BAB II LANDASAN TEORI
A. Sosialisasi A.1. Pengertian Sosialisasi Brim (dalam Brice, 1994) mendefinisikan sosialisasi sebagai proses dimana seseorang memperoleh pengetahuan, kemampuan dan dasar yang membuat mereka mampu atau tidak mampu menjadi anggota dari suatu kelompok. Pengertian ini memandang sosialisasi sebagai suatu proses belajar dimana individu belajar dan mendapatkan nilai dari kelompok-kelompok yang dimasukinya. Pengertian tersebut juga sejalan dengan pengertian dari Zigler dan Child (dalam Brice, 1994) yang menyatakan bahwa sosialisasi adalah keseluruhan proses dimana individu mengembangkan, melalui proses transaksi dengan orang lain, bentuk-bentuk khusus dari perilaku dan pengalaman yang berhubungan dengan sosialnya. Pengertian ini menekankan pada hubungan dengan orang lain dalam pembentukan sosialisasi bukan hanya pada proses perkembangan saja. Sosialisasi merupakan suatu proses dari perkembangan individu yaitu disposisi perilaku dan hubungan dengan orang lain, bukan hanya keluarga tetapi juga semua orang yang bertransaksi dengan orang tersebut. Menurut Hurlock (1998), sosialisasi adalah suatu proses dimana seseorang memperoleh kemampuan sosial untuk dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan
14 Universitas Sumatera Utara
15
sosial. Kemampuan sosial ini sangat erat kaitannya dengan perkembangan sosial anak. Sosialisasi adalah suatu proses pembentukan standar individu tentang keterampilan, dorongan sikap dan perilaku agar dapat berjalan sesuai dengan tuntutan dan harapan masyarakat (Hetherington dan Parke, 1999). Pembentukan standar individu tersebut didapatkan dari orangtua sejak dari lahir sampai dewasa. Sosialisasi merupakan suatu proses sepanjang hidup sejak dari lahir sampai akhir hidup. Papalia
(2003)
menyatakan
bahwa
sosialisasi
adalah
proses
mengembangkan kebiasaan, nilai-nilai, perilaku dan motif untuk dapat menjadi anggota masyarakat. Proses tersebut bermula dari keluarga sebagai tempat anak melakukan kontak pertama dan berkembang terus selama kehidupan anak. Pengertian ini juga mencakup mengenai proses transaksi dengan orang lain dalam lingkungan sekolah, maupun dengan teman sebayanya. Sosialisasi bergantung pada proses internalisasi standar-standar sosial yang berlaku dalam kelompok. Anak-anak menerima standar sosial tersebut atau tidak tergantung pada rasa aman yang dirasakan oleh anak tersebut di dalam kelompoknya (Papalia, 2003). Ambron (dalam Yusuf, 2005) mengatakan bahwa sosialisasi adalah suatu proses belajar yang membimbing anak ke arah perkembangan kepribadian sosial sehingga dapat menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab dan efektif. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sosialisasi adalah suatu kemampuan individu untuk dapat berinteraksi secara baik dengan
Universitas Sumatera Utara
16
lingkungan dan memperoleh nilai-nilai yang sesuai dengan lingkungannya. Sosialisasi ini dipengaruhi oleh lingkungan dimana seseorang itu berada.
A.2. Agen Sosialisasi Perkembangan sosial anak sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya, baik orangtua, sanak keluarga, orang dewasa lainnya atau teman sebayanya. Apabila lingkungan sosial tersebut memfasilitasi atau memberikan peluang terhadap perkembangan anak secara positif, maka anak akan dapat mencapai perkembangan sosialnya secara matang. Apabila lingkungan sosial itu kurang kondusif, seperti perlakuan orang tua yang kasar, maka anak cenderung menampilkan perilaku maladjustment (Yusuf, 2005). Elkin (dalam Brice, 1994), megemukakan bahwa agen sosialisasi adalah kelompok-kelompok dimana suatu individu mendapatkan proses belajar sosialisasi. Agen-agen sosialisasi tersebut adalah: (1) Keluarga, (2) Teman sebaya, (3) Sekolah, dan (4) Media. Setiap agen sosialisasi memiliki bentuk dan nilai yang berbeda bagi proses sosialisasi anak.
A.2.a. Keluarga Keluarga merupakan agen sosialisasi anak yang paling awal, dimana keluarga merupakan tempat pertama anak melakukan hubungan sosial. Anak akan membawa ingatan mengenai hubungan keluarganya dalam melakukan kontak sosial dengan sahabat, guru, tetangga dan lainnya (Hetherington dan Parke, 1999).
Universitas Sumatera Utara
17
Wahini (2002) mengemukakan bahwa keluarga merupakan tempat pertama dan utama terjadinya sosialisasi pada anak. Pengaruh paling besar selama perkembangan anak pada lima tahun pertama kehidupannya terjadi dalam keluarga. Orangtua, khususnya ibu mempunyai peranan penting dalam pembentukan kepribadian anak, walaupun kualitas kodrati dan kemauan anak akan ikut menentukan proses perkembangannya. Kepribadian orangtua sangat besar pengaruhnya pada pembentukan pribadi anak. Anggota keluarga yang pertama yang paling berpengaruh dalam proses sosialisasi adalah orangtua. Bentuk pengasuhan, sikap orangtua terhadap anak semuanya dapat mempengaruhi proses sosialisasi anak kedepannya (Hethrington & Parke, 1999). Kehangatan dari orang tua dalam mengasuh anak sangat penting dalam proses sosialisasi. Orangtua yang hangat dan penuh kasih, akan membuat anak merasa aman dan berusaha untuk mempertahankan hubungan tersebut. Anak juga akan merasa nyaman dan mengurangi nilai stres dari anak sehingga anak mampu bersosialisasi dengan baik (Baumrind dalam Hetherington & Parke, 1999). Tujuan dari sosialisasi adalah membuat anak mampu untuk mengatur dan memilih perilaku yang tepat dalam berhubungan sosial. Peran kontrol keluarga juga sangat berperan dalam menjaga hubungan sosial anak. Apabila orang tua konsisten dalam menerapkan disiplin keluarga maka anak juga akan menerima dan menginternalisasi aturan keluarga dengan baik (Crockenberg & Litman dalam Hetherington & Parke, 1999).
Universitas Sumatera Utara
18
Menurut Kopp (dalam Hetherington & Parke, 1999), tantangan dalam mendidik sosialisasi anak adalah bukan suatu uji coba, orangtua perlu untuk membimbing anaknya agar dapat menyesuaikan diri dengan keluarga dan lingkungan. Kemampuan anak dalam sosialisasi tidak hanya berpengaruh dalam hubungan keluarga dengan interaksi sosial lainnya tetapi merupakan suatu kemampuan sosial sepanjang hidup dan berperan dalam perkembangan emosional dan perkembangan lainnya. Hubungan dengan para anggota keluarga tidak hanya semata-mata dengan orang tua saja, tetapi juga dengan saudara. Tidak hanya satu anggota keluarga yang mempengaruhi sosialisasi pada anak. Cicirelli (dalam Santrock, 1997) mengemukakan bahwa ada bukti yang menyatakan bahwa hubungan saudara mungkin lebih kuat pengaruhnya pada sosialisasi anak daripada hubungan anak dengan orang tua. Menurut Katz (dalam Hetherington & Parke, 1999), hubungan saudara mungkin merupakan konteks utama bagi anak dalam mempelajari bagaimana bersaing dengan orang lain, bagaimana bertoleransi dengan orang lain. Persaingan dalam hubungan tidak akan menghilangkan hubungan sehingga merupakan awal dalam belajar berhubungan dengan orang lain. Keluarga besar juga menjadi salah satu pengaruh besar dalam sosialisasi anak. Keluarga besar yang terdiri dari kakek, nenek dan keluarga inti, interaksi yang terjadi dalam keluarga semakin tinggi. Santrock (1997) menyatakan bahwa keluarga besar dapat mengurangi kadar stres yang terjadi pada anak-anak.
Universitas Sumatera Utara
19
Interaksi dalam keluarga besar khususnya kakek dan nenek kepada anak-anak menyebabkan rasa aman bagi anak dan mengurangi kadar stres bagi anak. Keluarga besar juga memberikan dorongan emosional bagi anak-anak sehingga dapat memaksimalkan perkembangan emosional anak. Kehadiran nenek juga memberikan dorongan emosional kepada orangtua melalui nasehat dan bimbingan (Santrock, 1997). Berdasarkan uraian di atas, keluarga merupakan agen sosialisasi yang paling awal dalam perkembangan anak-anak, dimana pihak yang berpengaruh adalah orangtua, saudara kandung, dan juga keluarga besar lainnya.
A.2.b. Teman Sebaya Teman sebaya memainkan peranan yang khusus dalam perkembangan anak. Hubungan anak dengan orangtuanya lebih sering, walaupun demikian interaksi diantara teman sebaya lebih bebas dan egaliter. Hubungan dengan teman sebaya menawarkan kesempatan kepada anak-anak untuk mengeksplorasi hubungan interpersonal yang baru. Hubungan itu menjadi dasar bagi anak dalam perkembangan kemampuan sosialnya (Hetehrington & Parke, 1999). Teman sebaya adalah anak-anak yang memiliki usia yang setara dan tahap kematangan yang sama (Santrock, 1997). Salah satu fungsi yang utama dari teman sebaya adalah menyediakan informasi dan perbandingan mengenai dunia di luar lingkungan keluarga bagi anak. Anak-anak menerima masukan mengenai kemampuan mereka dari teman sebayanya. Anak-anak mengevaluasi apa yang mereka lakukan berdasarkan nilai dari teman sebayanya.
Universitas Sumatera Utara
20
Menurut Havighurts (dalam Hurlock, 1998), teman sebaya adalah kumpulan orang-orang yang
kurang lebih berusia sama yang berpikir dan
bertindak bersama-sama. Kelompok teman sebaya ini disebut Havighurts sebagai geng. Anak-anak menjadi anggota suatu kelompok teman sebaya yang secara bertahap menggantikan keluarga dalam mempengaruhi perilakunya. Hubungan teman sebaya yang baik sangat penting bagi perkembangan sosial anak-anak. Isolasi sosial, sangat berperan kuat dalam berbagai masalahmasalah sosialisasi anak (Santrock, 1997). Suatu studi yang dilakukan oleh Roff, Sells, & Golden (dalam Santrock, 1997) menyatakan bahwa hubungan dengan teman sebaya yang kurang baik berhubungan dengan kecenderungan untuk keluar dari sekolah, perilaku delinkuen ketika masa dewasa. Seiring dengan perkembangan anak dan hubungannya dengan teman sebaya, pertukaran negatif dan konflik juga semakin meningkat (Hay & Ross dalam Hetherington & Parke, 1999). Menjadi sociable dan mendapatkan konflik selalu berjalan beriringan. Anak-anak yang sering mengalami konflik dengan teman sebaya biasanya lebih mudah berinteraksi dengan orang lain (Brown & Brownell dalam Hetherington & Parke, 1999). Sebagaimana yang dikemukakan di atas bahwa teman sebaya merupakan sumber informasi bagi anak-anak dalam berhubungan dengan orang lain. Teman sebaya dalam perannya sebagai sumber informasi dapat menjadi reinforcer, model dan juga pembanding yang menyediakan kesempatan bagi anak-anak untuk bersosialisasi dan belajar.
Universitas Sumatera Utara
21
Adapun fungsi teman sebaya dalam sosialisasi anak menurut Hetherington & Parke (1999) adalah: 1. Teman Sebaya sebagai Reinforcer Anak-anak cenderung untuk berbagi dengan teman sebaya daripada dengan orang tuanya (Chalesworth & Hartup dalam Hetherington & Parke, 1999). Banyak orangtua yang menemukan bahwa anak-anak lebih mendengarkan nasehat teman sebaya daripada nasehat orang tuanya. Tidak diragukan lagi bahwa dorongan teman sebaya dalam bentuk penerimaan dan perhatian mempengaruhi sosialisasi anak. Berbagai studi membuktikan bahwa peranan teman sebaya dalam membentuk tingkah laku anakanak apakah ke arah positif ataupun negatif sangat besar (Hetherington & Parke, 1999). 2. Teman Sebaya sebagai Model Teman sebaya juga mempengaruhi anak-anak dengan berperan sebagai model. Anak-anak mendapatkan pengetahuan yang luas mengenai berbagai jenis respon melalui pengamatannya terhadap perilaku anak-anak lainnya (Papalia, 2003). Anak-anak juga belajar kemampuan sosial melalui imitasi, modeling terhadap anggota kelompok yang lebih dominan (Hetherington & Parke, 1999). 3. Teman Sebaya sebagai Pemandu dan Instruktur Teman sebaya menyediakan kesempatan untuk bersosialisasi dan mengembangkan hubungan dan rasa memiliki (Zarbatany et al. dalam Hetehrington & Parke, 1999). Teman sebaya berperan dalam memberikan informasi dan masukan bagi teman sebaya lainnya. Hubungan ini bersifat dua arah
Universitas Sumatera Utara
22
dimana teman sebaya saling memberi informasi dan masukan serta panduan bagi teman sebaya lainnya.
A.2.c. Sekolah Tujuan mempengaruhi
utama
dari
sekolah
perkembangan
adalah
kognitif
anak.
untuk
mengembangkan
Sekolah
membantu
dan anak
mendapatkan orientasi abstrak simbolis mengenai dunia, yang membuat anakanak mampu mengembangkan kemampuan berpikir mengenai konsep umum, peraturan, dan situasi tertentu. Sekolah tidak hanya mengajarkan pengetahuan umum saja, sekolah juga mengajarkan anak-anak untuk berpikir mengenai dunia dalam berbagai cara. Hal ini membuat fungsi sekolah bukan hanya mengembangkan kemampuan kognitif anak tetapi juga kemampuan sosial anak (Hetherington & Parke, 1999). Sekolah khususnya TK dan RA difokuskan pada peletakan dasar-dasar pengembangan sikap, pengetahuan, keterampilan dan daya cipta sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangannya. Penyelenggaraan TK dan RA secara khusus bertujuan untuk memantapkan perkembangan fisik, emosi, dan sosial untuk siap mengikuti pendidikan berikutnya (Megawangi, Latifah, & Dina, 2005). Menurut Megawangi dkk (2005), kemampuan sosialisasi merupakan salah satu yang difokuskan dalam pendidikan anak usia dini. Anak-anak diharapkan mampu berinteraksi dengan orang lain dan berkomunikasi secara efektif. Penelitian oleh Epstein (dalam Hetherington & Parke, 1999) membuktikan bahwa sekolah bersama dengan keluarga dan teman sebaya mempengaruhi anak
Universitas Sumatera Utara
23
dalam perkembangan orrientasi nilai anak, perkembangan jiwa politik dan motivasi anak.
A.2.d. Media Media meliputi Koran, majalah, buku, radio, televisi dan berbagai jenis alat komunikasi lainnya yang mencapai jumlah pendengar yang besar yang disampaikan melalui medium impersonal antara pengirim dan penerima. Media tidak langsung mempengaruhi interaksi seperti halnya agen sosialisasi yang lain, walaupun begitu media tetap merupakan agen sosialisasi karena mengungkapkan berbagai aspek mengenai masyarakat dan mempengaruhi anak-anak dalam pengertiannya mengenai dunia (Berns, 2004). Anak-anak, karena kemampuan kognitif yang belum sepenuhnya matang sangat dipengaruhi oleh media massa (Huston, Zilman & Bryant dalam Berns, 2004). Mereka memproses apa yang dilihat dan didengar dan menjadikan itu sebagai sesuatu yang berarti bagi mereka. Televisi merupakan salah satu media yang paling mempengaruhi anakanak (Hetherington & Parke, 1999). Anak-anak biasanya meniru karakter-karakter yang ada di dalam televisi, terutama yang aktif dan terkenal. Mereka bertindak dan bertingkah laku sesuai dengan tokoh televisi yang mereka lihat dan hal itu mereka bawa dalam pergaulan sehari-hari dan biasanya dilakukan ketika bersama dengan teman-teman sebaya mereka (Berns, 2004). Televisi dan film menimbulkan banyak perhatian terhadap perkembangan anak, khususnya efeknya terhadap sosialisasi anak. Televisi memiliki efek yang
Universitas Sumatera Utara
24
membedakannya dari media lain, khususnya karena televisi lebih diminati daripada media lain (Singer, Singer & Zuckerman dalam Berns, 2004). Anak-anak adalah pendengar khusus dalam kaitannya dengan televisi (Dorr dalam Berns, 2004). Anak-anak memandang images yang mereka lihat di dalam televisi adalah nyata seperti bahwa kekerasan adalah jalan untuk menyelesaikan masalah (Huston, Zillman, & Bryant dalam Berns, 2004). Media sebagai salah satu agen sosialisasi tidak dapat dilepaskan dari anakanak dan harus diperhatikan karena sangat berpengaruh pada perkembangan anak, khususnya pada masa kanak-kanak awal karena belum mampu menyaring informasi secara baik.
A.3. Aspek Sosialisasi Menurut Hurlock (1998), sosialisasi terdiri dari tiga aspek yaitu penyesuaian sosial, penerimaan sosial dan keterampilan sosial. Keberhasilan seorang anak dalam sosialisasi dapat dilihat dari keberhasilannya dalam ketiga faktor tersebut.
A.3.a. Penyesuaian Sosial Penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan seseorang untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompoknya pada khususnya (Hurlock, 1998).
Universitas Sumatera Utara
25
Orang-orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik mempelajari berbagai keterampilan sosial seperti kemampuan untuk menjalin hubungan dengan orang lain sehingga sikap orang lain terhadap mereka menyenangkan. Anak-anak diharapkan agar semakin lama dapat semakin menyesuaikan diri terhadap kehidupan sosial dan dapat memenuhi harapan sosial sesuai dengan usia mereka. Tidak ada seorangpun yang mengharapkan seorang bayi untuk dapat menyesuaikan diri dengan baik, namun semakin besar seseorang diharapkan untuk dapat menyesuaikan diri (Hurlock, 1998). Hurlock (1998) mengungkapkan beberapa kriteria penyesuaian sosial untuk menentukan sejauh mana penyesuaian diri anak secara sosial. 1. Penampilan nyata. Perilaku sosial anak yang dinilai berdasarkan standar kelompoknya, memenuhi harapan kelompok, akan diterima menjadi anggota kelompok. 2. Penyesuaian
diri
terhadap
berbagai
kelompok.
Anak
yang
dapat
menyesuaikan diri dengan baik terhadap berbagai kelompok, baik kelompok teman sebaya maupun kelompok orang dewasa, secara sosial dianggap sebagai orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik. 3. Sikap sosial. Anak harus menunjukkan sikap yang menyenangkan terhadap orang lain, terhadap partisipasi sosial, bila ingin dinilai sebagai orang yang dapat menyesuaikan diri dengan baik. 4. Kepuasan pribadi. Anak harus merasa puas terhadap kontak sosialnya dan terhadap peran yang dimainkan dalam situasi sosial, baik sebagai pemimpin maupun sebagai anggota. Agar dapat menyesuaikan diri dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
26
A.3.b. Penerimaan Sosial Penerimaan sosial berarti dipilih sebagai teman untuk suatu aktivitas dalam kelompok di mana seorang menjadi anggota. Penerimaan sosial ini merupakan indeks keberhasilan yang digunakan anak untuk berperan dalam kelompok sosial dan menunjukkan derajat rasa suka anggota kelompok yang lain untuk bekerja atau bermain dengannya (Hurlock, 1998). Hurlock (1998) mengkategorikan penerimaan sosial ke dalam 6 kategori yaitu : 1. Star. Hampir semua orang dalam kelompok menganggap “star” sebagai sahabat karib, meskipun “star” tidak banyak membalas uluran persahabatan ini. Setiap orang mengagumi “star” karena adanya beberapa sifat yang menonjol. Hanya sedikit sekali anak-anak yang termasuk dalam kategori ini. 2. Accepted. Anak yang “accepted” disukai oleh sebagian
besar anggota
kelompok. Statusnya kurang terjamin dibandingkan dengan status “star”, dan dia dapat kehilangan status tersebut bila dia terus-menerus melakukan atau mengatakan sesuatu yang menentang anggota kelompok. 3. Isolate. “Isolate” tidak mempunyai sahabat diantara teman sebayanya. Hanya sedikit sekali anak yang termasuk dalam kategori ini. Ada dua jenis “isolate” : “voluntary isolate” yang menarik diri dari kelompok karena kurang memiliki minat untuk menjadi anggota kelompok atau untuk mengikuti aktivitas kelompok; “involuntary isolate” yang ditolak oleh kelompok meskipun dia ingin menjadi anggota kelompok tersebut. “Involuntary isolate” yang “subjektif” mungkin beranggapan bahwa ia tidak
Universitas Sumatera Utara
27
dibutuhkan dan menjauhkan diri dari kelompok “involuntary isolate” yang “objektif,” sebaliknya, benar-benar ditolak oleh kelompok. 4. Fringer. “Fringer” adalah orang yang terletak pada garis batas penerimaan. Seperti “climber,” dia berada pada posisi yang genting karena dia bisa kehilangan penerimaan yang dia peroleh melalui tindakan atau ucapan tentang sesuatu yang dapat menyebabkan kelompok berbalik menentang dia. 5. Climber. “Climber” diterima dalam suatu kelompok tetapi ingin memperoleh penerimaan dalam kelompok yang secara sosial lebih disukai. Posisinya genting karena dia mudah kehilangan penerimaan yang telah diperolehnya dalam kelompok semula dan mudah mengalami kegagalan untuk memperoleh penerimaan dalam kelompok yang baru bila dia melakukan atau mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan anggota kelompok tersebut. 6. Neglectee. “Neglectee” adalah orang yang tidak disukai tetapi juga tidak dibenci. Dia diabaikan karena dia pemalu, pendiam, dan tidak termasuk kategori tertentu. Dia hampir tidak dapat memberikan apa-apa sehingga anggota kelompok mengabaikannya. Hurlock (1998), juga memberikan beberapa sumber umum penilaian tingkat penerimaan sosial, yaitu: 1. Ekspresi wajah atau nada suara seseorang. Anak memperoleh isyarat tentang bagaimana perasaan orang lain terhadap mereka melalui ekspresi wajah yang diberikan kepada mereka.
Universitas Sumatera Utara
28
2. Perlakuan yang diterima anak dari orang lain. Perlakuan teman sebaya atau orang dewasa lain dapat mengungkapkan dengan cukup akurat apakah seorang anak disukai atau tidak. 3. Kesediaan. Kepastian bahwa anak disukai adalah juga melalui kesediaan orang lain dalam melakukan apa yang diinginkan oleh si anak. Anak akan memperoleh kepastian bahwa dia disukai bila anak lain dengan sukarela meniru cara bicara, perilaku, ataupun pakaiannya. 4. Jumlah teman. Anak yang memiliki banyak teman bermain atau sahabat mengetahui bahwa mereka diterima dengan lebih baik daripada anak yang hanya memiliki sedikit teman bermain atau sahabat. 5. Perkataan orang lain. Melalui perkataan orang lain terhadap anak, anak dapat mengetahui dengan mudah bagaimana perasaan orang lain terhadap mereka. 6. Sebutan. Isyarat yang paling akurat tentang tingkat penerimaan sosial yang diperoleh anak adalah melalui sebutan yang mereka terima. Ejekan yang diterima dapat menjadi ungkapan bahwa anak tersebut kurang diterima daripada sebutan yang lebih menyenangkan, seperti “Kawan”.
A.3.c. Keterampilan Sosial Keterampilan sosial diartikan sebagai kemampuan sosial dalam membina hubungan dengan orang lain dan lingkungan. Individu harus menjadi anggota yang kooperatif untuk menjadi anggota kelompok sosial yang diterima oleh
Universitas Sumatera Utara
29
lingkungan, dan untuk mendapatkan penerimaan tersebut diperlukan keterampilan sosial tertentu (Hurlock, 1998). Hetherington & Parke (1999) mengemukakan bahwa bentuk-bentuk keterampilan sosial pada anak-anak meliputi: dapat menyemangati orang alin, dapat memulai interaksi dengan orang lain, dapat berkomunikasi dengan baik, mampu mengikuti aturan yang telah diberitahukan dengan baik, dan mencoba mengajak anak lain untuk ikut berpartisipasi. National Association of School Psychologists (2002) mengemukakan hasil positif dari anak-anak yang mempunyai keterampilan sosial yang baik, yaitu dengan keterampilan sosial yang tinggi anak-anak akan memiliki kemampuan untuk membuat keputusan sosial yang akan menguatkan hubungan interpersonal mereka dan memudahkan kesuksesan disekolah.
B. Pendidikan Anak Usia Dini B.1. Pengertian Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Pasal 1 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 20, 2003). Menurut Semlok PADU, pengertian PAUD adalah usaha sadar dalam memfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak sejak
Universitas Sumatera Utara
30
lahir sampai dengan usia enam tahun. Pendidikan ini dilakukan melalui penyediaan pengalaman dan stimulasi yang kaya dan bersifat megembangkan secara terpadu dan menyeluruh agar anak dapat tumbuh kembang secara sehat dan optimal sesuai dengan nilai, norma, dan harapan masyarakat. Istilah lain yang sering digunakan untuk diskusi tentang pendidikan anak usia dini adalah “nursery school” atau “preschool” (prasekolah). Nursery school adalah program pendidikan anak usia dua, tiga dan empat tahun (Patmonodewo, 2000). Undang-Undang RI Nomor 2 tahun 1989 (dalam Patmonodewo, 2000) tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 12 Ayat (2) menyebutkan “Selain jenjang pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat diselenggarakan pendidikan prasekolah.” Pendidikan prasekolah adalah pendidikan yang diselenggarakan untuk mengembangkan pribadi, pengetahuan, dan ketrampilan yang melandasi pendidikan dasar serta mengembangkan diri secara utuh sesuai dengan asas pendidikan sedini mungkin dan seumur hidup. PP RI No. 27 Tahun 1990 (dalam Patmonodewo, 2000) tentang Pendidikan Prasekolah. Bab I Pasal 1 Ayat (2) dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan Taman Kanak-kanak (TK) adalah salah satu bentuk pendidikan prasekolah yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia empat tahun sampai memasuki pendidikan dasar. Lebih lanjut dijelaskan bahwa satuan pendidikan prasekolah meliputi Taman Kanak-kanak, Kelompok Bermain dan Penitipan Anak.
Universitas Sumatera Utara
31
B.2. Tujuan dan Fungsi Pendidikan Anak Usia Dini PAUD dimaksudkan untuk menfasilitasi pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak usia dini agar ia dapat tumbuh kembang secara sehat dan optimal sesuai dengan nilai, norma dan harapan masyarakat. Sesuai dengan aspek perkembangan dan keperluan kehidupan anak selanjutnya, PAUD memiliki fungsi-fungsi (Abdulhak, 2003) sebagai berikut: a. Pengembangan segenap potensi anak, b. Penanaman nilai-nilai dan norma-norma kehidupan, c. Pembentukan dan pembiasaan perilaku-perilaku yang diharapkan, d. Pengembangan pengetahuan dan keterampilan dasar, e. Pengembangan motivasi dan sikap belajar yang positif.
B.3. Prinsip-Prinsip Pendidikan Anak Usia Dini Prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam penyelengaraan PAUD (Abdulhak, 2003) adalah sebagai berikut: a. Holistik dan terpadu; PAUD dilakukan dengan terarah ke pengembangan segenap aspek pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak serta dilaksanakan secara terintegrasi dalam suatu kesatuan program utuh dan proporsional. Secara makro, prinsip holistic dan terpadu ini juga mengandung makna bahwa penyelenggaraan PAUD dilakukan secara terintegrasi dengan sistem sosial yang ada di masyarakat dan menyertakan segenap komponen masyarakat sesuai dengan tanggung jawab dan kewenangannya. Dalam hal ini perlu ada keselarasan antara pendidikan
Universitas Sumatera Utara
32
yang dilakukan dalam berbagai unit pendidikan – keluarga, sekolah dan masyarakat. b. Berbasis keilmuan; Prinsip ini mengandung arti bahwa praktek pendidikan anak usia dini yang tepat perlu dikembangkan berdasarkan temuan-temuan muktahir dalam bidang keilmuan yang relevan. Dalam hal ini, para ahli PAUD perlu senantiasa menyebarluaskan temuan-temuan ilmiahnya di bidang PAUD sehingga dapat diaplikasikan oleh para praktisi PAUD baik oleh tenaga professional di lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini maupun oleh tenaga-tenaga non-profesional di masyarakat dan keluarga. c. Berorientasi pada perkembangan anak; PAUD dilaksanakan sesuai dengan karakteristik
dan
tingkat
perkembangan
anak
sehingga
proses
pendidikannya bersifat tidak terstruktur, informal, emergen dan responsive terhadap perbedaan individual anak, serta melalui aktivitas langsung dalam suasana bermain. d. Berorientasi masyarakat; Anak adalah bagian dari masyarakat dan sekaligus sebagai genarasi penerus dari masyarakat yang bersangkutan. Dengan demikian, PAUD hendaknya berlandaskan dan sekaligus turut mengembangkan
nilai-nilai
sosio-kultural
yang
berkembang
pada
masyarakat yang bersangkutan. Lebih lanjut, prinsip ini juga mensyaratkan perlunya PAUD untuk memanfaatkan potensi lokal baik itu berupa keragaman sosial-budaya maupun berupa sumber-sumber daya potensial yang ada di masyarakat setempat.
Universitas Sumatera Utara
33
B.4. Kurikulum PAUD Rosegrant (dalam Suyanto, 2005) menyarankan agar pengembangan kurikulum untuk PAUD mengikuti pola sebagai berikut: 1. Berdasarkan keilmuan PAUD Kurikulum PAUD didasarkan atas ilmu terkini dari PAUD dan hasil-hasil penelitian tentang belajar dan pembelajaran. Kajian keilmuan secara komprehensif hendaknya
menjadi
landasan
pengembangan
kurikulum.
Pengetahuan.
Keterampilan, serta sikap merupakan satu kesatuan. Cara memperoleh pengetahuan dan keterampilan akan mempengaruhi sikap anak, begitu juga sebaliknya. 2. Mengembangkan Anak secara Menyeluruh Tujuan kurikuler hendaknya ditujukan untuk mengembangkan anak secara menyeluruh, yang meliputi aspek fisik-motorik, sosial, moral, emosional, dan kognitif. Isi kkurikulum hendaknya mencerminkan sofat demokratis, adanya kebebasan untuk menentukan pilihan, keadilan, persamaan hak dan kewajiban, serta keterbukaan. Tujuan kurikuler juga hendaknya disesuaikan dengan tingkat perkembangan anak. 3. Relevan, Menarik dan Menantang Isi kurikulum hendaknya relevan, menarik dan menantang anak untuk melakukan eksplorasi, memecahkan masalah, mencoba, dan berpikir. Kurikulum yang efektif dapat mengembangkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap dari konteks yang berarti dalam kehidupan anak. 4. Mempertimbangkan Kebutuhan Anak
Universitas Sumatera Utara
34
Perencanaan kurikulum hendaknya mempertimbangkan kebutuhan anak, perkembangan anak, kebutuhan masyarakat, dan ideology bangsa secara nasional. Keurikulum hendaknya realistis dan dapat dicapai oleh anak. Apa yang dipelajari anak hendaknya sesuai dengan apa yang diinginkan anak, masyarakat dan negara. Nasionalisme, kebudayaan, nilai-nilai susila dan norma hendaknya diperhatikan dalam penyusunan kurikulum. 5. Mengembangkan Kecerdasan Kurikulum hendaknya mengembangkan kemampuan anak untuk berpikir, menalar, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah. Pembelajaran pada anak usia dini hendaknya tidak bersifat hafalan, tetapi mengembangkan kecerdasan dengan cara melatih anak berpikir, bernalar, mengambil keputusan, dan memecahkan masalah. 6. Menyenangkan Kurikulum disesuaikan dengan kondisi psikologis anak sehingga anak merasa mampu, senang, rileks, dan nyaman belajar di TK. Anak usia dini suka bermain, aktif dan selalu ingin tahu. Oleh karena itu, kegiatan kurikuler dirancang agar anak dapat belajar sambil bermain, aktif secara fisik dan mental untuk memuaskan rasa ingin tahunya. 7. Fleksibel Kurikulum sebaiknya bersifat fleksibel, baik tentang isi maupun waktu agar dapat disesuaikan dengan perkembangan, minat dan kebutuhan setiap anak. Kurikulum TK fiharapkan bisa mengakomodasi hal-hal baru, menyediakan
Universitas Sumatera Utara
35
alternatif, dan memungkinkan anak untuk memilih kegiatan. Selain itu, dalam pelaksanaannya tidak terlalu dibatasi oleh waktu. 8. Menyatu dan Padu Kurikulum untuk TK bersifat menyatu dan padu (unified and integrated), artinya tidak mengajarkan bidang studi sendiri-sendiri atau secara terpisah, tetapi secara terpadu dan terintegrasi melalui tematik unit.
C. Anak Usia Dini Anak usia dini merupakan anak yang berusia 0-6 tahun atau dalam bahasa perkembangannya disebut sebagai masa kanak-kanak awal. Masa kanak-kanak awal merupakan masa emas pertumbuhan karena mengalami pertumbuhan yang pesat dalam fisik dan kognitifnya. Perkembangan anak pada masa kanak-kanak awal ini akan sangat mempengaruhi perkembangan selanjutnya (Hurlock, 1999). Masa kanak-kanak awal sering disebut “usia prageng”. Pada masa ini sejumlah hubungan yang dilakukan anak dengan anak-anak lain meningkat dan ini sebagian menentukan bagaimana gerak maju perkembangan sosial mereka. Anakanak yang mengikuti pendidikan prasekolah, biasanya mempunyai sejumlah besar hubungan sosial yang telah ditentukan dengan anak-anak yang umurnya sebaya. Anak yang mengikuti pendidikan prasekolah melakukan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan anak-anak yang tidak mengikuti pendidikan prasekolah. Alasannya adalah mereka dipersiapkan secara lebih baik untuk melakukan partisipasi yang aktif dalam kelompok dibandingkan dengan anak-anak yang
Universitas Sumatera Utara
36
aktivitas sosialnya terbatas dengan anggota keluarga dan anak-anak dari lingkungan tetangga dekat (Hurlock, 1998). Keuntungan pendidikan prasekolah adalah bahwa pusat pendidikan tersebut memberikan pengalaman sosial di bawah bimbingan para guru yang terlatih yang membantu mengembangkan hubungan yang menyenangkan dan berusaha agar anak-anak tidak mendapat perlakuan yang mungkin menyebabkan mereka menghindari hubungan sosial. Akibatnya semua reaksi negatif kepada anak lain berkurang. Walaupun demikian, reaksi negatif terhadap guru kadangkadang meningkat sedikit setelah anak lebih suka bergaul dengan teman sebaya daripada dengan orang dewasa (Hurlock, 1998). Perkembangan fisik merupakan dasar bagi kemajuan perkembangan berikutnya. Perkembangan fisik pada masa kanak-kanak awal mengalami kemajuan yang sangat pesat. Perkembangan motorik halus megalami kemajuan yang sangat pesat sehingga anak-anak pada masa ini dapat melakukan kegiatan menulis, dan gerakan motorik halus lainnya. Hal ini menyebabkan anak-anak pada masa ini dapat belajar banyak dan menyerap banyak hal (Yusuf, 2005). Sejalan dengan perkembangan fisiknya, anak juga harus menjalani perkembangan sosialnya. perkembangan sosial anak dimulai dari sifat egosentris, individual ke arah interaksi sosial. Anak bersifat egosentris pada mulanya, memandang segala sesuatu dari sisi dirinya sendiri sehingga pada usia 2-3 tahun anak masih suka bermain sendiri sampai akhirnya ia mulai berintaraksi dengan orang lain (Suyanto, 2005).
Universitas Sumatera Utara
37
C.1. Perkembangan Sosial Anak Usia Dini Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosialnya. Menurut Hurlock (1998), untuk menjadi orang yang mampu bermasyarakat memerlukan tiga proses yaitu: 1. belajar berperilaku yang dapat diterima sosial, 2. memainkan peran sosial yang dapat diterima, dan 3. perkembangan sikap sosial. Yusuf (2005) mengatakan bahwa perkembangan sosial anak sudah tampak jelas pada usia prasekolah (terutama mulai usia 4 tahun), karena mereka sudah mulai aktif berhubungan dengan teman sebayanya. Tanda-tanda perkembangan sosial pada tahap ini adalah: a. Anak mulai mengetahui aturan-aturan, baik di lingkungan keluarga maupun dalam lingkungan bermain. b. Sedikit demi sedikit anak sudah mulai tunduk pada peraturan. c. Anak mulai menyadari hak atau kepentingan orang lain. d. Anak mulai dapat bermain bersama anak-anak lain, atau teman sebaya (peer group). Sikap anak-anak terhadap orang lain dan pengalaman sosial dan seberapa baik mereka dapat bergaul dengan orang lain sebagian besar tergantung pada pengalaman belajar selama tahun-tahun awal kehidupan yang merupakan masa pembentukan. Menurut Hurlock (1998), ada empat faktor yang menentukan apakah mereka dapat menyesuaikan diri dengan tuntutan sosial dan menjadi pribadi yang dapat bermasyarakat:
Universitas Sumatera Utara
38
1. Kesempatan yang penuh untuk sosialisasi. Hal ini sangatlah penting karena anak-anak tidak dapat belajar hidup bermasyarakat dengan orang lain jika sebagian besar waktu mereka dipergunakan seorang diri. Anak perlu untuk bergaul tidak hanya dengan anak yang seumur tetapi juga dengan orang dewasa yang umur dan lingkungannga berbeda. 2. Anak-anak tidak hanya harus mampu berkomunikasi dalam kata-kata yang dapat dimengerti orang lain, tetapi juga harus mampu berbicara tentang topik yang dapat dipahami dan menarik bagi orang lain. Pembicaraan yang bersifat sosial, merupakan penunjang yang penting bagi sosialisasi, tetapi pembicaraan yang egosentrik menghalangi sosialisasi. 3. Anak hanya akan belajar sosialisasi hanya apabila mereka mempunyai motivasi untuk melakukannya. Motivasi sebagian besar bergantung kepada tingkat kepuasan yang dapat diberikan oleh aktivitas sosial kepada anak. Jika mereka mendapatkan kesenangan melalui hubungan dengan orang lain, mereka akan mengulangi hubungan tersebut dan sebaliknya, jika hubungan sosial hanya memberikan kegembiraan sedikit, mereka akan menghindarinya. 4. Metode belajar yang efektif dengan bimbingan adalah penting. Anak mempelajari beberapa pola perilaku yang penting bagi penyesuaian sosial yang baik melakui metode coba-coba. Mereka juga belajar mempraktekkan peran,
yaitu
dengan
menirukan
orang lain yang dijadikan tujuan
identifikasinya. Mereka akan belajar lebih cepat jika diajar oleh seseorang yang dapat membimbing dan megarahkan kegiatan belajar dan memilihkan
Universitas Sumatera Utara
39
teman sejawat sehingga mereka akan mempunyai contoh yang baik untuk ditiru.
C.2. Pola Perilaku Pada Anak Usia Dini Anak-anak pada masa awal biasanya mengembangkan bentuk-bentuk tingkah laku sosial melalui hubungan dan pergaulan sosial baik dengan orangtua, anggota keluarga, orang dewasa lainnya maupun teman bermainnya (Yusuf, 2005). Pola-pola perilaku anak-anak tersebut menurut Hurlock (1998) terbagi dua yaitu pola perilaku sosial dan pola perilaku yang tidak sosial. Pola perilaku sosial adalah sebagai berikut: 1. Kerja sama. Sejumlah kecil anak belajar bermain atau bekerja sama dengan anak lain sampai mereka berumur 4 tahun. Semakin banyak kesempatan yang mereka miliki untuk melakukan sesuatu bersama-sama, semakin cepat mereka belajar melakukannya dengan cara bekerja sama. 2. Persaingan. Jika persaingan merupakan dorongan bagi anak-anak untuk berusaha sebaik-baiknya, hal itu akan menambah sosialisasi mereka. Jika hal itu diekspresikan dalam pertengkaran dan kesombongan, akan menyebabkan timbulnya sosialisasi yang buruk. 3. Kemurahan hati. Kemurahan hari sebagaimana terlihat pada kesediaan untuk berbagi sesuatu dengan anak lain, meningkat dan sikap mementingkan diri sendiri semakin berkurang setelah anak belajar bahwa kemurahan hati menghasilkan penerimaan sosial.
Universitas Sumatera Utara
40
4. Simpati. Anak kecil tidak mampu berperilaku simpatik sampai mereka pernah mengalami situasi yang mirip dengan dukacita. Mereka mengekspresikan simpati dengan berusaha menolong atau menghibur seseorang yang sedang bersedih. 5. Empati. Empati kemampuan meletakkan diri sendiri dalam posisi orang lain dan menghayati pengalaman orang tersebut. Hal ini hanya berkembang jika anak dapat memahami ekspresi wajah atau maksud pembicaraan orang lain. 6. Ketergantungan. Ketergantungan terhadap orang lain dalam hal bantuan, perhatian, dan kasih sayang mendorong anak untuk berperilaku dalam cara yang diterima secara sosial. Anak berjiwa bebas kekurangan motivasi ini. 7. Sikap ramah. Anak kecil memperlihatkan sikap ramah melalui kesediaan melakukan sesuatu untuk atau bersama anak/orang lain dan dengan mengekspresikan kasih sayang kepada mereka. 8. Sikap tidak mementingkan diri sendiri. Anak yang mempunyai kesempatan dan mendapat dorongan untuk membagi apa yang mereka milliki dan yang tidak terus-menerus menjadi pusat perhatian keluarga, belajar memikirkan orang lain dan berbuat untuk orang lain dan bukannya hanya memusatkan perhatian pada kepentingan dan milik mereka sendiri. 9. Meniru. Meniru seseorang yang diterima baik oleh kelompok sosial, anakanak mengembangkan sifat yang menambah penerimaan kelompok terhadap diri mereka. 10. Perilaku kelekatan. Landasan yang diletakkan pada masa bayi, yaitu tatkala bayi mengembangkan suatu kelekatan yang hangat dan penuh cinta kasih
Universitas Sumatera Utara
41
kepada ibu atau pengganti ibu, anak kecil mengalihkan pola perilaku ini kepada anak/orang lain dan belajar membina persahabatan dengan mereka. Pola perilaku yang tidak sosial adalah sebagai berikut: 1. Negativisme. Neativisme adalah perlawanan terhadap tekanan dari pihak lain untuk berperilaku tertentu. Biasanya hal itu dimulai pada usia dua tahun dan mencapai puncaknya antara umur 3 dan 6 tahun. Ekspresi fisiknya mirip dengan ledakan kemarahan, tetapi secara setahap demi setahap diganti dengan penolakan lisan untuk menuruti perintah. 2. Agresi. Agresi adalah tindakan permusuhan yang nyata atau ancaman permusuhan, biasanya tidak ditimbulkan oleh orang lain. Anak-anak mungkin mengekspresikan sikap agresif mereka berupa penyerangan secara fisik atau lisan terhadap anak lain, biasanya terhadap anak yang lebih kecil. 3. Pertengkaran.
Pertengkaran
merupakan
perselisihan
pendapat
yang
mengandung kemarahan yang umumnya dimulai apabila seseorang melakukan penyerangan yang tidak beralasan. Pertengkaran berbeda dari agresi; pertama karena pertengkaran melibatkan dua orang atau lebih sedangkan agresi merupakan tindakan individu, dan kedua karena salah seorang yang terlibat di dalam peterngkaran memainkan peran bertahan sedangkan dalam agresi peran selalu agresif. 4. Mengejek atau menggertak. Mengejek merupakan serangan secara lisan terhadap orang lain, tetapi menggertak merupakan serangan yang bersifat fisik.
Universitas Sumatera Utara
42
5. Perilaku yang sok kuasa. Perilaku sok kuasa adalah kecenderungan untuk mendominasi orang lain atau menjadi ”majikan”. Jika diarahkan secara tepat hal ini dapat menjadi sifat kepemimpinan. 6. Egosentrisme. Hampir semua anak kecil bersifat egosentrik dalam arti bahwa mereka cenderung berpikir dan berbicara tentang diri mereka sendiri. Apakah kecenderungan ini akan hilang, menetap atau berkembang semakin kuat, sebagian bergantung pada kesadaran anak bahwa hal itu membuat mereka tidak popular dan sebagian lagi bergantung pada kuat lemahnya keinginan mereka untuk menjadi populer. 7. Prasangka. Landasan prasangka terbentuk pada masa kanak-kanak awal yaitu tatkala anak menyadari bahwa sebagian orang berbeda dari mereka dalam hal penampilan dan perilaku dan bahwa perbedaan ini oleh kelompok sosial dianggap sebagai tanda kerendahan. 8. Antagonisme jenis kelamin. Ketika masa kanak-kanak berakhir, banyak anak laki-laki ditekan oleh keluarga laki-laki dan teman sebaya untuk menghindari pergaulan dengan anak perempuan atau memainkan “permainan anak perempuan”. Mereka juga mengetahui bahwa kelompok sosial memandang laki-laki lebih tingga derajatnya daripada perempuan. Walaupun demikian, pada umur ini anak laki-laki tidak melakukan pembedaan terhadap anak perempuan, tetapi menghindari mereka dan menghindari aktivitas yang dianggap sebagai aktivitas anak perempuan.
Universitas Sumatera Utara
43
Sebagian dari bentuk perilaku sosial yang berkembang pada masa kanakkanak merupakan landasan yang diletakkan pada masa bayi, tetapi banyak juga diantaranya yang merupakan landasan baru yang dibina oleh hubungan sosial dengan teman sebaya di luar rumah dan hal-hal yang ditonton dari televisi, ataupun buku komik (Berns, 2004). Peningkatan perilaku sosial cenderung paling menyolok pada masa kanakkanak awal. Hal ini disebabkan oleh pengalaman sosial yang semakin bertambah dan anak-anak mempelajari pandangan pihak lain terhadap perilaku mereka dan bagaimana pandangan tersebut mempengaruhi tingkat penerimaan dari kelompok teman sebaya (Hurlock, 1998). Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa masa kanakkanak awal (anak usia dini) merupakan masa yang sangat penting dalam menentukan perkembangan sosialisasi anak di kemudian hari sehingga sangat perlu untuk diperhatikan. Khususnya perkembangan sosialnya sehingga perlu diperhatikan agar anak dapat berkembang menjadi anak-anak yang dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan masyarakatnya karena pada masa kanak-kanak awal peningkatan perilaku sosial sangat penting dan menentukan bagaimana perilaku sosial anak pada tahap berikutnya.
Universitas Sumatera Utara