BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Efikasi Diri (self-efficacy) Dalam model pembelajaran Bandura, faktor person (kognitif) memainkan peran penting. Faktor person (kognitif) yang ditekankan Bandura (dalam Santrock, 2010) pada masa belakangan ini adalah self-efficacy, yakni keyakinan bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan menghasilkan hasil positif. Bandura mengatakan bahwa selfefficacy berpengaruh besar terhadap perilaku. Misalnya, seorang siswa yang selfefficacy-nya rendah mungkin tidak mau berusaha belajar untuk mengerjakan ujian karena siswa tersebut tidak percaya bahwa belajar akan bisa membantunya mengerjakan soal (Santrock, 2010). Bandura (dalam Santrock, 2010) percaya bahwa self efficacy adalah faktor penting yang mempengaruhi prestasi siswa. Self efficacy punya kesamaan dengan motivasi untuk menguasai dan motivasi instrinsik. Stipek dan Maddux (dalam Santrock, 2010) menjelaskan self efficacy adalah keyakinan “Aku bisa”; ketidakberdayaan adalah keyakinan bahwa “Aku tidak bisa”. Murid dengan self efficacy tinggi setuju dengan pernyataan seperti “Saya tahu bahwa saya akan mampu menguasai materi ini” dan “Saya akan bisa mengerjakan tugas ini.” Perasaan self efficacy remaja mempengaruhi pilihan aktivitas, tujuan, dan usaha serta persistensi mereka dalam aktivitas-aktivitas kelas.
8
2.1.1. Pengertian Efikasi Diri Bandura (dalam Feist & Feist, 2010) mendefinisikan efikasi diri sebagai keyakinan seseorang dalam kemampuannya untuk melakukan suatu bentuk kontrol terhadap keberfungsian orang itu sendiri dan kejadian dalam lingkungan. Bandura beranggapan bahwa keyakinan atas efikasi seseorang adalah landasan dari agen manusia. Manusia yang yakin bahwa dirinya dapat melakukan sesuatu yang mempunyai potensi untuk dapat mengubah kejadian di lingkungannya, akan lebih mungkin untuk bertindak dan lebih mungkin untuk menjadi sukses daripada manusia yang mempunyai efikasi diri yang rendah. Efikasi diri tidak hanya merupakan konsep
global
atau
yang
digeneralisasikan, seperti harga diri (self-esteem) atau kepercayaan diri (selfconfidence) (Feist & Feist, 2010). Walaupun self-efficacy adalah karakteristik internal yang mempengaruhi perilaku dan reaksi dalam cara yang relatif konstan dan terprediksi, self-efficacy juga ditentukan oleh situasi. Orang dapat mempunyai self-efficacy yang tinggi dalam satu situasi dan mempunyai selfefficacy yang rendah dalam situasi lainnya. Efikasi diri yang tinggi dan rendah berkombinasi dengan lingkungan yang responsif untuk menghasilkan empat variabel prediktif (Bandura, 1997). Ketika efikasi diri yang tinggi dan lingkungan responsif, hasilnya kemungkinan besar akan tercapai. Saat efikasi rendah berkombinasi dengan lingkungan yang responsif, manusia mungkin akan merasa depresi karena mengobservasi bahwa orang lain dapat berhasil melakukan suatu tugas yang terlalu sulit untuknya. Saat 9
seseorang dengan efikasi diri yang tinggi menemui situasi lingkungan yang tidak responsif, biasanya akan meningkatkan usahanya untuk mengubah lingkungan. Orang tersebut dapat melakukan protes-protes, kegiatan aktivis sosial, atau bahkan kekuatan untuk memulai perubahan; namun saat semua usaha tersebut gagal, Bandura berhipotesis bahwa orang tersebut akan menyerah malakukan hal tersebut dan mencari lingkungan baru yang lebih responsif. Terakhir, saat efikasi diri yang rendah dikombinasikan dengan lingkungan yang tidak responsif, orang-orang akan merasa apatis, segan, dan tidak berdaya (Feist & Feist, 2010).
2.1.2. Sumber Efikasi Diri Bandura (1997) menyatakan bahwa efikasi diri dapat diperoleh, dipelajari, dan dikembangkan dari empat sumber informasi yaitu Enactive attainment and performance accomplishment (pengalaman keberhasilan dan pencapaian prestasi), Vicarious experience (pengalaman orang lain), Verbal persuasion (persuasi verbal), Physiological state and emotional arousal (keadaan fisiologis dan psikologis). Di mana pada dasarnya keempat hal tersebut adalah stimulasi atau kejadian yang dapat memberikan inspirasi atau pembangkit positif (positive arousal) untuk berusaha menyelesaikan tugas atau masalah yang dihadapi. Hal ini mengacu pada konsep pemahaman bahwa pembangkitan positif dapat meningkatkan perasaan atas efikasi diri (Bandura, dalam Lazarus et.al., 1980).
10
Adapun sumber-sumber efikasi diri tersebut, yaitu: Pertama,
Enactive
attainment
and
performance
accomplishment
(pengalaman keberhasilan dan pencapaian prestasi) yaitu sumber ekspektasi efikasi diri yang penting, karena berdasar pengalaman siswa secara langsung. Siswa yang pernah memperoleh suatu prestasi, akan terdorong meningkatkan keyakinan dan penilaian terhadap efikasi dirinya. pengalaman keberhasilan siswa ini meningkatkan ketekunan dan kegigihan dalam berusaha mengatasi kesulitan, sehingga dapat mengurangi kegagalan. Kedua, Vicarious experience (pengalaman orang lain) yaitu mengamati perilaku dan pengalaman orang lain sebagai proses belajar siswa. Melalui model ini efikasi diri siswa dapat meningkat, terutama jika siswa merasa memiliki kemampuan yang setara atau bahkan merasa lebih baik dari pada orang yang menjadi subjek belajarnya. Siswa mempunyai kecenderungan merasa mampu melakukan hal yang sama. Peningkatan efikasi diri siswa ini dapat meningkatkan motivasi untuk mencapai suatu prestasi. Peningkatan efikasi diri ini akan menjadi efektif jika subjek yang menjadi model tersebut mempunyai banyak kesamaan karakteristik antara siswa dengan model, kesamaan tingkat kesulitan tugas, kesamaan situasi dan kondisi, serta keanekaragaman yang dicapai oleh model. Ketiga, Verbal persuasion (persuasi verbal) yaitu siswa mendapat bujukan atau sugesti untuk percaya bahwa siswa dapat mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapinya. Persuasi verbal ini dapat mengarahkan siswa untuk berusaha 11
lebih gigih untuk mencapai tujuan dan kesuksesan. Akan tetapi efikasi diri yang tumbuh dengan sumber-sumber efikasi diri ini biasanya tidak bertahan lama, apalagi jika kemudian siswa mengalami peristiwa traumatis yang tidak menyenangkan. Keempat, Physiological state and emotional arousal (keadaan fisiologis dan psikologis). Situasi yang menekan kondisi emosional dapat mempengaruhi efikasi diri. Gejolak emosi, goncangan, kegelisahan yang mendalam dan keadaan fisiologis yang lemah yang dialami siswa akan dirasakan sebagai suatu isyarat akan terjadi peristiwa yang tidak diinginkan, maka situasi yang menekan dan mengancam akan cenderung dihindari. Empat
hal
tersebut
dapat
menjadi
sumber
bagi
tumbuh
dan
berkembangnya efikasi diri siswa. Dengan kata lain, efikasi diri dapat diupayakan untuk meningkat dengan membuat manipulasi melalui empat hal tersebut.
2.1.3. Dimensi-Dimensi Efikasi Diri Bandura (1997) menyebutkan bahwa dimensi-dimensi dalam efikasi diri, meliputi: a. Besar Pengharapan Adalah besarnya harapan terhadap kemungkinan hasil dari suatu perilaku, yaitu suatu perkiraan bahwa perilaku atau tindakan tertentu menyebabkan
12
hasil tertentu yang bersifat khusus. Besar pengharapan efikasi diri (self efficacy)) dapat diketahui melalui indikator-indikator dibawah ini: 1) Tingkat kesulitan tugas yang diyakini dapat diselesaikan. 2) Analisis pilihan perilaku yang akan dicoba (merasa mampu dilakukan). 3) Upaya menghindari situasi dan perilaku yang dirasa melampaui batas kemampuannya. b. Luas Pengharapan Merupakan keyakinan sejauh mana perilaku tertentu akan menimbulkan konsekuensi atau hasil tertentu, konsekuensi-konsekuensi akan terjadi bila suatu perilaku dilakukan oleh seseorang, hanya saja kemampuan seseorang untuk menampilkan perilaku terbatas maka pengharapan seseorang terhadap suatu konsekuensi atau hasil terbatas pula. Hal ini merupakan luas bidang perilaku yang diyakini berhasil dicapai siswa dengan indikator: 1) Pengharapan
terbatas
pada
bidang
perilaku
khusus
yaitu
keyakinan/kemantapan dalam menjalankan bidang tugas selama ini. 2) Pengharapan yang menyebar meliputi berbagai bidang perilaku yaitu keyakinan atau kemantapan dalam menjalankan tugas lain yang belum pernah dikerjakannya. c. Kemantapan Pengharapan Harapan akan dapat membentuk perilaku secara tepat. Suatu keyakinan bahwa seseorang akan berhasil dalam bertindak sesuai dengan hasil yang 13
diharapkan. Aspek ini menunjukkan bahwa harapan orang berkaitan dengan kesanggupan melakukan sesuatu perilaku yang dikehendaki. Kemantapan pengharapan tergantung pada situasi beberapa informasi berupa persepsi dari hasil tindakan yang didapatkan melalui kehidupan, modeling, peristiwa verbal dan keadaan emosi yang mengancam. Dapat dilihat melalui indikator di bawah ini: 1) Bertahan dalam usahanya yaitu bertahan dalam menghadapi tugas dan tantangan pekerjaan sebagai siswa. 2) Keuletan dalam berusaha dalam menghadapi tugas-tugas tantangan studi.
2.1.4. Ciri-Ciri Efikasi Diri Bandura (1997) memaparkan mengenai perbedaan ciri-ciri orang yang mempunyai self-efficacy yang tinggi dan rendah, antara lain: a. Orang yang mempunyai self-efficacy rendah (yang ragu-ragu akan kemampuannya): 1. Orang yang menjauhi tugas-tugas yang sulit. 2. Berhenti dengan cepat bila menemui kesulitan. 3. Memiliki cita-cita yang rendah dan komitmen yang buruk untuk tujuan yang telah dipilih. 4. Berfokus pada akibat yang buruk dari kegagalan.
14
5. Cenderung mengurangi usaha karena lambat memperbaiki keadaan dari kegagalan yang dialami, mudah mengalami stres dan depresi. b. Orang yang mempunyai self-efficacy tinggi (yang mempunyai kepercayaan yang kuat akan kemampuannya): 1. Mendekati
tugas-tugas
yang
sulit
sebagai
tantangan
untuk
dimenangkan. 2. Menyusun tujuan-tujuan yang menantang dan memelihara komitmen untuk tugas-tugas tersebut. 3. Mempunyai usaha yang tinggi atau gigih. 4. Memiliki pemikiran strategis. 5. Berpikir bahwa kegagalan yang dialami karena usaha yang tidak cukup sehingga diperlukan usaha yang tinggi dalam menghadapi kesulitan. 6. Cepat memperbaiki keadaan setelah mengalami kegagalan. 7. Mengurangi stres.
2.1.5. Cara Meningkatkan Efikasi Diri (Self-Efficacy) Siswa Ormrod (2008) menjelaskan beberapa upaya dalam rangka meningkatkan self-efficacy siswa, antara lain: 1. Mengajarkan pengetahuan dan kemampuan dasar sampai dikuasai. 2. Memperlihatkan catatan kemajuan siswa tentang keterampilanketerampilan yang rumit. 15
3. Memberikan tugas yang menunjukkan bahwa siswa dapat berhasil hanya dengan kerja keras dan pantang menyerah. 4. Meyakinkan siswa bahwa dirinya bisa sukses, sambil menunjukkan contoh teman sebaya yang sebelumnya sukses melakukan hal yang sama. 5. Memperlihatkan model rekan-rekan sebaya yang sukses kepada para siswa. 6. Memberikan tugas besar dan kompleks dalam aktivitas-aktivitas kelompok kecil.
2.2. Peer Guidance 2.2.1. Pengertian Peer Guidance Sunaryo, dkk (2007) menyebutkan bahwa bimbingan teman sebaya merupakan bimbingan yang dilakukan oleh peserta didik terhadap peserta didik lainnya. Peserta didik yang menjadi pembimbing sebelumnya diberikan latihan atau pembinaan oleh konselor. Sunaryo, dkk (2007) juga menjelaskan bahwa peserta didik yang menjadi pembimbing berfungsi sebagai mentor atau tutor yang membantu peserta didik lain dalam memecahkan masalah yang dihadapi, baik akademik maupun nonakademik. Selain itu, pembimbing sebaya juga berfungsi sebagai mediator yang membantu konselor dengan cara memberikan informasi tentang kondisi,
16
perkembangan, atau masalah peserta didik yang perlu mendapat pelayanan bantuan bimbingan atau konseling. Pembimbing sebaya juga muncul dari keyakinan bahwa remaja memiliki hak untuk berpartisipasi dalam mengembangkan program yang melayani remaja lain dan hak bersuara dalam bentuk kebijakan yang akan berdampak pada remaja. Oleh karena itu dengan menciptakan kemitraan yang efektif antara guru Bimbingan dan Konseling dengan pembimbing sebaya merupakan sesuatu yang kritis bagi kesuksesan program Bimbingan dan Konseling di sekolah (Sunarti, 2010).
2.2.2. Landasan Perlunya Bimbingan Teman Sebaya (Peer Guidance) Salah satu alasan mengapa diadakan bimbingan teman sebaya adalah karena kebanyakan dari remaja (peserta didik) lebih nyaman dan lebih sering menceritakan masalahnya kepada teman sebayanya dari pada kepada orang yang lebih dewasa. Perkembangan teman sebaya pada masa remaja sangat dimungkinkan diperlukannya layanan ini. Pada perkembangan teman sebaya masa remaja ini terjadi peralihan dari dependent menjadi independent. Remaja sudah mulai melepaskan diri dari ketergantungannya pada orang tua dan berlatih untuk mandiri. (Athia & Benty, 2011) Athia & Benty (2011) menambahkan, tidak jarang saat orang tua mencampuri urusan remaja maka remaja tersebut merasa keberatan. Sama halnya ketika seorang guru BK menanyakan sesuatu kepada remaja (peserta didik) maka 17
respon yang ditimbulkan seakan-akan menutupi sesuatu tersebut. Hal inilah yang mendorong perlunya menunjuk seorang murid yang dianggap pantas atau memenuhi kualifikasi sebagi pembimbing teman sebaya. Hal senada juga diungkapkan oleh Sunarti (2010), bahwa seorang remaja dalam kelompok sebayanya memiliki pengaruh yang besar dalam bagaimana ia berperilaku, baik perilaku yang positif maupun perilaku yang negatif. Kepercayaan pada Pembimbing Sebaya di mata kelompoknya benar-benar merupakan dasar yang penting dalam menciptakan Pembimbing Sebaya tersebut. Dalam berkomunikasi dengan sebayanya, Sunarti menjelaskan bahwa Pembimbing Sebaya biasanya menggunakan bahasa yang sama sehingga informasi akan lebih mudah dipahami. Pembimbing Sebaya juga merupakan suatu cara untuk memberdayakan remaja, dalam hal ini menawarkan kesempatan bagi remaja untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan yang berdampak positif bagi remaja serta mengakses pelayanan yang remaja butuhkan.
2.2.3. Peran Seorang Pembimbing Sebaya Sunarti (2010) menyebutkan bahwa pembimbing sebaya diharapkan mampu berperan menjadi fasilitator, motivator, dan educator untuk sebayanya, oleh karena itu pembimbing sebaya diharapkan dapat : a. Menjadi model positif yang dapat dicontoh oleh teman sebayanya. b. Menjadi pemimpin bagi teman sebayanya untuk berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang positif di lingkungannya. 18
c. Dapat menjadi sumber informasi bagi teman sebayanya akan program yang ada. d. Selain menjadi teman, seorang pembimbing sebaya juga dapat menjadi tempat curhat (dalam batas kemampuannya) bagi teman sebayanya dan memberi solusi yang sesuai dengan kebutuhan remaja yang bermasalah. e. Pembimbing sebaya dapat menjadi teman/mitra dalam berkarya di lingkungannya. f. Pembimbing sebaya mampu melakukan penjangkauan atau pendekatan pada teman-teman yang bermasalah dan memberikan informasi agar terhindar dan keluar dari permasalahan yang dihadapinya. g. Secara tidak langsung pembimbing sebaya dapat menjadi pelaku kontrol terhadap perilaku dirinya dan teman sebayanya.
2.2.4. Kriteria Pembimbing Sebaya Sunarti (2010) menyebutkan bahwa untuk dapat memenuhi peranannya sebagai pembimbing sebaya remaja harus memenuhi beberapa kriteria di bawah ini : 1. Aktif dalam kegiatan sosial dan populer di lingkungannya. 2. Berminat secara pribadi terhadap program Bimbingan dan Konseling. 3. Lancar berkomunikasi.
19
4. Memiliki ciri-ciri kepribadian yang terpuji seperti: ramah, luwes dalam pergaulan, berinisiatif, kreatif, tidak mudah tersinggung, terbuka untuk hal-hal baru, mau belajar dan suka menolong.
2.2.5. Langkah-Langkah Bimbingan Teman Sebaya Sunarti (2010) menyebutkan langkah-langkah dalam bimbingan teman sebaya, antara lain: 1. Pembentukan Pembimbing Sebaya Pada awal tahun pelajaran, atau dalam langkah penyusunan program pengajaran, guru BK memprogramkan mengenai pembentukan pembimbing sebaya, caranya dapat melalui seleksi oleh guru BK atau melalui angket sosiometri, siswa yang dipilih hendaknya adalah siswa yang populer dalam tiap kelasnya, hal ini penting agar siswa yang bermasalah di kelas mau membuka diri dalam memecahkan masalahnya, selain populer dianjurkan juga siswa yang mempunyai prestasi baik agar dalam memberikan pembimbingan kepada teman sebayanya mereka memiliki ketrampilan yang lebih. 2. Pelatihan Pembimbing Sebaya Setelah proses seleksi calon pembimbing sebaya dilakukan, langkah berikutnya adalah mengadakan pelatihan kepada pembimbing sebaya, guru Bimbingan dan Konseling dan tim harus memberikan semacam penataran kepada siswa-siswa yang telah terpilih di kelas, lama pelatihan disesuaikan dengan kebutuhan dan materi yang akan diberikan. Waktu yang diambil 20
jangan sampai mengganggu tugas pokok siswa-siswa dalam mengikuti pelajaran, jadi waktu pelatihan hendaknya dilaksanakan setelah selesai sekolah atau di hari-hari yang tidak efektif ( hari minggu atau hari libur lainnya). Dalam pelatihan tersebut hendaknya juga dibuat kesepakatankesepakatan atau aturan main yang harus dilaksanakan dan ditaati oleh pembimbing sebaya. 3. Pelaksanaan Kegiatan Dalam kegiatan ini guru Bimbingan dan Konseling memberikan serangkaian tugas yang harus dilaksanakan oleh siswa yang menjadi pembimbing sebaya seperti yang telah disepakati bersama dalam pelatihan misalnya : a. Mencatat dan melaporkan mengenai data presensi siswa di kelasnya. b. Mencatat dan melaporkan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi di kelasnya. c. Melakukan kunjungan rumah kepada siswa yang tidak masuk tanpa keterangan atau sakit, guna mencari informasi atau membesuk teman sekelasnya. d. Melakukan pencatatan terhadap siswa yang konsultasi atau curhat. e. Melaporkan siswa-siswa yang memerlukan penanganan khusus oleh Guru Bimbingan dan Konseling. f. Menjadi sumber informasi bagi guru Bimbingan dan Konseling. g. Menjadi kepanjangan tangan guru Bimbingan dan Konseling dalam menyampaikan informasi kepada siswa. 21
4. Tahap Akhir atau Evaluasi Setelah tahap demi tahap kegiatan dilakukan yaitu: pembentukan pembimbing sebaya, pelatihan pembimbing sebaya dan pelaksanaan kegiatan pembimbing sebaya, maka tahap yang paling akhir yang harus dilakukan adalah tahapan evaluasi. Kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan mengetahui sejauh mana kegiatan Pelayanan Bimbingan dan Konseling dapat terlaksana dan sejauh mana pembimbing sebaya dapat melaksanakan peran dan fungsinya seperti yang telah dirumuskan dan dijelaskan dalam tahap awal kegiatan.
2.3.
Penelitian yang Relevan Penelitian
yang
dilakukan
Buhrmester
(dalam
Santrock,
2010)
menunjukkan bahwa pada masa remaja kedekatan hubungan dengan teman sebaya meningkat secara drastis, dan disaat yang sama kedekatan hubungan remaja remaja dengan orang tua menurun secara drastis. Hasil penelitian Buhrmester didukung oleh temuan Nickerson & Nagle (Suwarjo, 2008) bahwa pada masa remaja komunikasi dan kepercayaan terhadap orang tua berkurang, dan beralih kepada teman sebaya untuk memenuhi kebutuhan akan kelekatan (attachment). Menurut penelitian Kartika Nur Fathiyah dan Farida Harahap (2008) tentang Konseling Sebaya untuk Meningkatkan Efikasi Diri Remaja terhadap Perilaku Berisiko, menjelaskan adanya kecenderungan peningkatan efikasi diri siswa yang diberi konseling sebaya sebesar 26,08%. Pada konselor sebaya 22
peningkatan skor efikasi diri sebesar 14,3 %. Secara kualitatif hasil penelitian menunjukkan peningkatan efikasi diri subjek penelitian ditinjau dari kognitif, emosi, afektif dan kecenderungan perilakunya.
23