BAB II LANDASAN TEORI
2.1. Pengertian Qardhul Hasan Dalam buku yang berjudul konsep perbankan syariah karya Moh. Rifai menyatakan bahwa Qadhul Hasan adalah pemberian pinjaman harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain meminjam tanpa mengharapkan imbalan. Inilah yang disebut Qardhul Hasan atau akad tathawwul (akad yang disunahkan), akad yang saling membantu dan bukan
transaksi
komersial.
Pinjaman
dapat
diberikan
untuk
tujuan
kesejahteraan seperti pendidikan, pengusaha kecil dan kebutuhan darurat lainnya. 1 Dalam buku yang berjudul Pengantar Akuntansi Syariah edisi 2 karya Muhammad menyatakan bahwa Qardhul Hasan yaitu pinjaman tanpa imbalan yang memungkinkan pinjaman untuk menggunakan dana tersebut selama jangka waktu tertentu dan mengembalikan dalam jumlah yang sama pada akhir periode yang disepakati. Jika peminjam mengalami kerugian bukan karena kelalaiannya, maka kerugian tersebut dapat mengurangi jumlah pinjaman. Pelaporan Qardhul Hasan disajikan tersendiri dalam laporan sumber dan penggunaan dana Qardhul Hasan karena dana tersebut bukan aset bank yang bersangkutan.2
1
DR. H. Moh. Rifai, Konsep Perbankan Syariah, (Semarang: CV. Wicaksana, 2002), h.91 Drs. Muhammad, M.Ag. Pengantar Akuntansi Syariah edisi 2, (Jakarta: Salemba Empat, 2005), h.226 2
25
26
Dalam buku yang berjudul pasar finansial dan lembaga-lembaga finansial karya Herman Darmawi menyatakan bahwa Al-Qardhul Hasan yaitu suatu produk perbankan syariah dimana bank menyediakan fasilitas dana kepada nasabah tanpa mengharapkan imbalan dari nasabah. Fasilitas ini biasanya diberikan kepada nasabah yang betul-betul membutuhkan dan berhak menerimanya. 3 Dalam buku yang berjudul apa dan bagaimana bank Islam karya Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio menyatakan bahwa pembiayaan Qardhul Hasan adalah perjanjian pembiayaan antara bank dengan nasabah yang dianggap layak menerima yang diprioritaskan bagi pengusaha kecil pemula yang potensial. Akan tetapi tidak mempunyai modal apapun selain kemampuan berusaha serta perorangan lainnya yang berada dalam keadaan terdesak dimana penerima kredit hanya diwajibkan mengembalikan pokok pinjaman pada waktu jumlah tempo dan bank membebani nasabah atas biaya administrasi. 4
2.2. Landasan Syariah 1.
Al-Qur’an QS. Al-Hadid ayat 11
3
Drs. Dawmawi, Pasar Finansial dan Lembaga-lembaga Finansial, cet.I, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), h.86 4 Karnaen Perwataatmadja dan Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1992), h.106
27
Artinya : “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Maka Allah akan melipat-gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” 2. Al-Hadits
ض َم َس ًّما ُ يُ ْق ِر
ٍ صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم قَ َال َما ِمن ُم ْسلِ ٍم َّ َِع ِن بْ ِن َم ْس ُع ْود اَ َّن الن َ َِّب ِ ًص َد قَتِ َها َمَّرة ً قَ ْر َ ض َامَّرتَِِي االَّ َكا َن َك
Artinya : “Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa Nabi SAW bersabda: bukan seorang muslim yang meminjamkan mulim (lainnya) dua kali kecuali yang satunya adalah (senilai) sedekah” (HR. Ibnu Majjah) 3. Ijma’ Para ulama telah menyepakati bahwa Qardhul Hasan boleh dilakukan. Kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak ada seorang pun yang memiliki segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam meminjam sudah menjadi satu bagian dari kehidupan di dunia ini. Islam adalah agama yang sangat memperhatikan segala kebutuhan umatnya. 5 4.
Fatwa DSN Fatwa Nomor 19/DSN-MUI/IV/2001 tentang Al Qardh merupakan satu-satunya fatwa DSN yang mengatur tentang Qardh dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
5
Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah: dan Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h.132-133
28
A. Ketentuan Umum Al Qardh 1) Al Qardh adalah pinjaman yang diberikan kepada nasabah (muqtaridh) yang memerlukan 2) Nasabah Al Qardh wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima pada waktu yang telah disepakati bersama 3) Biaya administrasi dibebankan kepada nasabah 4) LKS dapat meminta jaminan kepada nasabah bilamana dipandang perlu 5) Nasbah Al Qardh dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela kepada LKS selama tidak diperjanjikan dalam akad. 6) Jika nasabah tidak dapat mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya pada saat yang telah disepakati dan LKS telah memastikan ketidakmampuannya, LKS dapat: a) Memperpanjang jangka waktu pengembalian, atau b) Menghapus (writte of) sebagian atau seluruh kewajibannya. B. Sanksi 1) Dalam
hal
nasabah
tidak
menunjukkan
keinginan
mengembalikan sebagian atau seluruh kewajibannya dan bukan karena ketidakmampuannya, LKS dapat menjatuhkan sanksi kepada nasabah
29
2) Sanksi yang dijatuhkan kepada nasabah sebagaimana dimaksud butir 1 dapat berupa dan tidak terbatas pada penjualan barang jaminan 3) Jika barang jaminan tidak mencukupi, nasabah tetap harus memenuhi kewajibannya secara penuh. C. Sumber Dana Dana Al – Qardh dapat bersumber dari : a) Bagian modal LKS b) Keuntungan LKS yang disisihkan c) Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya kepda LKS.6 5. Kaidah fiqih Bunyi dari kaidah fiqh yang memperbolehkan adanya akad pinjaman Qardhul Hasan, yaitu: Pada dasarnya semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang melarangnya. 7 Maksudnya bahwa Allah SWT tidak melarang manusia melakukan segala bentuk transaksi dengan manusia yang lain selama belum ada larangan dari Nya yang tertuang dalam al-Qur’an, Hadits Nabi SAW dan ijma’.
6 7
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI, cet.3 (Jakarta: CV. Gema Persada, 1999), h.42
30
2.3. Rukun Pembiayaan Qardhul Hasan 1) Rukun pembiayaan Qardhul Hasan : a. Pelaku akad yakni muqtaridh (peminjam) pihak yang membutuhkan dana dan muqridh (pemberi pinjaman) pihak yang memiliki dana b. Obyek akad yaitu qarah (dana) c. Tujuan yaitu iwad atau countervalue berupa pinjaman tanpa imbalan (pinjam Rp. X,- , dikembalikan Rp. X,-) d. Sighat yakni ijab dan qabul. 8 2) Syarat pembiayaan Qardhul Hasan : a. Syarat Muqtaridh dan mugrid (pihak-pihak yang mengadakan akad Qardhul Hasan harus memiliki kecakapan bertindak hukum, dapat membedakan apa yang baik dan buruk, berakal sehat dan sudah berusia dewasa (baligh) sehingga mengerti akan maksud dan tujuan dari perbuatan yang dilakukan.9 b. Syarat ijab dab qobul (sighat), merupakan suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad ijab adalah permulaan penjelasan yang keluar dan salah seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan akad. Adapun ketentuan syariah Ijab Qabul, yakni : - Janganlah akad Qardhul Hasan itu akad yang dilarang syara’ artinya pembiayaan Qardhul Hasan harus sesuai dengan syariah
8 9
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), h. 48 Helmi Karim, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT. Grafindo Persada), 1997. h 34
31
Islam yang tidak mengandung unsur riba (bunga) dengan tidak mensyaratkan imbalan pada pinjaman. - Keadaan ijab dan qabul berhubungan, artinya ijab itu berjalan terus (tidak dicabut) sebelum terjadi qabul. Jika orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum qabul maka batallah ijabnya. - Adanya kesesuaian antara ijab dan qabul, artinya makna antara ijab dan qabul sama, meskipun lafadz keduanya berlainan. 10 c. Syarat Qardh (dana), adapun ketentuannya sebagai berikut : - Qardh yang dipinjamkan harus jelas wujud dan jumlahnya, misalnya dalam pemberian pinjaman uang pada pembiayaan Qardhul Hasan jelas berapa jumlah uang yang akan dipinjamkan. - Qardh telah ada ketika akad Qardhul Hasan dilaksanakan, sehingga pinjaman tersebut dapat diserahkan pada saat akad terjadi/ pada waktu yang telah disepakati. - Harta yang dipinjamkan mestilah sesuatu yang bisa dimanfaatkan. Tidak
ada
mendatangkan
artinya manfaat
meminjamkan kepada
sesuatu
pihak
yang
peminjam
tidak seperti
meminjamkan sejumlah uang yang sudah tidak punya nilai lagi. - Pemanfaatan harta yang dipinjam itu berada dalam ruang lingkup kebolehan, tidak boleh meminjam sesuatu kepada seseorang yang bertujuan untuk maksiat.
10
Helmi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta : PT Raja grafindo Persada, 2005), h. 47
32
d. Syarat iwad (tujuan) adapun ketentuannya sebagai berikut : - Kerelaan kedua belah pihak - Dana digunakan untuk sesuatu yang bermanfaat dan halal. 11
2.4. Tujuan Pembiayaan Qardhul Hasan Tujuan pembiayaan Qardhul Hasan: 1. Sebagai pinjaman talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Nasabah akan melunasinya sebelum keberangkatannya. 2. Sebagai pinjaman tunai (cash advanced) dari produk kartu kredit syariah, dimana nasabah diberi keleluasaan untuk menarik uang tunai milik bank melalui ATM Nasabah akan mengembalikannya sesuai waktu yang ditentukan. 3. Sebagai pinjaman kepada pengusaha kecil, dimana menurut perhitungan bank akan memberatkan si pengusaha bila diberikan pembiayaan dengan skema jual beli, ijarah (sewa) 4. Sebagai pinjaman kepada pengurus bank, dimana bank menyediakan fasilitas ini untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan pengurus bank. Pengurus bank akan mengembalikan dana pinjaman itu secara cicilan melalui pemotongan gaji. 12
11 12
Gemala Dewi, Hukum Perikatan di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2005), h. 60 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2008), h. 48
33
2.5. Manfaat Pembiayaan Qardhul Hasan Manfaat pembiayaan Qardhul Hasan: 1. Untuk pembiayaan produktif dengan memberikan lapangan kerja sekaligus mendidik kepada orang-orang yang kurang mampu atau pengusaha kecil untuk mengembangkan usahanya, sehingga mampu berwirausaha dan memiliki prospek bisnis yang cerah. 2. Untuk pembiayaan dalam bentuk hibah dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan terutama dalam bidang ekonomi keuangan, seperti pemberian bantuan fasilitas pendidikan, bantuan bencana alam, kesehatan dan kegiatan-kegiatan sosial keagamaan lainnya. 3. Mengembangkan lembaga bank dan sistem perbankan yang sehat berdasarkan efisiensi dan keadilan, sehingga mampu meningkatkan partisipasi masyarakat untuk menggalakkan ekonomi rakyat, dengan memperluas jaringan perbankan ke daerah-daerah pedesaan yang terpencil. 13
2.6. Sumber dan Penggunaan dana Qardhul Hasan a) Sumber dana Qardhul Hasan : 1. Dana komersial atau modal Dana ini diperuntukkan guna membiayai kebutuhan nasabah atau anggota yang sangat mendesak dan berjangka pendek.
13
Adiwarman Akarim, Bank Islam ... h. 106
34
2. Dana sosial Dana sosial adalah sejumlah dana yang diterima bank syariah dari pihak lain. Dana ini dapat berasal dari zakat, infaq, shadaqah dan hibah. Dana ini diperuntukkan dalam pengembangan usaha nasabah yang tergolong 8 Asnaf yaitu orang-orang kafir, misin, pengurus zakat, muallaf, budak, orang yang berhutang, fisabilillah dan orang yang sedang dalam perjalanan jauh (Ibnu Sabil). Pembiayaan Qardhul Hasan merupakan pemberian pinjaman kepada nasabah tanpa meminta tambahan apapun kecuali biaya administrasi. Hanya nasabah yang dianggap layak yang dapat diberi pinjaman ini. Penggunaan dana untuk pembiayaan Qardhul Hasan dapat digunakan untuk hal-hal di bawah ini: a. Sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang membutuhkan dana talangan segera untuk jangka waktu yang relatif singkat. Nasabah tersebut akan mengembalikan secepatnya sejumlah dana yang dipinjamnya itu. b. Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat, sedangkan ia tidak bisa menarik dananya karena misalnya tersimpan dalam bentuk deposito. c. Sebagai produk pinjaman untuk membantu usaha kecil atau membantu sektor sosial. 14
14
Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga terkait (BAMUI, Takaful dan Pasar Modal Syariah, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004 )h. 89
35
2.7. Skema Pembiayaan Qardhul Hasan15 Gambar 2.1 Dana (Qiradh)
Pemberian Hutang
Nasabah (Muqtaridh)
Bank Syari’ah (Muqridh)
Pengembalian Qardh Sumber : Sunarto Zulkifli (2003)
Keterangan : 1. Nasabah datang ke bank syariah melakukan perjanjian Qardhul Hasan 2. Nasabah mengajukan pembiayaan untuk menambah modal usahanya yaitu pembiayaan Qardhul Hasan 3. Bank syariah memberikan pembiayaan/ pinjaman kepada nasabah sesuai yang diharapkan tentunya sesuai dengan kesepakatan secara angsuran/ sekaligus 4. Nasabah memberikan keuntungan kepada bank syariah sesuai dengan keikhlasan.16
2.8. Prosedur Pembiayaan Qardhul Hasan 1) Proses Pengajuan Qardhul Hasan a) Nasabah/ debitur datang ke Bank untuk mengajukan pembiayaan Qardhul Hasan 15
Sri Nurhayati, Wailah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta: Salemba Empat, 2009), h.248 Muhammad Syafi’i Antonia, Bank Syariah dan teori ke Praktek, (Jakarta : Gema Insani Press, 2001), h. 133 16
36
b) Bagian CS pembiayaan Qardhul Hasan akan menawarkan nasabah yang berkaitan dengan keputusan pembiayaan, kemudian nasabah mengisi formulir atau SPP (Surat Permohonan Pembiayaan) yang telah disediakan. c) Tim Survei dari Bank tersebut akan mensurvei tempat usaha dan tempat tinggal (kunjungan setempat). Hal ini dilakukan untuk meminimalisasi penipuan juga untuk mengetahui kelayakan nasabah untuk diberi pembiayaan. d) Pihak bank tersebut mengadakan rapat komite atas pembiayaan yang diajukan ke pimpinan. Apakah pengajuan pembiayaan layak atau tidak dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan. e) Untuk pengajuan pembiayaan yang diterima dan di ACC oleh pimpinan, maka pihak bank tersebut dan nasabah/ debitur membuat akad perjanjian,kemudian melakukan administrasi dan realisasi. Setiap akan akan dimasukan ke dalam buku induk dan yang direalisasi dimasukkan ke register realisasi. f) Setiap nasabah/ debitur yang mempunyai perjanjian akad dengan bank tersebut, selalu dipantau dan dievaluasi atas lancar tidaknya dalam melakukan pengangsuran. 17
17
Modul Pembiayaan BNI Syariah Cabang Pekalongan, 2009
37
2.9. Prinsip Pembiayaan Qardhul Hasan Pada umumnya semua bank itu menggunakan prinsip kehati-hatian. Prinsip kehati-hatian merupakan konsep yang memiliki unsur sikap, prinsip, standar kebijakan dan teknik dalam manajemen resiko bank yang sedemikian rupa, sehingga dapat menghindari akibat sekecil apapun, yang dapat membahayakan atau merugikan stekeholders, terutama para depositor dan kreditur. Tujuannya yaitu untuk menjaga keamanan, kesehatan dan kestabilan sistem perbankan. 18 Menurut pasal 8 UU no. 7 tahun 1992, dalam memberikan kredit bank umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur, untuk melunasi hutangnya sesuai dengan diperjanjikan. Dari ketentuan tersebut dapat disimpulkan bahwa bank harus berhati-hati dalam memberikan kredit pada calon nasabahnya.19 Di dalam pembiayaan terdapat unsur resiko maka usaha mencari keuntungan tersebut harus memperhatikan prinsip kehati-hatian karena dana yang dialirkan dalam bentuk pembiayaan adalah dana simpanan masyarakat.20 Besarnya pembiayaan ditetapkan atas dasar kebutuhan/ usaha yang akan dibiyai dengan jangka waktu maksimal 3 tahun dan maksimal pembiayaan sebagai berikut : 1. Pembelian/ pengadaan/ investasi peralatan produk/ usaha maksimal pengajuan Rp. 3.000.000 2. Biaya pendidikan ketrampilan kerja Rp. 2.500.000 18
Permadi Ganda Praja, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2004) h. 21 - 22 19 H. Budi Untung, SH.MM, Kredit Perbankan di Indonesia, (Yogyakarta : ANDI, 2005), h. 123 20 Rinsley le judisseno, Sistem Moneter dan Perbankan di Indonesia, (jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2005), h. 167
38
3. Modal kerja/ bahan baku/ barang dagangan Rp. 2.500.000 pengembalian, atas pembiayaan ini ditentukan dalam jangka waktu tertentu dan dapat dikembalikan sekaligus atau diangsur.
2.10. Perlakuan Akuntansi Qardhul Hasan21 Pelaporan Qardhul Hasan disajikan tersendiri dalam laporan sumber dan penggunaan dana Qardhul Hasan karena dana tersebut bukan aset perusahaan. Oleh sebab itu, seluruhnya dicatat dengan akun dana kebajikan dan dibuat buku besar pembantu atas dana kebajikan berdasarkan jenis dana kebajikan yang diterima atau yang dikeluarkan. A. Bagi Pemberi Pinjaman 1. Saat menerima dana sumbangan dari pihak eksternal, jurnal: Keterangan Dr. Dana kebajikan-kas
Debet
Kredit
xxx
Kr. Dana kebajikaninfak/sedekah/hasil wakaf
xxx
2. Untuk penerimaan dana yang berasal dari benda dan pendapatan nonhalal, jurnal: Keterangan Dr. Dana kebajikan-kas Kr. Dana kebajikandenda/pendapatan nonhalal 21
Debet
Kredit
xxx xxx
Sri Nurhayati, Wasilah, Akuntansi Syariah di Indonesia, (Jakarta : Salemba Empat, 2009), h.249 -205
39
3. Untuk pengerluaran dalam rangka pengalokasian dana Qardhul Hasan, jurnal: Keterangan Dr. Dana kebajikan-dana kebajikan produktif
Debet
Kredit
xxx
Kr. Dana kebajikan-kas
xxx
4. Untuk penerimaan saat pengembalian dana Qardhul Hasan, jurnal: Keterangan Dr. Dana kebajikan-kas
Debet
Kredit
xxx
Kr. Dana kebajikan –dana kebajikan produktif
xxx
B. Bagi Pihak yang Meminjam 1. Saat menerima uang pinjaman, jurnal: Keterangan Dr. Kas
Debet
Kredit
xxx
Kr. Utang
xxx
2. Saat pelunasan, jurnal; Keterangan Dr. Kas Kr. Utang
Debet
Kredit
xxx xxx
40
2.11. PSAK 109 1. Sejarah Akutansi Syariah22 Adanya perubahan lingkungan global yang semakin menyatukan hampir seluruh negara di dunia dalam komunitas tunggal, yang dijembatani perkembangan teknologi komunikasi dan informasi yang semakin murah, menuntut adanya transparansi di segala bidang. Standar akuntansi keuangan yang berkualitas merupakan salah satu prasarana penting untuk mewujudkan transparasi tersebut. Standar akuntansi keuangan dapat diibaratkan sebagai sebuah cermin, di mana cermin yang baik akan mampu menggambarkan kondisi praktis bisnis yang sebenarnya. Oleh karena itu, pengembangan standar akuntansi keuangan yang baik, sangat relevan dan mutlak diperlukan pada masa sekarang ini. Terkait hal tersebut, Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai wadah profesi akuntansi di Indonesia selalu tanggap terhadap perkembangan yang terjadi, khususnya dalam hal-hal yang memengaruhi dunia usaha dan profesi akuntan.
Hal
ini
dapat
dilihat
dari dinamika kegiatan
pengembangan standar akuntansi sejak berdirinya IAI pada tahun 1957 hingga
kini.
Setidaknya,
terdapat
tiga
tonggak
sejarah
dalam
pengembangan standar akuntansi keuangan di Indonesia. Tonggak sejarah pertama, menjelang diaktifkannya pasar modal di Indonesia pada tahun 1973. Pada masa itu merupakan pertama kalinya IAI
22
http://staff.undip.ac.id/akuntansi/anis/2011/03/28/akuntansi-indonesia-sejarah-standarakuntansi-keuangan/ diakses tanggal 8 November 2011 pukul 14.00
41
melakukan kodifikasi prinsip dan standar akuntansi yang berlaku di Indonesia dalam suatu buku “Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI).” Kemudian, tonggak sejarah kedua terjadi pada tahun 1984. Pada masa itu, komite PAI melakukan revisi secara mendasar PAI 1973 dan kemudian mengkondifikasikannya dalam buku “Prinsip Akuntansi Indonesia 1984″ dengan tujuan untuk menyesuaikan ketentuan akuntansi dengan perkembangan dunia usaha. Berikutnya pada tahun 1994, IAI kembali melakukan revisi total terhadap PAI 1984 dan melakukan kodifikasi dalam buku “Standar Akuntansi Keuangan (SAK) per 1 Oktober 1994.” Sejak tahun 1994, IAI juga telah memutuskan untuk melakukan harmonisasi dengan standar akuntansi
internasional
dalam
pengembangan
standarnya.
Dalam
perkembangan selanjutnya, terjadi perubahan dari harmonisasi ke adaptasi, kemudian menjadi adopsi dalam rangka konvergensi dengan International Financial Reporting Standards (IFRS). Program adopsi penuh dalam rangka mencapai konvergensi dengan IFRS direncanakan dapat terlaksana dalam beberapa tahun ke depan. Dalam perkembangannya, standar akuntansi keuangan terus direvisi secara berkesinambungan, baik berupa berupa penyempurnaan maupun penambahan standar baru sejak tahun 1994. Proses revisi telah dilakukan enam kali, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1995, 1 Juni 1996, 1 Juni 1999, 1 April 2002, 1 Oktober 2004, dan 1 September 2007. Buku “Standar Akuntansi Keuangan per 1 September 2007″ ini di dalamnya sudah
42
bertambah dibandingkan revisi sebelumnya yaitu tambahan KDPPLK Syariah, 6 PSAK baru, dan 5 PSAK revisi. Secara garis besar, sekarang ini terdapat 2 KDPPLK, 62 PSAK, dan 7 ISAK. Untuk dapat menghasilkan standar akuntansi keuangan yang baik, maka badan penyusunnya terus dikembangkan dan disempurnakan sesuai dengan kebutuhan. Awalnya, cikal bakal badan penyusun standar akuntansi adalah Panitia Penghimpunan Bahan-bahan dan Struktur dari GAAP dan GAAS yang dibentuk pada tahun 1973. Pada tahun 1974 dibentuk Komite Prinsip Akuntansi Indonesia (PAI) yang bertugas menyusun dan mengembangkan standar akuntansi keuangan. Komite PAI telah bertugas selama empat periode kepengurusan IAI sejak tahun 1974 hingga 1994 dengan susunan personel yang terus diperbarui. Selanjutnya, pada periode kepengurusan IAI tahun 1994-1998 nama Komite PAI diubah menjadi Komite Standar Akuntansi Keuangan (Komite SAK). Kemudian, pada Kongres VIII IAI tanggal 23-24 September 1998 di Jakarta, Komite SAK diubah kembali menjadi Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) dengan diberikan otonomi untuk menyusun dan mengesahkan PSAK dan ISAK. Selain itu, juga telah dibentuk Komite Akuntansi Syariah (KAS) dan Dewan Konsultatif Standar Akuntansi Keuangan (DKSAK). Komite Akuntansi Syariah (KAS) dibentuk tanggal 18 Oktober 2005 untuk menopang kelancaran kegiatan penyusunan PSAK yang terkait dengan perlakuan akuntansi transaksi syariah yang dilakukan oleh DSAK. Sedangkan DKSAK yang anggotanya terdiri atas profesi
43
akuntan dan luar profesi akuntan, yang mewakili para pengguna, merupakan mitra DSAK dalam merumuskan arah dan pengembangan SAK di Indonesia. 2. Pengertian Akuntansi Syariah Secara sederhana, pengertian akuntansi dapat dijelaskan melalui akar kata yang dimilikinya yaitu akuntansi dan syariah. Definisi bebas dari akuntansi adalah identifikasi transaksi yang kemudian diikuti dengan kegiatan pencatatan, penggolongan, serta pengikhtisaran transaksi tersebut sehingga menghasilkan laporan keuangan yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan. Definisi bebas dari syariah adalah aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT untuk dipatuhi oleh manusia dalam menjalani segala aktivitas hidupnya di dunia. Jadi akuntansi syariah dapat diartikan segala proses akuntansi atas transaksi-transaksi yang sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan Allah SWT. Oleh sebab itu, akuntansi syariah diperlukan untuk mendukung kegiatan yang harus dilakukan sesuai syariah, karena tidak mungkin dapat menerapkan akuntansi yang sesuai dengan syariah jika transaksi yang akan dicatat oleh proses akuntansi tersebut tidak sesuai dengan syariah. 23 Akuntansi syariah juga dapat diartikan sebagai proses akuntansi atas transaksi-transaksi yang sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan Allah SWT,
23
sehingga
kita
mempelajari
akuntansi
Modul pembiayaan BNI Syariah Cabang Pekalongan, 2009
syariah
dibutuhkan
44
pemahaman yang baik, mengenai akuntansi sekaligus juga tentang syariah Islam ada 2 alasan utama akuntansi syariah diperlukan yaitu tuntutan untuk pelaksanaan syariah dan adanya kebutuhan akibat pesatnya perkembangan transaksi syariah.24 Sedangkan pengertian dan Standar Akuntasi Syariah itu sendiri pada dasarnya hampir sama dengan pengertian standar akuntansi secara umum, akan tetapi standar akuntansi syariah lebih mengutamakan ke arah pola pertanggung jawaban yang menuju keadilan, kebenaran antara sesama sesuai dengan Syariah Islam. 3. Dasar Hukum Akuntansi Syariah Setiap muslim diatur oleh ketentuan syariah (hukum Islam) yang bersumber pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW, tujuannya adalah untuk menegakkan keadilan dan kesejahteraan sosial sesuai dengan perintah Allah SWT.25 Islam memang sudah mengatur segala tata cara hidup manusia, tidak terkecuali muamalah. Landasan utama yang dijadikan dasar hukum akuntansi syariah adalah :
24
Ikatan Akuntansi Indonesia, Sejarah Standar Akuntansi Keuangan Syariah, 2008, diakses pada tanggal 1 Oktober 2011 pukul 19.00 WIB dari www.iai.go.id 25 Muhammad al-Musahamah, Nur ghofar Ismail, Akuntansi Syariah Analisis Pendapatan Muhammad al Mushamah tentang ayat-ayat akuntansi dalam al-quran (Yogyakarta : Pesantren Ekonomi Islam Al Musahamah, 2005), cet ke 1, h. 43
45
a.
Al-Baqarah ayat 282
46
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau Dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu26
b. Asy-Syuara ayat 182-183
26
Departemen Agama RI, Al qur’an dan terjemahnya, (Semarang: PT Karya Toha Putra, 1998), h. 88-89
47
Artinya: Dan timbanglah dengan timbangan yang lurus.Dan janganlah kamu merugikan manusia pada hak-haknya dan janganlah kamu merajalela di muka bumi dengan membuat kerusakan;27
c. Pendapat ulama Ibnu Abidin berkata “catatan atau pembukuan seorang agen dan kasir bisa menjadi bukti berdasarkan kebiasaan yang berlaku. Kalau si pembeli atau kasir maupun agen itu tidak menggunakan catatan khusus, itu bisa merugikan orang lain, karena biasanya barang-barang dagangan itu tidak dilihat seperti halnya barang-barang yang dikirim ke koneksi-koneksinya di daerah jauh. Jadi dalam keadaan seperti itu, karena biasanya berpegang pada ketentuan-ketentuan yang tertulis dalam daftar-daftar atau surat-surat yang dijadikan pegangan ketika timbul resiko atau kerugian, sedangkan menurut Imam Syafi’i “Siapa yang mempelajari hisab atau perhitungan, luaslah pikirannya.” 28 4. Tujuan Pembentukan PSAK 109 29 Tujuan dari pembentukan PSAK 109 adalah:
27
Ibid h.738 Hasbi Ramli, Griefcase books edukasi Profesional Syariah Teori Dasar Akuntansi Syariah, (Jakarta : Renaisan, 2005), h. 18 29 http://www.forumzakat.net/index.php?act=viewnews&id=204 diakses pada tanggal 8 November 2011 pukul 14.00 28
48
a. Untuk menyamakan model laporan keuangan di organisasi pengelola zakat yang sebelumnya berbeda-beda. b. Bagi
audit
independen/Kantor
Akuntan
Publik
(KAP)
yang
sebelumnya basic auditnya mengacu kepada PSAK 45, yaitu akuntansi organisasi nirlaba kini diharuskan untuk pindah ke PSAK 109 ini. c. Macam-macam PSAK Pada tanggal 19 September 2006 Dewan Standar Akuntansi Keuangan (DSAK) menyetujui untuk menyebarluaskan Exprosure Draf PSAK Syariah yang terdiri dari : a. Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah (KDPPLKS) b. PSAK 101 adalah Akuntansi laporan Keuangan Syariah c. PSAK 102 adalah Akuntansi Murabahah d. PSAK 103 adalah Akuntansi Salam e. PSAK 104 adalah Akuntansi Istishina f. PSAK 105 adalah Akuntansi Mudharabah g. PSAK 106 adalah Akuntansi Musyawarah h. PSAK 107 adalah Akuntansi Ijarah; i. PSAK 108 adalah Akuntansi Penyelesaian Utang Piutang Murabahah Bermasalah j. PSAK 109 adalah Akuntansi Zakat dan Infak/Sadakah; k. PSAK 110 adalah Akuntansi Hawalah; l. PSAK 111 adalah Akuntansi Transaksi Asuransi Syariah.
49
pada tanggal 26 Februari 2008, IAI juga telah mengeluarkan 3 Expasure Drafik PSAK Syariah tambahan yaitu : ED PSAK 109 tentang akuntansi zakat dan infak/sedekah . Sesuai dengan judul, penulis menggunakan PSAK 109. PSAK 109 ini menjelaskan tentang zakat, infak, shodaqoh yang merupakan sumber dana dari pembiayaan Qardhul Hasan.30
30
Rifki Muahammad, Akuntansi Keuangan Syariah: Konsep dan Implimentasi PSAK Syariah, Yogyakarta P3EI, 2008, h. 2