BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
Bab ini membahas landasan teori yang disajikan dalam beberapa bagian dan melakukan telaah terhadap penelitian sebelumnya yang relevan sebagai dasar penelitian ini. Bagian pertama mengulas berbagai isu terkait konsepsi CG, selanjutnya pada bagian ke dua akan dibahas berbagai hal terkait kinerja keuangan BUMN. Pada bagian berikutnya membahas isu yang relevan mengenai privatisasi, sementara pada bagian ke empat mengenai kerangka pemikiran, dan akan diakhiri dengan pengembangan hipotesis penelitian.
2.1. Landasan Teori Fokus penelitian ini adalah pada pengaruh karakteristik Dewan Komisaris dan indeks CG terhadap kinerja keuangan BUMN, dan perbedaan kinerja keuangan BUMN sebelum dan sesudah privatisasi. Penerapan CG diharapkan mampu melindungi kepentingan pemilik perusahaan melalui peranan Dewan Komisaris dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan mengarahkan manajemen dalam optimalisasi pencapaian kinerja perusahaan. Dengan demikian, maka penelitian ini memberikan penekanan kepada pentingnya peranan Dewan Komisaris di dalam mekanisme CG. Dalam kaitan antara pemilik (prinsipal) dan pengelola perusahaan (agen) di dalam hubungan prinsipal-agen diperlukan kekuatan penyeimbang untuk menjaga kepentingan berbagai pihak yang berkepentingan dengan perusahaan.
15
Berdasarkan teori keagenan (Jensen dan Meckling, 1976) peranan Dewan Komisaris dianggap sebagai kekuatan penyeimbang yang berada pada titik puncak pengendalian perusahaan. Penelitian ini menguji pola hubungan keagenan antara berbagai pihak dalam organisasi perusahaan BUMN dan konsekuensi dari hubungan prinsipalagen tersebut dalam kerangka CG. Berdasarkan asumsi bahwa scientific theories dapat dinilai secara obyektif dengan merujuk pada bukti empiris, maka penelitian ini menggunakan pendekatan positivistik. Di dalam positivist epistemologies pemahaman terhadap fenomena diperlukan untuk menjelaskan dan memprediksi hal yang terjadi dalam dunia sosial melalui identifikasi terhadap hubungan yang teratur dan kausal antara elemen penyusunnya (Burrel dan Morgan, 1979). Terkait ―human nature” dalam ilmu sosial, maka penelitian ini melihat manusia dan aktivitasnya dengan cara deterministic seperti yang ditentukan sepenuhnya oleh situasi atau lingkungan dimana mereka berada (Burrel dan Morgan, 1979). Dengan demikian maka penelitian ini menggunakan paradigma fungsionalis (Burrel dan Morgan, 1979) sebagai salah satu bentuk perspektif objectivist. Hal ini sejalan dengan pendapat Gioia dan Pitre (1990) yang menyatakan bahwa paradigma fungsionalis memandang struktur organisasional sebagai upaya untuk membentuk aktivitas anggota organisasi dalam jalur yang deterministic. Penelitian ini tidak melakukan penelaahan secara mendalam mengenai makna dari pengaruh CG terhadap kinerja keuangan BUMN dan privatisasi, sehingga penelitian ini tidak menggunakan paradigma interpretif. Penelitian ini juga tidak melakukan pengamatan secara mendalam mengenai latar belakang
16
historis dan sosial mengenai penerapan CG dan privatisasi BUMN di Indonesia, sehingga paradigma kritikal tidak sesuai untuk diterapkan dalam penelitian ini. Terkait paradigma positivis tersebut penelitian ini menjelaskan mengenai kinerja BUMN dan faktor apa yang menyebabkan kinerja keuangan tersebut dapat meningkat. Penelitian ini menduga bahwa CG merupakan faktor yang menyebabkan peningkatan kinerja keuangan BUMN di Indonesia. Penelitian ini tidak ditujukan untuk memprediksi besarnya peningkatan kinerja yang disebabkan oleh penerapan CG di BUMN. Penelitian ini menggunakan teori agensi yang dirumuskan oleh Jensen dan Meckling (1976), untuk menjelaskan pola hubungan antar variabel penelitian dan menemukan kesesuaian dengan fenomena di lapangan. Pemilihan agency theory didasari pada paradigma positivis yang digunakan dalam penelitian ini. Burrel dam Morgan (1979) menyatakan bahwa fenomena sosial dapat dijelaskan dengan menggunakan pola dan hubungan antar manusia. Pola tersebut selanjutnya dapat dirumuskan dalam sebuah hipotesis dan kemudian diuji, sehingga menjadi sebuah pengetahuan melalui sebuah proses kumulatif.
2.1.1. Agency Theory Berbagai pemikiran tentang CG berkembang dengan bertumpu pada agency theory yang menjelaskan bahwa pengelolaan perusahaan harus diawasi dan dikendalikan untuk memastikan bahwa pengelolaan dilakukan dengan penuh kepatuhan pada berbagai peraturan dan ketentuan yang berlaku (Bapepam-LK,
17
2006)2. Perspektif teori keagenan menjelaskan bahwa organisasi adalah legal fictions yang merupakan penghubung seperangkat kontraktual antar berbagai pihak dalam perusahaan. Persetujuan kontraktual tersebut mendeskripsikan hak dan kewajiban dari masing-masing pihak (Berglof dalam Lukviarman, 2004). Dalam teori keagenan terdapat pemisahan antara kepemilikan dan pengendalian karena pemilik modal mendelegasikan pengambilan keputusan kepada manajer dan pengendalian kepada Dewan Komisaris (Lukviarman, 2004). Agency theory merupakan teori yang menjelaskan tentang hubungan keagenan, secara tegas dijelaskan oleh Jensen dan Meckling (1976) halaman 5 sebagai berikut: “A contract under which one or more persons (the principal (s)) engage another person (the agent) to perform some service on their behalf which involve delegating some decision making authority to the agent.”
Berdasarkan definisi di atas, dapat dipahami bahwa hubungan keagenan merupakan hubungan kontraktual antara dua pihak, yaitu prinsipal (pemilik) yang terdiri dari satu atau beberapa orang dan agen sebagai pihak lainnya yang bukan merupakan pemilik perusahaan. Dalam konteks hubungan tersebut, kedua pihak sepakat bahwa prinsipal mendelegasikan kewenangan pengambilan keputusan kepada agen dan agen memberikan jasa (melakukan tindakan) demi kepentingan prinsipal. Dalam kaitan ini Fama dan Jensen (1983) lebih lanjut menjelaskan bahwa organisasi merupakan suatu bentuk hubungan kontraktual (baik tertulis maupun tidak tertulis). Berdasarkan penjelasan Jensen dan Meckling (1976) dan
2
Saat ini menjadi Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai dengan UU no. 21 Tahun 2011.
18
Fama dan Jensen (1983) di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan keagenan adalah hubungan kontraktual antara prinsipal (sebagai pemilik perusahaan yang tidak terlibat dalam kegiatan operasional perusahaan) dan agen (yang menjalankan kegiatan operasional perusahaan, namun tidak memiliki perusahaan). Aplikasi hubungan keagenan dalam organisasi BUMN, pihak yang bertindak sebagai prinsipal adalah pemerintah dan pemegang saham nonpemerintah (Setyowati, 2011), serta masyarakat (Frederick, 2011). Pemerintah disebut sebagai pemilik (acting shareholders), karena bertanggungjwab sebagai penyedia modal (capital provider). Sementara, masyarakat dalam kaitan ini dikategorikan sebagai pemilik ultimat (ultimate shareholders), karena mereka memberikan dana investasi kepada pemerintah melalui pembayaran pajak selaku tax payers (Kamal, 2011). Agen dalam organisasi BUMN adalah pihak manajemen atau pengelola (Jusmaliani, 2003 dan Peng, 2012) yang diberikan amanah untuk menjalankan aktivitas operasional perusahaan. Sesuai dengan UU PT No 40/2007 tentang Perseroan Terbatas, keberadaan Dewan Komisaris dalam perusahaan berperan sebagai perpanjangan tangan pemilik dalam melaksanakan fungsi pengawasan dan pemberian nasihat dalam perusahaan berbentuk PT di Indonesia. Menurut Almasyari (2015) pada institusi BUMN, dikenal empat jenis hubungan keagenan dalam konteks CG. Hubungan tersebut adalah sebagai berikut; (1) hubungan antara ultimate owner (masyarakat) dan pemegang saham aktual (pemerintah) (ultimate principal-actual principal relationship problem), (2) pemerintah dan Dewan Komisaris (actual principal-board relationship problem),
19
(3) pemerintah dan Direksi (actual principal-management relationship problem), serta (4) hubungan Dewan Komisaris dan Direksi (board-management relationship problem). Hubungan actual principal-board terjadi karena Dewan Komisaris diangkat dan diberhentikan oleh pemegang saham melalui RUPS. Lebih lanjut, hubungan actual principal-management relationship problem terjadi karena anggota Direksi diangkat dan diberhentikan langsung oleh pemerintah, dan hubungan board-management terjadi karena beban tugas pengawasan dan pemberian nasihat kepada Direksi yang merupakan tanggung jawab Dewan Komisaris sepenuhnya. Penyebab timbulnya masalah keagenan adalah manajemen perusahaan yang menggunakan kendali mereka atas alokasi sumberdaya perusahaan secara oportunistik atau manajemen bertindak bertentangan dengan kepentingan pemegang saham (Lazonick dan O‘Sullivan, 2000). Sementara menurut Bathula (2008) dasar pemikiran teori keagenan adalah karena manajer (agen) bertindak dan memusatkan perhatian pada kepentingan diri sendiri, sehingga kurang memberikan perhatian pada kepentingan pemegang saham (prinsipal). Terdapat dua masalah keagenan utama yang potensial terjadi dalam konteks CG secara universal. Pertama, masalah keagenan antara manajemen dan pemegang saham. Hal ini terjadi jika kepemilikan tersebar di tangan banyak pemegang saham, sehingga tidak ada satu pihak pun yang dapat atau memiliki power mengontrol manajemen. Dalam kondisi demikian maka power berada pada pihak manajemen atau Direksi, sehingga terdapat potensi pihak manajemen melakukan aktivitas tanpa adanya kontrol yang memadai (Jensen dan Meckling,
20
1976). Keadaan tersebut menyebabkan perusahaan berjalan sesuai dengan keinginan manajemen sendiri serta berpotensi bertentangan dengan kepentingan pemegang saham sebagai pemilik perusahaan. Kedua, masalah keagenan antara pemegang saham mayoritas dan minoritas. Hal ini terjadi jika terdapat seorang atau sekelompok kecil individu sebagai pemegang saham mayoritas dan beberapa pemegang saham lain dengan kepemilikan minoritas (Shleifer dan Vishny, 1996). Dalam masalah keagenan yang kedua ini, menempatkan posisi pemegang saham mayoritas memiliki kendali absolut, sehingga dapat melakukan tindakan yang menguntungkan kepentingan mereka namun berpotensi merugikan kepentingan pemegang saham minoritas di pihak lain (Feliana, 2007). Permasalahan keagenan antara perusahaan privat dengan BUMN memiliki perbedaan yang perlu menjadi perhatian. Menurut Wong (2004) pada sektor privat hanya terdapat satu masalah keagenan (single agency issue) yaitu perilaku manajemen yang mendahulukan kepentingan pribadinya. Sementara dalam organisasi BUMN terdapat dua masalah keagenan (double agency issues), yaitu perilaku manajemen dan politisi/birokrat yang mendahulukan kepentingan pribadi mereka atau kelompok, disamping masalah yang pertama. Selain masalah keagenan di atas, dalam konteks BUMN konflik kepentingan juga terjadi, karena BUMN memiliki dua tujuan utama yang paradoks (Wilcox, Schneider, dan Bernal, 2012). Tujuan utama tersebut adalah memperoleh laba dari aktivitas bisnisnya (bersifat ekonomi) di satu sisi, dan melayani kepentingan umum (bersifat sosial) di sisi lainnya (Almasyari, 2015). Dalam tujuan yang bersifat bisnis (ekonomi), BUMN mengelola berbagai sektor
21
bisnis strategis agar tidak dikuasai secara terbatas oleh pihak tertentu. Sektor bisnis tersebut mencakup berbagai bidang usaha yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak, seperti perusahaan listrik, minyak, dan gas bumi (Purwoko, 2002). Lebih lanjut Purwoko (2002) menjelaskan bahwa untuk tujuan melayani kepentingan umum (bersifat sosial), BUMN dimaksudkan untuk menciptakan lapangan kerja, penciptaan nilai tambah, dan terutama meningkatkan penerimaan negara guna mendorong perekonomian nasional. Ke dua tujuan yang paradoks tersebut menempatkan posisi BUMN pada situasi yang kurang menguntungkan dalam hal bersaing dengan perusahaan swasta yang memiliki tujuan utama meraih keuntungan (Almasyari, 2015). Dengan alasan ini maka CG BUMN berbeda secara substantif dengan CG di perusahaan swasta. Salah satu faktor penyebab terjadinya masalah keagenan adalah terdapatnya informasi yang tidak simetris dalam organisasi perusahaan (Bhattacharyya dan Rao, 2005). Fenomena asymmetric information merupakan kondisi dimana terdapat informasi yang tidak berimbang antara prinsipal (memiliki namun tidak menguasai operasional) dan agen (tidak memiliki namun menguasai sepenuhnya kegiatan operasional) perusahaan (Jensen dan Meckling, 1976). Penjelasan tersebut sejalan dengan pernyataan Jusmaliani (2003), dan Peng (2012) yang menyatakan bahwa dalam kerangka hubungan principal-agent pada BUMN berpotensi menghasilkan informasi yang tidak simetris antara ke dua pihak tersebut. Informasi yang tidak simetris ini menyebabkan timbulnya agency cost atau biaya keagenan (Bhattacharyya dan Rao, 2005), yang didefinisikan oleh Jensen dan Meckling (1976) sebagai gabungan dari ke tiga komponen berikut:
22
1. The monitoring expenditures Prinsipal dapat membatasi kepentingannya dengan jalan merancang insentif yang memadai untuk agen dan menanggung biaya monitoring yang dirancang guna membatasi kemungkinan tindakan menyimpang oleh agen. 2. The bonding expenditures Sumber daya yang dikeluarkan untuk menjamin bahwa agen tidak mengambil tindakan yang dapat merugikan prinsipal atau sumber daya yang dikeluarkan untuk memastikan bahwa prinsipal akan menerima kompensasi apabila agen melakukan tindakan yang merugikan prinsipal. 3. Residual loss Biaya yang terjadi ketika terdapat penurunan kesejahteraan oleh prinsipal akibat adanya pengambilan keputusan oleh agen yang tidak sesuai dengan kepentingan prinsipal.
Dewan Komisaris sebagai perpanjangan tangan pemilik melakukan pengawasan dan proses pelaporan secara teratur dalam memonitor tindakan serta hasil kinerja agen dalam menangani agency cost (Fama, 1980; Jensen dan Meckling, 1976; Shleifer dan Vishny, 1996). Selanjutnya Zhou dan Panbunyuen (2008) menjelaskan bahwa agency cost dapat diatasi melalui mekanisme monitoring. Mekanisme monitoring ini dianggap dapat menjadi solusi, karena memiliki tujuan untuk menyelaraskan berbagai kepentingan pihak terkait (Ujiyantho dan Pramuka, 2007).
23
Monitoring dilakukan melalui mekanisme yang tercakup dalam CG. Ettredge et al. (2010) menyatakan bahwa peran pengawasan oleh Dewan Komisaris dapat mengatasi masalah keagenan yang terjadi antara manajemen dan pemegang saham. Dalam kaitan ini agency theory merupakan salah satu teori yang lazim digunakan untuk menjelaskan CG (Lukviarman, 2005b), dimana CG merupakan mekanisme kontrol untuk memastikan pelaksanaan praktik bisnis yang baik yang mempertimbangkan hak setiap pihak yang berkepentingan, karena berbagai pihak yang berkepentingan ini memiliki tujuan yang berbeda-beda (Lukviarman, 2005a). Penelitian ini menguji kinerja BUMN dengan menggunakan agency theory sebagai dasar penelitian. Terdapat tiga asumsi dasar agency theory, yaitu (1) bahwa manusia pada dasarnya bersifat oportunistik, (2) bahwa manusia terbatas rasionalitasnya, dan (3) bahwa manusia pada dasarnya menghindari risiko (Eisenhardt, 1989). Berdasarkan asumsi tersebut, maka diperlukan adanya pengawasan terhadap manajemen sebagai agen dari pemilik perusahaan. Fungsi pengawasan
tersebut
manajemen,
mengatasi
diperlukan masalah
untuk
mereduksi
keterbatasan
perilaku
rasionalitas
oportunistik
prinsipal
dan
meminimalkan risiko yang mungkin dihadapi oleh prinsipal. Pengawasan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kinerja manajemen dan pada akhirnya mendorong peningkatan kinerja keuangan perusahaan. Dengan dasar demikian maka penelitian ini menguji peran CG pada BUMN di Indonesia dengan menggunakan teori keagenan, sehingga diharapkan mampu meningkatkan kinerja keuangan BUMN.
24
2.1.2. Corporate Governance Penerapan CG diharapkan dapat meningkatkan nilai perusahaan, dengan demikian implementasi CG secara optimal diharapkan dapat meningkatkan kinerja keuangan, mengurangi risiko yang mungkin dilakukan oleh manajemen dengan keputusan-keputusan yang menguntungkan diri sendiri dan meningkatkan kepercayaan investor (Tjager, Alijoyo, Djemat, dan Sembodo, 2003). Forum for Corporate Governance in Indonesia/FCGI (2000) mendefinisikan CG sebagai: "Seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan intern dan ekstern lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka, atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan."
Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Permen BUMN) no. PER-01/MBU/2011 mengenai penerapan Tata Kelola Perusahaan yang Baik (Good Corporate Governance) pada Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pasal 1 ayat 1 menyatakan bahwa: ―corporate governance adalah prinsip-prinsip yang mendasari suatu proses dan mekanisme pengelolaan perusahaan berlandaskan peraturan perundang-undangan dan etika berusaha‖
Berdasarkan definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa CG merupakan sistem yang dimiliki dan diterapkan untuk mengarahkan dan mengendalikan semua pihak yang terkait dengan organisasi dalam rangka mencapai tujuannya.
25
Tujuan penerapan CG dapat tercapai jika didukung oleh penerapan prinsip-prinsip CG. Menurut Permen BUMN no. PER-01/MBU/2011 pasal 3 menyatakan bahwa terdapat lima prinsip dasar dalam penerapan CG yaitu: 1. Transparansi (transparency), yaitu keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan keterbukaan dalam mengungkapkan informasi material dan relevan mengenai perusahaan; 2. Akuntabilitas (accountability), yaitu kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban Organ sehingga pengelolaan perusahaan terlaksana secara efektif; 3. Pertanggungjawaban (responsibility), yaitu kesesuaian di dalam pengelolaan perusahaan terhadap peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat; 4. Kemandirian (independency), yaitu keadaan di mana perusahaan dikelola secara profesional tanpa benturan kepentingan dan pengaruh/tekanan dari pihak manapun yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip-prinsip korporasi yang sehat; 5. Kewajaran (fairness), yaitu keadilan dan kesetaraan di dalam memenuhi hak-hak Pemangku Kepentingan (stakeholders) yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut Permen BUMN no. PER-01/MBU/2011 pasal 4 menyebutkan bahwa Penerapan prinsip-prinsip CG pada BUMN, bertujuan untuk: 1.
2.
3.
4. 5.
Mengoptimalkan nilai BUMN agar perusahaan memiliki daya saing yang kuat, baik secara nasional maupun internasional, sehingga mampu mempertahankan keberadaannya dan hidup berkelanjutan untuk mencapai maksud dan tujuan BUMN;tujuan Mendorong pengelolaan BUMN secara profesional, efisien, dan efektif, serta memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian Organ Persero/Organ Perum; Mendorong agar Organ Persero/Organ Perum dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakan dilandasi nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, serta kesadaran akan adanya tanggung jawab sosial BUMN terhadap Pemangku Kepentingan maupun kelestarian lingkungan di sekitar BUMN; Meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional; Meningkatkan iklim yang kondusif bagi perkembangan investasi nasional.
26
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa penerapan prinsip CG yang baik diharapkan dapat mengoptimalkan nilai BUMN sehingga memiliki daya saing, meningkatkan kemandirian, serta meningkatkan kontribusi BUMN dalam perekonomian nasional. Sejalan dengan regulasi di atas maka fokus penelitian ini adalah dalam upaya peningkatan kinerja BUMN melalui penerapan CG yang baik serta optimal. Terdapat dua macam model CG yang berkaitan dengan struktur Dewan Komisaris, pertama model Anglo-Saxon atau single board model dan yang kedua model Continental European atau two tiers board system (FCGI, 2002). Menurut FCGI (2002), perusahaan di Indonesia menerapkan two-board system atau twotier board system seperti kebanyakan perusahaan di Eropa daratan (Continental European). Untuk model CG di Indonesia, model Eropa daratan tersebut disesuaikan sebagaimana tercantum dalam undang-undang No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Sesuai dengan undang-undang tersebut maka rapat umum pemegang saham (RUPS) merupakan struktur tertinggi yang mengangkat dan memberhentikan Dewan Komisaris serta Direksi. Namun demikian keberadaan Dewan Komisaris merupakan kelembagaan yang mewakili pemegang saham untuk melakukan fungsi kontrol atas manajemen. BUMN di Indonesia berada di bawah kementerian BUMN sebagai wakil pemerintah, sehingga bertanggung jawab untuk memastikan terselenggaranya penerapan CG pada institusi BUMN sesuai dengan regulasi yang ditetapkan. Untuk memastikan bahwa BUMN telah melaksanakan CG, maka perusahaan negara tersebut dituntut untuk melakukan audit internal dan assesment CG sebagai
27
wujud akuntabilitas. Penerapan tersebut merupakan bagian dari upaya untuk meningkatkan efisiensi, daya saing, dan memaksimalkan kinerja perusahaan sesuai dengan yang ditetapkan. Disamping implementasi CG, isu utama yang krusial untuk institusi BUMN saat ini adalah mengenai privatisasi. Tujuan utama privatisasi adalah meningkatkan efisiensi dan nilai tambah BUMN. Melalui program privatisasi BUMN yang direncanakan dengan baik diharapkan dapat meningkatkan kinerja perusahaan negara tersebut. Terkait dengan isu privatisasi adalah pentingnya penerapan CG secara baik dan optimal pada BUMN sehingga perusahaan negara tersebut memiliki daya tarik untuk diprivatisasi. Keberadaan Dewan Komisaris dan Komite Audit menjadi indikator penting bagi implementasi CG yang baik. Dalam kaitan ini Dewan Komisaris, menjalankan fungsi pengawasan dan pemberian nasihat bagi Direksi perusahaan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan kinerja keuangan perusahaan. Dalam menjalankan tugasnya, Dewan Komisaris dibantu oleh berbagai komite diantaranya adalah Komite Audit. Peranan Komite Audit dalam kaitan ini adalah sebagai alat untuk meningkatkan kualitas keterbukaan termasuk kinerja keuangan (Chung et al., 2004), sehingga pengendalian internal menjadi lebih efisien dan kinerja perusahaan meningkat (Filipovic dan Filipovic, 2008). a.
Dewan Komisaris Dewan Komisaris merupakan organ perseroan yang bertugas melakukan
pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan Anggaran Dasar serta memberi nasihat kepada Direksi (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 40
28
Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas). Di samping fungsi di atas, Dewan Komisaris memegang peranan penting dalam memastikan implementasi CG di perusahaan. Beberapa penelitian terdahulu terkait pelaksanaan CG menggunakan berbagai kriteria dalam menilai tingkat implementasi praktik CG di perusahaan. Penelitian Black, Jang, dan Kim (2006) menggunakan 42 item pertanyaan tentang praktik CG dalam survey terhadap manajer perusahaan yang terdaftar di pasar modal Korea. Sementara Klapper dan Love (2002) menggunakan 57 item pertanyaan dalam survey tentang praktek CG di sejumlah 14 negara berkembang termasuk Indonesia. Penelitian ini menggunakan indeks CG yang disusun berdasarkan prinsip CG untuk memberikan gambaran mengenai praktik CG pada BUMN di Indonesia. Dewan Komisaris merupakan sekumpulan individu yang diangkat oleh pemegang saham perusahaan dan bertanggung jawab atas fungsi pengawasan operasional perusahaan yang dilakukan oleh manajemen (Christopher, 2009). Dalam kaitan ini, hasil studi Thomson Reuters Board Governance Survey (2012) menemukan bahwa karakteristik Dewan Komisaris merupakan faktor penting bagi organisasi dalam rangka membantu melaksanakan fungsi pengawasan oleh pemegang saham. Peran CG difokuskan pada karakteristik dan aktivitas Dewan Komisaris, karena manajer memiliki kecenderungan mengambil keputusan demi kepentingan mereka sendiri dengan mengorbankan kepentingan prinsipal (Andres, Azofra, dan Lopez, 2005). Fungsi ini tidak hanya menjaga kepentingan pemegang saham
29
namun juga mengontrol proses pengambilan keputusan dan tindakan manajemen (Sulong dan Nor, 2008). Pendapat demikian mempertegas peranan penting Dewan Komisaris dalam implementasi CG. Kewajiban Dewan Komisaris sesuai dengan UU No. 40 Tahun 2007 (pasal 116) adalah sebagai berikut: 1. membuat risalah rapat Dewan Komisaris dan menyimpan salinannya; 2. melaporkan kepada Perseroan mengenai kepemilikan sahamnya dan/atau keluarganya pada Perseroan tersebut dan Perseroan lain; dan 3. memberikan laporan tentang tugas pengawasan yang telah dilakukan selama tahun buku yang baru lampau kepada RUPS.
Peran penting Dewan Komisaris sebagai pengawas aktivitas dan kinerja (control) serta sebagai penasihat (advisory) bagi Direksi dalam memastikan bahwa perusahaan melaksanakan CG yang baik sesuai dengan aturan yang berlaku (KNKG, 2006). Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Komisaris dibantu oleh berbagai komite penunjang tugas Dewan Komisaris berdasarkan bidang tertentu. Berbagai komite penunjang tersebut diantaranya adalah Komite Audit, Komite Kebijakan Risiko, dan Komite Kebijakan Corporate Governance (KNKG, 2006). Penelitian ini difokuskan pada karakteristik Dewan Komisaris dan Komite Audit sebagai komite yang bertugas membantu Dewan Komisaris dalam mengawasi pengelolaan keuangan perusahaan. Dengan demikian Dewan Komisaris merupakan pengawas utama sesuai dengan undang-undang, sementara Komite Audit membantu pengawasan dan berada di bawah Dewan Komisaris. Sesuai dengan fungsinya maka penelitian ini
menekankan pentingnya
karakteristik Dewan Komisaris dalam memonitor dan mengontrol perilaku
30
manajemen. Sementara peranan Komite Audit adalah dalam kaitannya sebagai bagian dari Dewan Komisaris dalam perusahaan. Dewan Komisaris bertanggung jawab dan berwenang melakukan pengawasan atas kebijakan perusahaan dan memberikan nasihat kepada Direksi, serta menyusun rencana kerja dan anggaran tahunan yang merupakan bagian yang tak terpisahkan. Tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris lainnya yaitu memantau dan memastikan bahwa CG telah diterapkan secara efektif dan berkelanjutan, menetapkan Indikator Pencapaian Kinerja (PER-01/MBU/2011). Efektifitas peran pengawasan oleh Dewan Komisaris didukung dengan keberadaan Komisaris Independen dalam komposisi Dewan Komisaris (FCGI, 2002). Keberadaan Komisaris Independen diatur dalam ketentuan peraturan pencatatan Bursa Efek Indonesia (BEI) Nomor I-A tentang Ketentuan Umum Pencatatan Efek Bersifat Ekuitas di Bursa yang berlaku sejak tanggal 1 Juli 2000. Perusahaan yang terdaftar di BEI wajib memiliki Komisaris Independen yang jumlahnya proposional sebanding dengan jumlah saham yang dimiliki oleh bukan pemegang saham pengendali dengan ketentuan jumlah Komisaris Independen 30% dari jumlah seluruh anggota komisaris. Penelitian ini mengukur karakteristik Dewan Komisaris dalam kerangka CG dengan menggunakan empat proksi yaitu: ukuran Dewan Komisaris, proporsi Komisaris Independen, jumlah rapat Dewan Komisaris dan proporsi latar belakang pendidikan Dewan Komisaris. Menurut Beiner, Drobetz, Schmid dan Zimmermann (2004) efektivitas peranan Dewan Komisaris diukur melalui proporsi keanggotaan Dewan Komisaris, eksistensi Komisaris Independen dan
31
ukuran Dewan Komisaris. Proksi tersebut dianggap sebagai ukuran pelaksanaan fungsi Dewan Komisaris dalam menjaga tercapainya tujuan perusahaan. Proksi Komisaris Independen dalam penelitian ini digunakan karena proporsi Komisaris Independen terbukti dapat meningkatkan efektifitas Dewan Komisaris dalam melakukan fungsi utamanya, yaitu mengawasi pengelolaan perusahaan oleh manajemen (Fama dan Jansen, 1983). Menurut Vafeas (1999) aktivitas Dewan Komisaris dalam melaksanakan fungsinya merupakan dimensi yang penting dalam CG yang diukur dengan frekuensi rapat Dewan Komisaris. Rapat Dewan Komisaris memiliki fungsi evaluasi serta memberikan masukan pada manajemen. Penelitian terdahulu oleh Ntim dan Osei (2011) membuktikan bahwa Dewan Komisaris perusahaan yang lebih sering melakukan rapat dapat meningkatkan kapasitas untuk secara efektif menyarankan dan memantau manajemen. Demikian halnya dengan latar belakang pendidikan anggota Dewan Komisaris yang digunakan sebagai salah satu proksi dalam penelitian ini. Kualifikasi pendidikan setiap anggota Dewan Komisaris akan memberikan kontribusi signifikan dan positif terhadap keputusan manajemen tercermin dalam kinerja perusahaan (Nicholshon dan Kiel, 2004; Farchild dan Li, 2005; Adam dan Ferreira, 2007). Atas dasar sejumlah alasan tersebut penelitian ini menggunakan empat proksi Dewan Komisaris untuk menjelaskan perannya dalam mendorong peningkatan kinerja keuangan perusahaan. Keputusan
menteri
BUMN
No.
KEP-117/M-MBU/2002
tentang
penerapan praktek CG pada BUMN menunjukkan bahwa karakteristik Dewan Komisaris merupakan elemen penting dalam mempengaruhi kinerja BUMN, dan
32
penilaian karakteristik Dewan Komisaris ditekankan pada keberadaan Dewan Komisaris dan Komite Audit. BUMN yang memenuhi ketentuan karakteristik Dewan Komisaris sesuai dengan keputusan Menteri BUMN diharapkan kinerjanya cenderung meningkat.
b. Komite Audit Sesuai dengan peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 33/POJK.04/2014 tentang Direksi dan Dewan Komisaris emiten atau perusahaan publik menyatakan bahwa: ―dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya ... Dewan Komisaris wajib membentuk Komite Audit dan dapat membentuk komite lainnya‖
Aturan lebih lanjut berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 19 Tahun 2003 Pasal 70 ayat (1) tentang Badan Usaha Milik Negara, menerangkan bahwa: ―Komite Audit bertugas menilai pelaksanaan kegiatan serta hasil audit yang dilakukan oleh satuan pengawasan intern maupun auditor eksternal, memberikan rekomendasi mengenai penyempurnaan sistem pengendalian manajemen serta pelaksanaannya, memastikan telah terdapat prosedur review yang memuaskan terhadap segala informasi yang dikeluarkan BUMN, mengidentifikasi hal-hal yang memerlukan perhatian Komisaris dan Dewan Pengawas serta tugastugas Komisaris dan Dewan Pengawas lainnya‖
Komite Audit mempunyai peran penting dan strategis dalam hal memelihara kredibilitas proses penyusunan laporan keuangan seperti halnya
33
menjaga
terciptanya
sistem
pengawasan
perusahaan
yang
memadai,
dilaksanakannya CG dan meningkatnya kinerja perusahaan (Sayidah, 2007). Komite Audit merupakan pemantau yang dapat memberikan kontribusi dalam kerangka CG yang baik (Islam, Islam, Bhattacharjee, dan Islam, 2010). Pembentukan Komite Audit berfungsi sebagai alat untuk meningkatkan kualitas transparansi dalam CG termasuk kinerja keuangan (Chung et al., 2004), sehingga pengendalian internal di perusahaan menjadi lebih efektif (Filipovic dan Filipovic, 2008). Perusahaan juga membentuk Komite Audit dalam Dewan Komisaris untuk mengambil peran aktif dalam mengawasi kebijakan akuntansi perusahaan dan praktek pelaporan keuangan (Whittington dan Pany, 2001). Peraturan Menteri Negara BUMN No. Per-05/MBU/2006 tentang Komite Audit bagi Badan Usaha Milik Negara menyatakan bahwa ―Komite Audit terdiri dari sekurang-kurangnya seorang anggota Komisaris/Dewan Pengawas, dan sekurang-kurangnya 2 anggota lainnya yang berasal dari luar BUMN‖. Dengan demikian sesuai regulasi ini maka setiap BUMN paling tidak memiliki 3 (tiga) orang anggota Komite Audit. Jumlah anggota Komite Audit digunakan dalam penelitian ini karena efektifitas Komite Audit dipengaruhi oleh ukuran Komite Audit (Kalbers dan Fogarty, 1993). Proporsi anggota independen dalam Komite Audit juga digunakan dalam penelitian dengan alasan bahwa Komite Audit independen merupakan faktor penting yang menjamin efektifitas tugas Komite Audit. Hal ini didasarkan pada alasan bahwa anggota Komite Audit independen dianggap memiliki tingkat
34
independensi yang tinggi dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya (Vicknair et al., 1993; Carcello dan Neal, 2000; Abbott et al., 2000). Penggunaan jumlah rapat Komite Audit sebagai bagian dari proksi karakteristik Dewan Komisaris dalam penelitian ini didasarkan pada pendapat Vafeas (2005) dan Sanjaya (2008) bahwa intensitas dan frekuensi rapat Komite Audit mampu menurunkan manipulasi kinerja keuangan perusahaan oleh manajer. Proksi latar belakang pendidikan Komite Audit dalam penelitian ini didasarkan pada argumentasi bahwa anggota Komite Audit yang memiliki pengetahuan dan pendidikan yang memadai dan relevan dengan tugas dan tanggungjawabnya akan lebih efektif melaksanakan tugas. Hal ini diperlukan untuk memberikan dasar yang kuat bagi anggota Komite Audit meningkatkan kinerjanya (Felo dan Soleri, 2008).
2.2. Indeks Corporate Governance Indeks CG lazim digunakan sebagai pembobotan terhadap berbagai indikator penerapan CG dalam perusahaan (lihat misalnya Klapper dan Love, 2002; Brown dan Caylor, 2004). Secara umum dikenal dua metode pengukuran CG dengan menggunakan indeks; yaitu unweighted dan weighted index (Firth, 1980). Pada unweighted index, setiap item memiliki bobot (kepentingan) yang sama karena dianggap memiliki kualitas dan derajat kepentingan yang sama. Sementara, pada weighted method setiap item mempunyai tingkat kepentingan yang berbeda dalam mengukur efektifitas implementasi CG, sehingga dianggap lebih valid jika dibandingkan dengan unweighted method.
35
Kostyuk, Gerner-Beuerle dan Apreda
(2011) menyatakan bahwa
pengukuran kualitas pelaksanaan CG dapat dievaluasi dengan memberikan penekanan pada item CG yang dianggap lebih dominan. Peneliti di atas mengukur pengaruh pelaksanaan CG terhadap kinerja perusahaan menggunakan indeks GIM (Gompers, Ishii dan Metrick, 2003). Indeks GIM yang digunakan menyatakan bahwa skor yang tinggi menunjukkan kekuasaan manajemen yang kuat atau perlindungan terhadap hak pemegang saham menjadi lemah, hal tersebut akan terjadi
sebaliknya.
Hasil
penelitian
menyimpulkan
bahwa
indek
GIM
berhubungan negatif terhadap kinerja perusahaan, implikasinya yaitu semakin tinggi skor GIM semakin rendah kinerja perusahaan. Marcus (2004) melakukan pengukuran pengaruh CG terhadap kinerja perusahaan dengan menggunakan indeks berupa governance score, dan menyimpulkan bahwa indeks CG berhubungan kuat dengan kinerja perusahaan. Indeks CG yang disusun oleh para peneliti sebelumnya (Klapper dan Love, 2002; Brown dan Caylor, 2004; Gompers et al. 2003) menunjukkan bahwa karakteristik Dewan Komisaris merupakan elemen utama dalam indeks CG dan memiliki nilai bobot paling tinggi. Indeks CG disusun sedemikian rupa untuk mengakomodasi tingkat kepentingan dan bobot dari elemen CG. Dengan dasar ini, maka bobot elemen CG berdasarkan tingkat kepentingan di dalam indeks CG digunakan untuk mengukur pengaruh CG terhadap kinerja perusahaan. Indeks CG pada penelitian ini digunakan untuk menguji kekuatan hubungan dari prinsipprinsip CG dengan kinerja keuangan BUMN.
36
2.3. Kinerja Keuangan Kinerja keuangan adalah kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba dari berbagai kebijakan dan keputusan manajemen, baik dalam mengelola likuiditas, asset dan hutang perusahaan (Besley dan Bringham, 2005). Sementara menurut Horne (2009) kinerja keuangan adalah ukuran prestasi perusahaan. Dari dua pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja keuangan adalah kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba dan digunakan sebagai ukuran keberhasilan suatu perusahaan. Profitabilitas merupakan salah satu indikator yang paling umum digunakan untuk mengukur kinerja keuangan perusahaan (Besley dan Bringham, 2005). Ukuran profitabilitas yang lazim digunakan sebagai indikator kinerja dalam penelitian terkait CG adalah Return on Asset (ROA), Return on Equity (ROE) dan Net Income (NI) (Lukviarman, 2004). Sejalan dengan itu Haniffa dan Cooke (2005) menyatakan bahwa indikator keuangan tersebut dapat mengukur kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba, tingkat efisiensi operasional perusahaan secara keseluruhan, dan efisiensi perusahaan dalam menggunakan sumber daya yang dimiliki. Dengan dasar demikian, ukuran kinerja tersebut dapat digunakan sebagai acuan dalam menilai kinerja keuangan BUMN (misalnya penelitian Eisenberg, Sundgre, dan Wells, 1998). Penelitian ini menggunakan ROE sebagai ukuran kinerja keuangan BUMN untuk diuji dengan karakteristik Dewan Komisaris dan indeks CG. Penggunaan ROE sebagai indikator kinerja keuangan BUMN telah digunakan oleh peneliti
37
sebelumnya (lihat Jiang, 2004). Disamping itu penggunaan ekuitas yang berhubungan dengan indikator ROE karena dalam penelitian ini juga akan diteliti kondisi kinerja keuangan BUMN sebelum dan setelah privatisasi. Hal ini yang menjadi dasar utama penggunaan indikator ROE, karena proses privatisasi BUMN akan mengubah struktur ekuitas BUMN.
2.4. Badan Usaha Milik Negara dan Privatisasi BUMN di Indonesia dibentuk berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 yang berbunyi: 1. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan. 2. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. 3. Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. 4. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
Pasal 33 tersebut menyatakan secara tegas bahwa perekonomian Indonesia diselenggarakan oleh koperasi, perusahaan swasta dan Badan Usaha Milik Negara. Hal ini berarti bahwa peran BUMN dalam perekonomian Indonesia adalah strategis dan vital. Keberadaan BUMN penting bagi upaya pemenuhan kewajiban dan cita-cita negara seperti tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinea IV yang berbunyi :
38
‖... melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ...‖.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menurut Keputusan Menteri BUMN No. KEP-100/MBU/2002 merupakan badan usaha milik negara yang berbentuk perusahaan (Persero) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 1998 dan Perusahaan Umum (Perum) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No.13 tahun 1998. Sementara UU Nomor 19 Tahun 2003 menyatakan bahwa BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Pengelompokan BUMN berdasarkan KEP-100/MBU/2002 dibedakan menjadi kategori jasa keuangan dan non keuangan. Sektor jasa keuangan bergerak dalam bidang usaha perbankan, asuransi, jasa pembiayaan, dan jasa penjaminan. Sementara sektor non keuangan terdiri dari infrastruktur dan non infrastruktur serta sektor barang dan jasa. Memperhatikan perbedaan tersebut maka ke dua sektor memiliki karakteristik bisnis yang berbeda, sehingga tidak dapat diperbandingkan. Dengan dasar demikian maka dalam penelitian ini perlu untuk dilakukan kontrol terhadap sektor industri yang berbeda tersebut untuk menghindari bias dalam interpretasi hasil penelitian. Sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa tujuan penelitian ini juga untuk menguji kinerja keuangan BUMN sebelum dan setelah privatisasi. Privatisasi pertama kali diperkenal pada pemerintahan Margareth Thatcher sejak tahun 1980 (Megginson dan Netter, 2001). Privatisasi pada awal dipandang 39
skeptis oleh masyarakat termasuk ekonom. Saat ini privatisasi telah di legitimasi sebagai alat utama untuk merestrukturisasi BUMN di lebih dari 100 negara. Masih menurut Megginson dan Netter (2001) privatisasi merupakan elemen utama dan paling penting di dalam fenomena global yang berkelanjutan melalui penggunaan mekanisme pasar dalam alokasi sumber daya yang dimiliki suatu negara. Menurut Keppres RI No.122 tahun 2001, privatisasi merupakan pengalihan atau penyerahan sebagian kontrol atas sebuah BUMN kepada swasta antara lain melalui cara penawaran umum, penjualan saham secara langsung kepada mitra strategis, penjualan saham perusahaan kepada karyawan dan atau cara-cara lain yang dipandang tepat. Lebih lanjut UU No. 19 tahun 2003 dan PP No. 33 tahun 2003 menyatakan bahwa privatisasi adalah penjualan saham Persero, yang bergerak di sektor kompetitif yaitu; industri atau sektor usaha yang tidak diatur dalam peraturan pemerintah bahwa industri tersebut khusus atau hanya boleh diusahakan oleh BUMN saja dan sektor usaha yang memiliki unsur teknologi cepat berubah sehingga memerlukan investasi yang sangat besar untuk menggantinya, baik sebagian maupun seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat serta memperluas pemilikan saham oleh masyarakat. Privatisasi merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengalihkan sebagian atau keseluruhan aset yang dimiliki dan pengelolaan perusahaan dari negara kepada pihak swasta untuk mengurangi inefisiensi, informasi yang asimetri, biaya sosial, dan intervensi pemerintah yang mengakibatkan kegagalan
40
pasar (Dwidjowijoto dan Wrihatnolo, 2008). Dengan demikian privatisasi merupakan proses mengalihkan sebagian kepemilikan perusahaan dari pemerintah kepada swasta dengan tujuan mengurangi intervensi berlebih dari pemerintah sehingga meningkatkan kinerja, efisiensi dan nilai perusahaan melalui pasar dan kompetisinya sebagai sarana untuk memotivasi efisiensi ekonomi. Terdapat dua sudut pandang privatisasi (Dwidjowijoto dan Wrihatnolo, 2008); privatisasi dalam arti sempit sebagai denasionalisasi atau penjualan aset atau saham perusahaan milik publik kepada swasta yang memiliki konsekuensi pengalihan manajemen dan operasional perusahaan. Sementara privatisasi dalam arti luas adalah mencakup seluruh metode atau kebijakan yang dilaksanakan untuk meningkatkan peran pasar dalam roda perekonomian nasional, berbagai metode penyampaian barang dan jasa oleh sektor swasta. Dari sudut pandanag berbeda Sun et al (2002) mengemukakan dua jenis privatisasi; privatisasi terkendali (control privatization) sebagai privatisasi yang dilakukan terhadap saham milik pemerintah sebesar minimal 51%, serta privatisasi pendapatan (revenue privatization) adalah privatisasi yang dilakukan terhadap saham milik pemerintah maksimal 49%, sehingga pemerintah masih mempertahankan
hak
suaranya
mayoritasnya
sebagai
pemegang
saham
pengendali. Jika dikotomi ini dikaitkan dengan privatisasi BUMN di Indonesia, tidak terdapat batasan persentase saham yang di privatisasi untuk BUMN di Indonesia. Namun ketentuan
privatisasi terkait besaran penjualan saham ini
mengacu kepada kriteria BUMN menurut UU No.19 tahun 2003 bahwa minimal 51% saham BUMN dimiliki oleh negara.
41
Privatisasi menurut Savas (1987) adalah tindakan pengurangan peran pemerintah atau peningkatan peran sektor swasta dalam kegiatan kepemilikan asset BUMN. Menurut Pasal 1 (butir 12) UU 19 No. 2003 tentang BUMN pengertian privatisasi adalah penjualan saham persero, baik sebagian maupun seluruhnya, kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja keuangan dan nilai perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas kepemilikan saham oleh masyarakat. Privatisasi memberi kesempatan kepada publik untuk memiliki aset perusahaan milik negara, sehingga publik dapat melakukan peran kontrol yang lebih besar terhadap BUMN. Privatisasi juga diharapkan mampu memberikan daya dorong agar semakin baiknya implementasi CG di BUMN melalui mekanisme kontrol yang lebih baik dari para pemilik saham publik, sehingga kinerja perusahaan diharapkan meningkat. Namun demikian keberhasilan privatisasi juga akan ditentukan oleh berbagai faktor lainnya, seperti: struktur kepemilikan, hukum dan penegakan aturan main, sistem ekonomi, sosial, budaya, proses, serta ukuran kinerja yang jelas (www.suaramerdeka.com, 2012). Penelitian mengenai privatisasi BUMN menjadi penting untuk diteliti sebagai evaluasi kebijakan yang telah dilakukan oleh pemerintah, dan sebagai upaya merumuskan strategi meningkatkan kinerja BUMN.
2.5. Karakteristik Dewan Komisaris dan Kinerja Keuangan Krisis ekonomi tahun 1998 antara lain berdampak pada menurunnya kinerja keuangan perusahaan, dikarenakan banyak perusahaan yang belum
42
menerapkan CG secara konsisten (Simanjuntak, 2002). Untuk mendorong peningkatan kinerja keuangan perusahaan setelah krisis, salah satu strategi yang dilakukan adalah menerapkan CG secara konsisten dan berkelanjutan (Sukamulja, 2004). Dengan demikian maka penerapan CG di berbagai perusahaan di Indonesia dipercaya dapat memperkuat posisi perusahaan tersebut dalam menghadapi krisis serta mampu meningkatkan kinerjanya. Hasil penelitian Dalton, Daily, Johnson, dan Ellstrand (1999) dan Beiner et al. (2004) menyimpulkan bahwa karakteristik Dewan Komisaris dan kinerja keuangan menunjukkan hubungan yang kuat. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa jumlah anggota Dewan Komisaris yang semakin banyak dan mampu menjalankan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan, akan berdampak positif terhadap kinerja keuangan. Penelitian sebelumnya oleh Barnhart dan Rosenstein
(1998)
menemukan
bahwa
proporsi
Komisaris
Independen
berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan. Pada perusahaan yang memiliki karakteristik proporsi Komisaris Independen yang semakin besar, memperlihatkan kecenderungan melaksanakan tugas secara lebih transparan dan profesional, sehingga kinerja keuangan meningkat. Proksi CG lainnya di dalam penelitian ini adalah frekuensi rapat Dewan Komisaris. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Brick dan Chidambaran (2007) membuktikan bahwa semakin sering rapat yang diselenggarakan oleh Dewan Komisaris, memiliki kecenderungan dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Melalui frekuensi rapat yang semakin sering, maka permasalahan yang muncul dalam perusahaan dapat diselesaikan dalam waktu yang semakin
43
singkat. Dampak lainnya adalah pembahasan terhadap kebijakan perusahaan lebih efektif sehingga dapat diputuskan kebijakan yang lebih baik. Berbagai faktor di atas secara bersama-sama berdampak pada meningkatnya kinerja keuangan perusahaan. Terkait dengan proksi latar belakang pendidikan Komisaris, penelitian Suhardjanto dan Anggitarani (2010) membuktikan bahwa latar belakang pendidikan Komisaris Utama tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan. Hal tersebut terjadi dikarenakan Komisaris Utama dipilih oleh Menteri BUMN untuk perusahaan BUMN dan oleh pemilik saham mayoritas bagi perusahaan swasta. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hambrick, Cho dan Chen (1996), Simons dan Pelled (1999), dan Brown dan Caylor (2004) menyimpulkan bahwa latar belakang pendidikan bisnis Dewan Komisaris berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan.
2.6. Indeks CG dan Kinerja Keuangan Penelitian terdahulu yang menghubungkan antara CG dan kinerja keuangan perusahaan dapat dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama, penelitian yang menggunakan pendekatan karakteristik atau elemen CG. Indikator yang lazim digunakan adalah berbagai hal terkait karakteristik Dewan Komisaris, seperti ukuran Dewan Komisaris, proporsi Komisaris Independen, jumlah rapat Dewan Komisaris, latar belakang pendidikan anggota Dewan Komisaris, ukuran Komite Audit, dan komite yang lain. Berbagai penelitian terdahulu yang termasuk dalam kelompok ini antara lain; Hermalin dan Weisbach (2003), Eisenberg,
44
Sundgren and Wells (1998), Wintoki, Linck, dan Netter (2009), O'Connell dan Cramer (2010), Abor dan Biekpe (2007), Vafeas (1999), Adam dan Ferreira (2007). Kedua, penelitian yang menggunakan indeks CG sebagai prediktor atau variabel bebas. Beberapa penelitian terdahulu yang tergolong dalam kelompok ini antara lain; Gompers et al. (2003), Klapper dan Love (2003), Bebchuk, Cohen, dan Ferrel (2004), Black, Jang, dan Kim (2006), Larcker, Richardson, dan Tuna (2007), Bhagath dan Bolton (2008), Sivaramakrishnan dan Yu (2008), Yaghoobnezhad, Nikoomaram, dan Salteh (2012). Hasil penelitian terdahulu menunjukkan bahwa penggunaan karakteristik Dewan Komisaris maupun indeks CG sebagai prediktor atau variabel bebas, masih menunjukkan hasil yang berbeda sehingga bersifat inkonklusif. Perbedaan hasil penelitian tersebut diantaranya disebabkan oleh variasi metode pengukuran yang digunakan, serta kesesuaian model governance yang diadopsi di setiap negara yang berkaitan dengan sistem hukum yang dianut (Shleifer dan Vishny, 1996). Dengan dasar demikian maka pada penelitian ini akan digunakan kedua pendekatan yang dijelaskan sebelumnya (proksi karakteristik Dewan Komsaris, dan indeks CG) dalam kaitannya dengan kinerja BUMN di Indonesia.
2.7. Privatisasi dan Kinerja Keuangan Privatisasi BUMN memerlukan kaidah ukuran dan aturan yang jelas sebagai pedoman pelaksanaan, sehingga tujuan privatisasi yang telah ditetapkan menurut regulasi dapat dicapai secara optimal. Salah satu tujuan privatisasi adalah upaya untuk meningkatkan kinerja keuangan BUMN melalui efektivitas mekanisme CG. Disamping itu dengan dimilikinya saham BUMN oleh publik dan 45
investor, maka publik dapat melakukan kontrol tambahan sehingga mendorong perusahaan untuk memiliki kinerja yang lebih baik. Peningkatan kinerja BUMN setelah privatisasi menjadi salah satu pertimbangan di dalam melakukan proses tersebut. Penelitian terhadap 21 BUMN di Argentina (perbankan dan non finansial) yang diprivatisasi menunjukkan kinerja yang meningkat setelah diprivatisasi (Galiani et al., 2003). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa profitabilitas perusahaan non finansial meningkat 188% setelah privatisasi dan investasi mengalami peningkatan 350% setelah privatisasi. Pada penelitian lainnya terhadap 35 BUMN di Chile, Fischer, Gultiérrez dan Serra (2003) menemukan bahwa tidak terdapat peningkatan profitabilitas
BUMN
setelah
dilakukan
privatisasi.
Penelitian
ini
juga
membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan produktivitas antara regulated dan unregulated sector pada BUMN di Chile. Penelitian lainnya yang bersifat lintas negara dilakukan oleh Birch dan Haar (2000) terhadap pengaruh privatisasi selama dua dekade terakhir di Argentina, Chile, Brazil, Colombia, Mexico, Peru, Venezuela, dan negara Caribbean lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa privatisasi mempunyai pengaruh positif terhadap produktivitas BUMN. Penelitian dengan cakupan yang lebih luas terkait privatisasi dilakukan oleh Bennett et al. (2004) yang menguji pengaruh privatisasi terhadap kinerja ekonomi nasional dalam ekonomi transisi. Dengan menggunakan data dari 23 negara berbeda selama periode tahun 19902001, ditemukan bukti bahwa keuntungan dari privatisasi secara langsung mendorong berkembangnya pasar modal di suatu negara. Dampak lanjutannya
46
adalah ditemukannya bukti bahwa privatisasi mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara.
2.8. Skema Konseptual Penelitian Ilustrasi pada halaman berikut menjelaskan secara sistematis skema konseptual penelitian yang dilakukan. Dalam penelitian ini dilakukan pengujian secara bertahap. Tahap pertama, pengujian dilakukan terkait pengaruh karakteristik Dewan Komisaris terhadap kinerja keuangan BUMN. Langkah berikutnya akan dilakukan pengujian terkait pengaruh Indeks CG terhadap kinerja keuangan BUMN. Untuk memperkuat analisis, maka hasil pengujian kedua pengaruh tersebut akan dibandingkan mana yang lebih kuat pengaruhnya. Pada penelitian ini Dewan Komisaris diproksikan dengan variabel ukuran Dewan Komisaris, proporsi anggota independen Dewan Komisaris, jumlah rapat Dewan Komisaris, proporsi latar belakang pendidikan anggota Dewan Komisaris. Komite Audit diproksikan dengan variabel ukuran Komite Audit, proporsi anggota independen Komite Audit, jumlah rapat Komite Audit, dan proporsi latar belakang pendidikan anggota Komite Audit. Kinerja keuangan BUMN diukur dengan menggunakan pendekatan accounting based yaitu Return on Equity (ROE). Indeks CG pada penelitian ini disusun berdasarkan pada prinsip CG. Penyusunan indeks CG didasarkan kepada indeks yang telah disusun oleh para peneliti sebelumnya (Klapper dan Love, 2002; Brown dan Caylor, 2004; Gompers et al. 2003). Indeks CG disusun sedemikian rupa untuk mengakomodasi tingkat kepentingan dan bobot dari elemen CG. Dengan dasar ini maka bobot elemen CG 47
berdasarkan tingkat kepentingan di dalam indeks CG digunakan untuk mengukur pengaruh CG terhadap kinerja perusahaan. Indeks CG pada penelitian ini digunakan untuk menguji kekuatan hubungan dari prinsip-prinsip CG dengan kinerja keuangan BUMN. Tahap I meliputi : Tahap 1.a
1. 2. 3. 4.
1. 2. 3. 4.
Dewan Komisaris Ukuran Dewan Komisaris. Proporsi Angggota Independen Dewan Komisaris. Jumlah Rapat Dewan Komisaris. Proporsi Latar Belakang Pendidikan Anggota Dewan Komisaris.
H1+ H2+
Komite Audit Ukuran Komite Audit. Proporsi Anggota Independen Komite Audit. Jumlah Rapat Komite Audit. Proporsi Latar Belakang Pendidikan Anggota Komite Audit.
H5+
H3+ H4+
Kinerja Keuangan BUMN
H6+ H7+ H8+
Tipe Industri
Tahap1.b Indeks Corporate Governance (Indek NH)
H9+
Kinerja Keuangan BUMN Sebelum Privatisasi
H10
Kinerja Keuangan BUMN
Tahap II Kinerja Keuangan BUMN Sesudah Privatisasi
Gambar 2.1 Skema Konsep Penelitian
48
Pada tahap kedua dilakukan pengujian untuk menemukan: apakah terdapat perbedaan kinerja keuangan BUMN sebelum dengan selama privatisasi?. Secara lebih sistematis uraian di atas disajikan dalam bentuk ilustrasi tahapan kerangka pemikiran penelitian berikut.
2.9. Pengembangan Hipotesis Penelitian 1. Pengaruh ukuran Dewan Komisaris terhadap kinerja keuangan BUMN Penelitian ini menguji pengaruh antara karakteristik Dewan Komisaris, diantaranya dengan menggunakan variabel ukuran Dewan Komisaris, menggunakan perspektif agency theory. Berdasarkan teori keagenan, peranan Dewan Komisaris dalam CG adalah sebagai jembatan antara kepentingan principal (pemegang saham) dan agent (Direksi). Ukuran Dewan Komisaris digunakan untuk memenuhi asumsi pertama dari agency theory yaitu bounded rationality, dimana manusia memiliki rasionalitas yang terbatas. Jumlah keanggotaan Dewan Komisaris sebagaimana diatur dalam regulasi UU PT no. 40 tahun 2007 pasal 108 (ayat 5) paling sedikit berjumlah 2 (dua) orang dan menurut Peraturan Bank Indonesia No. 8/4/PBI/2006 (pasal 4 ayat 1) paling sedikit 3 orang atau paling banyak sama dengan jumlah direksi diarahkan untuk mengatasi masalah keterbatasan rasionalitas. Peran utama dari Dewan Komisaris adalah memberikan supervisi terhadap kinerja Direksi dan memberikan saran kepada Direksi (pasal 114, UU PT no. 40 tahun 2007). Salah satu tugas utama Dewan Komisaris adalah menyakinkan bahwa CG telah dilaksanakan secara baik (FCGI, 2000). Oleh
49
sebab itu peran Dewan Komisaris adalah memonitor kebijakan yang dilakukan manajemen sesuai dengan aturan yang berlaku. Penelitian yang dilakukan oleh Hermalin dan Weisbach (2003) dan Eisenberg et al. (1998) menemukan bukti bahwa ukuran Dewan Komisaris dapat menurunkan kinerja perusahaan. Sementara penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Wintoki et al. (2009) berhasil menunjukkan bukti bahwa ukuran Dewan Komisaris yang semakin besar memudahkan tugas dalam melakukan monitoring manajemen, sehingga berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan. Berdasarkan uraian tersebut, sehingga hipotesis 1 (H1) adalah sebagai berikut: H1: Ukuran Dewan Komisaris berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan BUMN
2. Pengaruh proporsi Komisaris Independen terhadap kinerja keuangan BUMN Salah satu asumsi yang mendasari agency theory adalah bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk bertindak oportunis (Jensen dan Meckling, 1976). Dengan terdapatnya pemisahan fungsi antara prinsipal dan agen, terdapat kecenderungan agen untuk bertindak secara oportunistik untuk kepentingannya dengan merugikan prinsipal. Keberadaan dan peran Dewan Komisaris diharapkan mampu menjadi kekuatan penyeimbang kepentingan ke dua pihak tersebut melalui fungsi pengawasan. Dalam kaitan ini independensi Komisaris diharapkan dapat mendorong netralitas peran Dewan Komisaris perusahaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Fama dan Jensen
50
(1983) bahwa independensi Komisaris dapat meningkatkan efektivitas peran Dewan Komisaris dalam menjalankan fungsi utamanya, mengawasi pengelolaan perusahaan oleh manajemen. Komisaris Independen terbukti dapat meningkatkan efektifitas fungsi Dewan Komisaris dalam melakukan tugasnya dalam mengawasi manajemen (Fama dan Jansen, 1983; Ayuso dan Argondana, 2007). Semakin besar proporsi pihak independen dalam komposisi Dewan Komisaris, maka pengawasan terhadap pengelolaan perusahaan menjadi semakin efektif. Penelitian Suhardjanto dan Anggitarani (2010) di perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia mendukung pernyataan tersebut dengan menemukan bahwa terdapat pengaruh positif proporsi Komisaris Independen terhadap kinerja keuangan. Selanjutnya penelitian oleh Pathan, Skully, dan Wickramanayake (2007), Abor dan Biekpe (2007), dan O'Connell dan Cramer (2010) menemukan bahwa terdapat pengaruh positif proporsi Komisaris Independen terhadap kinerja keuangan di perusahaan perbankan. Kesimpulan yang berbeda diperoleh melalui penelitian Bathala dan Rao (1995) dan Hutchinson (2002), yang membuktikan terdapat pengaruh negatif proporsi Komisaris Independen terhadap kinerja keuangan perusahaan. Dengan demikian berbagai penelitian terdahulu menunjukan hasil yang inkonklusif. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis 2 (H2) adalah: H2: Proporsi Komisaris Independen berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan BUMN
51
3. Pengaruh jumlah rapat Dewan Komisaris terhadap kinerja keuangan BUMN Asumsi lainnya yang mendasari agency theory dalam penelitian ini terkait keterbatasan rasionalitas manusia (bounded rationality). Dewan Komisaris yang bekerja dengan baik akan dipandang oleh investor sebagai memiliki kemampuan dalam melindungi investasi investasi yang mereka lakukan. Efektivitas peran dan fungsi Dewan Komisaris dapat diproksikan melalui frekuensi dan intensitas rapat yang diselenggarakan Dewan Komisaris (Li et al., 2008). Sementara hasil penelitian sebelumnya oleh Vafeas (1999) menemukan bahwa frekuensi rapat Dewan Komisaris berbanding terbalik dengan kinerja perusahaan. Rapat Dewan Komisaris memiliki fungsi evaluasi dalam menjalankan peran pengawasan serta hasilnya memberikan masukan pada manajemen. Penelitian Ntim dan Osei (2011) membuktikan bahwa Dewan Komisaris perusahaan yang lebih sering melakukan rapat, mampu meningkatkan kapasitas mereka untuk secara efektif memberikan saran dan mengawasi manajemen, dan selanjutnya mampu meningkatkan kinerja keuangan perusahaan. Di sisi lain penelitian Suhardjanto dan Anggitarani (2010), dan Cho dan Rui (2003) menemukan bahwa jumlah rapat Dewan Komisaris tidak berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan. Dengan demikian pengaruh antara frekuensi rapat Dewan Komisaris dengan kinerja keuangan perusahaan belum menunjukkan hasil yang konklusif. Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis 3 (H3) adalah sebagai berikut:
52
H3: Jumlah rapat Dewan Komisaris berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan BUMN
4. Pengaruh proporsi latar belakang pendidikan anggota Dewan Komisaris terhadap kinerja keuangan BUMN Dalam agency theory terdapat asumsi bahwa manusia pada dasarnya bersifat
oportunistik.
Dewan
Komisaris
dalam
struktur
governance
merupakan mekanisme pengendalian internal melalui fungsi pengawasan untuk memastikan diterapkannya berbagai prinsip governance. Dewan Komisaris yang bekerja sesuai dengan aturan yang tetapkan akan dapat menjalankan perannya dengan efektif, sehingga akhirnya dapat meningkatkan kepercayaan investor. Kualifikasi setiap anggota Dewan Komisaris berpengaruh signifikan dan positif terhadap pengawasan manajemen secara efektif sehingga mampu meningkatkan kinerja perusahaan (Nicholshon dan Kiel, 2004; Farchild dan Li, 2005; Adam dan Ferreira, 2007). Salah satu karakteristik yang menunjukkan kualitas Dewan Komisaris adalah latar belakang pendidikan mereka. Menurut Wallace dan Cooke (1990), latar belakang pendidikan anggota Dewan Komisaris dalam budang ekonomi dan bisnis mampu mendorong tingkat pengungkapan yang lebih luas sesuai dengan prinsip transparansi. Lebih lanjut, hal ini dapat meningkatkan citra perusahaan maupun kredibilitas manajemen. Kusumastuti, Supatmi dan Sastra (2007) berpendapat bahwa latar belakang pendidikan formal anggota Dewan Komisaris merupakan karakteristik kognitif yang dapat mempengaruhi
53
kemampuan dewan dalam mengambil keputusan dan menjalankan fungsinya. Anggota Dewan Komisaris yang memiliki latar belakang pedidikan bisnis dan ekonomi memiliki kemampuan yang lebih baik dalam mengambil keputusan bisnis (Kusumastuti et al., 2007; dan Suhardjanto dan Anggitarani, 2010). Hal ini beralasan karena Dewan Komisaris yang memiliki latar belakang pendidikan ekonomi dan bisnis lebih memahami pentingnya keberhasilan sebuah perusahaan. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Brown dan Caylor (2004) menyimpulkan bahwa latar belakang pendidikan bisnis Dewan Komisaris berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan. Simons dan Pelled (1999) menyimpulkan bahwa latar belakang pendidikan berpengaruh positif terhadap kinerja organisasi. Sementara Hambrick, Cho dan Chen (1996) membuktikan bahwa latar belakang pendidikan berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan. Dari hasil kesimpulan penelitian tersebut menunjukkan bahwa pekerjaan seseorang yang sesuai dengan latar belakang pendidikan dan kompetensinya cenderung memberikan hasil yang lebih baik. Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis 4 (H4) adalah: H4: Proporsi latar belakang pendidikan anggota Dewan Komisaris berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan BUMN
5. Pengaruh ukuran Komite Audit terhadap kinerja keuangan BUMN Berdasarkan asumsi keterbatasan rasionalitas dalam teori keagenan, maka dalam menjalankan tugas dan fungsinya Dewan Komisaris dibantu oleh berbagai komite Dewan Komisaris, diantaranya Komite Audit. Jumlah
54
keanggotaan Komite Audit paling sedikit 3 orang sesuai dengan Peraturan Menteri Negara BUMN (No. Per-05/MBU/2006 tentang Komite Audit bagi BUMN). Salah satu kemampuan penting yang diharapkan dari Komite Audit adalah mengidentifikasi potensi penyesatan (misleading) pada pencatatan transaksi atau laporan keuangan, dan berkontribusi pada pelaporan keuangan yang berkualitas (Felo, 2003). Dengan demikian diharapkan semakin banyak anggota Komite Audit, semakin efektif kinerja mereka dalam membantu Dewan Komisaris melaksanakan fungsi pengawasan. Penelitian Anggraini dan Utama (2013) membuktikan terdapat pengaruh positif ukuran Komite Audit terhadap kinerja keuangan perusahaan di Indonesia. Namun demikian, penelitian Hermawan (2009) tidak menemukan bukti pengaruh ukuran Komite Audit terhadap kinerja keuangan. Kalbers dan Fogarty (1993) menyatakan bahwa tugas dan tanggung jawab Komite Audit mencakup penilaian pelaksanaan kegiatan, memberikan rekomendasi
penyempurnaan
sistem,
mengidentifikasi
permasalahan,
menjaga kredibilitas proses penyusunan laporan keuangan, menjaga terciptanya
sistem
pengawasan
perusahaan,
meningkatkan
kualitas
keterbukaan dan kinerja keuangan perusahaan, peran aktif dalam mengawasi kebijakan akuntansi perusahaan dan praktek pelaporan keuangan. Dengan luasnya cakupan tugas dan tanggung jawab Komite Audit maka efektifitas pelaksanaan tugasnya dapat dipengaruhi oleh jumlah anggota yang dimiliki. Berdasarkan uraian di atas hipotesis 5 (H5) sebagai berikut: H5: Ukuran Komite Audit berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan BUMN
55
6. Pengaruh proporsi anggota independen Komite Audit terhadap kinerja keuangan BUMN Perspektif agency theory menggunakan asumsi bahwa manusia memiliki kecenderungan untuk bertindak oportunis. Independensi Komite Audit diharapkan dapat memberikan masukan dan informasi secara lebih baik dan independen kepada Dewan Komisaris dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawab mereka. Hal ini dalam rangka mendukung independensi Dewan Komisaris dalam melaksanakan fungsi dan tanggungjawab mereka secara optimal (Fama dan Jensen, 1983). Anggota Komite Audit independen merupakan faktor penting yang menjamin efektifitas pelaksanaan tugas Komite Audit. Hal tersebut disebabkan karena anggota Komite Audit memiliki kebebasan dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya (Vicknair et al., 1993; Carcello dan Neal, 2000; Abbott et al., 2000). Anggota Komite Audit independen yang berasal dari Komisaris Independen dipercaya akan bertindak profesional dan transparan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, sehingga dapat melakukan pengawasan secara lebih efektif (Kalbers dan Fogarty, 1998; Spira, 1999; Cotter dan Sylvester, 2003; Sharma, 2004). Abdullah, Shah, dan Hassan (2008), dan Cety dan Suhardjanto (2010) mengungkapkan bahwa keberadaan anggota Komite Audit independen berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan. Penelitian Forker (1992) menyatakan bahwa proporsi Komite Audit independen yang lebih besar
56
mampu meningkatkan kualitas pengendalian perusahaan. Hal ini sejalan dengan penelitian Menon dan Williams (1994) bahwa Komite Audit dapat digunakan untuk memonitor kinerja keuangan perusahaan. Dari beberapa hasil penelitian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa proporsi anggota Komite Audit independen cenderung berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahaan. Berdasarkan uraian diatas maka hipotesis 6 (H6) penelitian ini sebagai berikut: H6: Proporsi anggota independen Komite Audit berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan BUMN
7. Pengaruh jumlah rapat Komite Audit terhadap kinerja keuangan BUMN Salah satu asumsi yang mendasari agency theory dalam penelitian ini terkait keterbatasan rasionalitas manusia. Dalam melaksanakan fungsinya Dewan Komisaris dibantu oleh Komite Audit yang bertanggung jawab kepada Dewan Komisaris. Tugas-tugas Komite Audit dengan cakupan yang sangat luas sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, diputuskan melalui rapat sebelum memberikan rekomendasi kepada Dewan Komisaris. Semakin besar dan kompleks organisasi sebuah perusahaan, maka semakin banyak pula permasalahan yang dihadapi sehingga memerlukan frekuensi rapat yang lebih sering. Institusi OJK (2014) menetapkan bahwa Komite Audit mengadakan rapat dengan frekuensi yang sama dengan ketentuan minimal frekuensi rapat Dewan Komisaris sebagaimana diatur dalam Anggran Dasar perusahaan.
57
Vafeas (2005) dan Sanjaya (2008) menemukan bahwa komite audit yang lebih sering melakukan pertemuan terbukti mampu menurunkan potensi manipulasi kinerja keuangan perusahaan. Suhardjanto dan Anggitarani (2010) menyatakan bahwa semakin sering frekuensi Komite Audit melakukan rapat dapat meningkatkan kinerja keuangan perusahaan. Di samping itu, beberapa penelitian lainnya (Scarbrough et al, 1998; Beattie et al, 2000; dan Braiotta, 2003) menemukan bahwa Komite Audit harus mengadakan pertemuan dengan manajemen, auditor internal, dan eksternal secara terpisah, agar pengawasan pelaporan keuangan dan proses audit lebih efektif. Frekuensi dan intensitas rapat yang dilakukan oleh Komite Audit diharapkan berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan. Dari uraian tersebut hipotesis 7 (H7) pada penelitian ini sebagai berikut: H7: Jumlah rapat Komite Audit berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan BUMN
8. Pengaruh proporsi latar belakang pendidikan anggota Komite Audit terhadap kinerja keuangan BUMN Keberadaan Komite Audit ditujukan untuk membantu Dewan Komisaris dalam menjalankan tugas dan fungsinya, khususnya dalam bidang pengawasan dan pemberian nasihat berdasarkan prinsip-prinsip governance. Komite Audit yang bekerja secara optimal berperan efektif dalam membantu pelaksanaan tugas dan memberikan masukan kepada Dewan Komisaris. Untuk mampu melakukan hal tersebut maka anggota Komite Audit harus memiliki pengetahuan dan pendidikan yang memadai di bidang akuntansi dan
58
keuangan (Felo dan Soleri, 2008). Pengetahuan di bidang dimaksud memberikan dasar yang kuat bagi anggota Komite Audit untuk meningkatkan kinerjanya. Collier (1993) menemukan bukti bahwa latar belakang pendidikan Komite Audit merupakan faktor penting yang berkontribusi terhadap efektivitas Komite Audit pada perusahaan di UK. Komite Audit harus memiliki anggota yang berlatar belakang pendidikan akuntansi dan keuangan agar dapat lebih efektif dalam menjalankan tugas dan tanggungjawabnya (Hamid et al., 1999). Berbagai penelitian di atas menunjukkan bahwa latar belakang pendidikan (akuntansi dan keuangan) anggota Komite Audit berpengaruh positif terhadap kinerja perusahaan. Hal tersebut terjadi karena terdapat kesesuaian antara kompetensi dan bidang keahlian yang dimiliki, dengan tugas dan tanggungjawab yang harus diemban. Dari uraian di atas hipotesis 8 (H8) pada penelitian ini sebagai berikut: H8: Proporsi latar belakang pendidikan anggota Komite Audit berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan BUMN 9. Pengaruh indeks Corporate Governance terhadap kinerja keuangan BUMN Pengaruh penerapan CG terhadap kinerja tidak hanya dapat dilakukan menggunakan proksi dari karakteristik Dewan Komisaris. Berbagai penelitian sebelumnya (Klapper dan Love, 2002; Brown dan Caylor, 2004; dan Gompers et al. 2003) secara meyakinkan menggunakan pendekatan indeks sebagai alat ukur CG di dalam meneliti pengaruh antara CG dengan kinerja keuangan. Di dalam penelitian ini di samping menggunakan proksi 59
karakteristik Dewan Komisaris, juga akan digunakan indeks CG sebagai prediktor atas kinerja keuangan perusahaan. Bebchuk et al. (2004) berpendapat bahwa penggunaan indeks CG memudahkan perusahaan dalam melakukan penilaian tingkat pengembalian investasi. Studi sejenis yang dilakukan oleh Black et al. (2006) menemukan bahwa indeks CG merupakan faktor penting untuk diterapkan dalam menjelaskan berbagai faktor yang mempengaruhi nilai pasar suatu perusahaan. Sementara studi yang dilakukan oleh Gompers et al. (2003) dengan menggunakan indeks CG menemukan bahwa perusahaan dengan dominasi pemegang saham yang kuat memiliki nilai, laba, pertumbuhan penjualan, pengeluaran yang lebih baik. Lebih lanjut, hal ini juga diperlihatkan pada penelitian yang dilakukan oleh Klapper dan Love (2003) menemukan hasil bahwa penerapan CG yang baik memiliki korelasi kuat terhadap aktifitas operasional dan valuasi pasar yang lebih baik, dengan menggunakan indeks CG sebagai prediktor. Penelitian lainnya yang mengaitkan indeks CG dilakukan oleh Bhagath dan Bolton (2008) dan menyimpulkan bahwa CG berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan perusahan. Sementara penelitian yang dilakukan oleh Larcker, Richardson, dan Tuna (2007), yang menggunakan indeks CG dan sejumlah ukuran kinerja keuangan perusahaan menemukan hasil yang beragam (mixed result). Sementara Sivaramakrishnan dan Yu (2008), dan Yaghoobnezhad et al. (2012) dalam penelitiannya tidak menemukan adanya pengaruh indeks CG terhadap kinerja keuangan
60
perusahan. Menurut pendapat Larcker et al. (2007) hasil yang tidak konsisten dari sejumlah penelitian terdahulu dapat disebabkan oleh sulitnya menghasilkan ukuran yang valid dan reliable untuk konstruk CG yang kompleks dan menggunakan model CG yang berbeda antar negara. Berdasarkan uraian di atas hipotesis 9 (H9) pada penelitian ini sebagai berikut: H9: Corporate Governance yang diukur dengan indeks CG berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan BUMN 10. Kinerja keuangan BUMN sebelum dan sesudah privatisasi Isu utama yang krusial pada institusi BUMN saat ini adalah mengenai privatisasi. Privatisasi menurut Savas (1987) adalah tindakan pengurangan peran pemerintah atau peningkatan peran sektor swasta dalam kegiatan kepemilikan asset BUMN. Tujuan utama privatisasi adalah meningkatkan efisiensi dan nilai tambah BUMN. Melalui program privatisasi BUMN yang direncanakan dengan baik diharapkan dapat meningkatkan kinerja perusahaan negara tersebut. Terkait dengan isu privatisasi adalah pentingnya penerapan CG secara baik dan optimal pada BUMN sehingga perusahaan negara tersebut memiliki daya tarik untuk diprivatisasi, dan tujuan privatisasi dapat dicapai secara optimal. Privatisasi memberi kesempatan kepada publik untuk memiliki aset perusahaan milik negara, sehingga publik dapat melakukan peran kontrol yang lebih besar terhadap BUMN. Privatisasi juga diharapkan mampu memberikan daya dorong agar semakin baiknya implementasi CG di BUMN
61
melalui mekanisme kontrol yang lebih baik dari para pemilik saham publik, sehingga kinerja perusahaan diharapkan meningkat. Magginson, Nash, dan Randenborg (1994) menyimpulkan bahwa privatisasi menyebabkan meningkatnya penjualan, keuntungan, investasi, operasional yang efisien, dan kemampuan sumber daya manusia, sehingga beban hutang perusahaan menurun dan meningkatnya dividen yang dibagikan. Hasil penelitian serupa juga ditemukan oleh Igor (2006) pada BUMN di Brazil bahwa privatisasi berdampak pada meningkatnya efisiensi, keuntungan, dan berkembangnya perusahaan. Penelitian oleh Gupta (2005) terhadap privatisasi BUMN di India juga membuktikan bahwa privatisasi berdampak positif pada profitabilitas, produktivitas, dan investasi. Sementara oleh Mangaran (2003) terhadap privatisasi BUMN perbankan di Filipina membuktikan bahwa privatisasi dapat meningkatkan kinerja operasional dan keuangan perbankan. Berdasarkan beberapa hasil penelitian tersebut secara umum dapat disimpulkan bahwa privatisasi memiliki kecenderungan dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Maka hipotesis 10 (H10) pada penelitian ini adalah sebagai berikut: H10 : Terdapat perbedaan kinerja keuangan BUMN sebelum dan sesudah privatisasi.
Berdasarkan serangkaian pengembangan hipotesis di atas, pada halaman berikut disajikan ringkasan hipotesis penelitian ini.
62
Tabel 2.1 Ringkasan Hipotesis Penelitian H1
:
H2
:
H3
:
H4
:
H5
:
H6
:
H7
:
H8
:
H9
:
H10
:
Ukuran Dewan Komisaris berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan BUMN Proporsi anggota independen Dewan Komisaris berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan BUMN Jumlah rapat Dewan Komisaris berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan BUMN Proporsi latar belakang pendidikan anggota Dewan Komisaris berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan BUMN Ukuran Komite Audit berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan BUMN Proporsi anggota independen Komite Audit berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan BUMN Jumlah rapat Komite Audit berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan BUMN Proporsi latar belakang pendidikan anggota Komite Audit berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan BUMN Corporate Governance yang diukur dengan indeks CG berpengaruh positif terhadap kinerja keuangan BUMN Terdapat perbedaan kinerja keuangan BUMN sebelum dan sesudah privatisasi
63