BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
II.1
Landasan Teori
II.1.1 Pasar Modal Di dalam menjalankan kegiatan usaha, perusahaan membutuhkan dana berupa modal yang merupakan aspek utama bagi kelancaran usaha. Modal itu sendiri dapat diperoleh melalui kegiatan investasi dalam pasar modal. Untuk memfasilitasi kegiatan transaksi permodalan agar mempermudah masyarakat dalam berinvestasi maka pemerintah melalui lembaga yang ditunjuk menyelenggarakan kegiatan pasar modal. Pengertian pasar modal menurut Darmadji dan Fakhrudin (2006) “Pasar modal merupakan pasar untuk berbagai instrumen keuangan jangka panjang yang bisa diperjualbelikan, baik dalam bentuk hutang ataupun modal sendiri”. Selain pengertian menurut Darmadji dan Fakhruddin, pengertian pasar modal juga terdapat di dalam Undang-Undang Pasar Modal No.8 tahun 1995 Pasal 1 Ayat 13 tentang Pasar Modal yang didefinisikan pasar modal sebagai ”Kegiatan yang bersangkutan dengan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkannya, serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.” Pasar modal dalam hal ini membantu perusahaan dalam hal pendanaan melalui mekanisme penyertaan yang umumnya dilakukan dengan menjual saham perusahaan kepada masyarakat atau sering dikenal dengan istilah go public. Setelah go public, saham-saham perusahaan akan dipasarkan di pasar modal. Secara umum, pasar modal
9
dapat diartikan tempat bertemunya antara permintaan dan penawaran atas instrument keuangan jangka panjang, umumnya lebih dari satu tahun.
II.1.2 Go Public Pada awal bab sebelumnya, telah dipaparkan bahwa perusahaan memiliki berbagai cara dalam menambah dananya. Salah satunya adalah dengan melakukan penawaran kepada publik atau dikenal dengan istilah go public. Go public adalah kegiatan penawaran saham atau efek lainnya yang dilakukan oleh emiten untuk menjual saham kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur oleh Undang-Undang Pasar Modal dan Peraturan Pelaksanaannya. Terdapat dua metode utama untuk melakukan go public yang digunakan di seluruh dunia. Pertama, melakukan penawaran perdana dengan penawaran pada harga tetap (a fixed price offer) atau penawaran melalui sistem tender, metode yang kedua yaitu dengan prosedur lelang (auction procedure), dimana penentuan harga saham berdasarkan penawaran tertinggi. Perusahaan yang berniat go public harus melalui tiga prosedur, yaitu (1) persiapan perusahaan, (2) memperoleh ijin dari BAPEPAM, (3) melakukan penawaran umum perdana dan memasuki pasar sekunder dengan pencatatan efeknya di bursa. Initial public offering dilakukan untuk memperoleh pendanaan berupa modal dan memungkinkan para peneliti dan pemegang saham perusahaan untuk dapat mengkonversi sebagian kekayaannya dimasa depan, baik dalam bentuk deviden maupun dalam bentuk capital gain. Dari berbagai motivasi yang sering terjadi, maka mengacu pada Baker (2009) sedikitnya ada 2 teori yang mendorong perusahaan untuk mengambil keputusan go public, yaitu:
10
1. Life Cycles Theories Dalam tahap awal berdirinya perusahaan, perusahaan dapat bertahan untuk tetap menjadi perusahaan yang private. Namun dalam jangka panjang, para investor awal atau venture capitalist perusahaan yang tidak melakukan diversifikasi tidak akan bersedia menyediakan dana sebesar yang dimampu diberikan oleh para investor yang berdiversifikasi di pasar publik. Selain itu, mereka tidak mendapatkan insentif untuk melakukan penambahan dan tidak dapat melakukan pengembangan sendiri terhadap perusahaan tanpa adanya penambahan modal dari pihak eksetrnal. Sejalan dengan siklus hidup perusahaan yang mengalami perubahan, perusahaan memang dimungkinkan untuk tetap menjadi private company. Namun, dalam jangka panjang perusahaan akan mengalami pertumbuhan, sehingga keputusan untuk go public pada akhirnya akan menjadi pilihan yang optimal bagi perusahaan.
2. Market – Timing Theories Umumnya perusahaan menunda penawaran saham kepada publik pada saat terdapat tendensi dari pasar untuk meng-undervalue perusahaan. Apabila pasar menempatkan posisi perusahaan dengan nilai di bawah yang seharusnya atau di bawah yang ekspektasi oleh perusahaan, maka penundaan waktu IPO akan dilakukan perusahaan sampai pada saat dimana pasar menawarkan harga yang favorable. Dan sebaliknya, saat pasar menilai perusahaan di atas ekspektasi alias overvalued, perusahaan juga dapat menggunakan kesempatan tersebut untuk melakukan IPO. Saat investor menjadi sangat optimis, valuasi terhadap perusahan akan meningkat. Hal ini jugalah yang kemudian menjadi salah satu pendorong terjadinya underpricing saham
11
pada saat IPO akibat harga saham di pasar perdana jauh lebih rendah daripada harga saham saat terjual di pasar bursa. Bagaimanapun, penjualan harga saham yang tinggi dapat menarik persaingan di pasar namun memiliki cost dan benefit. Penawaran kepada publik dapat menambah nilai perusahaan sebagai akibat dari kepercayaan investor terhadap perusahaan, demikian juga kepercayaan yang berasal dari pelanggan, kreditur dan pemasok. Sebaliknya, perusahaan untuk
semakin
menampilkan
kinerja
yang
lebih
baik
dan
dituntut
untuk
mempublikasikan laporan keuangannya keapda masyarakat umum.
II.1.3 Initial Public Offering (IPO) Penawaran umum perdana atau IPO (Initial Public Offering) adalah kegiatan penjualan sekuritas kepada masyarakat baik perorangan maupun lembaga di pasar perdana. Penawaran perdana ini dilakukan setelah mendapatkan ijin dari BAPEPAM dan sekuritas tersebut dapat diperdagangkan di pasar sekunder (bursa efek). Penawaran umum dilakukan oleh emiten untuk menjual efek kepada masyarakat berdasarkan tata cara yang diatur dalam undang-undang beserta peraturan pelaksanaannya. Penjualan sekuritas di pasar perdana dilakukan oleh penjamin emisi (underwriter) yang ditunjuk oleh perusahaan dengan bantuan agen penjualan. Pada umumnya underwriter mempunyai tiga fungsi, dimana mengacu pada Triaryati & Suad (2004) yaitu: advisory function, underwriting function, dan marketing function. Sebagai advisory function, underwriter memberikan saran kepada perusahaan yang akan melakukan go pulic mengenai jenis sekuritas yang akan ditawarkan, penentuan harga sekuritas dan waktu penawarannya. Underwriting function adalah fungsi penjaminan dimana emiten akan meminta underwriter untuk menjamin penjualan saham perdana 12
emiten tersebut, jika emiten meminta underwriter memberikan jaminan full commitment, maka underwriter menjamin seluruh sekuritas akan habis terjual dan bersedia untuk membeli sisanya jika sebagian sekuritas tidak terjual. Harga sekuritas yang dijual di pasar perdana (offering price) yang telah ditentukan terlebih dahulu oleh perusahaan yang akan melakukan go public (emiten) dengan penjamin emisi, dimana harga sekuritas tersebut telah dicantumkan dalam prospectus. Dalam penentuan offering price, underwriter dan emiten sering menghadapi kesulitan untuk memperkirakan harga yang wajar. Underwriter cenderung untuk menetapkan offering price yang rendah dari harga yang diharapkan oleh perusahaan yang akan melakukan go public, dengan tujuan untuk menekan resiko tanggung jawab bila sekuritas yang ditawarkan pada saat penawaran perdana tidak laku atau tidak habis terjual. Sehingga underwriter memperoleh keuntungan yang lebih mengenai informasi yang diterima atas pelepasan tanggung jawabnya. Perjanjian penjaminan emisi adalah perjanjian yang relatif sama dari satu perjanjian ke perjanjian lainnya. Perjanjian penjaminan emisi mengatur hak dan kewajiban antara emiten dan underwriter dalam memasarkan efek yang dijaminkan serta tindakan-tindakan apa yang harus dilakukan untuk mensukseskan penawaran umum, Balfas (2006). Mengacu pada Setiadi dalam Kartika (2009), perjanjian emisi efek pada dasarnya merupakan perjanjian yang harus mencakup dua hal pokok, yaitu: 1. Hal-hal yang berhubungan dengan pemberian jasa Penjaminan Emisi Efek untuk melancarkan proses emisi. Dalam hal ini Perjanjian Penjaminan Emisi dapat dikatakan sebagai suatu pemberian jasa-jasa tertentu dalam pengertian Pasal 1601 KUH Perdata. Dalam hal pemberian jasa tersebut adalah dari Penjamin
13
Emisi Efek kepada calon emiten. Beberapa hal yang harus diatur dalam bagian ini adalah: a. Ruang lingkup pemberian jasa oleh Penjamin Emisi Efek, meliputi tahap persiapan isi, melakukan pernyataan pendaftaran kepada Bapepam, penyebarluasan prospektus, penjualan efek dan penyerahan dana hasil emisi. b. Tugas dan kewajiban Penjaminan Emisi Efek, dalam hal ini diatur secara detail tugas-tugas dan kewajiban yang menjadi tanggung jawab Penjamin Pelaksana Emisi sebagaimana telah disepakati dalam ruang lingkup pemberian jasa diatas. c. Kewajiban emiten terhadap Penjamin Emisi Efek, dalam hal ini diatur kewajiban Emiten kepada Penjamin Emisi Efek yang tidak saja meliputi kewajiban untuk membayar imbalan jasa atas pemberian jasa kepada Penjamin Emisi Efek, tetapi juga kewajiban lain misalnya untuk mengetahui segala persyaratan yang diminta oleh Penjamin Emisi Efek. 2. Hal-hal yang berkaitan dengan kesanggupan pembeli saham yang tidak terjual. Dalam kontrak/perjanjian Penjaminan Emisi Efek, underwriter biasanya akan mengajukan salah satu diantara beberapa jenis kesanggupan penjaminan emisi efek. a. Penjaminan emisi dengan kesanggupan penuh (full commitment underwriting). Underwriter disamping menyanggupi menawarkan efek tersebut kepada masyarakat, juga menyanggupi untuk membeli sendiri sisa efek yang tidak habis terjual.
14
b. Penjaminan underwriting).
emisi
dengan
Underwriter
kesanggupan hanya
terbaik
mempunyai
(best
kewajiban
efforts untuk
menawarkan efek tersebut sebaik-baiknya dan apabila tidak habis terjual maka efek tersebut akan dikembalikan ke emiten. c. Penjaminan emisi dengan kesanggupan siaga (stand by commitment underwriting). Underwriter disamping menyanggupi untuk menawarkan efek tersebut kepada masyarakat juga menyanggupi untuk membeli sisa efek yang tidak habis terjual pada suatu tingkat harga tertentu sesuai dengan syarat yang diperjanjikan. d. Penjaminan emisi dengan kesanggupan semua atau tidak sama sekali (All – o r - none offering). Penawaran akan dibatalkan apabila terjual semua. e. Penjaminan emisi dengan kesanggupan paling sedikit – paling banyak (Minimum - maximum). Penawaran efek akan dibatalkan apabila tidak tercapai batas minimum. Perjanjian penjaminan emisi efek dapat dirundingkan secara bebas antara pihak yang besangkutan, namun sedikitnya perjanjian tersebut harus memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut: 1. Jenis dan jumlah efek yang diterbitkan; 2. Harga penawaran yang ditetapkan dalam pasar perdana; 3. Jangka waktu penawaran, tanggal akhir penjatahan dan tanggal pencatatan di bursa; 4. Penyebarluasan prospektus dan formulir pemesanan efek;
15
5. Tanggal selambatnya penyerahan hasil penjualan efek beserta tempat, alat dan cara serta persyaratan lain yang menyangkut penyerahan hasil penjualan efek oleh enjamin emisi efek kepada emiten; 6. Besarnya imbalan jasa penjamin emisi efek, baik yang ditetapkan secara keseluruhan maupun secara terperinci berupa komisi/imbalan jasa manajemen, jasa penjamin emisi efek, jasa agen penjual dan jasajasa lain yang akan diterima oleh masing-masing pihak yang berperan serta dalam penjaminan emisi efek; 7. Kesanggupan penjamin emisi efek untuk menjamin terjualnya efek yang diemisikan; 8. Pembebasan biaya emisi, biaya pencetakan prospektus dan biaya lain yang berkaitan dengan proses emisi efek; 9. Penjatahan dan pengembalian uang pemesan dalam hal terjadi kelebihan permintaan, termasuk bunganya bila ada; 10. Hal-hal yang timbul akibat tidak dipenuhinya salah satu atau beberapa persyaratan yang ditetapkan dalam perjanjian penjaminan emisi efek; 11. Sanksi-sanksi.
Pada saat IPO pasar akan memberikan reaksi terhadap harga saham pada saat penutupan. Harga saham dengan return positif pada transaksi di pasar sekunder setelah IPO maka akan menimbulkan suatu kondisi yang dikatakan sebagai underpricing. Sedangkan harga saham dengan return negatif pada transaksi di pasar sekunder setelah IPO akan menimbulkan kondisi overpricing. Kedua kondisi inilah yang menimbulkan
16
dampak positif ataupun negatif pada para investor maupun emiten dengan tergantung pada kondisi yang terjadi.
II.1.4 Underpricing Menurut Brigham dikutip dalam Rachmawati (2007), definisi underpricing adalah stock are underpriced if they begin at the public market at a price that is higher than the offering price. Berdasarkan definisi tersebut, maka underpricing dapat dikatakan sebagai keadaan dimana saham memberikan return positif pada transaksi pasar sekunder setelah penawaran perdana. Underpricing disebabkan oleh perbedaan kepentingan dari pihak-pihak yang terkait dalam penawaran saham perdana. Harga saham yang dijual di pasar perdana ditentukan berdasarkan kesepakatan antara penjamin emisi (underwriter) dan emiten (issuers), sedangkan harga di pasar sekunder ditentukan oleh mekanisme permintaan dan penawaran. Penentuan harga dalam IPO merupakan bagian yang sulit, sekaligus penting karena tidak ada harga sebelumnya di pasar dan sejarah mengenai operasi perusahaan sangat sedikit atau hampir tidak ada. Jika harga ditemukan terlalu rendah, perusahaan penerbit tidak dapat memperoleh dana maksimal dari potensi yang ada untuk menaikkan modalnya. Sementara itu jika harga terlalu tinggi, investor akan memperoleh return yang sangat kecil sehingga berakibat pada penolakan investor untuk membeli saham tersebut, dengan demikian tanpa harga (pricing) yang akurat pasar dapat menguntungkan salah satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan pengaktifan kembali pasar modal yaitu pemerataan pendapatan masyarakat (investor) melalui kepemilikan saham perusahaan, akan tetapi harga yang sebenarnya ini baru bisa 17
diketahui setelah saham dijual di pasar sekunder, karena harga ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan (supply and demand) dari investor.
II.1.5 Overpricing Dengan mengacu pada penelitian Rahmawati (2007) maka overpricing dapat dikatakan sebagai suatu keadaan dimana saham memberikan return negatif pada transaksi psar sekunder setelah penawaran perdana. Overpricing selayaknya underpricing disebabkan oleh perbedaan kepentingan yang timbul antara pihak-pihak yang terkait dalam penawaran saham perdana. Adanya mekanisme permintaan dan penawaran di dalam pasar sekunder dapat menyebabkan terjadinya overpricing maupun sebaliknya. Overpricing merupakan suatu fenomena yang lebih jarang terjadi dibandingkan dengan underpricing khususnya pada perusahaan-perusahaan di Indonesia yang telah terdaftar di BEI. Hal ini ditunjukkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Triani dan Nikmah (2006) yaitu di Indonesia cenderungan mengalami underpricing pada saat initial public offering hal ini berbeda dengan negara berkembang seperti Amerika Latin, dimana gejala underpricing hanya terjadi dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang terjadi overpricing.
II.1.6 Fenomena Underpricing dan Review Penelitian Terdahulu Fenomena lain yang menarik untuk dicermati dalam konteks IPO dan underpricing selain yang telah dipaparkan sebelumnya pada pendahuluan adalah besar kecilnya tingkat underpricing ternyata tidak sama antara negara yang satu dengan negara yang lain. Ada perbedaan dalam tingkat underpricing antar pasar modal yang ada di 18
dunia. Secara sederhana, perbedaan yang mencolok terhadap tinggi rendahnya tingkat underpricing di antara dua kelompok negara tersebut merupakan cerminan dari tingkat resiko dan ketidakpastian yang ada serta sampai sejauh mana keterbukaan informasi mampu diakses oleh calon investor. Kedewasaan pasar modal dan juga rasionalitas investor di kedua kelompok pasar modal tersebut tentu tidak sama, dimana untuk pasar modal maju (developed capital market) keterbukaan informasi sudah sangat baik dibandingkan dengan di pasar modal baru (emerging). Hal lain juga menunjukkan bahwa sistem penjaminan yang digunakan dalam proses penawaran saham merupakan faktor penentu besar kecilnya tingkat underpricing. Menurut Anggrawal & Rivoli dikutip dalam Rahmawati (2007), di Amerika Serikat perusahaan yang go public menggunakan sistem penjaminan full commitment cenderung mengalami tingkat underpricing yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang menggunakan sistem penjaminan best effort. Saham yang harganya kurang dari satu dolar, cenderung mengalami tingkat underpricing lebih tinggi dibandingkan dengan saham yang ditawarkan dengan harga yang relatif lebih tinggi (diatas lima dolar). Dalam penelitian yang dilakukan oleh Imam Ghozali & Murdik Al Mansur dalam Rahmawati
(2007)
mengungkapkan adanya hubungan antara reputasi
underwriter, financial leverage dan ROA dengan underpricing. Sedangkan variabel yang tidak mempengaruhi underpricing adalah presentase saham yang masih dipegang oleh pemegang saham lama, ukuran perusahaan dan umur perusahaan. Disisi lain, penelitian Sudento yang dikutip dalam Rahmawati (2007) menggunakan variabel profitabilitas, ukuran perusahaan dan solvabilitas, hanya berhasil menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara ukuran perusahaan (size) dengan underpricing.
19
II.1.7 Faktor-Faktor yang Diduga Berpengaruh Terhadap Underpricing Sebelumnya masuk pada penjelasan mengenai faktor-faktor yang diduga berpengaruh terhadap underpricing, terlebih dahulu akan dibahas mengenai faktor-faktor yang berpengaruh terhadap tingkat underpricing. Faktor-faktor pengaruh underpricing dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu keuangan dan non keuangan. Pada penelitian sebelumnya, Caster & Manaster dikutip dalam Triani & Nikmah (2006) memperoleh hasil penelitian bahwa informasi non keuangan digunakan oleh investor dalam membuat keputusan investasi di pasar modal. Hal ini berupa hasil penelitiannya bahwa reputasi penjamin emisi berpengaruh terhadap tingkat underpricing. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Kim et. al. Dikutip dalam Triani & Nikmah (2006). Telah dipaparkan pula bahwa ketika suatu perusahaan melakukan Initial Public Offering (IPO) maka secara rata-rata biasanya harga saham pertama diperdagangan sekunder cenderung mengalami underpricing. Fenomena terjadinya underpricing dijumpai hampir pada semua pasar modal yang ada di dunia. Setidaknya ada beberapa faktor yang mempengaruhi underpricing yang telah diformulasikan dalam variabelvariabel independen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu:
1. ROA (Return on Asset) ROA merupakan salah satu rasio profitabilitas, yaitu rasio yang menunjukkan seberapa efektifnya perusahaan beroperasi sehingga menghasilkan keuntungan atau laba bagi perusahaan. Mengacu pada Brigham & Houston (2006), nilai ROA yang semakin tinggi akan menunjukkan bahwa perusahaan mampu menghasilkan laba di masa yang akan datang dan laba merupakan informasi penting bagi investor sebagai pertimbangan dalam menanamkan modalnya. Menurut Trisnaningsih (2005), profitabilitas yang tinggi 20
dari suatu perusahaan akan mengurangi ketidakpastian bagi investor sehingga akan menurunkan tingkat underpricing. Hal ini berarti kemungkinan investor untuk mendapatkan return awal semakin rendah.
2. ROE (Return on Equity) ROE merupakan rasio yang banyak digunakan untuk mengukur profitabilitas. Mengacu pada Brigham & Houston (2006), return on equity memberikan informasi pada para investor tentang seberapa besar tingkat pengembalian modal dari perusahaan yang berasal dari kinerja perusahaan dalam menghasilkan laba. Return on equity diperoleh dari profit after tax dibagi equity (Indonesian Capital Market Directory). Berdasarkan pembagian tersebut, dapat dilihat bahwa ROE mengukur kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba atas modalnya sendiri. Hasil pembagian ini pada umumnya dinyatakan dalam persen. Menurut Fahmi (2011), semakin tinggi rasio ini menandakan kinerja perusahaan semakin baik atau efisien, nilai equity perusahaan akan meningkat dengan peningkatan rasio ini. Menurut Kim, Kirnsky & Lee dikutip dalam Amelia & Saftriana (2007), profitabilitas yang tinggi selayaknya pada return on asset dari suatu perusahaan akan mengurangi ketidakpastian bagi investor sehingga akan membantu menentukan harga perdana saham (offering price) dimana hal ini akan berdampak pada tingkat underpricing.
3. EPS (Earning per Share) Earning per Share (laba per saham) yang dibagikan merupakan salah satu informasi penting bagi investor di pasar modal untuk pengambilan keputusan investasinya. EPS merupakan pendapatan bersih yang tersedia bagi saham biasa yang 21
beredar. Dikutip dalam Gibson (2009), EPS menggambarkan jumlah rupiah yang diperoleh untuk setiap lembar saham biasa atau laba bersih per lembar saham biasa. Jumlah keuntungan yang tersedia bagi pemegang saham adalah keuntungan setelah dikurangi pajak pendapatan. Pertumbuhan EPS yang positif memperoleh bagian laba yang lebih besar dimasa yang akan datang atas setiap lembar saham yang dimilikinya. Mengacu pada Giil & Chatton dalam Sulistio (2005), dapat dikatakan bahwa perusahaan yang mapan umumnya mempunyai rasio EPS yang tinggi sedangkan perusahaan yang berusia muda mempunyai kecenderungan EPS yang rendah. Menurut Sulistio (2005), ketika investor mengevaluasi performance dari perusahaan, investor tidak cukup hanya mengetahui apakah income suatu perusahaan mengalami kenaikan atau penurunan, investor juga perlu mencermati bagaimana perubahan income berakibat terhadap investasinya yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap tingkat underpricing.
4. DER (Debt to Equity Ratio) DER merupakan salah satu dari rasio leverage. DER mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya yang ditunjukkan oleh beberapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. DER menunjukkan imbangan antara tingkat leverage (penggunaan hutang) dibandingkan modal sendiri perusahaan. DER juga memberi jaminan tentang seberapa besar hutang-hutang perusahaan dijamin modal sendiri perusahaan yang digunakan sebagai pendanaan usaha. Debt to Equity Ratio (DER) adalah rasio keuangan yang menunjukkan proporsi relatif dari ekuitas dan hutang yang digunakan untuk membiayai aset perusahaan. Hal ini erat terkait dengan pemanfaatan, rasio ini juga dikenal sebagai Gearing atau Leverage. Kedua komponen ini sering diambil dari neraca perusahaan atau laporan posisi keuangan 22
(biasa disebut nilai buku), tetapi ini rasio juga dapat dihitung dengan menggunakan nilai pasar, baik jika utang perusahaan dan ekuitas diperdagangkan pada publik atau dengan menggunakan kombinasi nilai buku hutang dan nilai pasar ekuitas secara finansial. Debt to equity ratio sebagai perwakilan ratio keuangan lainnya pada penelitian. Mengacu pada Fith & Smith dikutip dalam Amelia & Saftriana (2007) menjelaskan bahwa tingkat kewajiban yang tinggi menjadikan pihak manajemen perusahaan sulit dalam membuat prediksi jalannya perusahaan kedepan. Hal ini akan menambah ketidakpastian bagi investor sehingga akan mempengaruhi tingkat underpricing.
II.2
Hipotesis
II.2.1 Klasifikasi Hipotesis Pada penelitian ini hipotesis yang digunakan adalah hipotesis kausal yang menggambarkan
hubungan
sebab
akibat
dari
variabel
independen
terhadap
dependennya. H01: Return on asset tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat underpricing saham. H0: β = 0 Ha: β ≠ 0 Dengan menolak H05 berarti Ha5 diterima yaitu return on asset berpengaruh signifikan terhadap tingkat underpricing saham. Jika hasil regresi memunculkan persamaan Y = 20 -3X, maka Ha yang akan diterima karena β = -3 ≠ 0, artinya dengan kenaikan return on asset sebesar 3 satuan (pengaruhnya negatif) akan menurunkan tingkat underpricing sebesar 3 satuan.
23
II.2.2 Pengembangan Hipotesis 1. ROA (Return on Asset) ROA menunjukkan seberapa efektifnya perusahaan beroperasi sehingga menghasilkan keuntungan atau laba bagi perusahaan. Nilai ROA yang semakin tinggi akan menunjukkan bahwa perusahaan mampu menghasilkan laba di masa yang akan datang dan laba merupakan informasi penting bagi investor sebagai pertimbangan dalam menanamkan modalnya. Profitabilitas yang tinggi dari suatu perusahaan akan mengurangi ketidakpastian bagi investor sehingga akan menurunkan tingkat underpricing. Hal ini berarti kemungkinan investor untuk mendapatkan return awal semakin rendah. Oleh karena itu, hipotesis yang diajukan berdasarkan penjelasan di atas adalah sebagai berikut : H01 :
Return on Asset (ROA) tidak berpengaruh signifikan dan negatif terhadap tingkat underpricing.
Ha1 :
Return on Asset (ROA) berpengaruh signifikan dan negatif terhadap tingkat underpricing.
2. ROE (Return on Equity) Return On Equity merupakan rasio yang diperoleh dari profit after tax dibagi equity. Berdasarkan pembagian tersebut, dapat dilihat bahwa ROE mengukur kemampuan perusahaan untuk menghasilkan laba atas modalnya sendiri. Semakin tinggi rasio ini menandakan kinerja perusahaan semakin baik atau efisien, sehingga hal ini akan mengurangi ketidakpastian investor yang mengimbas pada penurunan tingkat underpricing. Berdasarkan hal tersebut diajukan hipotesis sebagai berikut: 24
H02 :
Return on Equity (ROE) tidak berpengaruh signifikan dan negatif terhadap tingkat underpricing.
Ha2 :
Return on Equity (ROE) berpengaruh signifikan dan negatif terhadap tingkat underpricing.
3. EPS (Earning per Share) Earning per Share merupakan pendapatan bersih yang tersedia bagi saham biasa yang beredar. EPS menggambarkan jumlah rupiah yang diperoleh untuk setiap lembar saham biasa atau laba bersih per lembar saham biasa dikutip dalam Gibson (2009). Pertumbuhan EPS yang positif memperoleh bagian laba yang lebih besar dimasa yang akan datang atas setiap lembar saham yang dimilikinya. Dengan terus meningkatnya nilai EPS yang semakin baik maka akan memperoleh laba yang dapat mengurangi ketidakpastian investor sehingga menurunkan tingkat underpricing. Atas dasar tersebut, maka diajukan hipotesis sebagai berikut: H03 :
Earning per share (EPS) tidak berpengaruh signifikan dan negatif terhadap tingkat underpricing.
Ha3 :
Earning per share (EPS) berpengaruh signifikan dan negatif terhadap tingkat underpricing.
4. DER (Debt to Equity Ratio) Debt to equity ratio adalah rasio keuangan yang menunjukkan proporsi relatif dari ekuitas dan hutang yang digunakan untuk membiayai aset perusahaan. Hal ini erat terkait dengan pemanfaatan, rasio ini juga dikenal sebagai Gearing atau Leverage. 25
Kedua komponen ini sering diambil dari neraca perusahaan atau laporan posisi keuangan (yang biasa disebut nilai buku), tetapi ini rasio juga dapat dihitung dengan menggunakan nilai pasar, baik jika utang perusahaan dan ekuitas diperdagangkan pada publik atau dengan menggunakan kombinasi nilai buku hutang dan nilai pasar ekuitas secara finansial. Apabila kemampuan modal sendiri yang dimiliki perusahaan atas hutangnya dapat ditutupi dimana dapat terlihat melalui rasio ini maka hal tersebut akan mengurangi keraguan investor untuk berinvesatasi. Sehingga hal ini akan menurunkan tingkat underpricing. Oleh karena itu, hipotesis yang diajukan adalah sebagai berikut: H04 :
Debt to Equity Ratio (DER) tidak berpengaruh signifikan dan positif terhadap besarnya tingkat underpricing.
Ha4 :
Debt to Equity Ratio (DER) berpengaruh signifikan dan positif terhadap besarnya tingkat underpricing.
Pada kajian teori di atas, telah dijelaskan hubungan setiap variabel independen terhadap variabel dependen secara parsial. Adapun hubungan simultan dari variabel yang diajukan adalah sebagai berikut: H05 :
Return on Asset (ROA), Return on Equity (ROE), Earning per share (EPS) dan Debt to Equity Ratio (DER) tidak berpengaruh signifikan terhadap besarnya tingkat underpricing.
Ha5 :
Return on Asset (ROA), Return on Equity (ROE), Earning per share (EPS) dan Debt to Equity Ratio (DER) berpengaruh signifikan terhadap besarnya tingkat underpricing.
26
III.2.3 Arah dari Hipotesis Arah hipotesis dalam penelitian ini adalah hipotesis kausal yang menggambarkan hubungan sebab akibat dari variabel independen terhadap dependennya ke arah negatif. Hal ini dimaksudkan agar tingkat underpricing dapat diturunkan. Sebesar jumlah satuan dari Ha yang diperoleh.
27