BAB II LANDASAN TEORI
II.1.
Audit Operasional
II.1.1. Pengertian Audit Operasional Ada beberapa pengertian mengenai audit operasional yang dikemukakan para ahli, Boynton, Ziegler dan Kell (2007) mendefinisikan sebagai berikut “Operational auditing is a systematic process of evaluating an organization’s effectiveness, efficiency, and economy of operations under management’s control and reporting to appropriate persons the result of the evaluation along with recommendations for improvement” (p.987). Mulyadi dan Puradiredja (1998), “Audit operasional merupakan review secara sistematik kegiatan organisasi, atau bagian dari padanya, dalam hubungannya dengan tujuan tertentu” (h.30). Tunggal, A.W. (2004) menyatakan, “Audit operasional merupakan audit atas operasi yang dilaksanakan dari sudut pandang manajemen untuk menilai ekonomi, efisiensi, dan efektifitas dari setiap dan seluruh operasi, terbatas hanya pada keinginan manajemen” (h.1). Arens, Elder, dan Beasley (2005) menulis, “Operational audit is a review of any part of an organization’s operating procedures and methods for the purpose of evaluating efficiency and effectiveness” (p.13). Berdasarkan keempat definisi diatas maka Audit Operasional adalah pemeriksaan yang mengevaluasi apakah pengolahan aktivitas manajemen perusahaan telah berjalan secara efisien, efektif dan ekonomis. Dimana dalam pelaksanaannya harus 8
dilakukan oleh orang yang independen, dan pemeriksa dituntut untuk bertindak sebagai manajemen yang berpikir seperti layaknya seorang pemimpin melaksanakan tugasnya dan pada akhirnya dari pemeriksaan memberikan rekomendasi atau saran-saran untuk perbaikan dari kelemahan pada bidang yang telah diperiksanya. Menurut Tunggal, A.W. (2003), ”Pengertian ekonomis, efisien dan efektifitas adalah sebagai berikut : 1. Efektifitas berhubungan dengan penentuan apakah tujuan perusahaan yang ditetapkan telah tercapai baik ditinjau dari segi kualitas hasil kerja, kuantitas hasil kerja maupun target batas waktu. 2. Efisiensi berhubungan dengan penentuan apakah tujuan tersebut dicapai dengan penggunaan sumber daya yang optimal dan meminimalisir kerugian yang mungkin terjadi. 3. Ekonomis berhubungan dengan penentuan implikasi jangka panjang suatu operasi, berhubungan dengan cara penggunaan suatu barang/jasa secara hati-hati dan bijak (prudent) agar diperoleh hasil yang terbaik. Misalnya sangat mungkin memproduksi suatu produk yang substandar secara efektif dan efisien, akan tetapi terbukti dalam jangka panjang produk tersebut tidak ekonomis. Pemeriksaan manajemen berhubungan dengan 3E (ekonomis, efisiensi, dan efektifitas) di seluruh operasi. Ekonomis merupakan ukuran masukan (measure of input), efisiensi adalah ukuran dari hubungan antara masukan dan keluaran, sedangkan efektifitas adalah ukuran keluaran (measure of output)” (h.12-13).
9
II.1.2. Tujuan Audit Operasional Audit operasional bertujuan untuk menghasilkan perbaikan dalam pengelolaan operasi/aktivitas objek yang diaudit, dengan memberikan saran-saran perbaikan prestasi kerja sehingga menjadi lebih efektif, efisien, dan ekonomis. Menurut Agoes.S (2004), ”Tujuan umum dari audit operasional antara lain: 1. Untuk menilai kinerja (performance) dari manajemen dan berbagai fungsi yang ada dalam perusahaan. 2. Untuk menilai apakah berbagai sumber daya (manusia, mesin, dana, harta lainnya) yang dimiliki perusahaan telah digunakan secara efisien dan ekonomis. 3. Untuk menilai efektifitas perusahaan dalam mencapai tujuan (objective) yang telah ditetapkan oleh top manajemen. 4. Untuk dapat memberikan rekomendasi kepada top manajemen untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam penerapan pengendalian intern, sistem pengendalian manajemen, dan prosedur operasional perusahaan, dalam rangka meningkatkan efisiensi, ekonomi dan efektifitas dari kegiatan operasional perusahaan. Tujuan utama dalam audit operasional adalah untuk membantu pihak manajemen dalam menemukan dan memecahkan beragam masalah dengan cara merekomendasikan berbagai tindakan perbaikan yang diperlukan” (h.175). II.1.3. Teknik-Teknik Audit Operasional Menurut Mulyadi dan Puradiredja (1998) ”Terdapat beberapa teknik dalam melakukan pemeriksaan operasional:
10
1. Pengamatan (observasi) Pengamatan yaitu meninjau objek yang diteliti secara langsung dengan tujuan untuk memperoleh gambaran dan pemahaman yang memadai serta mengidentifikasi halhal yang perlu diperhatikan atau tidak memenuhi syarat. 2. Wawancara Wawancara merupakan usaha untuk mendapatkan informasi tentang objek yang diteliti secara lisan misalnya dengan melakukan tanya jawab dengan personel terkait ataupun dengan menggunakan daftar pertanyaan. 3. Analisis Analisis yaitu tinjauan terhadap data yang ada sehingga dapat diketahui unsur-unsur yang penting. Misalnya terhadap dokumen-dokumen yang relevan dengan objek yang diteliti. 4. Verifikasi Verifikasi adalah suatu pembuktian untuk mengukuhkan apa yang tertulis dikaitkan dengan fakta atau usaha pembuktian kebenaran dari suatu pernyataan. 5. Penyelidikan Penyelidikan adalah usaha lanjutan dalam melakukan verifikasi, dilakukan terhadap kondisi yang dianggap sebagai penyimpangan untuk menjabarkan adanya suatu permasalahan. 6. Evaluasi Evaluasi merupakan penilaian untuk dapat menarik kesimpulan tentang bidang yang diaudit berdasarkan informasi yang diperoleh” (h.23). II.1.4. Jenis – jenis Audit Operasional Ada tiga jenis audit operasional menurut Arens dan Loebbecke (1997) yaitu: 11
1. Fungsional Fungsi adalah suatu alat penggolongan kegiatan suatu perusahaan, seperti fungsi penjualan dan penagihan piutang serta penerimaan kas, sesuai dengan namanya audit operasional berkaitan dengan satu fungsi atau lebih didalam suatu organisasi. Pemeriksaan fungsional mempunyai manfaat memungkinkan auditor melakukan spesialisasi dan dapat lebih mengembangkan keahliannya pada satu bidang tertentu, mereka juga dapat menuangkan waktu lebih efisien memeriksa bidang itu namun kekurangan dari audit fungsional adalah tidak mengevaluasi fungsi yang saling berkaitan. 2. Organisasional Audit operasional atas suatu organisasi menyangkut keseluruhan unit organisasi, seperti departemen, cabang atau anak perusahaan. Penekanan dalam suatu audit organisasi adalah seberapa efisiensi dan efektifitas fungsi-fungsi dan saling berinteraksi. Rencana organisasi dan metode-metode untuk mengkoordinasikan aktivitas yang ada, sangat penting dalam audit jenis ini. 3. Penugasan khusus Penugasan audit operasional khusus timbul atas permintaan manajemen. Ada banyak variasi dalam audit seperti itu. Contohnya antara lain penentuan penyebab tidak efektifnya sistem penyelidikan kemungkinan kecurangan dalam suatu divisi, dan membuat rekomendasi untuk mengurangi biaya produksi suatu barang (h.766-767). II.1.5. Tahap-Tahap Audit Operasional Arens dan Loebbecke (1997) menyatakan, ”Tahapan audit operasional terdiri dari :
12
1. Preliminary Survey (Survei Pendahuluan) Tujuan dari survei pendahuluan adalah untuk mendapatkan informasi umum dan latar belakang dalam waktu relatif singkat, mengenai semua aspek dari organisasi, kegiatan, program, atau sistem yang dipertimbangkan untuk diperiksa, agar dapat diperoleh pengetahuan atau gambaran yang memadai mengenai objek pemeriksaan. 2. Review and Testing of Management Control System (Penelaahan dan Pengujian atas Sistem Pengendalian Manajemen) Tujuan dari tahap ini adalah untuk mendapatkan bukti-bukti mengenai tentative audit objective dengan melakukan pengetesan terhadap transaksi-transaksi perusahaan yang berkaitan dengan sistem pengendalian manajemen. 3. Detail Examination (Pengujian Terinci) Dalam tahap ini, auditor harus mengumpulkan bukti-bukti yang cukup, kompeten, material dan relevan untuk dapat menentukan tindakan apa saja yang dilakukan manajemen dan pegawai perusahaan yang merupakan penyimpangan-penyimpangan terhadap kriteria dalam firm audit objective, dan bagaimana efek dari penyimpangan tersebut dan besar kecilnya efek tersebut yang menimbulkan kerugian perusahaan. 4. Report Development (Pengembangan Laporan) Tahap
laporan
merupakan
penyusunan
hasil
pemeriksaan,
termasuk
rekomendasinya. Temuan audit harus dilengkapi dengan kesimpulan dan saran, serta harus di-review oleh manager audit “ (h.813). II.1.6. Penentuan Kriteria Menurut Arens dan Loebbecke (1997). menyatakan, ”Sumber-sumber yang dijadikan kriteria audit operasional antara lain :
13
1. Historical Performance (Prestasi Historis). Kriteria ini ditentukan berdasarkan prestasi kerja pada periode sebelumnya, kemudian kriteria ini akan dibandingkan dengan prestasi kerja yang dicapai untuk menentukan apakah operasi berjalan lebih efektif dan efisien. 2. Comparable Performance (Prestasi yang dapat diperbandingkan). Dalam hal ini prestasi kerja dari perusahaan sejenis dapat digunakan sebagai kriteria untuk dibandingkan dengan prestasi kerja yang dicapai perusahaan. 3. Engineered Standars (Standar-standar Rekayasa). Meskipun kriteria ini sangat efektif dalam memecahkan masalah operasional, tetapi memerlukan banyak waktu dan biaya karena memerlukan keahlian yang cukup untuk menentukan standar tersebut. Misalnya studi waktu dan gerak untuk menentukan tingkat keluaran produksi. 4. Discussion and Agreement (Pembahasan dan Persetujuan). Penentuan kriteria kadang sulit dilakukan dan memakan biaya. Oleh karena itu penetapan standar dilakukan melalui diskusi dan persetujuan bersama antara pihak manager auditor operasional dan pihak yang akan menerima laporan hasil audit operasional ” (h.177) Menurut Standar Profesional Akuntan Publik, standar auditing yang telah ditetapkan dan disahkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia adalah sebagai berikut (2001) : a. Standar umum 1. Audit harus dilaksanakan oleh seorang atau lebih yang memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang cukup sebagai auditor. 2. Dalam semua hal yang berhubungan dengan perikatan, independensi dalam sikap mental harus dipertahankan oleh auditor. 14
3. Dalam pelaksanaan
audit
dan
penyusunan
laporannya,
auditor
wajib
menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama. b. Standar Pekerjaan Lapangan 1. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten harus disupervisi dengan semestinya. 2. Pemahaman memadai atas pengendalian intern harus diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat, dan lingkup pengujian yang akan dilakukan. 3. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi, pengamatan, permintaan keterangan, dan konfirmasi sebagai dasar memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan yang diaudit. c. Standar Pelaporan 1. Laporan auditor harus menyatakan apakah laporan keuangan telah disusun sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di Indonesia. 2. Laporan
auditor
harus
menunjukkan
atau
menyatakan,
jika
ada,
ketidakkonsistenan penerapan prinsip akuntansi dalam penyusunan laporan akuntansi periode berjalan dibandingkan dengan penerapan prinsip akuntansi tersebut dalam periode sebelumnya. 3. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang memadai, kecuali dinyatakan lain dalam laporan auditor. 4. Laporan auditor harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan keuangan secara keseluruhan atau suatu asersi bahwa pernyataan demikian tidak dapat diberikan. Jika pendapat secara keseluruhan tidak dapat diberikan, maka alasannya harus dinyatakan. Dalam hal nama auditor dikaitkan dengan laporan 15
keuangan, maka laporan auditor harus memuat petunjuk yang jelas mengenai sifat pekerjaan audit yang dilaksanakan, jika ada, dan tingkat tanggung jawab yang dipikul oleh auditor. (h.150.1) II.2. Sistem Pengendalian Intern II.2.1. Pengertian Sistem Pengendalian Intern Manajemen dalam bentuk suatu struktur pengendalian intern mempunyai tujuan untuk membantu mencapai sasaran perusahaan, sasaran penting, perusahaan dalam semua organisasi adalah efisien dan efektifitas. Niswonger, Warren, Reeves, dan Fees yang diterjemahkan oleh Sirait dan Gunawan (1999) menyatakan, “Pengendalian internal (internal control) merupakan kebijakan dan prosedur yang melindungi aktiva dari penyalahgunaan, memastikan bahwa informasi usaha akurat dan memastikan bahwa perundang-undangan serta peraturan dipatuhi sebagaimana mestinya”(h.183). Dimana Hartadi (1999) menyatakan, “ Sistem pengendalian intern meliputi struktur organisasi, semua metode dan ketentuan-ketentuan yang terkoordinasi yang dianut dalam perusahaan untuk melindungi harta kekayaan, memeriksa ketelitian, dan seberapa jauh data akuntansi dapat dipercaya, meningkatkan efisiensi usaha dan mendorong ditaatinya kebijakan perusahaan yang telah ditetapkan” (h.3). Dari definisi – definisi di atas, pengendalian intern bisa dirinci lagi menjadi pengendalian intern akuntansi (internal accounting control) dan pengendalian intern administratif (internal administrative control). Pengendalian akuntansi merupakan bagian dari sistem pengendalian intern yang harus dirancang dan dilaksanakan dengan baik agar dapat menjamin keandalan laporan keuangan yang dihasilkan perusahaan. Sedangkan
pengendalian
administratif
mengarah
pada
dipatuhinya
kebijakan 16
manajemen dan mendorong terciptanya efisiensi, dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. II.2.2. Tujuan Sistem Pengendalian Intern Menurut Arens dan Loebbecke (1997) ”Manajemen dalam merancang struktur pengendalian intern mempunyai kepentingan-kepentingan sebagai berikut : 1. Keandalan pelaporan keuangan Manajemen bertanggung jawab dalam menyiapkan laporan keuangan bagi investor, kreditor dan pengguna lainnya. Manajemen mempunyai kewajiban hukum dan profesional untuk menjamin bahwa informasi telah disiapkan sesuai standar laporan, yaitu prinsip akuntansi yang berlaku umum. 2. Mendorong efisiensi dan efektifitas operasional Pengendalian dalam suatu organisasi adalah alat untuk mencegah kegiatan dan pemborosan yang tidak perlu dalam segala aspek usaha, dan untuk mengurangi penggunaan sumber daya yang tidak efisien dan efektif. 3. Ketaatan pada hukum dan peraturan Banyak sekali hukum peraturan yang harus diikuti oleh perusahaan, beberapa diantaranya berkaitan tidak langsung dengan akuntansi, misalnya UU Lingkungan Hidup dan UU Perburuhan, sedangkan peraturan lain yang sangat berkaitan erat dengan akuntansi contohnya adalah UU Perpajakan dan UU Perseroan Terbatas” (h.258) II.2.3. Struktur Pengendalian Intern Menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan oleh Jusuf A.A (1997), “Struktur pengendalian intern mencakup lima kategori dasar kebijakan dan prosedur yang dirancang dan digunakan oleh manajemen untuk memberikan keyakinan memadai 17
bahwa tujuan pengendalian dapat dipenuhi. Kelima kategori ini disebut sebagai komponen struktur pengendalian intern, dan terdiri dari : a. Lingkungan Pengendalian Lingkungan pengendalian terdiri dari tindakan, kebijakan dan prosedur yang mencerminkan sikap menyeluruh manajemen puncak, direktur dan komisaris, dan pemilik suatu satuan usaha terhadap pengendalian dan pentingnya terhadap satuan usaha tersebut. b. Penetapan Resiko Manajemen Manajemen menetapkan resiko sebagai bagian dari perancangan dan pengoperasian struktur pengendalian intern untuk meminimalkan salah saji dan ketidakberesan. Auditor menetapkan resiko untuk memutuskan bahan bukti yang dibutuhkan dalam audit. Jika manajemen secara efektif menilai dan bereaksi terhadap resiko, auditor biasanya mengumpulkan lebih sedikit bahan bukti dibandingkan jika manajemen tidak dapat mengidentifikasi atau bereaksi terhadap resiko yang signifikan c. Sistem informasi dan komunikasi akuntansi. Kegunaan sistem informasi dan komunikasi akuntansi satu satuan usaha adalah
untuk
mengidentifikasikan,
menggabungkan,
mengklasifikasikan,
menganalisa, mencatat dan melaporkan transaksi satu satuan usaha, dan untuk mengelola akuntabilitas (tanggung gugat) atas aktiva terkait. d. Aktifitas Pengendalian Aktifitas pengendalian adalah kebijakan prosedur, selain dari empat komponen yang lain, yang dibuat manajemen untuk memenuhi tujuannya. Kebijakan dan prosedur dalam suatu satuan usaha terkait dalam lima kategori, yaitu: 18
•
Pemisahan tugas yang cukup
•
Otorisasi yang pantas atas transaksi dan aktivitas.
•
Dokumen dan catatan yang memadai.
•
Pengendalian fisik atas aktiva dan catatan.
•
Pengecekan independent atas pelaksanaan.
e. Pemantauan Aktifitas pemantauan berkaitan dengan penilaian efektifitas rancangan dan operasi struktur pengendalian intern secara periodic dan terus menerus oleh manajemen untuk melihat apakah telah dilaksanakan dengan semestinya dan telah diperbaiki sesuai dengan keadaan. Informasi untuk penilaian dan perbaikan sesuai dengan keadaan. Informasi untuk penilaian dan perbaikan dapat berasal dari berbagai sumber meliputi studi atas struktur pengendalian intern yang ada, laporan audit intern, laporan penyimpangan atas aktivitas pengendalian, laporan dari bank sentral, umpan balik dari pegawai, dan keluhan dari pelanggan atas tagihan yang datang.” (h.261-269) II.3 Fungsi Penjualan dan penerimaan kas II.3.1.Pengertian Penjualan Mulyadi (2001) menyatakan, “ Penjualan kredit dilaksanakan oleh perusahaan dengan cara mengirimkan barang sesuai order yang diterima dari pembelian dan untuk jangka waktu tertentu perusahaan mempunyai tagihan kepada pembeli tersebut untuk menghindari tidak tertagihnya piutang, setiap penjualan kredit yang pertama kepada pembeli selalu dengan evaluasi terhadap atau tidaknya pembeli tersebut diberi kredit (h.202), sedangkan penjualan tunai dilaksanakan oleh perusahaan dengan cara
19
mewajibkan pembeli melakukan pembayaran harga barang terlebih dahulu sebelum barang tersebut diserahkan oleh perusahaan, barang kemudian dicatat oleh perusahaan (h.455). Fungsi yang terkait dalam sistem penjualan, terutama penjualan kredit adalah : a. Fungsi kredit. Dalam transaksi penjualan secara kredit, fungsi ini bertanggung jawab atas pemberian kredit kepada pelanggan yang meminta persetujuan kredit. b. Fungsi penjualan Dalam sistem penjualan, fungsi ini bertanggung jawab melayani kebutuhan pelanggan. Fungsi ini mengisi faktur penjualan untuk memungkinkan fungsi gudang dan fungsi pengiriman melaksanakan penyerahan barang kepada pelanggan. c. Fungsi Gudang Fungsi ini menyediakan barang yang diperlukan oleh pelanggan sesuai dengan yang tercantum dalam tembusan faktur penjualan. d. Fungsi Pengiriman Fungsi ini bertanggung jawab menyerahkan barang yang kuantitas, mutu, dan spesifikasinya sesuai dengan yang tercantum dalam tembusan faktur penjualan yang diterima dari fungsi penjualan. e. Fungsi Akuntansi Fungsi ini bertanggung jawab untuk mencatat transaksi bertambahnya piutang kepada pelanggan ke dalam kartu piutang berdasarkan faktur penjualan yang diterima dari fungsi pengiriman.
20
f. Fungsi Penagihan Fungsi ini bertanggung jawab untuk membuat surat tagihan secara periodik kepada pelanggan (h.204). II.3.2. Fungsi Penerimaan Kas Penerimaan kas perusahaan berasal dari dua sumber utama, yaitu penerimaan kas dari penjualan tunai dan penerimaan kas dari piutang. Berikut ini akan diuraikan penerimaan kas dari penjualan tunai yang terdiri dari penerimaan kas dari over-counter sale. Disamping itu, diuraikan pula penerimaan kas dari piutang melalui penagih perusahaan. Mulyadi (2001) menyatakan, ”Dalam penjualan tunai, pembeli datang ke perusahaan, melakukan pemilihan barang atau produk yang akan dibeli, melakukan pembayaran ke kasir, dan kemudian menerima barang yang dibeli. Dalam over-thecounter sale ini, perusahaan menerima uang tunai, cek pribadi (personal check), atau pembayaran langsung dari pembeli dengan credit card, sebelum barang diserahkan kepada pembeli. Jika kas yang diterima berupa cek pribadi, bank penjual (bank yang penjual memiliki rekening giro di dalamnya) kemudian akan mengurus check clearing tersebut ke bank pembeli (bank yang pembeli memiliki rekening giro di dalamnya). Jika kas yang diterima berupa kartu kredit, bank penjual yang merupakan penerbit kartu kredit langsung menambah saldo rekening giro penjual setelah dikurangi dengan credit card fee (yang berkisar 2,5 % sampai dengan 4 %). Bank penerbit kartu kredit inilah yang secara periodik melakukan penagihan kepada pemegang kartu kredit (h.456). Sumber penerimaan kas suatu perusahaan manufaktur biasanya berasal dari pelunasan piutang dari debitur, karena sebagian besar produk perusahaan tersebut dijual 21
melalui penjualan kredit. Dalam perusahaan tersebut penerimaan kas dari penjualan tunai biasanya merupakan sumber penerimaan kas yang relatif kecil. Dalam perusahaan dagang, seperti toko pengecer, sumber penerimaan kas terbesar berasal dari transaksi penjualan tunai. Berdasarkan sistem pengendalian intern yang baik, sistem penerimaan kas dari piutang harus menjamin diterimanya kas dari debitur oleh perusahaan, bukan oleh karyawan yang tidak berhak menerimanya. Untuk menjamin diterimanya kas oleh perusahaan, sistem penerimaan kas dari piutang mengharuskan : 1. Debitur melakukan pembayaran dengan cek atau dengan cara pemindahbukuan melalui rekening bank (giro bilyet). Jika perusahaan hanya menerima kas dalam bentuk cek dari debitur, yang ceknya atas nama perusahaan (bukan atas unjuk), akan menjamin kas yang diterima oleh perusahaan masuk ke rekening giro bank perusahaan. Pemindahbukuan juga akan memberikan jaminan penerimaan kas masuk ke rekening giro bank perusahaan. 2. Kas yang diterima dalam bentuk cek dari debitur harus segera disetor ke bank dalam jumlah penuh.” (h.482). II.3.3.Siklus Penjualan dan Penerimaan Kas Dalam melakukan audit operasional terhadap penjualan dan penerimaan kas, auditor harus mempunyai pengetahuan yang cukup mengenai siklus penjualan dan penerimaan kas, dokumen-dokumen yang digunakan dalam siklus penjualan dan penerimaan kas. Pemahaman atas fungsi yang terdapat dalam organisasi klien atas siklus penjualan dan penerimaan kas, menurut Arens dan Loebbecke (1997) bermanfaat untuk memahami bagaimana pelaksanaan audit dalam siklus ini, fungsi penjualan dan penerimaan kas adalah sebagai berikut : 22
a. Pemrosesan pesanan pelanggan Permintaan barang oleh pelanggan merupakan permintaan untuk membeli barang dengan ketentuan tertentu. Permintaan pesanan pelanggan menghasilkan pesanan penjualan. b. Persetujuan Penjualan secara kredit (Granting Credit) Sebelum barang dikirimkan seorang yang berwenang dalam perusahaan harus menyetujui penjualan secara kredit ke pelanggan atas penjualan kredit tersebut. Seleksi yang tidak ketat dalam persetujuan kredit sering kali menyebabkan besarnya piutang tak tertagih. c. Pengiriman barang Kebanyakan perusahaan mengakui penjualan saat barang dikirimkan. Nota pengiriman disiapkan pada saat pengiriman dan dokumen pengiriman diperlukan untuk kepastian untuk penagihan atas pengiriman ke pelanggan. d. Penagihan ke pelanggan dan pencatatan penjualan Aspek terpenting dalam penagihan adalah meyakinkan bahwa seluruh pengiriman diperlukan untuk kepantasan penagihan atas pengiriman ke pelanggan mencakup pembuatan faktur penjualan rangkap dan secara simultan memuktahirkan berkas transaksi penjualan dan berkas induk piutang usaha. e. Pemrosesan dan pencatatan penerimaan kas Dalam pemrosesan dan pencatatan penerimaan kas, perhatian utama adalah memungkinkan dicuri sebelum penerimaan kas dicatat. Pertimbangan utama dalam penerapan penerimaan kas adalah seluruh kas disetor ke bank dalam jumlah yang benar dengan tepat waktu dan dicatat diberkas termasuk penerimaan kas, yang
23
digunakan untuk membuat jurnal penerimaan kas memperbaharui berkas induk piutang usaha. f. Pemrosesan dan pencatatan retur penjualan dan pengurangan harga penjualan Kalau pelanggan merasa tidak puas dengan barang yang diterimanya, bagian penjualan sering kali menerima pengembalian barang dan kemudian diberikan pengurangan harga retur dan pengurangan harga penjualan dan berkas induk piutang usaha. g. Penghapusan piutang tak tertagih Penghapusan piutang tak tertagih terjadi ketika perusahaan berkesimpulan bahwa suatu jumlah akan tidak tertagih lagi, maka jumlah tersebut harus dihapuskan dan biasa ini terjadi setelah pelanggan pailit dan piutang dialihkan ke agen penagihan. h. Penyisihan piutang tak tertagih Penagihan piutang tak tertagih merupakan gambaran dari penjualan periode sekarang yang diperkirakan tidak dapat ditagih di masa depan.(h.359-361) II.3.4.Pengendalian Intern atas Fungsi Penjualan dan Penerimaan kas Untuk memperoleh gambaran apakah prosedur penjualan perusahaan yang diperiksanya telah memiliki pengendalian yang memadai, pemeriksa (auditor) harus memperhatikan kondisi yang memungkinkan terjadinya pengendalian intern. Menurut Mulyadi dan Puradiredja (1998), ”Aktivitas pengendalian yang dapat mencegah dan mendeteksi salah saji mencakup : 1. Penggunaan surat order penjualan yang diotorisasi untuk setiap penjualan. 2. Fungsi pemberi otorisasi kredit, mengecek semua customer baru. 3. Penentuan bahwa customer berada dalam daftar pelanggan yang telah disetujui. 4. Pengecekan batas kredit sebelum penjualan kredit dilaksanakan. 24
5. Barang dikeluarkan dari gudang hanya atas dasar surat order pengiriman yang telah diotorisasi. 6. Pengecekan barang yang dikirim dengan surat order pengiriman. 7. Pemisahan fungsi pengiriman barang dari fungsi penjualan. 8. Pembuatan dokumen pengiriman untuk setiap pengiriman barang. 9. Setiap faktur penjualan harus dilampiri dengan surat order pengiriman yang telah diotorisasi dari dokumen pengiriman. 10. Pencocokan faktur penjualan dengan dokumen pengiriman. 11. Pertanggungjawaban secara periodik dokumen pengiriman. 12. Pengecekan independen terhadap pemberian harga dalam faktur penjualan. 13. Setiap pencatatan harus dilandasi dokumen sumber faktur penjualan dan dokumen pendukung yang lengkap. 14. Pengecekan secara independen posting ke dalam buku pembantu piutang dengan akun kontrol piutang dalam buku besar. 15. Pertanggungjawaban semua faktur penjualan secara periodik. 16. Panduan akun dan review terhadap pemberian kode akun. 17. Pengiriman pernyataan piutang bulanan kepada debitur” (h.46). II.3.5.Tujuan Audit Operasional atas Fungsi Penjualan dan Penerimaan Kas Mengingat betapa penting bagian penjualan terhadap kegiatan operasional perusahaan maka hendaknya dilakukan pemeriksaan secara teratur. Pemeriksaan operasional yang dilakukan adalah pemeriksaan terhadap sistem dan prosedur penjualan, penerimaan kas. Hal tersebut dilakukan untuk menilai apakah kebijakan perusahaan telah dilaksanakan. Biasanya dalam melakukan audit operasional atas fungsi penjualan, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah melihat apakah sistem dan prosedur 25
tersebut telah berjalan dengan baik, setelah itu mengarah kepada kebijakan potongan harga apakah telah mendapat otorisasi dari pihak berwenang dan apakah telah dilaksanakan. Tujuan audit operasional berkait dengan transaksi penjualan menurut Arens dan Loebbecke yang diterjemahkan Jusuf pada buku 2 (1997), antara lain: 1. Penjualan tercatat adalah untuk pengiriman aktual yang dilakukan kepada pelanggan non fiktif (keberadaan). 2. Penjualan yang ada telah dicatat (kelengkapan). 3. Penjualan yang dicatat adalah untuk jumlah barang yang dikirim dan ditagih serta dicatat dengan benar (akurasi). 4. Transaksi penjualan diklasifikasikan dengan pantas (klasifikasi). 5. Penjualan dicatat dalam waktu yang tepat (tepat waktu). 6. Transaksi penjualan dimasukkan dengan pantas dalam berkas induk dan diikhtisarkan dengan benar (posting dan pengikhtisaran). (h.363) Sedangkan tujuan audit operasional berkait dengan penerimaan kas adalah : 1. Penerimaan kas yang dicatat adalah dana yang secara aktual diterima oleh perusahaan (keberadaan). 2. Kas yang diterima telah dicatat dalam jurnal penerimaan kas (kelengkapan). 3. Penerimaan kas yang dicatat telah disetor dan dicatat pada nilai yang diterima (akurasi). 4. Penerimaan kas diklasifikasikan dengan pantas (klasifikasi). 5. Penerimaan kas dicatat dalam waktu yang sesuai (tepat waktu). 6. Penerimaan kas dimasukkan dengan semestinya dalam berkas induk dan diikhtisarkan dengan benar (posting dan pengikhtisaran) (h.371). 26