BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN PROPOSISI
Bab ini akan memaparkan mengenai landasan teoridari variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian, perumusan proposisi, dan pengembangan model penelitian.
2.1 Landasan Teori 2.1.1 Manajemen Ritel Ritel
adalah
serangkaian kegiatan
usaha
yang
memberikan nilai tambah bagi produk dan jasa yang dijual kepada konsumen untuk penggunaan pribadi atau keluarga mereka. Selanjutnya manajemen ritel adalah pengaturan keseluruhan
faktor-faktor
yang
berpengaruh
dalam
perdagangan ritel, yaitu perdagangan langsung barang dan jasa kepada konsumen (Levy dan Weitz, 2004). Lebih lanjut lagi, Rabolt dan Miller (2009) menyatakan bahwa ada empat faktor yang memengaruhi manajemen ritel, yaitu: Place, Price, Product, dan Promotion. Place berkaitan dengan tempat dimana peritel menjalankan usahanya seharihari. Price berkaitan dengan nilai suatu barang atau jasa yang diukur dengan sejumlah uang. Product berkaitan dengan tawaran manfaat (barang atau jasa) apa yang ditawarkan oleh peritel kepada konsumen.Sedangkan Promotion berkaitan
13
dengan bagaimana suatu produk akan dikenalkan ke pasar agar konsumen tergerak untuk membelinya. Karakteristik dasar ritel dapat dipergunakan sebagai dasar mengelompokkan jenis ritel. Terdapat tiga karakteristik dasar (Levy dan Weitz, 2004), yaitu (1) pengelompokkan berdasarkan
unsur-unsur
yang
digunakan
ritel
untuk
memuaskan kebutuhan konsumen. (2) Pengelompokkan berdasarkan sarana atau media yang digunakan dan (3) pengelompokkan berdasarkan kepemilikan. Rabolt dan Miller (2009) membagi ritel menjadi 2 jenis, yaitu ritel produk dan ritel jasa. Ritel jasa merupakan ritel yang memfokuskan usahanya pada bidang jasa, seperti persewaan, reparasi, ahli kecantikan dan lain-lain. Sedangkan ritel produk merupakan ritel yang memfokuskan usahanya pada jual beli barang.
2.2.2 Perilaku Konsumen Perilaku konsumen adalah proses yang dilalui oleh seseorang
dalam
mencari,
membeli,
menggunakan,
mengevaluasi, dan bertindak pasca konsumsi produk, jasa, maupun ide yang diharapkan bisa memenuhi kebutuhannya (Schiffman dan Kanuk, 2000). Dengan kata lain, perilaku konsumen merupakan studi tentang bagaimana pembuat keputusan (individu, kelompok atau organisasi) membuat keputusan-keputusan
14
pembelian
suatu
produk
dan
mengkonsumsinya (Prasetijo dan Ihalauw, 2005). Selanjutnya, Schiffman dan Kanuk (2000) kembali menjabarkan bahwa studi perilaku konsumen merupakan pembelajaran tentang bagaimana masing-masing individu membuat keputusan dalam membelanjakan sumber dayanya (uang, waktu, tenaga) melalui proses pemecahan masalah yang mengacu pada tindakan bijaksana dan bernalar yang dijalankan untuk menghasilkan pemenuhan kebutuhan dan keinginan. Perilaku konsumen terdiri dari beberapa tahap. Tahap pertama berupa tahap perolehan (acquisition) ketika konsumen mencari (searching) dan membeli (purchasing). Tahap kedua adalah tahap konsumsi (consumption), yaitu saat konsumen menggunakan (using) dan mengevaluasi (evaluating). Tahap ketigaadalah tindakan pasca beli (disposition), terkait dengan apa yang dilakukan oleh konsumen setelah produk itu digunakan atau dikonsumsi. Sebab itu, semua faktor internal dan eksternal yang memengaruhi seseorang dalam membuat keputusan beli, mengkonsumsi dan membuangnya, menjadi aspek-aspek di dalam perilaku konsumen. Dalam bidang ritel, perilaku positif dari konsumen mengindikasikan bahwa pemasar telah mamapu memuaskan kebutuhan atau keinginan konsumen, baik melalui produk yang dijual ataupun pelayanan yang diberikan (Dongyan & Xuan, 2008). Perusahaan atau peritel selalu dituntut untuk mengetahui pemahaman yang lebih lengkap mengenai perilaku
15
konsumennya, karena bagi perusahaan yang terpenting adalah bagaimana memahami keinginan dan kebutuhan konsumen, serta bagaimana pihak manajemen dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen, sehingga konsumen terpuaskan dan pada akhirnya terbentuk loyalitas konsumen. Memuaskan keinginan dan kebutuhan konsumen mobil bukan pekerjaan yang mudah karena banyak hal yang harus diperhatikan, seperti citra merek, harga, kualitas produk, pelayanan karyawan, kenyamanan dari kantor dealer, dan lainlain (Dongyan & Xuan, 2008). Dengan memahami perilaku konsumen, maka perusahaan dapat memenuhi keinginan dan kebutuhan mereka di pasar otomotif.
2.2.3 Persepsi Dalam kehidupan sosial akan selalu terjadi proses komunikasi baik dari antara individu ke suatu kelompok atau dari satu kelompok ke kelompok yang lain. Persepsi adalah proses dimana seorang individu memilih, merumuskan dan menafsir informasi untuk menciptakan suatu gambar mengenai dunia (Kotler dan Keller, 2006). Lalu Solomon (2011) menjelaskan persepsi sebagai proses dimana seseorang menyeleksi, mengorganisir dan mengartikan informasi yang diterimanya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa persepsi adalah cara pandang seseorang terhadap dunia.
16
Persepsi dibentuk oleh karakteristik dari stimuli, hubungan stimuli dengan sekelilingnya dan kondisi-kondisi di dalam tubuh kita sendiri (Setiadi, 2006). Dengan demikian persepsi dapat berbeda-beda antara masing-masing individu dalam menerangkan objek yang sama. Di dalam pemasaran, persepsi merupakan suatu hal yang penting dibandingkan dengan sebuah realita, karena persepsi dapat mengakibatkan perilaku nyata seseorang. Lamb et al (2001) membagi persepsi menjadi tiga, yaitu: (1) persepsi selektif dimana seseorang terlibat dengan berbagai rangsangan yang banyak setiap harinya, karena seseorang tidak mungkin dapat menanggapi semua rangsang itu, maka sebagian besar rangsangan akan disaring melalui sebuah proses yang dinamakan perhatian selektif. Selanjutnya ada (2) distorsi selektif, yang merupakan kecenderungan seseorang untuk merubah informasi menjadi bermakna pribadi dan mengintepretasikan informasi itu dengan cara yang akan mendukung pra-konsepsi mereka. Terakhir adalah (3) retensi selektif, yang merupakan kecenderungan bahwa seseorang akan melupakan apa yang mereka tidak yakini. Seseorang cenderung mengingat hal-hal baik yang disebut tentang produk yang kita sukai dan melupakan hal-hal baik yang disebutkan tentang produk kompetitor.
2.2 Variabel dalam Penelitian
17
2.2.1 Minat Beli Ulang Minat
merupakan
pernyataan
sikap
mengenai
bagaimana seseorang berperilaku di masa yang akan datang (Söderlund dan Öhman, 2003). Selanjutnya Cronin et al (2000) menjelaskan bahwa minat beli ulang pada dasarnya adalah perilaku konsumen dimana konsumen memberi respon positif terhadap kualitas pelayanan dan produk dari suatu perusahaan, dan
berminat
melakukan
kunjungan
kembali
atau
mengkonsumsi kembali produk dari perusahaan tersebut. Minat beli ulang juga dijelaskan sebagai suatu komitmen konsumen yang terbentuk setelah konsumen melakukan pembelian barang atau jasa. Komitmen ini timbul karena kesan positif konsumen terhadap suatu merek, dan konsumen merasa puas atas pembelian tersebut (Hicks et al, 2005). Minat beli dengan mengacu pada pendapat Doods (dalam Sutantio, 2004) adalah kemungkinan pembeli berminat untuk membeli kembali suatu produk di masa depan. Sehingga berdasarkan penjelasanpenjelasan sebelumnya dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa minat beli ulang merupakan minat konsumen untuk membeli kembali suatu produk atau jasa dari suatu perusahaan di masa depan. Minat beli ulang muncul karena adanya pengalaman positif dari konsumen ketika menggunakan suatu produk atau jasa. Konsumen yang puas terhadap manfaat dari suatu produk atau jasa cenderung memiliki keinginan untuk menggunakan
18
kembali produk atau jasa tersebut di masa depan. Selain itu minat beli ulang juga bisa muncul karena pengaruh dorongan lingkungan sosial dan dorongan keadaaan karena tidak ada pilihan lain (Bojei & Hoo, 2008).
2.2.2Citra Merek Biel
(1992)
menjelaskan
citra
merek
sebagai
sekelompok atribut dan asosiasi yang terhubung pada konsumen melalui nama merek. Senada dengan definisi sebelumnya, Keller (1993) mendefinisikan citra merek sebagai serangkaian persepsi yang tercermin melalui asosiasi merek di dalam pikiran konsumen. Sedangkan Kotler (2001), citra merek merupakan sejumlah keyakinan tentang merek. Dapat disimpulkan bahwa citra merek adalah serangkaian keyakinan yang konsumen miliki dari sebuah merek. Citra merek dapat diukur melalui dimensi-dimensi yang dimiliki berdasarkan manfaat yang dirasakan oleh konsumen. Dimensi-dimensi manfaat citra merek tersebut adalah: (1) dimensi fungsional yang merujuk pada manfaat intrinsik dari konsumsi produk atau jasa sesuai dengan atribut produk. (2) Dimensi simbolis merupakan kebutuhan dasar untuk memperoleh persetujuan sosial atau ekspresi pribadi, pada dasarnya berhubungan dengan atribut non-produk. (3) Dimensi pengalaman berkaitan dengan perasaan yang muncul
19
ketika mengkonsumsi suatu produk atau jasa dan terkait dengan atribut produk (Keller, 1993). Secara keseluruhan, citra merek dapat menghasilkan nilai dalam hal membantu konsumen untuk memproses informasi, membedakan merek, menghasilkan alasan untuk membeli, memberikan perasaan puas, dan menyediakan dasar untuk ekstensi (Aaker, 1991). Berdasarkan manfaat yang dapat diciptakan oleh citra merek maka pemasar perlu minciptakan citra yang tepat untuk mereknya. Untuk menciptakan citra merek, pemasar perlu menghubungkan merek dengan suatu citra yang spesifik dan secara konsisten memperkuat hubungan tersebut melalui tindakan bauran pemasaran (marketing mix) secara berkelanjutan untuk menegaskan posisi merek di dalam benak konsumen (Tsai, 2004). Menciptakan dan memelihara citra merek merupakan bagian penting dari program pemasaran suatu perusahaan (Roth, 1995) dan strategi branding (Aaker, 1991 dan Keller, 1993). Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami
perkembangan
pembentukan
citra
dan
konsekuensinya seperti kepuasan dan loyalitas.
2.2.3 Kualitas Produk Kualitas adalah penilaian atas keunggulan dan superioritas produk oleh konsumen (Zeithaml, 1988). Jalilvand et al (2011) melanjutkan bahwa kualitas produk harus diukur
20
melalui persepsi kualitas dari sisi konsumen, karena kualitas produk dari sisi konsumen bukan merupakan gambaran nyata kualitas dari suatu produk, melainkan berdasarkan persepsi konsumen atas evaluasinya sendiri. Li (2012) menjelaskan bahwa kualitas produk sebagai suatu persepsi konsumen atas kualitas melalui nilai-nilai sosial. Dapat disimpulkan dari uraian-uraian di atas bahwa persepsi kualitas merupakan persepsi subjektif konsumen terhadap kualitas dari suatu produk. Rangkuti (2002) mendefinisikan persepsi kualitas sebagai persepsi konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa, berkaitan dengan manfaat yang diharapkan. Kemudian Tjiptono dan Chandra (2008) menjelaskan bahwa kualitas yang dipersepsikan terdiri atas dua dimensi utama, yaitu kualitas teknis dan kualitas fungsional. Kualitas teknis berkaitan dengan output manfaat dari produk ang dipersepsikan konsumen. Sedangkan kualitas fungsional berkaitan
dengan
kualitas penyampaian
manfaat
atau
menyangkut proses transfer manfaat dari produsen kepada konsumen. Persepsi kualitas sendiri tidak hanya diciptakan melalui kualitas merek yang tampak secara fisik, seperti keandalan atau kinerja, tetapi juga dibentuk oleh beberapa dimensi lain, seperti asosiasi merek (Rahmawati, 2002).
21
2.2.4 Kualitas Layanan Kualitas layanan dijelaskan oleh Tjiptono (2012) sebagai
penilaian
konsumen
atas
keunggulan
atau
keistimewaan layanan dari suatu produk atau jasa secara menyeluruh. Kualitas layanan dipandang sebagai salah satu komponen penting perusahaan untuk mendatangkan konsumen baru dan mengurangi kemungkinan pelanggan lama berpindah ke perusahaan lain (Lovelock dan Wright, 2007). Riset kualitas layanan didominasi oleh instrumen SERVQUAL yang didasarkan atas model kesenjangan yang dikembangkan oleh Parasuramanet al (1988). Model tersebut menjelaskan bahwa kualitas layanan merupakan perbedaan skor antara persepsi yang dirasakan konsumen dengan harapan yang muncul. Parasuraman
et
al
(1998) menjelaskan bahwa
konsumen akan menilai kualitas jasa melalui lima dimensi pelayanan, yaitu: (1) Tangibles yaitu hal-hal yang terkait fasilitas fisik, peralatan penunjang, dan penampilan para pegawai. (2) Realibility yaitu kemampuan untuk memberikan secara tepat dan benar jenis layanan yang telah dijanjikan. (3) Responsiveness adalah kesadaran untuk bergerak cepat dalam menolong konsumen dan memberikan layanan yang tepat waktu. (4) Assurance adalah pengetahuan, kepercayadirian dan kesopanan dari pegawai dan kemampuan mereka untuk dapat dipercaya. Dimensi terakhir adalah (5) Empathy yang
22
merupakan
kemampuan
pegawai
perusahaan
untuk
memberikan perhatian dan kepedulian individu secara khusus kepada konsumen.
2.2.5 Nilai Jual Kembali Suatu produk dibeli oleh konsumen tidak hanya dengan maksud untuk dipergunakan sehari-hari semata, akan tetapi terkadang digunakan sebagai investasi yang mana akan dijual kembali suatu saat karena ada alasan tertentu. Dongyan dan Xuan (2008) menjelaskan nilai jual kembali sebagai harga dari suatu produk setelah dibeli dari produsen ketika dijual kembali oleh konsumen beberapa saat kemudian. Konsumen produk mobil cenderung mempertimbangkan dan membandingkan nilai jual kembali ketika hendak membeli mobil. Nilai jual kembali suatu produk akan menjadi tinggi apabila didukung oleh layanan purna jual yang baik, karena itu perusahaan otomotif berusaha meningkatkan nilai jual kembali produknya melalui penyediaan jasa layanan servis dan suku cadang asli dalam jumlah dan waktu yang tepat (Sharma et al, 2011).
2.2.6 Reputasi Perusahaan Alesandari
(2006)
menegaskan
bahwa
reputasi
perusahaan berkaitan erat dengan dengan kinerja merek produk dan keuangan perusahaan. Reputasi perusahaan adalah suatu konsep yang menyasar pada citra dari perusahaan dan penilaian
23
dari pihak luar terhadap kualitas dan kinerja suatu perusahaan (Beck dan Franke, 2008). Reputasi perusahaan yang baik dapat meningkatkan kepercayaan konsumen dalam mengkonsumsi produk atau jasa, sehingga reputasi merupakan faktor strategis yang dapat meningkatkan profit (Wang et al, 2006). Dowling (2001) menyatakan bahwa membangun reputasi perusahaan yang hebat harus dimulai dari pucuk pimpinan perusahaan. Pimpinan puncak harus mampu membentuk visi dan strategi dan menjadikannya budaya dalam organisasi. Membangun reputasi perusahaan memerlukan komitmen jangka panjang. Martin (2007) menegaskan bahwa organisasi harus mampu menyeimbangkan jati diri perusahaan yang kuat dan citra perusahaan yang kuat agar tercipta reputasi perusahaan yang kuat pula. Sebuah reputasi yang buruk akan menurunkan nilai produk (Abdi, 2012). Reputasi perusahaan merupakan kekayaan yang sangat bernilai. Dowling (2001) menjelaskan beberapa manfaat sebuah reputasi perusahaan yang bagus untuk perusahaan, yaitu: (1) sebagai tambahan nilai ekstra secara psikologis pada produk yang dihasilkan oleh perusahaan. Mengurangi resiko persepsi negatif konsumen pada saat membeli sebuah produk. (2) Membantu konsumen dalam pemilihan produk pada saat suatu produk dipersepsikan memiliki manfaat yang sama. (3) Meningkatkan kepuasan kerja karyawan. (4) Membantu perusahaan untuk mendapatkan karyawan berkualitas pada saat
24
perekrutan karyawan baru. (5) Meningkatkan efektivitas periklanan dan kekuatan penjualan. (5) Menyediakan akses pada layanan dari penyedia jasa professional terbaik. (6) Membantu mendapatkan modal dari pasar saham. (7) Meningkatkan posisi tawar dalam jalur perdagangan. (8) Menjadi pembeda dibandingkan kompetitior. (9) Mendukung pengenalan dari produk baru. Dowling (2001) kembali menjelaskan bahwa terdapat 3 dimensi pada reputasi perusahaan, yaitu (1) kualitas produk yang menjelaskan bahwa perusahaan selalu mempertahankan kualitas produk dan jasanya. (2) Inovasi produk yang menjelaskan bahwa perusahaan selalu berinvoasi sesuai dengan kebutuhan konsumennya. Dimensi terakhir adalah (3) kekuatan keuangan perusahaan yang menjelaskan bahwa perusahaan menunjukkan kekuatan keuangannya melalui laporan keuangan yang dipublikasikan kepada umum.
2.2.7 Kepuasan Konsumen Kepuasan berasal dari bahasa latin “satis”, yang berarti cukup dan secara pasti memenuhi harapan, kebutuhan, atau keinginan, dan tidak menimbulkan keluhan (Bloemer dan Pauwels, 1998). Lebih lanjut Tjiptono (1997) mengemukakan bahwa kepuasan konsumen merupakan pengalaman suatu tanggapan emosional terhadap pengalaman mengkonsumsi produk atau jasa. Pada lain kesempatan Kotler (2000)
25
menjelaskan bahwa kepuasan konsumen merupakan penilaian dari kesepadanan kinerja yang diberikan oleh sebuah produk dengan harapan pembeli. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kepuasan konsumen merupakan respon penilaian yang dilakukan konsumen terhadap produk atau jasa yang diterimanya. Wicaksono dan Ihalauw (2005) menjelaskan bahwa kepuasan konsumen merupakan kondisi atau perasaan senang yang dialami oleh konsumen karena harapannya terpenuhi oleh kinerja dari suatu produk atau jasa. Kinerja merupakan fakta yang diterima oleh konsumen mengenai suatu produk sedangkan harapan merupakan keinginan dari konsumen terhadap suatu produk yang digunakan. Maka dapat disimpulkan bahwa kepuasan konsumen merupakan rasio antara harapan konsumen dibandingkan dengan kinerja suatu produk atau jasa atau dapat diinterpretasikan melalui model berikut: Satisfaction =
𝑃𝑒𝑟𝑓𝑜𝑟𝑚𝑎𝑛𝑐𝑒 𝐸𝑥𝑝𝑒𝑐𝑡𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛
Bila kinerja produk atau jasa setara dengan harapan maka konsumen akan merasa puas, tetapi apabila kinerja produk atau jasa di bawah harapan maka konsumen akan merasa kecewa. Konsumen akan merasa sangat puas (delight) apabila kinerja produk atau jasa melebihi harapan. Kotler dan Keller (2009) berpendapat bahwa terdapat sejumlah metode untuk mengukur kepuasan konsumen, yaitu; survey, analisa tingkat kehilangan konsumen dan pembelanja
26
misterius. Selanjutnya dalam penelitian ini metode yang akan digunakan adalah survey, karena dapat mengukur tingkat kepuasan konsumen secara langsung.
2.3 PerumusanProposisi 2.3.1 Kaitan
antara
Citra
Merek
dan
Kepuasan
Konsumen Na et al (1999) mengungkapkan bahwa guna mengukur citra merek perlu diteliti melalui manfaat yang dirasakan oleh konsumen berdasarkan dimensi-dimensi citra merek. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa citra merek berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan konsumen (Nguyen dan LeBlanc, 1998; Suhartanto dan Kandampully, 2000; Koo, 2003). Nguyen dan LeBlanc (2002) menjelaskan bahwa citra merek yang baik merupakan perangkat yang kuat bukan hanya untuk menarik konsumen melainkan juga dapat memperbaiki sikap dan kepuasan konsumen terhadap produk atau perusahaan. Citra merek dibentuk dari akumulasi nilai-nilai manfaat yang ada pada suatu merek sehingga mampu membentuk opini publik yang luas dan abstrak. Kemudian citra merek yang baik juga merupakan bagian dari competitive advantage yang dapat memengaruhi kepuasan konsumen ketika mengkonsumsi suatu produk atau jasa (Dowling, 2001). Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa citra merek berpengaruh positif dan signifikan terhadap
27
kepuasan konsumen. Oleh karena itu, dapat ditarik suatu proposisi sebagai berikut: P1: “Semakin tinggi citra merek, maka semakin tinggi tingkat kepuasan konsumen”.
2.3.2 Kaitan antara Kualitas Produk dan Kepuasan Konsumen Pawitra (1995) mengemukakan bahwa kualitas dalam pandangan konsumen mempunyai ruang lingkup yang tersendiri dan berbeda dengan kualitas dalam pandangan produsen ketika mengeluarkan sebuah produk yang biasa dikenal dengan kualitas sebenarnya. Kualitas dalam pandangan konsumen lebih merupakan respon subjektif konsumen terhadap fenomena produk sehingga lebih cenderung subjektif. Persepsi konsumen atas kualitas merupakan dasar fundamental bagi seluruh aktivitas pemasaran dan salah satu motivasi utama konsumen melakukan pembelian (Ariningsih, 2010). Hasil evaluasi konsumen atas suatu kualitas dari produk atau jasa kan mengarah pada kepuasan ataupun ketidakpuasan konsumen (Bloemer et al, 1998). Hal ini menunjukkan bahwa secara
teoritis
maupun
empiris,
kepuasan
konsumen
dipengaruhi oleh persepsi kualitas. Persepsi kualitas juga memberikan kontribusi pada perbaikan kepuasan konsumen (Fornell et al, 1996).
28
Pendapat di atas juga didukung oleh hasil penelitian dari Lin (2003), Yu et al (2005) dan Alfonsius (2011) yang menemukan bahwa kualitas produk memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan konsumen. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kualitas produk berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan konsumen. Oleh karena itu, dapat ditarik suatu proposisi sebagai berikut: P2: “Semakin tinggi kualitas produk, maka semakin tinggi tingkat kepuasan konsumen.”
2.3.3 Kaitan antara Kualitas Layanan dan Kepuasan Konsumen Kualitas layanan merupakan pemenuhan dari harapan konsumen atau kebutuhan konsumen yang membandingkan antara hasil dengan harapan dan menentukan apakah konsumen
sudah
menerima
layanan
yang
berkualitas
(Parasuraman et al, 2001). Apabila terjadi tuntutan dari parakonsumen maka konsumen berharap perusahaan dapat memberikan pelayanan berupa jawaban yang diberikan secara ramah, cepat, dan tepat. Untuk produk yang membutuhkan jasa pelayanan fisik seperti mobil, maka komponen pelayanan menjadi komponen yang kritis dari nilai (Tjiptono, 2002).
29
Menurut Liu (2005) terdapat pengaruh yang positif signifikan
antara
kepuasan
konsumendengan
kualitas
pelayanan di setiap tingkat pemisahan dari indikasi selanjutnya bahwa masing-masing sub divisi yaitu mengambil pengertian sebagai aspek penting dari kualitas pelayanan. Sutarso (1998) dan Mulyono et al (2011), dengan studinya mengenai kepuasan konsumen membuktikan bahwa terdapat pengaruh antara kualitas yang dirasakan dan kepuasan. Pelayanan yang berkinerja tinggi adalah pelayanan yang mampu melebihi harapan dari konsumen. Peneilitan Bitner et al (2007) membuktikan bahwa kepuasan konsumen ditentukan oleh penilaian konsumen terhadap kualitas pelayanan yang diberikan perusahaan. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kualitas layanan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan konsumen. Oleh karena itu, dapat ditarik suatu proposisi sebagai berikut: P3: “Semakin tinggi kualitas layanan, maka semakin tinggi tingkat kepuasan konsumen.”
2.3.4 Kaitan antara Nilai Jual Kembali dan Kepuasan Konsumen Dongyan dan Xuan (2008) menjelaskan nilai jual kembali sebagai manfaat dari suatu produk setelah dibeli dari produsen ketika dijual kembali oleh konsumen beberapa saat
30
kemudian. Suatu produk terkadang dibeli oleh konsumen sebagai keputusan investasi untuk dijual kembali di masa yang akan datang. Jenis produk yang sering dijadikan aset investasi adalah rumah, ruko, tanah, motor, dan mobil. Pembeli saat ini cenderung memikirkan nilai jual kembali dari produk yang akan mereka beli, khususnya bila produk tersebut berharga mahal. Apabila nilai jual kembalinya relatif rendah atau jatuh tentu saja akan mengecewakan konsumen. Hal ini akan membuat konsumen cenderung memilih produk dari merek yang diyakininya tidak akan mengalami hal tersebut. Produsen tentu saja memahami apa yang dibutuhkan oleh konsumen, sehingga berupaya agar produknya memiliki nilai jual kembali yang tinggi (Alaras, 2012). Sharma et al (2011) menjelaskan bahwa salah satu cara perusahaan otomotif untuk membuat produknya memiliki nilai jual kembali yang tinggi adalah dengan memberikan layanan purna jual, baik melalui layanan servis ataupun ketersediaan suku cadang kendaraan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh antara nilai jual kembali dengan kepuasan konsumen produk otomotif di Indonesia. Pernyataan di atas didukung oleh hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Dongyan dan Xuan (2008), Megantoro (2010), Sharma et al (2011) dan Alaras (2012) menemukan bukti empiris bahwa nilai jual kembali
31
berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan konsumen. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa nilai jual kembali berpengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan konsumen. Oleh karena itu, dapat ditarik suatu proposisi sebagai berikut: P4: “Semakin tinggi nilai jual kembali suatu produk, maka semakin tinggi tingkat kepuasan konsumen.”
2.3.5 Reputasi Perusahaan Memoderasi Kaitan antara Citra Merek dan Kepuasan Konsumen Konsumen di Indonesia pada umumnya memiliki telah memiliki pengalaman dengan produk yang dibuat oleh perusahaan yang bereputasi bagus. Alessandri (2006) menyatakan bahwa reputasi perusahaan dan strategi bisnis berperan penting dalam strategi pemerekan suatu produk atau jasa. Perusahaan dengan reputasi bagus akan mendongkrak citra merek dari produk atau jasa yang dijual. Aktivitas pemasaran dari perusahaan dengan reputasi bagus juga akan mendapatkan reaksi positif dari konsumen (Abdi, 2012). Hal ini juga akan berdampak pada kepuasan konsumen secara langsung, karena dipandang akan meningkatkan pengaruh citra merek. Maka berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan
32
bahwa
persepsi
konsumen
pada
reputasi
perusahaan akan memoderasi pengaruh citra merek terhadap kepuasan konsumen. Oleh karena itu, diajukan proposisi sebagai berikut: P5: ”Persepsi konsumen terhadap reputasi perusahaan memoderasi pengaruh citra merek terhadap kepuasan konsumen.”
2.3.6 Reputasi Perusahaan Memoderasi Kaitan antara Kualitas Produk dan Kepuasan Konsumen Konsumen tentu saja mendambakan kualitas produk yang dibelinya memiliki kualitas yang bagus. Riset telah membuktikan bahwa kualitas produk memengaruhi kepuasan konsumen, karena manfaat produk tersebut dievaluasi oleh konsumen secara langsung (Lin (2003); Yu et al (2005); Alfonsius (2011). Salah satu metode menciptakan reputasi perusahaan yang bagus adalah dengan memproduksi produk dengan kualitas tinggi. Alhasil perusahaan dengan reputasi bagus selalu diidentikan dengan produk-produk berkualitas tinggi pula (Beck dan Franke, 2008). Berdasarkan hal tersebut maka diduga reputasi perusahaan memoderasi kaitan antara kualitas produk dengan kepuasan konsumen. Oleh karena itu, diajukan proposisi sebagai berikut: P6: ”Persepsi konsumen terhadap reputasi perusahaan memoderasi pengaruh kualitas produk terhadap kepuasan konsumen.”
33
2.3.7 Reputasi Perusahaan Memoderasi Kaitan Kualitas Layanan dan Kepuasan Konsumen Memberikan kualitas layanan yang prima merupakan salah
satu
upaya
meningkatkan
yang
kepuasan
ditempuh konsumen.
perusahaan Riset
juga
untuk telah
membuktikan pengaruh kualitas layanan terhadap kepuasan konsumen (Sutarso, 1998 dan Liu, 2005). Melalui kualitas layanan, konsumen dapat menilai kinerja perusahaan dan mengevaluasinya sehingga konsumen dapat merasa puas atau tidak (Tjiptono, 2012). Perusahaan dapat memiliki reputasi yang bagus juga ditunjang oleh bagaimana perusahaan itu mampu melayani kebutuhan atau keinginan konsumen secara optimal (Beck dan Franke, 2008), hasilnya adalah ketika perusahaan memiliki reputasi yang bagus maka konsumen akan berpresepsi bahwa kualitas layanan perusahaan juga tidak kalah bagus. Oleh karena itu diduga bahwa kualitas layanan akan memoderasi pengaruh kualitas layanan terhadap kepuasan konsumen. Dengan kata lain, diajakukan prosisi sebagai berikut: P7: “Persepsi konsumen terhadap reputasi perusahaan memoderasi pengaruh kualitas layanan terhadap kepuasan konsumen.”
34
2.3.8 Reputasi Perusahaan Memoderasi Kaitan Nilai Jual Kembali dan Kepuasan Konsumen Konsumen mobil di Indonesia cenderung lebih memilih produk yang memiliki nilai jual kembali yang tinggi, karena berpikir bahwa membeli mobil merupakan salah satu bentuk investasi. Salah satu penyebab tingginya nilai jual kembali dari produk mobil adalah jaminan kualitas purna jual yang prima, kesediaan suku cadang dan layanan servis yang ada di berbagai daerah (Sharma et al, 2011). Perusahana otomotif yang mempu menyediakan layanan yang handal akan dipandang oleh konsumen memiliki reputasi perusahaan yang bagus (Beck dan Franke, 2008). Hal ini tentu saja akan membuat konsumen lebih memilih produk mobil yang dijual oleh perusahaan bereputasi bagus karena konsumen ingin produk mobil yang mereka beli memiliki nilai jual kembali yang tinggi di pasar mobil bekas. Konsumen akan kecewa apabila nilai jual kembali produk mobil yang mereka beli dinilai rendah oleh pasar. Oleh karena itu diduga bahwa persepsi konsumen tentang reputasi perusahaan akan memoderasi pengaruh nilai jual kembali terhadap kepuasan konsumen. Dengan kata lain, diajakukan prosisi sebagai berikut: P8: “Persepsi konsumen terhadap reputasi perusahaan memoderasi pengaruh nilai jual kembali terhadap kepuasan konsumen”
35
2.3.9 Kaitan antara Kepuasan Konsumen dan Minat Beli Ulang Rust dan William (1994) dalam suatu kesempatan menjelaskan bahwa kepuasan konsumen yang didasari pada pengalaman positif terhadap suatu produk atau jasa dapat menimbulkan minat dan komitmen dari konsumen untuk melakukan pembelian ulang di masa depan. Pendapat tersebut didukung oleh Kotler (1997) yang pada suatu kesempatan berbeda, mengungkapkan bahwa pemenuhan harapan akan menciptakan kepuasan bagi konsumen. Konsumen yang terpuaskan akan menjadi konsumen, dan kemudian mereka akan: (1) melakukan pembelian ulang, (2) mengatakan hal-hal yang baik tentang perusahaan kepada orang lain, (3) kurang memperhatikan merek ataupun iklan produk pesaing, dan (4) membeli produk lain dari perusahaan yang sama. Penjelasanpenjelasan tersebut juga sejalan dengan pendapat Sutanto (2008) yang menyatakan bahwa hasil evaluasi konsumen pada produk atau jasa yang dibelinya akan mengarah pada kepuasan (satisfaction)
ataupun
ketidakpuasan
(dissatisfaction)
konsumen, selanjutnya kepuasan dapat menimbulkan loyalitas konsumen, dan dapat mendorong konsumen untuk melakukan pembelian ulang pada produk dan jasa perusahaan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hicks etal (2005), He et al (2008), Adistian (2010) dan Institute of Customer
36
Service (2012) juga mendukung penjelasan di atas karena kepuasan konsumen terbukti memengaruhi minat beli ulang konsumen. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kepuasan konsumen berpengaruh positif dan signifikan terhadap minat beli ulang. Oleh karena itu dapat ditarik suatu proposisi sebagai berikut: P9: “Semakin tinggi kepuasan konsumen, maka semakin tinggi tingkat minat beli ulang.” 2.4 Pengembangan Model Berdasarkan hasil landasan teori dan rumusan hipotesa di atas maka dapat dibuat sebuah model sebagai kerangka pemikiran teoritis untuk menjawab masalah penelitian sebagai berikut:
37
Citra Merek
P1 Kualitas Produk
Kualitas Layanan
P2 Kepuasan Konsumen
P3
P4 Nilai Jual Kembali
P7 P8 P5
P6
Reputasi Perusahaan
38
P9
Minat Beli Ulang