12
BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1.
Teori Keagenan (Agency Theory) Menurut Jensen dan Meckling (1976), dalam kerangka hubungan
keagenan (agency theory), timbulnya masalah keagenan disebabkan karena konflik kepentingan antara prinsipal dan agen, kontrak yang tidak lengkap, serta adanya asimetri informasi. Masalah keagenan yang terjadi antara investor (sebagai principal) dan manajemen (sebagai agent) tentu dapat menyebabkan timbulnya biaya keagenan (agency cost). Di dalam penelitiannya, Mulyono (2009) mengungkapkan bahwa tingkat asimetri informasi akan cenderung relatif tinggi pada perusahaan dengan tingkat kesempatan investasi yang baik. Dalam kondisi ini, manajer memiliki informasi tentang nilai proyek di masa depan dan tindakan mereka tidak dapat diawasi secara detail oleh pemegang saham. Untuk menghalangi perilaku manajer yang buruk (opportunistic behaviour) maka pemegang saham harus bersedia mengeluarkan biaya pengawasan (monitoring cost) yang disebut agency cost atau biaya keagenan (Dewi, 2008). Agency cost yang muncul tersebut dapat diminimalkan dengan membagi dividen kas yang menyebabkan perusahaan tidak mempunyai dana berlebih sehingga tidak bisa disalahgunakan oleh manajer. Dengan kata lain, kebijakan pembagian dividen kas dapat menjadi salah satu bentuk mekanisme pengawasan pemegang saham terhadap pihak manajemen.
13
2.2.
Profitabilitas (ROA) Suharli dan Oktarina (2005) menyatakan bahwa profitabilitas adalah
kemampuan perusahaan menghasilkan laba. Laba ini yang akan menjadi dasar pembagian dividen perusahaan, apakah dividen tunai ataupun dividen saham. Peningkatan laba bersih perusahaan akan meningkatkan tingkat pengembalian investasi berupa pendapatan dividen bagi investor. Riyanto
(2001)
mendefinisikan
profitabilitas
sebagai
kemampuan
perusahaan untuk menghasilkan laba dibandingkan dengan modal perusahaan yang digunakan selama periode tertentu. Laba yang diperoleh perusahaan akan menjadi dasar dalam membuat kebijakan untuk menentukan jumlah pembayaran dividen kepada pemegang saham dan jumlah laba yang akan diinvestasikan kembali pada perusahaan sebagai laba ditahan (retained earnings). Hal ini berarti profitabilitas tentu dibutuhkan oleh perusahaan apabila perusahaan akan melakukan pembayaran dividen. Menurut Istiningtyas (2013), profitabilitas dapat diukur dengan berbagai macam bentuk atau model, seperti laba operasi, laba bersih, tingkat pengembalian investasi atas aktiva, dan tingkat pengembalian atas ekuitas. Terdapat beberapa alat ukur untuk mengukur rasio profitabilitas yang umum digunakan, antara lain return on investment (ROI), return on assets (ROA) , dan return on equity (ROE). ROA merupakan salah satu rasio profitabilitas yang menunjukkan seberapa efektif perusahaan beroperasi sehingga menghasilkan laba bagi perusahaan. Ang (1997) menyebutkan bahwa rasio ROA digunakan untuk
14
mengukur efektifitas perusahaan dalam menghasilkan laba bersih dengan cara memanfaatkan/mengelola aset yang dimiliki. Investor (shareholders) cenderung lebih menyukai perusahaan dengan nilai ROA tinggi karena perusahaan tersebut mampu menghasilkan tingkat laba bersih yang tinggi. Dengan demikian, harapan investor atas hal ini yaitu perusahaan mampu membayarkan dividen dalam jumlah yang besar kepada pemegang saham.
2.3.
Free Cash Flow Ross et al. (2000) mengartikan aliran kas bebas atau free cash flow sebagai
aliran kas yang tersedia untuk dibagikan kepada para pemegang saham atau pemilik dalam bentuk dividen. Pembagian tersebut dilakukan setelah perusahaan melakukan investasi pada aset tetap (fixed asset) dan modal kerja (working capital) yang diperlukan untuk kelangsungan usahanya. White et al. (2003) mendefinisikan free cash flow sebagai aliran kas diskresioner yang tersedia bagi perusahaan. Free cash flow diukur melalui penghitungan kas dari aktivitas operasi yang dikurangi dengan pembelanjaan modal (capital expenditure) untuk memenuhi kapasitas produksi saat ini. Free cash flow dapat digunakan untuk pembayaran hutang dan pembayaran kepada pemegang saham dalam bentuk dividen. Semakin besar free cash flow yang tersedia dalam suatu perusahaan, maka dapat dikatakan bahwa semakin sehat perusahaan tersebut karena memiliki kas yang tersedia untuk pembayaran hutang dan dividen.
15
Brown (1996) mendefinisikan aliran kas bebas sebagai cash flow yang dihasilkan dari operasi bisnis yang sedang berjalan dan tersedia untuk didistribusikan kembali kepada pemegang saham. Pembagian kas tersebut dianggap tidak akan mempengaruhi tingkat pertumbuhan perusahaan saat ini. Brigham dan Daves (2003) mengungkapkan bahwa aliran kas bebas merupakan aliran kas sesungguhnya yang tersedia untuk dibagikan kepada pemegang saham dan kreditur. Pembagian kas tersebut dilakukan setelah perusahaan menginvestasikan ke dalam aktiva tetap dan modal kerja yang diperlukan untuk mempertahankan operasional perusahaan. Dari semua definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa free cash flow merupakan kelebihan kas di perusahaan yang seharusnya dibagikan kepada para pemegang saham. Pembagian kas tersebut baru dapat dilakukan setelah perusahaan
menginvestasikan
kas
untuk
pembelanjaan
modal
(capital
expenditure).
2.4.
Investment Opportunity Set Investment Opportunity Set (IOS) awalnya dikemukakan oleh Myers
(1977) dalam Subekti dan Kusuma (2001) yang menjelaskan pengertian perusahaan sebagai satu kombinasi antara aktiva riil (assets in place) dan opsi investasi masa depan. Menurut Gaver dan Gaver (1993), opsi investasi masa depan tidak hanya ditunjukkan dengan adanya proyek-proyek yang didukung oleh aktivitas research and development saja, tetapi juga dengan kemampuan perusahaan yang mampu mengeksploitasi keuntungan dengan jumlah yang lebih
16
banyak dibandingkan dengan perusahaan lain yang setara dalam suatu kelompok industrinya. Kemampuan perusahaan yang lebih tinggi ini bersifat tidak dapat diobservasi (unobservable). Prasetyo (2001) juga menyatakan bahwa IOS perusahaan terdiri dari proyek-proyek yang memberikan pertumbuhan bagi perusahaan. Dengan demikian, IOS dapat menjadi pemikiran sebagai prospek pertumbuhan bagi perusahaan di masa depan. IOS merupakan hal yang tidak dapat diobservasi sehingga diperlukan proksi dalam mengukur IOS agar dapat menjelaskan keterkaitan dengan variabel-variabel lain. Gaver dan Gaver (1993), Subekti dan Kusuma (2001), Tarjo dan Hartono (2003) mengemukakan bahwa proksi pertumbuhan perusahaan dengan nilai IOS secara umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok berdasarkan faktorfaktor yang digunakan dalam mengukur nilai IOS. Kategori IOS tersebut adalah sebagai berikut. 1) Proksi berdasarkan harga. Proksi ini percaya pada gagasan bahwa prospek yang tumbuh dari suatu perusahaan sebagian dinyatakan dalam harga pasar. Perusahaan yang tumbuh akan mempunyai nilai pasar yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan aktiva riilnya (assets in place). 2) Proksi berdasarkan investasi. Proksi ini percaya pada gagasan bahwa satu level kegiatan investasi yang tinggi berkaitan secara positif pada nilai IOS suatu perusahaan. Kegiatan investasi ini diharapkan dapat memberikan peluang investasi di masa depan yang lebih besar pada perusahaan yang bersangkutan.
17
3) Proksi berdasarkan varian. Proksi ini percaya pada gagasan bahwa suatu opsi akan menjadi lebih bernilai jika menggunakan variabilitas ukuran untuk memperkirakan besarnya opsi yang tumbuh, seperti variabilitas return yang mendasari peningkatan aktiva. Meskipun terdapat 3 kategori proksi IOS, namun penelitian ini hanya akan menggunakan satu proksi IOS saja yaitu MVE/BVE yang masuk dalam kategori proksi berdasarkan harga. Elloumi dan Gueyle (2003) mengungkapkan bahwa proksi ini memiliki korelasi sangat tinggi dengan pertumbuhan di masa mendatang. Mereka kemudian menyimpulkan bahwa proksi ini lebih baik dan dapat mengurangi tingkat kesalahan yang ada. Tarjo dan Hartono (2003) menyatakan bahwa rasio MVE/BVE mencerminkan bahwa pasar menilai return investasi perusahaan di masa depan dari return yang diharapkan atas ekuitasnya. Adanya perbedaan antara nilai pasar dan nilai buku ekuitas menunjukkan kesempatan investasi perusahaan. Kesempatan investasi atau investment opportunity set (IOS) yang tinggi di masa depan membuat perusahaan dikatakan mempunyai tingkat pertumbuhan yang tinggi. Rozeff (1982) menyatakan bahwa tingkat pertumbuhan yang tinggi dikaitkan
dengan
penurunan
dividen.
Perusahaan
dengan
pertumbuhan
pendapatan yang tinggi diharapkan memiliki kesempatan investasi yang tinggi. Untuk meningkatkan pertumbuhan pendapatan tersebut, perusahaan memerlukan dana yang dibiayai dari sumber internal. Hal ini menyebabkan penurunan dividen yang akan dibagikan kepada pemegang saham (Myers dan Majluf, 1984).
18
2.5.
Dividen Ang (1997) mengemukakan bahwa dividen adalah laba bersih setelah
pajak atau net income yang dikurangi dengan laba ditahan (retained earnings) yang digunakan sebagai cadangan pada suatu perusahaan. Kieso et al. (2007) membedakan dividen menjadi 4 jenis, yaitu: 1) Dividen tunai (cash dividends), merupakan distribusi dividen dalam bentuk tunai yang dinyatakan dalam rupiah atau persentase. Pembayaran dividen tunai akan mengurangi kas perusahaan dan laba ditahan. 2) Dividen properti (property dividends) atau dividend in kind, merupakan dividen yang dibayarkan menggunakan aset perusahaan selain kas. Aset perusahaan yang dibayarkan untuk dividen dapat berupa persediaan, real estate, investasi, atau dalam bentuk apapun yang ditetapkan oleh dewan komisaris. 3) Dividen saham (stock dividends), merupakan pembagian dividen dalam bentuk saham kepada para pemegang saham. Pembagian dividen saham ini akan berdampak pada kenaikan lembar saham yang dimiliki pemegang saham. Dividen saham biasanya dinyatakan dalam bentuk persentase. 4) Dividen likuidasi (liquidating dividends), merupakan dividen yang dibayarkan bukan berdasarkan laba ditahan atau pendapatan perusahaan. Dividen ini dibagikan dengan menggunakan modal yang telah disetor oleh pemegang saham (pengembalian investasi atas saham).
19
2.5.1. Kebijakan Dividen Sutrisno (2001) mengungkapkan bahwa Kebijakan dividen adalah kebijakan yang berhubungan dengan pembayaran dividen oleh pihak perusahaan, berupa penentuan besarnya dividen yang akan dibagikan dan besarnya saldo laba yang ditahan untuk kepentingan perusahaan. Rosdini (2009) mengungkapkan kebijakan dividen sebagai suatu keputusan perusahaan apakah akan membagikan earnings yang dihasilkan kepada para pemegang saham atau akan menahan earnings untuk kegiatan reinvestasi dalam perusahaan. Sinarwati (2013) mengungkapkan bahwa kebijakan dividen yang dilakukan oleh perusahaan meliputi: 1) Kebijakan dividen yang stabil, artinya jumlah dividen per lembar saham yang dibayarkan setiap tahunnya relatif tetap selama jangka waktu tertentu meskipun pendapatan per lembar saham setiap tahunnya berfluktuasi. 2) Kebijakan dengan penetapan jumlah minimal plus jumlah ekstra tertentu, artinya kebijakan ini menetapkan jumlah rupiah minimal dividen per lembar saham setiap tahunnya. Dalam keadaan keuangan yang lebih baik, perusahaan akan membayar dividen ekstra di atas jumlah minimal tersebut. 3) Kebijakan dividen dengan penerapan rasio pembagian dividen yang konstan. Perusahaan yang menjalankan kebijakan ini menetapkan dividen yang konstan misalnya 50% dari laba bersih perusahaan.
20
4) Kebijakan dividen yang fleksibel, artinya jumlah dividen yang dibagikan setiap tahunnya disesuaikan dengan posisi finansial dan kebijakan finansial dari perusahaan yang bersangkutan.
2.5.2. Dividend Payout Ratio Horne dan Wachowicz (1998) mendefinisikan dividend payout ratio sebagai persentase laba perusahaan yang diberikan ke para pemegang saham secara tunai. Selaras dengan Horne dan Wachowicz (1998), Rosdini (2009) juga mengartikan dividend payout ratio sebagai indikasi atas persentase jumlah laba atau earnings yang diperoleh dan didistribusikan kepada pemilik atau pemegang saham dalam bentuk kas.
2.5.3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Dividend Payout Ratio Sutrisno (2001) mengungkapkan mengenai beberapa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya dividen yang akan dibayarkan oleh perusahaan kepada pemegang saham. Faktor-faktor itu adalah sebagai berikut. 1) Posisi solvabilitas perusahaan. Apabila perusahaan dalam kondisi insolvensi atau solvabilitasnya kurang menguntungkan, perusahaan biasanya tidak membagikan laba dalam bentuk dividen. Hal ini disebabkan laba yang diperoleh lebih banyak digunakan untuk memperbaiki posisi struktur modal perusahaan. 2) Posisi likuiditas perusahaan. Cash dividend merupakan arus kas keluar bagi perusahaan sehingga jika perusahaan membayarkan dividen berarti
21
harus bisa menyediakan uang kas yang cukup banyak. Hal ini akan menurunkan tingkat likuiditas perusahaan. 3) Kebutuhan untuk melunasi hutang. Salah satu sumber dana perusahaan adalah dari kreditur berupa hutang, baik hutang jangka pendek maupun jangka panjang. Hutang-hutang ini harus segera dibayar pada saat jatuh tempo, dan untuk membayar hutang-hutang tersebut harus disediakan dana. Semakin banyak hutang yang harus dibayar, semakin besar dana yang harus disediakan sehingga akan mengurangi jumlah dividen yang akan dibayarkan kepada pemegang saham. 4) Rencana perluasan. Perusahaan yang berkembang ditandai dengan semakin pesatnya pertumbuhan perusahaan, dan hal ini bisa dilihat dari perluasan yang dilakukan oleh perusahaan. Semakin pesat pertumbuhan perusahaan, semakin pesat perluasan yang dilakukan. Konsekuensi dari hal ini yaitu semakin besar kebutuhan dana untuk membiayai perluasan tersebut. Kebutuhan dana dalam rangka ekspansi tersebut bisa dipenuhi baik dari hutang, menambah modal sendiri, dan juga bisa diperoleh dari sumber internal yaitu memperbesar laba yang ditahan. Dengan demikian, semakin pesat perluasan yang dilakukan perusahaan, semakin kecil dividend payout ratio. 5) Kesempatan investasi. Kesempatan investasi juga merupakan faktor yang mempengaruhi besar kecilnya dividen yang akan dibagi. Semakin terbuka kesempatan investasi, semakin kecil dividen yang dibayarkan karena dana tersebut digunakan untuk memperoleh kesempatan investasi. Akan tetapi,
22
jika kesempatan investasi kurang baik, maka dana tersebut lebih banyak digunakan untuk membayar dividen. 6) Stabilitas pendapatan. Bagi perusahaan yang pendapatannya stabil, dividen yang akan dibayarkan kepada pemegang saham lebih besar dibanding dengan perusahaan yang pendapatannya tidak stabil. 7) Pengawasan terhadap perusahaan. Kadang-kadang pemilik tidak mau kehilangan kendali terhadap perusahaan. Apabila perusahaan mencari sumber dana dari modal sendiri, kemungkinan akan masuk investor baru dan ini tentunya akan mengurangi kekuasaan pemilik lama dalam mengendalikan perusahaan. Jika dibelanjakan dari hutang, risiko yang timbul cukup besar. Oleh karena itu, perusahaan cenderung tidak membagi dividen agar pengendalian tetap berada ditangan.
2.6.
Penelitian Terdahulu Berikut ini merupakan hasil penelitian terdahulu mengenai faktor – faktor
yang mempengaruhi dividend payout ratio. Sutrisno (2001) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi dividend payout ratio. Sampel yang digunakan sebanyak 148 perusahaan go public yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta selama tahun 1991 – 1996. Variabel independen yang digunakan adalah cash position, growth potential, firm size, DER, profitability dan holding. Variabel dependen dalam penelitian ini adalah dividend payout ratio.
23
Hasil dari penelitian tersebut yaitu cash position berpengaruh signifikan terhadap dividend payout ratio. Sedangkan variabel DER, growth potential, firm size, profitability, dan holding tidak berpengaruh terhadap dividend payout ratio. Istiningtyas (2013) meneliti mengenai pengaruh agency cost terhadap kebijakan dividen (dividend payout ratio) pada perusahaan yang terdaftar di BEI. Dalam hal ini, agency cost diproksi dengan free cash flow, debt equity ratio, return on equity, risk, growth, dan size. Dari hasil analisis menunjukkan bahwa variabel profitability (ROE) dan variabel firm size berpengaruh positif dan signifikan terhadap DPR. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa variabel leverage (DER) berpengaruh negatif dan signifikan terhadap DPR. Variabel lain dalam penelitian ini yaitu free cash flow, risk, dan growth tidak berpengaruh terhadap DPR. Kumar (2007) meneliti mengenai pengaruh variabel kepemilikan saham manajemen, kepemilikan saham institusi, IOS, ROA, dan DER terhadap Dividend Payout Ratio (DPR) pada perusahaan yang terdaftar di BEJ periode 2003- 2005. Dari hasil analisis pada perusahaan dalam negeri menunjukkan bahwa hanya variabel ROA yang berpengaruh signifikan terhadap DPR di BEJ periode 20032005 pada level of significance kurang dari 5%. Sedangkan variabel kepemilikan saham manajemen, kepemilikan saham institusi, IOS, dan DER tidak berpengaruh terhadap DPR dengan level of significance lebih besar dari 5%. Sementara
pada
perusahaan
multinasional,
variabel
independen
(kepemilikan saham manajemen, IOS, ROA, dan DER) berpengaruh terhadap DPR pada level of significance kurang dari 5%.
24
Suharli (2006) meneliti tentang pengaruh profitabilitas, leverage, dan harga saham terhadap jumlah dividen tunai. Sampel yang digunakan sebanyak 60 perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta dan membagikan dividen selama kurun waktu 2002-2003. Peneliti menggunakan analisis regresi linier berganda dalam penelitian tersebut. Variabel independen yang diuji adalah profitabilitas yang diproksikan dengan ROE, leverage yang di proksikan dengan DER, dan harga saham. Variabel dependen yang digunakan adalah Dividend Payout Ratio. Hasil dari penelitian tersebut yaitu ROE dan harga saham berpengaruh positif dan signifikan terhadap Dividend Payout Ratio, sedangkan DER tidak berpengaruh terhadap Dividend Payout Ratio. Mulyono (2009) melakukan penelitian untuk menguji pengaruh variabel Debt to Equity Ratio (DER), Insider Ownership, Size, dan Investment Opportunity Set (IOS) terhadap Kebijakan Dividen dalam perusahaan manufaktur yang terdaftar di BEJ periode 2005-2007. Dari analisis ditunjukkan bahwa variabel DER dan Ln IOS berpengaruh signifikan terhadap DPR perusahaan selama periode 2005-2007 pada level signifikan kurang dari 5%. Sedangkan variabel Ln Insider, Size, dan Ownership tidak berpengaruh terhadap DPR. Mahadwartha dan Hartono (2002) menguji pengaruh Investment Opportunity Set (IOS), kepemilikan manajerial, ukuran perusahaan, dan kebijakan hutang terhadap DPR. Kesimpulan yang didapat dari hasil penelitian tersebut adalah kebijakan hutang dan invesment opportunity set memiliki pengaruh positif
25
terhadap DPR. Pada variabel kepemilikan manajerial dan ukuran perusahaan memiliki pengaruh negatif terhadap DPR. Lucyanda dan Lilyana (2012) melakukan penelitian mengenai pengaruh free cash flow dan struktur kepemilikan terhadap dividend payout ratio. Data penelitian diperoleh dari laporan keuangan perusahaan yang terdaftar di BEI selama tahun 2007-2009. Variabel independen pada penelitian ini adalah free cash flow, kepemilikan institusional, kepemilikan keluarga, kepemilikan asing, size, leverage dan growth, dengan dividen payout ratio sebagai variabel dependen. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel free cash flow, size, leverage, dan kepemilikan keluarga berpengaruh positif terhadap dividend payout ratio. Sedangkan variabel kepemilikan institusional dan growth berpengaruh negatif terhadap dividend payout ratio. Pujiastuti (2008) meneliti tentang pengaruh agency cost terhadap kebijakan dividen. Sampel yang digunakan dalam penelitian tersebut sejumlah 120 perusahaan manufaktur dan jasa yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia selama kurun waktu 2000-2005. Variabel dependen yang digunakan adalah insider ownership, shareholder dispression, collateral assets, free cash flow, dan debt, variabel dependennya adalah dividend payout ratio. Hasil dari penelitian tersebut adalah variabel insider ownership dan debt berpengaruh negatif terhadap dividend payout ratio. Variabel shareholder dispression berpengaruh positif terhadap dividend payout ratio. Sedangkan variabel collateral assets dan free cash flow tidak berpengaruh terhadap dividend payout ratio.
26
Suharli (2007) meneliti tentang pengaruh profitabilitas dan investment opportunity set terhadap kebijakan dividen tunai dengan likuiditas sebagai variabel penguat (studi pada perusahaan yang terdaftar di BEI Periode 20022003). Kesimpulan dalam penelitian ini yaitu likuiditas dapat digunakan sebagai variabel moderator karena mempunyai pengaruh yang signifikan dalam mempengaruhi profitabilitas dan IOS. Selain itu, hanya variabel profitabilitas yang dapat mempengaruhi kebijakan pembagian dividen perusahaan, sedangkan IOS tidak berpengaruh terhadap kebijakan dividen tunai. Rosdini (2009) meneliti tentang pengaruh free cash flow terhadap dividend payout ratio. Sampel yang digunakan yaitu beberapa perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta selama periode 2000-2002. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah analisis regresi linier sederhana. Variabel independen yang digunakan adalah free cash flow dan variabel dependen yang digunakan adalah dividend payout ratio. Hasil dari penelitian tersebut adalah free cash flow berpengaruh positif dan signifikan terhadap dividend payout ratio.
2.7.
Pengembangan Hipotesis
2.7.1. Pengaruh Profitabilitas terhadap Dividend Payout Ratio Profitabilitas adalah kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba, sedangkan dividen merupakan sebagian dari laba perusahaan yang dapat dibagikan kepada pemegang saham. Dengan demikian, peneliti dapat mengatakan bahwa profitabilitas memiliki keterkaitan dengan dividend payout ratio.
27
Peneliti berargumen bahwa perusahaan yang mampu mengelola asetnya secara efektif dan efisien cenderung menghasilkan kinerja keuangan yang baik. Hal ini direalisasikan dengan adanya laba yang tinggi. Dengan demikian, perusahaan tersebut dianggap mampu untuk membayar sebagian porsi labanya dalam bentuk dividen tunai. Semakin tinggi laba yang mampu dihasilkan, semakin besar pula probabilitas perusahaan untuk membagikan dividen. Ketika dalam kondisi laba yang rendah atau rugi, perusahaan tidak memiliki porsi laba yang cukup untuk dibagikan dalam bentuk dividen. Perusahaan perbankan cenderung untuk menahan laba yang ada untuk mencukupi terlebih dahulu jumlah permodalan (capital adequacy) yang diharuskan oleh Bank Indonesia. Ukuran profitabilitas tersebut dapat diukur dengan menggunakan rasio ROA. Ang (1997) menyebutkan bahwa rasio ROA digunakan untuk mengukur efektifitas
perusahaan
dalam
menghasilkan
laba
bersih
dengan
cara
memanfaatkan/mengelola aset yang dimiliki. Profitabilitas yang diproksikan dengan ROA ini tentu dibutuhkan oleh perusahaan apabila perusahaan akan melakukan pembayaran dividen. Semakin tinggi profitabilitas (ROA) yang mampu dihasilkan, semakin tinggi pula jumlah dividen tunai yang akan dibagikan. Dari uraian di tersebut, maka hipotesis yang hendak dikembangkan yaitu: H1: Profitabilitas (ROA) berpengaruh positif terhadap dividend payout ratio
28
2.7.2. Pengaruh Free Cash Flow terhadap Dividend Payout Ratio Brigham dan Daves (2003) mengungkapkan bahwa aliran kas bebas merupakan aliran kas sesungguhnya yang tersedia untuk dibagikan kepada pemegang saham dan kreditur setelah perusahaan menginvestasikan ke dalam aktiva tetap dan modal kerja yang diperlukan untuk mempertahankan operasional perusahaan. Dari definisi tersebut, peneliti dapat mengatakan bahwa free cash flow merupakan kas yang berlebih di perusahaan yang seharusnya dibagikan kepada para pemegang saham dalam bentuk dividen. Pembagian tersebut dapat dilakukan
setelah
perusahaan
melakukan
pembelanjaan
modal
(capital
expenditure) seperti pembelian aset tetap secara tunai. Jensen (1986) menyatakan bahwa free cash flow berpengaruh positif terhadap dividend payout ratio. Semakin tinggi free cash flow maka semakin tinggi dividend payout ratio atau sebaliknya. Jensen (1986) menghubungkan free cash flow tersebut dengan teori keagenan (agency theory). Hal ini selaras dengan pemikiran peneliti bahwa pemilik/pemegang saham berencana untuk membagikan dividen tunai dalam jumlah yang tinggi untuk menghindari terjadinya overinvestment (free cash flow problem) yang dilakukan oleh manajerial. Tindakan tersebut dilakukan untuk mengurangi agency cost pada perusahaan atau dapat dikatakan sebagai bentuk mekanisme pengawasan pemegang saham terhadap manajerial. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian Lucyanda dan Lilyana (2012) yang menyatakan bahwa free cash flow memiliki hubungan positif terhadap
29
dividend payout ratio. Dari uraian di atas, maka hipotesis yang hendak dikembangkan yaitu: H2: Free cash flow berpengaruh positif terhadap dividend payout ratio
2.7.3. Pengaruh Investment Opportunity Set (IOS) terhadap Dividend Payout Ratio IOS terdiri dari proyek-proyek yang memberikan pertumbuhan. Dengan demikian, IOS dapat menjadi pemikiran sebagai prospek pertumbuhan bagi perusahaan di masa depan. IOS merupakan hal yang tidak dapat diobservasi sehingga diperlukan proksi agar dapat menjelaskan keterkaitan IOS dengan variabel-variabel lain (Prasetyo, 2001). Penelitian ini menggunakan satu proksi IOS saja yaitu MVE/BVE yang masuk dalam kategori proksi berdasarkan harga. Tarjo dan Hartono (2003) menyatakan bahwa rasio MVE/BVE mencerminkan bahwa pasar menilai return investasi perusahaan di masa depan dari return yang diharapkan atas ekuitasnya. Adanya perbedaan antara nilai pasar dan nilai buku ekuitas menunjukkan kesempatan investasi perusahaan. Kesempatan investasi atau investment opportunity set (IOS) yang tinggi di masa depan membuat perusahaan dikatakan mempunyai tingkat pertumbuhan yang tinggi. Peneliti memiliki dugaan bahwa tingkat pertumbuhan perusahaan yang tinggi di masa depan biasanya diikuti dengan adanya penurunan dividen tunai. Perusahaan dengan pertumbuhan yang tinggi sering dikatakan juga memiliki
30
kesempatan investasi tinggi. Hal ini yang memotivasi pihak manajerial untuk melakukan reinvestasi dalam jumlah besar. Untuk meningkatkan pertumbuhan tersebut, perusahaan cenderung menggunakan dana yang berasal dari sumber internal dibandingkan dengan sumber eksternal (penerbitan saham atau obligasi). Sumber dana internal lebih disukai untuk membiayai kegiatan reinvestasi karena dana tersebut memiliki risiko dan biaya yang lebih rendah. Hal ini dapat menyebabkan penurunan dividen yang akan dibagikan kepada pemegang saham. Pemikiran atas dugaan tersebut selaras dengan hasil penelitian Ismiyanti dan Hanafi (2003) yang menyatakan bahwa pengaruh IOS terhadap kebijakan dividen adalah negatif. Dari uraian di atas, maka hipotesis yang hendak dikembangkan yaitu: H3: Investment Opportunity Set (IOS) berpengaruh negatif terhadap dividend payout ratio