BAB II LANDASAN TEORI
A. Adaptive Selling 1. Pengertian Adaptive Selling Weitz, Sujan dan Sujan (1986) mendefinisikan adaptive selling sebagai: “The altering of sales behaviour during a customer interaction or accross customer interactions based on perceived information about the nature of selling situation” Adaptive selling merupakan penyesuaian perilaku menjual selama berinteraksi dengan pelanggan berdasarkan informasi yang didapat mengenai situasi penjualan (Weitz, Sujan dan Sujan, 1986) Reagan,
dkk
(1995)
menyatakan
bahwa
adaptive
selling
merupakan
pemodifikasian gaya komunikasi, format presentasi, dan isi pesan yang dilakukan oleh penjual selama berinteraksi dengan pembeli. Adaptive selling juga merupakan salah satu tehnik menjual dimana penjual diminta untuk menyesuaikan dengan gaya sosial pembeli untuk dapat memaksimalkan keefektifan kerjanya. Weitz dan Wright (1990) juga mengemukakan definisi tentang adaptive selling, yaitu proses penjualan yang terdiri dari pengumpulan informasi tentang harapanharapan para pelanggan, mengembangkan strategi penjualan berdasarkan informasi tersebut, menyalurkan sinyal yang dapat dipahami unuk melaksanakan strategi, mengevaluasi pengaruh dari pesan-pesan, dan melakukan penyesuaian diri berdasarkan hasil evaluasi. Berdasarkan beberapa definisi adaptive selling diatas, maka dapat disimpulkan bahwa adaptive selling adalah kemampuan mengadaptasikan atau mengubah perilaku
Universitas Sumatera Utara
menjual secara efektif saat berinteraksi dengan pembeli sesuai dengan tuntutan situasi penjualan yang meliputi bentuk pertemuan dan karakteristik pembeli yang dihadapi saat itu.
2. Aspek-Aspek Adaptive Selling Weitz, Sujan dan Sujan (1986) menyatakan bahwa aspek-aspek adaptive selling adalah sebagai berikut : 1. Rekognisi setiap pendekatan penjualan yang berbeda-beda sesuai dengan situasi penjualan. 2. Yakin dan mampu menggunakan bermacam-macam pendekatan penjualan. 3. Yakin dan mampu mengubah cara mendekati pelanggan selama interaksi berlangsung. 4. Penggunaan pengetahuan dari situasi penjualan yang bermacam-macam untuk membentuk strategi penjualan yang sesuai dengan setiap situasi. 5. Pengumpulan informasi mengenai situasi penjualan 6. Penggunaan secara nyata pada pendekatan di situasi yang berbeda. Aspek 1-3 merupakan bentuk motivasi dalam melakukan adaptive selling. Aspek 4-5 berhubungan dengan kemampuan yang dipkai dalam melakukan praktek adaptive selling yang efektif. Sedangkan aspek ke-6 mengarah pada tingkah laku penjual.
Universitas Sumatera Utara
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Adaptive Selling Mayer, Caruso dan Salovey (1999) mengemukakan beberapa faktor yang mempengaruhi adaptive selling, yakni : 1. Aktifitas manajerial. Aktifitas manajerial terdiri dari motivasi intrinsik (intrinsic motivation), pengalaman (experience), dan gaya manajemen (management styles). 2. Personality traits. Personality traits terdiri dari yakni self-monitoring, androgini, empati, terbuka (openers), dan locus of control. Terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini, peneliti tertarik untuk meneliti locus of control sebagai variabel bebas dalam penelitian. Rotter (dalam Schultz dan Schultz, 1996) mendefinisikan locus of control sebagai atribut kepribadian dimana seorang individu dibedakan berdasarkan derajat keyakinan dalam mengendalikan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup mereka.
B. Locus of Control 1. Pengertian locus of control Locus of Control pertama kali dikemukakan oleh Rotter sekitar tahun 1960-an. Menurutnya, locus of control merupakan keyakinan individu mengenai sumber dari control penguatan yang individu terima (dalam Schultz, 1994). Locus of control menurut Rotter (dalam Lefcourt, 1982) merupakan salah satu variabel kepribadian, yang didefinisikan sebagai keyakinan individu terhadap kemampuannya dalam mengontrol nasibnya sendiri. Locus of control merupakan
Universitas Sumatera Utara
tingkatan dimana seorang individu berharap bahwa reinforcement bergantung pada perilaku mereka sendiri atau karakteristik personal mereka. Selanjutnya, Rotter (dalam Hyatt dan Prawitt, 2001) menyatakan bahwa locus of control terbagi dalam dua bentuk, yakni locus of control internal dan locus of control eksternal. Locus of control internal merupakan keyakinan individu terhadap kemampuan dirinya sendiri dalam mengontrol nasibnya. Sedangkan locus of control eksternal merupakan keyakinan individu terhadap kemampuan orang lain dalam mengontrol nasibnya. Schultz (1994) mengemukakan pendapat yang sesuai dengan pernyataan di atas, yakni bahwa locus of control terbagi atas 2 bagian besar, yaitu internal dan eksternal. Locus of control internal mengindikasikan keyakinan individu bahwa reinforcement datang atas kontrol yang terdapat pada individu itu sendiri; kita yang mengatur reinforcement yang kita terima. Locus of control eksternal, sebagai kebalikan dari internal, mengindikasikan keyakinan individu bahwa reinforcement yang diterimanya berada di bawah kuasa orang lain, nasib, atau keberuntungan semata. Robinson dan Shaver (dalam Lina dan Rasyid, 1997) mengelompokan faktor yang mempengaruhi pengembangan locus of control menjadi 2, yaitu episodic antecendents dan accumulative antecendents. Episodic antecendents mengacu pada kejadian-kejadian penting yang mempengaruhi perkembangan locus of control seseorang seperti kecelakaan atau kematian orang-orang yang berarti. Accumulative antecendents mengacu pada faktor-faktor seperti diskriminasi sosial, perasan tidak berdaya, dan pola asuh. Selanjutnya, Larsen dan Buss (2002) locus of control merupakan suatu konsep yang menunjuk pada keyakinan individu mengenai sumber kendali akan peristiwa-
Universitas Sumatera Utara
peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Locus of control menggambarkan seberapa jauh seseorang memandang hubungan antara perbuatan yang dilakukannya (action) dengan akibat/hasilnya (outcome) yang akan diraihnya. Menurut Lina dan Rasyid (1997), locus of control tidak bersifat tipologik melainkan kontinyu dimana internalitas yang tinggi akan diikuti dengan eksternalitas yang rendah, dan sebaliknya, internalitas yang rendah akan diikuti eksternalitas yang tinggi. Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa locus of control adalah keyakinan seseorang akan penyebab peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya, apakah berhubungan dengan perbuatan yang dilakukannya sendiri atau tidak berhubungan dengan perbuatan yang tidak dilakukannya sendiri.
2. Aspek locus of control Rotter (dalam Schultz dan Schultz, 1996), menyatakan bahwa locus of control internal terdiri dari 2 aspek yaitu kemampuan, dan usaha. Sedangkan locus of control eksternal terdiri dari 3 aspek yaitu nasib, keberuntungan dan pengaruh orang lain.
3. Jenis orientasi locus of control Rotter (dalam Schultz dan Schultz, 1994) membagi orientasi locus of control menjadi dua, yakni locus of control internal dan locus of control eksternal. Individu dengan locus of control internal cenderung mengangap bahwa ketrampilan (skill), kemampuan (ability), dan usaha (effort) lebih menentukan apa yang mereka peroleh dalam hidup mereka. Sedangkan individu yang memiliki locus of control eksternal
Universitas Sumatera Utara
cenderung menganggap bahwa hidup mereka terutama ditentukan oleh kekuatan dari luar diri mereka, seperti nasib, takdir, keberuntungan, dan orang lain yang berkuasa. Sedangkan mereka yang memiliki kecenderungan orientasi kontrol eksternal adalah mereka yang secara umum menganggap bahwa reinforcement positif atau negatif yang di terima berada di luar wilayah kontrolnya. Perbedaan dalam kecenderungan locus of control internal dan eksternal berhubungan dengan bentuk kontrol terhadap lingkungan. Individu yang berorientasi internal lebih aktif dan selalu berusaha menguasai kehidupan yang dijalaninya dibandingkan dengan individu yang berorientasi eksternal. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa orang yang memiliki kontrol internal lebih dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan dan perubahan yang terjadi dalam lingkungan tersebut. Mereka berusaha untuk dapat mengatasi masalah yang mereka hadapi dengan mencari berbagai alternatif pemecahan. Sebaliknya orang-orang dengan kontrol eksternal dianggap kurang memiliki usaha untuk mencari informasi, untuk mencari alternatif pemecahan masalah yang mereka hadapi. Perbedaan karateristik antara locus of control internal dengan locus of control eksternal menurut Crider (1983) sebagai berikut : a). Locus of control internal a. Suka bekerja keras. b. Memiliki inisiatif yang tinggi. c. Selalu berusaha untuk menemukan pemecahan masalah. d. Selalu mencoba untuk berpikir seefektif mungkin. e.Selalu mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika ingin berhasil.
Universitas Sumatera Utara
b). Locus of control eksternal a. Kurang memiliki inisiatif. b. Mempunyai harapan bahwa ada sedikit korelasi antara usaha dan kesuksesan. c. Kurang suka berusaha, karena mereka percaya bahwa faktor luarlah yang mengontrol. d. Kurang mencari informasi untuk memecahkan masalah. Pada orang-orang yang memiliki locus of control internal, faktor kemampuan dan usaha terlihat dominan. Oleh karena itu apabila individu dengan locus of control internal mengalami kagagalan mereka akan menyalahkan dirinya sendiri karena kurangnya usaha yang dilakukan. Begitu pula dengan keberhasilan, mereka akan merasa bangga atas hasil usahanya. Hal ini akan membawa pengaruh untuk tindakan selanjutnya di masa yang akan datang bahwa mereka akan mencapai keberhasilan apabila berusaha keras dengan segala kemampuannya Sebaliknya pada orang yang memiliki locus of control eksternal melihat keberhasilan dan kegagalan dari faktor kesukaran dan nasib, oleh karena itu apabila mengalami kegagalan mereka cenderung menyalahkan lingkungan sekitar yang menjadi penyebabnya. Hal itu tentunya berpengaruh terhadap tindakan di masa yang akan datang, karena merasa tidak mampu dan kurang usahanya maka mereka tidak mempunyai harapan untuk memperbaiki kegagalan tersebut (Lefcourt, 1982). Menurut Rotter (dalam Lefcourt, 1982), locus of control merupakan dimensi kepribadian yang berupa kontinum dari eksternal menuju internal. Kedua tipe locus of control terdapat pada setiap individu, hanya saja ada kecenderungan untuk lebih memiliki salah satu tipe locus of control tertentu, yakni locus of control internal
Universitas Sumatera Utara
ataupun locus of control eksternal. Disamping itu, locus of control tidak bersifat statis tapi juga dapat berubah. Individu yang berorientasi locus of control internal dapat berubah menjadi individu yang memiliki locus of control eksternal dan begitu pula sebaliknya. Hal tersebut disebabkan karena situasi dan kondisi yang menyertainya yaitu dimana ia tinggal dan frekuensi aktifitas yang sering dilakukannya. Oleh karenanya tidak satupun individu yang benar-benar internal atau yang benar-benar eksternal.
C. Distibutor Multilevel Marketing Distributor adalah pedagang yang membeli atau mendapatkan produk barang dagangan dari tangan pertama atau produsen secara langsung (Godam, 2008). Di dalam ketentuan Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 16 tahun 2000 (UU KUP), distributor multilevel marketing dikategorikan sebagai pengusaha karena sebagai orang pribadi dianggap melakukan usaha perdagangan. Distributor berfungsi sebagai agen yang melakukan penjualan atas nama perusahaan multilevel marketing dan tidak memperoleh penghasilan berkala seperti gaji atau upah (Kevin, 2008). Distributor mendapat imbalan berkaitan dengan omzet penjualan baik pribadi maupun kelompok dan
bonus diberikan saat seorang distributor mencapai target-target
tertentu. Sementara distributor mendapat keuntungan langsung diperoleh dari selisih harga distributor dengan harga konsumen. Komisi didapatkan seorang distributor berkaitan dengan prestasi. Prestasi di sini hubungannya adalah dengan omzet penjualan yang dicapainya. Mengenai jenis komisi ini masing-masing perusahaan multilevel marketing tidak sama. Tiap perusahaan multilevel marketing memiliki
Universitas Sumatera Utara
batasan mengenai penghasilan distributor berupa komisi dan bonus yg berbeda. Masing-masing memiliki kebijakan sendiri dalam memberikan imbalan kepada distributornya. Kevin (2008) menambahkan bahwa distributor multilevel marketing diperlakukan sebagai tenaga lepas, yaitu orang pribadi yang bekerja pada pemberi kerja yang hanya menerima imbalan apabila orang pribadi yang bersangkutan bekerja sehingga tidak wajib melakukan pembukuan, yang perlu dilakukan hanya pencatatan.
D. Perbedaan Adaptive Selling Ditinjau dari Locus of Control pada Distributor Multilevel Marketing Adaptive selling merupakan penjualan yang mengadaptasikan pada kebutuhan dan harapan si pelanggan selama penjual dan pelanggan saling berinteraksi (Weitz, Sujan dan Sujan, 1986). Reagan (1995) menambahkan bahwa adaptive selling merupakan pemodifikasian gaya komunikasi, format presentasi, dan isi pesan yang dilakukan oleh penjual selama berinteraksi dengan pembeli. Menurut Weitz, Sujan dan Sujan (1986), faktor-faktor yang berhubungan dengan adaptive selling adalah aktifitas manajerial dan personality traits. Weitz, Sujan dan Sujan (1986) mendefinisikan adaptive selling sebagai kemampuan individu untuk beradaptasi dengan situasi penjualan berdasarkan informasi yang diterima mengenai harapan pelanggan dan adanya keyakinan akan kemampuan diri sendiri untuk melakukan perubahan-perubahan dalam presentasi. Weitz dan Wright juga mengemukakan definisi tentang adaptive selling, yaitu proses penjualan yang terdiri dari pengumpulan informasi tentang harapan-harapan
Universitas Sumatera Utara
para pelanggan, mengembangkan strategi penjualan berdasarkan informasi tersebut, menyalurkan sinyal yang dapat dipahami unuk melaksanakan strategi, mengevaluasi pengaruh dari pesan-pesan, dan melakukan penyesuaian diri berdasarkan hasil evaluasi. Peningkatan kualitas kepribadian sangat dibutuhkan agar manusia dapat menghadapi tantangan serta mampu memainkan perannya (Masrun, dkk, 1986). Mayer, Caluso, dan Salovey (1999) mengemukakan bahwa locus of control merupakan bagian dari personality trait yg merefleksikan fleksibilitas aspek interpersonal yang berhubungan dengan praktek adaptive selling. Mayer, Caruso, dan Salovey (1999) mengemukakan bahwa peningkatan kemampuan adaptive selling salah satunya dipengaruhi oleh ciri-ciri kepribadian (personality traits). Peningkatan kualitas kepribadian sangat dibutuhkan agar manusia dapat menghadapi tantangan serta mampu memainkan perannya Masrun, dkk (1986). Rotter (dalam Schultz & Schultz, 1996) mendefinisikan locus of control sebagai atribut kepribadian dimana seorang individu dibedakan berdasarkan derajat keyakinan dalam mengendalikan peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidup mereka. Tambahan menurut Rotter (dalam Lefcourt, 1982) orientasi locus of control merupakan suatu kontinum unidimensional, dari eksternal menuju internal. Seseorang dengan keyakinan yang kuat akan kendali internal dinyatakan oleh Buss (dalam Salazar, 2002) lebih percaya diri dan asertif, dan aktif mencari informasi yang menolong mereka untuk mencapai tujuan mereka, dan tertarik pada situasi yang menawarkan kesempatan berprestasi. Sedangkan seseorang yang dikendalikan secara
Universitas Sumatera Utara
eksternal melihat suatu peristiwa bukan berasal dari perilaku mereka sendiri melainkan dari hal-hal yang diluar kemampuan mereka. Carver dan Scheier (1981) menyatakan bahwa jika seseorang percaya bahwa ia mempunyai pengaruh atas apa yang terjadi padanya, ia belajar dari pengalaman masa lalunya sebagai pedoman dan pengukur masa depannya lebih lanjut. Crider (1983) menyebutkan bahwa terdapat perbedaan karateristik antara locus of control internal dengan locus of control eksternal. Individu yg karakteristik individu yang dominan pada locus of control internal sebagai berikut: suka bekerja keras, memiliki inisiatif yang tinggi, selalu berusaha untuk menemukan pemecahan masalah, selalu mencoba untuk berpikir seefektif mungkin, dan selalu mempunyai persepsi bahwa usaha harus dilakukan jika ingin berhasil. Sedangkan individu yang dominan pada locus of control eksternal memiliki karakteristik sebagai berikut: kurang memiliki inisiatif, mempunyai harapan bahwa ada sedikit korelasi antara usaha dan kesuksesan, kurang suka berusaha, dan kurang mencari informasi untuk memecahkan masalah. Penjabaran perbedaan karakteristik individu di atas memiliki kesamaan pada distributor yang bermasalah bagi perkembangan perusahaan multilevel marketing, seperti yang dikemukakan oleh Susanto (2008), yakni distributor terlalu menggantungkan diri kepada upliner (orang yang merekrut) dan tidak berani untuk memiliki impian sendiri, hanya mengikuti apa yang diimpikan oleh upliner-nya. Pernyataan ini sesuai dengan karakteristik individu dengan dominasi locus of control eksternal, yakni kurangnya memiliki inisiatif, beranggapan bahwa usaha dan
Universitas Sumatera Utara
kesuksesan memiliki korelasi minim, serta rendahnya daya usaha individu karena anggapan bahwa faktor luar yang mengontrol individu. Susanto (2008) kembali menambahkan bahwa distributor tidak tahu alasan mengapa terjun ke bisnis multilevel marketing, hanya sekedar tergiur pada komisi atau insentif yang diberikan perusahaan ataupun dengan melihat orang-orang yang sudah meraih kesuksesan melalui multilevel marketing. Hal ini juga sesuai dengan karakteristik locus of control eksternal, yakni kurang berusaha karena faktor luar yang mengontrol, dan kurang mencari informasi untuk memecahkan masalah. Melalui penjabaran di atas dapat dilihat bahwa locus of control secara tidak langsung menentukan sukses tidaknya adaptive selling yang dilakukan oleh seorang distributor dan juga dapat diketahui apa yang menentukan sukses tidaknya seorang individu dalam menjalankan perannya sebagai seorang distributor multilevel marketing. Hal ini menarik peneliti untuk melihat ada tidaknya perbedaan adaptive selling distributor multilevel marketing ditinjau dari locus of control.
E. Hipotesa Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesa yang diajukan sebagai jawaban sementara dalam penelitian ini adalah: ”Ada perbedaan adaptive selling ditinjau dari locus of control pada distributor multilevel markeing”.
Universitas Sumatera Utara