain dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dari yayasan atau badan yang bergerak dalam bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan, dan kebudayaan nasional serta hutan wisata milik negara sesuai Pasal 2 Nomor 5 Tahun 1967 tentang ketentuanketentuan pokok kehutanan negara. Kawasan industri dan real estate sesuai dengan ketentuan harus menyediakan fasilitas umum atau sarana sosial yang selain dimanfaatkan langsung oleh pemilik/ pengusaha/ pemanfaatan kawasan industri dan real estate juga dimanfaatkan oleh masyarakat umum. Sesuai dengan Surat Menteri Keuangan Republik Indonesia kepada Menteri Negara Perumahan Rakyat No. S413/MK.04/1987, 7 April 1987 perihal pengenaan PBB dalam rangka pembangunan perumahan dan pemukiman, bahwa tanah dan bangunan yang nyata-nyata dipergunakan untuk sarana kepentingan umum dan sosial serta tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan adalah objek pajak yang tidak dikenakan PBB II.2.4 Subjek Pajak Bumi Dan Bangunan Subjek Pajak Bumi dan Bangunan adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai hak atas bumi, dan memperoleh manfaat atas bumi serta memiliki, menguasai atau memperoleh atas bangunan sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 yang disempurnakan menjadi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994. Hal ini menunjukan bahwa tanda pembayaran atau pelunasan pajak bukan merupakan bukti kepemilikan. Pajak Bumi dan Bangunan melekat pada pemiliknya meskipun dapat dialihkan kepada penyewanya atau pihak lain. Jika suatu 25
Objek Pajak belum diketahui secara pasti siapa Wajib Pajaknya, maka yang menjadi subjek pajak dapat ditunjuk oleh Dirjen Pajak. Beberapa ketentuan khusus mengenai siapa yang menjadi subjek pajak diatur sebagai berikut : 1. Jika suatu subjek pajak memanfaatkan atau menggunakan bumi atau bangunan milik orang lain bukan karena sesuatu hak berdasarkan undang-undang atau bukan karena perjanjian, Objek Pajak yang memanfaatkan atau menggunakan bumi atau bangunan ditetapkan sebagai Wajib Pajak. 2. Suatu Subjek Pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan, maka orang atau badan yang memanfaatkan atau menggunakan Objek Pajak tersebut ditetapkan sebagai Wajib Pajak. 3. Subjek Pajak yang dalam waktu lama berada diluar wilayah letak Objek Pajak, sedangkan untuk merawat Objek Pajak tersebut dikuasakan kepada orang atau badan, maka orang atau badan tersebut dapat ditunjuk sebagai Wajib Pajak. II.2.5 Klasifikasi Objek Pajak Bumi Dan Bangunan Yang dimaksud dengan klasifikasi objek bumi dan bangunan adalah pengelompokan bumi dan bangunan menurut nilai jualnya dan digunakan sebagai pedoman serta untuk memudahkan penghitungan pajak yang terutang. II.2.5.1 Kategori Tanah atau Bumi Bumi atau tanah memiliki banyak macamnya, akan tetapi didalam penulisan ini tidak akan dibahas klasifikasi keseluruhan macam tanah tersebut. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam menentukan klasifikasi bumi atau tanah sesuai dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 yang kemudian disempurnakan menjadi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 2 Ayat (2), sebagai berikut : 26
1. Letak, yaitu lokasi Objek Pajak tersebut. 2. Peruntukan, yaitu penggunaan seperti perumahan. 3.
Pemanfaatan, yaitu penggunaan tanah tersebut seperti untuk pertanian dan sawah
4. Kondisi lingkungan dan lain-lain, yaitu keadaan sekitar Objek Pajak tersebut. Sebenarnya masih banyak lagi faktor yang menentukan dalam klasifikasi bumi atau tanah, akan tetapi empat faktor diatas telah mewakili keseluruhan untuk menentukan nilai tanah tersebut.
II.2.5.2 Kategori Bangunan Didalam penyusunan ini yang akan dibahas lebih dalam adalah tentang bangunan terutama bangunan mewah (komplek perumahan mewah) serta bangunan tinggi (apartemen), bangunan juga memiliki klasifikasi sama seperti tanah, dalam menentukan klasifikasi bangunan juga memperhatikan beberapa faktor sesuai dengan Undangundang Nomor 12 Tahun 1985 yang kemudian disempurnakan menjadi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 2 Ayat (2), sebagai berikut: 1. Bahan yang digunakan dalam bangunan tersebut. 2. Rekayasa. 3. Letak, yaitu lokasi bangunan tersebut. 4. Kondisi lingkungan dan lain-lain, yaitu keadaan disekitar bangunan. Sebelum membahas lebih jauh ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu apa itu bangunan mewah dan bangunan apartemen, bangunan mewah adalah rumah yang dibangun diatas tanah dengan luas kapling 600m2 sampai 2000 m2 dan biaya pembangunan per m2 diatas harga satuan per m2 tertinggi, sedangkan bangunan 27
apartemen (bangunan tinggi) adalah sebuah model tempat tinggal yang hanya mengambil sebagian kecil ruangan dari suatu bangunan, suatu bangunan apartemen dapat memiliki puluhan bahkan sampai ratusan unit apartemen. Dalam Peraturan Pemerintah Reublik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 tentang peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dijelaskan bahwa terdapat dua bangunan yaitu bangunan gedung umum dan bangunan gedung tertentu, bangunan gedung umum adalah bangunan yang fungsinya untuk kepentingan publik, baik berupa fungsi keagamaan, usaha, maupun sosial dan budaya, bangunan ini tidaklah dikenakan pajak, sedangkan bangunan gedung tertentu adalah bangunan yang digunakan untuk kepentingan umum dan bangunan fungsi khusus, yang didalam pembangunannya atau pemanfaatannya membutuhkan pengelolaan khusus dan atau memiliki kompleksitas tertentu yang dapat menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar, yang dimaksudkan didalam pengertian ini adalah salah satu yang akan dibahas dalam penulisan ini yaitu berupa perumahan mewah atau apartemen. Klasifikasi bangunan gedung itu sendiri adalah klasifikasi dari fungsi bangunan gedung berdasarkan pemenuhan tingkat persyaratan administratif serta persyaratan teknisnya, fungsi bangunan gedung merupakan ketetapan pemenuhan persyaratan teknis bangunan gedung, baik ditinjau dari segi tata bangunan dan lingkungannya, maupun keandalan bangunan gedungnya. Fungsi bangunan tersebut meliputi fungsi hunian, fungsi keagamaan, fungsi usaha, fungsi sosial dan budaya, fungsi yang akan dibahas lebih lanjutnya hanya terbatas pada fungsi hunian saja, karena penulisan ini hanya memfokuskan pada hunian mewah (perumahan mewah atau apartemen), fungsi hunia tersebut adalah fungsi utama sebagai tempat tinggal manusia yang meliputi rumah 28
tinggal tunggal, rumah tinggal deret, rumah tinggal susun, dan rumah tinggal sementara. Didalam hunian ini maka pemilik atau pengelola memiliki haknya sebagai berikut: 1. Mendapatkan pengesahan dari pemerintah daerah atas rencana teknis bangunan gedung yang telah memenuhi persyaratan. 2. Melaksanakan pembangunan bangunan gedung sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah. 3. Mendapat surat ketetapan bangunan gedung dan lingkungan yang dilindungi serta dilestarikan dari pemerintahan daerah. 4. Mendapat intensif sesuai dengan peraturan perundang-undangan dari pemerintah daerah. 5. Mengubah fungsi bangunan setelah mendapat izin tertulis dari pemerintah daerah. 6. Mendapat ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang-undangan apabila bangunannya dibongkar oleh pemerintah daerah atau pihak lain yang bukan diakibatkan oleh kesalahannya.
II.2.6 Penentuan Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) merupakan dasar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan. Besarnya NJOP ditetapkan dengan pengklasifikasian atau penggolongan nilai jual bangunan. Penentuan besarnya NJOP mengacu pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010
lampiran IA,IB,IIA, dan IIB. Lampiran IA dan IB
merupakan penggolongan nilai jual permukaan bumi, sedangkan Lampiran IIA dan IIB merupakan penggolongan nilai jual bangunan. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan 29
dalam menentukan penggolongan bangunan diataranya adalah bahan yang digunakan, rekayasa, letak, kondisi lingkungan dan lain-lain. Untuk memudahkan didalam penyusunan, maka bangunan dalam suatu wilayah kelurahan dikelompokan menjadi beberapa kelas bangunan yaitu daftar yang memuat himpunan kelompok atau area bangunan yang mempunyai nilai indikasi. Dalam melakukan penilaian terhadap nilai jual objek pajak ada tiga pendekatan yang umumnya digunakan, yaitu: 1. Pendekatan Data Pasar, yaitu membandingkan Objek Pajak lain yang sejenis yang nilai jualnya sudah diketahui dengan melakukan penyesuaian yang dipandang perlu. Persyaratan yang diperlukan dalam data pasar ini adalah tersedianya data jual dan beli atau harga sewa yang wajar. 2. Pendekatan Biaya, yaitu memperhitungkan biaya-biaya yang dikeluarkan untuk membuat bangunan baru objek yang dinilai, dikurangi dengan penyusutan. Perkiraan biaya dilakukan dengan cara menghitung biaya setiap komponen utama bangunan, material, dan fasilitas lainnya. 3. Pendekatan Kapitalisasi Pendapatan, yaitu menghitung atau memproyeksikan seluruh pendapatan sewa/ penjualan dalam satu tahun dari Objek Pajak yang dinilai. Dikurangi dengan kekosongan, biaya operasi atau hak pengusaha. Selanjutnya dikapitalisasikan dengan suatu tingkat kapitalisasi tertentu. Pendekatan ini umumnya diterapkan untuk objek-objek komersial, yang dibangun untuk usaha atau menghasilkan pendapatan seperti hotel, apartemen, gedung perkantoran yang disewakan,dan pelabuhan.
30
Sedangkan penilaian objek bangunan, dilakukan dengan cara menilai kontruksi bangunan yang meliputi, kontruksi landasan, kontruksi dinding, dan kontruksi atap, dimana dalam penilaiannya memperhatikan segi kualitas material bangunan dan luas bangunan. Disamping penilaian terhadap kontruksi bangunan juga menilai pagar dan tanaman yang dinilai mewah serta emplasemen yang merupakan satu kesatuan dari bangunan tersebut. Untuk penilaian masing-masing kontruksi bangunan mempunyai cara-cara penilaian tersendiri, dimana pada akhir penilaian tersebut merupakan klasifikasi dari pada suatu bangunan yang akan dicantumkan pada Surat Pemberitahuan Objek Pajak sebagai bahan penetapan Pajak Bumi dan Bangunan.
II.2.7 Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) Nilai Jual Kena Pajak disebut juga sebagai Assessment Value, besarnya Nilai Jual Kena Pajak ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2002 ditetapkan sebesar 20% atau 40%). Besarnya Nilai Jual Kena Pajak ditetapkan dalam peraturan pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional. Peraturan Pemerintah Nomor. 25 Tahun 2002 tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak Untuk Penghitungan Pajak Bumi Dan Bangunan, mengatur besarnya Nilai Jual Kena Pajak sebagai berikut : 1. Besarnya (persentase) NJKP 40%: a. Objek pajak perkebunan 40%xNJOP b. Objek pajak kehutanan dan perkotaan 40%xNJOP
31
c. Objek pajak lainnya yang NJOP nya sama atau lebih besar dari Rp 1.000.000.000 2. Besarnya (persentase) NJKP 20% a. Objek pajak pertambangan 20%xNJOP b. Objek pajak lainnya yang NJOP nya kurang dari Rp. 1.000.000.000 Dalam perkembangan Peraturan Pemerintah, ini adalah hasil dari perubahan atau penggantian yaitu yang telah dilakukan berkali-kali yang diawali dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor.46 Tahun 1985, Peraturan Pemerintah Nomor.12 Tahun 1994, Peraturan Pemerintah Nomor. 48 Tahun 1997, Peraturan Pemerintah Nomor.74 Tahun 1998, Peraturan Pemerintah Nomor.46 Tahun 2000 dan kemudian Peraturan Pemerintah Nomor.25 Tahun 2002, persentase Nilai Jual Kena Pajak ditetapkan sebesar 40% dan 20%. Perbedaan ini dimaksudkan untuk memberikan progresivitas sehingga dapat dirasakan adil bagi wajib pajak.
II.2.8 NJOP Tidak Kena Pajak Dan Tarif PBB Terutang Didalam Pajak Bumi dan Bangunan menggunakan tarif tunggal yaitu 0,5% atas Objek Pajak sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1985 yang mengalami penyempurnaan menjadi Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 5 namun dalam perubahannya menjadi wewenang Pemerintah Daerah maka tarifnya menjadi 0,3% sesuai dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009. Tarif yang ditetapkan tersebut tidak akan berubah-ubah, terkecuali dikeluarkannya penyempurnaan atas undang-undang tentang tarif tersebut atau penggantian terhadap undang undang lama tersebut. 32
Dasar hukum yang mengatur tentang Pajak Bumi dan Bangunan selalu mengalami perubahan menjadi Undang-Undang No. 12 Tahun 1994, perubahan tersebut terjadi pada Pasal 3 ayat (3) yang cukup mendasar dan meliputi beberapa hal lalu diganti dengan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009, diantaranya adalah:
1. Untuk setiap Wajib Pajak diberikan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak minimal Rp10.000.000 tahun 2009 dan maksimal sebesar Rp12.000.000 tahun 2009 sedangkan tahun 2012 dan selanjutnya menjadi maksimal Rp24.000.000 sesuai dengan PMK Nomor 67/PMK.03/2011 2. Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai beberapa Objek Pajak, yang diberikan Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar, sedangkan objek pajak lainnya tetap dikenakan secara penuh tanpa dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak.
II.2.9 Menghitung Pajak Bumi Dan Bangunan Nilai Jual Kena Pajak adalah nilai jual yang dipergunakan sebagai dasar perhitungan pajak dimana merupakan persentase tertentu dari nilai jual sebenarnya. Berikut ini adalah cara menghitung pajak bumi dan bangunan: Nilai Jual Objek Pajak : Tanah/Bumi: Luas x NJOP per meter 2
Rpxxx
Bangunan: a. Taman
:Luas x NJOP per meter2
= Rpxxx
b. Kolam
:Luas x NJOP per meter2
= Rpxxx
c. Pagar
:Luas x NJOP per meter2
=Rpxxx (+) 33
Rpxxx (+) NJOP sebagai dasar pengenaan PBB
Rpxxx
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak
Rpxxx (-)
NJOP sebagai dasar penghitungan PBB
Rpxxx
Nilai Jual Kena Pajak: Persentase : 20% x NJOP 40% x NJOP
atau
Rpxxx Rpxxx
Pajak Bumi dan Bangunan: 0,5% x NJKP
Rpxxx
Untuk nilai jual objek pajak sebelum diterapkan tarif pajak dikurangi terlebih dahulu dengan batas nilai jual bangunan tidak kena pajak maksimal sebesar Rp. 12.000.000,00 untuk tahun 2009 sedangkan untuk tahun 2012 dan selanjutnya maksimal sebesar Rp. 24.000.000,00 (Duapuluh Empat Juta Rupiah) sesuai ketentuan baru sedangkan paling rendah sesuai dengan pertimbangan pendapatan pemerintah daerah setempat untuk masing-masing kota/kabupaten. Ada juga rumus lain untuk mempermudah dalam menentukan besarnya pajak bumi dan bangunan, meskipun dasarnya tetap saja sama bahwa pajak bumi dan bangunan merupakan perkalian dari NJKP dengan persentase tarif pajak, rumus tersebut sebagai berikut:
(Total NJOP - NJOPTKP) X Tarif NJKP (20% atau 40%) X Tarif PBB (0,5%)
34
Penetapan Nilai Jual Objek Pajak dilakukan selama 3 tahun sekali sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1994 Pasal 6. Namun demikian untuk daerah tertentu yang perkembangan pembangunannya tinggi mengakibatkan kenaikan NJOP yang cukup besar, maka penetapan nilai jual ditetapkan setahun sekali. II.2.10 Cara Menghitung Pajak Perumahan Mewah atau Apartemen Untuk lebih mempermudah dalam perhitungan pajak bumi dan bangunan perumahan mewah atau apartemen, maka akan sedikit diberikan gambaran atau ilustrasi dalam perhitungannya, yaitu sebagai berikut : 1. Perumahan Mewah Rumah mewah dengan data sebagai berikut: Luas tanah
= 850 m2, kelas 045
Bangunan rumah
= 250 m2, kelas 010
Taman
= 150 m2, kelas 030
Kolam renang
= 250 m2, kelas 020
Pagar mewah
= 180 m2, kelas 020
Hitung PBB tahun 2011 berdasarkan Perda Jakarta NJOPTKP sebesar Rp 12.000.000,00. Jawaban : Luas tanah
= 850 x Rp 5.625.000,00 = Rp 4.781.250.000,00
Bangunan rumah
= 250 x Rp 6.950.000,00 = Rp 1.737.500.000,00
Taman
= 150 x Rp 264.000,00
= Rp
Kolam renang
= 250 x Rp 1.516.000,00 = Rp 379.000.000,00
Pagar mewah
= 180 x Rp 1.516.000,00
=Rp
39.600.000,00
72.880.000 ,00+ 35
NJOP
= Rp 7.210.230.000,00
NJOPTKP
= Rp
NJOPKP
= Rp 7.198.230.000,00
12.000.000,00 –
PBB terutang pusat = Rp 7.198.230.000,00 x 0,5% x 40%
2.
= Rp
14.396.460,00
Apartemen Sebuah apartemen (rusun mewah) dengan data sebagai berikut :
Tanah seluas 5.000 m2, NJOP Rp 2.500.000,00 per m2 Bangunan : 200 unit tipe 75, luas @ 75m2, NJOP Rp 3.000.000,00 per m2 50 unit tipe 60, luas @ 60 m2, NJOP Rp 2.800.000,00 per m2 Apartemen tersebut didukung sarana sebagai berikut : Jalan lingkungan 500 m2, NJOP Rp 2.500.000,00 per m2 3 buah lift @ 600 m2, NJOP Rp 7.000.000,00 per m2 Kolam renang 500 m2, NJOP Rp 3.000.000,00 per m2 Gedung parkir 3.000 m2, NJOP Rp 3.000.000,00 per m2 NJOPTKP Perda DKI Jakarta Rp 12.000.000,00 dengan tarif 0,5%. Berapa PBB terutang tiap unit? Jawaban : Tanah
= 5.000 x Rp 2.450.000,00
= Rp 12.540.000.000,00
Bangunan : 36
Tipe 75 = 200 x 75 x Rp 3.100.000,00
= Rp 46.500.000.000,00
Tipe 60 = 50 x 60 x Rp 2.625.000,00
= Rp 7.875.000.000,00
Sarana : Jalan lingkungan = 500 x Rp 2.625.000,00
= Rp 1.312.500.000,00
Lift
= 3 x 600 x Rp 6.950.000,00= Rp 12.510.000.000,00
Kolam renang
= 500 x Rp 3.100.000,00
Gedung parkir
= 3.000 x Rp 3.100.000,00 = Rp 4.548.000.000,00 +
= Rp 1.550.000.000,00
NJOP gabungan
= Rp 86.835.500.000,00
Tipe 75 NJOP = 75/(200 x 75+50 x 60) x Rp 86.835.500.000 = 75/18.000 x Rp 86.835.500.000
= Rp
361.814.583,3
NJOPTKP
= Rp
12.000.000,00 -
NJOPKP
= Rp
349.814.583,3
= Rp
1.749.072.91
PBB terutang : = 0,5 % x Rp 349.814.583,3 Tipe 60 NJOP
= 60/(200 x 75+50 x 60) x Rp 86.835.500.000 = 60/18.000
= Rp
289.451.666,7
NJOPTKP
= Rp
12.000.000,00 -
NJOPKP
= Rp
277.451.666,7
PBB terutang = 0,5% x Rp 277.451.666,7
= Rp
1.387.258,3
37
II.3 Teknik Quality Rating II.3.1 Pengertian Teknik Quality Rating Quality Rating (atau disebut juga Quality Rating Value Estimation/QRVE) adalah suatu teknik penilaian yang sederhana dengan menggunakan perhitungan rata-rata tertimbang serta memungkinkan para penilai menentukan faktor-faktor apa dan seberapa besar peranannya untuk mempengaruhi nilai jual properti dalam suatu pasar (sub market) tertentu (Richard U. Ratcliff, 1972:49). Dengan teknik ini, penilai dapat menentukan sejumlah variabel (karakteristik properti dan faktor lainnya) yang dipilih dan diberikan angka tertimbangnya. Selanjutnya, baik properti subjek (properti yang akan dinilai) maupun properti pembanding diberikan skor pada setiap variabel atau atribut properti yang diduga mempengaruhi nilai jualnya. Nilai skor setiap properti pembanding dikalikan dengan angka tertimbangnya (weighted) untuk menghasilkan suatu total nilai tingkatan kualitas (quality scores) pada setiap properti. Metode ini diperkenalkan oleh Richard U. Ratcliff dalam bukunya Valuation For Real Estate Decisions yang disebut dengan Quality Rating. Metode Quality Rating termasuk dalam pendekatan data pasar. Dalam penilaian properti dikenal tiga macam pendekatan yang biasa digunakan. Dalam prakteknya, penilaian di lapangan menemui banyak hambatan, baik menggunakn pendekatan data pasar, biaya ataupun pendapatan. Beberapa ahli banyak menyebutkan pendekatan data pasar adalah yang paling akurat apabila data cukup tersedia. Hambatan yang sering terjadi adalah kurangnya atau tidak adanya data yang tersedia dan perlu kecermatan penilai dalam melakukan penyesuaian data yang tersedia dengan properti yang akan dinilai. Dengan pesatnya perkembangan teknologi dan informasi, dunia penilai pun ikut berkembang. Salah satu 38
cara yang telah dipelajari adalah penilaian dengan metode statistik yang kita kenal dengan metode analisis regresi. Dengan metode ini suatu properti dibandingkan dengan properti yang lain dengan menggunakan beberapa variabel yang dianggap menjadi faktor yang mempengaruhi nilai. Definisi Teknik Quality Rating yang disampaikan oleh Hamsari Marsani adalah “salah
satu
teknik
yang
sederhana
untuk
menilai
suatu
properti
dengan
mempertimbangkan tingkatan kualitas yang terdiri beberapa faktor yang dianggap mempengaruhi nilai properti yang dimaksud”. (Marsani 2001:22) Definisi lain yang diungkapkan oleh Prasetyo Aji juga hampir sama dengan definisi yang disampaikan oleh Hamsari Marsani, yaitu “suatu teknik penilaian yang sederhana
dengan
mempergunakan
perhitungan
rata-rata
tertimbang,
serta
memungkinkan penilai dapat menentukan faktor-faktor dan seberapa besar perannya untuk mempengaruhi perkembangan nilai pasar tanah dari suatu zona dalam suatu kawasan tertentu.” (Prasetyo Aji 1999:26) Dengan demikian dapat ditarik garis besarnya bahwa Quality rating adalah suatu metode menilai dengan memanfaatkan perhitungan rata-rata tertimbang dengan bobot tertentu pada faktor-faktor atau variabel yang memepengaruhi nilai yang menggunakan metode statistik dalam menentukan niali jual bumi dan bangunan dengan melihat faktorfaktor disekitar objek pajak.
II.3.2 Tujuan Dan Penggunaan Teknik Quality Rating Dalam PBB Penggunaan teknik Quality rating dalam PBB pada dasarnya memiliki tujuan sebagai berikut:
39
1. Memberikan alat yang dapat dipergunakan untuk saling melengkapi serta menguji hasil penilaian massal ataupun hasil penilaian dengan pendekatan lain. 2. Memberikan suatu teknik perhitungan kepada para penilai, khusunya pajak bumi dan bangunan yang diharapan dapat membantu pelaksanaan tugas-tugas penilaian dengan baik. 3. Mendorong penilai untuk menentukan serta menganalisa dengan metode statistik yang lebih sederhana. 4. Mengurangi pengaruh negatif faktor subjektifitas dari penilai, melalui pemberian nilai tingkatan kualitas (score) secara konsisten dengan sistem yang sama.
Berbagai variasi dalam penggunaan Quality Rating untuk keperluan pajak bumi dan bangunan adalah:
1. Dapat digunakan hanya sebagai penaksir niali bumi atau tanah, baik secara total atau permeter persegi sesuai dengan keperluannya. 2. Dapat digunakan hanya sebagai penaksir nilai bangunan, baik secara total maupun permeter persegi, dengan kombinasi teknik residual yaitu setelah total nilai properti dikurangkan nilai tanahnya. 3. Dapat dikombinasikan dengan sistem pembobotan yang telah ada selama ini, dengan disertai beberapa penyesuaian dengan kondisi daerah atau wilayahnya.
40
II.3.3 Faktor Yang Mempengaruhi Nilai Jual Objek Pajak Bumi dan Bangunan Nilai pada suatu properti bangunan sangat dipengaruhi oleh faktor fisik, karena bentuk atau rupa dari bangunan itu memberikan nilai secara langsung pada suatu properti. Faktor alam yang mempengaruhi nilai bangunan: 1. Ukuran dan luas yang ditentukan 2. Bentuk bangunan 3. Kawasan industry disekitar 4. Fasilitas kesehatan dan keamanan 5. Transportasi umum 6. Keadaan lingkungan 7. Bandar udara 8. Jalan raya 9. Komunikasi 10. Taman bermain dan olah raga 11. Fasilitas pendidikan
Seperti kita ketahui, ekonomi sangat erat kaitannya dengan nilai. Oleh karena itu, faktor ekonomi berperan aktif dalam mempengaruhi perubahan nilai yang ada pada suatu properti, misalnya: 1. Tingkat pendapatan masyarakat 2. Perubahan nilai mata uang dan tingkat suku bunga 3. Pengembalian investasi 4. Penawaran dan permintaan
41
Tingkat kualitas akan sulit ditentukan jika penggunaan bangunan tersebut berbeda, maka sebelum menentukan faktor-faktor tersebut sebaiknya bangunan dikelompokan berdasarkan pemanfaatannya dan setiap kelompok ditentukan variable beserta besarnya persentase yang mempengaruhi nilai jual objek pajak bangunan sebagai berikut: 1. Bangunan yang dimanfaatkan untuk perumahan mewah atau apartemen: a. Lokasi
: 25%
b. Lebar jalan utama
: 15%
c. Masa manfaat bangunan
: 25%
d. Luas bangunan
:15%
e. Lingkungan sekitar
: 20%
Jumlah
: 100%
2. Bangunan yang dimanfaatkan untuk usaha bisnis atau perkantoran: a. Komponen bangunan
: 30%
b. Sarana jalan
: 25%
c. Keramaian
: 25%
d. Kondisi bangunan
: 10%
e. Transaportasi
: 10%
Jumlah
: 100%
3. Bangunan yang dimanfaatkan untuk pusat olahraga: a. Jenis komponen bangunan
: 45% 42
b. Kondisi keseluruhan bangunan : 25% c. Keramaian
: 15%
d. Fasilitas bangunan
: 15%
Jumlah
: 100%
(Modul Penelitian Diklat Penyesuaian Tingkat III PBB tahun 1991:235) Dalam rangkaian penyusunan ini akan membahas penerapan Teknik Quality Rating pada bangunan yang dimanfaatkan unutk perumahan mewah atau apartemen. Berikut akan disebutkan dasar-dasar, penjelasan serta batasan yang akan digunakan dalam memberikan nilai tingkat (score) terhadap setiap faktor yang berpengaruh :
1. Faktor Lokasi, lokasi selalu menjadi hal utama yang mempengaruhi nilai suatu bangunan, lokasi yang berada pada posisi strategis maka akan semakin mahal nilai bangunan tersebut, misalkan lokasi tersebut dekat dengan pasar, mini market, fasilitas pendidikan, fasilitas kesahatan, fasilitas umum, tempat ibadah, bank, mall, hotel dan pusat olah raga. 2. Faktor Lebar Jalan, faktor ini juga mempengaruhi nilai jual objek pajak bangunan, semakin lebar jalan disekitar objek pajak tersebut maka akan semakin tinggi nilainya, karena kebanyakan orang pasti akan memilih jalan yang lebar dari pada yang sempit agar dapat dilalui oleh mobil yang saat ini juga sudah menjadi kebutuhan manusia serta jalan yang lebar tersebut juga mempermudah akses kesegala tempat. 3. Faktor Masa Manfaat Bangunan , yaitu estimasi jangka waktu yang dimiliki bangunan didaerah tersebut sebelum dilakukan renofasi kembali, seberapa kuat
43
bangunan tersebut berdiri, apabila bangunan tersebut memiliki jangka waktu 20 tahun atau lebih maka akan semakin tinggi juga nilai jual bangunan tersebut. 4. Faktor Luas Bangunan, yaitu luas atau sempitnya bangunan yang telah dibuat tersebut, faktor luas bangunan ini memberikan kenyamanan bagi para penghuninya sehingga penghuni juga bisa merubah keadaan bangunan sesuai dengan yang mereka inginkan agar mendapatkan kenyamanan bagi penghuninya, semakin luas bangunan yang disediakan maka akan semakin tinggi nilai jual bangunan tersebut. 5. Faktor Lingkungan Sekitar, yaitu keadaan lingkungan disekitar bangunan tersebut, kebanyakan orang akan memilih daerah yang tidak banjir, tersedianya air bersih, jauh dari kali atau lokasi industri dan masih banyak lagi, sehingga memberikan kenyamanan bagi para penghuninya, semakin baik lingkungan sekitar bangunan maka akan memberikan nilai positif untuk nilai jual bangunannya atau semakin tinggi nilai jualnya.
II.3.4 Penerapan Metode Statistik Quality rating adalah suatu metode menilai dengan memanfaatkan perhitungan rata-rata tertimbang dengan bobot tertentu pada faktor-faktor atau variabel yang memepengaruhi nilai. Langkah-langkah melakukan perhitungan tertimbang :
1. Tentukan variabel atau faktor yang dianggap mempengaruhi nilai dan diberikan angka tertimbang. Variabel atau faktor yang dipilih adalah yang mempunyai korelasi yang besar terhadap nilai properti. 2. Berilah bobot atau skor pada setiap varibel baik untuk data properti pembanding ataupun properti yang akan dinilai. 44
3. Bobot atau skor pembandingan dikalikan dengan angka tertimbang dari masingmasing variabel atau faktor yang dianggap mempengaruhi nilai. 4. Jumlahkan hasil perkalian antara angka tertimbang dengan bobot atau skor yang kemudian disebut dengan tingkat kualitas atau Quality Score (QS).
Secara matematis dapat digambarkan sebagai berikut :
QSi = Wt . Rit
QSi = tingkat kualitas untuk objek i
Wt = bilangan tertimbang untuk faktor i
Rit = bobot atau skor untuk variabel pembanding i dengan variabel t
Dari hasil perhitungan analisis rata-rata tertimbang, dapat digunakan analisis regresi liniear sederhana. Perhitungan dapat dilakukan secara manual maupun dengan komputer. Formula yang digunakan adalah :
Y = α + βX
Y
= Nilai objek yang dinilai
α & β = Hasil perhitungan analisis regresi linear sederhana
X
= Total tingkat kualitas (QS) untuk objek yang dinilai
45
Y adalah variabel tergantung atau dipengaruhi variabel X. Jadi X adalah variabel yang independen, artinya nilainya akan mempengaruhi besarnya Y. Bila X dalam hal ini adalah besarnya QS maka persamaan yang muncul ini yang akan dipakai dalam penyajiannya, persaman diatas menjadi :
Y = α + β (QS)
QS = Total nilai tingkat kualitas untuk objek pajak
II.3.5 Penerapan Teknik Quality Rating
Tujuan dari penerapan Quality Rating adalah untuk memperoleh Quality Score yang akan digunakan untuk menentukan Nilai Jual Objek Pajak Bangunan, prosesnya sebagai berikut :
1. Menentukan objek bangunan mewah atau apartemen yang akan diteliti, data berupa Nilai Jual Objek Pajak bangunan mewah atau apartemen dari objek yang diteliti juga harus dikumpulkan (sebagai variable dependen). 2. Menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi Nilai Jual Objek Pajak Bangunan mewah atau apartemen serta besaran angka tertimbang atau persentase dari faktorfaktor yang telah disebutkan diatas dalam faktor yang menentukan Niali Jual Objek Pajak Bangunan bagian perumahan, usaha bisnis atau apartemen. 3. Faktor-faktor yang dinilai sebagaimana disebutkan diatas pada masing-masing penggunaan bangunan diberikan nilai (score) dari 1 s/d 10 berdasarkan tingkatan kualitas sebagaimana yang akan dijabarkan dibawah ini: 46
No.
Nilai Kuantitatif
Kualitatif
1
10
Istimewa
2
9
Baik Sekali
3
8
Baik
4
7
Cukup
5
6
Sedang
6
5
Hampir Sedang
7
4
Kurang
8
3
Kurang Sekali
9
2
Buruk
10
1
Buruk Sekali
(Sumber : Jurnal Survai dan Penelitia Properti vol. 020 Januari 2001) 4. Langkah selanjutnya adalah memberikan nilai tingkatan (score) untuk setiap faktor pada setiap objek yang diteliti. Setelah pemberian score dilakukan, maka secara matematis total nilai tingkatan kualitas (Quality Score) untuk setiap objek adalah sebagai berikut : QS = W . S Dimana : QS = Total nilai tingkat kualitas untuk objek pajak. W = Angka tertimbang (persentase) faktor yang mempengaruhi. S = Nilai tingkatan (score) untuk faktor yang mempengaruhi.
47
5. Setelah QS dan data NJOP bangunan untuk objek yang diteliti diperoleh maka kemudian dimasukan ke dalam analisa statistik dan dilihat apakah QS (Quality Score) mempunyai pengaruh signifikan terhadap NJOP bangunan mewah atau apartemen, jika mempunyai pengaruh signifikan maka QS dapat digunakan untuk menentukan NJOP bangunan. Sedangkan untuk menilai bangunan yang diamati atau yang akan dinilai menggunakan persamaan regresi linier sederhana sebagai berikut : Y = α + β (QS) Dimana : Y
= Nilai objek pajak bangunan yang akan dinilai.
α&β
= Parameter yang dihasilkan dari persamaan regresi linier sederhana.
QS
= Total niai tingkatan kualitas dari bangunan yang diamati.
Karena total dari nilai tingkat kualitas (QS) untuk bangunan yang akan dinilai, maka dengan formula yang terpampar tersebut dapatlah ditaksir nilai jualnya. Hal utama didalam Teknik Quality Rating adalah penilai harus mempunyai banyak pengetahuan terhadap pasar bangunan mewah atau apartemen didaerah yang akan diamati.
II.4 Kajian Penelitian Terdahulu Penelitian dengan topik Quality Rating ini sebelumnya telah dilakukan oleh beberapa penilai yang dituangkan dalam Jurnal Survei serta Penelitian Properti, dimana antara jurnal yang satu dengan yang lainnya saling melengkapi akan tetapi tidak dapat terintegrasi.
48
Penelitian yang pertama dilakukan oleh Drs. Hamsari Marsani, yang ditulis dalam Jurnal Survei serta Penelitian Properti Volume 020 Januari 2001 dengan judul Menentukan NJOP Bumi dengan Teknik Quality Rating, pada penelitian ini diuraikan mengenai perhitungan Quality Score dengan cara mengkalikan score dari tiap faktor yang berpengaruh dengan persentase angka tertimbang, kelemahan dari penilitian ini adalah tidak digunakannya teknik uji statistik sehingga tidak bisa membuktikan bahwa Quality Score berpengaruh pada nilai jual tanah yang akan dinilai, kelebihan yang ada dalam penelitian Marsani adalah faktor-faktor serta besarannya persentase yang mempengaruhi Nilai Jual Objek Pajak Bumi diambil dari Modul Penelitian Diklat Penyesuaian Tingkat III PBB yang diterbitkan oleh Badan Pendidikan serta Pelatihan Keuangan. Penelitian yang kedua dilakukan oleh Prasetyo Aji yang ditulis dalam Jurnal Servei serta Penelitian Properti Volume 015 Januari 1999 dengan judul Sistem Acuan Penentuan Niali Pasar Tanah, pada penelitian ini dituliskan bagaimana cara perhitungan menggunakan Teknik Quality Rating dengan cara mengkalikan score dari tiap atribute zona, kelemahannya adalah tidak menggunakan teknik uji statistik sehingga tidak dapat terbukti bahwa QS berpengaruh terhadap nilai jual tanah yang diamati, selain itu Prasetyo Aji tidak menjelaskan darimana diambilnya faktor-faktor serta besaran persentase yang mempengaruhi Nilai Jual Objek Pajak Bumi. Penelitian yang ketiga dilakukan oleh Hendro Wasis Setiyanto dengan judul skripsi Penggunaan Teknik Quality Rating Untuk Menentukan besarnya Nilai Jual Objek Pajak Bumi (NJOP) Bumi pada Daerah “X” di Sidoarjo. Didalam penelitian ini menggunakan uji statistik untuk menganalisa apakah QS berpengaruh terhadap Nilai Jual Objek Pajak Bumi, berbeda dengan penelitian sebelumnya yang tidak terdapat uji statistik 49
serta didalam penelitian ini menggunakan Rating Scale dalam pemberian score untuk tiap faktornya. Dari ketiga penelitian diatas sudah dapat dijelaskan bahwa masing-masing memiliki kekurangan serta kelebihannya, sehingga yang akan diambil adalah kelebihankelebihan tersebut yang diharapkan dapat menyempurnakan kelemahan-kelemahan pada masing-masing skripsi. Sehingga penyajian ini akan lebih cenderung mengarah pada faktor serta persentase yang diterapkan oleh Hamsari Marsani dan Hendro Wasis Setiyanto namun skripsi ini hanya berfokus pada perhitungan besaran nilai jual objek pajak bangunan tidak membahas lebih atas perhitungan nilai tanahnya namun tetap menggunakan teknik yang sama dengan penelitian terdahulu. II.5 Hipotesis Secara garis besar bentuk penyusunan skripsi ini adalah berupa penelitian. Salah satu tujuan penelitian adalah menguji hipotesis. Dalam buku Metode Penelitian Bisnis oleh Prof. Dr. Sugiyono disebutkan bahwa “Hipotesis merupakan jawaban sementara dari penelitian, oleh karena itu rumusan masalah penelitian biasanya disusun dalam bentuk kalimat pertanyaan”. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru berdasarkan teori yang relevan serta rasional namun belum didasari dengan fakta-fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Penelitian yang merumuskan hipotesis adalah penelitian yang menggunakan pendekatan kuantitatif. Dengan diketahuinya QS suatu objek bangunan yang diamati dari faktor-faktor yang mempengaruhi seperti lokasi, lebar jalan utama, masa manfaat bangunan, luas bangunan dan lingkungan sekitar diharapkan dapat menetukan nilai jualnya. Maka dalam skripsi ini dapat diketahui bahwa : 50
H0 =
QS tidak berpengaruh secara signifikan terhadap Nilai Jual Objek Pajak Bangunan mewah atau apartemen di Kota Tangerang Selatan.
H1 = QS berpengaruh secara signifikan terhadap Nilai Jual Objek Pajak Bangunan di Kota Tangerang Selatan.
51