BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 2.1 Hakikat Hasil Belajar 2.1.1 Pengertian Hasil Belajar Siswa Menurut Sudjana (2008:22) “hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya”. Namun menurut Ward Kingsley (dalam Sudjana 2008:22) membagi tiga macam hasil belajar, “yakni (a) keterampilan dan kebiasaan, (b) pengetahuan dan pengertian, (c) sikap dan citacita”. Masing-masing jenis hasil belajar dapat diisi dengan bahan yang telah ditetapkan dalam kurikulum. Sedangkan menurut Gagne (dalam Sudjana 2008:22) membagi lima kategori hasil belajar, “yakni (a) informasi verbal, (b) keterampilan intelektual, (c) strategi kognitif, (d) sikap dan (e) keterampilan motoris”. Dalam sistem pendidikan nasional rumusan tujuan pendidikan, baik tujuan kurikuler maupun tujuan intruksional, menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin Bloom (dalam sudjana 2008:22) yang secara garis besar membaginya menjadi tiga ranah yakni : 1. Ranah kognitif, berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek yakni pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, sintesis, dan evaluasi. 2. Ranah afektif, berkenaan dengan sikap yang terdiri dari lima aspek yakni penerimaan, jawaban atau reaksi, penilaian, organisasi, dan internalisasi. 3. Ranah psikomotoris, berkenaan dengan hasil belajar keterampilan dan kemampuan bertindak yakni gerakan refleks, keterampilan gerakan dasar, kemampuan perseptual, keharmonisan atau ketepatan, gerakan keterampilan kompleks, serta gerakan ekspresif dan interpretatif.
Menurut Slameto (2010:54) faktor-faktor yang mempengaruhi belajar dua faktor utama “yakni faktor intern (Faktor Internal) yang berasal dari dalam diri individu yang sedang belajar dan faktor ekstern (Faktor Eksternal) yang berasal dari lingkungan”. Faktor intern mencakup faktor jasmani, faktor psikologis dan faktor kelelahan sedangkan faktor ektern mencakup tiga faktor yaitu faktor keluarga, faktor sekolah dan faktor masyarakat. Untuk mengukur kemampuan-kemampuan siswa guru dapat menggunakan tes sebagai alat penilaian untuk mengumpulkan informasi sebagai laporan hasil belajar siswa, seperti yang dikemukakan Sudjana (2008:35) “tes sebagai alat penilaian adalah pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada siswa untuk mendapat jawaban dari siswa dalam bentuk lisan (tes lisan), dalam bentuk tulisan (tes tulisan) atau dalam bentuk perbuatan (tes tindakan)”. Tes pada umumnya digunakan untuk menilai dan mengukur hasil belajar siswa, terutama hasil hasil belajar kognitif berkenaan dengan pengusaan bahan pengajaran sesuai dengan tujuan pendidikan dan pengajaran. 2.2 Hakikat Mata Pelajaran Geografi 2.2.1 Pengertian Geografi Geografi adalah ilmu yang mempelajari persamaan dan perbedaan fenomena geosfer dari sudut pandang kelingkungan atau kewilayahan dalam konteks keruangan.
1.3 Tinjauan Umum Tentang Materi Hidrologi 2.3.1 Pengertian Hidrologi Hidrosfer berasal dari kata hidros = air dan sphere = daerah atau bulatan. Hidrosfer dapat diartikan daerah perairan yang mengikuti bentuk bumi yang bulat. Daerah perairan ini meliputi samudra, laut, danau, sungai, glister, air tanah dan uap air yang terdapat di atmosfer. Diperkirakan hampir tiga per empat muka bumi tertutup oleh air. Hidrosfer merupakan wilayah perairan yang mengelilingi bumi. Hidrosfer meliputi samudra, laut, sungai, danau, air tanah, mata air, hujan dan air yang berada di atmosfer. Menurut Kodoatie (1996:3) “siklus hidrologi merupakan konsep dasar tentang keseimbangan air secara global dan juga menunjukan semua hal yang berhubungan dengan air”. Menurut Asdak (2010:7) daur hidrologi secara alamiah dapat ditunjukan seperti terlihat pada Gambar 1.1 “yaitu menunjukan gerakan air di permukaan bumi”. Selama berlangsungnya daur hidrologi yaitu, perjalanan air dari permukaan air ke atmosfer kemudian ke permukaan tanah dan kemudian kembali ke laut yang tidak perna berhenti, air tersebut akan bertahan (sementara) di sungai dan dalam tanah sehingga dapat di manfaatkan oleh manusia atau makluk hidup yang lainnya.
Gambar 1.1 Daur hidrologi Kurniawan (2013) 2.3.2 Macam – macam siklus air Menurut Asdak (2007:7) ada tiga macam siklus air, yaitu siklus pendek, siklus sedang dan siklus panjang. 1) Siklus pendek Siklus ini terjadi jika uap air laut mengalami kondensasi di atas laut, selanjutnya membentuk awan dan jatuh sebagai hujan di laut setempat. 2) Siklus sedang Siklus ini terjadi jika air laut mengalami kondensasi, selanjutnya membentuk awan yang terbawa angin menuju daratan dan jatuh sebagai hujan. Terbentuknya awan tidak selalu diatas laut, tetapi ada kemungkinan uap airnya saja yang terbawa ke daratan. Setelah di daratan uap air berubah menjadi awan dan jatuh sebaga hujan. Air hujan yang jatuh di darat ada yang menjadi aliran permukaan, meresap kedalam tanah dan mengalir ke sungai kemudian kembali kelaut. 3) Siklus panjang Siklus ini terjadi jika air laut mengalami kondensasi, selanjutnya seperti pada siklus sedang, uap air atau awan terbawa angin menuju daratan hingga
pegunungan tinggi, oleh karena pengaruh suhu, uap air menjadi Kristalkristtal es atau salju, kemudian jatuh sebagai hujan es atau salju yang membentuk gletser, mengalir masuk ke sungai dan kembali ke laut. Menurut Asdak (2007:7) Terjadinya siklus air tersebut disebabkan oleh adanya proses-proses yang mengikuti gejalah meteorologist, antara lain: 1) Evaporasi yaitu penguapan benda-benda abiotik dan merupakan proses perubahan wujud air menjadi gas/uap. 2) Transpirasi adalah proses penguapan pada tumbuhan melalui mulut daun (stomata). 3) Evapotranspirasi adalah proses gabungan evaporasi dan transpirasi. 4) Kondensasi yaitu proses perubahan wujud air dari gas menjadi cair karena pendinginan. 5) Adveksi yaitu transpirasi air pada gerakan horizontal seperti transportasi panas dan uap air dari lokasi satu ke lokasi lain oleh gerakan udarah mendatar. 6) Konveksi yaitu gerakan uap air dari satu tempat ke tempat yang lain karena pergerakan angin secara vertikal. 7) Presipitasi yaitu segalah bentuk curahan hujan atau hujan dari atmosfer ke bumi yang meliputi hujan air, hujan es dan hujan salju. 8) Run-off (aliran permukaan) yaitu pergerakan aliran air di permukaan bumi/tanah. 9) Infiltrasi yaitu perserapan/pergerakan air masuk kedalam tanah melalui pori tanah secarah vertikal. 10) Perkolasi yaitu perembesan atau pergerakan air kedalam tanah melalui pori tanah secarah horizontal. 1.3.3
Perairan darat Perairan darat adalah semua bentuk air yang terdapat di daratan. Air dapat
berupa benda cair atau benda padat (es dan salju), sedangkan yang banyak digunakan manusia berwujud cair, yaitu berupa air, baik air permukaan, air tanah, sungai, danau dan sebagian air rawa.
Sungai Menurut Haryani (2005:12) “pengertian sungai adalah bentuk aliran air yang
melalui saluran atau lembah alami, besar ataupun kecil”. Sungai mengalir dari pegunungan atau perbukitan melewati dataran rendah akhirnya bermuara ke laut,
rawa atau danau. Bentuk aliran air selain terbentuk oleh proses alami yang di sebut sungai tersebut ada yang di buat oleh manusia yang disebut kanal.
Menurut Haryani (2005:12) sungai berdasarkan pola aliranya, sungai dibedakan sebagai berikut: a) Pola aliran radial atau menjari. Pola aliran radial dibedakan menjadi radial sentrifugal dan radial sentripental. Pola aliran sentrifugal adalah pola aliran yang meninggalkan pusat, misalnya pola aliran di daerah gunung yang berbentuk kerucut. Pola aliran sentripental adalah pola aliran yang menuju pusat, misalnya pola aliran di daerah basin atau ledokan. b) Pola aliran dendritik yaitu pola aliran yang tidak teratur, biasannya terdapat di dataran pantai dan di daerah plato. c) Pola aliran trelis yaitu pola aliran yang berbentuk sirip daun atau trellis. Ada di pegunungan lipatan. d) Pola aliran rektangular yaitu pola aliran yang membentuk siku-siku dan terdapat di daerah patahan atau pada daerah yang tingkat kekerasan batuanya berbeda. e) Pola aliran anular yaitu pola aliran yang semula merupakan pola aliran radial sentrifugal. Selanjutnya, muncul sungai subsekuen yang sejajar, sungai obsekuen dan resekuen. Pola aliran anular terdapat di daerah kubah (dome) stadium dewasa atau pegunungan tua.
Rawa Menurut Haryani (2005:31) “rawa adalah tubuh perairan dangkal di daratan,
terbentuk pada daerah yang drainasenya kurang baik, letaknya rendah dan di muara sungai-sungai besar”. Drainase kurang baik dapat diakibatkan oleh lerengnya datar bahkan berupa cekungan, gradient, rendah karena dekat pantai, aliran air terhalang oleh bentukan alam atau buatan manusia, material penyusunya halus (lempungan) dan
curah hujan tinggi. Sumber air pada rawa dapat berasal dari air hujan, air banjir, atau air pasut.
Danau Menurut Haryani (2005:32) “danau adalah tubuh perairan di daratan yang
berupa cekungan alami dan terisi air yang menggenang”. Sumber air danau berasal dari air hujan, air tanah, mata air atau air sungai.
Air Tanah Menurut Asdak (2010:244) “Air yang berada di wilayah jenuh di bawa
permukaan tanah di sebut air tanah”. Secara global, dari keseluruhan air tawar yang berada di planet bumu ini lebih dari 79 % terdiri atas air tanah. Tampak bahawa perairan air tanah di bumi adalah penting. Air tanah dapat di jumpai hampir semua tempat di bumi. Ia dapat ditemukan di bawa gurun pasir yang paling kering sekalipun, demikian juga di bawa tanah yang membeku karena tertutup lapisan salju dan es. 1.3.4
Perairan laut Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:170) “Perairan laut merupakan massa
air asin dengan kadar garam yang cukup tinggi (rata-rata 3,45%)”. Laut merupakan bagian dari samudra. Bumi memiliki lima samudra, yaitu Samudra Pasifik, Atlantik, Hindia, Antartika Dan Arktik. Lautan di bumi memiliki luas kira-kira 361.000.000 km². Jadi, lebih dari 70% luas permukaan bumi dengan kedalaman rata-rata 3.730 m.
Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:170) “Sebutan planet bumi sebagai suatu wilaya daratan yang kita diami selama ini sebenarnya kurang tepat karena kenyataannya luas daratan hanya sekitar 30% dan sisanya 70% berupa lautan dan perairan”. Klasifikasi laut menurut proses terjadinya dan letaknya dibedakan sebagai berikut.
1. Klasifikasi laut berdasarkan proses terjadinya
Laut Ingresi Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:171) “Laut ingresi merupakan laut
yang disebabkan terjadinya penurunan dasar laut. Hal ini menyebabkan laut semakin dalam".
Laut Regresi Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:171) “Laut regresi merupakan laut
yang terbentuk karena penyempitan lautan atau pengangkatan daratan pada daerah yang luas”. Proses tersebut terjadi pada saat zaman diluvium. Akibat suhu bumi yang dingin, menyebabkan air membeku dan permukaan laut turun sampai 60 m. hal ini menyebabkan dangkalan sunda dan sahul berubah menjadi daratan pulau Sumatra, Jawa dan Kalimantan bersatu dengan Asia, sedangkan dangkalan sahul dan pulaupulau kecil dibagian timur Indonesia bersatu dengan Australia.
Laut Transgresi Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:171) “Laut transgresi merupakan laut
yang terbentuk akibat kenaikan permukaan air laut atau penurunan daratan secara perlahan sehingga luas laut bertambah”. Proses ini terjadi pada masa glasial. Pencairan es di kutub menyebabkan air laut naik dan menggenangi daratan. Laut transgresi bersifat dangkal karena mempunya kedalaman sekitar 70 m.
2. Klasifikasi Laut Berdasarkan Letaknya
Tepi laut Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:171) “Tepi laut adalah laut yang
terletak di pinggir benua”. contohnya laut bering yang dipisahkan oleh kepulauan aleut, laut jepang yang dipisahkan oleh kepulauan jepang, laut koral yang disebelah timur Australia, dan laut cina yang dipisahkan oleh kepulauan Indonesia dan Filipina.
Laut Pertengahan Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:171) “Laut pertengahan merupakan
laut yang terletak diantara dua benua atau lebih”. Contohnya laut tenga, laut merah dan laut-laut Indonesia yang terletak diantara benua Asia dan Australia.
Laut Pedalaman
Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:171) “Laut pedalaman merupakan laut yang seluruhnya dikelilingi oleh daratan”. Contohnya Laut Hitam, Laut Kaspia, Laut Mati. Selanjutnya, berikut ini pembagian zona laut yang dibedakan berdasarkan kedalaman dan wilayah kekuasaan suatu negara.
Zona laut berdasarkan kedalamanya Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:171) Berdasarkan kedalamanya, laut
dibedakan menjadi beberapa zona seperti berikut. 1. Zona litoral atau zona pesisir adalah daerah diantara garis air surut dan garis air pasang. Pada saat air pasang akan tergenang air dan pada saat surut akan kering. 2. Zona neritis adalah zona laut dengan tingkat kedalaman sampai 200 m. pada areal ini matahari masi di mungkinkan tembus ke dasar laut. 3. Zona bathyal adalah laut dengan kedalaman 200-1.500 m dan memiliki lereng yang curam. 4. Zona abysal adalah zona laut yang sangat dalam dengan tingkat kedalaman lebih dari 1.500 m. biasanya dijumpai dalam bentuk palung laut atau lubuk laut.
Zona laut berdasarkan wilayah kekuasaan suatu negara Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:171) “Indonesia merupakan Negara
kepulauan dengan wilayah perairan laut yang sangat luas. Hal ini menyebabkan wilayah laut memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan bangsa dan Negara”. Batas luas wilayah lautan Indonesia dibedakan menjadi 3 macam, yaitu zona laut territorial, zona landas kontinen, dan zona ekonomi eksklusif. a. Zona laut teritorial Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:172) “Zona laut teritorial adalah zona yang dibatasi garis khayal yang berjarak 12 mil dari garis dasar kearah laut lepas”. Jika lebar lautan yang membatasi dua negara kurang dari 24 mil, garis tetorial ditarik
sama jauh dari tiap-tiap negara. Pada zona ini negara mempunyai hak kedaulatan sepenuhnya, tetapi menyediakan alur pelayaran lintas damai di atas maupun di bawa laut. Wilayah laut teritorial Indonesia diumumkan pemerintah pada tanggal 13 Desember 1957 yang dikenal dengan deklarasi Djuanda dan diperkuat dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1960. b. Zona landas kontinen Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:172) “Zona landas kontinen merupakan dasar laut yang secara geologis maupun morfologi merupakan lanjutan dari sebuah kontinen (benua) dengan kedalaman laut kurang dari 150 m”. Indonesia terletak di antara landas kontinen Asia dan Australia. Pada zona ini pemerintah memiliki kewenangan untuk memanfaatkan sumber daya alam yang ada dan berkewajiban menyediakan alur pelayaran lintas damai. Batas landas kontinen diumumkan oleh pemerintah Indonesia pada tanggal 17 Februari
1969.
c. Zona Ekonomi Eksklusif Menurut Endarto (dalam Haryanto 2010:172) “Wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) dihitung dari garis dasar laut lurus kearah laut bebas sejauh 200 mil laut”. Dalam zona ini negarah dapat memanfaatkan sumber daya laut untuk kesejahteraan bangsa. Negara lain memiliki hak pelayaran dan pemasangan kabel serta pipa di bawah permukaan laut. 2.4 Model Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching and Learning) Elaine (dalam Rusman, 2011:187) mengatakan bahwa “pembelajaran kontekstual adalah sebuah sistem yang merangsang otak untuk menyusun pola-pola
yang mewujudkan makna”. Lebi lanjut, Elaine (dalam Rusman, 2011:187) mengatakan bahwa pembelajaran “kontekstual adalah suatu sistem pembelajaran yang cocok dengan otak yang menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademis dengan konteks dari kehidupan sehari-hari siswa”. Jadi, pembelajaran kontekstual adalah usaha untuk membuat siswa aktif dalam memompa dalam kemampuan diri tanpa merugi dari segi manfaat, sebab siswa berusaha mempelajari konsep sekaligus menerapkan dan mengaitkannya dengan dunia nyata. Sejauh ini, pembelajaran masih didominasi oleh pandangan bahwa pengetahuan sebagai fakta untuk dihafal. Pembelajaran tidak hannya difokuskan pada pemberian pembekalan kemampuan pengetahuan yang bersifat teoretis saja, akan tetapi bagaimana agar pengalaman belajar yang dimiliki siswa itu senantiasa terkait dengan permasalahan-permasalahan aktual yang terjadi di lingkungannya. Dengan demikian, inti dari pemdekatan CTL adalah keterkaitan setiap materi atau topik pembelajaran dengan kehidupan nyata. Untuk mengaitkanya bisa dilakukan berbagai cara, selain karena memang materi yang dipelajari secara langsung terkait dengan kondisi factual, juga bisa disiasati dengan pemberian ilustrasi atau contoh, sumber belajar, media dan lain sebagainya. Dengan demikian, pembelajaran selain akan lebih menarik, juga akan dirasakan sangat dibutuhkan oleh setiap siswa karena apa yang dipelajari dirasakan langsung manfaatnya. Ketika memberikan pengalaman belajar yang diorientasikan pada pengalaman dan kemampuan aplikatif yang lebih bersifat praktis, tidak diartikan pemberian pengalaman teoretis konseptual tidak penting. Sebab dikuasainya pengetahuan
teoretis secara baik oleh para siswa akan memfasilitasi kemampuan aplikatif lebih baik pula. Demikian pula halnya bagi guru, kemampuan melaksanakan proses pembelajaran melalui CTL yang baik didasarkan pada penguasaan konsep apa, mengapa, dan bagaimana CTL itu. Melalui pemahaman konsep yang benar dan mendalam terhadap CTL itu sendiri, akan membekali kemampuan para guru menerapkannya secara lebih luas, tegas dan penuh keyakinan, karena memang telah disadari oleh kemampuan konsep teori yang kuat. Pembelajaran di sekolah tidak hanya difokuskan pada pemberian pembekalan kemampuan pengetahuan yang bersifat teoretis saja, akan tetapi bagaimana agar pengalaman belajar yang dimiliki siswa senantiasa terkait dengan permasalahanpermasalahan aktual yang terjadi di lingkungannya. Dengan demikian, inti dari pendekatan CTL adalah keterkaitan setiap materi atau topik pembelajaran dengan kehidupan nyata. Untuk mengaitkannya bisa dilakukan berbagai cara, selain karena memeng materi yang dipelajari secara langsung terkait dengan kondisi faktual, juga bisa disiasati dengan pemberian ilustrasi atau contoh, sumber belajar, media dan lain sebagainya, yang memang baik secara langsung, yang memang baik secara langsung maupun tidak diupayakan terkait atau ada hubungan dengan pengalaman hidup nyata. Dengan demikian, pembelajaran selain akan lebih menarik, juga akan dirasakan sangat dibutuhkan oleh setiap siswa karena apa yang dipelajari dirasakan langsung manfaatnya. Ketika memberikan pengalaman belajar yang diorientasikan pada pengalaman dan kemampuan aplikatif yang lebih bersifat praktis, tidak diartikan pemberian
pengalaman teoretis konseptual tidak penting. Sebab dikuasainya pengetahuan teoretis secara baik oleh para siswa akan menfasilitasi kemampuan aplikatif lebih baik pula. Demikian pula halnya bagi guru, kemampuan melaksanakan proses pembelajaran melalui CTL yang baik didasarkan pada penguasaan konsep apa, mengapa dan bagaimana CTL itu. Melalui pemahaman konsep yang benar dan mendalam terhadap CTL itu sendiri, akan membekali kemampuan para guru menerapkanya secara lebih luas, tegas dan penuh keyakinan, karena memang telah didasari oleh kemampuan konsep teori yang kuat.
2.4.1 Konsep Dasar Pembelajaran Kontekstual Nurhadi (dalam Rusman, 2011:189). “Pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning) merupakan konsep belajar yang dapat membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapanya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat”. Untuk memperkuat dimilikinya pengalaman belajar yang aplikatif bagi siswa, tentu saja diperlukan pembelajaran yang lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan, mencoba dan mengalami sendiri (learning go to), dan bahkan sekedar pendengar yang pasif sebagaimana penerima terhadap semua informasi yang disampaikan guru. Oleh sebab itu, melalui pembelajaran kontekstual, mengajar bukan transportasi pengetahuan dari guru kepada siswa dengan menghafal sejumlah konsep-konsep yang sepertinya terlepas dari kehidupan nyata, akan tetapi lebih ditekankan pada upaya memfasilitasi siswa untuk mencari kemampuan untuk bias hidup (life skill) dari apa yang dipelajari. Dengan demikian, pembelajaran akan
lebih bermakna, sekolah lebih dekat dengan lingkungan masyarakat (bukan dekat dari segi fisik), akan tetapi secara fungsional apa yang dipelajari di sekolah senantiasa bersentuhan
dengan
situasi
dan
permasalahan
kehidupan
yang
terjadi
dilingkungannya (keluarga dan masyarakat). Menurut Howey (dalam Rusman, 2011:189) mendefinisikan CTL sebagai berikut. “contekstual teaching is teaching that enables learning in wich student employ their academic understanding and abilities in a variety of in-and out of school context to solve simulated or real world problems, both alone and with others.” (CTL adalah pembelajaran yang memungkinkan terjadinya proses belajar dimana siswa menggunakan pemahaman dan kemampuan akademiknya dalam berbagai konteks dalam dan luar sekolah untuk memecahkan masalah yang bersifat simulatif ataupun nyata, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama). Sedangkan menurut Elaine (dalam Rusman, 2011:189) “contekstual teaching and learning enables students to connect the content of academic subject with the immediate context of their daily lives to discover meaning. It enlarges their personal context furthermore, by providing students with fresh experience that stimulate the brain to make new connection and consecuently, to discovery new meaning”.). (CTL memungkinkan siswa menghubungkan isi mata pelajaran akademik dengan konteks kehidupan sehari-hari untuk menemukan makna. CTL memperluas konteks pribadi siswa lebih lanjut melalui pemberian pengalaman segar yang akan merangsang otak guna menjalin hubungan baru untuk menemukan makna yang baru) Sistem CTL adalah proses pendidikan yang bertujuan membantu siswa melihat makna dalam materi akademik yang mereka pelajari dengan jalan menghubungkan mata pelajaran akademik dengan isi kehidupan sehari-hari, yaitu dengan konteks kehidupan pribadi, sosial, dan budaya.
Pembelajaran
kontekstual
sebagai
suatu
model
pembelajaran
yang
memberikan fasilitas kegiatan belajar siswa untuk mencari, mengola, dan menemukan pengalaman belajar yang lebih bersifat konkret (terkait dengan kehidupan nyata) melalui keterlibatan aktifitas siswa dalam mencoba, melakukan, dan mengalami sendiri. Dengan demikian, pembelajaran tidak sekedar dilihat dari sisi produk, akan tetapi yang terpenting adalah proses. Secara lebih terurai diungkapan oleh Reigeluth (dalam Rusman 2010:191), bahwa fungsi dan peran desain pembelajaran, antara lain : 1. Instructional design prescribes methods a part of instructional development; 2. Instructional design prescribes procedure for instructional implementation; 3. Instructional design prescribes procedure for instructional management; 4. Instructional design identifies and remedies weaknesses as a part of instructional evaluation. Berdasarkan uraian singkat konsep desain di atas, maka desain pembelajaran memiliki sifat keluesan (fleksibel) tidak kaku dalam satu model tertentu saja. Format desain bisa dikembangkan dalam bentuk berfariasi tergantung pada tujuan dan model pembelajaran bagaimana yang akan dilaksanakan oleh guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar. Dari hasil inovasi, kini ditemukan berbagai jenis model pembelajaran seperti model terpadu, model cooperative learning model pembelajaran quantum teaching and learning, dan lain sebagainya. Kini muncul model lain, yaitu yang disebut dengan contekstual teaching and learning (CTL) tentu saja setiap model tersebut di samping memiliki unsur kesamaan, juga ada beberapa perbedaan tertentu. Hal ini karena setiap model memiliki karakteristik khas tertentu, yang tentu saja berimplikasi pada adanya perbedaan tertentu dalam membuat desain/skenarionya disesuaikan dengan model yang akan diterapkan.
Menurut Reigeluth (dalam Rusman 2010:191) “Ciri khas CTL ditandai oleh tujuh komponen utama, yaitu “1) Contructivism; 2) Inquiry; 3) Questionning; 4) Learning Community; 5) Modelling; 6) Reflection; 7) Authentic Assessment”. Penjelasan dari setiap komponen tersebut diungkapkan dalam materi sebelumnya. Sekarang tinggal bagaimana melaksanakan setiap komponen tersebut dalam bentuk pembelajaran di kelas atau di luar kelas sehingga benar-benar mencerminkan pelaksanaan model CTL sebelum melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan CTL, tentu saja terlebih dahulu guru harus membuat desain/skenario pembelajaran, sebagai pedoman umum dan sekaligus sebagai alat kontrol dalam pelaksanaannya. Menurut Reigeluth (dalam Rusman 2010:192) pada intinya pengembangan setiap komponen CTL tersebut dalam pembelajaran dapat dilakukan melalui langkahlangkah sebagai berikut. 1. Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna, apakah dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang akan dimilikinya. 2. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik diajarkan. 3. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan pertanyaanpertanyaan. 4. Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok berdiskusi, tanya jawab dan lain sebainya. 5. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, model, bahkan media yang sebenarnya. 6. Membiasakan anak untuk melakukan refleksi dari setiap kegiatan pembelajaran yang telah dilakukan. 7. Melakukan penilaian secara objektif, yaitu menilai kemampuan yang sebenarnya pada setiap siswa. 2.4.2 Komponen Pembelajaran Kontekstual
Menurut Elaine, (dalam Rusman, 2011:192) komponen pembelajaran kontekstual meliputi : “(1) menjalin hubungan-hubungan yang bermakna (making meanimful connection) (2) meengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berarti (duing signitifikan work); (3) melakukan proses belajar yang diatur sendiri (self-regulated learning); (4) mengadakan kolaborasi (collaborating); (5) berfikir kritis dan kreatif (critical and creatife thinking); (6) memberikan layanan secara individual (nurturing the individual); (7) mengupayakan pencapaian standar yang tinggi (reaching high standars); (8) menggunakan assessment autentik (using authentic assessment.)”. 2.4.3 Prinsip Pembelajaran Kontekstual Elaine (dalam Rusman 2010:193) “CTL, sebagai suatu model, dalam implementasinya
tentu
saja
memerlukan
perencanaan
pembelajaran
yang
mencerminkan konsep dan prinsip CTL”. Setiap model pembelajaran, disamping memiliki unsur kesamaan, juga ada beberapa berbedaan tertentu. Hal ini karena setiap model memiliki karakteristik khas tertentu, yang tentu saja berimplikasi pada adanya perbedaan tertentu pula dalam membuat desain (skenario) yang disesuaikan dengan model yang akan diterapkan. Ada tujuh prinsip pembelajaran kontekstual yang ahrus dikembangkan oleh guru, yaitu : 1. Kontruktivisme (constructivism) Menurut Elaine (2010:193) “Kontruktivisme merupakan landasan berfikir (filosofi) dalam CTL, yaitu pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas”. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus membangun pengetahuan itu memberi makna melalui pengalaman yang nyata. Batasan kontruktivisme di atas memberikan penekanan bahwa konsep bukanlah tidak
penting sebagai bagian integral dari pengalaman belajar yang harus dimiliki oleh siswa, akan tetapi bagaimana dari setiap konsep atau pengetahuan yang dimiliki siswa itu dapat memberikan pedoman nyata terhadap siswa untuk diaktualisasikan dalam kondisi nyata. Oleh karena itu, dalam CTL strategi untuk membelajarkan siswa menghubungkan setiap konsep dengan kenyataan merupakan unsur yang diutamakan dibandingkan penekanan terhadap seberapa banyak pengetahuan yang harus diingat oleh siswa. Hasil penelitian ditemukan bahwa pemenuhan terhadap kemampuan penguasaan teori berdampak positif untuk jangka pendek, tetapi tidak memberikan sumbangan yang cukup baik dalam waktu jangka panjang. Pengetahuan teoretis yang bersifat hafalan muda lepas dari ingatan seseorang apabila tidak ditunjang dengan pengalaman nyata. Implikasi bagi guru dalam mengembangkan tahap kontruktivisme ini terutama dituntut kemampuan untuk membimbing siswa mendapatkan makna dari setiap konsep yang dipelajarinya. Pembelajaran akan dirasakan memiliki makna apabila secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan pengalaman sehari-hari yang dialami oleh para siswa itu sendiri. Oleh karna itu, setiap guru harus memiliki bekal wawasan yang cukup luas, sehingga dengan wawasannya itu iya selalu dengan muda memberikan ilustrasi, menggunakan sumber belajar, dan media pembelajaran yang dapat merangsang siswa untuk aktif mencari dan melakukan serta menemukan sendiri antara konsep yang dipelajari dengan pengalamannya. Dengan cara itu, pengalaman
belajar siswa akan menfasilitasi kemampuan siswa untuk melakukan transformasi terhadap pemecahan masalah lain yang memiliki sifat keterkaitan, meskipun terjadi pada ruang dan waktu yang berbeda. 2. Menemukan (inquiry) Menurut Elaine (2010:194) “Menemukan merupakan kegiatan inti dari CTL, melalui upaya menemukan akan memberikan penegasan bahwa pengetahuan dan keterampilan serta kemampuan-kemampuan lain yang diperlukan bukan merupakan hasil dari mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi merupakan hasil menemukan sendiri”. Kegiatan pembelajaran yang mengarah pada upaya menemukan, telah lama diperkenalkan pula dalam pembelajaran inquiry and discovery (mencari dan menemukan). Tentu saja unsur menemukan dari kedua pembelajaran (CTL dan inquiry and discovery) secara prinsip tidak banyak perbedaan, intinya sama, yaitu model atau sistem pembelajaran yang membantu siswa baik secara individu maupun kelompok belajar untuk menemukan sendiri sesuai pengalaman masing-masing. Dilihat dari segi kepuasan secara emosional, sesuatu hasil menemukan sendiri nilai kepuasan lebih tinggi dibandingkan dengan hasil pemberian. Beranjak dari logika yang cukup sederhana itu tampaknya akan memiliki hubungan yang erat bila dikaitkan dengan pendekatan pembelajaran. Dimana hasil pembelajaran merupakan hasil dan kreativitas siswa sendiri, akan bersifat lebih tahan lama diingat oleh siswa bila dibandingkan dengan sepenuhnya merupakan pemberian dari guru. Untuk menumbuhkan kebiasaan siswa secara kreatif agar bisa menemukan pengalaman belajarnya sendiri, berimplikasi pada strategi yang dikembangkan oleh guru. 3. Bertanya (Questioning )
Menurut Elaine (2010:194) “Unsur lain yang menjadi karakteristik utama CTL adalah kemampuan dan kebiasaan untuk bertanya”. Pengetahuan yang dimiliki seseorang selalu bermula dari bertanya. Oleh karena itu, bertanya merupakan strategi utama dalam CTL. Penerapan unsur bertanya dalam CTL harus difasilitasi oleh guru, kebiasaan siswa untuk bertanya atau kemampuan guru dalam menggunakan pertanyaan yang baik akan mendorong pada peningkatan kualitas dan produktifitas pembelajaran. Seperti pada tahapan sebelumnya, berkembangnya kemampuan dan keinginan untuk bertanya, sangat di pengaruhi oleh suasana yang dikembangkan oleh guru. Dalam implementasi CTL, pertanyaan yang diajukan oleh guru atau siswa harus dijadikan alat atau pendekatan untuk menggali informasi atau sumber belajar yang ada kaitanya dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, tugas bagi guru adalah membimbing siswa melalui pertanyaan yang diajukan untuk mencari dan menemukan kaitan antara konsep yang dipelajari dalam kaitan dengan kehidupan nyata. Oleh karena itu, cukup beralasan jika dengan pengembangan bertanya produktifitas pembelajaran akan lebih tinggi karena dengan bertanya, maka : (1) Dapat menggali informasi, baik administrasi maupun akademik; (2) Mengecek pemahaman siswa; (3) Membangkitkan respons siswa; (4) Mengetahui sejaumana keingin tahuan siswa; (5) Mengetahui hal-hal yang diketahui siswa; (6) menfokuskan perhatian siswa; (7) membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa; (8) menyegarkan kembali pengetahuan yang telah dimiliki siswa. Elaine (2010:193) 4. Masyarakat Belajar (Learning komunity) Menurut Elaine (2010:193) “Maksud dari masyarakat belajar adalah membiasakan siswa untuk melakukan kerjasama dan memanfaatkan sumber belajar
dari teman-teman belajarnya”. Seperti yang disarankan dalam learning comunity, bahwa hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama dari orang lain melalui berbagai pengalaman (sharing). Melalui sharing ini anak dibiasakan untuk saling memberi dan menerima, sisfat ketergantungan positif dalam learning comunity dikembangkan. Manusia diciptakan sebagai mahluk individu sekaligus sebagai mahluk sosial. Hal ini berimplikasi pada saatnya seseorang bekerja sendiri untuk mencapai tujuan yang diharapkan, namun disisi lain tidak bisa melepaskan diri dari ketergantungan dari pihak lain. Penerapan learning comunity dalam pembelajaran di kelas akan banyak bergantung pada model komunikasi pembelajaran yang dikembangkan oleh guru. Dimana dituntut keterampilan dan profesionalisme guru untuk mengembangkan komunikasi banyak arah (interaksi) yaitu model komunikasi yang bukan hanya hubungan antara guru dan siswa atau sebaliknya, akan tetapi secara luas dibuka jalur hubungan komunikasi pembelajaran antara siswa dan siswa lain. Kebiasaan penerapan dan mengembangkan masyarakat belajar dalam CTL sangat dimungkinkan dan dibuka dengan luas memanfaatkan masyarakat belajar lain di luar kelas. Setiap siswa semestinya dibimbing dan diarahkan untuk mengembangkan rasa ingin tahunya melalui pemanfaatan sumber belajar secara luas yang tidak hanya disekat oleh masyarakat belajar di dalam kelas, akan tetapi sumber manusia lain di luar kelas (keluarga dan masyarakat). Ketika kita dan siswa dibiasakan untuk memberikan pengalaman yang luas kepada orang lain, maka saat itu pula kita atau siswa akan mendapatkan pengalaman yang lebih banyak dari komunitas lain.
5. Pemodelan (modelling) Menurut Elaine (2010:196) “Perkembangan ilmu dan teknologi, rumitnya permasalahan hidup yang dihadapi serta tuntutan siswa yang semakin berkembang dan beranekaragam, telah berdampak pada kemampuan guru yang memiliki kemampuan lengkap, dan ini yang sulit dipenuhi”. Oleh karena itu, maka kini guru bukan lagi satu-satunya sumber belajar bagi siswa, karena dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang dimiliki oleh guru akan mengalami hambatan untuk memberikan pelayanan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan siswa yang cukup heterogen. Oleh karena itu, tahap pembuatan model dapat dijadikan alternatif untuk mengembangan pembelajaran agar siswa bisa memenuhi harapan siswa secara menyeluruh, dan membantu mengatasi keterbatasan yang dimiliki oleh para guru. 6. Refleksi (reflection) Menurut Elaine (2010:197) “Refleksi adalah cara berpikir tentang apa yang baru terjadi atau apa yang baru dipelajari”. Dengan kata lain refleksi adalah berfikir kebelakang tentang apa yang suda dilakukan dimasa lalu, siswa mengendapkan apa yang baru dipelajarinya sebagai struktur pengetahuan yang baru yang merupakan pengayaan atau refisi dari pengetahuan sebelumnya. Pada saat refleksi, siswa diberi kesempatan untuk mencerna, menimbang, membandingkan, menghayati dan melakukan diskusi dengan dirinya sendiri (learning to be). Pengetahuan yang bermakna diperoleh dari suatu proses yang bermakna pula, yaitu melalui penerimaan, pengolahan dan pengendapan, untuk kemudian dijadikan sandaran dalam menanggapi terhadap gejala yang muncul kemudian. Melalui model
CTL, pengalaman belajar bukan hanya terjadi dan dimiliki ketika seseorang siswa berada di dalam kelas, akan tetapi jauh lebih penting dari bagai mana membawa pengalaman belajar tersebut keluar dari kelas, yaitu pada saat ia dituntut untuk menanggapi dan memecahkan permasalahan nyata yang dihadapi sehari-hari. Kemampuan untuk mengaplikasikan pengetahuan, sikap, dan keterampilan pada dunia nyata yang dihadapi akan muda diaktualisasikan mana kala pengalaman belajar itu telah terinternalisasi dalam setiap jiwa siswa dan disinilah pentingnya menerapkan unsur refleksi pada setiap kesempatan pembelajaran.
7. Penilaian Sebenarnya (Authentic assesment) Tahap terakhir dari pembelajaran kontekstual adalah melakukan penilaian. Menurut Elaine (2010:197) “Penilain adalah sebagian integral dari pembelajaran memiliki fungsi yang amat menentukan untuk mendapatkan informasi kualitas proses dan hasil pembelajaran melalui penerapan CTL”. Penilaian adalah proses pengumpulan berbagai data dan informasi yang bisa memberikan gambaran atau petunjuk terhadap pengalaman belajar siswa. Dengan terkumpulnya berbagai data dan informasi yang lengkap sebagai perwujudan dari penerapan penilaian, maka akan semakin akurat pula pemahaman guru terhadap proses dan hasil pengalaman belajar setiap siswa. Guru dengan cermat mengetahui kemajuan, kemunduran dan kesulitan siswa dalam belajar, dan dengan itu pula guru akan memiliki kemudahan untuk melakukan
upaya-upaya perbaikan dan penyempurnaan proses bimbingan belajar dalam langka selanjutnya. Mengingat gambaran tentang kemajuan belajar siswa diperlukan disepanjang proses pembelajaran, maka penilaian tidak hanya dilakukan di akhir program pembelajaran, akan tetapi secara integral dilakukan selama proses program pembelajaran itu terjadi. Dengan cara tersebut, guru secara nyata akan mengetahui tingkat kemampuan siswa yang sebenarnya. Depdiknas
(dalam
Rusman
2010:198)
proses
pembelajaran
dengan
menggunakan CTL harus mempertimbangkan karakteristik-karakteristik: 1) Kerja sama; 2) Saling menunjang; 3) Menyenangkan dan tidak membosankan; 4) Belajar dan bergairah; 5) Pembelajaran terintegrasi; 6) Menggunakan berbagai sumber; 7) Siswa aktif; 8) Sharing dengan teman; 9) Dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya siswa (peta-peta, gambar, artikel); 11) Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, tetapi hasil karya siswa, laporan hasil praktikum, karangan siswa, dan lain-lain. Dalam pembelajaran kontekstual, program pembelajaran merupakan rencara kegiatan kelas yang dirancang oleh guru, yaitu dalam bentuk skenario tahap demi tahap tentang apa yang akan dilakukan bersama siswa selama berlangsungnya proses pembelajaran. Dalam program tersebut harus tercermin penerapan dari ketujuh komponen CTL dengan jelas, sehingga setiap guru memiliki persiapan yang utuh mengenai rencana yang akan dilaksanakan dalam membimbing kegiatan belajar mengajar di kelas.
Secara umum, tidak ada perbedaan mendasar antara format program pembelajaran konfensional seperti yang biasa dilakukan oleh guru-guru selama ini. Adapun yang membedakannya, terletak pada penekanannya, dimana pada model konvensional lebih menekankan pada deskripsi tujuan yang akan dicapai (jelas dan operasional), sementara program pembelajaran CTL lebih menekankan pada skenario pembelajaranya, yaitu kegiatan tahap-demi tahap yang dilakukan oleg guru dan siswa dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.
Oleh karena itu,
Elaine (dalam Rusman 2010:199) mengatakan program pembelajaran kontekstual hendaknya: 1. Nyatakan kegiatan utama pembelajarannya, yaitu sebuah pernyataan kegiatan siswa yang merupakan gabungan antara kompetensi dasar, materi pokok, dan indikator pencapaian hasil belajar. 2. Rumuskan dengan jelas tujuan umum pembelajaranya. 3. Uraikan secara terperinci media dan sumber pembelajaran yang akan digunakan untuk mendukung kegiatan pembelajaran yang diharapkan. 4. Rumuskan skenario tahap demi tahap kegiatan yang harus dilakukan siswa dalam melakukan proses pembelajaranya. 5. Rumuskan dan lakukan sistem penilaian dengan menfokuskan pada kemampuan sebenarnya yang dimiliki oleh siswa baik pada saat berlangsungnya (proses) maupun setelah siswa tersebut selesai belajar.
2.4.4 Skenario Pembelajaran Kontekstual Sebelum melaksanakan pembelajaran dengan menggunakan CTL, tentu saja terlebih dahulu guru harus membuat desain (Skenario) pembelajaranya, sebagai pedoman umum dan sekaligus sebagai alat kontrol dalam pelaksanaannya. Menurut Elaine (dalam Rusman 2010:199) pengembangan setiap komponen CTL tersebut dalam pembelajaran dapat dilakukan sebagai berikut.
1. Mengembangkan pemikiran siswa untuk melakukan kegiatan belajar lebih bermakna apakah dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengontruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan baru yang harus dimilikinya. 2. Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiry untuk semua topik yang diajarkan. 3. Mengembangkan sifat ingin tahu siswa melalui memunculkan pertanyaanpertanyaan. 4. Menciptakan masyarakat belajar, seperti melalui kegiatan kelompok berdiskusi, tanya jawab, dan lain sebagainya. 5. Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran, bisa melalui ilustrasi, model, bahkan media yang sebenarnya. 2.4.5
Perbedaan antara pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran konvensional
Perbedaan antara pembelajaran kontekstual dengan pembelajaran konvensional Konteks Pembelajaran Pembelajaran Pembelajaran Kontekstual Konvensional Hakikat Belajar Konten pembelajaran Isi pelajaran terdiri dari selalu dikaitakan dengan konsep dan teori yang kehidupan nyata yang abstrak tanpa diperoleh sehari-hari pertimbangan manfaat pada lingkungan bagi siswa Model pembelajaran Siswa belajar melalui Siswa melakukan kegiatan kelompok kegiatan pembelajaran seperti kerja kelompok, bersifat individual dan bersdiskusi, praktikum komunikasi satu arah, kelompok, saling kegiatan dominan bertukar pikiran, member mencatat, menghafal, dan menerima informasi menerima intruksi guru Kegiatan pembelajaran Siswa ditempatkan Siswa ditemapatkan sebagai subyek sebgai obyek pembelajaran dan pembelajaran yang lebih berusaha menggali serta berperan sebagai menemukan sendiri penerima informasi yang materi pelajaran pasif dan kaku Kebermaknaan belajar Mengutamakan Kemempuan yang kemampuan yang didapat siswa didasarkan pada berdasarkan pada latihanpengalaman yang latihan dan dril yang diperoleh siswa dari terus menerus
kehidupan nyata
Tindakan dan perilaku Menumbuhkan kesadaran siswa diri pada anak didik karena menyadari perilaku itu merugikan dan tidak memberikan manfaat bagi dirinya dan masyarakat Tujuan hasil belajar
Pengetahuan yang dimilikibersifat tentative karena tujuan akhir belajar kepuasan diri
Tindakan dan perilaku individu didasrakan oleh factor luar dirinya, tidak melakukan sesuatu karena takut sangsi, kalaupun melakukan sekedar memperoleh nialai atau ganjaran Pengetahuan yang diperoleh dari hasil pembelajaran bersifat final dan absolute karena bertujuan untuk nilai Purwandari (2010:47)
B. Penelitian Yang Relevan Penelitian yang relevan merupakan penelitian orang lain yang relevan dijadikan titik tolak penelitian kita dalam mencoba melakukan pengulangan, revisi, modivikasi dan sebagainya. Penelitian yang relevan dan selaras dengan judul yang di ambil yaitu “meningkatkan hasil belajar siswa melalui pendekatan Contextual Teaching And Learning di kelas Xc SMA Prasetya Gorontalo” adalah sebagai berikut: 1. Ramlan saleh (2009) dalam penelitiannya yang berjudul meningkatkan hasil belajar peserta didik melalui pendekatan kontekstual pada mata pelajaran IPS di kelas VIII SMP Muhamadiyah Telaga Kabupaten Gorontalo. Hasil penelitian menunjukan konsepsi-konsepsi peserta didik terhadap mata pelajaran IPS meningkat dari siklus ke siklus, yaitu pada siklus I daya serap 80%, rata-rata kelas
VIII pada nilai 6,5 ke atas mencapai 74,2%, sedangkan pada sikus II memperoleh peningkatan hasil belajar siswa di mana daya serap mencapai 94,2%, rata-rata kelas 9,1 dan yang memperoleh nilai 6,5 ke atas 65 %. 2. Hariati
Djunaid
(2009)
dalam
penelitiannya
yang berjudul
penerapan
pembelajaran kontekstual dalam meningkatkan minat belajar siswa pada mata pelajaran Pkn di SMP Negeri 1 Kabila dengan menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual maka minat belajar siswa dapat di tingkatkan. Hal ini terlihat pada peningkatan minat belajar siswa dapat di tingkatkan. Hal ini terlihat pada peningkatan minat belajar siswa yaitu pada siklus I 36,2% menjadi 70,32% pada siklus II. 3. Muhammad Yamin Huwoyon (2010) dalam penelitiannya yang berjudul meningkatkan hasil belajar siswa melalui pendekatan Contextual Teaching and Learning (suatu penelitian pada kelas Xc SMA Prasetya Gorontalo) dapat meningkatkan hasil belajar siswa. Hal ini dapat terlihat pada hasil belajar pada siklus I yaitu 73,08%, sebelum penelitian ketuntasan hanya mencapai 33%. Pada siklus II hasil belajar siswa meningkat dari 73,08% menjadi 96,15%.
C. Kerangka Berpikir Kerangka pemikiran merupakan arahan penalaran untuk dapat sampai pada pemberian jawaban sementara atas masalah yang telah dirumuskan. Untuk mencapai hasil belajar yang optimal landasan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat diuraikan kerangka pemikiran dalam penelitian ini bahwa banyak faktor yang
mempengaruhi keberhasilan proses belajar mengajar, salah satunya adalah model pembelajaran. Dalam penelitian ini peneliti menggunkan pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam kegiatan pembelajarannya. Contextual Teaching and Learning merupakan pendekatan pembelajaran dimana siswa dapat mengkaitkan materi ajar dengan konteks kehidupan nyata, dengan begitu siswa akan memperoleh pengalaman. D. Hipotesis Tindakan Hipotesis tindakan pada penelitian ini dapat dirumuskan bahwa jika dalam pembelajaran geografi digunakan model belajar contextual teaching and Learning, maka akan meningkat hasil belajar siswa kelas X-6 MAN Model Gorontalo.