BAB II LANDASAN TEORI 2.1
Self Efficacy
2.1.1
Definisi Self Efficacy Menurut Bandura self efficacy adalah kepercayaan individu pada kemampuannya untuk
berhasil melakukan tugas tertentu (Bandura, 1997). Menurut Dale Schunk (2001) self efficacy mempengaruhi seseorang dalam memilih kegiatannya. Individu dengan self efficacy yang rendah mungkin menghindari hal-hal yang melibatkan banyak tugas, khususnya untuk tugastugas yang menantang, sedangkan individu dengan self efficacy yang tinggi mempunyai keinginan yang besar dalam memotivasi dirinya untuk mengerjakan tugas-tugas yang dianggap menantang. Bandura (1997) mengemukan, bahwa keyakinan self efficacy juga mempengaruhi pemilihan tugas, usaha, ketekunan, ketahanan, dan prestasi. 2.1.2
Faktor-faktor yang mempengaruhi Self Efficacy Menurut Bandura (1997), ada beberapa faktor yang mempengaruhi self efficacy yaitu:
1. Pengalaman Keberhasilan (mastery experiences) Keberhasilan yang sering didapatkan akan meningkatkan self efficacy yang dimiliki seseorang sedangkan kegagalan akan menurunkan self efficacy-nya. Apabila keberhasilan yang didapat seseorang seseorang lebih banyak karena faktor-faktor di luar dirinya, biasanya tidak akan membawa pengaruh terhadap peningkatan self efficacy. Akan tetapi, jika keberhasilan tersebut didapatkan dengan melalui hambatan yang besar dan merupakan hasil perjuangannya sendiri, maka hal itu akan membawa pengaruh pada peningkatan self efficacy-nya. 2. Pengalaman Orang Lain (vicarious experiences) Pengalaman keberhasilan orang lain yang memiliki kemiripan dengan individu dalam mengerjakan suatu tugas biasanya akan meningkatkan self efficacy seseorang dalam
mengerjakan tugas yang sama. Self efficacy tersebut didapat melalui social models yang biasanya terjadi pada diri seseorang yang kurang pengetahuan tentang kemampuan dirinya sehingga mendorong seseorang untuk melakukan modeling. Namun self efficacy yang didapat tidak akan terlalu berpengaruh bila model yang diamati tidak memiliki kemiripan atau berbeda dengan model. 3. Persuasi Sosial (Social Persuation) Informasi tentang kemampuan yang disampaikan secara verbal oleh seseorang yang berpengaruh biasanya digunakan untuk meyakinkan seseorang bahwa ia cukup mampu melakukan suatu tugas. 2.1.3
Pengukuran Self Efficacy Menurut Bandura (1997), pengukuran self efficacy yang dimilki seseorang mengacu
pada tiga dimensi, yaitu: 1.
Level Suatu tingkat ketika seseorang meyakini usaha atau tindakan yang dapat ia lakukan. Tingkat kesulitan tugas tersebut dinilai oleh individu tersebut dan tergantung persepsi dari individu itu sendiri terhadap tugas tersebut. Jadi, dalam menentukan derajat kesulitan suatu tugas akan berbeda satu sama lain, tergantung penilaian yang dilakukan oleh individu tersebut. Komponen ini berimplikasi pada pemilihan perilaku yang akan digunakan berdasarkan tingkat kesulitannya. Individu akan berupaya melakukan tugas tertentu yang ia persepsikan dapat ia lakukan dan ia akan menghindari situasi dan perilaku yang ia persepsikan sulit untuk dilakukan. Dalam Zimerman (2003) level terbagi atas tiga bagian, yaitu: •
Analisis pelihan perilaku yang akan dicoba, yaitu seberapa besar individu merasa mampu atau yakin untuk berhasil menyelesaikan tugas dengan pilihan perilaku yang akan dilaksanakan.
•
Menghindari
situasi
dan
perilaku
yang
dirasa
melampaui
batas
kemampuan • 2.
Menyesuaikan dan menghadapi langsung tugas-tugas yang sulit.
Strength Suatu kepercayaan diri yang ada dalam diri seseorang yang dapat ia wujudkan dalam melakukan tugas tertentu. Individu yang semakin kuat keyakinannya terhadap kemampuan dirinya sendiri, maka individu tersebut akan semakin menyenangi tugas yang penuh dengan tantangan dan memiliki kemantapan yang kuat terhadap kemampuannya untuk mengerjakan tugas dan terus bertahan dalam usahanya meskipun banyak mengalami kesulitan dan rintangan. Sebaliknya, individu yang tidak memiliki keyakinan dengan kemampuan dirinya. Maka individu tersebut akan cenderung menghindari tugas yang penuh dengan tantangan dan mencari tugas yang tidak menantang.
3.
Generality, Generality adalah sejauh mana individu yakin dengan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas, mulai dari aktivitas yang biasa dilakukan samapai pada aktivitas yang belum pernah dilakukan dalam serangkaian tugas datau situasi sulit dan bervariasi . Ini merupakan rentang aktivitas dimana seorang individu yakin terhadap kemampuannya dalam menjalankan beberapa tugas yang berbeda, dari tugas yang spesifik sampai pada kelompok tugas yang berbeda.
2.1.4
Fungsi Self Efficacy Self efficacy seseorang merupakan hal yang kuat dalam menetukan seseorang akan
bertindak, berpikir, dan bereaksi sewaktu menhadapi situasi-situasi yang tidak menyenangkan (Bandura, 1986). Berikut ini adalah fungsi dari self efficacy:
a. Pemilihan aktivitas Dalam kehidupan sehari-hari individu dituntut untuk membuat keputusan mengenai aktivitas-aktivitas yang akan dijalani dan berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menjalaninya. Pengambilan keputusan tersebut dipengaruhi oleh penilaian diri terhadap kemampuan yang dimilikinya (Bandura, 1986). Apabila individu tersebut dihadapkan pada aktivitas atau situasi yang dianggap melampaui
kemampuannya,
maka
akan
terjadi
kecenderungan
untuk
menghindari situasi tersebut dan akan memilih aktivitas yang dinilai mampu untuk dilakukan. Pengaruh self efficacy yang baik adalah ketika keyakinan yang dimiliki seorang individu dapat mendorongnya untuk memilih aktivitas yang realitis dan menantang, serta memotivasi perkembangan kemampuan yang dimilikinya. b. Besarnya usaha dan daya tahan dalam menghadapi rintangan atau pengalaman yang tidak menyenangkan. Penilaian self efficacy juga menentukan seberapa besar usaha yang akan dikeluarkan dan berapa lama seseorang akan kuat dalam menghadapi kesulitan atau pengalaman yang tidak menyenangkan. Semakin tinggi self efficacy yang dimilki individu, maka semakin giat usaha yang dilakukan saat mengahadapi situasi yang tidak menyenangkan. Sebaliknya individu dengan self efficacy rendah akan mengurangi usahanya atau menyerah pada situasi yang tidak menyenangkan. c. Pola berpikir dan reaksi emosional Individu yang memiliki self efficacy tinggi akan lebih berpacu pada rintangan yang dihadapinya dan menganggap kegagalan yang didapatnya adalah hasil dari kurangnya usaha yang dilakukan. Sebaliknya individu dengan self efficacy rendah cenderung memandang kesulitan lebih berat dari yang sebenarnya. Pola
pikir inilah yang menciptakan stres dan menghambat penggunaan kemampuan diri secara optimal sehingga kegagalan yang didapat adalah hasil dari rendahnya kemampuan yang dimiliki. 2.2
Prokrastinasi
2.2.1
Definisi Prokrastinasi Salomon & Rothblum (dalam Nugrasanti, 2006) menjelaskan definisi prokrastinasi
sebagai suatu kencenderungan untuk menunda dalam memulai maupun menyelesaikan kinerja secara keseluruhan untuk melakukan aktivitas lain, sehingga kinerja menjadi terhambat, tidak dapat menyelesaikan tugas tepat waktu dan sering terlambat dalam menghadapi pertemuan. Sedangkan Ferrari (1995) mengemukakan bahwa prokrastinasi adalah perilaku menunda untuk memulai suatu perkerjaan ataupun kegagalan untuk menyelesaikan tugas tepat pada waktunya. 2.2.2
Prokrastinsi Akademik Dalam ruang lingkup akademis, prokrastinasi yang dilakukan disebut juga sebagai
prokrastinasi akademik. Lee (2005) menjelaskan bahwa prokrastinasi akademis adalah salah satu perilaku yang sering muncul pada area akademis, dan mungkin berhubungan dengan masalah yang dihadapi oleh mahasiswa. Salomon & Rothblum (1994) menunjukan bahwa mahasiswa yang melakukan prokrastinasi percaya bahwa kecenderungan mereka untuk prokrastinasi secara signifikan berdampak pada akademis mereka, kemampuan untuk menguasai materi kuliah dan kualitas hidup mereka. Salomon & Murakami (dalam Lee, 2005) menunjukan bahwa prokrastinasi berkemungkinan untuk kerja akademis yang mengarah pada pengunduran diri dan rendahnya nilai akademis. Wesley (dalam Lee,2005) mendukung pernyataan ini dengan menjelaskan bahwa perlaku prokrastinasi merupakan prediktor negatif pada nilai rata-rata mahasiswa.
2.2.3
Aspek Prokrastinasi Lee (2005) mengemukakan bahwa ada empat aspek dari prokrastinasi, diantaranya
adalah: 1. Perceived Time Aspek ini menjelaskan bahwa prokrastinasi yang dilakukan adalah kegagalan mengumpulkan tugas sesuai dengan waktu yang diberikan. Hal ini disebabkan oleh orientasi mahasiswa yang berfokus pada “masa sekarang” bukan “masa mendatang”, sehingga mengakibatkan kegagalan dalam meprediksikan waktu yang digunakan untuk mengerjakan tugas. 2. Intention-Action Pada aspek ini terjadi perbedaan antara keinginan dengan kenyataannya. Ini terbukti dengan adanya kegagalan mahasiswa dalam mengerjakan tugas, awalnya mahasiswa tersebut memiliki keinginan untuk mengerjakannya tetapi seiring dengan tenggat waktu yang semakin dekat maka celah antara keinginan dan perilaku menjadi semakin kecil. 3. Emotional Distress Pada aspek ini terlihat perasaan cemas dari pelaku prokrastinasi. Ini disebabkan munculnya konsekuensi negatif yang memicu kecemasan dalam diri. 4. Perceive Ability Aspek ini disebut juga sebagai keyakinan dari dalam diri terhadap kemampuan yang dimilikinya. Keragu-raguan terhadap kemampuan dirinya menyebabkan seseorang melakukan prokrastinasi. 2.2.4
Penyebab Prokrastinasi
Penyebab prokrastinasi cukup kompleks dan belum dapat dipahami sepenuhnya. Tetapi Steel (2005) mencoba menjabarkan penyebab dari prokrastinasi diantaranya adalah: a. Seberapa pentingnya tugas tersebut bagi individu b. Keinginan atau ketertarikan tugas tersebut bagi individu c. Keinginan untuk menunda dan d. Waktu yang tersedia dalam mengerjakan tugas 2.2.5. Tipe-tipe Prokrastinasi Menurut Peterson (1996) perilaku prokrastinasi dibagi menjadi tiga tipe, yaitu: a. Prokrastinasi tingkat rendah. Pada tipe ini terjadi kecenderungan unutk merasa gelisah ketika melakukan penundaan terhadap pekerjaan yang akan dilaksanakan, namun penundaan yang dilakukan tidak mempengaruhi kualitas pekerjaannya (lebih mementingkan hasil daripada proses). b. Prokrastinasi tingkat sedang. Pada tipe ini penundaan yang dilakukan benar-benar mempengaruhi hasil akhir pekerjaannya. Biasanya individu yang ada pada tipe ini ditandai dengan nilai akademis yang rendah dan sering kali mendapat stigma negatif dari pengajar sebagai seorang “ Pemalas”. c. Prokrastinasi tingkat tinggi. Pada tipe ini dampak penundaan yang dilakukan tidak hanya mempengaruhi kualitas pekerjaannya tetapi juga kualitas hidupnya. Pola hidup yang tidak teratur, drop out,dan relationship yang rendah. 2.2.6. Ciri-Ciri Prokrastinasi akademis Ferrari (1995) menyatakan bahwa sebagai suatu perilaku, prokrastinasi akademis dapat temanisfestasikan dalam indikator tertentu yang dapat diamati sebagai ciri-ciri prokrastinasi akademis, yang berupa: 1.
Penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan tugas yang diberikan.
2.
Keterlambatan dalam mengerjakan dan mengumpulkan tugas.
3.
Kesenjangan waktu antara rencana dan kerja aktual
4.
Melakukan aktivitas lain yang dianggap lebih menyenangkan daripada melakukan tugas yang harus dikerjakan.
2.2.7. Pengukuran Prokrastinasi Akademis Procrastination Assessment Scale Student (PASS) yang dikembangkan Salomon & Rothblum (1984). Alat tes ini bertujuan untuk menilai seberapa besar terjadinya prokrastinasi pada mahasiswa, untuk menemukan penyebab munculnya perilaku prokrastinasi dan untuk mengembangkan pengukuran self report prokrastinasi yang bisa dibandingkan dengan indek behavioral prokrastinasi dan pengukuran self report yang telah distandarisasi dari konstruk yang berkaitan seperti kecemasan, kebiasaan belajar, depresi, self esteem, irrational cognition dan assertion (Hersen, 1988). Alat tes ini dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama mencangkup frekuensi prokrastinasi akademis serta seberapa jauh prokrastinasi yang dlakukan menjadi masalah. Pada bagian ini, mencangkup enam area akademis, yaitu : a.
Menulis makalah (writing paper item)
b.
Belajar untuk menghadapi ujian (studying for exam)
c.
Tugas membaca mingguan (weekly reading assessment)
d.
Melakukan tugas-tugas administratif (academic administrative task)
e.
Menghadiri perkuliahan (Attendance task), dan
f.
Melakukan tugas-tugas akademis secara umum (general school activities) Bagian ini dilengkapi dengan 5 pilihan jawaban menurut skala Likert. Subyek diminta
untuk menetukan alasan yang tercantum sangat sesuai dengan alasannya melakukan prokrastinasi (bernilai 5) atau sangat tidak sesuai (bernilai 1). Item yang ada pada bagian ini
berjumlah 12 item, yang apabila nilai dari setiap item dijumlahkan dapat menunjukan skor kecenderungan perilaku prokrastinasi akademik. Pada bagian kedua, PASS berusaha mengetahui alasan dari tingkah laku prokrastinasi akademis dalam satu kondisi yang ditentukan, yaitu dalam menjalankan tugas makalah secara individual yang telah melewati batas waktu. Bagian ini terdiri dari 26 item dengan menggunakan skala likert 1-5. Subyek diminta untuk menetukan alasan yang tercantum sangat sesuai dengan alasannya melakukan prokrastinasi (bernilai 5) atau sangat tidak sesuai (bernilai 1). Item-item yang ada dibagian kedua ini mewakili 13 alasan penundaan, yaitu kecemasan menghadapi evaluasi, perfeksionisme, kesulitan dalam mengambil keputusan, ketergantungan terhadap orang lain , task aversiveness, kurangnya kepercayaan diri, kemalasan, kurangnya asertivitas, ketakutan untuk sukses, manajemen waktu, pemberontakan, pengambilan resiko, dan pengaruh teman. 2.3.
Hubungan antara Self Efficacy dengan Prokrastinasi Akademis Dalam menyelesaikan masa perkuliahan mahasiswa dihadapkan pada beberapa tugas
yang menjadi syarat kelulusan strata 1. Tetapi dalam meyelesaikan tugas tersebut mahasiswa sering kali mengalami kendala sehingga dibutuhkan keyakinan yang kuat untuk dapat menngatasinya. Bandura (1997) menjelaskan bahwa pendapat atau keyakinan yang dimiliki oleh seseorang mengenai kemampuannya dalam menampilkan suatu bentuk perilaku dan hal ini berhubungan dengan keyakinan seseorang, dimana ini sangat menentukan seberapa besar usaha yang dikeluarkan dan seberapa besar ia dapat bertahan dalam menghadapi kesulitan yang dihadapinya. Semakin tinggi self efficacy seseorang, semakin giat dan tekun usahausahanya. Sedangkan self efficacy yang rendah dapat menghalangi usaha dan menyebakan individu tersebut mudah putus asa. Dengan demikian mahasiswa yang memiliki self efficacy yang tinggi, ia akan selalu mencoba melakukan berbagai tindakan untuk menghadapi kesulitan-kesulitan, hal ini diasumsikan bagi mahasiswa yang dalam setiap perkuliahannya dibebankan tugas-tugas yang
memerlukan banyak energi dan seringkali menyita perhatian yang cukup serius, dan seringkali mengalami berbagai kesulitan untuk menyelesaikan tugasnya, maka self efficacy pada mahasiswa sangat menentukan seberapa besar usaha yang dikeluarkan dan seberapa mahasiswa tersebut bertahan dalam menghadapi rintangan dalam tugas-tugas perkuliahan. Oleh sebab itu, mahasiswa yang tidak memiliki keyakinan pada kemampuannya sendiri untuk dapat mengatasi kesulitannya maka mahasiswa tersebut memiliki kemungkinan yang besar untuk melakukan prokrastinasi. Milgram, dkk (1995) menyatakan bahwa perilaku penundaan ini terkait dengan task aversiveness yaitu persepsi seseorang mengenai seberapa sulit, tidak menyenangkan dan membosankan tugas yang harus dikerjakan. Gejala ini yang disebut Ferrari (1995) sebagai prokrastinasi atau perilaku menunda untuk memulai suatu pekerjaan ataupun kegagalan untuk menyelesaikan tugas tepat pada waktu. Sedangkan Bandura (1997) menjelaskan bahwa perilaku prokrastinsai muncul sebagai bentuk rendahnya self efficacy yang dimiliki seseorang.