21
BAB II LANDASAN TEORI
A. Bullying 1. Pengertian bullying Bullying merupakan suatu perilaku negatif berulang yang bermaksud menyebabkan ketidaksenangan atau menyakitkan oleh orang lain, baik satu atau beberapa orang secara langsung terhadap seseorang yang tidak mampu melawannya (Olweus, 2006). Menurut American Psychiatric Association (APA) (dalam Stein dkk., 2006), bullying adalah perilaku agresif yang dikarakteristikkan dengan 3 kondisi yaitu (a) perilaku negatif yang bertujuan untuk merusak atau membahayakan (b) perilaku yang diulang selama jangka waktu tertentu (c) adanya ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan dari pihak-pihak yang terlibat. Menurut Coloroso (2007), bullying merupakan tindakan intimidasi yang dilakukan secara berulang-ulang oleh pihak yang lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah, dilakukan dengan sengaja dan bertujuan untuk melukai korbannya secara fisik maupun emosional. Rigby (dalam Astuti, 2008), menyatakan bullying merupakan perilaku agresi yang dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus, terdapat kekuatan yang tidak seimbang antara pelaku dan korbannya, serta bertujuan untuk menyakiti dan menimbulkan rasa tertekan bagi korbannya. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa perilaku bullying adalah suatu perilaku negatif yang dilakukan secara berulang-ulang,
Universitas Sumatera Utara
22
dilakukan dengan sadar dan sengaja yang bertujuan untuk menyakiti orang lain secara fisik maupun emosional, dilakukan oleh seorang anak atau kelompok anak dan terdapat ketidakseimbangan kekuatan atau kekuasaan dari pihak-pihak yang terlibat.
2. Tanda-tanda bullying Olweus (2006) merumuskan adanya tiga unsur dasar bullying, yaitu bersifat menyerang dan negatif, dilakukan secara berulang kali, dan adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pihak yang terlibat. Coloroso (2003) juga mengatakan bahwa bullying akan selalu mengandung tiga elemen, yaitu: kekuatan yang tidak seimbang, bertujuan untuk menyakiti, dan adanya ancaman akan dilakukannya agresi. Oleh sebab itu, seseorang dianggap menjadi korban bullying bila ia dihadapkan pada tindakan negatif seseorang atau lebih, yang dilakukan berulang-ulang dan terjadi dari waktu ke waktu. Selain itu, bullying juga melibatkan kekuatan dan kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga korbannya berada dalam keadaan tidak mampu mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan negatif yang diterimanya (Olweus, dalam Krahe, 2005). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa seseorang dikatakan menjadi korban bullying dilihat dari frekuensi mengalami bullying, yaitu minimal dua sampai tiga kali dalam sebulan. Seorang korban bullying dapat mengalami satu atau beberapa bentuk bullying. Ketika hanya satu bentuk bullying yang dialami seseorang, namun
Universitas Sumatera Utara
23
frekuensinya minimal dua sampai tiga kali dalam sebulan, hal itu juga termasuk menjadi korban bullying.
3. Pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku bullying Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku bullying dapat dibagi menjadi 4 yaitu: a. Bullies (pelaku bullying) yaitu murid yang secara fisik dan/atau emosional melukai murid lain secara berulang-ulang (Olweus, dalam Moutappa dkk, 2004). Remaja yang diidentifikasi sebagai pelaku bullying sering memperlihatkan fungsi psikososial yang lebih buruk daripada korban bullying dan murid yang tidak terlibat dalam perilaku bullying (Haynie, dkk., dalam Totura, 2003). Pelaku bullying juga cenderung memperlihatkan simptom depresi yang lebih tinggi daripada murid yang tidak terlibat dalam perilaku bullying dan simptom depresi yang lebih rendah daripada victim atau korban (Haynie, dkk., dalam Totura, 2003). Olweus (dalam Moutappa, 2004) mengemukakan bahwa pelaku bullying cenderung mendominasi orang lain dan memiliki kemampuan sosial dan pemahaman akan emosi orang lain yang sama (Sutton, Smith, & Sweetenham, dalam Moutappa, 2004). Menurut Stephenson dan Smith (dalam Sullivan, 2000), tipe pelaku bullying antara lain (1) tipe percaya diri, secara fisik kuat, menikmati agresifitas, merasa aman dan biasanya populer, (2) tipe pencemas, secara akademik lemah, lemah dalam berkonsentrasi, kurang populer dan kurang merasa aman, dan (3) pada situasi tertentu pelaku bullying
Universitas Sumatera Utara
24
bisa menjadi korban bullying. Selain itu, para pakar banyak menarik kesimpulan bahwa karakteristik pelaku bullying biasanya adalah agresif, memiliki konsep positif tentang kekerasan, impulsif, dan memiliki kesulitan dalam berempati (Fonzi & Olweus dalam Sullivan, 2000). Menurut Astuti (2008) pelaku bullying biasanya agresif baik secara verbal maupun fisikal, ingin popular, sering membuat onar, mencari-cari kesalahan orang lain, pendendam, iri hati, hidup berkelompok dan menguasai kehidupan sosial di sekolahnya. Selain itu pelaku bullying juga menempatkan diri di tempat tertentu di sekolah atau di sekitarnya, merupakan tokoh popular di sekolahnya, gerak geriknya sering kali dapat ditandai dengan sering berjalan di depan, sengaja menabrak, berkata kasar, dan menyepelekan/ melecehkan. b. Victim (korban bullying) yaitu murid yang sering menjadi target dari perilaku
agresif,
tindakan
yang
menyakitkan
dan
hanya
memperlihatkan sedikit pertahanan melawan penyerangnya (Olweus, dalam Moutappa dkk, 2004). Menurut Byrne dibandingkan dengan teman sebayanya yang tidak menjadi korban, korban bullying cenderung menarik diri, depresi, cemas dan takut akan situasi baru (dalam Haynie dkk, 2001). Murid yang menjadi korban bullying dilaporkan lebih menyendiri dan kurang bahagia di sekolah serta memiliki teman dekat yang lebih sedikit daripada murid lain (Boulton & Underwood dkk, dalam Haynie dkk, 2001). Korban bullying juga dikarakteristikkan dengan perilaku hati-hati, sensitif, dan pendiam (Olweus, dalam Moutappa, 2004).
Universitas Sumatera Utara
25
Coloroso (2007) menyatakan korban bullying biasanya merupakan anak baru di suatu lingkungan, anak termuda di sekolah, biasanya yang lebih kecil, tekadang ketakutan, mungkin tidak terlindung, anak yang pernah mengalami trauma atau pernah disakiti sebelumnya dan biasanya sangat peka, menghindari teman sebaya untuk menghindari kesakitan yang lebih parah, dan merasa sulit untuk meminta pertolongan. Selain itu juga anak penurut, anak yang merasa cemas, kurang percaya diri, mudah dipimpin dan anak yang melakukan hal-hal untuk menyenangkan atau meredam kemarahan orang lain, anak yang perilakunya dianggap mengganggu orang lain, anak yang tidak mau berkelahi, lebih suka menyelesaikan konflik tanpa kekerasan, anak yang pemalu, menyembunyikan perasaannya, pendiam atau tidak mau menarik perhatiaan orang lain, pengugup, dan peka. Disamping itu juga merupakan anak yang miskin atau kaya, anak yang ras atau etnisnya dipandang inferior sehingga layak dihina, anak yang orientsinya gender atau seksualnya dipandang inferior, anak yang agamanya dipandang inferior, anak yang cerdas, berbakat, atau memiliki kelebihan. ia dijadikan sasaran karena ia unggul, anak yang merdeka, tidak mempedulikan status sosial, serta tidak berkompromi dengan norma-norma, anak yang siap mengekspresikan emosinya setiap waktu, anak yang gemuk atau kurus, pendek atau jangkung, anak yang memakai kawat gigi atau kacamata, anak yang berjerawat atau memiliki masalah kondisi kulit lainnya. Selanjutnya korbannya merupakan anak yang memiliki ciri fisik yang berbeda dengan
Universitas Sumatera Utara
26
mayoritas anak lainnya, dan anak dengan ketidakcakapan mental dan/atau fisik, anak yang memiliki ganguan-hiperaktif-defisit-perhatian (attention deficit hyperactive disorder) mungkin bertindak sebelum berpikir, tidak mempertimbangkan konsekuensi atas perilakunya sehingga disengaja atau tidak menggangu bully, anak yang berada di tempat yang keliru pada saat yang salah. ia diserang karena bully sedang ingin menyerang seseorang di tempat itu pada saat itu juga. c. Bully-victim yaitu pihak yang terlibat dalam perilaku agresif, tetapi juga menjadi korban perilaku agresif (Andreou, dalam Moutappa dkk, 2004). Craig (dalam Haynie dkk, 2001) mengemukakan bully-victim menunjukkan level agresivitas verbal dan fisik yang lebih tinggi dibandingkan dengan anak lain. Bully victim juga dilaporkan mengalami peningkatan simptom depresi, merasa sepi, dan cenderung merasa sedih dan moody daripada murid lain (Austin & Joseph; Nansel dkk, dalam Totura, 2003). Schwartz (dalam Moutappa, 2004) menjelaskan bully-victim juga dikarakteristikkan dengan reaktivitas, regulasi emosi yang buruk, kesulitan dalam akademis dan penolakan dari teman sebaya serta kesulitan belajar (Kaukiainen, dkk., dalam Moutappa, 2004). d. Neutral yaitu pihak yang tidak terlibat dalam perilaku agresif atau bullying. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pihak-pihak yang terlibat dalam perilaku bullying dapat dibagi menjadi empat, yaitu pelaku
Universitas Sumatera Utara
27
(bullies), korban (victim), pelaku sekaligus korban (bulliy-victim) dan pihak yang tidak terlibat (neutral).
4. Bentuk-bentuk bullying Ada tiga bentuk bullying menurut Coloroso (2007), yaitu: a. Verbal bullying Kata-kata bisa digunakan sebagai alat yang dapat mematahkan semangat anak yang menerimanya. Verbal abuse adalah bentuk yang paling umum dari bullying yang digunakan baik anak laki-laki maupun perempuan. Hal ini dapat terjadi pada orang dewasa dan teman sebaya tanpa terdeteksi. Verbal bullying dapat berupa teriakan dan keriuhan yang terdengar. Hal ini berlangsung cepat dan tanpa rasa sakit pada pelaku bullying dan dapat sangat menyakitkan pada target. Jika verbal bullying dimaklumi, maka akan menjadi suatu yang normal dan target menjadi dehumanized. Ketika seseorang menjadi dehumanized, maka seseorang tersebut akan lebih mudah lagi untuk diserang tanpa mendapatkan perlindungan dari orang di sekitar yang mendengarnya. Verbal bullying dapat berbentuk name-calling (memberi nama julukan), taunting (ejekan), belittling (meremehkan), cruel criticsm (kritikan yang kejam), personal defamation (fitnah secara personal), racist slurs (menghina ras), sexually suggestive (bermaksud/bersifat seksual) atau sexually abusive remark (ucapan yang kasar). Hal ini juga meliputi pemerasan uang atau benda yang dimiliki, panggilan telepon yang kasar, mengintimidasi lewat e-mail, catatan tanpa nama
Universitas Sumatera Utara
28
yang berisi ancaman, tuduhan yang tidak benar, rumor yang jahat dan tidak benar. b. Physical bullying Bentuk bullying yang paling dapat terlihat dan paling mudah untuk diidentifikasi adalah bullying secara fisik. Bentuk ini meliputi menampar, memukul, mencekik, mencolek, meninju, menendang, menggigit, menggores, memelintir, meludahi, merusak pakaian atau barang dari korban. c. Relational bullying Bentuk ini adalah yang paling sulit untuk dideteksi, relational bullying adalah pengurangan perasaan „sense‟ diri seseorang yang sistematis
melalui
pengabaian,
pengisolasian,
pengeluaran,
penghindaran. Penghindaran, sebagai suatu perilaku penghilangan, dilakukan bersama romur adalah sebuah cara yang paling kuat dalam melakukan bullying. Relational bullying paling sering terjadi pada tahun-tahun pertengahan, dengan onset remaja yang disertai dengan perubahan fisik, mental, emosional, dan seksual. Pada waktu inilah, remaja sering menggambarkan siapa diri mereka dan mencoba menyesuaikan diri dengan teman sebaya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bullying terdiri dari 3 bentuk yaitu: fisik, verbal dan relasional. Adapun bentuk bullying yang diteliti dalam penelitian ini adalah ketiga bentuk bullying yakni bullying secara fisik, verbal dan relasional.
Universitas Sumatera Utara
29
5. Dampak bullying Bullying akan menimbulkan dampak yang sangat merugikan, tidak hanya bagi korban tetapi juga bagi pelakunya (Craig & Pepler, 2007). Menurut Coloroso (2006) pelaku bullying akan terperangkap dalam peran sebagai pelaku bullying, mereka tidak dapat mengembangkan hubungan yang sehat, kurang cakap dalam memandang sesuatu dari perspektif lain, tidak memiliki empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan disukai sehingga dapat mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan datang. Sementara dampak negatif bagi korbannya adalah akan timbul perasaan depresi dan marah. Mereka marah terhadap diri sendiri, pelaku bullying, orang dewasa dan orang-orang di sekitarnya karena tidak dapat atau tidak mau menolongnya. Hal tersebut kemudian mulai mempengaruhi prestasi akademik para korbannya. Mereka mungkin akan mundur lebih jauh lagi ke dalam pengasingan karena tidak mampu mengontrol hidupnya dengan cara-cara yang konstruktif. Menurut Peterson (dalam Berthold dan Hoover, 2000), bullying akan mempengaruhi self esteem korbannya dan hal tersebut merupakan pengaruh yang ditimbulkan dari pengaruh jangka panjang. Demikian pula Olweus (dalam Berthold dan Hoover, 2000) menyatakan bahwa bullying memiliki pengaruh yang besar bagi kehidupan korbannya hingga dewasa. Saat masa sekolah akan menimbulkan depresi dan perasaan tidak bahagia untuk mengikuti sekolah, karena dihantui oleh perasaan cemas dan ketakutan. Selain itu menurut Swearer, dkk. (2010) korban bullying juga merasa sakit, menjauhi sekolah, prestasi akademik menurun, rasa takut dan
Universitas Sumatera Utara
30
kecemasan meningkat, adanya keinginan bunuh diri, serta dalam jangka panjang akan mengalami kesulitan-kesulitan internal yang meliputi rendahnya self esteem, kecemasan, dan depresi. Korban bullying cenderung merasa takut, cemas, dan memiliki self esteem yang lebih rendah dibandingkan anak yang tidak menjadi korban bullying (Olweus, Rigby, & Slee, dalam Aluedse, 2006). Duncan (dalam Aluedse, 2006) juga menyatakan bila dibandingkan dengan anak yang tidak menjadi korban bullying, korban bullying akan memiliki self esteem yang rendah, kepercayaan diri rendah, penilaian diri yang buruk, tingginya tingkat depresi, kecemasan, ketidakmampuan, hipersensitivitas, merasa tidak aman, panik dan gugup di sekolah, konsentrasi terganggu, penolakan oleh rekan atau teman, menghindari interaksi sosial, lebih tertutup, memiliki sedikit teman, terisolasi, dan merasa kesepian. Penelitian yang dilakukan di Swedia mengenai dampak bullying terhadap korbannya menunjukkan bahwa remaja yang saat berusia 16 tahun pernah mengalami bullying akan mengalami penurunan self esteem dan peningkatan kadar depresi (Olweus dalam Arseneault, dkk., 2009). Korban bullying cenderung menunjukkan gejala peningkatan kecemasan dan depresi (Hodges & Perry dalam Arseneault dkk., 2009), self esteem yang rendah dan keterampilan sosial yang buruk (Egan & Perry, dalam Arseneault, dkk., 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Riauskina dkk. (2005), juga menemukan bahwa korban merasakan banyak emosi negatif (marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, terancam)
Universitas Sumatera Utara
31
ketika mengalami bullying, namun tidak berdaya menghadapi kejadian bullying yang menimpa mereka. Dalam jangka panjang emosi-emosi tersebut dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri dan merasa bahwa dirinya tidak berharga.
B. Self Esteem 1. Pengertian self esteem Menurut Coopersmith (dalam Mruk, 2006) self esteem merupakan evaluasi yang dibuat oleh individu berdasarkan pada seberapa mampu mereka dalam menjalankan tugas, seberapa baik mereka memenuhi standart etis atau agama, seberapa besar mereka merasa dicintai dan merasa diterima oleh lingkungannya, dan seberapa besar pengaruh yang mereka miliki. Self esteem merupakan penilaian sesorang terhadap gambaran dirinya dalam berbagai aspek kehidupan (Pintrich & Schunk dalam Woolfolk, 2004). Melalui self esteem, seorang remaja dapat mengevaluasi dirinya sendiri berdasarkan pada perasaan keberhargaan dirinya yang bisa berupa perasaan-perasaan positif atau negatif (Rosenberg dalam Mruk, 2006). Selain itu Mruk (2006) menyatakan self esteem merupakan keberhargaan (worthiness) atau sikap yang dikiliki individu terhadap dirinya sendiri, yang tampak dari perasaan berharga atau tidak berharga. Self esteem berkaitan dengan self concept (konsep diri). Akan tetapi self esteem dan self concept memiliki makna yang berbeda. Self concept merupakan pengetahuan dan keyakinan seseorang mengenai karakteristik
Universitas Sumatera Utara
32
diri, kelebihan, dan kekurangan yang dimilikinya. Self concept berkaitan dengan pertanyaan “siapa diri saya?”. Sementara self esteem merupakan penilaian dan perasaan terhadap nilai dan rasa keberhargaan diri seorang individu, seperti pernyataan “saya bangga dengan prestasi akademik saya”. Self esteem berkaitan dengan pertanyaan “seberapa baik diri saya sebagai individu?” (McDevitt & Omrod, 2010). Woolfolk (2004) menyatakan bahwa perbedaan antara self concept dan self esteem tertetak pada struktur pemahaman diri. Self concept merupakan struktur kognitif dari pemahaman diri, sedangkan self esteem adalah struktur afektif dari pemahaman diri. Sebagaimana yang diungkap oleh Pintrich dan Schunk (dalam Eggen & Kauchak, 2007) bahwa self concept merupakan penilaian kognitif terhadap keadaan fisik, sosial, serta kemampuan akademik seorang individu, sedangkan self esteem merupakan reaksi emosional ataupun penilaian terhadap diri sendiri yang dilakukan oleh seorang individu. Selanjutnya Guindon (2010) menyatakan bahwa self esteem merupakan sikap atau evaluasi (penilaian afektif) individu terhadap self concept. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa self esteem dan self concept memiliki makna yang berbeda. Self concept merupakan pengetahuan yang dimiliki individu tentang dirinya sendiri. Sementara self esteem merupakan penilaian atau evaluasi yang dibuat individu secara keseluruhan terhadap dirinya sendiri yang tampak dari perasaan berharga atau tidak berharga, perasaan mampu dan perasaan diterima oleh lingkungannya.
Universitas Sumatera Utara
33
2. Aspek-aspek self esteem Menurut Coopersmith (dalam Mruk, 2006) aspek-aspek self esteem meliputi: a. Perasaan berharga Perasaan berharga merupakan perasaan yang dimiliki individu berupa pernyataan yang bersifat pribadi seperti pintar, sukses, dan baik. Rasa berharga individu muncul karena dirinya sendiri dan penilaian orang lain, terutama orang tua. Penilaian ini sangat tergantung pada pengalaman yang dirasakan individu, yaitu apakah individu merasa berharga atau tidak. Individu yang menganggap dirinya berharga serta dapat menghargai orang lain umumnya memiliki harga diri yang positif. Individu yang merasa dirinya berharga cenderung dapat mengontrol tindakan-tindakannya terhadap dunia luar dirinya, dapat mengekspresikan dirinya dengan baik dan dapat menerima kritik dengan baik. b. Perasaan mampu Perasaan mampu merupakan perasaan individu pada saat ia merasa mampu mencapai suatu hasil yang diharapkan, perasaan mampu merupakan hasil persepsi individu mengenai kemampuannya yang akan mempengaruhi pembentukan harga diri individu tersebut. Individu yang memiliki perasaan mampu umumnya memiliki nilainilai dan sikap yang demokratis serta orientasi yang realistis. Mereka biasanya menyukai tugas baru, menantang, aktif dan tidak cepat bingung bila segala sesuatu berjalan diluar rencana. Mereka tidak
Universitas Sumatera Utara
34
menganggap dirinya sempurna melainkan tahu keterbatasan diri dan mengharap adanya pertumbuhan dalam dirinya. Bila individu merasa telah mencapai tujuannya secara efisien maka individu akan memberi penilaian yang positif pada dirinya. c. Perasaan diterima Bila individu merupakan bagian dari suatu kelompok dan merasa bahwa dirinya diterima serta dihargai oleh anggota kelompok lainnya, maka individu akan merasa dirinya diikutsertakan atau diterima. Individu akan memiliki nilai positif tentang dirinya sebagai bagian dari kelompoknya. Sebaliknya individu akan memiliki penilaian negatif terhadap dirinya bila mengalami perasaan tidak diterima. Dari uraian diatas maka aspek-aspek harga diri adalah perasaan berharga, perasaan mampu, dan perasaan diterima.
3. Karakteristik individu dengan self esteem tinggi dan rendah Self esteem tinggi memiliki karakteristik yang berbeda dengan self esteem rendah. Menurut Rosenberg dan Owens (dalam Guindon, 2010) beberapa karakteristik individu yang memiliki self esteem tinggi dan rendah antara lain: a. Self esteem tinggi 1) Merasa puas dengan dirinya 2) Bangga menjadi dirinya sendiri 3) Lebih sering merasa senang dan bahagia 4) Menanggapi pujian dan kritik sebagai masukan
Universitas Sumatera Utara
35
5) Dapat menerima kegagalan dan bangkit dari kekecewaan akibat kegagalan 6) Memandang hidup secara positif dan dapat mengambil sisi positif dari kejadian yang dialami 7) Menghargai tanggapan orang lain sebagai umpan balik untuk memperbaiki diri 8) Menerima peristiwa negatif yang terjadi pada diri dan berusaha memperbaikinya 9) Mudah untuk bernteraksi, berhubungan dekat dan percaya pada orang lain 10) Berani mengambil resiko 11) Bersikap positif pada orang lain atau institusi yang terkait dengan dirinya 12) Optimis 13) Berpikir konstruktif (dapat mendorong diri sendiri) b. Self esteem rendah 1) Merasa tidak puas dengan dirinya 2) Ingin menjadi orang lain atau berada di posisi orang lain 3) Lebih sering mengalami emosi yang negatif (stres, sedih dan marah) 4) Sulit menerima pujian, tapi terganggu oleh kritik 5) Sulit menerima kegagalan dan kecewa berlebihan saat gagal 6) Memandang hidup dan berbagai kejadian dalam hidup sebagai hal yang negatif
Universitas Sumatera Utara
36
7) Menganggap tanggapan orang lain sebagai kritik yang mengancam 8) Membesar-besarkan peristiwa negatif yang pernah dialaminya 9) Sulit untuk berinteraksi, berhubungan dekat dan percaya pada orang lain 10) Menghindar dari risiko 11) Bersikap negatif (sinis) pada orang lain atau institusi yang terkait dengan dirinya 12) Pesimis 13) Berfikir yang tidak membangun (merasa tidak dapat membantu diri sendiri) Hal yang senada juga dinyatakan oleh Branden (1994) bahwa remaja dengan self esteem rendah memiliki pikiran irasional mengenai dirinya, tidak berani mencari tantangan baru, memiliki perasaan tidak berguna, kurang memiliki aspirasi dan usaha untuk mencapai tujuannya, serta membatasi diri saat berhubungan dengan orang lain. Selain itu Sherfield (2004) membedakan individu dengan self esteem tinggi dan self esteem rendah antara lain: a. Self esteem tinggi 1) Memiliki pandangan yang positif dan konstruktif terhadap dirinya sendiri 2) Memiliki keyakinan terhadap kemampuannya sendiri 3) Mampu menerima kelebihan dan kekurangan dirinya 4) Menetapkan tujuan yang realistis dan berusaha mencapainya 5) Mampu mengembangkan hubungan yang positif
Universitas Sumatera Utara
37
6) Mampu memperoleh kenyamanan hidup di lingkungan sekitarnya b. Self esteem rendah 1) Memiliki pandangan yang negatif dan pesimis terhadap dirinya sendiri 2) Merasa tidak mampu untuk melihat keterbatasan dan masalah yang dihadapi Mruk (2006) menyatakan secara umum self esteem dibedakan dalam 3 tingkat yaitu self esteem tinggi, self esteem sedang, dan self esteem rendah. Setiap tingkat memiliki karakteristik tertentu yang dapat ditampilkan individu. Meskipun demikian, karakterikstik self esteem sedang jarang dibahas dalam berbagai literatur dan penelitian. Oleh sebab itu berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa self esteem dalam penelitian ini membagi self esteem menjadi self esteem tinggi dan self esteem rendah.
3. Perkembangan self esteem remaja Donnchadha (2000) menyatakan self esteem merupakan sebuah proses dan bukan sebuah produk yang dapat diperoleh secara instan. Self esteem merupakan proses yang terus berjalan sejak individu masih kecil hingga tumbuh menjadi dewasa. Perkembangan self esteem tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan sense of self pada individu karena sebelum munculnya self esteem, individu mengawalinya dengan kesadaran terhadap keberadaan dirinya sendiri. Mcdevitt dan Omrod (2008) membagi perkembangan sense of self pada individu menjadi lima tahapan, yaitu
Universitas Sumatera Utara
38
infancy (lahir-2 tahun), masa kanak-kanak awal (2-6 tahun), masa kanakkanak pertengahan dan akhir (6-10 tahun), remaja awal (10-14 tahun), dan remaja akhir (14-18 tahun). Pada saat seorang individu memasuki remaja awal (10-14 tahun) dan mengalami transisi dari sekolah dasar menuju sekolah menengah pertama, akan terjadi penurunan pada self esteem. Salah satu faktor yang paling mempengaruhi penurunan self esteem pada remaja awal adalah popularitas karena hal tersebut merupakan aspek yang penting pada masa remaja awal (Cornell dkk.; Hart; Harter dkk. dalam McDevitt & Omrod, 2010). Selain itu
perubahan
lingkungan
sekolah
yang
mencakup
perubahan
persahabatan, hubungan antara guru dan siswa yang lebih dangkal, dan standar akademik yang lebih ketat semakin memberikan pengaruh negatif terhadap self esteem remaja (Eccless & Midgley; Harter dalam McDevitt & Omrod, 2010). Pada saat yang bersamaan seorang remaja mengalami kemajuan dalam perkembangan kognitif sehingga mereka semakin mampu untuk memahami pandangan orang lain terhadap dirinya (Harter dalam McDevitt & Omrod, 2010). Kemampuan tersebut akhirnya juga membuat remaja berpikir bahwa perhatian setiap orang tertuju kepadanya sehingga membuat remaja sensitif terhadap penilaian yang diberikan oleh orang lain (McDevitt & Omrod, 2010). Remaja mengembangkan self esteem lebih luas dan relevan dengan aspek-aspek yang dimilikinya seperti pandangan dirinya terhadap pertemanan, hubungan percintaan serta kompetensinya (Harter, dalam Bos dkk., 2006). Self esteem remaja terbentuk dari hasil evaluasi subjektif atas
Universitas Sumatera Utara
39
umpan balik yang remaja terima dari orang sekitar serta perbandingan dengan standar atau nilai kelompoknya (Santrock, 2007). Berkaitan dengan self esteem pada remaja, DuBois dan Tevendale serta Feldman dan Elliot (dalam Boden, dkk., 2008) menyatakan bahwa masa remaja merupakan masa kritis dalam perkembangan self esteem karena self esteem dapat membantu menghadapi tugas perkembangan remaja. Harter (dalam Carranza, dkk., 2009) menyatakan bahwa self esteem memiliki pengaruh yang besar pada perkembangan remaja. Remaja dengan self esteem tinggi cenderung berprestasi di sekolah. Simonds, dkk. (dalam Wilburn & Smith, 2005) menjelaskan bahwa remaja dengan self esteem tinggi memiliki kemampuan coping yang lebih efektif, sehingga kemampuannya dalam menghadapi tantangan serta kesehatan mentalnya tetap terjaga. Penelitian yang dilakukan oleh Robin dkk. (dalam Bos, dkk., 2006) menunjukkan bahwa self esteem menurun drastis ketika masa remaja. Adanya pikiran yang tidak realistis menyebabkan remaja cenderung mengkritik diri sendiri. Guindon (2010) menjelaskan kritik terhadap diri dapat menimbulkan evaluasi negatif sehingga mempengaruhi self esteem individu. Bos, dkk. (2006) mengungkapkan adanya konsekuensi negatif bila seorang remaja memiliki self esteem rendah antara lain memiliki masalah interpersonal, kegagalan akademis, serta masalah psikopatologi seperti kecemasan, depresi, dan gangguan makan. Selain itu adanya masalah self esteem pada seorang remaja dapat mempengaruhi perkembangannya. Self esteem bagi remaja sangat penting
Universitas Sumatera Utara
40
karena berpengaruh dalam menentukan kesuksesan dan kegagalan diberbagai tugas kehidupan remaja (Andrews; Harter dalam Boden, Ferfusson & Horwood, 2008). Remaja membutuhkan self esteem yang positif agar dapat mencapai keberhasilan dalam berbagai aspek. Penelitian yang dilakukan Redden pada tahun 2000 menemukan bahwa self esteem yang cenderung tinggi memiliki hubungan yang erat dengan motivasi instrinsik dan prestasi akademis yang lebih baik (dalam Patil, dkk., 2009). Selain itu penelitian yang dilakukan oleh Mann dkk. menemukan bahwa individu dengan self esteem rendah menunjukkan keberhasilan yang rendah di sekolah (dalam Bos, Murris, Mulkens & Schaalma, 2006). Dari segi hubungan sosial, penelitian yang dilakukan Donders dan Verschueren menemukan bahwa individu dengan self esteem rendah biasanya kurang diterima oleh teman-temannya (dalam Bos, Murris, Mulkens & Schaalma, 2006). Robson (dalam Coetzee, 2009) menyatakan remaja yang memiliki masalah
self
esteem
cenderung
memiliki
masalah
interpersonal,
mengalami kegagalan akademis, ketergantungan, perlawanan terselubung, dan merasa depresi. Selain itu mereka juga mengalami kecemasan, merasa terasing, tidak dicintai, menarik diri dari situasi sosial, kurang mampu memecahkan masalah dan sulit mengambil keputusan, cenderung menerima umpan balik negatif sebagai sesuatu yang benar, serta berkurangnya kepuasan terhadap penyelesaian kerja.
Universitas Sumatera Utara
41
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi self esteem Menurut Mruk (2006), self esteem berkaitan dengan penilaian diri (self evaluation) terhadap kompetensi diri pada bidang yang penting bagi remaja tersebut. Apabila lingkungan memberikan penilaian yang negatif terhadap diri remaja, namun remaja memiliki penilaian yang positif mengenai dirinya sendiri, maka kemungkinan self esteem remaja tersebut tetap tinggi. Selain itu self esteem juga dipengaruhi oleh pola asuh orangtua. Orangtua yang menerapkan pola asuh autoritarif, yaitu memberikan harapan sekaligus batasan (kontrol) yang jelas, dapat mengembangkan self esteem remaja menjadi positif. Sebaliknya orangtua yang terlalu membebaskan atau membatasi remaja dapat mengembangkan self esteem remaja menjadi negatif sehingga dapat memunculkan perilaku bermasalah. Hal senada juga disampaikan oleh Duffy dan Atwater (2002) bahwa pola asuh orangtua merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi self esteem remaja. Remaja dengan self esteem tinggi diasuh oleh orangtua yang menerima mereka apa adanya, mampu mengekspresikan afeksi atau kasih sayang, dan membangun aturan-aturan yang tegas namun beralasan. Sementara remaja dengan self esteem rendah diasuh dengan aturan-aturan yang terlalu ketat, permisif dan tidak konsisten. Selanjutnya Dekovic dkk. (dalam Papalia, 2007) menyatakan anak dari orangtua yang hangat dan positif membuat anak lebih merasa dihargai dan membantu mereka memiliki evaluasi yang positif terhadap diri, sebaliknya anak yang
Universitas Sumatera Utara
42
terabaikan dapat menyebabkan mereka memiliki self esteem yang rendah serta berpandangan pesimis terhadap masa depan. Penerimaan orangtua terhadap anaknya juga memberikan pengaruh pada self esteem remaja. Kurangnya penerimaan orangtua terhadap kelebihan dan kekurangan remaja akan menurunkan self esteem remaja, sehingga remaja akan membandingkan dirinya dengan keadaan orang lain dan tidak puas dengan apa yang dimilikinya. Selain itu perilaku orangtua yang kasar dan sering mengkritik remaja akan membuat remaja mempunyai self esteem yang rendah (Kemis dalam Mruk, 2006). Selanjutnya Boss dkk. (2006) juga menyatakan hal yang senada bahwa orangtua yang bersikap tidak responsif dan kurang memberi pengakuan kepada remaja akan membentuk self esteem remaja menjadi rendah, sedangkan orangtua yang membesarkan remaja dengan sikap penuh pengakuan dan tanggapan akan membentuk remaja dengan self esteem tinggi. Menurut Mujis dan Reynols (2008) sikap dan perilaku guru juga turut mempengaruhi perkembangan self esteem remaja di sekolah. Cara guru mengoreksi perilaku siswa yang tidak sesuai dengan aturan, seperti pemberian label atau julukan negatif, meremehkan dan merendahkan remaja di depan teman-temannya akan membuat self esteem remaja menjadi rendah. Selain itu remaja yang memperoleh nilai akademik yang tinggi terkadang tidak memiliki harga diri yang tinggi karena guru seringkali mengumumkan nilai ujian didepan seluruh siswa sehingga remaja membandingkan diri mereka sendiri dengan teman-temannya
Universitas Sumatera Utara
43
berdasarkan nilai yang diperoleh. Rendahnya self esteem remaja juga dapat dipengaruhi karena guru memberikan hukuman yang berat di depan siswa lain saat remaja melakukan kesalahan atau melanggar disiplin sekolah. Self esteem juga dipengaruhi oleh pengalaman kesuksesan dan kegagalan dimasa lalu. Performa remaja di masa lalu dapat berpengaruh terhadap persepsi remaja terhadap dirinya sekarang. Seorang remaja dapat memiliki keyakinan bahwa dirinya memiliki bakat dan kemampuan dalam suatu pelajaran jika dirinya memperoleh kesuksesan dalam pelajaran tersebut di masa lalu (Omrod, 2008). Remaja yang mendapatkan penerimaan dan dukungan dari teman sebaya mempunyai self esteem yang tinggi, memiliki lebih sedikit masalah emosional dan prestasi sekolah yang lebih baik (Wentzel dalam Ormrod, 2007). Hal senada juga disampaikan oleh Boss dkk. (2006) bahwa hubungan dengan teman sebaya menjadi pengaruh yang lebih utama bagi seorang remaja. Perasaan terhadap penerimaan dari teman-teman memberikan pengaruh besar terhadap self esteem seorang remaja. Menurut Green dan Way (2005) teman sebaya merupakan faktor yang mempengaruhi self esteem seorang remaja. Apabila remaja merasa teman sebayanya memberikan dukungan, kehangatan, serta kenyamanan dalam berinteraksi dengannya, maka remaja akan memiliki persepsi diri yang lebih positif sehingga meningkatkan self esteem mereka. Miller (dalam Duffy & Atwater, 2002) menyatakan self esteem dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari pengalaman normatif masa kecil yang terkait dengan pola asuh orangtua, hingga standar pribadi
Universitas Sumatera Utara
44
mengenai diri ideal (ideal self) individu, yang mungkin juga turut dipengaruhi oleh kultur atau budaya tertentu. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi self esteem yaitu penilaian atau pemikiran remaja terhadap dirinya sendiri, pengalaman kesuksesan dan kegagalan yang dialaminya, pengaruh orangtua, teman sebaya, guru dan budaya.
C. Remaja dan Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) 1. Pengertian remaja Masa remaja merupakan masa peralihan yang ditandai dengan perubahan-perubahan pada diri individu, baik secara psikologis, fisiologis, seksual dan kogntif serta adanya berbagai tuntutan dari masyarakat dan perubahan sosial yang menyertai mereka untuk menjadi dewasa yang mandiri. Masa remaja dimulai pada transisi antara masa kanak-kanak ke masa dewasa yang disertai banyak perubahan baik fisik, kognitif maupun sosial (Papalia, Old, & Feldman, 2008). Menurut Monks (2001), batasan usia remaja adalah antara 12 tahun sampai 21 tahun. Monks membagi batasan usia remaja terbagi atas tiga fase, yaitu remaja awal (12-15 tahun), remaja madya (15-18 tahun) dan remaja akhir (18-21 tahun). Pada tahap remaja awal (12-15 tahun), remaja masih merasa bingung dan mulai beradaptasi terhadap perubahanperubahan yang terjadi pada dirinya dan dorongan-dorongan yang menyertai perubahan-perubahan tersebut. Menurut Hurlock (2004), individu yang memasuki masa remaja awal banyak mengalami perubahan-
Universitas Sumatera Utara
45
perubahan, baik itu secara fisik maupun psikologis. Remaja awal secara psikologis banyak mengalami perubahan dalam hal nilai-nilai, sikap, dan perilaku serta cenderung dianggap belum matang dibanding dengan remaja akhir. Berdasarkan pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa remaja awal adalah seorang individu yang berusia 12-15 tahun yang mengalami perubahan fisik maupun psikologis dan cenderung dianggap belum matang.
2. Pengertian siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah individu yang sedang menjalani pendidikan di Sekolah Menengah Pertama (SMP). Menurut Sulaeman (1995), siswa SMP secara kronologis berusia antara 12-15 tahun. Batasan usia remaja menurut Monks (2001) adalah antara 12-21 tahun, dengan perincian 12-15 tahun merupakan masa remaja awal, 15-18 tahun merupakan masa remaja pertengahan, 18-21 tahun merupakan masa remaja akhir. Secara teoritis beberapa tokoh psikologi mengemukakan tentang batasbatas usia remaja, tetapi dari sekian banyak tokoh yang mengemukakan tidak dapat menjelaskan secara pasti mengenai batasan usia remaja karena masa remaja adalah masa peralihan. Dari kesimpulan yang diperoleh maka masa remaja dapat dibagi dalam dua periode yaitu: pertama, periode masa puber usia 12-18 tahun, dalam tahap ini anak tidak suka diperlakukan seperti anak kecil lagi, anak mulai bersikap kritis. mulai cemas dan
Universitas Sumatera Utara
46
bingung tentang perubahan fisiknya, memperhatikan penampilan, plinplan, suka berkelompok dengan teman sebaya dan senasib. Kedua, periode remaja adolesen usia 19-21 tahun, dalam tahap ini perhatian anak tertutup pada hal-hal realistis, mulai menyadari akan realitas, sikapnya mulai jelas tentang hidup, dan mulai nampak bakat dan minatnya (Putri & Hadi, 2005). Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa siswa SMP berada pada tahap perkembangan remaja awal yang berusia 12-15 tahun.
3. Tugas-tugas perkembangan remaja Tugas perkembangan remaja menurut Havighurst (dalam Mubin dan Cahyadi, 2006), adalah sebagai berikut: a. Menjalin hubungan-hubungan baru dengan teman-teman sebaya, baik sesama jenis maupun lain jenis kelamin. b. Menerima keadaan fisiknya, dan menerima peranannya sebagai pria atau wanita. c. Menginginkan dapat berperilaku yang diterima oleh sosial. d. Mengakui tata nilai dan sistem etika yang membimbing segala tindakan dan pandangan.
4. Ciri-ciri masa remaja Semua periode selama rentang kehidupan adalah sama pentingnya, namun kadar kepentingannya berbeda-beda dan mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum atau sesudahnya. Adapun ciri-ciri remaja menurut Hurlock (2004), antara lain:
Universitas Sumatera Utara
47
a. Masa remaja sebagai periode yang penting Pada
masa
remaja
terjadi
perkembangan
fisik
disertai
perkembangan mental yang cepat dan penting. Semua perkembangan ini menimbulkan perlunya penyesuaian mental dan pembentukan sikap, nilai dan minat baru. b. Masa remaja sebagai periode peralihan Masa remaja merupakan periode dimana seorang anak-anak beralih menjadi dewasa. Remaja harus meninggalkan segala sesuatu yang berbau kekanak-kanakan dan mempelajari pola perilaku dan sikap baru untuk menggantikan yang sudah ditinggalkan. Pada masa ini, remaja bukan lagi seorang anak dan namun bukan juga orang dewasa. c. Masa remaja sebagai periode perubahan Perubahan dalam sikap dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan tingkat perubahan fisik. Ketika perubahan fisik terjadi dengan pesat, perubahan perilaku dan sikap juga berlangsung dengan pesat. Ketika perubahan fisik menurun, maka perubahan sikap dan perialku juga menurun. Selain itu, terdapat juga beberapa perubahan lain, seperti meningginya emosi, perubahan minat dan peran, nilai-nilai, dan bersikap ambivalen terhadap setiap perubahan. d. Masa remaja sebagai usia bermasalah Setiap periode mempunyai masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah pada masa remaja menjadi masalah yang sulit untuk diatasi dikarenakan dua alasan. Pertama, sepanjang masa kanak-kanak, masalah anak-anak diselesaikan oleh orang dewasa, sehingga
Universitas Sumatera Utara
48
kebanyakan remaja tidak berpengalaman dalam mengatasi masalah. Kedua, karena remaja merasa mandiri, sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan orang dewasa. e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas Erikson mengatakan bahwa bagaimana individu mencari identitas mempengaruhi tingkah lakunya. Salah satu cara untuk mengangkat diri sendiri sebagai individu adalah dengan menggunakan simbol status dalam bentuk pemilikan barang yang mudah terlihat. Dengan cara ini, remaja menarik perhatian pada diri sendiri agar dipandang sebagai individu, sementara pada saat yang sama ia mempertahankan identitas dirinya terhadap kelompok sebaya. f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan Stereotipe yang ada dalam masyarakat cenderung akan menjadi cermin bagi citra diri remaja yang lambat laun remaja akan mengarah kepada stereotipe tersebut sehingga nantinya akan berpengaruh terhadap konsep diri dan sikap remaja. Menerima stereotip ini dan adanya keyakinan bahwa orang dewasa mempunyai pandangan yang buruk tentang remaja, membuat peralihan ke masa dewasa menjadi sulit. g. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistik Remaja cenderung melihat kehidupan melalui kacamata berwarna merah jambu. Ia melihat dirinya dan orang lain sebagaimana yang ia inginkan dan bukan sebagaimana adanya. Hal ini tampak dari cita-cita
Universitas Sumatera Utara
49
yang diciptakan oleh remaja yang tidak realistik dan memandang diri dan orang lain tidak sebagaimana adanya. h. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa Dengan semakin meningkatnya usia kematangan, remaja menjadi gelisah untuk meninggalkan stereotipe belasan tahun dan untuk memberikan kesan bahwa mereka sudah hampir dewasa, remaja mulai memusatkan diri pada perilaku yang dihubungkan dengan status dewasa, yaitu merokok, meminum minuman keras, menggunakan obat-obatan, dan terlibat dalam perbuatan seks. Mereka menganggap perilaku ini memberikan citra yang mereka inginkan.
5. Perkembangan fisik remaja Perubahan fisik berhubungan dengan aspek anatomi dan aspek fisiologis, di masa remaja kelenjar hipofesa menjadi masak dan mengeluarkan beberapa hormon, seperti hormon gonotrop yang berfungsi untuk mempercepat kemasakan sel telur dan sperma, serta mempengaruhi produksi hormon kortikortop berfungsi mempengaruhi kelenjar suprenalis, testosteron, estrogen, dan suprenalis yang mempengaruhi pertumbuhan remaja sehingga terjadi percepatan pertumbuhan (Monks dkk, 1999). Dampak dari produksi hormon tersebut menurut Atwater, (1992) adalah ukuran otot bertambah dan semakin kuat, testosteron menghasilkan sperma dan estrogen memproduksi sel telur sebagai tanda kemasakan, munculnya tanda-tanda kelamin sekunder seperti membesarnya payudara, berubahnya
Universitas Sumatera Utara
50
suara, ejakulasi pertama, tumbuhnya rambut-rambut halus di sekitar kemaluan, ketiak dan muka. Menurut Sraufe (1996), pada masa remaja terjadi perkembangan dan perubahan fisik yang sangat pesat dalam masa remaja awal, terutama pada tinggi dan berat badan. Terjadinya perubahan fisik pada masa ini menyebabkan
remaja
harus
melakukan
penyesuaian
terhadap
perubahannya tersebut. Pertumbuhan yang pesat pada tubuh remaja yang membuat diri fisik mereka seperti orang dewasa, menyebabkan orang lain akan memperlakukannya seperti peranan orang dewasa dengan segala tanggung jawabnya walaupun mereka tidak memiliki waktu yang cukup untuk mempelajari segala peranan mereka yang baru. Perkembangan fisik pada masa remaja yang terlalu cepat atau terlalu lambat akan berpengaruh secara psikologis pada diri remaja.
6. Perkembangan kognitif remaja Menurut Piaget (dalam Sroufe, dkk. 1996), masa remaja berada pada tahap formal operasional, dimana mereka sudah mampu berfikir abstrak, deduktif, menggunakan simbol, mampu memecahkan masalah dengan lebih baik, dan mampu membuat hipotesis serta analisis. Edkin (dalam Turner & Helms, 1995) menyatakan pada masa ini muncul egosentrism yaitu bentuk pemusatan diri yang ditunjukkan dengan perhatian individu terhadap apa yang dipikirkan orang lain terhadap dirinya. Egocentrism ini terdiri dari imaginary audience (ia merasa orang lain selalu melihat dan
Universitas Sumatera Utara
51
membicarakannya) dan personal fable (ia merasa unik dan orang lain tidak memiliki pikiran atau perasaan yang sama dengannya).
7. Perkembangan sosial remaja Monks, dkk. (1999) menyebutkan dua bentuk perkembangan remaja yaitu, memisahkan diri dari orangtua dan menuju ke arah teman sebaya. Remaja berusaha melepaskan diri dari otoritas orangtua dengan maksud menemukan jati diri. Remaja lebih banyak berada di luar rumah dan berkumpul bersama teman sebayanya dengan membentuk kelompok dan mengekspresikan segala potensi yang dimiliki. Kondisi ini membuat remaja sangat rentan terhadap pengaruh teman dalam hal minat, sikap, penampilan dan perilaku. Perubahan yang paling menonjol adalah hubungan heteroseksual. Remaja akan memperlihatkan perubahan radikal dari tidak menyukai lawan jenis menjadi lebih menyukai. Remaja ingin diterima, diperhatikan dan dicintai oleh lawan jenis dan kelompoknya. Hurlock (2004), juga mengemukakan bahwa salah satu tugas perkembangan masa remaja yang tersulit adalah yang berhubungan dengan penyesuaian sosial. Remaja harus menyesuaikan diri dengan lawan jenis dalam hubungan yang sebelumnya belum pernah ada dan harus menyesuaikan dengan orang dewasa di luar lingkungan keluarga dan sekolah. Untuk mencapai tujuan dari pola sosialisasi dewasa, remaja harus membuat banyak penyesuaian baru. Yang terpenting dan tersulit adalah penyesuaian diri dengan meningkatnya pengaruh kelompok sebaya, perubahan dalam perilaku sosial, pengelompokan sosial yang baru, nilai-
Universitas Sumatera Utara
52
nilai baru dalam seleksi persahabatan, nilai-nilai baru dalam dukungan dan penolakan sosial, dan nilai-nilai baru dalam seleksi pemimpin. Dalam hidup bermasyarakat, remaja dituntut bersosialisasi. Sejak anak-anak, seseorang telah memasuki kelompok teman sebaya. Pada masa remaja, kelompok teman sebaya cenderung terdiri atas satu jenis kelamin yang sama karena secara fisik mempunyai ciri yang berbeda, dan pada masa remaja sudah mulai timbul kesadaran terhadap dirinya (Rumini, 2004). Dalam proses perkembangan sosial, remaja juga dengan sendirinya mempelajari proses penyesuaian diri dengan lingkungannya, baik di lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, maupun lingkungan masyarakat. Perkembangan sosial individu sangat tergantung pada kemampuan individu
untuk
menyesuaikan
diri
dengan
lingkungannya
serta
keterampilan mengatasi masalah yang dihadapinya (Ali & Asrori, 2004). Remaja yang sudah mencapai tahapan berpikir operasional formal, sudah menyadari akan pentingnya nilai-nilai dan norma yang dapat dijadikan pegangan hidupnya, sudah mulai berkembang ketertarikan dengan lawan jenis, memiliki kohesivitas kelompok yang kuat, serta cenderung membangun budaya kelompoknya sendiri, akan sangat memberikan warna tersendiri terhadap dinamika penyesuaian diri remaja. Lingkungan
sekolah
dapat
memungkinkan
berkembangnya
atau
terhambatnya proses perkembangan penyesuaian diri (Ali & Asrori, 2004).
Universitas Sumatera Utara
53
8. Perkembangan emosi remaja Pola emosi pada masa remaja sama dengan pola emosi pada masa kanak-kanak. Pola-pola emosi itu berupa marah, takut, cemburu, ingin tahu, iri hati, gembira, sedih dan kasih sayang. Perbedaan terletak pada rangsangan yang membangkitkan emosi dan pengendalian dalam mengekspresikan emosi. Remaja umumnya memiliki kondisi emosi yang labil dan pengalaman emosi yang ekstrem serta selalu merasa mendapatkan tekanan. Pada akhir masa remaja, remaja mampu menahan diri untuk tidak mengeksperesikan emosi secara ekstrem, mampu mengekspresikan emosi secara tepat sesuai dengan situasi dan kondisi lingkungan serta dengan cara yang dapat diterima masyarakat. Dengan kata lain remaja yang mencapai kematangan emosi akan memberikan reaksi emosi yang stabil (Hurlock, 2004).
D. Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) 1. Pengertian rational emotive behavior therapy (REBT) Rational Emotif Behaviour Therapy (REBT) dipelopori oleh Albert Ellis, seorang psikolog klinis yang ahli dalam psikoanalisis. Pada awalnya REBT disebut dengan Rational Therapy (Terapi Rasional) kemudian berubah menjadi Rational Emotive Therapy (Terapi rasional dan emosi) dan akhirnya pada awal tahun 1990-an menjadi Rational Emotive Behaviour Therapy (REBT). REBT merupakan salah satu terapi kognitif dan perilaku. Meskipun dibangun secara terpisah namun memiliki banyak kesamaan seperti terapi kognitif (cognitive therapy). Lebih dari setengah
Universitas Sumatera Utara
54
abad yang lalu, REBT telah dikembangkan secara signifikan dan terus berubah (Froggatt, 2005). Ellis (dalam Dominic, 2003) berpendapat bahwa yang perlu dirubah oleh individu untuk mengatasi masalah emosi maupun perilakunya adalah adanya keyakinan irasional yang dikembangkan sendiri oleh individu. Selanjutnya Ellis (dalam Froggatt, 2005) menyatakan bahwa manusia pada dasarnya adalah unik dimana memiliki kecenderungan untuk berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkah laku rasional manusia akan efektif, bahagia, dan memiliki kemampuan. Ketika berpikir dan bertingkah laku irasional individu itu menjadi tidak efektif. Jensen (2008) mengemukakan bahwa REBT adalah suatu terapi untuk memahami dan mengatasi masalah emosi dan perilaku dengan memperbaiki keyakinan ataupun pikiran yang irasional. Hal tersebut juga sejalan dengan yang dinyatakan oleh Gunarsa (2000) bahwa REBT merupakan terapi yang berusaha memperbaiki pola berfikir yang irasional. Menurut Komalasari (2011), REBT merupakan bagian dari cognitive behavior therapy yang menekankan pada keterkaitan antara perasaan, tingkah laku, dan pikiran. Hal ini juga sejalan dengan yang dinyatakan oleh Ellis (dalam Dryden & Neenan, 2004) yaitu REBT berasumsi bahwa pikiran, emosi dan perilaku manusia merupakan proses psikologis yang saling berinteraksi. Ketika individu memikirkan tentang sesuatu hal, maka mereka juga memiliki kecenderungan untuk memiliki reaksi emosional terhadap hal tersebut serta memberi tindakan terhadap hal tersebut. Oleh sebab itu, dalam REBT tidak hanya melibatkan metode restrukturisasi
Universitas Sumatera Utara
55
kognitif, tetapi juga melibatkan metode emotif-evokatif dan metode behavioral dalam rangka membantu klien mengubah pemikiran mereka. Selanjutnya, REBT juga tidak hanya berfokus pada emosi dan pemikiran klien tetapi juga mendorong klien untuk secara aktif mengaplikasikan apa yang telah dipelajari dalam sesi terapi ke dalam praktik sehari-hari melalui penggunaan metode-metode behavioral. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa REBT adalah suatu terapi yang berusaha menghilangkan pola berpikir yang irasional dan menggantinya dengan pikiran yang untuk mengatasi masalah emosi dan perilaku negatif dengan menggunakan teknik kognitif, emotif maupun behavioral.
2. Konsep teori dalam rational emotive behavior therapy (REBT) Teori Ellis merupakan konsep dasar dalam memahami REBT. Adapun 3 konsep dasar yaitu yang dikemukakan Ellis yaitu antecedent event (A), belief (B), dan emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal dengan konsep atau teori ABC. Berikut ini merupakan penjelasannya (dalam Froggatt, 2005): a. Antecedent event (A) yaitu seluruh peristiwa luar yang dialami atau terpapar pada individu. Peristiwa pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent event bagi seseorang.
Universitas Sumatera Utara
56
b. Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional merupakan cara berpikir atau sistem keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan menjadikan seseorang produktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan atau sistem berpikir seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan membuat orang tidak produktif. c. Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi disebabkan oleh beberapa variabel antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang pikiran rasional (rB) maupun pikiran irasional (iB). Ellis (dalam Froggratt, 2005) juga menambahkan D dan E untuk rumus ABC ini. Seorang terapis harus melawan (Dispute; D) keyakinankeyakinan irasional itu agar kliennya bisa menikmati dampak-dampak (Effects; E) psikologis positif dari keyakinan-keyakinan yang rasional.
3. Teknik-teknik rational emotive behavior therapy (REBT) REBT menggunakan berbagai teknik yang bersifat kognitif, afektif, behavioral dan humor. Beberapa teknik dapat digabungkan sesuai dengan
Universitas Sumatera Utara
57
permasalahan yang dihadapi klien. Adapun teknik-teknik tersebut yaitu antara lain (Corey, 2003): a. Teknik kognitif Beberapa terapi kognitif yang cukup dikenal adalah: 1) Home work assigment (pemberian tugas rumah), merupakan teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola tingkah laku yang diharapkan. Dengan tugas rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan
tertentu
berdasarkan
tugas
yang
diberikan.
Pelaksanaan home work assigment yang diberikan terapis dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan tatap muka dengan terapis.
Teknik
ini
dimaksudkan
untuk
membina
dan
mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien dan mengurangi ketergantungannya kepada terapis. 2) Latihan asertif, merupakan teknik untuk melatih keberanian klien dalam mengekspresikan perilaku-perilaku tertentu yang diharapkan melalui bermain peran, latihan atau meniru model-model sosial. Tujuan utama teknik latihan asertif adalah:
Universitas Sumatera Utara
58
a) Mendorong
kemampuan
klien
dalam
mengekspresikan
berbagai hal yang berhubungan dengan emosinya. b) Membangkitkan kemampuan klien dalam mengungkapkan hak asasinya sendiri tanpa menolak atau memusuhi hak asasi orang lain. c) Mendorong klien untuk meningkatkan kepercayaan dan kemampuan diri. d) Meningkatkan kemampuan untuk memilih tingkah laku yang cocok untuk dirinya sendiri. b. Teknik afektif Teknik
ini
digunakan
untuk
membantu
klien
dalam
mengidentifikasi emosi dan keyakinan, serta menemukan kesulitan verbalisasi. Pada saat tertentu ada klien yang mampu mengenal perasaan dan kognitifnya, tapi tidak dapat menggunakannya dalam kejadian-kejadian tertentu. Dalam hal ini teknik yang dapat digunakan, yaitu: 1) Teknik assertive training, merupakan teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong dan membiasakan klien agar secara terusmenerus menyesuaikan diri dengan tingkah yang diinginkannya. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien. 2) Teknik sosiodrama atau bermain peran, merupakan teknik yang digunakan untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan yang negatif) melalui suasana yang
Universitas Sumatera Utara
59
dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu. 3) Teknik self modeling, merupakan teknik yang digunakan untuk meminta klien agar berjanji atau mengadakan komitmen dengan terapis mengenai perasaan atau perilaku tertentu yang diharapkan. Dalam self modeling ini klien diminta untuk tetap setia pada janjinya dan secara terus-menerus menghilangkan diri dari sikap negatif. 4) Teknik imitasi, merupakan teknik untuk menirukan secara terusmenerus suatu model tingkah laku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan tingkah lakunya sendiri yang negatif. c. Teknik behavioristik Dalam
banyak
hal
REBT
banyak
menggunakan
teknik
behavioristik terutama dalam hal upaya memodifikasi perilakuperilaku negatif klien, dengan mengubah akar-akar keyakinan yang tidak rasional dan tidak logis, beberapa teknik yang tergolong behavioristik adalah: 1) Teknik reinforcement (penguatan), digunakan untuk mendorong klien ke arah tingkah laku yang lebih rasional dan logis dengan cara memberikan reward ataupun punishment. 2) Teknik social modeling merupakan teknik untuk membentuk perilaku-perilaku baru klien. Teknik ini dilakukan agar klien dapat hidup dalam suatu model sosial yang diharapkan dengan cara
Universitas Sumatera Utara
60
mutasi (meniru), mengobservasi dan menyesuaikan dirinya dan menginternalisasikan norma-norma dalam sistem model sosial dengan masalah tertentu yang telah disiapkan terapis. 3) Teknik live models merupakan teknik yang digunakan untuk menggambarkan perilaku-perilaku tertentu. Khususnya situasisituasi interpersonal yang kompleks dalam bentuk percakapanpercakapan sosial, interaksi dengan memecahkan masalahmasalah. d. Humor Penggunaan humor dalam proses REBT telah diterapkan dalam berbagai macam kesempatan, seperti di Sekolah Dasar, terapi karier, terapi kelompok, terapi keluarga dan terapi analitik. Humor juga dapat digunakan untuk menciptakan rapport dan sebagai teknik untuk membuka diri klien. Humor diharapkan dapat membantu klien agar tercipta suasana yang tidak menakutkan dan klien juga dapat menikmati proses terapi. Dalam proses terapi ini terapis dapat mengajak klien untuk menertawakan pikiran irasionalnya dan bertanggung jawab terhadap pikirannya tersebut. Penggunaan humor dalam terapi sebaiknya memperhatikan latar belakang budaya yang dimiliki oleh klien. Ada budaya-budaya tertentu yang bisa menerima humor sebagai konsekuensi kegagalan yang dilakukan, namun ada juga budaya atau nilai-nilai masyarakat yang berpikiran bahwa kegagalan tidak boleh ditertawakan.
Universitas Sumatera Utara
61
4. Distorsi kognitif yang diperbaiki dalam rational emotive behavior therapy (REBT) Beberapa distorsi kognitif yang terjadi pada anak dan remaja (Christner, Stewart & Freeman, 2007) antara lain: a. Dichotomous thinking Pemikiran ini menunjuk pada kecenderungan remaja untuk mengevaluasi kualitas pribadi diri sendiri dalam kategori 'hitam atau putih' secara ekstrim. Misalnya “Bila saya tidak berhasil, maka saya bukan apa-apa sama sekali." b. Overgeneralization Remaja memiliki pemikiran yang terlalu menggeneralisasi terhadap peristiwa yang dihadapinya. Remaja menyimpulkan bahwa satu hal yang pernah terjadi pada dirinya akan terjadi lagi berulang kali. Misalnya “Dia tidak mengundangku ke pesta ulang tahunnya, dan aku tidak akan pernah diundang oleh siapapun ke pesta mereka.” c. Mind reading Remaja berasumsi bahwa ia mengetahui hal yang dipikirkan orang lain tentang dirinya tanpa mengecek kembali kebenaran atau buktinya. Misalnya “Saya mengetahui bahwa ibu saya kecewa kepada saya.” d. Emotional reasoning Remaja menggunakan emosinya sebagai bukti untuk kebenaran yang dikehendakinya. Penalaran emosional akan menyesatkan sebab perasaan
individulah
yang
menjadi
cermin
pemikiran
serta
keyakinannya, bukan kondisi yang sebenarnya. Misalnya, “Saya
Universitas Sumatera Utara
62
merasa tidak ada yang menyukai saya, jadi memang tidak ada yang menyukai saya.” e. Disqualifying the positive Suatu pemikiran yang dilakukan oleh remaja yang tidak hanya sekedar mengabaikan pengalaman-pengalaman yang positif, tetapi juga mengubah semua pengalaman yang dialaminya menjadi hal yang negatif. Misalnya, “Saya bisa menyelesaikan kuis tersebut karena guru saya telah membantu saya dan kebetulan saya berutung.” f. Catastrophizing Remaja memiliki kecenderungan untuk membesar-besarkan atau mengecilkan hal-hal yang dialaminya di luar proporsinya. Pembesaran yaitu remaja akan melebih-lebihkan kesalahan, ketakutan, atau ketidaksempurnaan dirinya. Pengecilan yaitu remaja akan mengecilkan nilai dari kemampuan dirinya sehingga kemampuan yang dimilikinya tampak menjadi kecil dan tidak berarti. Jika remaja membesarbesarkan
ketidaksempurnaan
dirinya
serta
memperkecil
kemampuannya, maka remaja akan merasa dirinya rendah dan tidak berarti. Misalnya “Saya akan keluar dari kelompok ini karena tidak ada teman yang menginginkan saya berada dikelompok mereka. g. Personalization Remaja merasa bertanggung jawab atas peristiwa negatif yang terjadi, walaupun sebenarnya peristiwa bukan merupakan kesalahan dirinya. Jadi, individu memandang dirinya sebagai penyebab dari suatu peristiwa yang negatif, yang dalam kenyataan sebenarnya bukan
Universitas Sumatera Utara
63
individu yang harus bertanggung jawab terhadap peristiwa tersebut. Misalnya, “Dia tidak mau berbicara dengan saya karena mungkin saya telah melakukan suatu kesalahan kepadanya, saya harus melakukan sesuatu.” h. Should statements Remaja berpikir dengan menggunakan kata-kata harus atau wajib untuk menggambarkan bagaimana ia atau orang lain berperilaku Misalnya, "Saya harus selalu mengatakan ya ketika teman-teman saya meminta bantuan saya, karena saya tidak boleh egois." i.
Comparing Remaja membandingkan kinerjanya dengan orang lain, biasanya perbandingan dibuat untuk kinerja yang lebih tinggi dan pada orang lain yang lebih tua. Misalnya, “ Saya belum bisa membaca, kakak saya juga belum bisa membaca, kakak saya sseharusnya lebih pintar dari saya dan sudah bisa membaca.”
j.
Selective abstraction Remaja memfokuskan perhatian pada satu detail (biasanya negatif), tatapi mengabaikan aspek lain yang lebih relevan. Misalnya, “Guru saya tidak menyayangi saya, dia memberikan saya nilai tugas tambahan yang harus saya kerjakan.” Padahal guru menawarkan bantuan apabila ia kesulitan dalam mengerjakan tigas tersebut dan memberikan kepadanya kesempatan untuk memilih soal yang mudah baginya.
Universitas Sumatera Utara
64
k. Labeling Remaja menciptakan gambaran diri yang negatif yang didasarkan pada kesalahan yang telah ia buat. Remaja memiliki pemikiran yang lebih berfokus pada kesalahan yang dibuatnya, bukan pada kelebihan potensi dirinya. Misalnya, “Saya adalah orang yang sangat pecundang, saya kalah” dari pada, “Wah, saya kurang bermain optimal pada pertandingan itu”
5. Langkah-langkah pelaksanaan rational emotive behavior therapy (REBT) REBT terdiri atas enam langkah yang ditujukan untuk mengatasi gangguan emosional dan gangguan perilaku yang dialami klien. Tahapan REBT berkaitan dengan model ABCD. Adapun langkah-langkah atau tahap-tahap pelaksanaan REBT yaitu antara lain, pertama REBT dimulai dengan
memberi
salam
dan
mengespresikan permasalahan
menyapa mereka,
klien,
kemudian
membantu
klien
mengajak
klien
mendiskusikan harapan-harapan yang ingin dicapai dalam terapi serta menentukan aturan praktis yang mendasar seperti durasi dan frekuensi sesi terapi. Setelah melakukan ketiga hal tersebut, terapis selanjutnya disarankan untuk menggunakan keterampilan pemecahan masalah dan meminta klien untuk memilih masalah yang akan diselesaikan. Apabila klien memiliki banyak masalah yang ingin diselesaikan maka sebaiknya terapis membantu klien untuk membuat daftar masalah dan memilih mana
Universitas Sumatera Utara
65
masalah yang menjadi prioritas untuk dicari solusinya terlebih dahulu (Dryden & Neenan, 2004). Setelah permasalahan ditentukan terapis perlu menilai apakah permasalahan tersebut berkaitan dengan masalah meta emosional seperti merasa malu karena cemas, merasa bersalah karena marah dan sebagainya. Apabila masalah meta-emosional ini terkait dengan masalah utama yang akan dibahas, maka dengan persetujuan klien, masalah emosional ini harus diselesaikan
atau
diklarifikasi
terlebih
dahulu.
Seperti
halnya
permasalahan lain, dalam REBT masalah meta-emosional dapat dinilai dengan menggunakan kerangka model ABC (Dryden & Neenan, 2004). Dryden dan Neenan (2004) mengemukakan langkah-langkah utama dalam REBT yakni sebagai berikut: a. Memilih dan menilai masalah Pada tahapan ini terapis harus menyampaikan tiga pesan penting pada klien yaitu: 1) waktu klien sangat berharga oleh karena itu terapis harus benar-benar dapat mengikutinya dengan cepat namun efektif, 2) REBT sangat efisien namun singkat oleh karenanya fokus terhadap pemecahan masalah harus ditingkatkan, 3) memberi tanda pada klien bahwa terapis harus aktif selama proses terapi berlangsung dan direktif dalam menjaga proses terapi agar tidak keluar jalur. Dalam pemilihan masalah, terdapat dua strategi yang dapat digunakan terapis, yang pertama dengan memberikan pilihan pada klien dalam menentukan masalah yang
Universitas Sumatera Utara
66
akan diselesaikan terlebih dahulu dan kedua dengan menanyakan pada klien masalah yang paling mengganggunya. Setelah masalah utama ditentukan maka terapis diharapkan dapat menemukan masalah sekunder yang juga disebut masalah meta-emosional. Masalah meta-emosional didefinisikan secara literal sebagai masalah emosional yang menjadi penyebab dari masalah emosional lainnya. Setelah masalah meta-emosional terdeteksi, maka terdapat beberapa kriteria untuk menyeleksi mana yang akan diselesaikan terlebih dahulu. Kriteria tersebut antara lain: 1) apakah masalah meta-emosional sangat berkaitan secara signifikan dengan masalah utama klien, 2) apakah masalah metaemosional dipandang lebih penting dari masalah utama, dan 3) apabila klien lebih nyaman untuk menyelesaikan masalah metaemosional terlebih dahulu baru kemudian membahas mengenai masalah utama. Ketika klien masih kesulitan atau gagal dalam menunjuk suatu masalah dengan cepat, maka terapis juga dapat menerapkan sejumlah cara dalam membantu klien memilih masalah yang ingin diselesaikan terlebih dahulu. Pertama, yakni dengan memberi tahu klien bahwa ia tidak harus mengungkap secara langsung atau “to the point” pada masalah yang paling mengganggunya, terapis dapat menyarankan klien untuk memilih masalah yang lebih “dangkal” dan meyakinkan klien bahwa semua orang memiliki area kehidupan yang ada di bawah optimal dengan demikian terapis
Universitas Sumatera Utara
67
dapat memperoleh kesepakatan untuk membahas mengenai “rasa malu terhadap sesuatu” dalam diri klien terlebih dahulu sebelum mendorong klien untuk mengungkap masalah sebenarnya. Kedua, terapis dapat menganjurkan klien mengidentifikasi perasaan dan perilaku yang ingin ditingkatkan atau dikurangi, serta sikap yang ingin dirubah atau diperoleh. Ketiga, terapis dapat menanyakan pada klien mengenai apa yang ingin mereka peroleh dari terapi serta hal-hal apa saja yang mungkin dapat menghambat mereka dari hal-hal yang diinginkan tersebut. Keempat, terapis dapat menjadi lebih “friendly” terhadap klien dengan cara merekonseptualisasikan peran sebagai pelatih atau konsultan, pertanyaan lebih difokuskan pada klien seperti “Apakah ada tantangan-tantangan hidup yang ingin Anda diskusikan?” atau “Persoalan apa yang kiranya ingin Anda jadikan fokus dalam perbincangan kita?” b. Penetapan tujuan Waktu terbaik untuk mendiskusikan perihal penetapan tujuan adalah saat klien sudah mampu mengungkapkan situasi atau masalah yang dirasa mengganggunya. Informasi mengenai hal tersebut menjadi dasar bagi penetapan tujuan khusus yang akan disepakati. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penetapan tujuan ini antara lain: 1) Membedakan antara tujuan jangka pendek dan jangka panjang
Universitas Sumatera Utara
68
Tujuan jangka pendek melibatkan sedikit tugas dan mengurangi ketidaknyamanan namun membawa hasil yang cepat. Tujuan jangka pendek cenderung akan mengulang permasalahan klien. 2) Mencegah ketenangan dalam menghadapi kesulitan Klien seringkali mengungkapkan tujuan bahwa mereka ingin lebih tenang atau rileks dalam menghadapi permasalahan terutama yang terkait peristiwa tidak menyenangkan dalam hidup. Tujuan seperti ini biasanya melibatkan penyangkalan diri didalamnya. Terapis dapat mendorong klien untuk menerima suatu peristiwa tersebut terlebih dahulu, lalu kemudian membedakan mana bagian dari peristiwa tersebut yang dapat diubah dan mana yang tidak dapat diubah. 3) Membantu klien menyatakan tujuan dalam istilah yang positif Tujuan dalam istilah yang positif lebih menggambarkan apa yang ingin klien lakukan dan rasakan, bukan apa yang tidak ingin klien lakukan atau rasakan. Contohnya: “Saya ingin lebih percaya diri ketika berbicara di depan umum” bukannya “Saya tidak mau merasa malu dan gugup ketika berbicara di depan umum. 4) Membantu klien untuk mengubah tujuan yang samar menjadi tujuan yang jelas dan spesifik Tujuan yang samar atau sangat umum seperti “Saya ingin merasa bahagia” sangat tidak membantu dalam sesi terapi
Universitas Sumatera Utara
69
karena tujuan tersebut tidak mengindikasikan kebahagiaan seperti apa yang ingin dicapai. Hal ini perlu diklarifikasi dengan pertanyaan-pertanyaan yang dapat membuat tujuan tersebut lebih spesifik seperti, ”Hal-hal apa saja yang dapat membawa kebahagiaan dalam hidupmu?” atau “Apa yang kamu perlukan agar bisa merasa bahagia?”. 5) Tujuan berfokus pada hasil bukan pada proses REBT merupakan pendekatan yang berfokus kepada hasil, bukan pada proses. Oleh karena itu apabila klien tidak dapat mengubah fokus terapi dari eksplorasi diri atau instropeksi menjadi kesepakatan rencana pencapaian tujuan yang jelas maka disarankan untuk mengganti terapi pada pendekatan yang lain. 6) Menerapkan pedoman penetapan tujuan “SMART” Pedoman penetapan tujuan SMART terdiri atas: a) simple and specific, tujuan diungkapkan dengan sesederhana dan sekhusus mungkin, b) measurable, tujuan harus terukur dengan kata lain klien harus mengetahui apakah mereka dapat mencapai tujuan tersebut atau tidak, c) agreed, harus ada kesepakatan antara terapis dan klien terkait tujuan yang ditetapkan, d) realistic, tujuan harus sesuai dengan kenyataan dan memungkinkan untuk dicapai, dan e) timebound, tujuan harus memiliki batas waktu karena menentukan seberapa panjang proses terapi yang akan ditempuh.
Universitas Sumatera Utara
70
c. Mengajarkan hubungan antara B dan C serta menilai keyakinan irasional Mengajarkan hubungan antara B dan C pada klien berarti mengajarkan konsep mengeni tanggung jawab emosional, yakni bahwa gangguan emosional pada umumnya terbentuk dikarenakan oleh pemikiran irasional, bukan disebabkan oleh suatu kejadian atau orang lain yang dianggap berkontribusi terhadap masalah yang dihadapi klien. Sementara itu untuk menilai keyakinan irasional, penggunaan pertanyaan dalam bentuk terbuka (open ended) dan berdasarkan teori (theory driven) akan sangat membantu. d. Memeriksa keyakinan irasional dan keyakinan rasional Pemeriksaan terhadap sistem keyakinan klien bertujuan untuk mendorong klien mengembangkan sistem keyakinan rasional dalam konteks yang spesifik, antar situasi dan menjadi filosofi hidup bergantung pada seberapa tinggi tingkat perubahan yang ingin dicapai oleh klien. Pemeriksaan biasanya dimulai pada konteks yang spesifik sebelum mengarah pada pandangan yang lebih
luas
mengenai
kehidupan
dan
permasalahan
klien.
Pemeriksaan keyakinan ini dapat dilakukan dengan meninjau pada distorsi kognitif yang mungkin saja terjadi pada diri klien. e. Menegosiasikan dan meninjau ulang tugas rumah Pada akhir setiap sesi terapi, klien harus dipersiapkan untuk melakukan tugas rumah dalam rangka memperkuat kemunculan keyakinan rasionalnya. Tugas rumah merupakan aktivitas yang
Universitas Sumatera Utara
71
dilakukan klien pada jeda antar sesi dengan tujuan untuk mempraktikkan hal-hal yang telah dipelajari pada sesi terapi. Tugas rumah terutama berguna bagi klien untuk mengembangkan kompetensi dan kepercayaan diri dalam proses menjadi terapis bagi dirinya sendiri. Tugas rumah dibagi menjadi tiga kategori yakni: 1) Tugas rumah berorientasi kognitif. Tugas rumah kognitif membantu klien untuk lebih memahami teori dan praktik REBT serta membantu klien memperdalam pengetahuan terhadap permasalahan mereka, metode yang disarankan adalah berupa membaca literature self-helf, atau mendengarkan rekaman audio sesi terapi. 2) Tugas rumah berorientasi behavioral. Tugas rumah behavioral merupakan ciri utama REBT dimana klien belajar melawan keyakinan irasional mereka. Tugas rumah behavioral juga menunjukkan pada klien bahwa pencapaian insight dikarenakan oleh upaya mereka untuk menemukan efikasi dari keyakinan irasional dengan cara mempraktikkannya. Metode yang disarankan adalah berupa permainan bermain peran, kontrak kontingensi dan sebagainya. 3) Tugas rumah berorientasi imaginal (pencitraan). Tugas rumah ini meliputi penggunaan gambar atau citra mental sebagai bentuk gladi dimana klien dapat memperoleh kepercayaan diri dalam melakukan tugas-tugas terapi. Klien juga dapat menggunakan penggambaran atau pencitraan ini untuk
Universitas Sumatera Utara
72
mencapai perubahan afektif (dari perasaan terganggu menjadi tidak terganggu)
melalui restrukturisasi kognitif ketika
membayangkan dengan jelas situasi yang menekan. 4) Tugas rumah berorientasi emotif. Tugas rumah ini dirancang untuk melibatkan klien secara penuh dalam upaya menghapus perasaan terganggunya melalui penantangan yang persisten dan kuat terhadap gagasan-gagasan irasional klien. Dalam menegosiasikan tugas rumah terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan oleh terapis REBT, yaitu antara lain: 1) Memastikan bahwa tugas rumah merupakan kelanjutan dari sesi terapi atau berhubungan dengan pokok bahasan yang dibahas dalam sesi terapi. 2) Bekerja sama dengan klien, yaitu dengan cara menjamin bahwa klien memahami relevansi antara masalah mereka dengan tugas rumah yang akan dilakukan, sepakat untuk mengerjakan tugas rumah dalam rangka pencapaian tujuan, memiliki keterampilan yang dapat diandalkan untuk melakukan tugas rumah dan memiliki kepercayaan diri untuk melakukan tugas rumah yang diberikan terapis. 3) Memberikan tugas rumah dengan kriteria yang menantang namun tidak memberatkan atau membebani klien. 4) Membantu klien mengidentifikasi hambatan dalam pengerjaan tugas rumah dan menganjurkan upaya-upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
73
5) Merancang tugas rumah untuk beragam tujuan, tidak hanya terkait
melawan
keyakinan
irasional
dan
memperkuat
keyakinan rasional tetapi juga dapat digunakan untuk mengajarkan klien mengenai teori ABCDE dalam REBT. Setelah menerima hasil pengerjaan tugas rumah dari klien, terapis harus meninjau ulang tugas-tugas tersebut sebelum memulai setiap sesi terapi atau di awal setiap sesi terapi. Apabila terapis mengabaikan tugas-tugas yang telah dikerjakan oleh klien maka akan mengkomunikasikan pada klien bahwa tugas-tugas tersebut tidak penting dan hal semacam itu harus dihindari. Dalam meninjau ulang tugas rumah terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan yaitu antara lain: 1) Memastikan klien benar-benar menghadapi peristiwa pemicu yang mengganggunya. 2) Memastikan klien mengubah sistem keyakinannya (B) dari yang irasional menjadi rasional. 3) Menerima kegagalan klien dalam mengerjakan tugas rumah dan membantunya mengidentifikasi hambatan-hambatan yang membuatnnya
gagal
serta
menganjurkan
solusi
untuk
mengatasi hambatan-hambatan tersebut. f. Working trough atau penyelesaian Langkah terakhir dalam REBT ini mengacu pada proses menginternalisasikan keyakinan rasional atau dikenal juga sebagai
Universitas Sumatera Utara
74
E dalam model ABCDE. Terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan saat melakukan langkah penyelesaian ini: 1) Menyarankan klien untuk melakukan tugas rumah yang berbeda-beda untuk memeriksa keyakinan irasional yang sama. 2) Menjelaskan tentang model perubahan non-liniar pada klien dengan tujuan untuk mempersiapkan klien dalam menghadapi beragam kesulitan yang mungkin mereka hadapi saat menantang atau mengubah keyakinan rasional. Perubahan dalam terapi meliputi upaya klien untuk membuat gangguan emosional dalam dirinya berkurang (bukan menjadi individu yang tidak mungkin terganggu sama sekali) ketika menghadapi kejadian yang tidak menyenangkan. Perubahan dapat diukur secara relatif dengan memperhatikan frekuensi (sering atau tidaknya gangguan emotional muncul), intensitas (intens atau tidaknya gangguan emosional yang dialami) dan durasi (lama atau singkatnya gangguan emosional berlangsung dalam diri klien). 3) Membantu klien menjadi terapis bagi diri sendiri. Guna dapat menjadi terapis bagi diri sendiri, klien harus a) mengambil tanggungjawab lebih dalam merancang, melakukan dan meninjau ulang tugas rumah, b) menggunakan model ABCDE untuk memahami dan mengatasi masalah emosional dan behavioral mereka, dan c) memilih teknik yang tepat untuk mencapai perubahan terapeutik. Untuk mendorong klien agar
Universitas Sumatera Utara
75
lebih aktif dalam proses pemecahan masalah maka terapis dapat menggunakan pertanyaan-pertanyaan singkat yang dapat menggerakkan klien menelusuri model ABCDE. Adapun pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain: a) Apa yang terjadi pada A? b) Bagaimana perasaan atau tindakan Anda terhadap C? c) Dapatkah Anda menunjukkan mana A kritis (aspek subjektif dari situasi yang mengganggu individu) yang Anda rasakan dalam situasi ini? d) Apa yang Anda katakan pada diri Anda (B) agar dapat merasa atau bertindak demikian pada C? e) Perlawanan apa (D) yang Anda gunakan untuk menantang keyakinan irasional Anda? f) Apakah Anda dapat memikirkan tugas rumah yang relevan untuk menantang keyakinan irasional? g) Keyakinan
rasional
seperti
apa
yang
ingin
Anda
pertahankan? h) Apa yang akan Anda lakukan untuk memperkuat keyakinan rasional? i) Setelah menginternalisasikan sistem keyakinan Anda, efek apa yang Anda alami terkait pikiran, perasaan dan tindakan Anda?
Universitas Sumatera Utara
76
6. Proses rational emotive behavior therapy (REBT) Proses REBT terdiri dari tahapan-tahapan yang berbeda dalam setiap tahapan. Terapis dapat menggunakan berbagai teknik dan strategi yang dianggap sesuai dengan keadaan klien. Berikut ini merupakan uraian tahapan utama dalam REBT yaitu tahap awal, pertengahan dan akhir (Dryden & Neenan, 2004): a. Tahap awal (Beginning stage) Adapun yang dilakukan pada tahap awal yaitu: 1) Membangun aliansi kerja Tugas pertama dari terapis dalam REBT adalah memulai sesi pertama dengan memberi salam pada klien dan membangun aliansi terapeutik yang produktif dengan klien melalui diskusi mengenai alasan klien untuk mengikuti terapi, menjelaskan tujuan terapis dan membantu menjelaskan adanya kekeliruan dalam memandang konsep terapi, membicarakan frekuensi dan durasi terapi, mengkomunikasikan pemahaman terhadap permasalahan klien, menunjukkan penerimaan tanpa syarat terhadap klien serta menunjukkan kredibilitas sebagai terapis yang efektif. 2) Mengajarkan model ABC Pada tahap ini terapis mengajarkan model gangguan emosional pada klien. Awalnya terapis membantu klien untuk memahami bahwa permasalahan emosionalnya lebih banyak dipengaruhi oleh keyakinan irasional daripada pengalaman yang sulit dalam hidupnya. Kemudian terapis membantu klien untuk memahami
Universitas Sumatera Utara
77
bahwa dalam rangka mengubah emosi disfungsional mereka, penting untuk memeriksa bagaimana keyakinan yang mereka miliki apakah rasional atau irasional. Selanjutnya terapis mendorong klien untuk mempraktikkan apa yang mereka peroleh dalam
sesi
terapi
ke
dalam
kehidupan
sehari-hari
(menginternalisasikan ketiga insight utama). Pada tahap awal terapi REBT, klien masih belum familiar dengan terapi REBT. Oleh karena itu terapis diharapkan menggunakan pendekatan aktif direktif yang terfokus untuk membantu klien mempelajari model gangguan emosional dalam terapi REBT. Penting bagi terapis untuk tetap fokus terhadap suatu masalah sampai pada batasan waktu tertentu. Apabila terapis mengubah fokus dari satu masalah ke masalah lain sebelum klien memahami salah satunya, maka akan menimbulkan kebingungan pada klien dan mereka akan kesulitan mempelajari gangguan emosional terkait masalah yang mereka alami. Pada akhir tahap awal, klien diharapkan dapat memperoleh pelajaran bahwa keyakinan irasional mereka sebagian besar mempengaruhi masalah emosional dan behavioral yang mereka alami dan mereka harus terlebih dahulu mengidentifikasi keyakinan irasional mereka sebelum mulai memahami masalah utama mereka. Pelajaran tersebut harus dilanjutkan dengan pengerjaan tugas-tugas rumah.
Universitas Sumatera Utara
78
3) Mengatasi keraguan-keraguan klien Klien memiliki cara sendiri mengenai apa yang menurut mereka berguna bagi penyelesaian masalah mereka, termasuk halhal terkait metode dalam terapi REBT. Guna mengatasi keraguan klien terhadap seberapa efektif metode terapi ini dalam membantu mereka, terapis dapat memberikan target waktu penggunaan metode tersebut misalnya selama 5 sesi pertama.
b. Tahap pertengahan (Middle stage) Adapun yang dilakukan pada tahap pertengahan yaitu: 1) Mempertimbangkan untuk mengubah fokus masalah Pada tahap pertengahan terapi, klien harus memperoleh pengalaman terkait mempertanyakan keyakinan irasional yang mempengaruhi permasalahan mereka serta mempertimbangkan keyakinan rasional yang menjadi alternatifnya. Klien juga diharapkan sudah mulai terbiasa dengan tugas rumah yang diberikan terapis. Ketika klien memiliki beberapa permasalahan selain permasalahan utama yang ingin mereka atasi atau selesaikan,
maka
penting
untuk
tetap
bertahan
dengan
permasalahan utama yang mereka alami. 2) Mengidentifikasi dan memodifikasi keyakinan irasional inti Ketika terapis mengubah fokus masalah ke masalah lainnya, baik sebelum atau sesudah klien mencapai kemampuan coping yang memadai terhadap masalah utama, penting bagi terapis untuk
Universitas Sumatera Utara
79
mencari tema utama dari keyakinan irasional yang menjadi akar permasalahan klien. Pada umumnya klien memiliki dua atau tiga keyakinan irasional inti, maka terapis perlu menghindari asumsi bahwa seluruh masalah klien dapat dijelaskan dengan mengacu pada satu keyakinan inti saja. 3) Mendorong klien untuk terlibat dalam tugas-tugas yang relevan Tujuan utama terapis selama sesi pertengahan adalah mendorong klien untuk memperkuat pendirian terkait keyakinan rasionalnya. Guna dapat mencapai tujuan tersebut, terapis dan klien dapat menggunakan berbagai macam teknik dalam REBT yang dirancang untik membantu klien menginternalisasikan filosofi rasional yang baru. Selain itu penting juga bagi terapis untuk membantu klien agar dapat: a) Memahami apa saja tugas mereka, dan bagaimana tugas-tugas tersebut dapat membantu pencapaian tujuan terapeutik b) Mengidentifikasi dan mengatasi keraguan-keraguan mereka terkait kemampuan untuk melakukan tugas. c) Memahami tugas terapis dan bagaimana hubungannya dengan tugas klien dan dengan upaya pencapaian tujuan terapeutik. d) Melaksanakan tugas yang secara nyata dapat dikerjakan e) Mempraktikkan tugas terapeutik baik di dalam sesi maupun di luar sesi (jeda antar sesi). f) Menggunakan teknik yang dianggap efektif dan dapat membantu mereka mencapai tujuan terapeutik.
Universitas Sumatera Utara
80
Guna mengetahui keberhasilan dan pengalaman klien saat mengerjakan tugas-tugas baik dalam sesi terapi maupun di luar terapi (tugas rumah pada jeda antar sesi), maka terapis dapat melakukan hal-hal sebagai berikut: a) Bertanya pada klien mengenai hal-hal yang dapat dan tidak dapat dipelajari dari tugas yang dikerjakan. b) Melanjutkan keberhasilan klien mengerjakan suatu tugas, maupun melanjutkan usaha untuk melakukan usaha tersebut. c) Mengidentifikasi dan memperbaiki kekeliruan yang dibuat klien saat mengerjakan tugas. d) Membantu klien menghilangkan resistansi terhadap tugas yang diberikan dan menyemangati klien untuk melakukan tugastugas selanjutnya atau mengerjakan ulang tugas yang dianggap gagal. 4) Mengatasi hambatan terhadap perubahan Tahap pertengahan dalam REBT merupakan tahap dimana klien paling resisten terhadap perubahan. Maultsby (dalam Dryden & Neenan, 2004) mengemukakan bahwa perubahan dapat menjadi pengalaman tidak menyenangkan bagi klien. Perubahan ini biasanya diwakili oleh keadaan yang disebut “disonansi kognitifemosional” yakni keadaan dimana klien merasa “asing” seiring mereka berusaha untuk memperkuat keyakinan irasional. Terapis diharapkan dapat membantu klien menerima bahwa perasaan “asing” merupakan bagian alami dari suatu perubahan dan bahwa
Universitas Sumatera Utara
81
klien tidak harus selalu merasa nyaman dan wajar terhadap perasaan tersebut. 5) Mendorong
klien
untuk
memelihara
dan
meningkatkan
pencapaiannya Ellis (dalam Dryden & Neenan, 2004) menegaskan bahwa pada tahap pertengahan klien mungkin menghadapi kemajuan maupun kemunduran
dalam
proses
menginternalisasikan
keyakinan
rasional. Oleh karena itu terapis harus membantu klien agar dapat terikat secara penuh dalam sesi terapi dengan cara: 1) mengatasi hal-hal yang dapat membawa pada kemunduran, 2) memelihara kemajuan yang telah dicapai dan 3) meningkatkan lagi upaya untuk menginternalisaikan keyakinan rasional dan mencapai tujuan. 6) Mendorong klien untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri Pada akhir tahap pertengahan, tugas penting bagi terapis adalah memotivasi klien untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri. Pada tahap ini terapis mengajak klien berdiskusi mengenai masalah yang dihadapi. Di awal diskusi terapis mengambil peran aktif direktif namun seiring diskusi berlanjut terapis secara perlahan mengurangi peran aktif direktifnya dan membantu klien mempraktikkan terapi kepada dirinya sendiri. Agar dapat menjadi terapis bagi diri sendiri, klien harus dapat mengidentifikasi emosi dan perilaku bermasalah yang ada pada dirinya, menghubungkan keduanya dengan peristiwa pemicu, baru kemudian mengidentifikasi keyakinan irasional inti. Klien juga didorong untuk mempertanyakan
Universitas Sumatera Utara
82
keyakinan irasional dan mengembangkan alternatif keyakinan rasional karena tugas utama klien pada tahap ini adalah memperkuat keyakinan rasional.
c. Tahap akhir (Ending stage) Tahap akhir dimulai ketika klien dianggap telah membuat kemajuan yang signifikan menuju penyelesaian masalah utamanya dengan menggunakan teknik REBT. Selama tahap akhir, terapis dapat mendorong klien untuk mengantisipasi masalah yang mungkin terjadi di masa mendatang dengan menggunakan keterampilan-keterampilan yang diperoleh dari proses terapi ini. Klien diharapkan dapat memandang dirinya sebagai sumber utama pemecahan masalah. Ketika proses terapi berlangsung dengan sukses, pada tahapan akhir terapis dan klien mungkin mencapai suatu hubungan yang signifikan, dengan demikian maka wajar apabila pada tahap ini terapis memberikan pujian pada klien atas keberhasilan dan ketekunan klien mengikuti sesi terapi serta memberikan hadiah bagi klien.
7. Panduan pelaksanaan rational emotive behavior group therapy (REBGT) Adapun beberapa kegiatan yang disarankan diaplikasikan dalam setting REBT kelompok pada anak-anak dan remaja antara lain (Doyle dalam Ellis & Bernard, 2006), yaitu:
Universitas Sumatera Utara
83
a. Introduction exercises Pada tahap
ini
setiap
anggota kelompok diminta
untuk
menyelesaikan kalimat, "Sesuatu hal yang saya harap saya dapatkan dalam kelompok ini . . .". Kalimat tersebut akan membantu anggota kelompok dalam menetapkan tujuan mereka masing-masing. Selain itu juga memungkinkan anggota kelompok untuk saling mendengar apa yang rekan-rekan mereka butuhkan dalam mengatasi permasalahan mereka dan apa yang mungkin dapat dilakukan oleh anggota kelompok lainnya untuk membantu mereka dalam proses kelompok. b. Comprehensive self-inventory Setiap anggota kelompok diminta untuk menggunakan kertas dan pensil untuk menilai kekuatan dan kelemahan mereka. Mereka mulai dari kelemahan yang mungkin dapat diperbaiki. Hal ini dapat membantu mereka untuk menyadari permasalahan yang mereka alami. c. Expectations/fears Setiap anggota kelompok diminta untuk menyatakan harapan dan ketakutannya bila tergabung dalam kelompok. Hal ini dapat membantu menghilangkan adanya pikiran negatif atau kekhawatiran (misalnya takut rahasia mereka akan diceritakan kepada orang lain di luar kelompok, dsb.) yang mungkin dipikirkan oleh setiap anggota kelompok atau dapat mengklarifikasi adanya kesalahan persepsi dari setiap anggota kelompok. Selain itu hal ini dapat memperjelas aturan dalam kelompok selama melaksanakan terapi.
Universitas Sumatera Utara
84
d. Best and worst day Setiap anggota kelompok diminta untuk menceritakan tentang hari terbaik dan hari terburuk mereka dalam satu bulan terakhir atau lebih, didepan anggota kelompok lainnya. Terapis dapat memfasilitasi percakapan mengenai pengalaman apa yang membuat hari tersebut menjadi baik atau buruk, dan dapat membantu anggota kelompok dalam mencari pola berpikir yang membedakan antara keduanya. e. Learning from mistakes Setiap anggota kelompok diminta untuk memikirkan situasi yang mereka percayai bahwa mereka tidak dapat mengatasinya dengan sangat baik. Mereka diminta untuk menutup mata dan mencoba mengingat perasaan dan pikiran yang muncul saat itu. Kemudian mereka diminta untuk menuliskannya dan membaginya (dengan menceritakan) dengan kelompok. Hal ini memungkinkan anggota kelompok untuk membantu mereka dalam mengidentifikasi adanya kesalahan berpikir/ distorsi kognitif. Terapis juga meminta anggota kelompok untuk mendiskusikan hal-hal yang mereka harapkan untuk terjadi, lalu membuat daftar keyakinan rasional dan membuat pernyataan-pernyataan yang mungkin akan membantu mereka dalam menghadapi situasi tersebut. f. Strongest hour Setiap anggota kelompok akan mencoba melakukan hal yang benar setelah belajar dari kesalahan. Pada kegiatan ini, setiap anggota kelompok diminta untuk mengingat saat dimana mereka pernah
Universitas Sumatera Utara
85
mengandalkan diri mereka sendiri untuk menghadapi suatu situasi yang sulit bagi mereka. Setiap anggota kelompok diminta untuk membawa situasi tersebut dengan jelas dalam pikiran mereka dengan mengingat secara detail (suasana, orang-orang yang terlibat, waktu dan tempat, hal-hal yang dikatakan, dll,). Latihan ini dapat membuat mereka merasakan kepuasan dan kebanggaan pada diri mereka karena mereka sendiri telah berhasil dalam mengatasi situasi tersebut. Hal ini baik juga bagi dilakukan oleh siswa yang sedang mengalami frustasi karena dapat menunjukkan kepada mereka bahwa mereka dapat menangani kesulitan. Kemudian setiap anggota kelompok juga diminta untuk mengingat apa yang mereka katakan sendiri, selama situasi tersebut berlangsung dan mendiskusikan bagaimana mereka dapat meningkatkan kemungkinan berpikir dan berperilaku seperti itu lagi di masa yang akan datang. Kegiatan ini sangat baik dilakukan dalam kelompok remaja karena dengan mendengar keberhasilan rekan-rekan mereka, dapat membuat mereka termotivasi. g. Dear Dr. Rational Setiap anggota kelompok diminta untuk menulis sebuah surat singkat tentang salah satu dari masalah mereka, seolah-olah mereka sedang menulis kepada seseorang (yang terhormat Nona, Bunda, dll.). Surat-surat tersebut kemudian diedarkan kepada anggota kelompok lainnya yang ada di dalam ruangan, dan setiap anggota lainnya harus memberikan jawaban terhadap surat tersebut secara tertulis. Kegiatan ini akan mendorong mereka untuk saling membantu dengan
Universitas Sumatera Utara
86
memberikan solusi praktis dan solusi yang berlandaskan pemikiran rasional. h. Evidence against Ibs Setiap anggota kelompok diminta untuk menuliskan pada sebuah kartu tentang keyakinan irasional mereka terhadap suatu situasi. Kemudian mereka diminta untuk menuliskan lima hal negatif yang telah terjadi pada mereka karena mereka memiliki pemikiran seperti yang mereka tuliskan di kartu. Lalu setiap anggota kelompok ditugaskan untuk membaca pikiran irasional tersebut berserta dampaknya, selama beberapa hari agar mengingatkan mereka tentang bagaimana keyakinan irasional berdampak secara negatif terhadap diri mereka. i.
Anonymous disputing Setiap anggota kelompok diminta untuk menuliskan keyakinan irasional mereka pada selembar kertas, dan memberikannya kepada terapis. Lalu terapis membaca dengan suara keras dan setiap anggota kelompok lainnya nenantang keyakinan irasional tersebut. Kegiatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan bola kecil, dimana anggota kelompok secara bergantian melemparkan bola ke rekan-rekan mereka untuk melibatkan semua anggota kelompok dalam perdebatan.
j.
Shame-attacking Pada kegiatan ini anggota kelompok melakukan sesuatu atau memberitahu anggota kelompok lainnya untuk melakukan sesuatu
Universitas Sumatera Utara
87
yang biasanya tidak pernah mereka lakukan (biasanya karena takut reaksi negatif dari orang lain). k. Round of applause Setiap anggota kelompok diminta untuk memberikan pujian kepada anggota kelompok lainnya. Kegiatan ini merupakan kegiatan yang sangat menyenangkan. Terapis dapat memimpin tepuk tangan, untuk memberikan pujian pada hal-hal positif yang telah dilakukan oleh setiap anggota, dan membantu memfokuskan kembali anggota kelompok pada hal-hal positif dalam hidup mereka. l.
Positive talk Biasanya dilakukan bersamaan dengan tepuk tangan dan memiliki tujuan yang sama. Setiap anggota kelompok diminta untuk berbicara positif tentang diri mereka sendiri selama 2 menit penuh.
m. Role-play Setiap anggota kelompok diminta untuk memikirkan situasi yang membuat mereka khawatir, lalu mencoba bermain peran dengan rekannya
dalam
situasi
tersebut.
Anggota
kelompok
dapat
menggunakan kesempatan ini untuk memberikan umpan balik mengenai perilaku rekan-rekan mereka serta menawarkan asumsi mengenai apa yang mereka alami secara kognitif. n. Reverse role-play Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah anggota kelompok merasa akrab dengan satu sama lain. Dalam kegiatan ini, salah satu anggota kelompok memainkan peran rekannya dan berpegang teguh pada
Universitas Sumatera Utara
88
keyakinan irasional dari rekannya. Rekannya tersebut harus berbicara dengan pemain peran sampai keluar ide-ide yang disfungsional. o. Hotseat Satu per satu anggota kelompok "duduk" dan tetap diam, sedangkan anggota lainnya memberikan umpan balik (baik positif maupun negatif). Hal ini dapat membantu setiap anggota kelompok untuk belajar menerima umpan balik dari orang lain dan merasakan bagaimana kebenaran umpan balik tersebut.
E. Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) Untuk Meningkatkan Self Esteem Pada Siswa SMP Korban Bullying Masa remaja dibagi dalam tiga fase yaitu fase remaja awal, remaja tengah dan remaja akhir. Seseorang dikatakan sebagai remaja awal saat usianya berkisar antara 12 hingga 15 tahun (Monks, 2001). Selanjutnya Sulaeman (1995) menyatakan bahwa siswa yang duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama (SMP) secara kronologis berusia antara 12 hingga 15 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa siswa SMP tergolong dalam fase remaja awal. Menurut Havighurst (dalam Mubin dan Cahyadi, 2006), salah satu tugas perkembangan yang harus dilalui seorang remaja awal adalah menjalin hubungan baru dengan teman-teman sebaya, baik sesama jenis maupun lain jenis kelamin. Fenomena yang terjadi adalah tidak selalu seorang remaja mampu menjalin hubungan yang baik dengan teman sebayanya, tetapi ada yang mengalami penolakan dari teman sebayanya.
Universitas Sumatera Utara
89
Salah satu permasalahan yang sering dihadapi para remaja berhubungan dengan penolakan teman sebaya adalah perilaku bullying yang merupakan bentuk khusus agresi dikalangan teman sebaya. Bullying telah dikenal sebagai masalah sosial yang terutama ditemukan dikalangan anak-anak sekolah. Hampir setiap anak mungkin pernah mengalami suatu bentuk perlakuan tidak menyenangkan dari anak lain yang lebih tua atau lebih kuat (Krahe, 2005). Menurut Coloroso (2003), bullying adalah tindakan bermusuhan yang dilakukan secara sadar dan disengaja yang bertujuan untuk menyakiti, seperti menakuti melalui ancaman agresi dan menimbulkan teror. Termasuk juga tindakan yang direncakan maupun yang spontan, bersifat nyata atau hampir tidak kentara, dihadapan seseorang atau dibelakang seseorang, mudah untuk diidentifikasi atau terselubung dibalik persahabatan, dilakukan oleh seorang anak atau sekelompok anak. Seseorang dikatakan sebagai korban bullying (victim) apabila individu tersebut sering menjadi target dari perilaku agresif, tindakan yang menyakitkan dan hanya memperlihatkan sedikit pertahanan untuk melawan penyerangnya (Olweus, dalam Moutappa dkk, 2004). Oleh sebab itu, siswa SMP dianggap sebagai korban bullying bila siswa tersebut dihadapkan pada tindakan negatif seseorang atau lebih yang dilakukan berulang-ulang dan terjadi dari waktu ke waktu. Selain itu, bullying juga melibatkan kekuatan dan kekuasaan yang tidak seimbang, sehingga korbannya berada dalam keadaan tidak mampu mempertahankan diri secara efektif untuk melawan tindakan negatif yang diterimanya (Olweus, dalam Krahe, 2005).
Universitas Sumatera Utara
90
Seorang siswa menjadi korban bullying tidak terlepas dari adanya faktor yang menyebabkan siswa tersebut rentan menjadi korban bullying yaitu pada dasarnya korban bullying cenderung memiliki self esteem yang rendah, lebih sensitif, dan pendiam (Craig, Olweus, Rigby & Slee dalam Haynie dkk, 2001). Hal senada juga disampaikan oleh (Collins & Bell, dalam Moutappa, 2004) bahwa korban bullying memiliki self esteem yang rendah. Kejadian bullying yang dialami oleh korban bullying justru akan semakin berdampak buruk bagi mereka. Mereka yang pada awalnya memiliki self esteem yang rendah akan semakin mengalami penurunan self esteem (Bjorkqvist dkk.; Boulton & Smith; Callaghan & Joseph; Olweus; Rigby & Slee, dalam Pontzer, 2009). Padahal self esteem penting bagi remaja karena dapat membantu remaja dalam pencarian identitas diri yang merupakan salah satu tugas perkembangan yang krusial pada masa remaja (Ericson dalam Papalia, Olds, & Feldman, 2001). Melalui self esteem, seorang remaja dapat mengevaluasi dirinya sendiri berdasarkan pada perasaan keberhargaan dirinya yang bisa berupa perasaan-perasaan positif atau negatif (Rosenberg dalam Mruk, 2006). Self esteem bagi remaja sangat penting karena berpengaruh dalam menentukan kesuksesan dan kegagalan diberbagai tugas kehidupan remaja (Andrews; Harter dalam Boden, Ferfusson & Horwood, 2008). Remaja membutuhkan self esteem yang positif agar dapat mencapai keberhasilan dalam berbagai bidang kehidupannya. Dalam bidang akademis, penelitian yang dilakukan Redden pada tahun 2000 menemukan bahwa self esteem yang cenderung tinggi memiliki hubungan yang erat dengan motivasi instrinsik dan
Universitas Sumatera Utara
91
prestasi akademis yang lebih baik (dalam Patil, dkk., 2009). Sedangkan individu dengan self esteem rendah menunjukkan keberhasilan yang rendah di sekolah (Mann dkk. dalam Bos, Murris, Mulkens & Schaalma, 2006). Dari segi hubungan sosial, remaja dengan self esteem rendah biasanya kurang diterima oleh teman-temannya (Donders & Verschueren dalam Bos, Murris, Mulkens & Schaalma, 2006). Apabila tidak mendapatkan perhatian yang serius, masalah rendahnya self esteem ini dapat menimbulkan efek yang jauh lebih negatif (Santrock, 2007). Efek jangka panjang yang akan ditimbulkan antara lain seperti menurunnya kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dan penyesuaian sosial yang buruk (Riauskina dkk., 2005). Korban akan merasakan banyak emosi negatif seperti marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman dan merasa terancam saat mengalami bullying, dan dalam jangka panjang emosi-emosi ini dapat berujung pada munculnya perasaan rendah diri bahwa dirinya tidak berharga serta kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial. Paling ekstrim dari dampak psikologis ini adalah kemungkinan untuk timbulnya gangguan psikologis pada korban bullying, seperti rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi, ingin bunuh diri, dan gejala-gejala gangguan stres pascatrauma (post-traumatic stress disorder) (Riauskina dkk., 2005). Dengan pertimbangan ini, peneliti berpendapat bahwa meningkatkan self esteem pada siswa SMP korban bullying merupakan salah satu intervensi yang dapat dilakukan untuk meminimalkan gangguan tersebut. Agar suatu intervensi dapat efektif, maka harus menggunakan metode yang sesuai dengan klien dan dapat diterima oleh mereka (Riley, Wallin dan
Universitas Sumatera Utara
92
Durr, 2002). Remaja korban bullying memiliki beberapa karakteristik yaitu lebih sering merasakan emosi yang negatif (stress, sedih, marah), memandang hidup dan berbagai kejadian dalam hidup sebagai hal yang negatif (Rosenberg & Owens dalam Guindon, 2010), memiliki pikiran-pikiran irasional mengenai dirinya, seperti merasa tidak berguna (Branden, 1994), berpikir bahwa mereka lebih bodoh, lebih lemah dibandingkan pelaku bullying, merasa memang pantas mengalami bullying, merasa kalau semua orang memandang mereka secara negatif dan merasa tidak mampu meraih kesuksesan dalam hidupnya (Elliott, 2002). Berdasarkan karakteristik korban bullying di atas, maka peneliti berpendapat bahwa Rational Emotive Behavior Therapy (REBT), yaitu suatu proses terapeutik yang dapat memperbaiki dan merubah persepsi, pikiran, keyakinan serta pandangan seseorang yang irasional dan tidak logis menjadi rasional dan logis (Ellis, 2007) merupakan suatu cara yang tepat untuk meningkatkan self esteem mereka. Diharapkan dengan REBT, keyakinan, pandangan, dan pikiran-pikiran negatif korban bullying yang mengarah pada perasaan tidak berharga, tidak mampu dan rasa tidak diterima oleh temantemannya dapat diperbaiki dan diganti dengan pikiran yang lebih rasional sehingga mereka akan merasakan perasaan dan perilaku yang lebih baik. Dalam penelitian ini REBT akan disajikan dalam kelompok yang dikenal dengan rational emotive behavior group therapy (REBGT). Pemilihan REBT secara kelompok sebagai intervensi untuk meningkatkan self esteem didasarkan pada pertimbangan bahwa. REBGT lebih efektif daripada REBT individu (Ellis & Bernard, 2006), karena anggota kelompok akan menyadari
Universitas Sumatera Utara
93
bahwa mereka tidak hanya sendiri dalam menghadapi masalahnya, tetapi anggota lain juga mengalami permasalahan yang sama dengan dirinya, dan setiap anggota dapat saling memberikan dukungan dan menjadi sumber inspirasi yang sangat baik bagi anggota lainnya. Selain itu anggota dalam REGBT juga dapat saling memberi dan menerima saran, pendapat serta umpan balik dari anggota lainnya, yang tentunya tidak terdapat pada REBT yang disajikan secara individual (Corey & Corey dalam Ellis & Bernard, 2006). Dengan demikian, maka peneliti berpendapat bahwa REBT yang disajikan dalam kelompok ini akan benar-benar efektif dalam meningkatkan self esteem remaja korban bullying, baik meningkatkan rasa keberhargaan dirinya, perasaan mampu dan perasaan diterima oleh teman-temannya. Secara singkat, dinamika landasan teori tersebut dapat digambarkan dalam rangkaian berikut:
Universitas Sumatera Utara
94
-
Kondisi Remaja Lemah dan memiliki ciri fisik yang berbeda Lebih suka menyelesaikan konflik tanpa kekerasan Pemalu, penurut dan self esteem rendah Siswa yang termuda atau siswa baru Pernah mengalami trauma Pintar atau bodoh dan kaya atau miskin Perilakunya dianggap mengganggu Memiliki ras etnis, orientasi gender dan agama yang inferior
-
Kondisi Teman Sebaya Secara fisik kuat Kesulitan dalam berempati Suka mendominasi Sulit melihat situasi dari sudut pandang orang lain Memiliki sikap positif terhadap kekerasan Impulsif Haus pada perhatian Kurang mau bertanggung jawab
Remaja menjadi korban bullying
Konsentrasi terganggu, takut pergi ke sekolah dan prestasi akademik menurun
Merasakan banyak emosi negatif (marah, dendam, kesal, tertekan, takut, malu, sedih, tidak nyaman, dan terancam) sehingga menimbulkan perasaan rendah diri
Menilai diri secara irasional/negatif, merasa diri tidak berharga, ditolak oleh teman sebaya, menghindari interaksi sosial, lebih tertutup, memiliki sedikit teman, terisolasi, dan merasa kesepian
Merasa kesakitan secara fisik, depresi, dan memiliki keinginan bunuh diri
Self esteem semakin rendah
Menerima Rational emotive behavior therapy Mengganti pikiran irasional/negatif menjadi pikiran yang lebih rasional/positif sehingga merasakan emosi dan perilaku yang lebih positif
Tidak menerima Rational emotive behavior therapy Tetap memiliki pikiran irasional/negatif
Self esteem meningkat
Self esteem tetap rendah
Gambar 1. Kerangka teoritis penelitian Keterangan:
: saling berinteraksi
: menyebabkan
: aspek diteliti
: aspek tidak diteliti
Universitas Sumatera Utara
95
F. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: Rational emotive behavior therapy efektif dalam meningkatkan self esteem siswa korban bullying.
Universitas Sumatera Utara