BAB II LANDASAN TEORI
Dalam Bab ini akan diuraikan mengenai teori-teori yang menjelaskan dan mendukung data penelitian. Diantaranya adalah teori mengenai etnosentrisme, etnis Tionghoa, dan perkawinan campur. Secara skematis uraian dalam Bab ini dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 1. Skema landasan teori penelitian 1. Definisi Etnosentrisme A.ETNOSENTRISME
2. Pembentukan Etnosetrisme 1. Etnis Tionghoa di kota Medan
BAB II LANDASAN TEORI
B. ETNIS TIONGHOA
2.Ajaran yang Dianut Etnis Tionghoa 3. Nilai-Nilai Familiisme
1.Definisi Perkawinan Campur C. PERKAWINAN CAMPUR 2.Alasan Melakukan Perkawinan Campur
18
Universitas Sumatera Utara
II. A. ETNOSENTRISME II. A. 1. Definisi Etnosentrisme Menurut Sumner (dalam Lubis, 1999), manusia pada dasarnya adalah seorang individualistik yang cenderung mengikuti naluri biologi untuk mementingkan diri sendiri, sehingga menghasilkan hubungan di antara manusia yang bersifat antagonistik (pertentangan). Kerjasama antara individu dalam masyarakat umumnya bersifat antagonistic cooperation. Akibatnya manusia mementingkan diri dan kelompoknya sendiri karena menganggap folkways nya lebih baik dari pada orang atau kelompok lain. Lahirlah rasa in group atau we groups yang berlawanan dengan rasa out group yang bermuara pada etnosentrisme. Individu menilai
kelompok lain berdasarkan pada budayanya,
khususnya dalam hal bahasa, perilaku, adat, dan agama. Sikap in group pada umumnya mempunyai faktor simpati dan solidaritas yang tinggi, serta selalu mempunyai perasaan dekat dengan anggota kelompoknya. Sedangkan sikap terhadap out group selalu ditandai dengan antagonisme dan antipati. Perasaan in group dan out group merupakan suatu dasar sikap yang oleh JBAF Mayor Polak disebut sebagai etnosentrisme (Hariyono, 1993). Menurut Harris (1985), etnosentrisme merupakan kecenderungan bahwa individu menganggap kelompoknya lebih baik dibandingkan kelompok lain yang dianggap liar, inhuman, menjijikkan bakan tidak rasional.
19
Universitas Sumatera Utara
Pandangan di atas walaupun dijelaskan secara antropologis tapi cukup menjelaskan adanya in group dan out group. Dari sudut pandang Psikologi Sosial, etnosentrisme dapat dijelaskan oleh beberapa ahli yang akan muncul berikut ini: Menurut Coleman dan Cressey (1984) orang yang berasal dari suatu kelompok etnis cenderung melihat budaya mereka sebagai yang terbaik. Kecenderungan ini disebut sebagai etnosentrisme, yaitu kecenderungan untuk memandang norma dan nilai yang dianut seseorang sebagai hal yang mutlak dan digunakan sebagai standar untuk menilai dan mengukur budaya lain. Zastrow (dalam Lubis, 1999) mengatakan bahwa setiap kelompok etnis memiliki keterikatan etnis yang tinggi melalui etnosentrisme. Etnosentrisme merupakan suatu kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai suatu yang mutlak dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan yang lain. Etnosentrisme membimbing para anggota kelompok untuk memandang kebudayaan mereka sebagai yang terbaik, terunggul daripada kebudayaan lainnya. Etnosentrisme juga menyebabkan prasangka yang memandang kelompok lain sebagai orang barbar, kafir, dan tidak mempunyai peradaban. Levine dan Campbell (dalam Scott, 1998) mendefinisikan etnosentrisme sebagai sikap atau pandangan dimana nilai-nilai yang berasal dari budaya sendiri digunakan untuk menilai budaya lain yang memiliki nilai-nilai yang berbeda. Individu menilai budayanya secara objektif dan secara otomatis menggunakannya untuk memandang budaya lain salah, inferior atau tidak bermoral.
20
Universitas Sumatera Utara
Taylor, Peplau dan Sears (2000) menyatakan bahwa etnosentrisme mengacu pada suatu kepercayaan bahwa in group nya lebih baik atau superior dari pada out group. Hal ini dapat mempengaruhi evaluasi yang dilakukan anggota kelompok tersebut sebagai individu. Hogg (2003) menambahkan bahwa etnosentrisme melibatkan atribusi internal dan eksternal. Individu yang etnosentris akan menilai hal-hal positif pada in group dan hal-hal negatif pada out group secara internal. Sebaliknya, hal-hal negatif pada in group dan hal-hal positif pada out group akan diatribusi secara eksternal. Dari beberapa definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa etnosentrisme adalah kecenderungan untuk memandang norma-norma dan nilai dalam kelompok budayanya sebagai yang terbaik dan digunakan sebagai standar untuk mengukur dan bertindak terhadap semua kebudayaan lain. Etnosentrisme ini melibatkan atribusi internal dan eksternal yang menciptakan jurang pemisah dengan kebudayaan lain, sehingga tidak memungkinkan terjadinya komunikasi dan kontak sosial yang harmonis.
II. A. 2. Pembentukan Etnosentrisme Karena etnosentrisme merupakan salah satu bentuk sikap, maka pembentukan etnosentrisme sama halnya dengan pembentukan sikap. Sikap terbentuk dari adanya interaksi sosial yang dialami oleh individu. Interaksi sosial mengandung arti lebih daripada sekedar kontak sosial dan hubungan antar individu sebagai anggota kelompok sosial. Dalam interaksi sosial, terjadi hubungan saling mempengaruhi di antara individu yang satu dengan yang lain,
21
Universitas Sumatera Utara
terjadi hubungan timbal balik yang turut mempengaruhi pola perilaku individu (Azwar, 1998). Dalam interaksi sosial, individu membentuk pola sikap tertentu terhadap berbagai objek psikologis yang dihadapinya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap menurut Azwar (1998) adalah pengalaman pribadi, kebudayaan, orang lain yang dianggap penting, media massa, institusi atau lembaga pendidikan dan agama, serta faktor emosi dalam diri individu. Menurut Gerungan (1991) faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan dan perubahan sikap ini adalah faktor internal dan eksternal individu. a.
Faktor-faktor internal Pengamatan dalam komunikasi melibatkan proses pilihan di antara seluruh rangsangan objektif yang ada di luar diri individu. Pilihan tersebut berkaitan erat dengan motif-motif yang ada dalam diri individu. Selektivitas pengamatan berlangsung karena individu tidak dapat mengamati semua stimulus yang ada.
b.
Faktor-faktor eksternal Sikap dapat dibentuk dan diubah berdasarkan dua hal, yaitu karena interaksi kelompok dan komunikasi
Gerungan juga menambahkan apabila sikap sudah terbentuk dalam diri manusia, maka hal tersebut menentukan pola tingkah lakunya terhadap objekobjek sikap. Pembentukan sikap ini tidak terjadi dengan sendirinya, namun berlangsung dalam interaksi manusia, yaitu interaksi di dalam kelompok dan di
22
Universitas Sumatera Utara
luar kelompok. Pengaruh dari luar kelompok ini belum cukup untuk merubah sikap sehingga membentuk sikap baru. Salter (2002) menyatakan bahwa seseorang yang tumbuh dalam suatu budaya dan menyerap nilai serta perilaku akan mengembangkan pemikiran berdasarkan budayanya. Individu kemudian akan menilai budaya lain berdasarkan budayanya. Individu yang etnosentris akan melihat budaya lain dari sisi perbedaannya saja. Perbedaan ini dinilai salah olehnya. Walaupun demikian, ada kemungkinan bagi orang yang etnosentris untuk mengadopsi budaya lain dan mengabaikan budayanya. Hal ini terjadi jika budaya lain itu lebih superior dari budayanya. Salter juga menambahkan bahwa etnosentrisme terjadi bila masing-masing budaya bersikukuh dengan identitasnya dan menolak untuk bercampur dengan budaya lain. Etnosentrisme juga terjadi bila kelompok etnis mempunyai ketakutan tertentu dalam hal inferioritas dan superioritas. Inferioritas tidak memungkinkan percampuran kebudayaan karena akan menghilangkan identitas budaya. Biasanya ini dialami oleh suku-suku minoritas, seperti Badui, Samin, dan Tionghoa. Menurut Hariyono (1993) etnosentrisme terbentuk melalui proses sosialisasi dan internalisasi yang diajarkan pada anggota suatu kelompok sosial bersama dengan nilai-nilai kebudayaannya, baik sadar maupun tidak sadar. Keluarga merupakan tempat sosialisasi anak pertama kali yang akan memudahkan anak untuk menerima nilai-nilai yang diterima dari orang tuanya. Terlebih lagi kalau ajaran tersebut menyangkut tentang kedudukan setiap anggota keluarga, seperti ajaran Konfusius, sehingga memungkinkan social control yang kuat dalam
23
Universitas Sumatera Utara
menginternalisasi nilai-nilai kepada anak. Pada tingkat kelompok, kuatnya nilainilai kekeluargaan pada etnis Tionghoa menyebabkan ia mempunyai identifikasi yang kuat untuk menyebut dirinya sebagai suatu kelompok sosial tertentu (in group). Sebagai bangsa yang dulu pernah mengalami masa peradaban yang tinggi, etnis Tionghoa akan mengukur dan membandingkan etnis lain dengan menggunakan perangkat nilai-nilai kebudayaannya sendiri. Adanya anggapan bahwa orang Tionghoa terkenal dengan sifatnya yang rajin, ulet, tekun dan terampil terutama dalam bidang industri dan perdagangan juga dapat menumbuhkan in group feeling yang kuat yang akan menimbulkan etnosentrisme. Etnosentrisme ini akan membuat jurang pemisah dengan bangsa (kelompok) lain, sehingga tidak memungkinkan terjadinya komunikasi dan kontak sosial yang harmonis. Dalam pergaulan mereka akan menampakkan diri dalam kehidupan yang eksklusif, antara lain hidup dan bertempat tinggal secara berkelompok dengan sesama etnis. Keeksklusivan yang mengarah pada etnosentrisme tampak dalam berbagai aspek kehidupan. Menurut Siswono Judo Husudo (dalam Tarmizi, 1997) etnosentrisme pada etnis Tionghoa tampak dalam beberapa hal yaitu: 1.
Banyak etnis Tionghoa yang masih tinggal secara eksklusif dalam suatu wilayah tertentu.
2.
Cenderung memprioritaskan etnis Tionghoa dalam merekrut tenaga kerja
3.
Membeda-bedakan etnis Tionghoa dengan penduduk pribumi dalam masalah bisnis
24
Universitas Sumatera Utara
4.
Tidak menunjukkan solidaritas dan kebersamaan sosial dengan penduduk pribumi dalam bertetangga
5.
Sebagian dari etnis Tionghoa belum bersedia mengembangkan rasa identitas nasional secara utuh
6.
Masih ada yang menggunakan bahasa Tionghoa dalam percakapan sehari-hari dan masih memegang adat istiadat serta tradisi nenek moyang, tidak berusaha untuk menguasai bahasa Indonesia dengan benar.
7.
Masih ada di antara mereka yang merasa lebih unggul dibandingkan dengan kelompok etnis yang lain dalam masyarakat
II. B. ETNIS TIONGHOA II. B. 1. Etnis Tionghoa di Kota Medan Etnis Tionghoa di Indonesia berperan penting dalam perjalanan sejarah Indonesia jauh sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Sejak berdirinya Partai Tionghoa Indonesia, beberapa orang Tionghoa seperti Kho Sien Hoo bergabung dengan gerakan kemerdekaan. Setelah Negara Indonesia terbentuk, maka secara otomatis etnis Tonghoa yang berkewarganegaraan Indonesia haruslah digolongkan menjadi salah satu suku dalam lingkup Indonesia dan sejajar dengan suku-suku lain (dalam Liem, 2000). Di kota Medan keberadaan etnis Tionghoa dimulai pada abad ke-15, ketika armada perdagangan Cina datang mengunjungi pelabuhan Sumatera Timur untuk melakukan hubungan dagang. Hubungan ini berlangsung dalam waktu yang cukup lama, sehingga sebagian pedagang tersebut ada yang menetap di Sumatera Timur. Anderson, sebagai utusan pemerintah kolonial Belanda (tahun 1823) di
25
Universitas Sumatera Utara
wilayah ini melaporkan bahwa pada saat itu jumlah orang Tionghoa di Sumatera Timur sedikit sekali. Tetapi, pada tahun 1876 Resden Belanda melaporkan bahwa dalam waktu 53 tahun, seluruh perdagangan talah dikuasai mereka (Pelly, dalam Lubis, 1995) Pelly juga menambahkan bahwa jumlah etnis ini kemudian bertambah ketika Belanda mendatangkan tenaga kerja dari negeri Cina karena merasa tidak cocok dengan pribumi. Tahun 1879, tercatat Belanda berhasil mendatangkan4.000 kuli dari Cina dan meningkat menjadi 18.352 orang pada tahun 1888. Setelah kontrak kerjanya habis, para buruh ini kemudian bermukim di kota-kota, dan akhirnya bekerja sebagai pedagang, pemilik toko, petani kecil, nelayan dan penjual barang bekas. Para etnis Tionghoa yang ada di kawasan pantai Timur Sumatera ini terdiri dari beberapa kelompok, yaitu: 1. Kelompok Puntis atau Kanton Kelompok ini berasal dari propinsi Kwantung. Sebagian besar bekerja sebagai tukang besi, perabot (furniture), jahit dan tekstil. 2. Kelompok Hakka dan Khe Sebagian besar dari kelompok ini bekerja sebagai pengusaha toko, pedagang rotan dan tukang kaleng. 3. Kelompok Hoekloe Kelompok ini terdiri dari suku Teochinu dan Hailhokhong. Sebagian besar bekerja sebagai kuli bangunan.
26
Universitas Sumatera Utara
4. Kelompok Hailam Sebagian besar bekerja sebagai pembantu rumah tangga dan tukang masak. 5. Kelompok Amoy dan Hokkian Di tanah Deli maupun Jawa kelompok ini terkenal sebagai pedagang. 6. Kelompok suku yang lebih kecil yang berasal dari propinsi Luitsiu dan Koatsiu Biasanya mereka disebut sebagai orang Luichius dan Caochow serta Hock. Sebagian besar mereka adalah orang-orang miskin di Belawan dan Bagan Siapi-api. Lubis (1995) menyatakan bahwa banyak orang mengatakan bahwa etnis Tionghoa Medan memiliki karakteristik yang berbeda dengan etnis Tionghoa lain yang ada di Indonesia. Misalnya saja dalam hal bahasa. Dari penelitian yang dilakukannya, Lubis menemukan bahwa etnis Tionghoa Medan cenderung lebih sering menggunakan bahasa Tionghoa ketika berkomunikasi baik di dalam rumah maupun di luar rumah. Dari penelitian yang dilakukan oleh Chandra Sukma Dewi (dalam Lubis, 1995) diperoleh hasil bahwa dominannya penggunaan bahasa Tionghoa disebabkan
karena kurangnya interaksi dengan pribumi, masih menganggap
Indonesia sebagai tempat perantauan, dan masih kuatnya orientasi terhadap negeri leluhur. Lubis menambahkan bahwa kecenderungan penggunaan bahasa Tionghoa oleh sesama etnis Tionghoa dimanapun mereka berada adalah untuk memperlancar usaha (bisnis) mereka, karena hampir seluruh komunikasi bisnis
27
Universitas Sumatera Utara
diantara mereka menggunakan bahasa Tionghoa. Keadaan ini jauh berbeda dengan etnis Tionghoa di kota lain di Indonesia, seperti Bandung, Yogyakarta, Padang, dan lain-lain yang pada umumnya telah menggunakan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar sehari-hari dalam berkomunikasi baik dengan sesama etnis Tionghoa maupun dengan etnis setempat.
II. B. 2. Ajaran yang Dianut Etnis Tionghoa Kebudayaan dan kehidupan suatu masyarakat banyak dipengaruhi oleh sistem kepercayaannya. Kepercayaan yang dianut etnis Tionghoa adalah Budha, Taoisme, dan Konfusionisme. Menurut Nio Joe Lan (dalam Lubis, 1999) ketiga kepercayaan ini biasanya dipuja bersama dalam perkumpulan Sam Kauw Hwee (Perkumpulan Tiga Agama atau Budha Tri Dharma). Biasanya dalam kepercayaan itu ditambah pula dengan kepercayaan dan pemujaan kepada orang-orang suci yang dianggap Dewa atau Dewi. Diantara tiga ajaran di atas, yang paling berpengaruh pada kehidupan etnis Tionghoa adalah ajaran Konfusianisme. Hal ini dapat dipahami karena di negeri asalnya (Tiongkok) ajaran ini telah dianut selama lebih dari dua abad atau dua ribu tahun lamanya dan telah menjadi tradisi yang sengaja dicipta dan dicitacitakan oleh Konfusius untuk membangun negerinya. Selama Dinasti Han (205 SM-220 SM) ajaran Konfusius telah menjadi ajaran agama negara. Pada dasarnya Konfusius mengajarkan tentang moralitas yang harus dimiliki oleh setiap orang. Kunci ini dipakai Konfusius untuk mengatur hubungan antar manusia dalam hidup bermasyarakat. Konfusius ingin menciptakan suatu tradisi yang baik, sehingga orang yang mengikuti tradisi ini akan dapat hidup dengan lebih baik.
28
Universitas Sumatera Utara
Dari sinilah Konfusius beranggapan bahwa orang yang ”liar” akan menjadi beradab apabila ia mengikuti tradisi yang diciptakannya. Bangsa yang ”liar” akan menjadi beradab apabila telah menganut ajarannya. Semua bangsa di luar Cina yang belum menganut ajarannya dianggap sebagai bangsa yang liar. Oleh karena itu, Cina yang sudah menganut ajarannya adalah bangsa yang beradab. Dari sinilah muncul anggapan bahwa sebagai bangsa yang beradab, melahirkan rasa superior pada bangsa Cina. Sedangkan bangsa yang belum beradab adalah bangsa yang inferior. Anggapan ini muncul demikian ekstrim karena keyakinannya yang begitu kuat bahwa tradisi yang diciptakannya adalah sangat sempurna, sehingga orang yang mengkuti ajarannya akan sempurna pula (Hariyono, 1993; Lubis; 1999).
II. B. 3. Nilai-Nilai Kekeluargaan Etnis Tionghoa (Familiisme) Menurut Hariyono (1993) nilai-nilai kekeluargaan dalam etnis Tionghoa sangat dipengaruhi oleh ajaran Konfusianisme. Konfusianisme mengajarkan agar segala sesuatu dilakukan dan ditujukan pada kepentingan keluarga baik nuclear family (keluarga inti) maupun extended family. Ada kalanya extended family berperan sebagai social control terhadap nilai-nilai yang dijalankan oleh keluarga inti. Nilai-nilai ini berkaitan dengan nilai tentang rasa hormat, etos kerja, perkawinan, nilai-nilai pemujaan (kepada leluhur), sebutan kekeluargaan dan penggunaan nama keluarga. Secara umum, nilai-nilai ini terbagi atas: 1. Seorang anak harus berbakti kepada orang tua (Hao) Dalam keluarga Tionghoa, ayah mempunyai peranan dan kekuasaan yang besar. Selain sebagai pemimpin keluarga, ia juga menjadi
29
Universitas Sumatera Utara
pemimpin dalam upacara pemujaan pada leluhurnya. Semua anggota keluarga harus menghormatinya. Ayah berhak merendahkan bahkan mengusir bahkan mengucilkan anak yang tidak menghormatinya. Konfusius mengajarkan bahwa setiap anak harus menunjukkan rasa baktinya kepada orang tua dengan berbagai macam cara. Apabila orang tuanya masih ada, ia harus dapat merawat dan menyenangkannya. Apabila mereka telah tiada, ia harus melakukan pemujaan sebagai rasa baktinya. Segala hal yang dilakukan untuk menyenangkan dan merawat mereka tentunya memerlukan banyak biaya. Untuk itu si anak diwajibkan untuk bekerja keras, seperti kutipan perkataan Konfusius berikut (dalam Hariyono, 2003): ”Meskipun ayah dan ibumu telah meninggal dunia, tetapi kalau kamu dapat bekerja dengan baik, hal ini akan mengharumkan nama baik kedua orang tuamu, dan segala cita-citamu dapat tercapai. Sebaliknya, bila kamu tidak bekerja dengan baik, maka akan memberi aib bagi kedua orang tuamu, dan kamu tidak akan mencapai cita-citamu.” Oleh Konfusius ajaran ini disebut sebagai sebagai `hubungan segitiga`, yaitu hubungan antara Konfusianisme, keluarga, dan kerja. Hubungan ini mempunyai kaitan erat satu sama lainnya yang dapat digambarkan sebagai berikut: Gambar 2. Hubungan segitiga dalam ajaran Konfusianisme Konfusius
Keluarga
Kerja
30
Universitas Sumatera Utara
Secara umum ada lima cara yang menunjukkan rasa bakti anak kepada orang tuanya: a. Harus menunjukkan rasa hormat pada orang tua b. Harus menyenangkan orang tua c. Merasa cemas ketika orang tua sakit d. Menunjukkan rasa duka cita mendalam ketika berkabung e. Penyelengarakan suatu upacara harus meriah. 2. Pemujaan kepada leluhur Pemujaan terhadap leluhur merupakan tindak lanjut dari rasa hormat anak pada orang tua. Pemujaan ini dapat dilakukan dalam bentuk upacara tradisional dengan cara menyembahyangi abu leluhur yang biasanya diwariskan pada anak sulung laki-laki. Biasanya upacara ini dilaksanakan pada saat Imlek (tahun baru Cina), Ceng Beng (ziarah ke makam
leluhur),
Cit
Gwee
(sembahyang
arwah
yang
tidak
disembahyangkan keluarganya) dan hari-hari lainnya. 3. Nama keluarga Penggunaan nama keluarga (marga) akan menimbulkan rasa in group feeling yang kuat antara sesama anggota keluarga, karena memberikan identitas tersendiri sebagai bagian dari suatu kelompok. 4. Sebutan kekeluargaan Sebutan kekeluargaan pada etnis Tionghoa juga menimbulkan in group feeling yang kuat antara sesama anggota keluarga
31
Universitas Sumatera Utara
II. C. PERKAWINAN CAMPUR II. C. 1. Definisi Perkawinan Campur Kebudayaan merupakan sistem aturan-aturan yang dinamis, dibentuk oleh kelompok untuk menjamin keberlangsungan hidup, meliputi sikap, nilai, keyakinan, norma, dan perilaku. Kebudayaan dikomunikasikan antar generasi, relatif stabil, namun berpotensi untuk berubah (Matsumoto & Juang, 2004). Koentjaraningrat (1983) menyatakan bahwa ada tujuh unsur yang terdapat dalam kebudayaan, yaitu: 1. Sistem religi dan upacara keagamaan 2. Sistem dan organisasi kemasyarakatan 3. Sistem pengetahuan 4. Bahasa 5. Kesenian 6. Sistem mata pencarian hidup 7. Sistem teknologi dan peralatan Menurut Hogg (2003) kebudayaan muncul dan dipertahankan melalui interaksi manusia. Kelompok budaya tidak hidup dalam suatu isolasi, namun melakukan kontak dengan orang lain. Ketika seseorang bertemu dengan budaya lain, tidak mungkin baginya untuk menghindari kontak. Dalam kontak terjadi proses pembelajaran mengenai budaya lain yang disebut dengan akulturasi. Kontak yang terjadi akan menghasilkan perubahan dalam pemikiran dan perilaku individu.
32
Universitas Sumatera Utara
Menurut Redfield (dalam Berry, dkk., 2006) akulturasi merupakan suatu fenomena yang muncul ketika kelompok individu yang berbeda budaya melakukan kontak yang mengakibatkan perubahan pada budaya asal salah satu kelompok atau keduanya. Ada empat cara atau strategi yang dapat dilakukan individu dalam proses akulturasi (Berry 2006; Hogg, 2003), yaitu: 1.
Asimilasi: ketika seseorang tidak mempertahankan identitas budayanya atau home culture (HC) tetapi mengambil budaya lain atau dominant culture (DC).
2.
Integrasi: terjadi ketika individu mempertahankan budayanya (HC) dan pada saat yang sama tetap menjalin hubungan dengan budaya lain (DC).
3.
Separatis: terjadi ketika individu mempertahankan budayanya (HC) dan menolak budaya lain (DC).
4.
Marginal:
terjadi
ketika
hanya
sedikit
kemungkinan
untuk
mempertahankan budaya sendiri (HC) dan gagal menjalin hubungan dengan budaya lain (DC). Menurut Hogg (2003) selain
menjadi pengalaman berharga dan
mengkibatkan perubahan yang bermanfaat, kontak interkultural juga dapat menimbulkan ancaman bahkan kebencian yang mengarah kepada konflik atau disebut dengan istilah stress acculturation. Berry (2006) mengatakan bawa stress acculturation menimbulkan kecemasan, depresi bahkan psikopatologi. Berry juga menambahkan bahwa dengan adaptasi secara psikologis dan sosiokultural maka hubungan antara golongan budaya yang berbeda dapat berlangsung dengan baik.
33
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal ini individu yang mengalami stress akulturasi dianggap memiliki potensi untuk menghadapi stressor dalam kehidupannya dan mampu beradaptasi. Proses akulturasi di atas juga dapat terjadi dalam perkawinan campur (perkawinan antara dua individu yang berasal dari etnis yang berbeda). Menurut Cohen (dalam Hariyono, 1993) perkawinan campur merupakan perkawinan yang terjadi antara individu dari kelompok etnis yang berbeda yang dikenal dengan istilah amalgamation. Menurut Sunarto (2004) dalam hubungan perkawinan berlaku aturan eksogami dan endogami. Eksogami merupakan sistem yang melarang perkawinan dengan anggota kelompok, sedangkan endogami merupakan sistem yang mewajibkan perkawinan dengan anggota kelompok. Dengan demikian perkawinan campur yang terjadi antara pasangan yang berasal dari latar belakang budaya yang berbeda tergolong ke dalam perkawinan eksogami. Proses penyesuaian antara pasangan yang melakukan perkawinan campur dapat disebut sebagai proses akulturasi. Secara skematis proses ini dapat digambarkan sebagai berikut:
34
Universitas Sumatera Utara
Gambar 3: Skema proses akulturasi dalam perkawinan campur Culture A Psychological Acculturation c o n t a c t
Individual in culture A & B
Cultural changes (A & B)
Behavioral Changes
Adaptation Psychological & Sociocultural
Individual in culture A & B
Acculturative stress
Culture B -Integrasi
- Separatis
-Assimilasi
-Marginal
Berry (2006) menyebutkan bahwa proses akulturasi ini sendiri juga di pengaruhi oleh faktor-faktor yang ada sebelum dan selama terjadinya akulturasi. Faktor-faktor ini adalah usia, jenis kelamin, lingkungan, religion, serta dukungan sosial. Dalam penelitian ini proses tersebut akan digambarkan dalam bentuk skema berikut:
35
Universitas Sumatera Utara
Gambar 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses akulturasi dalam perkawinan campur
E T N O S E N T R I S M E
SEBELUM AKULTURASI Usia, religion, pendidikan, lingkungan
ADAPTASI Psikologikal & Sosiokultural
STRESSOR ↓ stress
AKULTURASI
SELAMA AKULTURASI Kontak, Lingkungan, religion, dukungan sosial
-
Integrasi Assimilasi Separatis Marginal
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perkawinan campur adalah bersatunya jiwa, kepribadian, sifat dan perilaku dua insan berlawanan jenis yang berbeda etnis/latar belakang budaya untuk disyahkan secara resmi sebagai pasangan suami istri. Dalam perkawinan campur ini terjadi proses akulturasi budaya antara pasangan yang mungkin menimbulkan konflik (stres akulturasi). Melalui adaptasi secara psikologis dan sosiokultural segala hal yang berkaitan dengan pasangannya serta latar belakang yang berbeda dapat diterima untuk menjalani rumah tangga bersama-sama.
36
Universitas Sumatera Utara
II. C. 2. Alasan Melakukan Perkawinan Campur Kartini Kartono (1992) menyebutkan beberapa motivasi dan alasan seseorang melakukan perkawinan: 1. Distimulir oleh dorongan-dorongan romantik 2. Keinginan untuk memperoleh kemewahan hidup 3. Ambisi untuk mencapai status sosial yang lebih baik 4. Keinginan untuk memperoleh kepuasan seks dari pasangan 5. Keinginan untuk lepas dari kungkungan orang tua 6. Keinginan untuk memiliki anak 7. Keinginan untuk mengabadikan nama leluhur Porterfield (dalam Jeter dan Kris, 1982) menyebutkan ada enam alasan seseorang melakukan perkawinan campur: 1.
Seseorang mungkin melakukan perkawinan campur dengan alasan idealisme
2.
Seseorang bersifat kosmopolitan atau memilih teman secara personal bukan alasan budaya.
3.
Seseorang melakukan perkawinan campur untuk menentang otoritas orang tua baik secara sadar ataupun tidak sadar.
4.
Seseorang
melakukan
perkawinan
campur
karena
tertarik
secara
psikoseksual
37
Universitas Sumatera Utara
Hyt Sze (dalam Martin & Nakayama, 2000) menyatakan bahwa secara natural, perkawinan campur dilakukan atas dasar cinta. Profesor Char (dalam Jeter dan Kris, 1982) menyatakan alasan atau motif seseorang melakukan perkawinan campur adalah: 1. Karena nilai cinta. Cinta adalah ikatan yang sehat antara dua orang walaupun berbeda secara kultural. 2. Jiwa petualang seseorang yang ingin tampil beda dan menyukai sesuatu yang baru seperti halnya kepribadian pada pasangan dalam perkawinan campur. Kebutuhan ini dapat disebabkan oleh narsistik atau tujuan untuk mendapat perhatian 3. Alasan praktis, seperti untuk meningkatkan status sosial atau kekayaan 4. Ekspresi kepuasan dan ketidakpuasan orang tua tentang perkawinan menjadi motif melakukan perkawinan dengan tujuan melakukan pemberontakan 5. Alasan idealisme untuk melakukan perkawinan campur
38
Universitas Sumatera Utara