15
BAB II LANDASAN TEORI
A. Self- Efficacy 1. Definisi self-efficacy Bandura (1997) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan seseorang terhadap kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan tindakan-tindakan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan, dan berusaha untuk menilai tingkatan dan kekuatan di seluruh kegiatan dan konteks. Myers (1996) juga mengatakan bahwa self-efficacy adalah bagaimana seseorang merasa mampu untuk melakukan suatu hal. Selain itu Schunk (dalam Komandyahrini & Hawadi, 2008) juga mengatakan bahwa self-efficacy sangat penting perannya dalam mempengaruhi usaha yang dilakukan, seberapa kuat usahanya dan memprediksi keberhasilan yang akan di capai. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan oleh Woolfolk (1993) bahwa self-efficacy merupakan penilaian seseorang terhadap dirinya sendiri atau tingkat keyakinan mengenai seberapa besar kemampuannya dalam mengerjakan suatu tugas tertentu untuk mencapai hasil tertentu. Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa self-efficacy adalah keyakinan seorang individu terhadap kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan tindakan untuk mencapai suatu tujuan dimana individu yakin mampu untuk menghadapi segala tantangan dan mampu memprediksi seberapa besar usaha yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut.
Universitas Sumatera Utara
16
2
Faktor-faktor yang memperngaruhi self-efficacy Menurut Bandura (1997) tinggi rendahnya self-efficacy seseorang dalam tiap
tugas sangat bervariasi. Hal ini disebabkan oleh adanya beberapa faktor yang berpengaruh dalam mempersepsikan kemampuan diri individu. Menurut Bandura (1997) ada beberapa yg mempengaruhi self-efficacy, antara lain: a Jenis kelamin Orang tua sering kali memiliki pandangan yang berbeda terhadap kemampuan laki-laki dan perempuan. Zimmerman (Bandura, 1997) mengatakan bahwa terdapat perbedaan pada perkembangan kemapuan dan kompetesi laki-laki dan perempuan. Ketika laki-laki berusaha untuk sangat membanggakan dirinya, perempuan sering kali meremehkan kemampuan mereka. Hal ini berasal dari pandangan orang tua terhadap anaknya. Orang tua menganggap bahwa wanita lebih sulit untuk mengikuti pelajaran dibanding laki-laki, walapun prestasi akademik mereka tidak terlalu berbeda. Semakin seorang wanita menerima perlakuan streotipe gender ini, maka semakin rendah penilaian mereka terhadap kemampuan dirinya. Pada beberapa bidang pekerjaan tertentu para pria memiliki self-efficacy yang lebih tinggi dibanding dengan wanita, begitu juga sebaliknya wanita unggul dalam beberapa pekerjaan dibandingkan dengan pria. b. Usia Self-efficacy terbentuk melalui proses belajar sosial yang dapat berlangsung selama masa kehidupan. Individu yang lebih tua cenderung memiliki rentang waktu dan pengalaman yang lebih banyak dalam
Universitas Sumatera Utara
17
mengatasi suatu hal yang terjadi jika dibandingkan dengan individu yang lebih muda, yang mungkin masih memiliki sedikit pengalaman dan peristiwa-peristiwa dalam hidupnya. Individu yang lebih tua akan lebih mampu dalam mengatasi rintangan dalam hidupnya dibandingkan dengan individu yang lebih muda, hal ini juga berkaitan dengan pengalaman yang individu miliki sepanjang rentang kehidupannya. c. Tingkat pendidikan Self-efficacy terbentuk melalui proses belajar yang dapat diterima individu pada tingkat pendidikan formal. Individu yang memiliki jenjang yang lebih tinggi biasanya memiliki self-efficacy yang lebih tinggi, karena pada dasarnya mereka lebih banyak belajar dan lebih banyak menerima pendidikan formal, selain itu individu yang memiliki jenjang pendidikan yang lebih tinggi akan lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk belajar dalam mengatasi persoalan-persoalan dalam hidupnya. d. Pengalaman Self-efficacy terbentuk melalui proses belajar yang dapat terjadi pada suatu organisasi ataupun perusahaan dimana individu bekerja. Self-efficacy terbentuk sebagai suatu proses adaptasi dan pembelajaran yang ada dalam situasi kerjanya tersebut. Semakin lama seseorang bekerja maka semakin tinggi self efficacy yang dimiliki individu tersebut dalam pekerjaan tertentu, akan tetapi tidak menutup kemungkinann bahwa self efficacy yang dimiliki oleh individu tersebut justru cenderung menurun atau tetap. Hal ini juga
Universitas Sumatera Utara
18
sangat tergantung kepada bagaimana individu menghadapai keberhasilan dan kegagalan yang dialaminya selama melalukan pekerjaan.
3. Dimensi self-efficacy Menurut Bandura (1997) mengungkapkan ada tiga dimensi self-efficacy, yakni: a
Level Level berkaitan dengan derajat kesulitan tugas yang dihadapi. Penerimaan dan keyakinan seeorang terhadap suatu tugas berbeda-beda, mungkin orang hanya terbatas pada tugas yang sederhana, menengah atau sulit. Persepsi setiap individu akan berbeda dalam memandang tingkat kesulitan dari suatu tugas. Ada yang menganggap suatu tugas itu sulit sedangkan orang lain mungkin merasa tidak demikian. Apabila sedikit rintangan yang dihadapi dalam pelaksanaan tugas, maka tugas tersebut akan mudah dilakukan. Dalam Zimerman (2003) Level terbagi atas 3 bagian yaitu: 1)
Analisis pilihan perilaku yang akan dicoba, yaitu seberapa besar individu merasa mampu atau yakin untuk berhasil menyelesaikan tugas dengan pilihan perilaku yang akan diambil.
2)
Menghindari situasi dan perilaku yang dirasa melampaui batas kemampuannya.
3)
Menyesuaikan dan menghadapi langsung tugas-tugas yang sulit.
Universitas Sumatera Utara
19
b
Generality Generality sejauh mana individu yakin akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas, mulai dari dalam melakukan suatu aktivitas yang biasa dilakukan atau situasi tertentu yang tidak pernah dilakukan hingga dalam serangkaian tugas atau situasi sulit dan bervariasi. Generality merupakan perasaan kemampuan yang ditunjukkan individu pada konterks tugas yang berbeda-beda, baik itu melalui tingkah laku, kognitif dan afektifnya.
c
Strength Strength merupakan kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki. Hal ini berkaitan dengan ketahanan dan keuletan individu dalam pemenuhan tugasnya. Individu yang memiliki keyakinan dan kemantapan yang kuat terhadap kemampuannya untuk mengerjakan suatu tugas akan terus bertahan dalam usahannya meskipun banyak mengalami kesulitan dan tantangan. Pengalaman memiliki pengaruh terhadap self-efficacy yang diyakini sesesorang. Pengalaman yang lemah akan melemahkan keyakinan individu itu pula. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan mereka akan teguh dalam usaha untuk menyampaikan kesulitan yang dihadapi.
4. Sumber-sumber self-efficacy Menurut Bandura (1994) ada sumber yang dapat mempengaruhi
self-
efficacy, yaitu:
Universitas Sumatera Utara
20
a
Enactive mastery experience Merupakan
sumber
informasi
self-efficacy
yang
paling
berpengaruh. Dari pengalaman masa lalu terlihat bukti apakah seseorang mengarahkan seluruh kemampuannya untuk meraih keberhasilan (Bandura, 1997). Umpan balik terhadap hasil kerja seseorang yang positif akan meningkatkan kepercayaan diri seseorang. Kegagalan di berbagai pengalaman hidup dapat diatasi dengan upaya tertentu dan dapat memicu persepsi self-efficacy menjadi lebih baik karena membuat individu tersebut mampu utuk mengatasi rintangan-rintangan yang lebih sulit nantinya. b
Vicarious experience Merupakan cara meningkatkan self-efficacy dari pengalaman keberhasilan yang telah ditunjukkan oleh orang lain. Ketika melihat orang lain dengan kemampuan yang sama berhasil dalam suatu bidang/tugas melalui usaha yang tekun, individu juga akan merasa yakin bahwa dirinya juga dapat berhasil dalam bidang tersebut dengan usaha yang sama. Sebaliknya self-efficacy dapat turun ketika orang yang diamati gagal walapun telah berusaha dengan keras. Individu juga akan ragu untuk berhasil dalam bidang tersebut (Bandura, 1997). Peran vicarious experience terhadap self-efficacy seseorang sangat dipengaruhi oleh persepsi diri individu tersebut tentang dirinya memiliki kesamaan dengan model. Semakin seseorang merasa dirinya mirip dengan model, maka kesuksesan dan kegagalan model akan semakin
Universitas Sumatera Utara
21
mempengaruhi self-efficacy. Sebaliknya apabila individu merasa dirinya semakin berbeda dengan model, maka self-efficacy menjadi semakin tidak dipengaruhi oleh prilaku model (Bandura, 1997). Seseorang akan berusaha mencari model yang memiliki kompetensi atau kemampuan yang sesuai dengan keinginannya. Dengan mengamati perilaku dan cara berfikir model tersebut akan dapat memberi pengetahuan dan pelajaran tentang strategi dalam menghadapi berbagai tuntutan lingkungan (Bandura, 1997). c
Verbal persuasion Verbal digunakan secara luas untuk membujuk seseorang bahwa mereka mempunyai kemampuan untuk mencapai tujuan yang mereka cari. Orang yang mendapat persuasi secara verbal maka mereka memiliki kemamuan untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan akan mengerahkan usaha yang lebih besar daripada orang yang tidak dipersuasi bahwa dirinya mampu pada bidang tersebut (Bandura, 1997). d
Physiological state Seseorang percaya bahwa sebagian tanda-tanda psikologis menghasilkan informasi dalam menilai kemampuannya. Kondisi stress dan kecemasan dilihat individu sebagai tanda yang mengancam ketidakmampuan diri. Level of arousal dapat memberikan informasi mengenai tingkat
self-efficacy tergantung bagaimana arousal itu
diinterpretasikan.
Bagaimana seseorang menghadapi suatu tugas,
apakah cemas atau khawatir (self-efficacy rendah) atau tertarik (self-
Universitas Sumatera Utara
22
efficacy tinggi) dapat memberikan informasi mengenai self-efficacy orang tersebut. Dalam menilai kemampuannya seseorang dipengaruhi oleh informasi tentang keadaan fisiknya untuk menghadapi situsasi tertentu dengan memperhatikan keadaan fisiologisnya.
5. Proses-proses yang mempengaruhi self-efficacy Menurut Bandura (1997), proses psikologis dalam self-efficacy yang turut berperan dalam diri manusia ada 4 yakni proses kognitif, motivasional, afeksi dan proses pemilihan/seleksi. a
Proses kognitif Proses kognitif merupaka proses
berfikir, didalamya termasuk
pemerolehan, pengorganisasian, dan penggunaan informasi. Kebanyakan tindakan manusia bermula dari sesuau yang difikirkan terlebih dahulu. Individu yang memiliki self-efficacy yang tinggi lebih senang membayangkan tentang kesuksesan. Sebaliknya individu yang selfefficacy-nya rendah lebih banyak membayangkan kegagalan dan hal-hal yang dapat menghambat tercapainya kesuksesan (Bandura, 1997). Bentuk tujuan personal juga dipengaruhi oleh penilaian akan kemampuandiri. Semakin seseorang mempersepsikan dirinya mampu maka individu akan semakin membentuk usaha-usaha dalam mencapai tujuannnya dan semakin kuat komitmen individu terhadap tujuannya (Bandura, 1997).
Universitas Sumatera Utara
23
b
Proses motivasi Kebanyakan motivasi manusia dibangkitkan melalui kognitif. Individu memberi motivasi/dorongan bagi diri mereka sendiri dan mengarahkan tindakan melalui tahap pemikiran-pemikiran sebelumnya. Kepercayaan akan kemampuan diri dapat mempengaruhi
motivasi
dalam beberapa hal, yakni menentukan tujuan yang telah ditentukan individu, seberapa besar usaha yang dilakukan, seberapa tahan mereka dalam menghadapi kesulitan-kesulitan dan ketahanan mereka dalam menghadapi kegagalan (Bandura, 1997) Menurut Bandura (1997), ada tiga teori motivator, teori pertama yaitu causal attributions (atribusi penyebab), teori ini mempengaruhi motivasi, usaha dan reaksi-reaksi individu. Individu yang memiliki selfefficacy tinggi bila mengahadapi kegagalan cenderung menganggap kegagalan tersebut diakibatkan usaha-usaha yang tidak cukup memadai. Sebaliknya
individu
yang
self-efficacy-nya
rendah,
cenderung
menganggap kegagalanya diakibatkan kemampuan mereka yang terbatas. Teori kedua outcomes experience (harapan akan hasil), motivasi dibentuk melalui harapan-harapan. Biasanya individu akan berperilaku sesuai dengan keyakinan mereka tentang apa yang dapat mereka lakukan. Teori ketiga
goal theory (teori tujuan), dimana dengan
membentuk tujuan terlebih dahulu dapat meningkatkan motivasi. c
Proses afektif
Universitas Sumatera Utara
24
Proses afeksi merupakan proses pengaturan kondisi emosi dan reaksi emosional. Menurut Bandura (1997) keyakinan individu akan coping mereka turut mempengaruhi level stres dan depresi seseorang saat mereka menghadapi situasi yang sulit. Persepsi self-efficacy tentang kemampuannya mengontrol sumber stres memiliki peranan penting dalam timbulnya kecemasaan. Individu yang percaya akan kemampuannya untuk mengontrol situasi cenderung tidak memikirkan hal-hal yang negatif. Individu yang merasa tidak mampu mengontrol situasi cenderung mengalami level kecemasan yang tinggi, selalu memikirkan kekurangan mereka, memandang lingkungan sekitar penuh dengan ancaman, membesarbesarkan masalah kecil, dan terlalu cemas pada hal-hal kecil yang sebenarnya jarang terjadi (Bandura, 1997). d
Proses seleksi Kemampuan individu untuk memilih aktivitas dan situasi tertentu turut mempengaruhi efek dari suatu kejadian. Individu cenderung menghindari aktivitas dan situasi yang diluar batas kemampuan mereka. Bila individu merasa yakin bahwa mereka mampu menangani suatu situasi, maka mereka cenderung tidak menghindari situasi tersebut. Dengan adanya pilihan yang dibuat, individu kemudian dapat meningkatkan kemampuan, minat, dan hubungan sosial mereka (Bandura, 1997)
Universitas Sumatera Utara
25
6.
Karakteristik individu yang memiliki
self-efficacy tinggi dan self-
efficacy rendah Karakteristik individu yang memiliki Self-efficacy yang tinggi adalah ketika individu tersebut merasa yakin bahwa mereka mampu menangani sesecara efektif peristiwa dan situasi yang mereka hadapi, tekun dalam menyelesaikan tugastugas, percaya pada kemampuan diri yang mereka miliki, memandang kesulitan sebagai tantangan bukan ancaman dan suka mencari situasi baru, menetapkan sendiri tujuan yang menantang dan meningkatkan komitmen yang kuat terhadap dirinya, menanamkan usaha yang kuat dalam apa yang dilakuakanya dan meningkatkan usaha saat menghadapi kegagalan, berfokus pada tugas dan memikirkan strategi dalam menghadapi kesulitan, cepat memulihkan rasa mampu setelah mengalami kegagalan, dan menghadapi stressor atau ancaman dengan keyakinan bahwa mereka mampu mengontrolnya (Bandura, 1997). Karakteristik individu yang memiliki Self-efficacy yang rendah adalah individu yang merasa tidak berdaya, cepat sedih, apatis, cemas, menjauhkan diri dari tugas-tugas yang sulit, cepat menyerah saat menghadapi rintangan, aspirasi yang rendah dan komitmen yang lemah terhadap tujuan yang ingin di capai, dalam situasi sulit cenderung akan memikirkan kekurangan mereka, beratnya tugas tersebut, dan konsekuensi dari kegagalanya, serta lambat untuk memulihkan kembali perasaan mampu setelah mengalami kegagalan (Bandura, 1997).
Universitas Sumatera Utara
26
B. Konselor Sekolah 1.
Definisi konselor sekolah Konselor sekolah adalah penyelenggara kegiatan BK di sekolah Istilah
konselor secara resmi digunakan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 dengan menyatakan “konselor adalah pendidik” dan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2005 menyatakan “konselor adalah pelaksana pelayanan konseling di sekolah” yang sebelumnya menggunakan istilah petugas BP, guru BP/BK dan guru pembimbing (Prayitno, 2001). Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2005 (Dahlani, 2008) mengemukakan “konselor adalah pelaksana pelayanan konseling di sekolah”. Konselor sekolah adalah konselor yang mempunyai tugas, tanggung jawab, wewenang dan hak secara penuh dalam kegiatan BK terhadap sejumlah peserta didik (Anonimous, 2009). Jadi dapat disimpulkan bahwa konselor sekolah adalah penyelenggara kegiatan Bimbingan dan Konseling di sekolah.
2. Tugas konselor sekolah Menurut Depdiknas (dalam Dahlani, 2009) Tugas guru bimbingan dan konseling/konselor yaitu membantu peserta didik dalam: a
Pengembangan kehidupan pribadi, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami, menilai bakat dan minat.
b
Pengembangan kehidupan sosial, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai serta mengembangkan
Universitas Sumatera Utara
27
kemampuan hubungan sosial dan industrial yang harmonis, dinamis, berkeadilan dan bermartabat. c
Pengembangan kemampuan belajar, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik mengembangkan kemampuan belajar untuk mengikuti pendidikan sekolah/madrasah secara mandiri.
d
Pengembangan karir, yaitu bidang pelayanan yang membantu peserta didik dalam memahami dan menilai informasi, serta memilih dan mengambil keputusan karir.
Prayitno, dkk (Dahlani, 2008) mengemukakan tugas konselor sekolah, sebagai berikut: a
Memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling.
b
Merencanakan program bimbingan dan konseling terutama programprogram satuan layanan dan satuan kegiatan pendukung untuk satuansatuan waktu tertentu, program-program tesebut dikemas dalam program harian, mingguan, bulanan, semesteran dan tahunan.
c
Melaksanakan segenap satuan layanan bimbingan dan konseling.
d
Melaksanakan segenap progam satuan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling
e
Menilai proses dan hasil pelaksanaan satuan layanan dan kegiatan pendukung
f
Menganalisis hasil penilaian layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling
Universitas Sumatera Utara
28
g
Melaksanakan tindak lanjut berdasarkan hasil penilaian layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling
h
Mengadministrasikan kegiatan satuan layanan dan kegiatan pendukung bimbingan yang dilaksanakan
3 . Tanggung jawab konselor sekolah Konselor sebagai tenaga inti dalam bidang pelayanan bimbingan dan konseling mengendalikan sekaligus melaksanakan berbagai layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling yang menjadi tanggung jawabnya. Adapun tanggung jawab konselor sekolah tidak hanya pada peserta didik atau siswa saja, melainkan juga dengan berbagai pihak yang dapat secara bersama-sama menunjang pencapaian tujuan pendidikan (Prayitno, 2001), yaitu: a
Tanggung jawab konselor kepada siswa, yaitu bahwa konselor: 1)
Memiliki kewajiban dan kesetiaan utama dan terutama kepada siswa yang hasur diperlakukan sebagai individu yang unik.
2)
Memperhatikan sepenuhnya segenap kebutuhan siswa dan mendorong pertumbuhan dan perkembangan yang optimal bagi setiap siswa.
3)
Memberitahukan siswa tentang tujuan, aturan, prosedur serta teknik layanan bimbingan dan konseling.
4)
Tidak mendesakkan nilai-nilai tertentu kepada siswa yang sebenarnya hanya sekedar apa yang dianggap baik oleh konselor.
5)
Menjaga kerahasiaan data tentang siswa.
Universitas Sumatera Utara
29
6)
Memberitahukan pihak yang berwenang apabila ada petunjuk yang berbahaya.
b
7)
Melakukan layanan secara tepat dan professional.
8)
Melakukan referal kasus secara tepat.
Tanggung jawab konselor kepada orang tua, yaitu bahwa konselor: 1)
Menghormati hak dan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya dan berusaha sekuat tenaga membangun hubungan yang erat dengan orang tua demi perkembangan siswa.
2)
Memberitahukan orang tua tentang peranan konselor dengan asas kerahasiaan yang dijaga secara teguh.
3)
Menyediakan orang tua berbagai informasi yang berguna dan menyampaikannnya dengan cara sebaik-baiknya untuk kepentingan perkembangan siswa.
4)
Memperlakukan informasi yang diterima dari orang tua dengan menerapkan asas kerahasiaan dan dengan cara yang sebaikbaiknya.
5)
Menyampaikan informasi hanya kepada pihak-pihak yang berhak mengenai informasi tersebut tanpa merugikan siswa dan orang tuanya.
c
Tanggung jawab kepada sejawat, yaitu bahwa konselor: 1)
Memperlakukan sejawat dengan penuh kehormatan, keadilan, keobjektifan, dan kesetiakawanan.
Universitas Sumatera Utara
30
2)
Mengembangkan hubungan kerjasama dengan sejawat demi terbinanya pelayanan bimbingan dan konseling yang maksimum.
3)
Membangun kesadaran tentang perlunya asas kerahasiaan, perbedaan antara data umum dan data pribadi, serta pentingnya konsultasi sejawat.
4)
Menyediakan informasi yang tepat, objektif, luas dan berguna bagi sejawat untuk membantu menangani masalah siswa.
5) d
Membantu proses alih tangan kasus.
Tanggung jawab kepada sekolah dan masyarakat, yaitu bahwa konselor: 1)
Mendukung
dan
melindungi
program
sekolah
terhadap
penyimbangan-penyimpangan yang merugikan siswa. 2)
Memberitahu pihak-pihak yang bertanggung jawab apabila ada sesuatu yang menghambat atau merusak misi sekolah, personal sekolah, ataupun kekayaan sekolah.
3)
Mengembangkan dan meningkatkan peranan dan fungsi bimbingan dan konseling untuk memenuhi kebutukan segenap unsure-unsur sekolah dan masyarakat.
4)
Bekerjasama dengan lembaga, organisasi, dan perorangan baik di sekolah maupun dimasyarakat demi pemenuhan kebutuhan siswa, sekolah dan masyarakat tanpa pamrih.
Universitas Sumatera Utara
31
4
Jenis layanan konselor sekolah Menurut PP No. 74 Tahun 2008 (Dahlani, 2009), jenis layanan konselor
sekolah adalah: 1)
Layanan orientasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah/madrasah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk menyesuaikan diri serta mempermudah dan memperlancar peran peserta didik di lingkungan yang baru.
2)
Layanan informasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi diri, sosial, belajar, karir/jabatan, dan pendidikan lanjutan.
3)
Layanan penempatan dan penyaluran, yaitu layanan yang membantu peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran yang tepat di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, dan kegiatan ekstra kurikuler.
4)
Layanan penguasaan konten, yaitu layanan yang membantu peserta didik menguasai konten tertentu, terutama kompetensi dan atau kebiasaan yang berguna dalam kehidupan di sekolah/madrasah, keluarga, industri dan masyarakat.
5)
Layanan konseling perorangan, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam mengentaskan masalah pribadinya.
6)
Layanan bimbingan kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pengembangan pribadi, kemampuan hubungan sosial,
Universitas Sumatera Utara
32
kegiatan belajar, karir/jabatan, dan pengambilan keputusan, serta melakukan kegiatan tertentu melalui dinamika kelompok. 7)
Layanan konseling kelompok, yaitu layanan yang membantu peserta didik dalam pembahasan dan pengentasan masalah pribadi melalui dinamika kelompok.
8)
Layanan konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan caracara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik.
9)
Layanan mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antar mereka.
D.
Gambaran Self-Efficacy Konselor Sekolah di Kota Medan. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru
dan Dosen mengemukakan bahwa: “Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah”. Guru profesional tidak hanya dituntut untuk menguasai bidang ilmu, bahan ajar, metode pembelajaran, memotivasi peserta didik, memiliki keterampilan yang tinggi dan wawasan yang luas terhadap dunia pendidikan, tetapi juga harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang hakikat manusia dan masyarakat (Mulyasa, 2007).
Universitas Sumatera Utara
33
Kelangsungan proses pembelajaran di sekolah diperkuat oleh tiga komponen guru yang memiliki fungsi berbeda, yakni guru mata pelajaran, guru praktek dan konselor sekolah (Laeis, 2009). Prayitno (1991) juga menyatakan bahwa untuk mencapai kesuksesan sistem pendidikan di sekolah maka perlu dibutuhkan tiga bidang pemimpin di sekolah. Ketiga pemimpin tersebut adalah pimpinan sekolah, pendidik, dan bimbingan dan konseling. Dari pendapat kedua tokoh diatas terlihat bahwa keberadaan bidang bimbingan dan konseling
di
sekolah mendapatkan peranan yang sangat penting guna mencapai kesuksesan pendidikan. Melihat peran guru BK yang sangat penting maka sudah seharusnya unit Bimbingan dan konseling (BK) ada di setiap lembaga pendidikan. Istilah konselor secara resmi digunakan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 dengan menyatakan “konselor adalah pendidik” (Himpunan UU RI No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional) dimana dijelaskan bahwa fokus kegiatan pendidikan tidak lagi terletak sebatas kegiatan mengajar dengan mengutamakan peranan guru, melainkan dengan sengaja dan terencana melibatkan berbagai profesi pendidik (Winkel & Hastuti, 2006). konselor sekolah memiliki tugas untuk melakukan pemantauan dan pembimbingan terhadap siswa berkaitan dengan perkembangan bakat, minat, dan potensi yang dimilikinya (Laeis, 2009). Menurut Hafid (dalam Anonimous, 2009) peran guru Bimbingan Konseling (BK) saat ini belum optimal. Hal tersebut disinyalir akibat masih ada pihak yang belum memahami arti penting konselor sekolah dalam proses pembelajaran dan masih ada kepala sekolah yang menganggap peran konselor
Universitas Sumatera Utara
34
sekolah itu tidak penting. Menurut Sukadji (2000) beberapa kepala sekolah mengaggap tidak perlu ada petugas khusus untuk bimbingan. Selain itu masih banyak guru yang sebenarnya kurang memahami asas-asas BK (Winkel, 1991). Kurangnya pemahaman kepala sekolah dan guru akan arti pentingnya layanan bimbingan dan konseling di sekolah mengakibatkan tugas konselor semakin tidak jelas (Winkel, 1991). Hafid (dalam Anonimous, 2009) menyatakan bahwa hanya demi formalitas banyak sekolah yang memposisikan guru BK dipegang oleh guru kesenian, guru PKK, atau guru-guru yang jam mengajarnya tidak terlalu padat. Menurut Hafid (dalam Anonimous, 2009), latar belakang pendidikan yang tidak sesuai mengakibatkan banyak peran konselor sekolah yang disalahfungsikan untuk menghukum anak semata. Menurut Wibowo (Laeis, 2009) pelaksanaan fungsi yang kurang tepat akan mempengaruhi jalannya proses pendidikan, sebab tugas dan fungsi tidak dilakukan oleh mereka yang memiliki kompetensi dan wewenang terhadap bidang tersebut. Kenyataan seperti ini banyak terjadi di kota Medan, hal ini terlihat dari hasil wawancara dan observasi yang dilakukan di beberapa sekolah di kota Medan. Untuk menghadapi kenyataan tersebut maka konselor sekolah seharusnya memiliki self-efficacy, seorang konselor sekolah harus memiliki keyakinan yang kuat akan kemapuan dan keterampilan dia miliki untuk menghadapi segala situasi yang ada terutama ketika berhadapan dengan klien (siswa), keyakinan seperti inilah yang sering disebut self-efficacy oleh Bandura (Maldonado, 2008). Ketika seorang konselor memiliki
self-efficacy
maka konselor akan mampu
Universitas Sumatera Utara
35
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik terutama ketika berhadapan dengan klien (Bandura, 1994) Self-efficacy konselor sekolah merupakan kepercayaan yang dimiliki oleh seorang konselor terhadap kapasitasnya untuk mempengaruhi performa siswa (Maldonado, 2008). Larson dan Daniel (dalam Maldonado, 2008) juga menyatakan bahwa self-efficacy konselor dapat didefinisikan sebagai suatu kepercayaan tentang kemampuan dan keterampilan mereka untuk menghadapi klien secara efektif. Bandura (1997) juga menyatakan bahwa Self-efficacy dapat menjembatani antara pengetahuan yang dimiliki dengan perilaku-perilaku tertentu. Self-efficacy yang dimiliki oleh konselor sekolah dapat mempengaruhi banyak hal. Dengan tingginya Self-efficacy yang dimiliki, seorang konselor sekolah dapat menampilkan kinerja yang baik, ia akan bertahan dalam membimbing terutama dalam menghadapi siswa yang bermasalah di sekolah (Bandura, 1997). Selain itu Self-efficacy yang dimiliki oleh konselor juga dapat mempengaruhi motivasi (Eggen & Kauchak, 2004) dan prestasi siswa dalam belajar (Ashton & Webb, 1986). Oleh karena itu, self-efficacy yang dimiliki oleh konselor sekolah sangatlah penting. Menurut Bandura (dalam Zulkaida, dkk., 2007) self-efficacy adalah keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk mengorganisasikan dan melakukan tindakan-tindakan yang perlu dalam mencapai tingkat kinerja tertentu. Bandura (1997) menyebutkan ada tiga dimensi self-efficacy, yaitu level, generality, and strength. Level berhungan dengan level kesulitan tugas yang
Universitas Sumatera Utara
36
diterima oleh seseorang untuk diselesaikan, generality
berhubungan dengan
sejauh mana individu yakin akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas dan bagaimana individu menginterpretasikan dirinya gagal atau sukses, strength berhubungan dengan kuatnya keyakinan seseorang mengenai kemampuan yang dimiliki (Hall, 2009). Self efficacy sangat dipengaruhi oleh lingkungan dimana individu tersebut berada (Bandura dalam Hall, 2009). Self-efficacy
konselor sekolah akan
dipengaruhi oleh lingkungan sekolah dimana dia bekerja, misalnya sistem pendidikan, pekerjaan yang dihadapi, dan bagaimana hubungannya dengan orangorang yang terkait didalam sekolah tersebut. self-efficacy seseorang akan cenderung meningkat ketika lingkungan juga memberikan dukungan terhadap tugas yang dia lakukan dan ketika individu memiliki self-efficacy yang tinggi maka dia akan bisa menghadapi tantangan dengan lebih baik (Bandura, 1997).
Universitas Sumatera Utara