BAB II LANDASAN TEORI
II.1. Metode Perencanaan dan Persyaratan II.1.1. Peraturan dan Standar Perencanaan Struktur Beton Bertulang Peraturan dan standar persyaratan struktur bangunan pada hakekatnya ditujukan untuk kesejahteraan umat manusia, untuk mencegah korban manusia. Oleh karena itu, peraturan struktur bangunan harus menetapkan syarat minimum yang berhubungan dengan segi keamanan. Dengan demikian perlu disadari bahwa suatu peraturan bangunan bukanlah hanya diperlukan sebagai petunjuk praktis yang disarankan untuk dilaksanakan, bukan hanya merupakan buku pegangan pelaksanaan, bukan pula dimaksudkan untuk menggantikan pengetahuan, pertimbangan teknik, serta pengalaman-pengalaman di masa lalu. Suatu peraturan bangunan tidak membebaskan tanggung jawab pihak perencana untuk menghasilkan struktur bangunan yang ekonomis dan yang lebih penting, adalah keamanan. Di Indonesia, peraturan atau pedoman standar yang mengatur perencanaan dan pelaksanaan bangunan beton bertulang telah beberapa kali mengalami perubahan dan pembaharuan, sejak Peraturan Beton Indonesia 1995 (PBI 1955) kemudian PBI 1971, kemudian Standar Tata Cara Penghitungan Struktur Beton SK SNI T-15-1991-03, dan diperbaharui dengan Standar Tata Cara Perhitungan Struktur Beton untuk Bangunan Gedung SK-SNI-03-2487-2002. Pembaharuan tersebut tiada lain ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dalam upaya mengimbangi pesatnya laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi khususnya yang berhubungan dengan beton ataupun beton bertulang. PBI 1955 merupakan terjemahan dari GBVI (Gewapend Beton Voorschriften in Indonesia) 1935, yang merupakan suatu peraturan produk pemerintah penjajah Belanda di
Universitas Sumatera Utara
Indonesia. PBI 1955 memberikan ketentuan tata cara perencanaan menggunakan metode elastis atau cara n, dengan menggunakan nilai banding modulus elastisitas baja dan beton, n, yang bernilai tetap untuk segala keadaan bahan dan pembebanan. Batasan mutu bahan di dalam peraturan baik untuk beton maupun tulangan baja masih rendah disamping peraturan tata cara pelaksanaan yang sederhana sesuai dengan taraf teknologi yang dikuasai pada waktu itu. PBI 1971 NI-2 diterbitkan dengan memberikan beberapa pembaharuan terhadap PBI 1955, diantaranya yang terpenting adalah: 1) Di dalam perhitungan menggunakan metode elastik atau disebut juga dengan cara n atau metode tegangan kerja, menggunakan nilai n yang variabel tergantung pada mutu beton dan waktu (kecepatan) pembebanan, serta keharusan untuk memasang tulangan rangkap bagi balok-balok yang ikut menentukan kekuatan struktur; 2) Diperkenalkannya perhitungan metode kekuatan (ultimit) yang meskipun belum merupakan keharusan untuk memakai, hanya untuk alternatif; 3) Diperkenalkannya dasar-dasar perhitungan bangunan tahan gempa. Sampai dengan saat ini, penguasaan pengetahuan dan teknologi yang berkaitan dengan sifat dan prilaku struktur beton terus menerus mengalami perkembangan sehingga standar dan peraturan yang mengatur tata cara perencanaan dan pelaksanaannya juga menyesuaikan untuk selalu diperbaharui. Semua Peraturan dan Pedoman Standar tersebut diatas diterbitkan oleh Departemen Pekerjaan Umum Republik Indonesia dan diberlakukan sebagai peraturan standar resmi. Dengan sendirinya apabila suatu dokumen mencantumkannya sebagai peraturan resmi yang harus diikuti, maka sesuai dengan prosedur yang berlaku peraturan tersebut berkekuatan hukum dalam pengendalian perencanaan dan pelaksanaan bangunan beton bertulang lengkap dengan sanksi yang diberlakukan.
Universitas Sumatera Utara
II.1.2. Baja Tulangan Beton tidak dapat menahan gaya tarik melebihi nilai tertentu tanpa mengalami retak-retak. Untuk itu, agar beton dapat bekerja dengan baik dalam suatu sistem struktur, perlu dibantu dengan memberinya perkuatan penulangan yang terutama akan mengemban tugas menahan gaya tarik yang bakal timbul di dalam sistem. Untuk keperluan penulangan tersebut digunakan bahan baja yang memiliki sifat teknis menguntungkan, dan baja tulangan yang digunakan dapat berupa batang baja lonjoran ataupun kawat rangkai (wire mesh) yang berupa batang kawat baja yang dirangkai (dianyam) dengan teknik pengelasan. Yang terakhir tersebut, terutama dipakai untuk plat dan cangkang tipis atau struktur lain yang tidak mempunyai tempat cukup bebas untuk pemasangan tulangan, jarak spasi, dan selimut beton sesuai dengan persyaratan pada umumnya. Bahan batang baja rangkai dengan pengelasan yang dimaksud, didapat dari hasil penarikan baja pada suhu dingin dan dibentuk dengan pola ortogonal, bujur sangkar, atau persegi empat dengan di las pada setiap titik pertemuannya. Agar dapat berlangsung lekatan erat antara baja tulangan dengan beton, selain batang polos berpenampang bulat (BJTP) juga digunakan batang deformasion (BJTD), yaitu batang tulangan baja yang permukaannya dikasarkan secara khusus, diberi sirip yang teratur dengan pola tertentu, atau batang tulangan yang dipilin pada proses produksinya. Pola permukaan yang dikasarkan atau pola sirip sangat beragam tergantung pada mesin giling atau cetak yang dimiliki oleh produsen, asal masih dalam batas-batas spesifikasi teknik yang diperkenankan oleh standar. Baja tulangan (BJTP) hanya digunakan untuk tulangan pengikat sengkang atau spiral, umumnya diberi kait pada ujungnya. Di banyak negara termasuk di negara kita, telah dilaksanakan banyak percobaan serta pengujian untuk melakukan pendekatan dan penelitian yang berhubungan dengan ekonomi penulangan beton. Di antaranya adalah percobaan penulangan dengan cara
Universitas Sumatera Utara
ferro cement dimana digunakan bahan kayu, bambu, atau bahan lain untuk penulangan beton. Ataupun beton dengan perkuatan fiber (serat) dimana sebagian bahan imbuhan perkuatan digunakan serat-serat baja atau serat dengan dan serbuk bahan lain, demikian pula usaha memperbaiki mutu bahan betonnya sendiri dengan menggunakan abu terbang (fly ash) dan sebagainya. Sifat fisik tulangan baja yang paling penting untuk digunakan dalam perhitungan perencanaan beton bertulang ialah tegangan luluh (fy) dan modulus elastisitas (Es). Tegangan luluh (titik luluh) baja ditentukan melalui prosedur pengujian standar sesuai SII 0136-84 dengan ketentuan bahwa tegangan luluh adalah tegangan baja pada saat meningkatnya tegangan tidak disertai dengan peningkatan regangannya. Di dalam perencanaan atau analisis beton bertulang umumnya nilai tegangan luluh baja tulangan diketahui atau ditentukan pada awal perhitungan. Di samping usaha standarisasi yang telah dilakukan oleh masing-masing negara produsen baja, kebanyakan produksi baja tulangan beton pada dewasa ini masih berorientasi pada spesifikasi teknis yang ditetapkan ASTM. Di Indonesia produksi baja tulangan dan baja struktur telah diatur sesuai dengan Standar Industri Indonesia, antara lain dengan SII 0136-80. Modulus elastisitas baja tulangan ditentukan berdasarkan kemiringan awal kurva tegangan-regangan di daerah elastik dimana antara mutu baja yang satu dengan yang lainnya tidak banyak bervariasi. Ketentuan SK SNI-03-2487-2002 menetapkan nilai modulus elastisitas beton, baja tulangan, dan tendon sebagai berikut : 1. Untuk nilai wc diantara 1500 kg/m3 dan 2500 kg/m3, nilai modulus elastisitas beton Ec dapat diambil sebesar (wc)1,5 0,043 diambil sebesar 4700
f ' c (dalam Mpa). Untuk beton normal Ec dapat
f 'c .
Universitas Sumatera Utara
2. Modulus elastisitas untuk tulangan non-prategang Es boleh diambil sebesar 200.000 Mpa. 3. modulus elastisitas untuk beton prategang Es’ ditentukan melalui pengujian atau dari data pabrik.
II.1.3. Provisi Keamanan Tujuan utama desain struktur adalah untuk mendapatkan struktur yang aman terhadap beban atau efek beban yang bekerja selama masa penggunaan bangunan. Struktur dan unsur-unsurnya harus direncanakan untuk memikul beban cadangan di atas beban yang diharapkan bekerja dibawah keadaan normal. Kapasitas cadangan yang demikian disediakan untuk memperhitungkan beberapa faktor yang dapat digolongkan dalam dua kategori umum; yaitu faktor yang berhubungan dengan pelampauan beban dan faktor yang berhubungan dengan kekurangan kekuatan (yaitu kekuatan yang kurang daripada harga yang diperoleh dengan menggunakan prosedur perhitungan yang dapat diterima). Bila intensitas dan efek beban yang bekerja diketahui dengan pasti, maka struktur dapat dibuat aman dengan cara memberikan kapasitas kekuatan yang sedikit lebih besar daripada efek beban. Akan tetapi, sering kali dirasakan adanya ketidakpastian, baik ketika menentukan beban-beban yang akan bekerja pada struktur, maupun dalam hal kekuatan struktur dalam menahan beban tersebut. Ketidakpastian karena adanya variabilitas penampilan struktur dapat disebabkan oleh variasi kekuatan dan kekakuan beton akibat mutu material yang tidak seragam, kualitas pelaksanaan yang mempengaruhi kepadatan dan gradasi kekuatan beton, variasi dimensi elemen-elemen struktur, geometri struktur, penempatan tulangan dalam setiap elemen, dan efek-efek lain yang merugikan.
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengatasi hal tersebut diatas digunakanlah faktor keamanan atau angka keamanan, dengan kekuatan struktur diusahakan sama atau lebih besar dari perkalian antara angka keamanan dengan beban kerja. Dengan kata lain, angka kemanan ini dimaksudkan untuk menjamin bahwa kapasitas struktur selalu lebih besar daripada bebannkerja. Angka keamanan juga sering dipandang sebagai perbandingan antara tegangan leleh terhadap tegangan beban layan, namun pandangan ini tentu saja tidak berlaku bila efek nonlinear turut diperhitungkan. Sehingga angka keamanan didefenisikan sebagai rasio beban yang dapat menimbulkan keruntuhan terhadap beban kerja. Variabilitas di dalam perbandingan dari kekuatan terhadap beban kerja di dalam metode tegangan kerja merupakan suatu faktor utama di dalam peralihan kepada pengunaan dari metoda rencana kekuatan. Peraturan SNI memisahkan provisi keamanan dalam faktor U untuk pelampauan beban dan faktor ø untuk kekurangan kekuatan. Persamaan dasar untuk pelampauan beban (SNI 03-2847-2002) untuk struktur pada lokasi dan proporsi yang sedemikian hingga pengaruh dari angin dan gempa dapat diabaikan, adalah : U = 1,2D + 1,6L
Di mana : U = kekuatan yang diperlukan (berdasarkan kemungkinan pelampauan beban) D = beban mati pada keadaan layan L = beban hidup Tujuan dari suatu provisi keamanan adalah untuk membatasi kemungkinan dari keruntuhan dan juga untuk memberikan struktur yang ekonomis. Jelaslah kiranya bila biaya tidak menjadi bahan pertimbangan, adalah mudah untuk merencanakan suatu struktur yang kemungkinan keruntuhannya adalah nol. Untuk mencapai faktor keamanan
Universitas Sumatera Utara
yang cocok, maka kepentingan relatif dari beberapa hal harus ditetapkan. Beberapa diantara hal-hal tersebut adalah : 1. Keseriusan dari keruntuhan, apakah terhadap manusia atau harta benda. 2. Realibilitas dari pengerjaan dan pemeriksaan. 3. Ekspektasi dan besarnya pelampauan beban. 4. Pentingnya suatu unsur di dalam struktur. 5. Kesempatan untuk aba-aba peringatan sebelum keruntuhan. Dengan menetapkan persentase untuk hal-hal diatas dan dengan mengevaluasi kondisi lingkungan untuk suatu kondisi, faktor yang memadai untuk keamanan dapat ditentukan untuk setiap hal.
II.2. Balok Persegi II.2.1. Metode Analisis dan Perencanaan Perencanaan komponen struktur beton dilakukan sedemikian rupa sehingga tidak timbul retak berlebihan pada penampang sewaktu mendukung beban kerja, dan masih mempunyai cukup keamanan serta cadangan kekuatan untuk menahan beban dan tegangan lebih lanjut tanpa mengalami runtuh. Timbulnya tegangan-tegangan lentur akibat terjadinya momen karena beban luar, dan tegangan tersebut merupakan faktor yang menentukan dalam menetapkan dimensi geometris penampang komponen struktur. Proses perencanaan atau analisis umumnya dimulai dengan memenuhi persyaratan terhadap lentur, kemudian baru segi-segi lainnya, seperti kapasitas geser, defleksi retak, dan panjang penyaluran, dianilisis sehingga keseluruhannya memenuhi syarat.
Seperti diketahui, untuk bahan bersifat serba sama dan elastis, distribusi regangan maupun tegangannya linier berupa garis lurus dari garis netral ke nilai maksimum di serat
Universitas Sumatera Utara
tepi terluar. Dengan demikian nilai tegangannya berbanding lurus dengan nilai regangan dan hal tersebut berlaku sampai dengan dicapainya batas sebanding (proportional limit). Untuk bahan baja dengan mutu yang umum digunakan sebagai komponen struktural, nilai batas sebanding dan nilai tegangan luluh letaknya berdekatan hampir berhimpit, dan nilai tegangan lentur ijin didapat dengan cara membagi tegangan luluh dengan faktor aman. Pada struktur kayu, nilai tegangan lentur ijin didapatkan dengan cara lebih langsung dengan menggunakan faktor aman pembagi terhadap tegangan lentur patah. Dengan menggunakan cara penetapan tegangan lentur ijin seperti tersebut, yang didasarkan pada anggapan hubungan linier antara tegangan dan regangan, analisis serta perncanaan struktur kayu dan baja dapat dilakukan, sesuai dengan teori elastisitas. Meskipun disadari bahwa pada kenyataan bahan beton bersifat tidak serba sama (nonhomogeneous) dan tidak sepenuhnya elastik, selama ini cara pendekatan linier seperti tersebut di atas juga digunakan dan dianggap benar bagi bahan beton. Selama kurun waktu cukup lama perencanaan serta analisis didasarkan pada pemahaman tersebut dan dinamakan sebagai metode elastik, cara-n, atau metode tegangan kerja (working stress design method, WSD method). Sejak jangka waktu 30 tahun belakangan ini telah dikenal metode pendekatan lain yang lebih realistik, ialah bahwa hubungan sebanding antara tegangan dan regangan dalam beton terdesak hanya berlaku pada suatu batas keadaan pembebanan tertentu, yaitu pada tingkat beban sedang. Pendekatan ini dinamakan metode perencanaan kekuatan (Ultimate Strength Design Methode, USD Methode) atau metode perencanaan kekuatan ultimit. Metode tersebut mulai dikenalkan sejak tahun 60-an, sejak dimuat di dalam peraturan beton di beberapa negara. ACI Building Code misalnya, telah mengenal baik dan memuat metode tersebut sebagai alternatif sejak tahun 1956, pada tahun 1963 memperlakukan
Universitas Sumatera Utara
kedua metode setara, dan sejak tahun 1971 metode tersebut diangkat menjadi satu-satunya teknik analisis dan perencanaan untuk berbagi pemakaian gratis. Walau demikian, metode tegangan kerja masih dicantumkan, digunakan sebagai metode alternatif penetapan daya guna kelayanan (serviceability) struktur. Di Indonesia, metode perencanaan baru diperkenalkan dalam PBI 1971 dan dipakai sebagai metode alternatif di samping metode tegangan kerja yang masih juga dipertahankan. Proses perubahan dan pengembangannya di Indonesia terasa sangat lambat, antara lain karena metode lama sudah mendarah daging sehingga sangat sulit untuk meninggalkannya. Sesungguhnya telah disadari bahwa tiada satupun alasan ilmiah yang hendak mempertahankan metode tegangan kerja untuk perencanaan dan analisis struktur beton bertulang, akan tetapi hambatan utama datang dari aspek pendidikan dan penyuluhan yang mencakup matra cukup luas. Anggapan-anggapan yang dipakai sebagai dasar untuk metode kekuatan (ultimit) pada dasarnya mirip dengan yang digunakan untuk metode tegangan kerja. Perbedaannya terletak pada kenyataan yang didapat dari berbagai hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tegangan beton kira-kira sebanding dengan regangannya hanya sampai pada tingkat pembebanan tertentu. Pada tingkat pembebanan ini, apabila beban ditambah terus, keadaan sebanding akan lenyap dan diagram tegangan tekan pada penampang balok beton akan berbentuk setara dengan kurva tegangan-regangan beton tekan, seperti terlihat pada gambar.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.1 Tegangan Tekan Benda Uji Beton (Dikutip dari Buku Istimawan Dipohusodo, Struktur Beton Bertulang)
Gambar 2.2 Berbagai Kuat Tekan Beton (Dikutip dari buku Istimawan Dipohusodo, Struktur Beton Bertulang)
Pada metode tegangan kerja, beban yang diperhitungkan adalah service loads (beban kerja), sedangkan penampang komponen struktur direncana atau dianalisa berdasarkan pada nilai tegangan tekan lentur ijin yang umumnya ditentukan bernilai
Universitas Sumatera Utara
0,45 fc’, dimana pola distribusi tegangan tekan linier atau sebanding lurus dengan jarak terhadap garis netral. Sedangkan pada metode kekuatan (ultimit), service loads diperbesar, dikalikan suatu faktor beban dengan maksud untuk memperhitungkan terjadinya beban pada saat keruntuhan telah diambang pintu. Kemudian dengan menggunakan beban kerja yang sudah diperbesar (beban terfaktor) tersebut, struktur direncana sedemikian sehingga didapat nilai kuat guna pada saat runtuh yang besarnya kira-kira lebih kecil sedikit dari kuat batas runtuh sesungguhnya. Kekuatan pada saat runtuh tersebut dinamakan kuat ultimit dan beban yang bekerja pada atau dekat dengan saat runtuh dunamakan beban ultimit. Pendekatan dan pengembangan metode perencanaan kekuatan didasarkan atas anggapan-anggapan sebagai berikut : 1. Bidang penampang rata sebelum terjadi lenturan, tetap rata setelah terjadi lenturan dan tetap berkedudukan tegak lurus pada sumbu bujur balok (prinsip Bernoulli). Oleh karena itu, nilai regangan dalam penampang komponen struktur terdistribusi linear atau berbanding lurus terhadap jarak ke garis netral (prinsip Navier). 2. Tegangan sebanding dengan regangan hanya sampai pada kira-kira beban sedang, dimana tegangan beton tekan tidak melampaui ± ½ fc’. Apabila beban meningkat sampai beban ultimit, tegangan yang timbul tidak sebanding lagi dengan regangannya berarti distribusi tegangan tekan tidak lagi linear. Bentuk blok tegangan beton tekan pada penampangnya berupa garis lengkung dimulai dari garis netral dan berakhir pada serat tapi tekan terluar. Tegangan tekan maksimum sebagai kuat tekan lentur beton pada umumnya tidak terjadi pada serat tepi terluar, tetapi agak masuk kedalam. 3. Dalam memperhitungkan kapasitas momen ultimit komponen struktur, kuat tarik beton diabaikan (tidak diperhitungkan) dan seluruh gaya tarik dilimpahkan kepada tulangan baja tarik.
Universitas Sumatera Utara
II.2.2. Kuat Lentur Penampang Balok Persegi Distribusi tegangan beton tekan pada penampang bentuknya setara dengan kurva tegangan-regangan beton tekan. Seperti tampak pada gambar dibawah ini :
Gambar 2.3 Balok Menahan Momen Ultimit (Dikutip dari buku Istimawan Dipohusodo, Struktur Beton Bertulang)
Bentuk distribusi tegangan tersebut berupa garis lengkung dengan nilai nol pada garis netral, dan untuk mutu beton yang berbeda akan lain pula bentuk kurva dan lengkungannya. Tampak bahwa tegangan tekan fc’, yang merupakan tegangan maksimum, posisinya bukan pada serat tepi tekan terluar tetapi agak masuk kedalam. Pada suatu komposisi tertentu balok menahan beban sedemikian hingga regangan tekan lentur beton maksimum (ε’b
maks)
mencapai 0,003 sedangkan tegangan tarik baja
tulangan mencapai tegangan luluh fy. Apabila hal demikian terjadi, penampang dinamakan mencapai keseimbangan regangan, atau disebut penampang bertulangan seimbang. Dengan
Universitas Sumatera Utara
demikian berarti bahwa untuk suatu komposisi beton dengan jumlah baja tertentu akan memberikan keadaan hancur tertentu pula. Berdasarkan pada anggapan-anggapan seperti yang telah dikemukakan di atas, dapat dilakukan pengujian regangan, tegangan, dan gaya-gaya yang timbul pada penampang balok yang bekerja menahan momen batas, yaitu momen akibat beban luar yang timbul tepat pada saat terjadi hancur. Momen ini mencerminkan kekuatan dan di masa lalu disebut sebagai kuat lentur ultimit balok. Dan kuat lentur suatu balok beton tersedia karena berlangsungnya mekanisme tegangan-tegangan dalam yang timbul di dalam balok yang pada keadaan tertentu dapat diwakili oleh gaya-gaya dalam.
II.2.3. Kondisi Penulangan Seimbang Meskipun rumus lenturan tidak berlaku lagi dalam metode perencanaan kekuatan akan tetapi prinsip-prinsip dasar teori lentur masih digunakan pada analisis penampang. Untuk letak garis netral tertentu, perbandingan antara regangan baja denagn regangan beton maksimum dapat ditetapkan berdasarkan distribusi regangan linear. Sedangkan letak garis netral tergantung pada jumlah tulangan baja tarik yang dipasang dalam suatu penampang sedemikian sehingga blok tegangan tekan beton mempunyai kedalaman cukup agar dapat tercapai keseimbangan gaya-gaya, dimana resultan tegangan tekan seimbang dengan resultante tegangan tarik (ΣH = 0). Apabila pada penampang tersebut luas tulangan baja tariknya ditambah, keadaan blok tegangan beton akan bertambah pula, dan oleh karenanya letak garis netral akan bergeser ke bawah lagi. Apabila jumlah tulangan baja tarik sedemikian sehingga letak garis netral pada posisi dimana akan terjadi secara bersamaan regangan luluh pada baja tarik dan regangan beton tekan maksimum 0,003 maka npenampang disebut bertulanagn seimbang. Kondisi keseimbangan regangan menempati posisi penting karena merupakan
Universitas Sumatera Utara
pembatas antara dua keadaan penampang balok beton bertulang yang berbeda cara hancurnya.
Gambar 2.4 Variasi Letak Garis Netral (Dikutip dari buku Istimawan Dipohusodo, Struktur Beton Bertulang)
Apabila penampang balok beton bertulang mengandung jumlah tulangan baja tarik lebih banyak dari yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan regangan, penampang balok demikian disebut bertulangan lebih
(overreinvorced ). Berlebihnya tulangan baja
tarik mengakibatkan garis netral bergeser ke bawah. Hal yang demikian pada gilirannya akan berakibat beton mendahului mencapai regangan maksimum 0,003 sebelum tulangan baja tariknya luluh. Apabila penampang balok tersebut dibebani momen lebih besar lagi, yang berarti regangannya semakin besar sehingga kemampuan regangan beton terlampaui, maka akan berlangsung keruntuhan dengan beton hancur secara mendadak tanpa diawali dengan gejala-gejala peringatan terlebih dahulu. Sedangkan apabila suatu penampang balok beton bertulang mengandung jumlah tulangan baja tarik kurang dari yang diperlukan untuk mencapai keseimbangan regangan,
Universitas Sumatera Utara
penampang demikian disebut bertulangan kurang (underreinforced). Letak garis netral akan lebih naik sedikit daripada keadaan seimbang, dan tulangan baja tarik akan mendahului mencapai regangan luluhnya (tegangan luluhnya) sebelum mencapai regangan maksimum 0,003. Pada tingkat keadaan ini, bertambahnya beban akan mangakibatkan tulangan baja mulur (memanjang) cukup banyak sesuai dengan prilaku bahan baja, dan berarti bahwa baik regangan beton maupun baja terus bertambah tetapi gaya tarik yang bekerja pada tulangan baja tidak bertambah besar. Dengan demikian berdasarkan keseimbangan gaya-gaya horizontal ΣH = 0, gaya tekan beton tidak mungkin bertambah sedangkan tegangan tekannya terus meningkat berusaha mengimbangi beban, sehingga mengakibatkan luas daerah tekan beton pada penampang menyusut (berkurang) yang berarti posisi garis netral akan berubah bergerak naik. Proses tersebut diatas terus berlanjut sampai suatu saat daerah beton tekan yang terus berkurang tidak mampu lagi menahan gaya tekan dan hancur sebagai efek sekunder. Cara hancur demikian,
yang sangat
dipengaruhi oleh peristiwa meluluhnya tulangan baja tarik berlangsung meningkat secara bertahap. Segera setelah baja mencapai titik luluh, lendutan balok meningkat tajam sehingga dapat merupakan tanda awal dari kehancuran. Meskipun tulangan baja berprilaku daktail (liat), tidak akan tertarik lepas dari beton sekalipun pada waktu terjadi kehancuran.
II.2.4. Persyaratan Kekuatan Penerapan faktor keamanan dalam struktur bangunan di satu pihak bertujuan untuk mengendalikan kemungkinan terjadinya runtuh yang membahayakan bagi penghuni, di lain pihak harus juga memperhitungkan faktor ekonomi bangunan. Sehingga untuk mendapatkan faktor keamanan yang sesuai, perlu ditetapkan kebutuhan relatif yang ingin dicapai untuk dipakai sebagai dasar konsep faktor keamanan tersebut. Struktur bangunan dan komponen-komponennya harus direncanakan untuk mampu memikul beban lebih di
Universitas Sumatera Utara
atas beban yang diharapkan bekerja. Kapasitas lebih tersebut disediakan untuk memperhitungkan dua keadaan, yaitu kemungkinan terdapatnya beban kerja yang lebih besar dari yang ditetapkan dan kemungkinan terjadinya penyimpangan kekuatan komponen struktur akibat bahan dasar ataupun pengerjaan yang tidak memenuhi syarat. Kriteria dasar kuat rencana dapat diungkapkan sebagai berikut: Kekuatan yang tersedia ≥ Kekuatan yang dibutuhkan
II.2.5. Analisis Balok Terlentur Bertulangan Tarik Saja Analisis penampang balok terlentur dilakukan dengan terlebih dahulu mengetahui dimensi unsur-unsur penampang balok yang terdiri dari: jumlah dan ukuran tulangan baja tarik (As), lebar balok (b), tinggi efektif (d), tinggi total (h), fc’ dan fy, sedangkan yang dicari adalah kekuatan balok ataupun manifestasi kekuatan dalam bentuk yang lain, misalnya menghitung Mn, atau memeriksa kehandalan dimensi penampang balok tertentu terhadap beban yang bekerja, atau menghitung jumlah beban yang dapat dipikul balok. Di lain pihak, proses perencanaan balok terlentur adalah menentukan satu atau lebih unsur dimensi penampang balok yang belum diketahu, atau menghitung jumlah kebutuhan tulangan tarik dalam penampang berdasarkan mutu bahan dan jenis pembebanan yang sudah ditentukan. Analisis dapat pula diterapkan untuk suatu komponen struktur yang pada masa lalu direncanakan berdasarkan pada metode tegangan kerja (cara-n). Seperti diketahui, pada metode perencanaan tegangan (beban) kerja mungkin tidak menggunakan pembatasan rasio penulangan sehingga penulangan balok cenderung berlebihan. Meskipun hal demikian tidak
sesuai dengan
filosofi peraturan
yang
diberlakukan sekarang,
bagaimanapun balok-balok tersebut nyatanya sampai saat ini digunakan dan bekerja, sehingga analisis kapasitas momennya secara rasional dilakukan dengan hanya
Universitas Sumatera Utara
memperhitungkan tulangan baja tarik 0,75 ρb. Atau dengan kata lain, pendekatan dilakukan dengan mengabaikan kekuatan baja diluar jumlah 75% dari jumlah tulangan tarik yang diperlukan untuk mencapai keadaan seimbang.
II.2.6. Analisis Balok Terlentur Bertulangan Rangkap Di lapangan, kita lihat bahwa suatu balok yang bertulangan tunggal jarang dijumpai. Hal ini disebabkan karena pada perencanaan suatu bangunan, gaya gempa yang arahnya bolak-balik juga diperhitungkan. Sehingga bidang momen pada suatu bentang kadang bisa bernilai positif maupun negatif. Sehingga diperlukan baik tulangan atas maupun tulangan bawah dan dikenal sebagai balok bertulangan rangkap. Penulangan rangkap juga dapat memperbesar momen tahanan pada balok. Apabila suatu penampang dikehendaki untuk menopang beban yang lebih besar dari kapasitasnya, sesangkan di lain pihak seringkali pertimbangan teknis pelaksanaan dan arsitektural membatasi dimensi balok, maka diperlukan usaha-usaha lain untuk memperbesar kuat momen penampang balok yang sudah tertentu dimensinya tersebut. Hal ini dapat dilakukan dengan penambahan tulangan tarik hingga melebihi batas nilai ρ maksimum bersamaan dengan penambahan bahan baja didaerah tekan penampang balok. Hasilnya adalah balok dengan penulangan rangkap dimana tulangan baja tarik di daerah tarik dan tulangan tekan di daerah tekan. Pada keadaan demikian berarti tulangan baja tekan bermanfaat untuk memperbesar kekuatan balok. Akan tetapi, dari berbagai penggunaan tulangan tekan dengan tujuan untuk peningkatan kuat lentur suatu penampang terbukti merupakan cara yang kurang efisien terutama dari segi ekonomi baja tulangan dan pelaksanaannya dibandingkan dengan manfaat yang dapat tercapai. Dengan usaha mempertahankan dimensi balok tetap kecil pada umumnya akan mengundang masalah lendutan dan perlunya menambah jumlah
Universitas Sumatera Utara
tulangan geser pada daerah dekat tumpuan, sehingga akan memperumit pelaksanaan pemasangannya. Penambahan penulangan tekan dengan tujuan utama untuk memperbesar kuat lentur penampang umumnya jarang dilakukan, kecuali apabila sangat terpaksa. Dalam analisis balok bertulangan rangkap, akan dijumpai dua jenis kondisi yang umum. Yang pertama yaitu bahwa tulangan tekan telah luluh bersamaan dengan luluhnya tulangan tarik saat beton mencapai regangan maksimum 0,003. Sedangkan kondisi yang kedua yaitu dimana tulangan tekan masih belum luluh saat tulangan tarik telah luluh bersama dengan tercapainya regangan 0,003 oleh beton. Jika regangan tekan baja tekan (ε’s) sama atau lebih besar dari regangan luluhnya (εy), maka sebagai batas maksimum tegangan tekan baja tekan diambil sama dengan tegangan luluhnya (fy). Sedangkan apabila regangan tekan baja yang terjadi kurang dari regangan luluhnya, maka tegangan tekan baja adalah f’s = ε’s . Es. Dimana Es adalah modulus elastisitas baja. Tercapainya masing-masing keadaan (kondisi) tersebut tergantung dari posisi garis netral penampang.
Universitas Sumatera Utara
II.3. Perencanaan Balok II.3.1. Metode Elastis Design (Metode Tegangan Kerja)/ PBI 1971 II.3.1.a Umum Metode perencanaan elastis didasarkan pada anggapan bahwa sifat dan prilaku beton bertulang dianggap sama dengan bahan homogen (serba sama) seperti kayu, baja dan sebagainya. Sesuai dengan teori elastisitas, tegangan dan regangan pada penampang balok terlentur untuk bahan yang homogen terdistribusi secara linier membentuk garis lurus dari nol di garis netral ke nilai maksimum di serat tepi terluar. Dengan demikian nilai-nilai tegangan pada penampang balok terlentur berbanding
lurus dengan regangannya.
Metode elastik
(tegangan kerja)
menggunakan nilai-nilai : 1. Beban guna atau beban kerja (tanpa faktor) 2. Tegangan ijin 3. Hubungan linier antara regangan dan tegangan Perencanaan berdasarkan beban kerja akan menghasilkan beton bertulang dengan kondisi yang diharapkan : 1. Lendutan yang terjadi masih dalam batas yang diijinkan 2. Retakan yang timbul masih dapat dikendalikan (tidak terjadi retak yang dapat menimbulakan masuknya air yang pada akhirnya akan menyebabkan korosi). Anggapan-anggapan dasar yang digunakan metode tegangan kerja untuk komponen struktur terlentur adalah : 1. Bidang penampang rata sebelum terjadi lenturan akan tetap rata setelah mengalami lenturan, berarti distribusi regangan sebanding atau linear 2. Bagi bahan baja maupun beton sepenuhnya Hukum Hooke dimana nilai tegangan linier dengan nilai regangan
Universitas Sumatera Utara
3. Gaya tarik sepenuhnya dipikul oleh tulangan tarik baja 4. Batang tulangan baja terlekat sempurna dengan beton, sehingga tidak terjadi penggelinciran. Bertitik tolak dari dasar-dasar anggapan tersebut, meskipun bahan beton bukanlah bahan yang homogen, rumus lenturan elastik tetap dapat dipergunakan dengan cara transformasi penampang.
Gambar 2.5 Hubungan antara tegangan dan regangan untuk bahan elastis linear (Dikutip dari buku Gideon Kusuma, DasarDasar Perencanaan Beton Bertulang)
Anggapan ini memberikan hasil yang cukup baik, dengan pengecualian untuk poin yang kedua. Tegangan berbanding lurus dengan regangan selama tegangan tekan beton tidak melampaui setengah dari kekuatan beton pada hari ke-28. Untuk poin yang ketiga, beton sebenarnya memiliki sedikit kemampuan untuk menahan tegangan tarik tetapi persentasenya terhadap kemampuan beton dalam menahan tegangan tekan sangatlah kecil. Hanya berkisar dari 9-15%. Hal ini mengakibatkan, komponen struktur akan mengalami keruntuhan tarik sebelum seluruh kuat tekan pada beton dapat tercapai sepenuhnya. Oleh karena itu,
Universitas Sumatera Utara
diasumsikan pada saat komponen struktur berada di bawah beban kerja, beton telah retak pada serat tariknya. Jika suatu balok beton bertulang yang dibebani dengan beban yang semakin meningkat, balok akan mengalami tiga tahapan sebelum terjadi keruntuhan. Ketiga tahapan ini yaitu tahap sebelum beton mengalami retak, tahap beton mengalami retak elastis dan tahap kekuatan batas. Pada pembebanan yang memberikan tegangan lentur tarik yang masih belum melampaui tegangan tarik yang diizinkan sebelum beton mengalami retak akibat tarik, seluruh tampang balok bekerja menahan momen, dengan tekan pada satu sisi dan tarik pada sisi lainnya. Hal ini dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Gambar 2.6. Beton Mengalami Crack (Dikutip dari buku Jack C McCormac, Desain Beton Bertulang)
Universitas Sumatera Utara
Luas tulangan pada beton sangat kecil bila dibandingkan dengan luas beton itu sendiri sehingga efek yang ditimbulkan terhadap tampang beton juga akan sangat kecil dan dapat diabaikan. Oleh karena itu, perhitungan tegangan lentur pada balok yang demikian dapat didasarkan pada luas penampang balok. Dari sini, momen retak yaitu momen pada saat modulus retak beton telah tercapai, dapat dihitung dengan persamaan:
M cr =
fr IG yt
Dimana : Mcr = Momen retak fr
= Modulus retak yang besarnya menurut ACI ditentukan 6,2
sebesar
f 'c
Ig
= Momen inersia tampang
yt
= Jarak garis netral ke serat tarik terluar tampang
Ketika momen lentur semakin besar sehingga mengakibatkan tegangan tekan pada serat terluar balok melampaui modulus retaknya, seluruh beton yang berada dalam daerah tekan diasumsikan telah retak dan harus diabaikan dalam perhitungan lentur. Pada umumnya, momen retak sangatlah kecil bila dibandingkan dengan momen yang bekerja pada beban kerja. Oleh karena itu, saat beban kerja, dasar balok akan retak. Retak pada balok ini tidak berarti bahwa balok akan hancur tetapi tulangan baja pada daerah tarik akan mulai memikul gaya tarik yang terjadi karena momen yang bekerja. Pada daerah tekan beton, beton dan tulangan baja diasumsikan terikat secara sempurna sehingga regangan yang terjadi pada beton dan baja akan sama jarak yang sama denagn garis netral. Tetapi jika regangan dalam kedua material pada
Universitas Sumatera Utara
satu titik adalah sama, tegangan belum tentu sama karena memiliki modulus elastisitas yang berbeda. Nilai perbandingan modulus elastisitas dari baja dan beton dikenal sebagai “modulus perbandingan n” yang dinyatakan sebagai: n= Dimana : Es
Es Ec
= Modulus elastisitas baja
Ec = Modulus elastisitas beton Seperti tampak pada gambar dibawah ini, tulangan baja digantikan dengan suatu luas beton ekivalen (n. As), yang mampu menarik tarik. Pada gambar juga tampak diagram yang menunjukkan variasi tegangan dalam balok. Pada daerah tarik digunakan garis putus-putus karena diagram ini tidak kontinu. Beton yang diasumsikan retak tidak dapat lagi menahan tarik. Dan pada titik dimana terpasang tulangan baja bekerja tegangan sebesar fs/n.
Gambar 2.7. Diagram Variasi Tegangan (Dikutip dari buku Jack C McCormac, Desain Beton Bertulang)
Dengan menggunakan asumsi ini, momen tegangan lentur dari suatu tampang dapat ditentukan. Langkah pertama yaitu menentukan letak garis netral yang diasumsikan berada pada jarak x dari serat terluar daerah tekan balok. Setelah letak
Universitas Sumatera Utara
garis netral diperoleh, momen inersia dari tampang pengganti dapat dihitung dan tegangan pada beton dan baja dapat diperoleh dengan persamaan lentur yaitu: fc =
M .y I
dan
f y = n.
M .y I
Cara menentukan tegangan ini dikenal sebagai Lentur Cara-n
II.3.1.b Analisis Balok Persegi Dengan Lentur Cara-n Suatu balok yang telah direncanakan terlebih dahulu dapat diperiksa apakah dimensi dan jumlah tulangan yang terpasang telah sanggup menahan momen yang ditimbulkan oleh beban yang bekerja. Jika tegangan yang terjadi tidak melampaui tegangan yang diizinkan dalam peraturan, maka balok dinyatakan aman. Pada bagian ini, beberapa persamaan untuk analisis suatu balok persegi dengan tulangan tarik saja akan diberikan. Pada gambar dibawah ini huruf d yang digunakan untuk mewakili nilai tegangan efektif balok, yaitu jarak dari serat tekan terluar ke titik pusat berat tulangan baja. Tampak juga nilai x yang digantikan dengan kd.
Gambar 2.8. Balok Persegi (Dikutip dari buku Jack C McCormac, Desain Beton Bertulang)
Universitas Sumatera Utara
kd bkd = n. As (d − kd ) 2 Dengan menggunakan ρ = persentase luas baja = As/bd ; maka As = ρbd
b.k 2 .d 2 2
=
nρbd2 (1– k)
k2
=
2ρn – 2ρnk
k2 + 2ρnk
=
2ρn
=
2ρn + (ρn)2
(k + ρn)(k + ρn) k + ρn k
=
2 ρn + (ρn )
=
2 ρn + (ρn ) − ρn
2
2
(Dikutip dari buku Jack C McCormack, Desain Beton Bertulang)
Gaya dalam (C = jumlah tekanan dan T = jumlah tarikan) ditunjukkan pada gambar di bawah ini. C terletak pada pusat berat segitiga tekan yaitu pada jarak kd/3 dari serat tekan terluar balok, dan T terletak pada pusat berat tulangan baja. Jarak antara C dan T dinyatakan sebagai jd dimana :
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.9. Analisis Balok Persegi (Dikutip dari buku Jack C McCormack, Desain Beton Bertulang) jd
=
d–
kd 3
j
=
1–
k 3
Momen kopel Cjd dan Tjd harus sama dengan momen luar M, dan nilai fs dan fc kemudian dapat diperoleh: Untuk baja : Tjd As fs jd
=
M
=
M
M As . jd
fs
=
Cjd
=
M
fc bkdjd 2
=
M
fc
=
2M bd 2 kj
Untuk beton :
(Dikutip dari buku Jack C. McCormac, Desain Beton Bertulang)
II.3.1.c Perencanaan Balok Persegi Pada metode tegangan kerja, suatu aktor keamanan diberikan dengan mengizinkan perhitungan tegangan samaai mencapai suatu persentase dari kekuatan batas beton maupun dari tegangan oleh baja. Persentase ini cukup kecil sehingga
Universitas Sumatera Utara
hubungan antara tegangan dan regangan antara beton maupun baja dapat diperkirakan secara linear. Peraturan menetapakan teganagan tekan beton izin yang digunakan dalam perencanaan adalah sebesar 0.45 f’c. Dalam bagian ini akan diturunkan beberapa persamaan yang diperlukan untuk merencanakan satu balok persegi bertulangan tarik saja yang dianalisis dengan menggunakan metode lentur cara-n yang berdasarkan pada metode tegangan kerja.
Dengan mengacu pada gambar di bawah ini, luas tulangan baja sekali lagi diubah menjadi suatu luasan pengganti n As.
Gambar 2.10. Analisis Balok Persegi (Dikutip dari buku Jack C McCormack, Desain Beton Bertulang)
Dalam metode tegangan kerja, desain yang paling ekonomis yang mungkin yaitu desain pada keadaan seimbang. Suatu balok yang didesain dengan metode ini pada beban kerja sepenuhnya akan menghasilkan keadaan dimana serat tekan akan
Universitas Sumatera Utara
berada pada nilai tegangan izin maksimum fc dan tulangan baja berada pada izin maksimum fs. Persamaan untuk desain ini diturunkan dengan berdasarkan pada kopel-kopel gaya dalam yang terdiri dari dua gaya yaitu C dan T. sekali lagi, tegangan C sama dengan luas bkd dikalikan dengan suatu nilai tegangan tekan rata-rata sebesar fc/2 dan T sama dengan As fs. Jumlah gaya horizontal pada balok dalam persamaan harus bernilai nol (0), sehingga C = T. momen tahanan dalam dapat dituliskan sebagai Cjd atau Tjd, danini disamakan dengan momen kerja M dan kemudian persamaan yang ada diselesaikan untuk mendimensi balok dan luas tulangan yang diperlukan. Mengacu pada diagram tegangan pada gambar di atas, maka suatu nilai perbandingan dapat dibuat dan dari perbandingan tersebut, nilai k untuk desain dapat diperoleh sebagai berikut: kd = d k =
fc c fc + (fs/n)
fc c fc + (fs/n)
nilai j dapat ditentukan dari: jd = d – kd 3 j=1–k 3 Dengan menggunakan kopel gaya dalam: Untuk beton : M
=
Cjdr
M
=
bkdf c jd 2
Universitas Sumatera Utara
2M f c kj
bd2
=
M
=
Tjd
M
=
As fs jd
As
=
M f s jd
Untuk baja :
(Dikutip dari buku Jack C. McCormac, Desain Beton Bertulang)
Universitas Sumatera Utara
II.3.2. Metode Kekuatan Batas/ SK SNI-03-2847-2002 II.3.2.a Umum Pengujian terhadap balok beton bertulang memberikan suatu hasil bahwa regangan bervariasi menurut jarak garis pusatnya ke serat tarik bahkan pada saat beban mendekati beban batas. Tegangan tekan bervariasi hampir menurut suatu garis lurus hingga tegangan dan regangan kira-kira akan mencapai seperti yang terlihat pada gambar berikut:
Gambar 2.11. Analisis Balok Persegi (Dikutip dari buku Jack C. McCormac, Desain Beton Bertulang)
Tegangan tekan bervariasi mulai dari nol pada garis netral hingga mencapai nilai maksimum pada suatu titik yang dekat dengan serat terluar sisi tekan. Walaupun distribusi tegangan yang sebenarnya merupakan suatu hal yang penting, beberapa bentuk asumsi dapat digunakan secara praktis jika hasil perbandingan hasil analisa sesuai dengan hasil pengujian. Bentuk yang umum digunakan adalah bentuk persegi, parabola, dan trapesium.
Universitas Sumatera Utara
Gambar2.12. Kemungkinan Bentuk Distribusi Tekan (Dikutip dari buku Jack C. McCormac, Desain Beton Bertulang)
Whitney menggantikan blok kurva tegangan dengan suatu balok persegi ekivalen dengan intensitas 0.85f’c dan kedalaman a = β1c, seperti tampak pada gambar diatas, luas balok persegi harus sama dengan luas balok kurva tegangan yang sebenarnya dan pusat berat dari kedua balok ini juga harus berhimpit. Dalam peraturan SK SNI 03-2847-2002, untuk nilai f’c yang lebih kecil atau sama dengan 30 Mpa nilai β1 ditentukan sebesar 0.85, dan nilai ini berkurang 0.05 untuk tiap kenaikan f’c sebesar 7 Mpa. Tetapi nilai ini tidak diambil kurang dari 0.65. Beberapa alasan digunakannya metode kuat batas (ultimate strength design) sebagai trend perencanaan struktur beton adalah: 1.
Struktur beton bersifat in-elastis saat beban maksimum, sehingga teori elastis tidak dapat secara akurat menghitung kekuatan batasnya. Untuk struktur yang direncanakan dengan metode beban kerja (working stress method) maka faktor beban (beban batas/beban kerja) tidak diketahui dan dapat bervariasi dari struktur satu dengan struktur yang lainnya.
Universitas Sumatera Utara
2.
Faktor keamanan dalam bentuk faktor beban lebih rasional, yaitu faktor beban rendah untuk struktur dengan pembebanan yang pasyi, sedangkan faktor beban tinggi untuk untuk pembebanan yang fluktuatif (berubah-ubah).
3.
Kurva tegangan-regangan beton adalah non-linier dan tergantung dari kurva, misal regangan rangkak (creep) akibat tegangan yang konstan dapat beberapa kali lipat dari regangan elastis awal. Oleh karena itu, nilai rasio modulus (Es/Ec) yang digunakan dapat menyimpang dari kondisi sebenarnya. Regangan rangkak dapat memberikan redistribusi tegangan yang lumayan besar pada penampang struktur beton, artinya tegangan sebenarnya yang terjadi pada struktur tersebut bisa berbeda dengan tegangan yang diambil dalam perencanaan. Contoh, tulangan baja desak pada kolom beton dapat mencapai leleh selama pembebanan tetap, meskipun kondisi tersebut tidak terlihat pada saat direncanakan dengan metode beban kerja yang memakai nilai modulus ratio sebelum creep. Metode perencanaan kuat batas tidak memerlukan ratio modulus.
4.
Metode perencanaan kuat batas memanfaatkan kekuatan yang dihasilkan dari distribusi tegangan yang lebih efisien yang dimungkinkan oleh adanya regangan in-elastis. Sebagai contoh, penggunaan tulangan desak pada penampang dengan tulangan ganda dapat menghasilkan momen kapasitas yang lebih besar karena pada tulangan desaknya dapat didayagunakan sampai mencapai tegangan leleh pada beban batasnya, sedangkan dengan teori elastis tambahan tulangan desak tidak terlalu terpengaruh karena hanya dicapai tegangan yang rendah pada baja.
Universitas Sumatera Utara
5.
Metode perencanaan kuat batas menghasilkan penampang struktur beton yang lebih efisien jika digunakan tulangan baja mutu tinggi dan tinggi balok yang rendah dapat digunakan tanpa perlu tulangan desak.
6.
Metode perencanaan kuat batas dapat digunakan untuk mengakses daktilitas struktur di luar batas elastisnya. Hal tersebut penting untuk memasukkan pengaruh redistribusi momen dalam perencanaan terhadap beban gravitasi, perencanaan tahan gempa dan perencanaan terhadap beban ledak (blasting).
Gambar 2.13 Hubungan Non-Linear antara tegangan dan regangan (Dikutip dari buku Gideon Kusuma, DasarDasar Perencanaan Beton Bertulang)
II.3.2.b Keruntuhan Lentur Akibat Kondisi Batas (Ultimate) Menurut catatan sejarah, sebenarnya perencanaan kuat batas adalah yang pertama digunakan dalam perencanaan struktur beton. Itu dapat dimengerti karena beban atau momen batas (ultimate) dapat dicari langsung berdasarkan percobaan uji beban tanpa perlu mengetahui besaran atau distribusi tegangan internal pada penampang struktur yang di uji. Untuk menjelaskan defenisi atau pengertian mengenai apa yang dimaksud dengan kekuatan batas atau kuat ultimate, maka akan
Universitas Sumatera Utara
ditinjau struktur balok beton bertulang yang diberi beban terpusat secara bertahap sampai runtuh (tidak kuat menerima tambahan beban lagi). Keruntuhan yang akan ditinjau adalah lentur. Agar dapat diperoleh suatu keruntuhan lentur murni maka digunakan konfigurasi dua buah beban terpusat yang diletakkan simetri sehingga di tengah bentang struktur tersebut hanya timbul momen lentur saja (tidak ada gaya geser).
Gambar 2.14 Balok yang dibebani sampai runtuh (Dikutip dari buku Wiryanto Dewobroto, Aplikasi Rekayasa Konstruksi)
Penampang ditengah diberi sensor-sensor regangan untuk mengetahui tegangan yang terjadi. Beban diberikan secara bertahap dan dilakukan pencatatan lendutan di tengah bentang sehingga dapat diperoleh kurva hubungan momen dan kelengkungan untuk setiap tahapan beban sampai beton maksimum sebelum balok tersebut runtuh.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.15 Kurva Momen – Kelengkungan Balok (Dikutip dari buku Wiryanto Dewobroto, Aplikasi Rekayasa Konstruksi)
Dari Momen-Kelengkungan balok terlihat bahwa sebelum runtuh, tulangan baja leleh terlebih dahulu (Titik D). Jika beban terus ditingkatkan, meskipun besarnya peningkatan relatif kecil akan tetapi lendutan yang terjadi cukup besar dibandingkan lendutan sebelum leleh. Akhirnya pada suatu titik tertentu beton desak mengalami rusak (pecah atau spalling) sedemikian sehingga jika beban ditambah sedikit saja maka balok tidak dapat lagi menahan beban dan akhirnya runtuh. Beban batas/maskimum yang masih dapat dipikul oleh balok dengan tetap berada pada kondisi keseimbangan disebut beban batas (ultimate) ang ditunjukkan oleh titik E. Keruntuhan yang didahului oleh lendutan atau deformasi yang besar seperti yang diperlihatkan pada balok diatas disebut keruntuhan yang bersifat daktail. Sifat seperti itu dapat dijadikan peringatan dini mengenai kemungkinan akan adanya keruntuhan sehingga pengguna struktur bangunan mempunyai waktu untuk menghindari struktur tersebut sebelum benar-benar runtuh, dengan demikian jatuhnya korban jiwa dapat dihindari.
Universitas Sumatera Utara
Keruntuhan lentur tersebut dapat terjadi dalam tiga cara yang berbeda: 1.
Keruntuhan Tarik, terjadi bila jumlah tulangan baja relatif sedikit sehingga tulangan tersebut akan leleh terlebih dahulu sebelum betonnya pecah, yaitu apabila regangan baja (εs) lebih besar dari regangan beton (εy). penampang seperti itu disebut penampang under-reinforced, perilakunya sama seperti yang diperlihatkan pada balok uji yaitu daktail (terjadinya deformasi yang besar sebelum runtuh). Semua balok yang direncanakan sesuai peraturan diharapkan berperilaku seperti itu.
2.
Keruntuhan Tekan, terjadi bila jumlah tulangan relatif banyak maka keruntuhan dimulai dari beton sedangkan tulangan bajanya masih elastis, yaitu apabila regangan baja (εs) lebih kecil dari regangan beton (εy). Penampang
seperti
itu
disebut
penampang
over-reinvorced,
sifat
keruntuhannya adalah getas (non-daktail). Suatu kondisi yang berbahaya karena penggunaan bangunan tidak melihat adanya deformasi yang besar yang dapat dijadikan pertanda bilamana struktur tersebut mau runtuh, sehingga tidak ada kesempatan untuk menghindarinya terlebih dahulu. 3.
Keruntuhan Balans, jika baja dan beton tepat mencapai kuat batasnya, yaitu apabila regangan baja (εs) sama besar denga regangan beton (εy). Jumlah penulangan yang menyebabkan keruntuhan balans dapat dijadikan acuan untuk menentukan apakah tulangan relatif sedikit atau tidak, sehingga sifat keruntuhan daktail atau sebaliknya.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.16 Perilaku Keruntuhan Balok (Dikutip dari buku Wiryanto Dewobroto, Aplikasi Rekayasa Konstruksi)
Gambar 2.17 Ciri-ciri Keruntuhan Penampang (Dikutip dari buku Wiryanto Dewobroto, Aplikasi Rekayasa Konstruksi)
Universitas Sumatera Utara
II.3.2.c Keruntuhan Akibat Geser Keruntuhan akibat geser pada balok, diketahui bahwa transfer beban ke tumpuan melalui mekanisme momen lentur dan gaya geser yang terjadi secara bersamaan. Pola keruntuhan (retak) yang terjadi akibat kedua mekanisme tersebut terlihat berbeda
(lihat gambar 3.5) dari komponen tegangan utama yang terjadi.
Gambar 2.18 Balok dengan Keruntuhan Geser (Dikutip dari buku Wiryanto Dewobroto, Aplikasi Rekayasa Konstruksi) Bagian yang menerima lentur dan geser, materialnya mengalami tegangan utama biaksial dengan orientasi diagonal, sehingga retaknya pun terbentuk diagonal pada daerah yang mengalami tegangan tarik. Perhatikan pada daerah lentur murni, retak yang terjadi cenderung berorientasi vertikal. Keruntuhan balok akibat geser (akibat tegangan biaksial) bersifat getas dan terjadinya tiba-tiba. Berbeda dengan keruntuhan lentur yang bersifat daktail, didahului dengan timbulnya lendutan besar yang dapat digunakan sebagai pertanda. Oleh karena itu, dalam perencanaan struktur, semua elemen harus didesain sedemikian agar kekuatan gesernya lebih besar dari yang diperlukan sehingga dapat dijamin bahwa keruntuhan lentur akan terjadi terlebih dahulu.
Universitas Sumatera Utara
II.3.2.d Analisis Balok Persegi Bertulangan Tarik Saja Dengan berdasarkan pada asumsi mengenai balok tekanan yang telah dibahas sebelumnya, persamaan statik dapat dituliskan dengan mudah dari penjumlahan gaya horizontal dan dari momen tahanan yang dihasilkan oleh kopel gaya dalam. Persamaan ini dapat diselesaikan secara terpisah untuk mendapatkan besar nilai a dan untuk nilai Mn. Mn didefinisikan sebagai momen tahanan nominal yang dapat ditahan oleh suatu penampang. Dimana nilai momen nominal yang telah dikalikan dengan suatu faktor reduksi untuk balok φ ini harus dapat menyeimbangi suatu nilai momen yang diakibatkan oleh gaya luar Mu. Mu = φM n (Dikutip dari buku Istimawan Dipohusodo, Struktur Beeton Bertulang)
Gambar 2.19. Diagram regangan dan kopel (Dikutip dari buku Jack C. McCormac, Desain Beton Bertulang)
Universitas Sumatera Utara
Dengan berdasarkan pada gambar 2.20, persamaan untuk balok dapat disusun dan dengan menyamakan nilai C dan T, persamaan untuk menentukan nilai a dapat diperoleh : 0.85 f’cab a
=
As f y 0.85 f ' c b
= =
As fy
ρf y d 0.85 f ' c
Karena tulangan baja dapat dibatasi pada nilai dimana baja akan leleh sebelum beton mencapai
kekuatan batasnya, nilai momen batas Mn dapat
dituliskan sebagai : Mn
a = T d − = As fy 2
a d − 2
Dan momen luar yang dapat ditahan oleh tampang adalah : Mu
a = φ Mn = φ As fy d − 2
Dengan mensubstitusikan nilai a ke dalam persamaan ini maka akan diperoleh suatu persamaan alternative untuk menentukan nilai Mu adalah sebagai berikut : Mu
ρfy = φ As fy d 1 − 0.59 f ' c
(Dikutip dari Istimawan Dipohusodo, Struktur Beton Bertulang)
Universitas Sumatera Utara
II.3.2.e Analisis Balok Persegi Bertulangan Rangkap Apabila suatu penampang dikehendaki untuk menopang beban yang lebih besar dari kapasitasnya, sedangkan di lain pihak seringkali sebagai pertimbangan teknis pelaksanaan dan arsitektural membatasi dimensi balok, maka diperlukan usaha-usaha lain untuk memperbesar kuat momen penampang balok yang sudah tertentu dimensinya. Sebagai salah satu alternatifnya yaitu dengan melakukan penambahan tulangan baja tarik lebih dari batas nilai ρmaks bersamaan dengan penambahan tulangan baja di daerah tekan penampang balok. Hal ini dapat meningkatkan kapasitas momen yang dapat ditahan oleh balok dengan tetap menjaga sifat daktilitasnya. Pada analisis balok persegi bertulangan rangkap, sering akan dijumpai dua kondisi kehancuran pada balok. Yang pertama adalah dimana tulangan tarik dan tekan sama-sama telah luluh (dalam tugas akhir ini disebut sebagai kondisi I) dan yang kedua adalah dimana tulangan tarik telah luluh, namun tulangan tekan belum luluh (dalam tugas akhir ini disebut sebagai Kondisi II). Disamping kedua kondisi di atas, masih ada dua kondisi lain yang jarang terjadi, slah satunya yaitu baik tulangan tarik maupun tekan sama-sama belum luluh. Hal ini hanya terjadi pada balok bertulangan rangkap dengan penulangan lebih. Dengan mengcu pada Gambar di bawah ini, akan diturunkan persamaanpersamaan dan langkah-langkah yang akan digunakan untuk menganalisis suatu balok bertulangan rangkap untuk kedua kondisi yang mugkin terjadi seperti yang telah dijelaskan sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.20. Analisi Balok Bertulangan Rangkap (Dikutip dari buku Jack C. McCormac, Desain Beton Bertulang)
Ingat bahwa As2 = As’ dan As1 = As – As2. Langkah-langkah analisis balok persegi bertulangan rangkap: •
Anggap bahwa tulangan tarik dan tulangan tekan telah luluh sehingga : fs = fs’ = fy
•
Dengan menggunakan persamaan pasangan kopel beton tekan dan tulangan baja tarik dan tekan, tinggi balok tekan a dihitung dengan : T = Cc + Cs As fy = (0.85f’c)ab + As’fy a=
•
( As − As') fy (0.85 f ' c )b
=
As1 fy (0.85 f ' c )b
Tentukan letak garis netral c=
a
β1
Universitas Sumatera Utara
•
Periksa regangan yang terjadi pada tulangan baja tekan dan baja tarik dengan menggunakan diagram regangan.
ε 's =
c − d' 0.003 c
εs =
d −c 0.003 c
Dengan menganggap ε s ≥ ε y , yang berarti tulangan baja tarik telah meluluh, akan timbul salah satu dari kedua kondisi berikut ini : a. Kondisi I : ε S ' ≥ ε Y , menunjukkan bahwa tulangan baja tekan meluluh b. Kondisi II : ε S ' ≤ ε Y , menunjukkan bahwa tulangan baja tekan belum meluluh
Universitas Sumatera Utara
II.4. Struktur Kolom II.4.1. Umum Kolom adalah komponen struktur bangunan yang fungsi utamanya adalah meneruskan beban dari sistem lantai ke fondasi. Sebagai bagian dari suatu kerangka bangunan dengan fungsi dan peran tersebut, kolom menempati posisi penting di dalam sistem struktur bangunan. Kegagalan kolom akan berakibat langsung pada runtuhnya komponen struktur lain yang berhubungan dengannya, atau bahkan merupakan batas runtuh total keseluruhan struktur bangunan. Pada umumnya kegagalan atau keruntuhan komponen tekan tidak diawali dengan tanda peringatan yang jelas, bersifat mendadak. Oleh
karena
itu,
dalam
merencanakan
struktur
kolom
harus
memperhitungkan secara cermat dengan memberikan cadangan kekuatan lebih tinggi daripada untuk komponen struktur lainnya. Selanjutnya, oleh karena penggunaan didalam praktek umumnya kolom tidak hanya bertugas menahan beban aksial vertikal, defenisi kolom diperluas dengan mencakup tugas menahan kombinasi beban aksial dan momen lentur. Atau dengan kata lain, kolom harus diperhitungkan untuk menyangga beban aksial tekan dengan eksentrisitas tertentu. Secara garis besar ada tiga jenis kolom bertulang, yaitu: 1. Kolom menggunakan pengikat sengkang lateral. Kolom ini merupakan kolom beton yang ditulangi dengan batang tulangan pokok memanjang, yang pada jarak spesi tertentu diikat dengan pengikat sengkang ke arah lateral. Sengkang tersebut berfungsi untuk mengurangi bahaya pecah (spliting) beton yang dapat mempengaruhi daktilitas kolom tersebut. 2. Kolom menggunakan pengikat spiral. Bentuknya sama dengan pengikat lateral, hanya saja sebagai pengikat tulangan pokok memanjang adalah tulangan spiral
Universitas Sumatera Utara
yang dililitkan keliling membentuk heliks menerus di sepanjang kolom. Lilitan melingkar atau spiral memberikan tekanan kekang (confine) di sekeliling penampang. 3. Struktur kolom komposit. Merupakan komponen struktur tekan yang diperkuat pada arah memanjang dengan gelagar baja profil atau pipa, dengan atau tanpa diberi tulangan pokok memanjang.
Gambar 2.21 Jenis-Jenis Kolom (Dikutip dari buku Istimawan Dipohusodo, Struktur Beton Bertulang)
Perbedaan kekuatan kolom spiral dengan sengkang baru terlihat pada kondisi pasca puncak. Untuk itu diperlihatkan prilaku kedua kolom tersebut berdasarkan kurva beban lendutan. Pada tahap awal sampai puncak, kedua kolom memperlihatkan prilaku yang sama. Setelah beban maksimum tercapai dan mulai mengalami kondisi plastis, maka terlihat bahwa kolom sengkang akan mengalami keruntuhan terlebih dahulu yang sifatnya mendadak (non daktail), sedangkan kolom spiral masih bertahan (daktail)
Universitas Sumatera Utara
Gamabr 2.22 Perilaku Keruntuhan Kolom Sengkang dan Spiral (Dikutip dari buku Wiryanto Dewobroto, Aplikasi Rekayasa Konstruksi)
Kolom spiral digunakan jika daktilitas sangat dipentingkan atau beban yang besar sehingga cukup efisien untuk memanfaatkan nilai φ (faktor reduksi) spiral yang lebih tinggi, yaitu 0,70 dibandingkan φ pakai sengkang yaitu 0,65.
II.4.2. Hubungan Beban Aksial dan Momen
Gambar 2.23 Hubungan Beban Aksial-Momen-Eksentrisitas (Dikutip dari buku Istimawan Dipohusodo, Struktur Beton Bertulang)
Universitas Sumatera Utara
Pada gambar diatas dpat dijelaskan bahwa kesepadanan statika antara beban aksial eksentrisitas dengan kombinasi beban aksial-momen. Apabila gaya dari beban Pu bekerja pada penampang kolom berjarak e terhadap sumbu seperti terlihat pada gambar (a), akibat yang ditimbulkan akan sama dengan apabila suatu pasangan yang terdiri dari gaya beban aksial Pu pada sumbu dan momen,
Mu
= Pu e, bekerja serentak bersama-sama seperti tampak pada gambar (c). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa apabila suatu pasangan momen rencana terfaktor Mu dan beban rencana terfaktor Pu bekerja bersama-sama pada suatu komponen struktur tekan, hubungannya dapat dituliskan sebagai berikut: e=
Mu Pu
Untuk suatu penampang tertentu, hubungan tersebut diatas bernilai konstan dan memberikan variasi kombinasi beban lentur dan beban aksial dalam banyak cara. Apabila dikehendaki eksentrisitas yang semakin besar, beban aksial Pu harus berkurang sedemikian rupa sehingga kolom tetap mampu menopang kedua beban, beban aksial Pu dan momen Pu e. Sudah tentu besar atau jumlah pengurangan Pu yang diperlukan sebanding dengan peningkatan besarnya eksentrisitas.
II.4.3. Penampang Kolom Bertulangan Seimbang Perencanaan kolom pada umumnya menggunakan penulangan simetris, yaitu penulangan pada kedua sisi yang berhadapan sama jumlahnya. Tujuan utamanya adalah mencegah terjadinya kesalahan atau kekeliruan penempatan tulangan yang dipasang. Penulangan simetris juga diperlukan apabila ada kemungkinan terjadinya gaya bolak-balik pada struktur misalnya karena arah gaya angin atau gempa. Seperti deketahui, kuat beban aksial sentris niminal atau teoritis
Universitas Sumatera Utara
untuk suatu penampang kolom pada hakekatnya adalah merupakan penjumlahan kontribusi kuat beton (Ag – Ast)0,85fc’ dan kuat tulangan baja Ast fy. Luas penampang tulangan baja Ast adalah jumlah seluruh tulangan pokok memanjang. Karena yang bekerja adalah beban sentris, dianggap keseluruhan penampang termasuk tulangan pokok memanjang menahan gaya desak secara merata. Dengan sendirinya pada penampang seperti ini tidak terdapat garis netral yang memisahkan daerah tarik dann tekan. Apabila beban aksial tekan bekerja eksentris pada sumbu kolom maka timbul tegangan yang tidak merata pada penampang, bahkan pada nilai eksentrisitas tertentu dapat mengakibatkan timbulnya tegangan tarik. Dengan demikian penampang kolom terbagi menjadi daerah tekan dan tarik, demikian pula tugas penulangan baja dibedakan sebagai tulangan baja tekan (As’) yang dipasang di daerah tekan dan tulangan baja tarik (As) yang dipasang di daerah tarik. Berdasarkan regangan yang terjadi pada batang tulangan baja, awal kehancuran atau keruntuhan penampang kolom dapat dibedakan menjadi dua kondisi, yaitu: 1. Kehancuran karena tarik, diawali dengan luluhnya batang tulangan tarik. 2. Kehancuran karena tekan, diawali dengan hancurnya beton tekan. Jumlah tulangan baja tarik sedemikian sehingga letak garis netral tepat pada posisi saat akan terjadi secara bersamaan regangan luluh pada tulangan baja tarik dan regangan beton desak maksimum 0,003. Kondisi keseimbangan regangan tersebut menempati posisi penting karena merupakan pembatas antara kedua keadaan penampang kolom beton bertulang yang berbeda dalam cara hancurnya, yaitu hancur karena tarik dan hancur karena tekan, dengan demikian kondisi
Universitas Sumatera Utara
keseimbangan regangan merupakan indikator yang sangat berguna dalam menentukan cara hancurnya.
II.4.4. Faktor Reduksi Kekuatan Untuk Kolom Persyaratan dalam memberikan pembatasan tulangan untuk komponen struktur yang di bebani kombinasi lentur dan aksial tekan tersebut selaras dengan konsep daktilitas komponen struktur yang menahan momen lentur dengan beban aksial, dimana di kehendaki agar keruntuhan diawali dengan meluluhnya batang tulangan tarik terlebih dahulu. Sejalan dengan hal tersebut, untuk komponen dengan beban aksial kecil diijinkan untuk memperbesar faktor reduksi kekuatannya, lebih besar dari nilai yang digunakan bila komponen yang bersangkutan hanya menahan beban aksial tekan sentris. Seperti diketahui bahwa: 1. Untuk komponen yang menahan lentur murni tanpa beban aksial, digunakan faktor reduksi kekuatan Ø = 0,80; 2. Untuk kolom dengan pengikat spiral sejauh ini digunakan faktor reduksi kekuatan Ø = 0,70; 3. Sedangkan untuk kolom pengikat sengkang digunakan faktor reduksi kekuatan Ø = 0,65. Seperti diketahui, kolom yang dibebani eksentrisitas akan menahan beban aksial maupun momen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa untuk kasus dimana kolom dengan beban aksial kecil tetapi pasangan momennya besar dapat diberlakukan seperti komponen struktur lentur, atau balok pada umumnya.
Universitas Sumatera Utara
II.5. Prencanaan Kolom Kolom adalah komponen struktur bangunan yang tugas utamanya menyangga beban aksial tekan vertikal. Atau dengan kata lain kolom harus diperhitungkan untuk menyangga beban aksial tekan dengan eksentrisitas tertentu. Pada kolom, pembatasan jumlah tulangan kolom agar penampang berperilaku daktail agak sukar dilakukan karena beban aksial tekan lebih dominan sehingga keruntuhan tekan sulit dihindari. Jumlah luas penampang tulangan pokok memanjang kolom dibatasi dengan rasio penulangan ρ g antara 0.01–0.08. Penulangan yang lazim dilakukan diantara 1.5% sampai 3% dari luas penampang kolom. Khusus
untuk
struktur
bangunan
berlantai
banyak,
kadang-kadang
penulangan kolom dapat mencapai 4%, namun disarankan untuk tidak menggunakan nilai lebih dari 4% agar penulangan tidak berdesakan terutama pada titik pertemuan balok-balok, plat, dan kolom
II.5.1. Kekuatan Kolom Eksentrisitas Kecil Hampir tidak pernah dijumpai kolom yang menopang beban aksial tekan secara konsentris, bahkan kombinasi beban aksial dengan eksentrisitas kecil sangat jarang ditemui. Meskipun demikian untuk memperoleh dasar pengertian perilaku kolom pada waktu menahan beban dan timbulnya momen pada kolom, pertama-tama akan dibahas kolom dengan beban aksial tekan eksentrisitas kecil. Apabila beban tekan P berimpit dengan sumbu memanjang kolom, berarti tanpa eksentrisitas, perhitungan teoritis menghasilkan tegangan tekan merata pada permukaan penampang lintangnya. Sedangkan apabila gaya tekan tersebut bekerja di suatu tempat berjarak e terhadap sumbu memanjang, kolom cenderung melentur seiring dengan timbulnya momen:
Universitas Sumatera Utara
M = P.e
Jarak e dinamakan eksentrisitas gaya terhadap sumbu kolom. Tidak sama halnya dengan kejadian beban tanpa eksentrisitas, tegangan tekan yang terjadi tidak merata pada seluruh permukaan penampang tetapi akan timbul lebih besar pada satu sisi terhadap sisi lainnya. Kondisi pembebanan tanpa eksentrisitas yang merupakan keadaan khusus, kuat beban aksial nominal atau teoritis dapat ditulis sebagai berikut : Po = 0.85f’c (Ag – Ast) + fy Ast
Apabila diuraikan lebih lanjut akan didapatkan : Po = Ag {0.85 f ' c(1 − ρg ) + fyρg } Po = Ag {0.85 f ' c + (ρg )(− 0.85 f ' c )}
Sedangkan peraturan memberikan ketentuan hubungan dasar antara beban dengan kekuatan sebagai berikut : Pu ≤ φ Pn
Dimana, Ag
= Luas kotor penampang lintang kolom (mm2)
Ast
= Luas total penampang penulangan memanjang (mm2)
Po
= Kuat beban aksial nominal atau teoritis tanpa eksentrisitas
Pn
= Kuat beban aksial nominal atau teoritis dengan eksentrisitas tertentu
Pu
= Beban aksial terfaktor dengan eksentrisitas
Universitas Sumatera Utara
ρg =
Ast Ag
Sehingga apabila memang terjadi, pada kasus beban tanpa eksentrisitas, Pn akan menjadi sama dengan Po. Sehingga demikian, SK SNI T-15-1993-03 menentukan bahwa dalam praktek tidak akan ada kolom yang dibebani tanpa eksentrisitas. Eksentrisitas beban dapat terjadi akibat timbulnya momen yang antara lain disebabkan oleh kekangan pada ujung-ujung kolom yang dicetak secara monolit dengan komponen lain, pemasangan yang kurang sempurna, ataupun penggunaan mutu bahan yang tidak merata. Maka sebagai tambahan faktor reduksi kekuatan untuk memperhitungkan eksentrisitas maksimum, peraturan memberikan ketentuan bahwa kekuatan nominal kolom dengan pengikat sengkang direduksi 20% dan untuk kolom dengan spiral direduksi 15%. Ketentuan tersebut akan memberikan rumus kuat beban aksial maksimum seperti berikut : •
Untuk kolom dengan spiral :
φ Pn (maks) = 0.85 φ {0.85φfc' ( Ag − Ast ) + fyAst} •
Untuk kolom dengan penulangan sengkang :
φ Pn (maks) = 0.80 φ {0.85φfc' ( Ag − Ast ) + fyAst} Beban aksial bekerja dalam arah sejajar sumbu memanjang dan titik kerjanya tidak harus di pusat berat kolom, berada di dalam penampang melintang, atau pusat geometrik. Dalam memperhitungkan kuat kolom terhadap beban aksial eksentrisitas kecil digunakan dasar anggapan bahwa akibat bekerjanya beban batas (ultimit), beton akan mengalami tegangan sampai nilai 0.85f’c dan tulangan bajanya mencapai tegangan luluh fy. Sehingga untuk setiap penampang kolom, kuat beban aksial
Universitas Sumatera Utara
nominal dengan eksentrisitas kecil dapat dihitung langsung dengan menjumlahkan gaya-gaya dalam dari beton dan tulangan baja pada waktu mengalami tegangan pada tingkat kuat maksimum tersebut. Perencanaan kolom beton bertulang pada hakekatnya menentukan dimensi serta ukuran-ukuran baik beton maupun batang tulangan baja, sejak dari menentukan ukuran dan bentuk penampang kolom, menghitung kebutuhan penulangannya sampai dengan memilih tulangan sengkang atau spiral sehingga di dapat ukuran dan jarak spasi yang tepat. Karena rasio penulangan terhadap beton ρg harus berada dalam daerah batas nilai 0,01≤
ρg ≤ 0,08 maka persamaan kuat perlu dimodifikasi untuk
dapat memenuhi syarat. Untuk kolom dengan pengikat sengkang,
φ Pn (maks) = 0.80 φ {0.85 fc' ( Ag − Ast ) + fy ( Ast )} Sehingga didapat, Ast = ρg x Ag
Maka,
φ Pn (maks) = 0.80 φ {0.85 fc' ( Ag − ρg × Ag ) + fy × ρg × Ag } = 0,80 φAg {0.85 fc' (1 − ρg ) + fyρg }
Karena Pu ≤ φ Pn (maks) maka dapat disusun ungkapan Ag perlu berdasarkan pada kuat kolom Pu dan rasio penulangan ρg , sebagai berikut: •
Untuk kolom dengan pengikat sengkang, Ag perlu =
•
Pu 0.80φ {0.85 fc' (1 − ρg ) + fyρg }
Untuk kolom dengan pengikat spiral,
Universitas Sumatera Utara
Ag perlu =
Pu 0.85φ {0.85 fc' (1 − ρg ) + fyρg }
Dengan demikian untuk menentukan bentuk dan ukuran kolom berdasarkan rumus diatas, banyak kemungkinan serta pilihan yang dapat memenuhi syarat kekuatan menopang sembarang beban Pu. Untuk nilai ρg yang lebih kecil memberikan hasil Ag lebih besar, demikian pun sebaliknya. Banyak pertimbangan dan faktor lain yang berpengaruh pada pemilihan bentuk dan ukuran kolom, diantaranya ialah pertimbangan dan persyaratan arsitektural atau pelaksanaan membangun yang menghendaki dimensi seragam untuk setiap lantai agar menghemat acuan kolom dan perancahnya.
II.5.2. Kekuatan Kolom Eksentrisitas Besar Peraturan Beton Indonesia 1971 memberikan ketentuan bahwa setiap struktur bangunan beton bertulang bertingkat harus mempunyai kolom-kolom dengan kekakuan yang sedemikian rupa, sehingga untuk setiap pembebanan, stabilitas struktur tetap terjamin. Stabilitas struktur dapat diperhitungkan dengan meninjau tekuk pada setiap kolom satu persatu (tekuk parsial) seperti halnya pada kolomkolom tunggal. Memperhitungkan tekuk parsial kolom-kolom dapat dilakukan dengan menerapkan eksentrisitas tambahan pada eksentrisitas awal gaya normal kolom. Sehingga pada eksentrisitas awal, gaya normal kolom masih harus ditambahkan pula eksentrisitas-eksentrisitas tambahan, masing-masing untuk memperhitungkan tekuk, ketidaktepatan sumbu kolom terhadap sumbu item, dan untuk memperoleh peningkatan keamanan bagi kolom-kolom dengan eksentrisitas awal yang semakin kecil.
Universitas Sumatera Utara
Dalam SK SNI-03-2847-2002, kuat beban aksial nominal maksimum diberikan batasan apabila sebuah kolom pengaruh kelangsingan diabaikan, kuat aksial nominal maksimum Pn (maks) tidak melebihi 0.80 Po untuk kolom berpengikat sengkang dan 0.85 Podengan pengikat spiral (seperti persamaan sebelumnya). Dengan ketentuan tersebut, berarti sekaligus diberikan pula pembatasan eksentrisitas minimum yang harus diperhitungkan. Untuk kolom dengan eksentrisitas besar, kedua persamaan tersebut tidak dapat digunakan. Eksentrisitas minimum dapat ditimbulkan oleh kekangan di ujung komponen karena sistem menggunakan hubungan monolit dengan komponen struktur lainnya. Sedangkan eksentrisitas tidak terduga dapat timbul akibat pelaksanaan pekerjaan di titik-titik buhul yang tidak sempurna sehingga terjadi pergeseran sumbu sistem bangunan ataupun akibat penggunaan bahan berbeda mutu. Dengan berbagai pertimbangan tersebut, perencanaan kolom umumnya didasarkan pada momen akibat dari beban aksial dengan eksentrisitas yang relatif besar.
Universitas Sumatera Utara
II.6. Desain Kapasitas Perencanaan struktur beton telah memperhatikan 2 macam limit states, yakni Ultimate limit states dan Serviceability limit states. Limit states design sangat penting untuk diperhatikan di Indonesia karena Indonesia cukup rawan terhadap gempa. Ada tiga jalur gempa yang bertemu di Indonesia yang dapat mengakibatkan terjadinya cukup banyak gempa disekitar Indonesia. Beban gempa dalam perencanaan struktur beton merupakan beban yang khusus atau beban yang abnormal yang kejadiannya dapat terjadi sekali dengan skala yang sangat besar selama masa layan dari struktur bangunan tersebut. Beban-beban yang termasuk dalam perencanaan special limit state design adalah akibat pengaruh kebakaran, ledakan, atau beban akibat tertabrak oleh kendaraan. Dalam perencanaan struktur beban didaerah beban didaerah gempa perencanaan limit states designnya disebut Capacity Design yang berarti bahwa ragam keruntuhan struktur akibat beban gempa yang besar ditentukan lebih dahulu dengan elemen-elemen kritisnya dipilih sedemikian rupa agar mekanisme keruntuhannya dapat memancarkan energi yang sebesar-besarnya. Agar elemen-elemen kritis dapat dijamin pembentukannya secara sempurna maka elemen-elemen lainnya harus direncanakan khusus, agar lebih kuat dibandingkan elemen-elemen kritis. Salah satu filsafat yang dikenal dalam perencanaan capacity design disebut Kolom Kuat Balok Lemah. Pada struktur beton rangka terbuka persyaratan dasar perencanaan didaerah gempa adalah bahwa batang-batang horisontal (balok-balok) harus runtuh lebih dahulu sebelum terjadinya kerusakan-kerusakan pada batang-batang vertikal (kolomkolom). Dengan mengikuti persyaratan dasar maka struktur beton dapat menunda keruntuhan totalnya.
Universitas Sumatera Utara
Balok-balok dan plat beton pada umumnya tidak akan runtuh meskipun sudah terjadi kerusakan yang besar pada lokasi sendi-sendi plastis sedangkan kolom-kolom akan runtuh segera akibat beban vertikal walaupun baru terjadi kerusakan-kerusakan kecil. Dasar-dasar perencanaan dibawah ini penting untuk diperhatikan: •
Balok-balok harus runtuh lebih dahulu sebelum kolom-kolomnya;
•
Keruntuhan harus diakibatkan lentur bukan geser;
•
Keruntuhan join-join diantara batang-batang harus dihindari;
•
Keruntuhan daktail bukan keruntuhan getas yang harus dipilih. Mekanisme terbentuknya sendi plastis dikendalikan dan diarahkan agar
timbul di tempat-tempat yang direncanakan dengan cara meningkatkan kuat komponen-komponen struktur yang bersebelahan. Komponen-komponen struktur lain tersebut harus diberi cukup cadangan kekuatan untuk menjamin berlangsungnya mekanisme pemencaran energi selama gempa berlangsung. Sebagai contoh, didalam mekanisme goyangan rangka portal dengan sendi-sendi plastis yang terbentuk dalam balok-balok, jumlah kekuatan kolom-kolom pada suatu titik buhul harus dibuat lebih besar dari kekuatan baloknya untuk memaksa terjadinya sendi plastis di dalam balok. Dengan demikian, mekanisme goyangan portal dengan sendi-sendi plastis terbentuk dalam balok-balok, jumlah kekuatan kolom-kolom pada suatu titik buhul harus dibuat lebih besar dari kekuatan baloknya untuk memaksa terjadinya sendi plastis didalam balok.
Universitas Sumatera Utara
Gambar 2.25.a Sendi Plastis Pada Balok-Balok
Gambar 2.25.b Sendi Plastis Pada Kolom-Kolom
Gambar 2.25 Pola Pembentukan Sendi Plastis (Dikutip dari buku Gideon Kusuma, Dasar-Dasar Perencanaan Beton Bertulang)
Dengan demikian, mekanisme goyangan portal dengan sendi-sendi plastis terbentuk dalam balok-balok seperti terlihat pada gambar 2.25.a, hendaknya selalu diusahakan sejauh keadaan memungkinkan, karena akan memberikan meuntungankeuntungan sebagai berikut : •
Pemencaran energi berlangsung tersebut dalam banyak komponen,
•
Bahaya ketidakstabilan struktur akibat efek P–Δ hanya kecil,
•
Sendi-sendi plastis di dalam balok dapat berfungsi dengan sangat baik, yang memungkinkan berlangsungnya rotasi-rotasi plastis besar, dan
•
Daktilitas balok yang dituntut untuk mencapai tingkat 4 pada umumnya dengan mudah dapat dipenuhi. Sedangkan di lain pihak, dengan menggunakan balok-balok kuat dan lebih
kaku, mekanisme goyangan portal dengan sendi-sendi plastis terbentuk pada kolom-
Universitas Sumatera Utara
kolom dari satu tingkat seperti tampak pada gambar 2.25.b, yang pada umumnya hanya diizinkan untuk rangka struktur rendah, karena alasan-alasan sebagai berikut : •
Pemencaran energi berlangsung terpusat di dalam sejumlah kecil komponen struktur kolom, yang mungkin tidak memiliki cukup daktilitas karena besarnya gaya-gaya aksial yang bekerja bersamaan,
•
Daktilitas yang dituntut pada kolom-kolom untuk mencapai tingkat daktilitas tinggi akan sulit dipenuhi, dan
•
Simpangan besar yang terjadi pada struktur mengakibatkan timbulnya efek P–Δ yang merupakan kondisi berbahaya bagi stabilitas struktur. Pada kolom, perbandingan b/h tidak boleh < 0,4 dan dimensi minimumnya
= 300 mm. Diameter tulangan yang digunakan pada kolom harus > 12 mm. Diameter minimum sengkang untuk kolom harus 8 mm. Luasan tulangan minimum untuk beban = 1% dari luas penampang dan luas tulangan maksimumnya = 6%. Sedangkan pada balok harus mempunyai perbandingan b/h > 0,3 dan lebar balok harus lebih dari 250 mm dan tidak boleh lebih besar dari lebar kolom yang mendukungnya ditambah ¾ kali tinggi balok.
Universitas Sumatera Utara