BAB II LANDASAN TEORI
A. Penelitian yang Relevan Penelitian dengan judul Perubahan Bunyi dan Relasi Makna antara Kosakata Bahasa Jawa Dialek Mentasan Kecamatan Kawunganten Kabupaten Cilacap dengan Kosakata Bahasa Jawa Baku Tahun 2016 berbeda dengan penelitian sejenis yang telah ada. Untuk membuktikannya, peneliti meninjau dua penelitian mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Mahasiswa tersebut adalah Yeni Arsita dan Puthut Arif Widyanto. Penelitian Yeni Arsita dilakukan pada tahun 2015 dan penelitian Puthut Arif Widyanto pada tahun 2014, sedangkan penelitian dengan judul Perubahan Bunyi dan Relasi Makna antara Kosakata Bahasa Jawa Dialek Mentasan Kecamatan Kawunganten Kabupaten Cilacap dengan Kosakata Bahasa Jawa Baku Tahun 2016 dilakukan pada tahun 2016. Perbedaan pada penelitian sebelumnya dapat dilihat sebagai berikut.
1.
Perbedaan Fonologis dan Semantis Dialek Perbatasan Kabupaten Brebes dan Kabupaten Banyumas Penelitian tersebut dilakukan oleh Yeni Arsita pada tahun 2015 dari
Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Hasilnya adalah perbedaan fonologis yang terjadi meliputi: (a) penambahan fonem, meliputi: penambahan fonem di depan kata disebut protesis, penambahan fonem di tengah kata disebut epentesis, dan penambahan fonem pada akhir kata disebut paragog; (b) penghilangan fonem, meliputi: penghilangan fonem pada awal kata disebut afaresis, penghilangan fonem di tengah kata disebut sinkop, dan penghilangan fonem di akhir kata disebut 6 Perubahan Bunyi Dan Relasi Makna…, Rudy Mukdiyanto, FKIP UMP, 2017
7
apokop; dan (c) gejala penggantian fonem disebut suplisi. Sedangkan perbedaan semantis yang terjadi adalah sinonimi dan homonimi. Perbedaan penelitian Yeni Arsita dengan penelitian ini terletak pada sumber data. Sumber data penelitian Yeni Arsita adalah penduduk asli warga Desa Kranggan, Kecamatan Pekuncen, Kabupaten Banyumas dan penduduk asli warga Desa Winduaji, Kecamatan Paguyangan, Kabupaten Brebes. Sedangkan penelitian yang berjudul Perubahan Bunyi dan Relasi Makna antara Kosakata Bahasa Jawa Dialek Mentasan Kecamatan Kawunganten Kabupaten Cilacap dengan Kosakata Bahasa Jawa Baku Tahun 2016 ini sumber datanya adalah penduduk asli warga Desa Mentasan, Kecamatan Kawunganten, Kabupaten Cilacap dan kamus Jawa-Indonesia, Indonesia-Jawa oleh Purwadi (2005 a).
2.
Dialek Perbatasan Kabupaten Kebumen, Purworejo, dan Magelang (Kajian Fonologi dan Semantik) Penelitian tersebut dilakukan oleh Puthut Arif Widyanto pada tahun 2014 dari
Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Hasilnya adalah perbedaan fonologis yang terjadi meliputi: (a) penambahan fonem, meliputi: penambahan fonem di depan kata disebut protesis, penambahan fonem di tengah kata disebut epentesis, dan penambahan fonem pada akhir kata disebut paragog; (b) penghilangan fonem, meliputi: penghilangan fonem pada awal kata disebut afaresis, penghilangan fonem di tengah kata disebut sinkop, dan penghilangan fonem di akhir kata disebut apokop; dan (c) gejala penggantian fonem disebut replasif (gejala penggantian di awal kata, gejala penggantian di tengah kata, dan gejala penggantian di akhir kata). Sedangkan perbedaan semantis yang terjadi adalah sinonimi dan homonimi. Perbedaan penelitian Puthut Arif Widyanto dengan penelitian ini terletak pada
Perubahan Bunyi Dan Relasi Makna…, Rudy Mukdiyanto, FKIP UMP, 2017
8
sumber data. Sumber data penelitian Puthut Arif Widyanto adalah penduduk asli warga Desa Tunggal Roso Kabupaten Kebumen, Desa Butuh Kabupaten Purworejo, dan Desa Margoyoso Kabupaten Magelang. Sedangkan penelitian yang berjudul Perubahan Bunyi dan Relasi Makna antara Kosakata Bahasa Jawa Dialek Mentasan Kecamatan Kawunganten Kabupaten Cilacap dengan Kosakata Bahasa Jawa Baku Tahun 2016 ini sumber datanya adalah penduduk asli warga Desa Mentasan, Kecamatan Kawunganten, Kabupaten Cilacap dan kamus JawaIndonesia, Indonesia-Jawa oleh Purwadi (2005 a). Berdasarkan peninjauan dua penelitian mahasiswa Universitas Muhammadiyah Purwokerto tersebut, peneliti meyakini bahwa penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya. Perbedaan tersebut membuat peneliti semakin yakin bahwa penelitian tentang perubahan bunyi dan relasi makna antara kosakata bahasa Jawa dialek Mentasan Kecamatan Kawunganten Kabupaten Cilacap dengan kosakata bahasa Jawa aku tahun 2016 perlu dilakukan. Sumber data dan tempat penelitian yang dilakukan Yeni Arsita dan Puthut Arif Widyanto berbeda dengan penelitian ini. Sumber data dan tempat penelitian ini adalah penduduk asli warga Desa Mentasan Kecamatan Kawunganten Kabupaten Cilacap. Jadi dapat disimpulkan bahwa penelitian ini masih original dan belum ada penulis yang menelitinya.
B. Perubahan Bunyi 1.
Pengertian Perubahan Bunyi Perubahan bunyi merupakan proses perbedaan pengucapan dalam fonologi.
Menurut Muslich (2010: 1) fonologi adalah cabang linguistik yang mengkaji bunyi ujar. Pernyataan tersebut sependapat dengan Chaer (2012: 102) bahwa fonologi adalah
Perubahan Bunyi Dan Relasi Makna…, Rudy Mukdiyanto, FKIP UMP, 2017
9
bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, membicarakan runtutan bunyibunyi bahasa. Kemudian Sasangka (2008: 1) juga menuturkan: “Widyaswara iku ilmu kang ngrembug lan nyinau bab swara utawa uni. Ing ilmu basa, widyaswara uga sinebut fonologi”. Artinya: Widyaswara merupakan ilmu yang membahas dan mempelajari tentang suara atau bunyi. Dalam ilmu bahasa, widyaswara disebut fonologi. Jadi dapat disimpulkan fonologi ialah ilmu bahasa yang mempelajari dan menganalisis bunyi-bunyi bahasa. Objek kajian fonologi adalah bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan oleh alat ucap atau alat bicara manusia. Chaer (2013: 10) menjelaskan bahwa fonologi dibagi menjadi fonetik dan fonemik. Fonetik merupakan kajian linguistik yang meneliti bunyi-bunyi bahasa tanpa melihat apakah bunyi-bunyi tersebut dapat membedakan makna kata atau tidak. Sedangkan fonemik meneliti bunyi-bunyi bahasa dengan melihat bunyi tersebut sebagai satuan yang dapat membedakan makna kata. Penelitian ini merupakan penelitian tentang perbandingan antara kosakata bahasa Jawa dialek Mentasan dengan kosakata bahasa Jawa baku yang memperhatikan bunyi dan makna, jadi peneliti menganalisis perbandingan dari segi fonemik. Dalam praktik bertutur fonem atau bunyi bahasa itu tidak berdiri sendiri. Bunyi bahasa tersebut saling berkaitan dalam suatu runtutan bunyi. Oleh karena itu, secara
fonetis
maupun
fonemis
akibat
saling
berkaitan
dan
pengaruh
mempengaruhi bunyi-bunyi itu bisa saja berubah. Jika perubahan itu tidak menyebabkan identitas fonemnya berubah, maka perubahan itu hanya bersifat fonetis, tetapi jika perubahan itu sampai menyebabkan identitas fonemnya berubah
Perubahan Bunyi Dan Relasi Makna…, Rudy Mukdiyanto, FKIP UMP, 2017
10
maka perubahan itu bersifat fonemis. Muslich (2009: 101) menjelaskan bahwa perubahan-perubahan bentuk kata dalam suatu bahasa lazim disebut gejala bahasa. Chaer (2013: 89) menjelaskan secara umum fonem dapat berada pada posisi awal kata, di tengah kata, maupun di akhir kata. Secara khusus, ada fonem yang dapat berada pada ketiga posisi itu, tetapi ada pula yang tidak. Fonem vokal memang selalu dapat menduduki posisi pada semua tempat, berkenaan dengan posisinya sebagai puncak kenyaringan pada setiap silabel. Sedangkan fonem konsonan tidak selalu demikian, mungkin dapat menduduki awal dan akhir, tetapi mungkin juga hanya menduduki posisi awal. Menurut Wedhawati, dkk. (2010: 5557) bunyi disebut vokal bila terjadinya tidak ada hambatan pada alat bicara. Jadi tidak ada artikulasi. Sedangkan bunyi disebut konsonan jika terjadinya dibentuk dengan menghambat arus udara pada sebagian alat bicara. Jadi ada artikulasi. Sasangka (2008: 20-25) menuturkan jenis-jenis perubahan bunyi dalam proses fonologis antara lain: (a) penambahan fonem, (b) penghilangan fonem, (c) pergeseran fonem, dan (d) variasi bebas.
2.
Jenis Perubahan Bunyi
a.
Penambahan Fonem Gejala penambahan fonem dalam bahasa Jawa disebut panambahing swara.
Penambahan fonem dibedakan menjadi tiga macam, yaitu: (1) penambahan fonem di depan kata disebut protesis, (2) penambahan fonem di tengah kata disebut epentesis, dan (3) penambahan fonem di akhir kata disebut paragog. Seperti pernyataan Sasangka (2008: 21) “Panambahing swara ing sawijining tembung bisa dibedakake dadi telu, yaiku protesis, epentesis, lan paragog”. Artinya adalah
Perubahan Bunyi Dan Relasi Makna…, Rudy Mukdiyanto, FKIP UMP, 2017
11
penambahan fonem di salah satu kata dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu, protesis, epentesis, dan paragog. Berikut contoh gejala penambahan fonem: (1) Gejala Penambahan Fonem di Depan Kata (Protesis) [jarε] [ujarε] „katanya‟ [niŋ] „di‟ [iŋ] [naŋiŋ] [anaŋiŋ] „tetapi‟ (2) Gejala Penambahan Fonem di Tengah Kata (Epentesis) [kambil] [krambil] „kelapa‟ [akᴐ sᴐ ] [aŋkᴐ sᴐ ] „angkasa‟ [upᴐ mᴐ ] [umpᴐ mᴐ ] „ibarat‟ (3) Gejala Penambahan Fonem di Akhir Kata (Paragog) [aḍ i] [aḍ ik] „adik‟ [ora] [orak] „tidak‟ [ibu] [ibuk] „ibu‟
b. Penghilangan Fonem Gejala penghilangan atau penanggalan fonem dalam bahasa Jawa disebut panyudaning swara. Penghilangan fonem dapat dibedakan menjadi tiga macam, yakni: (1) penghilangan fonem pada awal kata disebut afaresis, (2) penghilangan fonem pada tengah kata disebut sinkop, dan (3) penghilangan fonem pada akhir kata disebut apokop. Seperti pernyataan Sasangka (2008: 22) “Panyudaning swara utawa abreviasi ing sawijining tembung bisa dibedakake dadi telu, yaiku afaresis, sinkop, lan apokop”. Artinya adalah penghilangan fonem atau abreviasi di salah satu kata dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu afaresis, sinkop, dan apokop. Berikut contoh gejala penghilangan fonem: (1) Gejala Penghilangan Fonem pada Awal Kata (Afaresis) [kakaŋ] [kaŋ] „kakak‟ [uwᴐ ŋ] [wᴐ ŋ] „orang‟ [bapak] [pak] „bapak‟ (2) Gejala Penghilangan Fonem pada Tengah Kata (Sinkop)
Perubahan Bunyi Dan Relasi Makna…, Rudy Mukdiyanto, FKIP UMP, 2017
12
[səṭ iṭ ik] [təmənan] [wεnεh]
[siṭ ik] [tənan] [wεh]
„sedikit‟ „benar‟ „beri‟
(3) Gejala Penghilangan Fonem pada Akhir Kata (Apokop) [bakyu] [bak] „panggilan untuk gadis remaja‟ [təmənan] [təmən] „benar‟ [ḍ imas] [ḍ i] „panggilan untuk adik laki-laki‟
c.
Pergeseran Fonem Gejala pergeseran fonem dalam bahasa Jawa disebut gesehing swara.
Pergeseran fonem dapat dibedakan menjadi dua macam, yakni: metatesis dan disimilasi. Metatesis merupakan proses perubahan urutan fonem pada kata tanpa mengubah arti kata, sedangkan disimilasi adalah proses perubahan fonem pada kata karena ada fonem yang sama. Fonem yang sama pada kata tersebut, salah satunya akan diubah menjadi fonem lain. Berikut contoh gejala pergeseran fonem: (1) Metatesis [təpəs] [bəjad] [wira-wiri]
[səpət] [jəbad] [riwa-riwi]
„kulit kelapa‟ „rusak‟ „mondar-mandir‟
(2) Disimilasi [sajjana] [citta] [lara-lara]
[sarjana] [cipta] [lara-lapa]
„sarjana‟ „cipta‟ „menderita‟
d. Variasi Bebas Variasi bebas adalah perbedaan pengucapan fonem pada kata tanpa mengubah arti kata. Perbedaan tersebut terjadi karena pengaruh dialek pada setiap daerah. Seperti pernyataan Sasangka (2008: 24) “Variasi bebas iku mujudake lira-liruning swara tanpa ngowahi surasaning tembung”. Artinya adalah variasi bebas itu mewujudkan perbedaan suara tanpa mengubah makna kata. Variasi bebas tersebut seperti fonem
Perubahan Bunyi Dan Relasi Makna…, Rudy Mukdiyanto, FKIP UMP, 2017
13
vokal [a] dengan [ε], fonem konsonan [b] dengan [w], [d] dengan [t], [k] dengan [g], dan [n] dengan [?]. Berikut contoh variasi bebas: (1) Variasi vokal [takᴐ n] [səgᴐ ] [lanaŋ]
[tεkᴐ n] [səga] [lənaŋ]
„bertanya‟ „nasi‟ „laki-laki‟
(2) Variasi konsonan [wulan] „bulan‟ [bulan] [daktuku] [taktuku] „saya beli‟ [kəgəḍ εn] [gəgəḍ εn] „terlalu besar‟
C. Relasi Makna 1.
Pengertian Relasi Makna Relasi makna merupakan hubungan semantik yang terdapat antara satuan
bahasa yang satu dengan yang lainnya. Semantik adalah ilmu bahasa yang membahas mengenai makna kata, kalimat, dan wacana. Pada tata bahasa Jawa, semantik disebut widyamakna. Sasangka (2008: 221) menjelaskan: “Widyamakna iku ing ilmu basa uga sinebut semantik. Widyamakna dumadi saka tembung widya lan makna. Tembung widya ngemu teges „ilmu‟ lan makna ngemu teges „surasa‟, „teges‟, utawa „arti‟. Dadi, widyamakna iku kalebu perangane ilmu basa kang ngrembug bab teges lan bab-bab kang magepokan utawa ana gandheng cenenge karo ilmu teges. Makna utawa teges kang disinau utawa kang dirembug widyamakna ora mung teges ing tembung, nanging teges ing frasa lan teges ing ukara uga melu karembug.” Artinya yaitu: dalam ilmu bahasa widyamakna disebut semantik. Widyamakna berasal dari kata widya dan makna. Widya berarti „ilmu‟ sedangkan makna berarti „arti‟. Jadi, widyamakna adalah ilmu bahasa yang membahas tentang makna atau arti kata. Makna atau arti yang dipelajari atau dibahas dalam widyamakna tidak hanya makna kata, melainkan makna frasa dan makna kalimat. Sasangka (2008: 222) menjelaskan semantik berhubungan dengan satuan bahasa yang satu dengan
Perubahan Bunyi Dan Relasi Makna…, Rudy Mukdiyanto, FKIP UMP, 2017
14
satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa yang berhubungan dengan proses semantis adalah: (1) sinonim, (2) antonim, (3) homonim (4) hiponimi, (5) polisemi, (6) ambiguitas, (7) jenis makna, dan (8) aspek, kala, dan modhus. Namun, peneliti hanya meneliti relasi makna antara kosakata bahasa Jawa dialek Mentasan Kecamatan Kawunganten Kabupaten Cilacap dengan kosakata bahasa Jawa baku dari aspek semantik yang meliputi sinonim dan homonim.
2.
Jenis Relasi Makna
a.
Sinonim Sinonim adalah ilmu bahasa yang mempelajari dan membahas tentang makna
kata yang sama namun berbeda bentuk dan penulisannya. Seperti pernyataan Sasangka (2008: 223-225) bahwa “Sinonim yaiku rong tembung utawa luwih kang wujud lan panulise beda, nanging duwe teges padha, utawa meh padha. Kang kalebu sinonim, ing antarane, yaiku jeneng lan aran, cepet lan rikat, langka lan arang”. Artinya yaitu: sinonim adalah dua kata atau lebih yang bentuk dan penulisannya berbeda, tetapi memiliki arti yang sama atau hampir sama. Beberapa kata yang termasuk sinonim di antaranya: jeneng dengan aran, cepet dengan rikat, dan langka dengan arang‟. Berikut contoh kosakata yang termasuk dalam sinonim: (1) a. Bocah kuwi jenenge sapa? „Anak itu namanya siapa?‟ b. Bocah kuwi arane sapa? „Anak itu namanya siapa?‟ (2) a. Mas Mahmud yen mangan cepet banget. „Kak Mahmud kalau makan cepat sekali.‟ b. Mas Mahmud yen mangan rikat banget. „Kak Mahmud kalau makan cepat sekali.‟ (3) a. Kursi kaya ngene iki kalebu barang langka. „Kursi seperti ini termasuk barang langka.‟
Perubahan Bunyi Dan Relasi Makna…, Rudy Mukdiyanto, FKIP UMP, 2017
15
b. Kursi kaya ngene iki kalebu barang arang. „Kursi seperti ini termasuk barang langka. Berdasarkan ketiga contoh tersebut, dapat dilihat sinonim yang bersubstitusi tanpa mengubah arti kalimat. Pada contoh kalimat nomor (1.a) kata jenenge bersinonim dengan kata aran pada kalimat (1.b) yang artinya „nama‟. Kemudian pada contoh nomor (2.a) kata cepet bersinonim dengan kata rikat pada kalimat (2.b) yang artinya „cepat‟. Selanjutnya contoh pada nomor (3.a) kata langka bersinonim dengan kata arang pada kalimat (3.b) yang artinya „jarang‟. Bentuk dan pengucapan kata yang bersinonim pada contoh di atas memang berbeda, namun perbedaan tersebut tidak mengubah arti pada setiap kalimat.
b. Homonim Homonim adalah ungkapan (kata atau frasa, atau kalimat). Bentuk dari ungkapan tersebut yaitu sama-sama penulisan dan pengucapannya namun berbeda maknanya. Sasangka (2008: 227-229) menyatakan: “Homonim yaiku tembung siji kang tulisan lan pangucapane sarwa padha. Sanadyan mengkono ora ateges maknane uga melu padha, nanging maknane malah beda jalaran asale saka tembung kang beda. Dadi, cethane bae homonim iku tembung kang padha pangucape lan panulise, nanging beda surasane.” Artinya: Homonim adalah kata yang penulisan dan pengucapannya sama. Walaupun demikian tidak berarti maknanya sama, namun maknanya justru berbeda karena berasal dari kata yang berbeda. Jadi, dapat disimpulkan homonim adalah satuan bahasa yang berkaitan dengan semantik untuk mencari kata yang sama pengucapan dan penulisannya, namun berbeda artinya. Berikut contoh homonim: (1) Wong kuwi wingi sing ngukuri lemah ing desaku. „Orang itu kemarin yang mengukur tanah di desaku.‟
Perubahan Bunyi Dan Relasi Makna…, Rudy Mukdiyanto, FKIP UMP, 2017
16
(2) Kowe aja ngukuri weteng bae, mengko malah gudhigen. „Kamu jangan menggaruk perut terus, nanti palah terkena penyakit kulit.‟ Kata ngukuri pada kedua contoh kalimat tersebut dapat dikatakan homonim. Hal tersebut karena penulisan dan pengucapannya kata ngukuri sama namun berbeda dengan maknanya. Pada kalimat (1) kata ngukuri bermakna „mengukur‟. Sedangkan pada kalimat (2) kata ngukuri bermakna „menggaruk‟. Berdasarkan pernyataan dan contoh di atas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa homonim merupakan suatu ungkapan (kata atau frasa, atau kalimat) dalam bentuk yang sama, namun memiliki makna atau arti yang berbeda.
D. Bahasa Jawa 1.
Pengertian Bahasa Jawa Wedhawati. dkk. (2010: 1-2) menjelaskan bahwa bahasa Jawa merupakan
bahasa pertama penduduk Jawa yang tingga di Provinsi Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Lampung, sekitar Medan, daerahdaerah transmigrasi di Indonesia (sebagian Provinsi Riau, Jambi, dan Kalimantan Tengah) dan beberapa tempat di luar negri yaitu Suriname, Belanda, New Caledonia, dan Pantai Barat Johor. Menurut Chaer (2011: 1-2) bahasa adalah suatu sistem lambang berupa bunyi, bersifat arbitrer, digunakan oleh suatu masyarakat tutur untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Sebagai sebuah sistem, bahasa terbentuk oleh suatu aturan, kaidah, atau pola-pola tertentu baik dalam bidang tata bunyi, tata bentuk kata, maupun tata kalimat. Lambang yang digunakan dalam sistem bahasa berupa bunyi, yaitu bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia. Lambang-lambang bahasa yang berupa bunyi bersifat arbitrer, maksudnya tidak ada ketentuan atau hubungan antara suatu lambang bunyi dengan benda atau konsep yang dilambangkannya. Contoh antara kata atau
Perubahan Bunyi Dan Relasi Makna…, Rudy Mukdiyanto, FKIP UMP, 2017
17
lambang yang berupa bunyi [kuda] dengan bendanya, yaitu sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai atau untuk menarik beban. Jika memang ada hubungan antara lambang bunyi [kuda] dengan binatang itu, tentu orang di Jawa Tengah juga akan menyebutnya kuda, bukan jaran. Namun, walaupun lambanglambang bahasa bersifat arbitrer, jika terjadi penyimpangan terhadap penggunaan lambang pasti akan terjadi kesalahan berkomunikasi. Komunikasi akan terganggu jika aturan-aturan sistem lambang tidak dipatuhi. Pernyataan Chaer sependapat dengan Tarigan (2009: 5) bahwa manusia mempergunakan bahasa sebagai sarana komunikasi dalam hidup ini. Bahasa adalah salah satu ciri pembeda utama antara manusia dengan makhluk hidup lainnya. Aslinda dan Leni Syafyahya (2010: 8) menambahkan pendapat Chaer dan Tarigan bahwa bahasa termasuk dalam kategori kebahasaan yang terdiri dari dialek tiap-tiap penuturnya saling mengerti atau mutual inteligibility dan dianggap oleh penuturnya sebagai suatu kelompok kebahasaan yang sama. Dengan kata lain, bahasa terdiri dari dialek yang dimiliki oleh sekelompok penutur tertentu yang sewaktu berkomunikasi satu sama lain dapat saling mengerti. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, maka peneliti dapat menyimpulkan bahasa merupakan sistem lambang berupa bunyi yang bersifat arbitrer, digunakan oleh masyarakat tutur dalam kelompok atau daerahnya masing-masing untuk berkomunikasi, bekerja sama, dan mengidentifikasi diri.
2.
Dialek Bahasa Jawa Wedhawati. dkk. (2010: 13) menjelaskan bahasa Jawa tergolong bahasa
dengan jumlah penutur yang besar. Pada tahun 2001 penutur bahasa Jawa diperkirakan berjumlah 75,5 juta. Penutur bahasa Jawa tersebut tersebar di Jawa
Perubahan Bunyi Dan Relasi Makna…, Rudy Mukdiyanto, FKIP UMP, 2017
18
Timur, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Banten, Lampung, sekitar Medan, sekitar Riau, daerah-daerah transmigrasi, termasuk di beberapa tempat di luar negri (Suriname, Belanda, New Caledonia, dan Pantai Barat Johor). Penyebaran bahasa Jawa tersebut menyebabkan adanya cirikhas pada setiap daerah pemakai bahasa Jawa. Sebagai bahasa dengan jumlah penutur yang besar dan persebaran yang luas, bahasa Jawa memperlihatkan variasi pemakaian yang lazim disebut dialek. Zulaeha (2010: 1) menyatakan dialek berasal dari kata Yunani dialektos yang berpadanan dengan logat. Kata ini mula-mula digunakan untuk menyatakan sistem kebahasaan yang digunakan oleh suatu masyarakat yang berbeda dari masyarakat lainnya yang bertetangga, tetapi menggunakan sistem yang erat hubungannya. Sementara itu, dialektologi berasal dari paduan kata dialek yang berarti variasi bahasa dan logi berarti ilmu. Berdasarkan etimologi kata, dialektologi adalah ilmu yang mempelajari dialek atau ilmu yang mempelajari variasi bahasa. Sedangkan menurut Chaer (2012: 55) dialek adalah variasi bahasa yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat pada suatu tempat atau suatu waktu. Aslinda dan Leni Syafyahya (2010: 7) menyatakan dialek adalah ciri khas sekelompok individu atau masyarakat dalam menggunakan bahasa. Dialek juga dibedakan atas dua bagian, yaitu dialek geografi dan dialek sosial. Dialek geografi adalah persamaan bahasa yang disebabkan oleh letak geografi yang berdekatan sehingga memungkinkan komunikasi yang sering di antara penutur-penutur idiolek. Sedangkan dialek sosial merupakan persamaan yang disebabkan oleh kedekatan sosial, yaitu penutur-penutur idiolek itu termasuk dalam satu golongan masyarakat yang sama. Jadi dapat disimpulkan bahwa dialek adalah sistem kebahasaan yang
Perubahan Bunyi Dan Relasi Makna…, Rudy Mukdiyanto, FKIP UMP, 2017
19
bervariasi, digunakan oleh suatu masyarakat yang berbeda dari masyarakat lainnya pada suatu tempat atau suatu waktu.
3.
Ragam Dialek Bahasa Jawa Sebagai bahasa dengan jumlah penutur yang besar dan persebaran yang luas,
bahasa Jawa memperlihatkan variasi pemakaian dialek. Menurut Chaer (2011: 3-4) setiap bahasa sebenarnya memiliki ketetapan atau kesamaan dalam hal tata bunyi, tata bentuk, tata kata, tata kalimat, dan tata makna. Namun karena berbagai faktor yang terdapat di dalam masyarakat pemakai bahasa itu seperti: usia, pendidikan, agama, bidang kegiatan, profesi, dan latar belakang budaya daerah, maka bahasa itu menjadi tidak seragam. Mungkin karena tata bunyinya menjadi tidak sama persis, mungkin tata bentuk dan tata katanya, dan mungkin juga tata kalimatnya. Bahasa memiliki sistem dan subsistem yang dipahami oleh semua penutur bahasa. Namun karena penutur bahasa tersebut berada dalam masyarakat tutur yang bukan termasuk kumpulan manusia yang homogen maka wujud bahasa yang konkret menjadi tidak seragam. Bahasa itu menjadi beragam dan bervariasi. Terjadinya keragaman atau kevariasian bahasa ini bukan hanya disebabkan oleh para penuturnya yang tidak homogen, tetapi juga karena kegiatan interaksi sosial yang mereka lakukan sangat beragam. Chaer dan Leonie Agustina (2004: 62) menyatakan dalam hal variasi atau ragam bahasa ada dua pandangan. Pertama, variasi atau ragam bahasa itu dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Jadi variasi atau ragam bahasa itu terjadi sebagai akibat dari adanya
Perubahan Bunyi Dan Relasi Makna…, Rudy Mukdiyanto, FKIP UMP, 2017
20
keragaman sosial dan keragaman fungsi bahasa. Apabila penutur bahasa itu adalah kelompok yang homogen, baik etnis, status sosial, maupun lapangan pekerjaannya, maka variasi atau keragaman itu tidak akan ada artinya, bahasa itu menjadi seragam. Kedua, variasi atau ragam bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam. Chaer dan Leonie Agustina (2004: 62-72) membagi variasi bahasa menjadi beberapa segi, yaitu: (1) variasi bahasa dari segi penutur, (2) variasi bahasa dari segi pemakaian, (3) variasi bahasa dari segi keformalan, dan (4) variasi bahasa dari segi sarana. Dalam pembahasan kali ini, penulis hanya membatasi mengenai variasi bahasa dari segi penutur. Variasi bahasa dari segi penutur dibagi menjadi beberapa macam. Pembagian tersebut yaitu: (a) idiolek, (b) dialek, (c) kronolek, dan (d) sosiolek. Dalam pembahasan ini, penulis hanya membatasi mengenai dialek. Wedhawati. dkk. (2010: 13) menjelaskan secara umum dialek dapat dibagi menjadi dialek geografi dan dialek sosial. Dialek geografi adalah variasi penggunaan bahasa yang ditentukan oleh perbedaan wilayah penggunaan itu sendiri. Sebaliknya, dialek sosial adalah variasi penggunaan bahasa yang disebabkan oleh perbedaan kelompok sosial penutur. Dialek geografi bahasa Jawa, misalnya tercermin melalui perbedaan penggunaan bahasa Jawa di wilayah YogyaSolo dengan penggunaan di Kabupaten Cilacap atau daerah lain. Dialek sosial bahasa Jawa misalnya terlihat pada penggunaan tingkat tutur. Penggunaan bahasa Jawa yang peneliti perbandingkan adalah antara penggunaan dialek bahasa Jawa di Desa Mentasan Kecamatan Kawunganten Kabupaten Cilacap dengan penggunaan dialek bahasa Jawa baku.
Perubahan Bunyi Dan Relasi Makna…, Rudy Mukdiyanto, FKIP UMP, 2017
21
a.
Dialek Bahasa Jawa Kabupaten Cilacap
Desa
Mentasan
Kecamatan
Kawunganten
1) Pengertian Dialek Bahasa Jawa Desa Mentasan Kecamatan Kawunganten Kabupaten Cilacap Bahasa Jawa yang digunakan di Desa Mentasan Kecamatan Kawunganten Kabupaten Cilacap adalah bahasa Jawa dialek Mentasan. Sama seperti bahasa Jawa di daerah lain, bahasa Jawa dialek Mentasan juga mengenal tingkat penggunaan yaitu ngoko, madya, dan krama. Namun ragam bahasa Jawa yang sering digunakan adalah ngoko dan krama inggil. Ragam bahasa Jawa ngoko biasa digunakan oleh orang yang lebih tua pada orang yang lebih muda dan orang yang sudah akrab. Sedangkan ragam bahasa Jawa krama inggil digunakan oleh penduduk Desa Mentasan sebagai bentuk penghormatan dengan lawan bicara yang lebih tua. Hal ini dapat terjadi karena Desa Mentasan, Kecamatan Kawunganten, Kabupaten Cilacap jauh dari lingkungan keraton Jogja dan Solo yang mengakibatkan sedikit pengaruh keraton. Bahasa Jawa dialek Mentasan lebih cenderung menyerupai Bahasa Jawa dialek Banyumas karena Kabupaten Cilacap merupakan satu dari empat
daerah
eks-karesidenan
Banyumas,
yaitu:
Kabupaten
Banyumas,
Purbalingga, Banjarnegara, dan Cilacap.
2) Ciri Dialek Bahasa Jawa Desa Mentasan Kecamatan Kawunganten Kabupaten Cilacap Bahasa Jawa dialek Mentasan memiliki 6 fonem vokal dan 19 fonem konsonan. Masing-masing fonem vokal tersebut yaitu: [a], [ᴐ ], [i], [u], [ε], dan [ə], sedangkan fonem konsonannya: [b], [c], [d], [ḍ ], [g], [h], [j], [k], [l], [m], [n], [ŋ], [p], [r], [s], [t], [ṭ ], [w], dan [y]. Suku kata pada bahasa Jawa dialek Mentasan memiliki ciri yang lebih panjang jika dibandingkan dengan bahasa Jawa baku.
Perubahan Bunyi Dan Relasi Makna…, Rudy Mukdiyanto, FKIP UMP, 2017
22
Seperti pengucapan kata endhok [ənḍ ᴐ ?] bahasa Jawa baku menjadi endhok [ənḍ ᴐ k] bahasa Jawa dialek Mentasan yang artinya „telur‟. Perbedaan kosakata bahasa Jawa dialek Mentasan dengan kosakata bahasa Jawa baku yang lain adalah pada pemakaian bahasa Jawa ngoko yang lebih cenderung melafalkan fonem [a] dilafalkan tetap dalam fonem [a] baik posisi awal kata maupun akhir kata, namun untuk pemakaian bahasa Jawa krama, fonem [a] dilafalkan menjadi fonem [ᴐ ] pada posisi tengah kata dan akhir kata.
b. Dialek Bahasa Jawa Baku 1) Pengertian Dialek Bahasa Jawa Baku Dialek bahasa Jawa baku merupakan bahasa Jawa yang sudah sesuai dengan pedoman atau kaidah bahasa Jawa yang telah ditentukan. Kridalaksana, dkk. (2001: xxx) menjelaskan bahasa Jawa baku adalah bahasa Jawa yang digunakan di wilayah Yogyakarta dan Surakarta. Bahasa Jawa yang berada di luar kedua wilayah tersebut merupakan dialek-dialek dari bahasa Jawa baku tersebut. Ciri utama yang menandai bahasa Jawa baku adalah hadirnya seluruh ragam tutur ngoko, madya, dan krama dalam percakapan sehari-hari, baik dalam situasi formal maupun informal. Pada dialek-dialek yang lain, ragam krama biasanya hanya digunakan dalam situasi yang formal. Dengan kata lain, ragam formal yang digunakan oleh penutur bahasa Jawa dialek nonbaku adalah ragam krama yang ada pada bahasa Jawa baku. Menurut Wedhawati, dkk. (2010: 13) bahasa Jawa baku atau bahasa Jawa standar mencakup daerah Yogyakarta dan Solo. Oleh karena itu, biasa disebut dialek Yogya Solo. Dengan berbagai perubahan isolek, bahasa Jawa baku juga
Perubahan Bunyi Dan Relasi Makna…, Rudy Mukdiyanto, FKIP UMP, 2017
23
digunakan di
daerah
sekitar Yogyakarta,
seperti
Purworejo,
Magelang,
Temanggung, dan beberapa Kabupaten di sekitar Surakarta seperti Klaten, Karanganyar, Sukoharjo, dan Wonogiri. Dialek bahasa Jawa baku memiliki dua wilayah peralihan. Wilayah peralihan yang pertama adalah wilayah peralihan bagian timur berada di sekitar Pacitan, Madiun, dan Grobogan. Wilayah peralihan yang kedua adalah wilayah peralihan bagian barat yang berada di sekitar Prembun, Wonosobo, dan Banjarnegara.
2) Ciri Dialek Bahasa Jawa baku Bahasa Jawa baku memiliki enam fonem vokal dan duapuluh tiga fonem konsonan. Fonem vokal tersebut yaitu: [i], [e], [ə], [a], [u], dan [o], sedangkan duapuluh tiga fonem konsonan tersebut dapat dikelompokkan menjadi sepuluh jenis, di antaranya: bilabial [p], [b], dan [m]; labio dental [f] dan [w]; apiko-dental [t] dan [d]; apiko-alveolar [n], [l], dan [r]; apiko-palatal [ṭ ] dan [ḍ ]; laminoalveolar [s] dan [z]; medio-palatal [c], [j], [ñ], dan [y]; dorso-velar [k], [g], dan [ŋ]; laringal [h]; dan glotal stop [?]. Fonem vokal dan fonem konsonan sebagai pembeda makna bersifat abstrak. Yang terucap dan terdengar oleh telinga adalah bunyi. Bunyi tersebut disebut alofon atau varian. Alofon fonem vokal yang berada pada suku kata tertutup tidak sama dengan alofon fonem vokal yang berada pada suku kata terbuka. Sedangkan sebuah fonem konsonan yang berdistribusi pada awal, tengah, maupun akhir kata memiliki alofon yang tidak sama. Ragam tutur dalam bahasa Jawa baku disebut unggah-ungguhing basa, oleh para ahli bahasa disebut tingkat tutur. Menurut Setiyanto (2007: 1) unggah-
Perubahan Bunyi Dan Relasi Makna…, Rudy Mukdiyanto, FKIP UMP, 2017
24
ungguhing basa merupakan alat untuk menciptakan jarak sosial. Namun di sisi lain unggah-ungguhing basa juga merupakan produk dari kehidupan sosial. Hal ini dapat dijelaskan bahwa struktur masyarakat merupakan faktor pembentuk struktur bahasa. Secara garis besar, unggah-ungguhing basa ini dapat dikelompokkan menjadi tiga, yakni: ngoko, krama, dan madya. Ragam ngoko menunjukkan tingkat ketakziman yang paling rendah, ragam krama menunjukkan tingkat ketakziman yang paling tinggi, sedangkan ragam madya menunjukkan tingkat ketakziman di antara krama dan ngoko. Dalam ragam krama terdapat dua subragam, yakni krama inggil dan krama andhap. Krama andhap digunakan pembicara (penutur) untuk mengacu pada dirinya sendiri, sedangkan krama inggil digunakan untuk mengacu pada lawan bicara yang dihormatinya. Pada ragam madya lebih banyak ditandai oleh hadirnya bentuk akhiran ngoko pada kata dari ragam krama, dan bentuk-bentuk singkat dari kata ragam krama. Purwadi, dkk. (2005 b: 29) menjelaskan bahwa basa madya krama dibentuk dari kata-kata madya dicampur dengan kata-kata krama yang tidak memiliki kata madya. Basa madya krama adalah bahasa yang digunakan oleh orang desa satu dengan yang lain yang dianggap lebih tua atau yang dihormati. Pemilihan ragam ngoko, madya, atau krama juga ditentukan oleh situasi tuturan. Misalnya pada acara rapat dan pidato pada upacara perkawinan, ragam yang biasanya digunakan adalah ragam krama. Ragam ngoko maupun ragam madya dianggap tidak pantas digunakan di dalam situasi yang formal atau resmi.
Perubahan Bunyi Dan Relasi Makna…, Rudy Mukdiyanto, FKIP UMP, 2017