BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
II.1.
Landasan Teori
II.1.1. Pengungkapan Lingkungan Ferreira (2004) menyatakan bahwa persoalan konservasi lingkungan merupakan tugas setiap individu, pemerintah, dan perusahaan. Sebagai bagian dari tatanan sosial, perusahaan seharusnya melaporkan pengelolaan lingkungan perusahannya dalam annual report. Namun, pelaporan lingkungan dalam annual report di sebagian besar negara termasuk Indonesia masih bersifat sukarela. Di Indonesia sendiri, kewajiban pelaporan dampak lingkungan yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup RI hanyalah merupakan pengungkapan yang bersifat non-publik (khusus terhadap insitusi pemerintah yang terkait). Alasan utama mengapa suatu pengungkapan diperlukan adalah agar pihak investor dapat melakukan pengambilan keputusan investasi. Berkaitan dengan keputusan investasi, investor memerlukan tambahan informasi yang tidak hanya berisi informasi keuangan tapi juga informasi non keuangan. Kebutuhan itu didorong oleh adanya perubahan manajerial yang menyebabkan terjadinya perluasan
kebutuhan
investor
akan
informasi
baru
yang
mampu
menginformasikan hal-hal yang bersifat kualitatif yang berkaitan dengan perusahaan. Informasi kualitatif dipandang memiliki nilai informasi yang mampu menjelaskan fenomena yang terjadi, bagaimana fenomena tersebut dapat terjadi, dan tindakan apa yang akan diambil oleh manajemen terhadap fenomena tersebut. Informasi kualitatif ini dapat diungkapkan dalam laporan tahunan
perusahaan (annual report). Pengungkapan kinerja non keuangan dalam laporan tahunan perusahaan dinyatakan oleh Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 1 (Revisi 2009) Paragraf ke – 12: “Perusahaan dapat pula menyajikan laporan tambahan seperti laporan mengenai lingkungan hidup dan laporan nilai tambah (value added statement), khususnya bagi industri dimana faktor – faktor lingkungan hidup memegang peranan penting dan bagi industri yang menganggap pegawai sebagai kelompok pengguna laporan yang memegang peranan penting.” Dalam melakukan pengungkapan atas kinerja lingkungan yang telah dilakukan, perusahaan memiliki kecenderungan untuk mengelompokkannya kedalam satu segmen/bagian dalam laporan tahunan perusahaan yakni bagian pengembangan sosial atau pertanggungjawaban sosial perusahaan (CSR). Definisi Corporate Social Responsibility (CSR) menurut ISO 26000 dalam Rosita (2010) adalah sebagai berikut : “Tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat; mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional; serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh” Menurut Suharto (2008), manfat tanggung jawab sosial perusahaan adalah: “Pertama, brand differentiation dalam persaingan pasar yang kian kompetitif, tanggung jawab sosial perusahaan bisa memberikan citra perusahaan yang khas, baik etis di mata publik yang pada gilirannya menciptakan customer loyalty. Kedua, Human Resources Program, tanggung jawab sosial perusahaan dapat membantu dalam perekrutan karyawan baru terutama yang memiliki kualifikasi tinggi. Saat wawancara, calon karyawan yang memiliki pendidikan dan pengalaman tinggi sering bertanya tentang tanggung jawab sosial perusahaan dan etika bisnis perusahaan sebelum mereka memutuskan
menerima tawaran. Bagi staf lama, tanggung jawab sosial perusahaan juga dapat meningkatkan persepsi, reputasi, dan dedikasi dalam bekerja. Ketiga, License to Operate, Perusahaan yang menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan dapat mendorong pemerintah dan publik memberi ijin bisnis karena dianggap telah memenuhi standar operasi dan kepedulian terhadap lingkungan dan masyarakat luas. Keempat, Risk Management, resiko merupakan isu sentral bagi setiap perusahaan. Reputasi perusahaan yang dibangun bertahun–tahun bisa runtuh dalam sekejap oleh skandal korupsi, kecelakaan karyawan, atau kerusakan lingkungan, Membangun budaya “doing the right thing” berguna bagi perusahaan dalam mengelola resiko – resiko bisnis”. Selain diungkapkan dalam laporan tahunan perusahaan, kinerja lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan dapat dilaporkan dalam instrumen pelaporan lain, yakni laporan keberlanjutan (CSR report). Menurut The Global Reporting Initiative, laporan keberlanjutan adalah praktek pengukuran, pengungkapan dan upaya akuntabilitas dari kinerja organisasi dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan kepada para pemangku kepentingan baik internal maupun eksternal. Laporan keberlanjutan merupakan sebuah istilah umum yang dianggap memiliki arti yang sama dengan istilah lainnya untuk menggambarkan laporan mengenai
dampak
ekonomi,
lingkungan,
dan
sosial.
Sebuah
laporan
keberlanjutan harus menyediakan gambaran yang berimbang dan masuk akal dari kinerja keberlanjutan sebuah organisasi baik kontribusi yang positif maupun negatif. Praktik pelaporan tanggung jawab perusahaan telah tumbuh secara perlahan di Asia. Indonesia adalah salah satunya, empat tahun belakangan ini CSR telah menjadi tren. Hasil survei global yang dilakukan oleh The Economist Intelligence Unit menunjukkan bahwa 85% eksekutif senior dan investor dari
berbagai macam organisasi menjadikan CSR sebagai pertimbangan utama dalam pengambilan keputusan (Warta Ekonomi, 2006). Indonesia telah selangkah lebih maju dengan mengeluarkan UndangUndang no. 40 Tahun 2007 yang mewajibkan perusahaan dengan kriteria tertentu untuk menyiapkan anggaran dan mengalokasikan dana dalam program pertanggungjawaban sosial. Dengan peraturan tersebut, Indonesia mungkin adalah negara pertama yang mewajibkan praktik pertanggungjawaban sosial. Wilmhurst (2000) menyatakan bahwa pemerintah dapat mengintervensi proses bisnis melalui regulasi kapanpun komunitas berada dalam bahaya. Masyarakat Indonesia akhir-akhir ini telah menyaksikan kerusakan alam dan polusi yang diakibatkan oleh beberapa perusahaan, seperti Inti Indo Rayon di Sumatera Utara, Newmont di Minahasa dan Lapindo Brantas di Sidoarjo. Dengan mengkaji berita terkait kewajiban penerapan pertanggungjawaban sosial, Soepriyanto dan Suryanto (2008) menemukan bahwa investor secara umum memberi respon positif atas peraturan tersebut dan menyambut perundangan tersebut sebagai sebuah kabar baik. Dalam rangka mempelajari karakteristik yang mempengaruhi perusahaan dalam melaksanakan program pertanggungjawaban sosial, ada 2 kategori tahapan yang harus dilakukan. Tahap pertama yakni dengan mengevaluasi faktor apa yang menentukan jumlah dan bentuk pengungkapan pertanggungjawaban sosial dan tahap kedua adalah mencari tahu dampak pertanggungjawaban sosial terhadap
performa
perusahaan,
terutama
dalam
profitabilitas/harga pasar saham (Kusumawati, 2007).
kaitannnya
dengan
Setelah mempelajari tahap pertama, secara umum para peneliti menemukan bahwa perusahaan-perusahaan di Indonesia memiliki komitmen yang rendah untuk melaksanakan pertanggungjawaban sosial. Henny dan Murtano (2001) menemukan bahwa pengungkapan pertangung jawaban sosial di Indonesia relatif rendah, hanya 42,32% dari keseluruhan total item dalam daftar pengungkapan pertanggungjawaban sosial. Temuan tersebut jauh dibawah level pengungkapan pertanggungawaban sosial di negara berkembang seperti yang diungkapkan oleh Guthrie dan Parker (1990). Pengungkapan tanggung jawab lingkungan perusahaan merupakan segmen atau bagian dari kesatuan sebuah laporan keberlanjutan (CSR report). The Global Reporting Initiative melalui pedoman laporan keberlanjutan menjelaskan secara lebih komprehensif mengenai pengungkapan lingkungan dalam laporan keberlanjutan. Dimensi lingkungan dipandang dari aspek pelaporan keberlanjutan adalah dimensi yang mempengaruhi dampak organisasi terhadap sistem alami hidup dan tidak hidup, termasuk ekosistem, tanah, air dan udara. Indikator pelaporan lingkungan meliputi kinerja yang berhubungan dengan input (material, energi, dan air) dan output (emisi, air limbah, dan limbah). Sebagai tambahan, indikator ini melingkupi kinerja yang berhubungan biodiversity (keanekaragaman hayati), kepatuhan lingkungan, dan informasi relevan lainnya seperti pengeluaran lingkungan (environmental expenditure) dan dampaknya terhadap produk dan jasa. Pada tahun 1970, AICPA mulai memikirkan adanya kebutuhan atas akuntansi sosial yang disatukan kedalam laporan tahunan perusahaan (Hacston &
Milne, 1996). Namun, sampai saat ini belum ada kerangka kerja akuntansi yang diterapkan secara umum terkait akuntansi sosial. Meskipun beberapa badan internasional
telah
memformulasikan
pedoman
bagi
perusahaan
untuk
melaksanakan dan melaporkan pertanggungjawaban sosial, seperti UN Compact yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan the Global Reporting Initiative (GRI) yang dikeluarkan oleh Sustainability Accounting International (SAI) tetapi belum ada aturan mutlak yang dapat dijadikan pedoman. Oleh karenanya, program CSR dan pelaporannya dipandang sebagai kegiatan pengungkapan sukarela. Pengungkapan sukarela menurut Suwardjono (2005) didefinisikan sebagai kegiatan pengungkapan yang dilakukan perusahaan di luar apa yang diwajibkan oleh standar akuntansi atau peraturan badan pengawas.
II.1.2. Teori Pengungkapan Lingkungan Teori legitimasi merupakan teori yang mendasari pengungkapan tanggung jawab sosial perusahaan. Teori legitimasi menjelaskan bahwa pengungkapan tanggung jawab sosial dilakukan perusahaan dalam upayanya untuk mendapatkan legitimasi dari komunitas dimana perusahaan itu berada yang pada akhirnya akan mengamankan perusahaan dari hal-hal yang tidak diinginkan. Lebih jauh lagi, legitimasi yang diperoleh perusahaan juga akan meningkatkan reputasi perusahaan yang pada akhirnya akan berpengaruh pada nilai perusahaan tersebut. Lindblom (1993), Dowling dan Pfefer (1975) menyatakan bahwa terdapat empat strategi legitimasi yang dapat diadopsi organisasi ketika mereka
dihadapkan pada gangguan atas legitimasinya atau jika kinerja perusahaan tidak sesuai dengan harapan dari masyarakat atau pemangku kepentingan. Dalam hal ini suatu organisasi dapat : (1) mengubah outputnya, metode atau tujuan agar sesuai dengan harapan dari masyarakat yang relevan dan kemudian mereka menginformasikan perubahan ini kepada kelompok masyarakat tersebut, (2) tidak mengubah output, metode ataupun tujuan, tapi mendemonstrasikan kesesuaian dari output, metode dan tujuan melalui pendidikan dan informasi (3) mencoba untuk mengubah persepsi dari masyarakat dengan menghubungkan organisasi dengan simbol-simbol yang memiliki status legitimasi yang tinggi dan (4) mencoba untuk mengubah harapan masyarakat dengan menyesuaikan harapan mereka dengan output, tujuan dan metode organisasi. Teori
pemangku
kepentingan
(stakeholder)
menyatakan
bahwa
perusahaan melakukan pengungkapan tanggung jawab sosial sebagai upaya untuk memenuhi harapan atau permintaan pemangku kepentingan. Roberts (1992) menyatakan bahwa tujuan utama dari perusahaan adalah untuk mencapai kemampuan
untuk
menyeimbangkan
konflik
dari
berbagai
pemangku
kepentingan dalam suatu perusahaan. Ulmann (1985) menyimpulkan bahwa pengungkapan sosial merupakan strategi yang digunakan utnuk mengelola hubungan dengan pemangku kepentingan dengan mempengaruhi tingkat Teori legitimasi dan teori pemangku kepentingan yang merupakan bagian dari teori sosio politik menyatakan hubungan yang negatif antara kinerja lingkungan perusahaan terhadap pengungkapan tanggung jawab lingkungan perusahaan.
.
Berbeda dengan teori sosio politik, teori pengungkapan sukarela
menyatakan adanya hubungan yang positif antara kinerja lingkungan dengan pengungkapan lingkungan. Konsep yang mendasari pernyataan ini adalah perusahaan yang melakukan kinerja lingkungan dengan baik akan cenderung mengungkapkan kinerja lingkungan secara lebih luas dibandingkan dengan perusahaan berkinerja lingkungan buruk. Dengan menunjukkan program dan pencapaian yang telah diraih oleh perusahaan di bidang pengelolaan lingkungan kepada masyarakat. Menurut Stigson (2002), banyak perusahaan saat ini yang telah melaksanakan program pertanggungjawaban sosial dan melaporkannya dalam laporan
tahunan.
Perusahaan
berkeinginan
untuk
berinvestasi
dalam
pertanggungjawaban sosial perusahaan dan melaporkan program yang mereka laksanakan dalam laporan tahunan, seiring keyakinan bahwa program pertanggungjawaban sosial yang dilaksanakan sejalan dengan tujuan bisnis yang ingin dicapai dan investor bereaksi positif atas program pertanggungjawaban sosial tersebut (Bird, 2007; Mackey, et.al,2007).
II.1.3. Kinerja Lingkungan Dorongan bagi perusahaan untuk melaksanakan program sosial dan lingkungan telah dimulai sejak tahun 1970 (Hines, 1991:41). Dorongan untuk melakukan kinerja lingkungan kini semakin kuat bersamaan dengan banyaknya kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh polusi, perusakan sumber daya alam, limbah berbahaya, lemahnya keamanan produk serta pelanggaran atas hakhak pekerja yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar (Gray et.al,1995).
Menurut Lankoski (2000), konsep kinerja lingkungan merujuk pada tingkat kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan. Tingkat kerusakan lingkungan yang lebih rendah menunjukkan kinerja lingkungan perusahaan yang baik. Begitu pula sebaliknya, semakin tinggi tingkat kerusakan lingkungan maka semakin buruk kinerja lingkungan perusahaan tersebut. Konsep kinerja lingkungan yang disampaikan oleh Lankoski (2000) dapat dipahami dengan cara yang lebih sederhana dalam penggambaran berikut ini. Perusahaan yang melakukan kinerja lingkungan yang baik, salah satu indikatornya dapat dilihat dari keberadaaan sistem pengolahan limbah terpadu atas sisa-sisa pengolahan pabrik. Perusahaan tersebut akan melepas lebih sedikit zat-zat berbahaya sisa produksi dalam bentuk padat maupun cair ke lingkungan sekitarnya beroperasi. Hal ini terjadi karena sistem pengelolaan limbah akan terlebih dahulu mengurai zat-zat berbahaya yang terdapat dalam sisa-sisa produksi. Sementara, perusahaan dengan kinerja lingkungan buruk akan lebih banyak melepas zat-zat beracun sisa produksi ke lingkungan tempatnya beroperasi dikarenakan minimnya atau tidak adanya sistem pengolahan limbah yang memadai. Oleh karenanya, Lankoski (2000) memaparkan konsep yang linear antara kinerja lingkungan dengan tingkat kerusakan lingkungan. Sebagai bagian dalam industri modern, penting untuk menyadari sepenuhnya bahwa isu lingkungan dan sosial juga merupakan bagian penting dari perusahaan (Pflieger et al., 2005). Lebih lanjut dalam penelitiannya, Pflieger menunjukkan bahwa usaha-usaha pelestarian lingkungan oleh perusahaan akan
mendatangkan sejumlah keuntungan, diantaranya adalah ketertarikan pemegang saham dan stakeholder terhadap keuntungan perusahaan akibat pengelolaan lingkungan yang bertanggungjawab. Hasil lain mengindikasikan bahwa pengelolaan lingkungan yang baik dapat menghindarkan perusahaan dari klaim masyarakat dan pemerintah terkait isu lingkungan serta meningkatkan kualitas produk yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan keuntungan ekonomi.
II.1.4. Teori Kinerja Lingkungan Teori keagenan (agency theory) adalah teori yang mendasari praktik bisnis perusahaan yang dipakai selama ini dan merupakan teori yang mendasari praktk pertanggungjawaban sosial (CSR). Teori ini menyatakan adanya hubungan kerja antara pihak yang memberi wewenang (prinsipal) yaitu para pemangku kepentingan dengan pihak yang menerima wewenang (agensi) yaitu manajer. Menurut Walden dan Schwartz (1997), Donaldson (1983), dan Balbanes, et.al. (1998) perusahaan beroperasi atas ijin dari pemerintah dan masyarakat yang merupakan bagian dari pemangku kepentingan dan ijin tersebut dapat ditarik jika perusahaan tidak melakukan kewajibannya terhadap pemerintah dan masyarakat salah satunya adalah kewajiban terkait pengelolaan lingkungan. Sebuah konsep yang telah berkembang mencoba untuk menyeimbangkan peran perusahaan dalam bidang ekonomi, sosial, dan lingkungan. Konsep yang lebih dikenal dengan nama triple bottom line telah diperkenalkan pertama kali oleh John Elkington pada tahun 1994. Menurut Elkington, jika ingin bertahan dalam jangka waktu yang panjang. Disamping mengejar keuntungan ekonomi
semata, perusahaan dituntut untuk memperhatikan dan terlibat dalam pemenuhan kesejahteraan pemangku kepentingan dan turut berkontribusi secara aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan. Penelitian dan teori tersebut diatas telah mematahkan fokus sempit pandangan neo klasik yang menyatakan bahwa sasaran utama manajer adalah membuat keputusan yang dapat memaksimalkan kemakmuran pemegang saham, dan membiarkan pemerintah dan pihak lain yang bertanggung jawab untuk mengelola komunitas (Friedman,1970). Maraknya kasus perusakan lingkungan yang diakibatkan perilaku tidak bertanggungjawab dunia industri telah membuka mata berbagai pihak atas pentingnya kinerja lingkungan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari kesatuan siklus operasi perusahaan. Fokus sempit perusahaan yang semata hanya mementingkan
maksimalisasi
kesejahteraan
pemegang
saham
melalui
maksimalisasi nilai saham dan mengesampingkan kepentingan pemangku kepentingan lainnya telah menjadi tidak relevan dalam kondisi saat ini. Beberapa penelitian menyatakan masyarakat memiliki ketertarikan untuk berinvestasi dalam perusahaan yang memiliki kinerja lingkungan yang baik dikarenakan tingkat tuntutan atau klaim yang mungkin timbul dari masyarakat yang lebih rendah serta kualitas produk yang lebih baik dibandingkan dengan perusahaan berkinerja lingkungan buruk.
II.1.5. Kinerja Lingkungan di Indonesia Indonesia, melalui Kementerian Negara Lingkungan Hidup memiliki perhatian yang tinggi atas kinerja lingkungan yang dilakukan oleh perusahan.
Melalui UU No. 32 Tahun 2009, Kementerian Negara Lingkungan Hidup mendefinisikan pengelolaan lingkungan hidup sebagai berikut: “Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum“ Sejak tahun 2002, Kementerian Negara Lingkungan Hidup memberikan penilaian dan penyebaran informasi tingkat kinerja penaatan masing-masing perusahaan kepada pemangku kepentingan pada skala nasional melalui sebuah Program Penilaian Kinerja Perusahaan dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPER). Tujuan penerapan PROPER adalah untuk mendorong peningkatan kinerja perusahaan dalam pengelolaan lingkungan guna mencapai peningkatan kualitas lingkungan hidup. Efek atas pengumuman PROPER kepada publik dapat berupa insentif dan disinsentif reputasi perusahaan. Insentif dan disinsentif reputasi timbul seiring dengan apresiasi yang diberikan pemangku kepentingan kepada perusahaan yang berperingkat baik dan memberikan tekanan dan atau dorongan kepada perusahaan yang belum berperingkat baik. Kriteria Penilaian Kinerja Lingkugan yang dilakukan oleh PROPER berfokus pada penilaian penataan perusahaan dalam aspek pengendalian pencemaran air, pengendalian pencemaran udara, dan pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) serta berbagai kewajiban lainnya yang terkait dengan Analisa Dampak Lingkungan (AMDAL).
PROPER pada tahun 2009-2010 kembali menyelenggarakan penilaian atas kinerja lingkungan perusahaan di Indonesia. Penilaian yang dilakukan terhadap 690 perusahaan menunjukkan peningkatan peserta sebesar 63 perusahaan atau sekitar 3% dibanding dengan pelaksanaan PROPER periode 2008-2009. Dengan jumlah peningkatan terbanyak berasal dari sektor industri manufaktur, yakni sebanyak 48 perusahaan baru. Distribusi peserta PROPER 2009-2010 berdasarkan sektor industri dapat dilihat dalam Tabel 1.1 dibawah ini.
Tabel II.1. Tabel Distribusi Peserta PROPER 2009-2010 No.
Sektor
Jumlah
1.
Manufaktur
258
2.
Agroindustri
215
3.
Pertambangan
201
4.
Kawasan Industri & Jasa Pengolah Limbah
16
TOTAL
690
Berdasarkan proses penilaian atas fokus kriteria penilaian yang diadaptasi berdasarkan Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 7 Tahun 2008 Tentang Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup (PROPER). Perusahaan yang termasuk dalam penilaian akan dikelompokkan kedalam lima peringkat warna dengan 5 kategori yang mencerminkan pencapaian perusahaan atas kinerja lingkungan yang telah dilakukan. Peringkat terbaik adalah peringkat emas dan peringkat terburuk adalah peringkat hitam dengan kriteria pemeringkatan sebagai berikut:
Tabel II.2. Tabel Kriteria Pemeringkatan PROPER Peringkat Warna Emas
Hijau
Biru
Merah
Hitam
Definisi untuk usaha dan/atau kegiatan yang telah secara konsisten menunjukkan keunggulan lingkungan (environmental excellency) dalam proses produksi dan/atau jasa, melaksanakan bisnis yang beretika dan betanggung jawab terhadap masyarakat untuk usaha dan/atau kegiatan yang telah melakukan pengelolaan lingkungan lebih dari yang dipersyaratkan dalam peraturan (beyond compliance) melalui pelaksanaan sistem pengelolaan lingkungan, pemanfaatan sumberdaya secara efisien melalui upaya 4R (Reduce, Reuse, Recycle dan Recovery), dan melakukan upaya tanggung jawab sosial (CSR/Comdev) dengan baik untuk usaha dan/atau kegiatan yang telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan dan/atau peraturan perundangundangan yang berlaku upaya pengelolaan lingkungan yang dilakukan belum sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan dalam tahapan melaksanakan sanksi administrasi untuk usaha dan/atau kegiatan yang sengaja melakukan perbuatan atau melakukan kelalaian yang mengakibatkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan serta pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku atau tidak melaksanakan sanksi administrasi
Sumber: Kementerian Negara Lingkungan Hidup (www.menlh.go.id/proper/)
Pengaplikasian kriteria penilaian tersebut kepada perusahaan peserta PROPER menunjukkan data bahwa 199 perusahan atau 29% dari keseluruhan peserta menunjukkan perilaku tidak taat sementara 491 perusahaan atau sekitar 71% telah berperilaku taat. Dengan sebagian besar perusahaan (63,04%) berada pada kriteria warna biru, yakni telah melaksanakan usaha dan/atau kegiatan yang
telah melakukan upaya pengelolaan lingkungan yang dipersyaratkan sesuai dengan ketentuan dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hasil penilaian kinerja lingkungan yang dilakukan PROPER telah memberikan gambaran atas kinerja lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan di Indonesia. Lebih lanjut, peneliti juga akan menggunakan indeks PROPER sebagai dasar penentuan tingkat kinerja lingkungan perusahaan yang akan dibahas lebih mendalam dalam desain penelitian.
II.1.6. Pendanaan Perusahaan Dalam
rangka
menjamin
proses
operasional
perusahaan
terus
berlangsung. Perusahaan selalu melakukan upaya untuk mencukupi kebutuhan dana melalui peningkatan sektor modal (menerbitkan saham) atau peningkatan sektor kewajiban perusahaan (menerbitkan obligasi atau hutang jangka panjang). Aktivitas terkait upaya perusahaan di bidang pendanaan disajikan dalam laporan arus kas perusahaan pada bagian arus kas dari aktivitas pendanaan sehingga para pengguna laporan keuangan dapat mengetahui keputusan atau langkah yang telah diambil oleh manajemen perusahaan untuk mendanai perusahaan. Menurut Frankel, McNichols, dan Wilson (1995) upaya untuk meningkatkan pendanaan yang dilakukan oleh perusahaan dapat menjadi pendorong bagi perusahaan untuk melakukan pengungkapan tanggung jawab lingkungan perusahaan secara luas. Berbagai penelitian telah menunjukkan kesimpulan yang serupa dengan Frankel, McNichols, dan Wilson (1995), yakni bahwa perusahaan yang berupaya meningkatkan sektor pendanaan baik melalui peningkatan hutang atau penerbitan ekuitas memiliki kecenderungan yang lebih
tinggi untuk melakukan pengungkapan sukarela dalam rangka menekan biaya modal menjadi lebih rendah.
II.1.7. Perputaran Aset Perputaran aset merepresentasikan kemampuan perusahaan menghasilkan laba dari setiap aset yang dimiliki oleh perusahaan. Perputaran aset adalah salah satu dasar pengukuran yang sering digunakan oleh investor dalam menilai tingkat profitabilitas. Penelitian terhadap hubungan antara profitabilitas dan pengungkapan sosial perusahaan menghasilkan kesimpulan yang sangat beragam. Penelitian Bowman dan Haire (1976) serta Preston (1978) dalam Hackston dan Milne (1996) mendukung hubungan profitabilitas dengan pengungkapan tanggung jawab social perusahaan. Sama halnya dengan Lang & Lundholm (2003) yang dalam penelitiannya telah berhasil menunjukkan bahwa perusahaan dengan performa pendapatan yang baik memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan kondisi yang baik tersebut kepada para pemangku kepentingan terutama kepada para investor di pasar finansial dengan cara meningkatkan aspek pegungkapan perusahaan. Sedangkan penelitian yang dilakukan Hackston dan Milne (1996) dan Belkaoui dan Karpik (1989) menyimpulkan bahwa profitabilitas tidak berpengaruh
terhadap
pengungkapan
tanggung
jawab
sosialperusahaan.
Penelitian yang dilakukan oleh Sembiring (2005) dan Anggraeni (2006) juga menunjukkan
hasil
bahwa
profitabilitas
pengungkapan sosial dan lingkungan perusahaan.
tidak
berpengaruh
terhadap
II.1.8. Leverage Leverage atau rasio total hutang perusahaan terhadap total aset perusahaan ini merupakan rasio yang umum digunakan dalam menilai tingkat kesanggupan perusahaan dalam menyelesaikan kewajiban jangka panjang perusahaan (solvability ratio). Semakin kecil leverage perusahaan berarti semakin baik kemampuan perusahaan dalam melunasi hutang jangka panjangnya dan menandakan bila kondisi keuangan memburuk, maka perusahaan dapat menggunakan aset yang dimilikinya untuk menyelesaikan kewajiban perusahaan. Penelitian yang dilakukan oleh Leftwich, Watts, dan Zimmerman (1981) menunjukkan korelasi antara leverage dengan pengungkapan sukarela yang dilakukan
perusahaan.
Kebutuhan
atas
informasi
meningkat
seiring
meningkatnya jumlah hutang perusahaan. Oleh karenanya, manajemen perusahaan menjadi lebih terbuka dalam memenuhi permintaan informasi yang dibutuhkan kreditor dalam rangka memfasilitasi kontrak hutang perusahaan.
II.1.9. Ukuran Perusahaan Menentukan ukuran perusahaan, dapat dilakukan dengan melakukan pengukuran atas dasar total aset, penjualan bersih, laba perusahaan, dan indikator lainnya. Dalam skripsi ini, ukuran perusahaan diukur atas dasar total aset perusahaan. Dasar total aset dipilih karena nilai total aset lebih stabil dibandingkan penjualan maupun laba perusahaan. Sehingga diharapkan dapat memberi hasil pengukuran yang lebih akurat. Ukuran perusahaan dapat mempengaruhi luas pegungkapan informasi dalam laporan keuangan. Dalam beberapa penelitian terkait pengungkapan
sukarela, variabel ukuran perusahaan telah banyak diteliti sebagai faktor pengendali perusahaan dalam melakukan pengungkapan sukarela. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Lang & Lundholm pada tahun 2003 yang mengasumsikan bahwa skala ekonomi perusahaan (ukuran perusahaan) berpengaruh pada keluasan informasi yang dilaporkan perusahaan terkait dengan aktivitas produksi yang dilakukan. Secara umum, perusahaan besar akan mengungkapkan informasi lebih banyak daripada perusahaan kecil. Dengan mengungkapkan kepedulian pada lingkungan melalui laporan keuangan, maka perusahaan diharapkan dapat terhindar dari biaya yang sangat besar akibat tuntunan masyarakat terkait aspek lingkungan. Menurut (Singhvi dan Desai, 1971) dan (Buzby, 1975), perusahaan kecil umunya berada pada situasi persaingan yang ketat. Melakukan pengungkapan secara luas membutuhkan sumber daya yang cukup besar. Selain itu, melakukan pengungkapan terlalu luas pun dapat berdampak negatif bagi perusahaan dalam persaingan
sehingga
perusahaan
kecil
cenderung
tidak
melakukan
pengungkapan seluas perusahaan besar.
II.1.10. Kebaruan Aset Seiring dengan bertambahnya usia perusahaan, aset-aset perusahaan pun turut menua dengan menunjukkan tanda-tanda penurunan produktivitas ditambah dengan akumulasi penyusutan yang dialami oleh peralatan utama perusahaan seperti mesin dan peralatan pabrik lain yang setiap tahunnya memerlukan pembaharuan demi terciptanya tingkat produktivitas perusahaan yang baik.
Pembaharuan dapat dilakukan dengan pembelian aset baru maupun melakukan upgrade atas aset-aset perusahaan. Healy dan Palepu (2001) menyatakan bahwa terdapat beberapa kritik terhadap teori pengungkapan sukarela. Kritik yang berkembang terhadap pengungkapan sukarela didasari oleh pandangan bahwa tingkat investasi perusahaan atas teknologi ramah lingkungan merepresentasikan hubungan sebab akibat dengan pengungkapan sukarela. Perusahaan dengan teknologi baru yang ramah lingkungan akan memiliki performa lingkungan yang baik. Oleh karenanya, diasumsikan bahwa perusahan memiliki kecenderungan agar para pemangku kepentingan mengetahui kinerja lingkungan perusahaan yang baik dengan cara melakukan pengungkapan sukarela. Didasari oleh penjelasan diatas, peneliti melibatkan variabel kebaruan aset sebagai variabel kontrol untuk memfasilitasi kritik yang berkembang terhadap teori pengungkapan sukarela (voluntary disclosure).
II.1.11. Intensitas Belanja Modal Belanja modal adalah pengeluaran yang dilakukan dalam rangka pembentukan modal yang sifatnya menambah aset tetap/inventaris yang memberikan manfaat lebih dari satu periode akuntansi, termasuk di dalamnya adalah pengeluaran untuk biaya pemeliharaan yang sifatnya mempertahankan atau menambah masa manfaat, meningkatkan kapasitas dan kualitas aset. Belanja modal terdiri dari belanja modal tanah, peralatan & mesin, gedung & bangunan, dan modal fisik lainnya.
Dalam skripsi ini, peneliti hanya akan memperhitungkan intensitas belanja modal peralatan dan mesin. Alasan yang mendasarinya adalah karena peralatan dan mesin adalah peralatan utama yang menunjang proses produksi perusahaan dan aset tersebut merupakan aset yang berpengaruh signifikan terhadap kinerja lingkungan perusahaan. Belanja modal mesin dan peralatan sendiri memiliki definisi sebagai pengeluaran/biaya yang digunakan untuk pengadaan/penambahan/penggantian, dan peningkatan kapasitas peralatan dan mesin serta inventaris kantor yang memberikan manfaat lebih dari dua belas bulan dan sampai peralatan dan mesin dimaksud dalam kondisi siap pakai. Variabel pengendali intensitas belanja modal dimasukkan kedalam penelitian ini untuk memfasilitasi kritik yang berkembang atas teori pengungkapan sukarela. Healy & Palepu (2001) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pengungkapan lingkungan dan intensitas belanja modal memiliki hubungan sebab akibat. Kondisi ini dilandasi oleh asumsi bahwa perusahaan yang mengeluarkan biaya untuk melakukan belanja modal terkait peralatan ramah lingkungan akan terdorong untuk mengungkapkan hal tersebut kepada para pemangku kepentingan dengan melakukan pengungkapan sukarela.
II.2.
Pengembangan Hipotesis Perusahaan dengan kinerja lingkungan yang baik tercermin dari strategi lingkungan yang proaktif, memiliki kecenderungan untuk mengungkapkan informasi lebih luas kepada investor dan pemangku kepentingan lainnya atas strategi lingkungan yang mereka terapkan secara sukarela. Perusahaan tersebut mengungkapkan tingkat performa lingkungan mereka, sesuatu yang tidak dapat
secara langsung diobservasi oleh investor dan pemangku kepentingan lainnya, melalui pengungkapan sukarela atas kinerja lingkungan yang sulit ditiru oleh perusahaan dengan tingkat kinerja lingkungan yang lemah. Melalui pelaporan tersebut, secara tidak langsung perusahaan berpotensi untuk meningkatkan nilai perusahaan seiring dengan investor yang memiliki pengetahuan atas kinerja lingkungan yang dilakukan perusahaan akan menyimpulkan bahwa potensi timbulnya kewajiban atau tuntutan atas lingkungan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan dengan performa lingkungan yang buruk. Pendukung teori pengungkapan sukarela (Dye, 1985; Preston, 1981; Verrecchia, 1983) menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki kinerja lingkungan yang baik memiliki kecenderungan melakukan pengungkapan lebih luas dalam rangka memposisikan diri mereka sebagai institusi yang memberi dampak positif terhadap masyarakat terkait aktivitas operasional perusahaan. Oleh karena itu, teori pengungkapan sukarela memprediksi hubungan positif antara kinerja lingkungan dengan tingkat pengungkapan lingkungan. Menurut teori sosio-politik, Gray,Kouhy, dan Lavers (1995) dan Lindblom (1994) berpendapat bahwa perusahaan yang legitimasi sosialnya terancam akan memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk melakukan pengungkapan
lingkungan
dalam
rangka:
(1)
mengedukasi
dan
menginformasikan kepada masyarakat mengenai perubahan aktual yang terjadi atas kinerja perusahaan, (2) mengubah persepsi mengenai kinerja perusahaan, (3) mengalihkan perhatian atas isu yang menjadi perhatian dengan menunjukkan pencapaian-pencapaian perusahan, dan (4) mencoba untuk merubah harapan masyarakat atas performa perusahaan. Menurut Patten (2002), teori sosio-politik
memprediksi hubungan yang negatif antara performa lingkungan perusahan dan tingkat pengungkapan lingkungan. Roberts (1992) sebagai pedukung teori sosio politik menyatakan bahwa tujuan utama dari perusahaan adalah untuk mencapai kemampuan untuk menyeimbangkan konflik dari berbagai pemangku kepentingan dalam suatu perusahaan. Sementara Ulmann (1985) menyimpulkan bahwa pengungkapan sosial merupakan strategi yang digunakan utnuk mengelola hubungan dengan pemangku kepentingan dengan mempengaruhi tingkat permintaan yang berasal dari pemangku kepentingan yang berbeda. Oleh karena itu, teori sosio politik memprediksi hubungan yang negatif antara performa lingkungan dengan tingkat pengungkapan lingkungan. Kedua teori diatas menyatakan pendapat yang saling bertentangan mengenai
bagaimana
kinerja
lingkungan
dapat
mempengaruhi
strategi
pengungkapan lingkungan. Oleh karenanya, hipotesis yang diajukan oleh peneliti, adalah: Ho:
Perusahaan dengan kinerja lingkungan yang baik tidak memiliki kecenderungan untuk melakukan pengungkapan lingkungan lebih luas
Ha:
Perusahaan
dengan
kinerja
lingkungan
yang
baik
memiliki
kecenderungan untuk melakukan pengungkapan lingkungan lebih luas