BAB II LANDASAN TEORI II. II.A.
Stres di bidang Akademik II.A.1. Definisi Stres di bidang Akademik Stres adalah suatu kondisi dimana transaksi antara individu dan
lingkungannya mengarahkan individu mempersepsikan adanya kesenjangan antara tuntutan fisik atau psikologi dari suatu situasi tertentu dengan sumber daya biologis, psikologis dan sosial yang dimiliki individu (Lazarus dkk, dalam Sarafino, 2002). Lazarus (dalam Ogden, 2000) menyatakan stres melibatkan stresor dan respon individu terhadap stresor (strain). Stres adalah respon non-spesifik dari tubuh terhadap tuntutan apapun terhadap diri individu. Setiap tuntuan tersebut dalam tubuh akan membangkitkan respon tertentu (Seyle, dalam Kalat, 2005). Teori stres yang dikemukakan Seyle mencakup seluruh kejadian yang membawa perubahan dalam hidup individu. Seyle (dalam Warga, 1983) membagi stres menjadi dua tipe area yaitu eustres dan distres. Eustres adalah pengalaman stres yang menyenangkan, yang biasanya muncul ketika seseorang mendapatkan kesuksesan dan kemenangan. Distres adalah pengalaman stres yang menyakitkan atau tidak menyenangkan yang sifatnya mengancam dan biasanya muncul ketika seseorang mendapatkan kesuksesan dan kemenangan. American Accreditation HealthCare Commission (2005) mendefinisikan stres sebagai suatu respon terhadap situasi atau faktor yang menimbulkan emosi
14
Universitas Sumatera Utara
negatif atau perubahan fisik atau kombinasi dari perubahan fisik dan emosi. Beberapa jenis stres cukup membantu karena menimbulkan motivasi bagi individu yang bersangkutan. Akan tetapi, stres yang berlebihan dapat mengganggu kehidupan, aktivitas dan kesehatan dari individu. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa anak belajar untuk merespon stres dari pengalaman pribadi dan observasi terhadap lingkungan mereka. Kebanyakan stres yang dialami anak-anak dianggap tidak penting oleh orang dewasa. Tetapi karena anak-anak hanya memiliki sedikit pengalaman untuk belajar, maka bahkan situasi yang menyebabkan perubahan kecil juga sudah menimbulkan efek terhadap perasaan anak. Baumel (2000) menyatakan bahwa stres di bidang akademik pada anak muncul ketika harapan untuk pencapaian prestasi akademik meningkat, baik dari orang tua, guru ataupun teman sebaya. Stres ini meningkat setiap tahunnya seiring dengan tuntuan zaman atas anak-anak yang berbakat dan berprestasi dan tidak akan pernah berhenti. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa stres di bidang akademik adalah kondisi ketegangan yang dialami siswa karena adanya kesenjangan antara tuntutan lingkungan terhadap prestasi akademik dengan kemampuan mereka untuk mencapainya, sehingga situasi tersebut mengakibatkan perubahan respon dalam diri siswa, baik secara fisik, ataupun psikologis.
15
Universitas Sumatera Utara
II.A.2. Sumber Stres di Bidang Akademik Penelitian Ross dkk (1999) mengenai sumber stres yang dialami oleh siswa dengan menggunakan alat Student Stress Survey (SSS) mencakup empat kategori sumber stres, yaitu : 1. Masalah interpersonal Yaitu dari interaksi dengan orang lain, misalnya percekcokan dalam pacaran, masalah dengan orang tua. 2. Intrapersonal Yaitu disebabkan dari sumber internal, misalnya perubahan dalam pola makan atau waktu tidur. 3. Akademik Yaitu masalah yang muncul dari aktivitas yang berhubungan dengan sekolah, misalnya meningkatnya beban tugas yang harus dikerjakan, pindah sekolah, ketinggalan pelajaran, perselisihan dengan guru. 4. Lingkungan Yaitu masalah yang muncul dari lingkungan, di luar masalah akademik, misalnya mobil mogok, komputer rusak. Gadzella dan Masten (2005) mengemukakan bahwa ada lima kategori stresor yang dialami oleh siswa yakni: 1. Frustrasi Yaitu pengalaman yang berhubungan dengan tertundanya pencapaian tujuan, kejadian sehari-hari yang menimbulkan frustrasi, kurangnya
16
Universitas Sumatera Utara
sumber daya yang dimiliki, gagal mencapai serangkaian tujuan, secara sosial tidak diterima dan adanya penolakan dalam kesempatan 2. Konflik Menilai suatu pilihan diantara dua atau beberapa alternatif yang samasama diinginkan, dua atau lebih alternatif yang sama-sama tidak diinginkan, dua alternatif yang diinginkan, dua alternatif yang tidak diinginkan 3. Tekanan Yaitu penilaian akan adanya persaingan, batas waktu penyelesaian tugas (deadlines), aktivitas yang berlebihan, dan hubungan interpersonal 4. Perubahan-perubahan Meliputi adanya pengalaman yang tidak menyenangkan, sejumlah perubahan dalam satu waktu, serta gangguan dalam kehidupan, dan gangguan dalam mencapai tujuan 5. Keinginan diri (Self –imposed) Meliputi keinginan untuk bersaing, keinginan dicintai oleh banyak orang, khawatir mengenai banyak hal, penundaan akademis, solusi masalah, dan kecemasan dalam menghadapi tes atau ujian. Penelitian yang dilakukan oleh Murphy dan Archer (dalam Gupchup dkk, 2004) menunjukkan bahwa stresor akademis yang cenderung dihadapi oleh siswa antara lain: ujian, persaingan nilai, tuntutan waktu, guru, lingkungan kelas, karir, dan masa depan. Sedangkan Frazer dan Khon (dalam Ross dkk, 1999) mengemukakan stresor akademis lainnya yang potensial di kalangan siswa adalah
17
Universitas Sumatera Utara
pekerjaan rumah yang terlalu banyak, tugas yang tidak jelas, dan kelas yang tidak nyaman.
II.A.3. Aspek-aspek dalam Stres Stresor yang dihadapi oleh individu akan menimbulkan respon atau reaksi dari individu baik secara fisiologis, psikologis dan sosial individu (Sarafino, 2002). Sarafino membagi aspek stres ke dalam dua aspek yaitu : 1. Aspek Biologis Setiap orang yang dihadapkan pada kondisi atau situasi yang mengancam atau berbahaya, maka akan ada reaksi fisiologis dari tubuh terhadap stres yang ditimbulkan, seperti detak jantung yang meningkat. Seyle (dalam Sarafino, 2002) menyebutkan serangkaian reaksi fisiologis sebagai General Adaptation Syndrome (GAS) yang terdiri dari tiga level, yaitu: a. Reaksi Kegelisahan / Alarm Reaction Merupakan tahap pertama respon tubuh (fight or flight) terhadap bahaya yang berfungsi memobilisasi sumber-sumber daya tubuh. b. Tahap Pertahanan / Stages of Resistence Jika stresor yang kuat terus berlanjut, tubuh akan mencoba untuk beradaptasi dengan stresor. Keterbangkitan fisik mulai berkurang, namun masih tetap lebih tinggi dari kondisi normal
18
Universitas Sumatera Utara
c. Tahan Kelelahan / Stages of Exhaustion Ketegangan fisiologis yang dihasilkan oleh stres yang lama dan berulang menyebabkan kekebalan tubuh menurun dan berkurangnya simpanan energi tubuh. 2. Aspek Psikososial Stresor akan menghasilkan perubahan-perubahan psikologis dan juga sosial individu. Perubahan-perubahan tersebut antara lain: a. Kognitif Level stres yang cukup tinggi dapat mempengaruhi ingatan dan perhatian. Stres bisa merusak fungsi kognitif dengan mengacaukan perhatian individu. Tapi di sisi lain, stres juga dapat meningkatkan perhatian, khususnya terhadap stressor. Hubungan stres dan kognitif isa berlangsung timbal balik. Cara berpikir seseorang juga mempengaruhi stres yang dialaminya. b. Emosi Emosi cenderung menyertai stres dan individu sering menggunakan kondisi emosi mereka untuk menilai kondisi stres yang dialami. Rasa takut adalah salah satu reaksi emosi umum yang sering dialami individu, meliputi ketidaknyamanan psikologis dan keterbangkitan fisik ketika dihadapkan pada situasi yang mengancam. Reaksi emosi lainnya adalah rasa marah yang bisa menghasilkan prilaku agresif. Stres juga dapat mengakibatkan perasaan sedih atau depresi muncul.
19
Universitas Sumatera Utara
c. Prilaku Sosial Stres dapat mengubah prilaku seseorang terhadap orang lain. Dalam kondisi stres, sebagian orang bisa mengalami peningkatan dalam prilaku menolongnya. Hal ini mungkin disebabkan karena mereka memiliki tujuan yang membutuhkan kerjasama satu dengan yang lain. Pada kondisi stres yang lain, bisa menyebabkan seseorang kurang sosial, bahkan cenderung bermusuhan dengan orang lain. Burts et al (dalam Chang dkk, 2006) membagi prilaku stres anak ke dalam dua jenis, antara lain : 1. Prilaku Stres Pasif Terdiri dari empat subkategori yaitu : a. Fisik, misalnya prilaku menarik diri b. Wajah (Facial), misalnya mengerutkan wajah c. Prilaku negatif / tidak merespon d. Menjadi penonton saja / Onlooker 2. Prilaku Stres Aktif Terdiri dari enam subkategori, yaitu : a. Automanipulation, misalnya menggaruk atau mencubit bagian tubuh sendiri b. Gerakan berulang c. Gerakan menggoyang atau menggeliat d. Prilaku merusak diri / Self destruction e. Self with other action, misalnya memukul
20
Universitas Sumatera Utara
f. Self with object action, misalnya merusak, menghancurkan atau bermain dengan kasar Dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek penting dari stres adalah bagaimana reaksi individu terhadap kondisi stres yang mereka alami. Reaksi umum terhadap stres meliputi reaksi fisiologis, emosi, kognitif dan prilaku.
II.A.4. Gejala-gejala Stres Gejala-gejala stres dibagi dalam empat kategori menurut Fremont (2004), yaitu pikiran, perasaan, prilaku dan simptom fisik. PIKIRAN
PERASAAN
Self criticism
Kecemasan
Kesulitan untuk
Mudah
berkonsentrasi
marah
atau membuat
Takut
keputusan
Moody
Tawa yang gugup
Pemalu
Menggigit teman
leher atau
Menggertakkan gigi, atau
punggung
Sering lupa atau disorganisasi mental Takut gagal Pikiran yang berulang
PRILAKU
SIMPTOM FISIK
Gagap, atau kesulitan berbahasa lainnya
Otot mengeras
Tangan dingin
Menangis, bertingkah impulsif
atau berkeringat
Sakit kepala,
Masalah dengan
menggenggam kuku
Gangguan tidur,
Peningkatan prilaku
Gangguan pencernaan
merokok, penggunaan alkohol
atau obat terlarang Kecenderungan untuk lebih
Sering demam atau infeksi
sering mendapatkan
Lelah
kecelakaan
Nafas yang
Peningkatan atau
cepat, jantung
pengurangan nafsu makan
berdegup keras
21
Gemetaran
Universitas Sumatera Utara
Derek (2006) mengungkapkan bahwa reaksi stres di bidang akademik pada anak dapat dilihat dari kesan mereka terhadap sekolah. Anak yang merasa tertekan cenderung menunjukkan reaksi penolakan ketika ditanya kondisi sekolah mereka, atau bagaimana pendapat mereka terhadap sekolah mereka. Kalimat “saya benci sekolah” ( I Hate School ) kadang muncul pada reaksi anak yang tertekan. Pada dasarnya, sesungguhnya bukan sekolah yang membuat anak tertekan, tetapi stres yang muncul dari tuntutan akademik yang anak peroleh dari baik lingkungan sekolah, ataupun tempat anak-anak belajar.
II.A.5. Faktor yang mempengaruhi Stres Atkinson ( 1983 )mengemukakan beberapa faktor yang menentukan berattidaknya peristiwa yang penuh stres yang dialami seseorang, antara lain : a. Kemampuan menerka Kemampuan menerka timbulnya kejadian stres – walaupun yang bersangkutan tidak dapat mengontrolnya – biasanya mengurangi kerasnya stres. Penelitian menunjukkan bahwa orang lebih suka pada kejadian yang tidak menyenangkan tapi dapat diperkirakan daripada yang tidak dapat diperkirakan. b. Kontrol atas jangka waktu Kemampuan mengendalikan jangka waktu kejadian yang penuh stres juga mengurangi kerasnya stres. Kepercayaan bahwa kita dapat mengendalikan jangka waktu suatu kejadian yang tidak menyenangkan
22
Universitas Sumatera Utara
tampaknya dapat mengurangi perasaan cemas, sekalipun jika kendali itu tidak pernah dilaksanakan atau kepercayaan itu salah. c. Evaluasi kognitif Kejadian penuh stres yang sama mungkin dihayati secara berbeda oleh dua orang, tergantung pada situasi apa yang berarti kepada seseorang atas fakta-fakta itu. Penghayatan seseorang atas kejadian yang penuh stres juga melibatkan penilaian tingkat ancaman. Situasi yang ditanggapi sebagai ancaman terhadap kelangsungan hidup atau terhadap harga diri seseorang menimbulkan stres yang tinggi. d. Perasaan mampu Kepercayaan seseorang atas kemampuannya menganggulangi situasi penuh stres merupakan faktor utama dalam menentukan kerasnya stres. Jika seseorang tidak tahu apa yang harus dilakukan ketika menghadapi situasi penuh stres, maka seseorang dapat kehilangan semangat. e. Dukungan masyarakat Dukungan emosional dan adanya perhatian orang lain dapat membuat orang tahan menghadapi stres. Faktor-faktor di atas, menentukan bagaimana intensitas kecemasan dan tingkat stres
yang timbul dapat mengganggu kemampuan seseorang untuk
berfungsi. Setiap orang mengalami stres dalam kapasitas dan cara yang berbeda. Dalam lingkup sekolah, siswa-siswi sekolah, walaupun menghadapi situasi yang sama, tapi tidak semuanya mengalami stres akademis.
23
Universitas Sumatera Utara
Odgen (2000) mengemukakan bahwa ada beberapa hal yang yang penting untuk dipahami berkaitan dengan stres, yaitu : a. Efikasi Diri (Self Efficacy) Merupakan perasaan keyakinan yang dimiliki individu bahwa merka dapat bertindak sesuai yang diharapkan. Lazarus & Folkman (dalam Odgen, 2000) menyatakan bahwa self efficacy merupakan faktor yang cukup kuat untuk menengahi respon stres. b. Hardiness Merupakan perasaan kontrol individu terhadap kejadian, keinginan untuk menerima tantangan dan komitmen. Faktor ini mempengaruhi penilaian individu terhadap stresor yang dihadapi. c. Mastery Merupakan kemampuan individu untuk mengontrol respon stres mereka. Para peneliti (dalam Elkind, 2001) mengatakan, setidaknya ada lima kualitas yang menentukan seberapa baik cara seseorang mengatasi stres yang dialami, antara lain: 1. Kompetensi Sosial (Social Competence) Anak yang kebal-stres memiliki kompetensi sosial yang baik. Mereka mudah bersahabat dengan teman sebaya ataupun orang dewasa, dan mampu membuat orang lain merasa nyaman bersama mereka.
24
Universitas Sumatera Utara
2. Manajemen Impresi (Impression Management) Anak yang kebal-stres mampu menampilkan diri mereka sebagai karakter yang menawan dan menarik. Mereka kelihatan sangat menyukai orang dewasa, karena merasa mereka dapat belajar banyak dari orang dewasa. Hal itu mengakibatkan orang dewasa mau menerima mereka dan menjadi mentor mereka. 3. Kepercayaan Diri (Self Confident) Anak yang kebal-stres meyakini kemampuan yang mereka miliki dalam mengatasi situasi stres. Mereka melihat masalah mereka sebagai tantangan untuk diselesaikan daripada sebagai bukti ketidakmampuan mereka. 4. Kemandirian (Independence) Anak yang kebal-stres adalah anak yang mandiri, dan tidak tergoyahkan oleh bujuk rayu apapun. Mereka berpikir untuk diri mereka sendiri dan tidak bisa dihalangi oleh kekuatan atau otoritas apapun. Mereka mampu menemukan tempat untuk mereka sendiri, dimana mereka dapat menemukan ketenangan, kerahasiaan dan kesempatan menciptakan situasi yang mereka butuhkan. 5. Prestasi (Achievement) Anak yang kebal-stres adalah anak yang produktif. Mereka mendapat nilai yang bagus, dan memiliki hobi (menulis puisi, seni ukir, seni lukis, seni pahat, dsb). Sebagian dari talenta dan kekuatan yang mereka miliki
25
Universitas Sumatera Utara
diarahkan untuk tugas yang paling penting, yakni untuk bertahan hidup (survival) Dari uraian teori di atas, dapat disimpulkan bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat stres yang dialami beberapa individu dalam kondisi stres yang sama, antara lain faktor dari individu itu sendiri, dan faktor dari lingkungan berupa dukungan sosial.
II.B.
Hurried Child II.B.1. Definisi Hurried Child Psikolog anak, Elkind (2001) menyatakan bahwa hurried child merupakan
sebuah istilah baru yang dipakai untuk menggambarkan suatu fenomena dimana anak berada di bawah tekanan untuk tumbuh kembang lebih cepat daripada usianya. Hal ini ditandai dengan pemberian tanggung jawab atau beban ( beban pikiran atau beban emosional) yang tidak sesuai dengan usia atau kemampuan anak. Di bidang akademik, anak-anak menjadi hurried terutama karena ditempatkan orang tua ke dalam sejumlah kegiatan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan akademik, sosial, oleh raga, seni atau psikologis anak, sementara orang tua tidak mempertimbangkan kemampuan dan kesediaan anak untuk mengikuti kegiatan tersebut (Elkind, 2001). Dengan kata lain, pada hurried child penggunaan waktu di luar jam sekolah anak cenderung untuk memenuhi tuntutan jadwal yang telah disusun orang tua dan kesejahteraan emosional anak terganggu dengan tuntutan tersebut.
26
Universitas Sumatera Utara
Kehidupan anak menjadi terlalu terjadwal dan orang tua menaruh harapan yang terlalu tinggi kepada anak untuk selalu menampilkan yang terbaik, baik di sekolah maupun kegiatan ekstrakurikuler. Anak tidak dapat menikmati waktu mereka karena dibebani dengan banyak kegiatan dan tuntutan untuk menjadi dewasa lebih cepat. Lebih jauh, Elkind (2001) juga menegaskan bahwa persepsi anak terhadap kondisi yang dialaminya juga sangat penting dalam menentukan apakah seorang anak hurried atau tidak. Anak yang hurried biasanya akan merasakan dirinya tidak nyaman dan tertekan dengan jadwal yang padat atau prilaku orang tua yang menempatkan diri anak seperti orang dewasa. Sementara itu, Amstrong (2004) mengatakan pada anak-anak yang hurried, sering ditemukan gejala-gelaja stres seperti sakit perut, sakit kepada, kecemasan, depresi dsb. Berdasarkan uraian di atas, maka definisi hurried child adalah anak yang dituntut untuk tumbuh kembang lebih cepat dengan diberikan beban dan tanggung jawab yang tidak sesuai dengan usia atau kemampuannya. Dalam penelitian ini, peneliti akan menitikberatkan pada kondisi hurried dengan beban dan tanggung jawab di bidang akademik. Anak-anak yang hurried di bidang akademik memiliki kegiatan (termasuk di luar jam sekolah) yang sangat padat, mereka dituntut untuk harus berprestasi baik dalam setiap kegiatan tersebut, sehingga kesejahteraan emosi mereka terganggu, dan mereka jarang dapat menikmati waktu untuk diri sendiri.
27
Universitas Sumatera Utara
II.B.2. Tekanan pada Hurried Child Elkind (2001) menyatakan bahwa setiap praktek hurried child, dengan cara apapun merupakan suatu stressor bagi anak. Beberapa jenis tekanan yang biasanya dialami oleh hurried child: 1. Responsibility Overload Anak diberikan tanggung jawab untuk mengerjakan sejumlah pekerjaan. Sebenarnya bukan pekerjaan itu yang menimbulkan stres, akan tetapi tanggung jawab untuk menyiapkan pekerjaan tersebut-lah yang membuat anak stres. Misalnya, seorang anak yang ibunya bekerja di luar rumah, setelah pulang dari sekolah, harus membersihkan kamar, mencuci piring dan menyiapkan makan malam, serta menjaga adik di rumah. Salah satu tanggung jawab di bidang akademik, adalah bahwa anak harus selalu menampilkan yang terbaik. Supaya anak bisa selalu menampilkan yang terbaik, maka anak harus memiliki waktu belajar lebih panjang. Academic overload terjadi ketika jam belajar anak di atas 70% dari total waktu yang dimiliki anak (Barhyte, 2005) 2. Change Overload Anak mengalami banyak perubahan dalam kehidupannya. Misalnya, anak usia empat tahun, dalam satu hari harus bertemu dengan orang tua, pengasuh, dititipkan pada tetangga, diantarkan supir ke tempat les, bertemu dengan guru les, dan teman-teman sebaya, dst. Anak akan merasa tertekan karena menghadapi kondisi situasi dan orang-orang berbeda yang berubah dari satu waktu ke waktu lain.
28
Universitas Sumatera Utara
3. Emotional Overload Terjadi seiringan dengan responsibility overload dan change overload. Rasa takut dan cemas yang dialami oleh anak ketika mengalami kedua hal di atas akan membuat anak tertekan. Walaupun kadang anak mampu mengatasi tekanan yang muncul, tetapi selalu saja ada rasa sakit dan bingung tentang apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa terjadi.
Berdasarkan kualitas dan kuantitas tekanan yang dihadapi hurried child, maka Elkind (2001) membagi tekanan itu menjadi dua yaitu: 1. Calender Hurrying Bersifat kualitatif, dimana anak diminta untuk Mengerti sesuatu yang di luar batas kemampuan mereka untuk mengerti Membuat keputusan di luar batas kemampuan mereka untuk mengambil keputusan sendiri Bertindak menurut kemauannya sendiri sebelum mereka memiliki kemauan untuk bertindak. Kesimpulannya, anak menjadi hurried karena dituntut untuk melakukan sesuatu yang di luar batas kemampuan atau tugas perkembangan mereka. 2. Clock Hurrying Bersifat kuantitatif, dimana anak diminta untuk mengerjakan sejumlah tuntutan tugas atau kegiatan dalam waktu yang singkat, sehingga anak merasa overload.
29
Universitas Sumatera Utara
Tekanan yang dialami oleh anak yang hurried bisa dari tanggung jawab yang berlebih, tuntutan harus mampu beradaptasi terhadap berbagai perubahan dalam waktu singkat, serta tekanan emosional yang mengiringi dua kondisi sebelumnya. Tekanan itu dapat melebihi batas usia atau perkembangan anak - dari segi kualitas dan juga dapat berlebihan dari segi kuantitas.
II.B.3. Penyebab munculnya Hurried Child Elkind (2001) mengatakan ada beberapa pihak yang menyebabkan seorang anak menjadi anak yang hurried, antara lain dari: 1. Orang tua Orang tua sebagai significant person dari anak, memiliki pengaruh yang besar pada anak. Berikut adalah beberapa kondisi dimana orang tua berpotensi menjadikan anak menjadi hurried : a) Kondisi stress yang dialami menyebabkan orang tua lebih egois dan tidak bisa memperhatikan kebutuhan orang lain, termasuk anak. Stres pada orang tua misalnya ketakutan akan ancaman kekerasan, kriminal dan intimidasi, kehidupan yang sendirian karena perceraian atau single parent, rasa tidak aman karena pengangguran, inflasi, kenaikan harga barang, dsb. Stres menyebabkan seseorang menjadi lebih self-centered dan menjadi sulit melihat orang lain dalam segala komplesitas kepribadian mereka. Orang tua yang stres akan memperlakukan anak adalah sebagai suatu objek, bukan lagi subjek serta menjadi lebih sulit terlibat dengan masalah anak.
30
Universitas Sumatera Utara
b) Anak sebagai Surrogate Self – ketika orang tua gagal di pekerjaan mereka (job dissatisfaction), maka performance anak yang menonjol di aktivitas tertentu akan dijadikan ‘pelarian’ atas kegagalannya. Sehingga kadang, orang tua menjadi lebih peduli pada aktivitas anak daripada kehidupan pekerjaannya sendiri. Dengan cara ini orang tua memberi beban pada anak dan merampas kesenangan anak ketika beraktivitas. c) Bragging rights - Anak dianggap sebagai pelarian atas rasa bosan dan kesepian orang tua sehingga anak cenderung didorong untuk menjadi mini-achievers. Ketika orang tua bangga dengan prestasi anak, anak mulai dibebankan dengan pengharapan untuk masuk ke sekolah bergengsi. Ketika mengantar jemput anak, menghadiri rapat orang tua, acara sekolah dsb, akan menimbulkan perasaan bangga pada orang tua bahwa betapa pedulinya dia pada anaknya. Orang tua – terutama ibu – yang tidak bekerja, akan membuat anak mereka lebih banyak berprestasi sebagai pembenaran (justification) atas kondisi dirinya yang tidak bekerja. Namun dengan demikian, orang tua meletakkan beban berat pada anak. d) Orang tua yang bekerja akan kekurangan waktu untuk memperhatikan anak mereka. Orang tua – terutama ibu – yang bekerja akan lebih stres daripada yang tidak bekerja. Anak harus menyesuaikan diri dengan jadwal orang tua dan lebih mandiri. Anak harus bangun lebih awal,
31
Universitas Sumatera Utara
berpakaian, makan dan dibawa ke pengasuh atau sekolah. Dalam keluarga ini, anak akan menjadi hurried ketika:
Harus mengalami banyak perubahan ketika menyesuaikan diri dengan jadwal orang tua
Harus memikul tanggung jawab dan harapan orang dewasa – terlalu dini. Misalnya pada remaja yang diberi tanggung jawab untuk mengurus pekerjaan rumah karena orang tua bekerja. Membantu orang tua bekerja merupakan kewajiban anak, akan tetapi memberikan tanggung jawab atas pekerjaan itu merupakan suatu tekanan bagi anak.
Harus melakukan pengambilan keputusan yang belum sesuai usia dan kemampuannya. Ini terutama jika keluarga adalah single parent. Sehingga orang tua meminta anak untuk menjadi rekan dalam mendiskusikan atau membuat keputusan tertentu untuk suatu masalah.
e) Anak menjadi Terapis untuk orang tua – terutama orang tua yang single / bercerai. Ketika orang tua stress, anak akan dijadikan simbol pendengar yang baik. Anak menjadi hurried dengan membuat anak terlibat dalam hubungan interpersonal orang dewasa. f)
Anak menjadi Conscience untuk orang tua. Anak di-hurried ketika orang tua melakukan kesalahan dan mengharapkan anak untuk bisa memahami dan menerima prilaku orang tua yang sebenarnya secara moral salah dan tidak disetujui masyarakat.
32
Universitas Sumatera Utara
Bagaimanapun juga, tuntutan supaya kedua orang tua bekerja diluar rumah zaman sekarang sudah semakin tinggi. Tapi hal itu jangan menjadikan orang tua buta dengan pembentukan tanggung jawab, pencapaian prestasi dan kesetiaan anak. Orang tua seharusnya mengatur kehidupan mereka dan kehidupan anak-anak mereka, sehingga anak tidak sampai diberikan kebebasan yang tidap tepat, tidak sampai dituntut untuk berprestasi di luar kemampuan mereka sehingga orang tua tetap dapat bekerja dan tidak membuat anak mereka terburu dalam perkembangannya.
2. Sekolah Elkind (2001) mengatakan ada beberapa hal yang dilakukan oleh pihak pendidikan kadang membuat anak menjadi hurried. Beberapa diantaranya adalah : a) Mengabaikan adanya individual differences, dalam hal gaya belajar, kemampuan mental dan kecepatan belajar. Ketika anak dihadapkan pada serangkaian tes yang tidak sanggup mereka kerjakan, mereka akan menyalahkan diri sendiri untuk kegagalan mereka karena semua orang dewasa mengatakan dia harusnya bisa, tapi dia tak bisa, artinya ada sesuatu yang salah pada dirinya. Kegagalan di akademik ini akan menyebabkan anak merasa rendah diri di depan guru, dan temanteman. Tekanan ini merupakan hal yang berat untuk dipikul seorang anak. Dan merupakan tekanan untuk berprestasi dini dan tumbuh kembang lebih cepat.
33
Universitas Sumatera Utara
b) Memberikan kurikulum lebih cepat dari yang seharusnya. Prinsip “mengisi botol lebih cepat (faster), dan sekaligus lebih awal (earlier)”. Hal ini bisa dilihat dari, tindakan sekolah yang kadang memasukkan anak ke kelas dengan usia yang lebih muda dari yang biasanya. Dan juga pemberian kurikulum yang lebih cepat. Misalnya, saat ini sistem pendidikan Indonesia sudah memberikan pelajaran Kimia untuk anak SMP. Padahal dulunya pelajaran Kimia baru dimulai pada tingkat SMU. c) Aktivitas yang membosankan, terus menerus, tidak berarti dan serangkaian kegiatan rutin.
3. Media Massa Media seperti televisi, memiliki program-program yang belum pantas dilihat anak. Penerapan jam tayang dan kategori usia pada programprogram yang ditayangkan televisi belum sepenuhnya bermanfaat. Berdasarkan data statistik, Elkind (2001) mengatakan bahwa anak-anak lebih banyak menonton televisi dibandingkan dengan tingkat usia lainnya. Semakin tinggi tingkat usia seseorang, semakin berkurang waktu untuk menonton televisi. Oleh karena itu, banyak hal-hal seperti kekerasan, seksual, bisa saja disaksikan anak lewat televisi. Selain itu, McDonnell (2002) juga mengatakan bahwa anak sekarang telah menjadi konsumen dalam usia yang sangat dini. Mereka menjadi
34
Universitas Sumatera Utara
lebih brand aware. Anak balita mengetahui bahwa mereka sedang memakai Pampers atau Huggies. Jadi, faktor yang menyebabkan anak menjadi hurried, tidak hanya satu atau dua penyebab. Akan tetapi, berbagai segi kehidupan manusia saat ini telah menciptakan suatu kondisi yang saling mempengaruhi satu sama lain, faktor orang tua, sekolah ataupun media, untuk membuat anak tumbuh lebih cepat dari yang seharusnya. Dalam penelitian ini, peneliti akan memfokuskan perhatian pada anak yang hurried di bidang akademik karena tuntutan orang tua. Pada sub-bab berikutnya, peneliti akan membahas lebih detail mengenai hubungan antara orang tua dan anak.
II.B.4. Hurried Child ditinjau dari perspektif Contracting Elkind (2001) mengatakan bahwa keluarga merupakan sekolah bagi anak untuk mempelajari hubungan antar-manusia dalam lingkungan sosial nantinya. Elkind mengemukakan teori Contract Model yang menyatakan bahwa dalam mempelajari sosialisasi, selalu tersirat adanya harapan yang saling timbal balik antara anak dan orang tua, baik itu tidak disadari ataupun harapan yang tidak secara verbal. Pembelajaran anak terhadap realitas sosial selalu dimediasi oleh orang tua ataupun pengasuhnya (caretakers). Mediasi maksudnya bahwa orang tua dan caretakers bertindak untuk membantu anak dalam membentuk pengertian terhadap realitas sosial, yang sudah dimulai dari kehidupan awal anak. Walaupun
35
Universitas Sumatera Utara
konstruk tentang realitas sosial dimediasi oleh caretakers tertentu, akan tetapi ada suatu ketetapan dalam konstruk realitas sosial dalam harapan orang tua dan anak. Dan antara satu keluarga dengan keluarga yang lain, konstruk realitas sosial itu memiliki suatu kesamaan dan membentuk realitas kolektif (collective realities). Realitas kolektif yang terbentuk antara setiap anak dan orang tua disebut Elkind (2001) sebagai kontrak orang tua – anak (parent-child contract) Ada tiga jenis kontrak yang terkait dengan parent-child contract, antara lain: 1. Freedom – Responsibility Contract (Kontrak Kebebasan – Tanggung Jawab) Kontrak kebebasan-tanggungjawab merupakan dasar dari semua pola asuh orang tua. Di satu sisi, orang tua menuntut tanggung jawab anak terhadap suatu tugas tertentu, dan jika terpenuhi, orang tua akan memberikan kebebasan untuk hal tertentu. Dalam hal ini, orang tua juga harus peka mengawasi perkembangan level kecerdasan, kemampuan sosial dan emosional anak, supaya dapat menentukan kebebasan dan kesempatan mana yang tepat supaya anak bisa berlatih untuk menjadi bertanggung jawab. Kekerasan terhadap kontrak (contractual violation) terjadi ketika orang tua tidak memberikan kebebasan atas tanggung jawab yang sudah dipenuhi anak, atau ketika anak meminta kebebasan tanpa menunjukkan tanggung jawabnya, sehingga kondisi ini menjadi sangat stres.
36
Universitas Sumatera Utara
Ketika anak masih bayi, orang tua tidak mengharapkan banyak tuntutan tanggung jawab serta anak memperoleh sejumlah kebebasan. Ketika anak sudah menjadi balita (early childhood), anak menjadi lebih ingin mendapatkan kebebasan yang sebenarnya mereka belum siap mendapatkannya. Tindakan orang tua yang tidak memberikan kebebasan setelah anak gagal memperlihatkan kemampuannya melalui trial error, dapat membantu anak untuk mengetahui keterbatasan dari kemampuan yang mereka miliki. Dan selama anak mengerti bahwa mereka akan memiliki kesempatan lebih banyak untuk mencoba di kemudian hari, maka mereka akan terus belajar. Pada usia later childhood, pengaturan kontrak menjadi lebih abstrak, karena kemampuan bahasa dan reasoning power anak usia sekolah ini. Anak biasanya tidak akan menerima penilaian sepihak dari orang tua dan akan
memperdebatkan
permasalahan
mereka
untuk
mendapatkan
kebebasan tertentu, misalnya tidur lebih larut, makan makanan siap saji, dsb. Pada usia remaja (adolescence), kontrak orang tua-anak mencapai suatu tahap komplesitas. Kontrak menjadi lebih abstrak, umum dan menyatu dengan aturan moral dan etika lainnya, serta peraturan untuk masyarakat yang lebih luas. Misalnya, untuk boleh mengemudikan mobil keluarga, hal itu ditentukan oleh pemahaman orang tua terhadap tanggung jawab anak, dan juga usia anak, dan Kontrak ini mempersiapkan anak untuk menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab nantinya.
37
Universitas Sumatera Utara
Anak yang memasuki masa remaja tanpa kontrak kebebasan-tanggung jawab yang serius, lebih cenderung mengambil kebebasan yang tidak aman daripada anak dengan pemahaman yang kuat bahwa setiap kebebasan diperoleh dari prilaku yang bertanggung jawab. Kontrak kebebasan-tanggung jawab ini adalah salah satu yang sering dilanggar ketika anak didorong untuk bertumbuh kembang lebih cepat, misalnya dengan memberikan kebebasan yang mereka belum siap menerimanya, seperti tinggal di rumah sendirian. Apa yang terjadi selanjutnya adalah anak biasanya belajar prilaku bertanggung jawab yang dibutuhkan untuk menyesuaikan dengan kebebasan yang mereka dapatkan (yang sebenarnya mereka belum siap menerimanya). Tapi mempelajari prilaku bertanggungjawab ini juga stresful dan mungkin dicapai dengan mengorbankan aktivitas lain yang dibutuhkan untuk pertumbuhan yang utuh, misalnya waktu untuk bermain atau aktifitas fantasi.
2. Achievement – Support Contract (Kontrak Prestasi – Dukungan) Tipe kedua dari realitas (reality) yang terbentuk antara orang tua dan anak meliputi prestasi dan dukungan. Orang tua secara umum memiliki harapan tertentu akan prestasi anak yang mereka dukung secara kognitif, afektif dan materi. Ketika anak masih bayi (infant), orang tua mengharapkan terutama prestasi sensori motor dari anak mereka, dan dukungan dari orang tua kebanyakan adalah dukungan afektif. Ketika bayi mampu untuk
38
Universitas Sumatera Utara
mengangkat kepala mereka, atau berdiri di pangkuan ibunya, atau mengucapkan kata-kata tertentu (Papa, Mama), maka orang tua akan merespon dengan senyuman, tertawa, pelukan bahkan tangisan bahagia tanda penerimaan terhadap prestasi yang ditunjukkan anak. Dengan cara ini, anak belajar bahwa suatu prestasi akan dihargai oleh orang tua. Prestasi anak ketika memasuki usia sekolah semakin dibedakan, dan semakin jelas di tiga domain utama yaitu, akademik, interpersonal dan ekstrakurikuler. Tidak seperti masa bayi atau prasekolah, prestasi pada masa ini, memiliki dimensi sosial dan melibatkan interaksi dengan guru, teman sebaya dan orang dewasa lainnya. Pada tahap ini, anak tidak sepenuhnya bertanggung jawab atas prestasi mereka seperti pada masa bayi dan prasekolah dulu. Dan penting agar orang tua menghargai interaksi ini dan mengetahui bahwa kesuksesan dan kegagalan pada domain ini, tidak sepenuhnya merupakan perbuatan anak saja, tapi juga melibatkan interaksi dengan pihak lain. Orang tua, sebaliknya juga memperluas dukungan kepada anak pada masa ini. Misalnya, meningkatkan dukungan materi untuk anak, menyediakan pakaian dan peralatan sekolah, uang, dan peralatan untuk kegiatan ekstrakurikuler. Orang tua dari kelas ekonomi menengah menunjukkan dukungan pada anak dengan mengantar mereka ke sekolah, rumah teman, les dsb. Orang tua juga menunjukkan dukungan dengan hadir pada aktivitas ekstrakurikuler atau penampilan anak mereka dalam drama sekolah, menyanyi, menari, dsb. Pentingnya kehadiran orang tua
39
Universitas Sumatera Utara
sebagai bentuk dukungan terhadap prestasi anak tidak boleh dianggap remeh. Hal itu merupakan suatu tanda yang jelas bahwa orang tua peduli dengan anak ketika orang tua meluangkan waktu untuk datang dan melihat penampilan anak mereka. Pada masa remaja, prestasi di bidang akademik, interpersonal dan ekstrakurikuler semakin diharapkan dan orang tua menjadi lebih mengutamakan tuntutan di domain ini. Orang tua mungkin akan mengharapkan anak remaja berusaha dengan baik di les, atau merasa tidak senang dengan pola persahabatan tertentu (misalnya anak berteman dengan gelandangan), atau tidak menyetujui beberapa jenis ekstrakurikuler (misalnya orang tua ingin anak main basket, tapi anak lebih suka main rugby). Pada tahap ini, untuk pertama kalinya, orang tua dan anak mungkin bertentangan dalam menentukan prestasi mana yang lebih berharga dan penting. Sebagai tambahan, khususnya dalam keluarga kelas ekonomi menengah, anak muda sering terlibat dalam “achievement overload”. Terlalu banyak tekanan pada pencapaian prestasi, sehingga anak-anak memadatkan jadwal mereka semaksimal mungkin (overload schedule). Seorang anak mungkin mengambil les balet, piano, softball di sekolah, menjadi sukarelawan di rumah sakit, dan masih membawa beban mata pelajaran yang banyak di sekolah. Bahkan orang tua sendiri merasa susah untuk memberikan dukungan untuk semua aktivitas yang sangat padat ini. Achievement overload biasanya terjadi karena anak salah-baca (misread),
40
Universitas Sumatera Utara
salah menafsirkan dukungan orang tua terhadap prestasi. Ketika anak muda (young children) menganggap bahwa orang tua hanya peduli pada bagaimana baiknya prestasi mereka, maka kebutuhan untuk pencapaian prestasi semakin kecanduan. Makna dukungan yang sebenarnya harus dikomunikasikan kepada anak, bahwa prestasi yang ditunjukkan mendapat dukungan karena dukungan itu baik untuk anak-anak. Ketika anak merasa bahwa prestasi adalah untuk orang tua, dan bukan untuk diri mereka sendiri, maka mereka bisa saja menyerah (tidak lagi mau berprestasi) atau malahan menjadi achievement overload untuk memastikan dukungan orang tua tetap didapatkan. Intinya, perhatian orang tua menjadi satu-satunya alasan anak untuk
mencetak
prestasi,
bukannya
mencetak
prestasi
untuk
mengembangkan diri sendiri. Remaja juga masih membutuhkan dukungan afektif, seperti pelukan, tepukan, dsb. Dukungan afektif seperti ini mengkomunikasikan bahwa orang tua mendukung anak sebagai seseorang yang dicintai dan disayangi orang tua, bukan semata-mata atas prestasi yang sudah dicapai anak. Hal inilah yang biasanya terabaikan untuk dilaksanakan kebanyakan orang tua yang memburu anak mereka dari sederetan tuntutan prestasi.
3. Loyality – Commitment Contract (Kontrak Kesetiaan – Komitmen) Tipe ketiga dari realitas (reality) yang terbentuk antara orang tua dan anak melibatkan kesetiaan dan komitmen. Secara umum, orang tua
41
Universitas Sumatera Utara
mengharapkan sejumlah kesetiaan tertentu dari anak sebagai balasan atas waktu, energi, usaha dan pengeluaran yang sudah dihabiskan orang tua untuk membesarkan anak. Pada masa bayi (infants), orang tua secara intuitif mengharapkan bayi mereka akan setia kepada orang tua seperti kelekatan pada orang tua, takut untuk berpisah, dsb. Rasa takut berpisah (fear of separation) seperti yang diketahui, merupakan tanda kelekatan, dan sebenarnya juga ekspresi kesetiaan anak kepada orang tua. Anak yang menolak berespon kepada orang asing, akan membuat orang tua mereka merasa bahagia karena kesetiaan anak kepada mereka. Pada
masa
awal
kanak-kanak
(early
childhood),
anak
mengkonstruksikan gagasan tentang simbol diri seperti penggunaan kata “saya”, “punya saya” dengan namanya, atau dengan nama keluarga. Pada tahap ini, orang tua mulai mengharapkan selain anak menunjukkan kesetiaan kepada orang tua sebagai se-seorang, anak juga menunjukkan kesetiaan kepada simbol yang mewakili orang tua, misalnya marga. Sedangkan orang tua, menunjukkan komitmen dalam hal jumlah waktu dan perhatian dalam membesarkan anak. Ketika anak memasuki usia sekolah, kesetiaan anak sekarang diukur dari kepatuhan mereka terhadap aturan. Ketika anak berbohong pada orang tua, orang tua akan marah, sebenarnya, karena orang tua menilai tindakan berbohong ini merupakan prilaku tidak setia anak kepada orang tua. Orang tua mengharapkan anak mereka setia kepada aturan yang dipegang oleh
42
Universitas Sumatera Utara
orang tua, seperti ketika orang tua mengharapkan anak juga setia kepada simbol yang mewakili orang tua. Ketika masuk ke masa remaja, anak menjadi mampu dalam berpikir dengan level tinggi dan memiliki konsep baru tentang dunia dan diri sendiri. Anak juga membentuk suatu konsep berpikir reflektif yang dapat berpikir tentang pikiran diri sendiri dan juga pikiran orang lain. Maka tuntutan kesetiaan yang diinginkan orang tua juga berubah. Orang tua menginginkan anak untuk setia kepada keyakinan dan nilai-nilai yang dianut orang tua, sebagaimana kesetiaan anak kepada orang tua sebagai manusia, kepada simbol keluarga dan aturan moral. Misalnya, orang tua akan menganggap pacaran dengan orang dari suku dan agama yang berbeda serta ditentang keluarga, sebagai suatu ketidaksetiaan anak kepada orang tua. Pada usia remaja ini, anak juga mengembangkan gambaran mengenai orang tua yang ideal (ideal parent), yang sempurna di segala sisi. Kemudian membandingkan dengan orang tua nyata (real parent). Biasanya anak akan menemukan ada beberapa sisi dari orang tua yang memprihatinkan, dari segi cara berpakaian, penampilan, kebiasaan, karakter, dsb. Sikap yang kritis seperti ini, dianggap orang tua sebagai berkurangnya kesetiaan anak kepada orang tua. Anak yang ditekan untuk bertumbuh kembang lebih cepat, sering merasa adanya komitmen yang kurang dari orang tuanya, dan biasanya bersikap lebih kritis kepada orang tuanya daripada anak yang tidak
43
Universitas Sumatera Utara
hurried. Anak hurried mungkin merasa bahwa orang tua mereka lebih peduli pada hidup, karier dan pergaulan mereka sendiri daripada peduli pada anak mereka yang hurried. Ketika anak memasuki masa remaja, mereka merasa tidak perlu setia kepada orang tua, baik sebagai suatu pribadi, atau kepada nilai dan keyakinan yang orang tua mereka anut. Ketika anak merasa orang tua sudah melanggar kontrak, maka mereka merasa mereka tidak memiliki kewajiban lagi untuk memenuhi kewajiban sebagai salah satu pihak dalam kontrak tersebut. Efek negatif dari membuat anak menjadi hurried adalah, rusaknya kontrak kesetiaan-komitmen antara orang tua dan anak. Walaupun kerusakan kontrak itu terjadi pada masa kanak, namun konsekuensinya biasanya lebih terlihat setelah anak memasuki masa remaja. Anak akan menjadi lebih kritis dalam menyikapi tindakan orang tuanya. Berdasarkan pembahasan teori Contracting terhadap hurried child, maka peneliti membatasi subjek penelitian pada kategori remaja. Alasannya adalah dengan mempertimbangkan dari segi kontrak achievement-support, bahwa pada usia remaja, tuntutan untuk prestasi akademik semakin diutamakan orang tua. Dan dari segi kontrak loyality-commitment, bahwa pada usia remaja, anak menjadi lebih kritis dalam melihat tuntutan orang tua terhadap dirinya. Sehingga dinamika sikap anak yang kritis lebih kelihatan pada masa remaja daripada masa kanakkanak. Istilah hurried child yang dipakai Elkind dalam hal ini masih relevan pada remaja. Istilah child yang digunakan Elkind adalah mengacu kepada anak, dan
44
Universitas Sumatera Utara
ketika menyebut remaja (adolescence), Elkind masih menggunakan kata anak (child) sehingga makna kata anak (child) tidak semata-mata pada kategori usia kanak-kanak (preschool, school-age) saja, tapi mengacu kepada seorang anak dari sepasang orang tua. Dalam hal ini, maka remaja juga masih dalam cakupan child yang disebut oleh Elkind (2001).
II.B.5. Persepsi Anak terhadap Kondisi Hurrying Elkind (2001) menyatakan bahwa cara anak mempersepsikan kondisi hurried yang dialaminya tergantung pada beberapa variabel, yaitu: 1. Level perkembangan mental 2. Temperamen 3. Pengalaman masa lalu 4. Kecerdasan, dsb Berikut akan disajikan tinjauan persepsi anak terhadap kondisi hurried dilihat dari beberapa tahap perkembangan : 1. Tahap Young Children (2 – 7 / 8 tahun) Anak mempersepsikan hurrying sebagai suatu penolakan, bahwa orang tua tidak mempedulikan mereka. Hurrying anak dari satu caretaker ke caretaker lainnya dalam satu hari, atau ke dalam pencapaian prestasi akademik atau membuat keputusan yang tidak dapat mereka lakukan adalah suatu bentuk penolakan. Penolakan dilihat anak dari sisi, kemampuan apa yang mereka miliki untuk mengatasi masalah dan melakukan sesuatu.
45
Universitas Sumatera Utara
2. Tahap Operasional Konkret / tahap Usia Sekolah ( 7/ 8 – 11 tahun) Anak melihat kondisi hurrying dengan cara yang lebih kompleks. Mereka
masih
menganggap
pengalaman
hurrying
sebagai
suatu
penolakan. Tapi mereka tidak lagi menyalahkan diri mereka sendiri ataupun orang tua, tapi menggunakan kemampuan mental mereka untuk merasionalisasi prilaku orang tua dan menemukan alasan yang dapat diterima atas kondisi hurrying yang mereka alami. Anak tahap usia sekolah lebih mandiri dan bergantung pada diri sendiri. Oleh karena itu, mereka kelihatan bersedia menerima kondisi hurrying yang dibebankan pada mereka dengan maksud agar mereka dapat belajar mengambil tanggung jawab dan peran orang dewasa, terutama anak di keluarga dengan single parent, akan mencoba untuk mengisi peran orang tua yang kosong.. 3. Tahap Remaja (13 – 17 tahun) Pada tahap ini, remaja mempersepsikan hurrying sebagai suatu penolakan, tapi dengan konsep yang lebih abstrak. Pertama-tama, anak akan membentuk suatu gambaran tentang orang tua yang ideal, yang serba tau, serba baik dan sempurna dan membandingkannya dengan orang tuanya yang nyata dan menemukan bahwa orang tua mereka banyak kekurangan. Hal ini menyebabkan anak mengkritik orang tua mereka dari cara orang tua berpakaian, makan, berbicara, melihat, bertindak dsb. Dan ketika anak merasa hurried oleh
46
Universitas Sumatera Utara
orang tua mereka, rasa kritis itu akan semakin hebat. Anak usia remaja akan cenderung menyalahkan orang tua mereka. Kedua, anak juga menyalahkan orang tua bukan hanya menempatkan anak pada kondisi hurried di usia remaja, tapi juga ketika mereka masih kanak-kanak.
II.B.6. Efek dari Hurried Child Anak yang hurried, secara sadar maupun tidak sadar, diharapkan untuk selangkah lebih maju dibandingkan teman sebaya mereka, baik dari segi intelektual, kemampuan sosial atau kemampuan emosional. Elkind (2001) menjelaskan beberapa efek yang ditimbulkan dari efek hurried pada anak, antara lain: 1)
Sense of Identity yang lebih dewasa daripada seharusnya.
2)
Role Diffusion, sehingga berpotensi mengembangkan identitas diri yang negatif
3)
Sense of Capacity yang salah, sebagai akibat dituntut sejak dini mampu mengambil keputusan dan tanggung jawab yang belum sesuai usia.
4)
Sangat sensitif dan peduli dengan penampilan atau performance
5)
Cenderung lebih kompetitif dan egosentris dalam hubungan dengan teman sebaya mereka, karena mereka menerapkan pendekatan satu pihak ala orang dewasa dalam hubungannya dengan teman sebayanya.
6)
Cenderung kurang memahami hubungan timbal balik dalam suatu kontrak sehingga anak hurried cenderung bersikap kasar dan ill-mannered.
47
Universitas Sumatera Utara
7)
Muncul Free Floating Anxiety (chronic stres) pada anak, yaitu perasaan yang tidak dapat dihubungankan pada rasa takut terhadap objek atau situasi tertentu. Anak merasa sangat lelah, sensitif, mood tidak enak dan tidak mampu berkonsentrasi, tapi tidak tahu apa penyebab jelasnya.
8)
Menurut penelitian Matthews, psikolog Universitas Pittsburgh (dalam Elkind, 2001), bahwa pola asuh orang tua yang memburu anak mereka (parental hurrying) dapat dihubungkan dengan tipe kepribadian A pada anak.
9)
Muncul gejala premature structuring, yang oleh Freud (dalam Elkind, 2001) dikatakan bahwa jika anak harus berkembang dengan cepat, maka akibatnya mereka tidak bisa lagi berkembang lebih jauh. Karakter mereka terbentuk terlalu dini sehingga hanya ada celah kecil untuk perkembangan lebih lanjut dan diferensiasi kepribadian.
10) Dalam kaitan dengan kontrak orang tua – anak, hurried child akan:
Cenderung berprilaku bebas yang tidak aman (misalnya mabok, balap, atau aktivitas untuk kesenangan lainnya) – sebagai akibat dari kontrak freedom-responsibility yang salah. Anak diberikan kebebasan ketika mereka
belum
benar-benar
siap.
Sehingga
mereka
harus
mengembangkan prilaku tanggung jawab untuk disesuaikan dengan kebebasan yang mereka peroleh. Dan hal itu merupakan suatu tekanan untuk tumbuh kembang cepat. Pada tahap adolescene, anak tidak lagi bisa dikontrol hanya dengan kata-kata orang tua.
48
Universitas Sumatera Utara
Cenderung merasa bahwa prestasi yang mereka dapat hanya untuk orang tua – sebagai akibat kontrak achivement-support yang salah. Anak merasa orang tua hanya peduli pada apa yang sudah mereka capai, bukan siapa mereka sebenarnya. sehingga anak berprestasi hanya semata-mata untuk bisa mendapatkan dukungan dari orang tua, terutama dukungan afektif.
Cenderung lebih kritis dan memberontak – sebagai akibat kontrak loyalty-commitment yang salah. Adolescence bisa mengembangkan gambaran tentang orang tua yang ideal. Kemudian karena orang tua membuat mereka hurried, maka dianggap orang tua tidak punya komitmen, anak merasa orang tua lebih berkomitmen pada kehidupan orang tua sendiri, karier dan relasi bisnis daripada anak. Sehingga kekritis-an anak ini akan menyebabkan anak tidak perlu setia pada orang tua.
11) Anak yang hurried secara akademik akan menunjukkan gejala seperti apatis, menarik diri, penolakan, marah, frustasi, dan harga diri rendah 12) Gejala School Burnout, terutama pada anak yang hurried karena tuntutan prestasi akademik yang membebankan. Sering sekali, anak-anak menjadi benci untuk pergi ke sekolah, dan memilih untuk tinggal di rumah dengan alasan sakit kapanpun mereka mau. Mereka sering terlambat dan sering pulang lebih awal sebelum jam belajar berakhir. Banyak juga yang menyalahgunakan alkohol dan obat-obatan, ada juga yang merusak atau mengotori sekolah dengan menggambar / menuliskan kata-kata kasar/kotor
49
Universitas Sumatera Utara
di dinding sekolah. Pada akhirnya, mereka dikeluarkan dari sekolah secara resmi. Beberapa di-antara mereka disebut pembolosan ‘in house’, dimana mereka hadir di sekolah, tetapi tidak memasuki kelas.
II.C.
Perkembangan Anak usia 13 – 17 tahun dari berbagai perspektif Elkind (2001) menjelaskan bahwa dengan memahami kelebihan dan
keterbatasan dari setiap tahapan perkembangan, maka definisi dari hurried dan bahayanya akan menjadi semakin jelas. Pada dasarnya, pertumbuhan terjadi dalam setiap tahap perkembangan. Setiap tahapan membawa perubahan dramatis, dari segi kapasitas intelektual, kelekatan emosional dan hubungan sosial. Pertumbuhan dari semua kemampuan tersebut, dengan segala kompleksitas dan keruwetannya, adalah suatu proses yang perlahan dan tidak tergesa gesa. Ketika anak dipaksa untuk tumbuh dengan cepat, beberapa pencapaian tugas perkembangan yang penting menjadi terlewatkan dan hal ini akan menyebabkan masalah yang serius di kemudian harinya. Berdasarkan pembahasan teori Contracting terhadap hurried child pada subbab sebelumnya, maka subjek penelitian adalah pada kategori remaja, yang menurut Hurluck (1980) dimulai dari rentang usia 13 sampai 17 tahun. Alasannya adalah bahwa pada usia remaja, tuntutan untuk prestasi akademik semakin diutamakan orang tua, serta pada usia remaja, anak menjadi lebih kritis dalam melihat tuntutan orang tua terhadap dirinya. Sehingga dinamika sikap anak yang kritis lebih kelihatan pada masa remaja daripada masa kanak-kanak.
50
Universitas Sumatera Utara
Berikut akan disajikan teori tentang tahapan perkembangan ditinjau dari perspektif kognitif, moral dan psikososial.
II.C.1. Perkembangan Kognitif Piaget (dalam Owen, 2002) mengemukakan empat tahap perkembangan kognitif, antara lain : 1. Tahap Sensorimotor
( 0 - 2 tahun)
Semua pengetahuan diperopleh melalui sensasi dan gerakan (seperti melihat, atau menyentuh). Proses berpikir sama cepatnya seperti pertumbuhan fisik. Anak belajar mengenali objek di lingkungan dengan menyentuh, merasakan, menggenggam dan membuang objek-objek tersebut. Kelekatan dengan figur ibu merupakan motivasi terbesar anak dalam belajar. 2. Tahap Preoperational
( 2 – 7 tahun)
Proses berpikir terpisah dari perkembangan gerakan dan meningkat dengan pesat. Kemampuan untuk berpikir dalam simbol dan tidak logis dimulai.. Anak mulai mengenali bahaya di sekitar mereka, belajar mengatasi orang-orang yang tidak menyenangkan dan mengekspresikan ketakutan dan kecemasan melalui permainan simbolik (misalnya berperan sebagai Superman, akan mengatasi keyakinan bahwa orang tua serba kuat dan serba tahu). Anak
mulai
membentuk
konsep
meng-kategorisasikan
atau
menghubungkan objek (kejadian) yang satu dengan yang lain. Berpikir
51
Universitas Sumatera Utara
egois (egocentric thinking), yakni tidak melihat dunia dari cara pandang orang lain, dan animisme (animism), yakni bahwa setiap objek memiliki pikiran dan perasaan, berkembang pada tahap ini Ketidak-bersediaan anak untuk berbagi barang yang dimilikinya pada tahap ini, bukan karena mereka egois, tetapi lebih disebabkan karena anak merasa barang-barang tersebut merupakan bagian dari dirinya, sehingga dengan berbagi barang dengan orang lain, seperti berbagi bagian dari diri mereka sendiri. 3. Tahap Concrete Operational Berpikir
logis
mulai
( 7 -11 tahun) berkembang,
termasuk
bagaimana
mengklasifikasikan objek dan prinsip matematika, tapi hanya dapat diterapkan terhadap objek yang konkret. Kemampuan untuk menarik kesimpulan atas apa yang dirasakan dan dipikirkan orang lain mulai berkembang, ditandai dengan anak sudah mencapai tahap operasional konkret,
mulai
bereksplorasi
tanpa
menggunakan
tangan
tetapi
menggunakan kemampuan visual. Mereka juga mampu mempelajari aturan dan siap untuk memasuki sekolah formal. Anak mulai memiliki jarak dengan orangtua dan hubungan dengan teman sebaya menjadi lebih penting. 4. Tahap Formal Operational
( 11 tahun ke atas)
Berpikir logis mulai berkembang ke konsep yang lebih abstrak. Kemampuan menggunakan analogi dan metaphor berkembang. Anak
52
Universitas Sumatera Utara
mulai bereksplorasi mengenai nilai, keyakinan dan filosofi. Tapi tidak semua orang menggunakan tahap ini untuk level yang sama. Kemampuan untuk menunjukkan arah dengan kombinasi kiri dan kanan (kiri dan kanan merupakan symbolic relations) menandakan anak sudah mampu operasi formal. Selain itu, anak juga mulai berpikir tentang ‘pikiran’ (thinking), dengan membicarakan tentang belief, value, kepercayaan dan motif yang mereka dan orang lain miliki. Anak juga mampu mengkonseptualisasi masa lalu dan masa depan dengan caranya yang baru. Oleh karena itu, menurut Elkind (2001) pada tahap ini, anak yang mengalami masa hurried pada tahapan sebelumnya mungkin akan menunjukkan kemarahan kepada orang tua. Kemarahan ini merupakan “sleeper effect” yang terjadi karena anak mengingat pengalaman hurried pada tahap perkembangan sebelumnya, akibat motif dan keinginan orang tua.
II.C.2. Perkembangan Moral Piaget (dalam Santrock, 2004) mengemukakan dua tahap perkembangan moral pada anak, yaitu : 1. Heteronomous Morality (usia 4 – 7 tahun) Pada tahap ini, keadilan dan peraturan dianggap sebagai suatu hal yang tidak dapat dirubah. Mereka selalu menganggap bahwa jika peraturan dilanggar, hukuman akan langsung didapatkan. Mereka meyakini keadilan yang selalu ada. Walaupun tidak ada saksi, hukuman tetap bisa berjalan.
53
Universitas Sumatera Utara
2. Autonomous Morality ( 10 - di atas 10 tahun) Pada tahap ini, anak lebih menyaradi bahwa aturan dan hukum adalah diciptakan oleh manusia dan oleh karena itu, untuk menilai suatu tindakan benar-salah, peran saksi mata atas setiap tindakan yang dilakukan sangat penting. Anak yang berada pada usia 7 – 10 tahun, berada pada masa transisi antara kedua tahapan dan menunjukkan beberapa ciri khas dari kedua tahapan moral tersebut.
II.C.3. Perkembangan Psiko Sosial Erikson
(dalam
Owen,
2002)
mengemukakan
delapan
tahap
perkembangan psikososial seorang manusia mulai dari usia tahun pertama sampai 60 tahun, antara lain : 1. Trust vs Mistrust ( tahun pertama) Bayi belajar untuk merasa aman. Kebutuhan dasar fisik dan psikologis bayi terpenuhi dengan karakter caregiver yang responsif dan sensitif, sehingga bayi bisa menumbuhkan rasa percaya. Kelekatan membuat anak merasakan cinta dan perhatian dari orang tua, dan juga ketakutan akan perpisahan. Ketika anak merasa dicintai, akan tercipta suatu kepercayaan (trust) yang mempengaruhi masa dewasa. Dan sebaliknya, jika anak diabaikan, muncul ketidak-percayaan (mistrust) yang membuat dia berpikir dunia adalah tempat yang berbahaya yang tidak ada seorangpun dapat dipercaya.
54
Universitas Sumatera Utara
Pada tahap ini, anak bukan hanya mengembangkan konsep dasar mengenai dunia, tapi juga masa membangun hubungan kelekatan dan orientasi sosial. 2. Autonomy vs Sham &Doubt (tahun kedua) Balita mulai belajar mengembangkan kemandirian dan kepercayaan diri. Ketika balita dituntut untuk mampu makan sendiri atau kemampuan toilet sendiri, dan mereka mampu, maka hal itu akan meningkatkan autonomy mereka. Sebaliknya, jika mereka dituntut untuk makan dan ke toilet sendiri, sebelum kemampuan motorik mereka memenuhi syarat, mereka akan mengalami kejadian yang memalukan yang akan memunculkan rasa shame-doubt mereka. Peran orang tua sangat menentukan apakah nilai autonomy atau shame&doubt yang mendominasi pada anak. Orang tua harus memperhatikan kesesuaian antara harapan mereka pada anak dengan kompetensi dasar yang dimiliki anak sesuai dengan perkembangannya. 3. Initiative vs Guilt (3 – 5 tahun) Anak mulai lebih bertanggung jawab atas prilaku mereka. Anak butuh untuk berinisiatif dan mengajukan pertanyaan. Belajar untuk bertanggung jawab tanpa terlalu merasa bersalah akan memunculkan inisiatif pada anak. Anak membutuhkan waktu untuk bereksplorasi dan berinvestigasi dengan lingkungannya untuk mendapatkan perasaan initiative yang lebih
55
Universitas Sumatera Utara
kuat daripada guilty feeling. Ketika anak diburu dari satu pengasuh ke pengasuh yang lain, dari satu pelajaran ke pelajaran yang lain, mereka mungkin akan kehilangan kesempatan untuk bereksplorasi di lingkungan mereka dengan bebas. Atau ketika orang tua terlalu sibuk untuk menjawab pertanyaan anak, anak akan merasa bersalah karena sudah bertanya. Ketika rasa bersalah muncul, maka inisiatif anak akan terhalangi untuk berkembang 4. Industry vs Inferiority (6 – 12 tahun) Pada tahap ini, anak mulai merasa efektif dalam mengatur kemampuan akademik. Tenaga dan perhatian anak diarahkan untuk mencapai pengetahuan dan prestasi di sekolah, perasaan mampu (competence) dan produktif. Perasaan industry atau inferiority ditentukan oleh pengalaman anak di rumah dan di sekolah. Jika orang tua di rumah selalu mengeluh tentang kesalahan yang dilakukan anak dan mengabaikan prestasi mereka, anak akan mengembangkan perasaan inferiority. Tapi jika guru di sekolah mampu melihat potensi mereka, memberi anak kesempatan untuk berprestasi, menghargai prestasi mereka, anak akan mengembangkan perasaan industry mereka lebih besar daripada inferiority dari pengalaman yang diperoleh di rumah. Lebih lanjut, menurut Erickson, pada tahap ini, orang tua disarankan untuk memuji anak untuk setiap hasil yang sudah mereka capai dan mendorong anak untuk terus mencoba hal-hal baru yang positif.
56
Universitas Sumatera Utara
Pada tahap ini, Sullivan (dalam Elkind, 2001) juga menyatakan bahwa anak mengembangkan kemampuan chumships – persahabatan erat antara anak, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis, dimana mereka berbagi perasaan dan pikiran secara dekat. Jika anak diburu dengan berbagai aktivitas yang harus dilakukan, maka anak akan kehilangan kesempatan dan waktu untuk membangun chumship – yang merupakan dasar dari kemampuan seseorang untuk membangun hubungan dengan orang lain / pasangan hidup setelah dewasa. 5. Identity vs Role Confusion (13 – 19 tahun ) Pada tahap ini, anak sudah memasuki masa remaja, dan mulai mencari identitas diri dengan bereksplorasi mengenai kemana mereka ingin pergi dan siapa diri mereka. Erickson juga menyarankan orang tua untuk memberikan dukungan kepada anak untuk menemukan tujuan hidup mereka, membangun hubungan yang hangat dengan anak, dan jangan terlalu keras kepada anak, apalagi mencoba untuk menjadi orang tua yang sok tahu. Elkind (2001) menambahkan bahwa anak yang diburu untuk memikul tanggung jawab tertentu dan mengambil keputusan atas masalah sendiri cenderung memiliki identitas diri yang lebih matang dari yang seharusnya mereka miliki, mereka hanya menilai diri mereka dari prestasi yang sudah mereka capai, bukan dari segi kemampuan sosial atau intelektual menilai kepribadian mereka.
57
Universitas Sumatera Utara
6. Intimacy vs Isolation (20 – 30 tahun) Usia dewasa awal ini mampu untuk membentuk hubungan yang dekat dan merasa mencintai atau dicintai oleh pasangan. Kebutuhan akan keintiman / kedekatan dengan pasangan meningkat. 7. Generativity vs Stagnation (40 – 50 tahun) Pada usia dewasa madya, seseorang akan mencari perasaan sukses di bidang keluarga atau pekerjaan mereka. Keinginan untuk pencapaian sesuatu atau melakukan sesuatu yang bermanfaat meningkat. 8. Integrity vs Despair ( 60 tahun ke atas) Pada usia dewasa lanjut ini, seseorang akan melihat ke belakang, apa prestasi yang telah dicapainya. Ketika dia merasa bahwa dia sudah berbuat banyak dan mencapai hasil yang memuaskan, maka perasaan utuh (integrity) akan meningkat. Pada usia ini, biasanya orang akan merasa bahwa hidup itu begitu berharga. Dari uraian di atas, peneliti menentukan batasan penelitian ini hanya pada anak berusia 13 - 17 tahun, supaya subjek yang diteliti berada pada satu kondisi yang homogen. Berdasarkan teori psikososial, anak usia 13 -17 tahun berada pada satu tahap perkembangan dimana anak mulai membentuk identitas diri, dan hubungan dengan orang tua sangat penting, dimana orang tua diharapkan membangun hubungan yang hangat dan saling pengertian dengan anak daripada memberikan banyak tuntutan / tekanan, supaya menghindari persepsi yang salah dari anak bahwa orang tua hanya mempedulikan prestasi mereka.
58
Universitas Sumatera Utara
Jika dilihat dari teori kognitif, maka anak usia 13 - 17 tahun sudah memiliki kemampuan berpikir logis yang mulai berkembang ke konsep yang lebih abstrak dan mampu berpikir reflektif, yaitu berpikir tentang pikiran sendiri dan pikiran orang lain.
II.D.
Sekolah Chandra Kusuma II.D.1. Visi dan Misi Sekolah Chandra Kusuma yang berlokasi di kompleks Cemara Asri
merupakan salah satu sekolah nasional berkompetensi internasional di wilayah Sumatera Utara. Berdasarkan sistem pendidikan, sekolah di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu sekolah nasional dan sekolah internasional. Sekolah nasional adalah sekolah yang mengacu dan mengikuti aturan dan sistem pendidikan nasional yang dibuat oleh pemerintah Indonesia. Sedangkan sekolah internasional adalah sekolah yang merujuk pada sistem dari sebuah negara tertentu (Dwi Sunu Pebruanto, dalam Pasti, 2004). Visi sekolah ini adalah untuk melayani masyarakat dengan institusi pendidikan yang berstandar internasional dan memiliki perspektif global. Dan untuk mencapai visi tersebut, sekolah Chandra Kusuma memiliki misi yaitu: Meningkatkan nilai prososial anak, seperti nilai kebaikan, tanggung jawab dan saling tolong menolong, menghargai diri sendiri dan orang lain. Serta nilai keadilan, kejujuran, kesetiaan dan menjadi sumber inspirasi untuk lingkungan.
59
Universitas Sumatera Utara
Menyediakan lingkungan belajar yang membuat anak merasa bahwa kesuksesan bukanlah semata-mata tanpa kegagalan, sehingga anak dapat belajar dari kesalahan yang sudah diperbuat. Menekankan pentingnya sikap dan karakter diri dalam kehidupan. Bahwa kecerdasan bukanlah semata-mata satu hal yang paling diutamakan sehingga anak akan belajar keahlian untuk hidup, tidak sekedar belajar untuk mendapatkan sertifikat sekolah Meningkatkan potensi staf pengajar melalui seminar atau workshop untuk meningkatkan teknik pengajaran dan kemampuan memahami kebutuhan anak. Juga menyediakan pelatihan bahasa Inggris kepada staf pengajar dengan tenaga native speaker sehingga dapat meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mereka, secara verbal dan tertulis. Menyediakan sumber daya terbaik untuk memfasilitasi semua proses pembelajaran anak.
II.D.2. Lingkungan Sekolah secara umum Sekolah Chandra Kusuma merupakan sekolah swasta yang bersifat nonprofit dan tidak menerima bantuan dana pemerintah. Bahasa pengantar yang dipakai dalam lingkungan sekolah adalah bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Hal ini terutama didasarkan pada kesadaran bahwa kesuksesan seorang pelajar sangat ditentukan oleh kemampuan komunikasi mereka, baik secara lisan atau tulisan, dalam bahasa Inggris dan juga bahasa Indonesia. Oleh karena itu, pelajar diharuskan menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi dalam kelas-kelas
60
Universitas Sumatera Utara
tertentu dan didorong untuk berbahasa Inggris di luar kelas ataupun selama aktivitas ekstrakurikuler. Jumlah pelajar dalam satu ruangan untuk level kelas SD 3 sampai SMA 3 tidak melebihi 24 orang untuk satu pengajar. Kondisi seperti ini akan membuat seorang guru lebih efektif dalam memperhatikan perkembangan dari setiap anak didiknya dalam kelas. Jadwal sekolah adalah dari hari Senin sampai hari Jumat. Namun beberapa kegiatan di luar jam belajar normal, seperti studi tur, atau klub badminton diadakan pada hari sabtu. Setiap tahun ajaran dimulai pertengahan bulan Juli dan dibagi menjadi dua semester (Juli-Desember ; Januari-Juni), dan total waktu belajar adalah lebih kurang 40 minggu per tahun. Berikut adalah tabel yang memperlihatkan jam belajar pelajar di sekolah Chandra Kusuma untuk setiap tingkat pendidikan.
LEVEL PLAYGROUP & PRESCHOOL 1-2 (TK A, TK B) PRIMARY 1-2 (SD1-2) PERIMARY 3-6 (SD3-SD6) SECONDARY 1-6 (SMP-SMA)
HARI SENIN - JUMAT SENIN - JUMAT SENIN - JUMAT SENIN - JUMAT
WAKTU SESI 1: 7:30 – 11:30 SESI 2: 12:30 – 16:15 7:30 – 13:45 7:30 – 16:15 7:30 – 16:15
II.D.3. Sistem Belajar Sekolah Chandra Kusuma menggunakan kombinasi metode pengajaran student-centered dan teacher-centered yang disesuaikan dengan materi dan kondisi anak di kelas. Selain sistem belajar di dalam ruangan, anak juga belajar dari kegiatan-kegiatan di luar kelas seperti
61
Universitas Sumatera Utara
Ekstrakurikuler Setiap pelajar harus memilih dua ekskul per semester dan harus dari dua kategori yang berbeda. Beberapa kategori yang ditawarkan untuk dipilih antara lain: (1) Olahraga (badminton, basket, voli, sepak bola, renang, catur, dansa) ; (2) Seni (seni ukir, paduan suara, music band, memasak) ; (3) Bahasa (Inggris,
Mandarin,
Debat,
Jurnalistik)
;
(4)
Teknologi
Informasi
(Programming, Design Grafis) School Camp Setiap tahun, pada akhir minggu pertama bulan September, murid kelas SD akan tinggal di sekolah dari Jumat Sore sampai Minggu pagi dan merupakan keharusan, terutama bagi murid SD3 – SD6. Field Trip atau Studi Lapangan Merupakan program sekali per semester, dimana anak diajak untuk mengamati kenyataan di lapangan sesuai dengan topik yang dipelajari, misalnya field trip ke daerah perdesaan yang memakan waktu lima hari empat malam. Program ini merupakan keharusan terutama bagi anak SD sampai SMA.
62
Universitas Sumatera Utara