BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Efikasi Diri (Self Efficacy) Bagaimana orang bertingkah laku dalam situasi tertentu tergantung kepada
resiprokal antara lingkungan dengan kondisi kognitif, khususnya faktor kognitif yang berhubungan dengan keyakinannya bahwa dia mampu atau tidak mampu melakukan tindakan yang memuaskan. Bandura (1986) menyebut keyakinan atau harapan diri ini sebagai efikasi diri, dan harapan hasilnya disebut ekspetasi hasil. Efikasi diri adalah ―persepsi diri sendiri mengenai seberapa bagus diri dapat berfungsi dalam situasi tertentu‖. Efikasi diri berhubungan dengan keyakinan bahwa diri memiliki kemampuan melakukan tindakan yang diharapkan. Ekspetasi hasil adalah pikiran atau estimasi diri bahwa tingkah laku yang dilakukan diri itu akan mencapai hasil tertentu. Efikasi adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuatu dengan yang dipersyaratkan. Efikasi ini berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya (dapat dicapai), sedang efikasi menggambarkan penilaian kemampuan diri. Seorang dokter ahli bedah, pasti mempunyai ekspetasi efikasi yang tinggi, bahwa dirinya mampu melaksanakan oprasi tumor sesuai dengan standar professional. Namun, ekspetasi hasilnya bisa rendah, karena hasil oprasi itu sangat
9
10
tergantung kepada daya tahan jantung pasien, kemurnian obat antibiotic, sterilisasi dan infeksi, dan sebagainya. Orang bisa memiliki ekspetasi hasil yang realistik (apa yang diharapkan sesuai dengan kenyataan hasilnya), atau sebaliknya ekspetasi hasilnya tidak realistik (mengharapkan terlalu tinggi dari hasil nyata yang dicapai). Orang yang ekspetasi efikasinya nggi (percaya bahwa ia dapat mengerjakan sesuai dengan tuntutan situasi) dan harapan hasilnya realistik (memperkirakan hasil sesuai dengan kemampuan diri), orang itu akan bekerja keras dan bertahan mengerjakan tugas sampai selesai. Setiap individu mempunyai efikasi diri yang berbeda-beda pada situasi yang berbeda, tergantung kepada : 1. Kemampuan yang dituntut oleh situasi yang berbeda itu. 2. Kehadiran orang lain, khususnya saingan dalam situasi itu. 3. Keadaan fisilogis dan emosional; kelelahan, kecemasan, apatis, murung. Emosi yang tinggi atau rendah, dikombinasikan dengan lingkungan yang responsive atau tidak responsive, akan menghasilkan empat kemungkinan prediksi tingkah laku. Kombinasi efikasi dengan lingkungan sebagai predictor tingkah laku :
11
Tabel Kombinasi Efikasi
Tinggi
Efikasi
Lingkungan Responsive
Rendah
Tidak responsive
Tinggi
Tidak responsif
Rendah
Responsive
2.2
Prediksi hasil tingkah laku Sukses melaksanakan tugas yang sesuai dengan kemampuannya Depresi, melihat orang lain sukses pada tugas yang dianggapnya sulit Berusaha keras merubah lingkungan menjadi responsive, melakukan protes, aktifitas social, bahkan memaksakan perubahan. Orang menjadi apatis, pasrah, merasa tidak mampu.
Sumber Efikasi Diri Bandura (1986) menyatakan perubahan tingkah laku, dalam system Bandura
kuncinya adalah perubahan ekspetasi efikasi (efikasi diri). Efikasi diri atau keyakinan kebiasaan diri itu dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan atau diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi empat sumber, yakni pengalaman perfomasi, pengalaman vikarus, persuasi verbal, dan pembakitan emosi. 2.2.1
Pengalaman Performansi Adalah prestasi yang pernah dicapai pada masa yang telah lalu. Sebagai
sumber, performansi masa lalu menjadi pengubah efikasi diri yang paling kuat
12
pengaruhnya, cara induksinya adalah dengan meniru model yang berprestasi, menghilangkan pengaruh buruk prestasi masa lalu, menonjolkan keberhasilan yang pernah diraih. Prestasi (masa lalu) yang bagus meningkatkan ekspetasi efikasi, sedang kegagalan akan menurunkan efikasi. Mencapai keberhasilan akan memberi dampak efikasi yang berbeda-beda, tergantung proses pencapainnya : 1. Semakin sulit tugasnya, keberhasilan akan membuat efikasi semakin tinggi. 2. Kerja sendiri, lebih meningkatkan efikasi dibanding kerja kelompok, dibantu orang lain. 3. Kegagalan menurunkan efikasi, kalau orang merasa sudah berusaha sebaik mungkin. 4. Kegagalan dalam suasana emosional/stress, dampaknya tidak seburuk kalau kondisinya optimal. 5. Kegagalan sesudah orang memiliki keyakinan efikasi yang kuat, dampaknya tidak seburuk kalau kegagalan itu terjadi pada orang yang keyakinan efikasinya belum kuat. 6. Orang yang biasa berhasil, sesekali gagal tidak mempengaruhi efikasi. 2.2.2
Pengalaman Vikarius Efikasi akan meningkat ketika mengamati keberhasilan orang lain, sebaliknya
efikasi akan menurun jika mengamati orang yang kemampuannya kira-kira sama dengan dirinya ternyata gagal. Kalau figure yang diamati berbeda dengan diri
13
sipengamat pengarus vikarius tidak besar, sebaliknya ketika mengamati kegagalan figure yang setara dengan dirinya, bisa jadi orang tidak mau mengerjakan apa yang pernah gagal dikerjakan figure yang diamatinya itu dalam jangka waktu yang lama. 2.2.3
Persuasi Verbal Efikasi diri juga dapat diperoleh, diperkuat atau dilemahkan melalui persuasi
social. Dampak dari sumber ini terbatas, tetapi pada kondisi yang tepat persuasi dari orang lain dapat mempengaruhi efikasi diri. Kondisi itu adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi, dan sifat realistik dari apa yang dipersuasikan, mempengaruhi dengan
kata
–
kata
berdasarkan
kepercayaan,
nasehat/peringatan
yang
mendesar/memaksa, memerintah diri sendiri, interprestasi baru memperbaiki interprestasi lama yang salah. 2.2.4
Pembangkitan Emosi Keadaan emosi yang mengikuti suatu kegiatan akan mempengaruhi efikasi
dibidang kegiatan itu. Emosi yang kuat, takut, cemas, stress dapat mengurangi efikasi diri. Namun bisa terjadi, peningkatan emosi (yang tidak berlebihan) dapat meningkatkan efikasi diri. Cara induksinya adalah dengan relaksasi, menghilangkan sikap emosional dengan modeling simbolik, memunculkan emosi secara simbolik. Perubahan tingkah laku akan terjadi kalau sumber ekspetasi efikasinya berubah. Pengubahan self-efficacy banyak dipakai untuk memperbaiki kesulitan dan adaptasi tingkah laku orang yang mengalami berbagai masalah behavioral.
14
2.3
Masa Dewasa
2.3.1
Perkembangan Kepribadian Jelas dari bahasan otonomi fungsional bahwa Allport berpendapat ada
perubahan signifikan antara anak-anak dengan dewasa. Orang mungkin bisa mengatakan Allport menawarkan dua teori terpisah mengenai kepribadian: teori pertama adalah teori motivasi model sederhana, biologic, peredaan ketegangan, cocok untuk menjelaskan tingkah laku bayi. Teori kedua adalah model yang lebih kompleks, dibutuhkan untuk menjelaskan tingkah laku orang dewasa. Disuatu tempat (waktu) antara bayi dan dewasa ada transformasi lengkap, walaupun tidak dengan tiba-tiba. Orang dewasa yang masak dan sehat secara kualitatif berbeda dengan bayi; alasan tingkah laku dewasa berbeda total dengan alasan tingkah laku bayi. 2.3.2
Perkembangan Masa Dewasa Penentuan utama tingkah laku dewasa yang masak adalah seperangkat sifat
(trait) yang terorganisasi dan seimbang, yang mengawali dan membimbing tingkah laku sesuai dengan prinsip otonomi fungsional. Bagaimana trait itu berkembang tidak penting bagi Allport, karena dalam usia dewasa mereka memperoleh kekuatan motivnya dari sumber kekinian. Masa lalu tidak penting, kecuali hal itu tampak dalam dinamik aktivitas masa kini. Secara umum, trait berfungsi dalam keadaan sadar dan rasional, mengikuti pola-pola perjuangan menjadi propriate. Jadi, unuk memahami orang dewasa, harus dapat digambarkan lebih dahulu aspirasi dan tujuan-tujuannya (Feldman, 2008).
15
Menurut Papalia (2009) masa dewasa awal merupakan waktu perubahan dramatis dalam hubungan personal. Perubahan dratis pada dewasa awal yaitu mencari keintiman emosional fisik dalam hubungan teman sebaya atau pasangan romantic. Dewasa awal yang telah menamati pendidikannya dan telah memulai karier, pernikahan, tau menjadi orang tua secara umum antusias dalam menjalani hidup yang sudah mereka persiapkan. Jika mendadak terkena penyakit atau cedera yang berpotensi mematikan, mereka cenderung sangat frustasi. Orang-orang yang menderita penyakit mematikan, seperti AIDS, pada usia dua puluhan atau tiga puluhan harus menghadapi berbagai persoalan mematikan dan sekarat pada usia ketika mereka normalnya akan berhadapan dengan berbagai persoalan dewasa, seperti membangun hubungan yang intim. Dari pada memiliki masa hidup kehilangan yang lama sebagai persiapan bertahap untuk mati, mereka menemukan seluruh dunia mereka runtuh sekaligus.
2.4
Kematian Kematian baru dapat menjadi situasi batas apabila kita kehilangan orang yang
kita cintai atau kematian kita sendiri yang tak dapat dihindari. Penderitaan karena keterpisahan, komunikasi terhenti membuka ―retak‖ dalam ―desain‖ yang berakibat manusia berdiri dihadapan transendensi dan sebagai eksistensi, ia dapat berkembang dikematiannya manusia menyadari bahwa ia unik dan kematian berbeda dari orang lain, kesadaran dari keunikan ini dapat membangun eksistensi. Mencintai hidup dan menilai hidup fana, takut akan kematian dan menyadari hakekat diri dihadapan
16
kematian, tidak memahami sekaligus percaya kematian bukan sebuah kontradiksi. Kematian teman sekaligus musuh manusia (Fuad Hassan, 1985). 2.4.1
Konteks Budaya Menurut Feldman (2009) berbagai kebiasaan menyangkut peraturan dan
mengenang kematian, pengalihan hak milik, dan bahkan ekspresi berduka, sangat berfariasi dari suatu budaya ke budaya lain, dan sering kali diatur oleh perintah agama atau hukum yang mencerminkan pandangan masyarakat mengenai apa yang dimaksud dengan kematian dan apa yang terjadi setelahnya. Berbagai aspek budaya dari kematian, termaksud perawatan dan perilaku terhadap sekarat dan kematian, tempat dimana kematian biasanya terjadi, serta adat dan ritual berkabung—dari begadang semalam ala orang Irlandia, dimana teman dan keluarga mengenang orang yang meninggal, sampai sepanjang minggu ala orang Yahudi, yang dinamakan shiva, dimana pihak yang berkabung melepaskan berbagai perasaan mereka. Berbagai tradisi budaya, seperti mengibarkan bendera setengah tiang setelah meninggalnya seorang tokoh masyarakat, disusun dalam undangundang. Pada masyarakat Melayu, seperti pada banyak budaya yang tidak memiliki bahasa tulisan, kematian dianggap sebagai transisi bertahap. Tubuh pertama-tama hanya dikubur sementara, kemudian mereka yang ditinggalkan melanjutkan dengan mengadakan ritual berkabung sampai tubuh membusuk pada titik dimana ruh diyakini telah pergi dan telah berada didalam dunia sprittual. Pada masyarakat Rumania Kuno,
17
para pejuang menertawakan kuburan mereka dengan harap dapat bertemu dengan Zalmoxis, Dewa tertinggi mereka. Dalam masyarakat Yunani kuno, jasad para pahlawan dibakar didepan umum sebagai tanda penghormatan. Kremasi masih dipraktikan secara luas oleh kaum Hindu di India dan Nepal. Sebaliknya, kremasi dilarang oleh undang-undang Yahudi Ortodoks (Ortodoks Jewish Law) karena adanya keyakinan orang yang sudah meninggal akan bangkit kembali untuk idup abadi (Ausubel, 1964). Di Jepang ritual keagamaan mendorong mereka yang ditinggalkan mempertahankan
hubungan
dengan
yang
sudah
meninggal.
Keluarga
mempertahankan altar didalam rumah yang didedikasikan untuk leluhur mereka; mereka berbicara kepada orang yang mereka cintai yang sudah meninggal dan menawarkan mereka makanan atau cerutu. Di Gambia, mereka yang sudah meninggal dianggap sebagai bagian dari komunitas; diantara orang asli Amerika, kaum Hopi takut pada Ruh mereka yang sudah meninggal dan beruasaha melupakannya secepat mungkin. Kaum muslim di Mesir menunujukan kedukaan melalui ekspresi kesedihan yang mendalam; kaum muslim di Bali didorong untuk menekan kesedihan, untuk tertawa, dan bergembira (Stroebe, Gergen, Gergen, dan Stroebe, 1992). Berbagai kebiasaan dan praktik yang bervariasi ini membantu orang-orang menghadapi kematian dan kehilangan melalui makna budaya yang dipahami secara baik, yang memberikan sauh yang stabil ditengah-tengah pergolakan kehilangan.
18
Beberapa kehilangan social modern berkembang dari kebiasaan kuno. Pembalseman kembali ke praktik yang lazim dalam Mesir dan Cina kuno; mumifikasi, mengawetkan tubuh sehingga ruh bisa kembali lagi. Kebiasaan Yahudi tradisional tidak pernah meninggalkan orang yang sekarat sendirian. Para antropolog menyatakan bahwa alasan sebenarnya untuk semuan ini mungkin adalah sebuah keyakinan bahwa ruh jahat terkatung-katung, dan berusaha memasuki tubuh yang sedang sekarat (Ausubel, 1964). Ritual-ritual seperti itu memberikan orang-orang yang menghadapi kehilangan sesuatu yang dapat diduga dan penting dilakukan pada saat itu, ketika mereka sebaliknya mungkin merasa bingung dan tidak berdaya. 2.4.2
Revolusi Kematian Membaca little women merupakan pengingat penjelas dari perubahan sejarah
yang besar mengenai semenjak akhir abad ke-19, terutama dinegara-negara maju. Kemajuan dalam hal kedoteran dan kebersihan, pengobatan modern dari banyak penyakit yang dulunya mematiakan, dan pendidikan yang lebih baik, populasi sadar kesehatan, telah mengarahkan pada “revolusi kematian‖. Saat ini, perempuan memiliki kemungkinan yang kecil untuk meninggal pada saat melahirkan, bayi yang lebih mungkin bertahan hidup pada tahun pertama mereka, anak-anak mungkin tumbuh lebih dewasa, dewasa awal seperti adik Alcott, Lizzie, lebih mungkin hdiup lebih tua, dan para lansia sering kali lebih mengatasi penyakit yang dianggap mematikan.
19
Anak-anak mungkin tumbuh lebih dewasa, dewasa awal seperti adik Alcott, Lizzie, lebih mungkin hidup lebih tua, dan para lansia sering kali lebih mengatasi penyakit yang dianggap mematikan. Seiring makin menjadi fenomena masa dewasa akhir, kematian menjadi ―tidak terlihat dan abstract” (Fulton dan Owen, 1987-1988, hal 380). Banyak lansia tinggal dan meninggal dalam komuniatas pensiunan. Sebagian besar perawat bagi mereka yang sekarat dan meninggal menjadi tugas bagi kaum professional. Kebiasaan social seperti menempatkan orang yang sedang sekarat dirumah sakit atau panti jompo serta menolak membahas kondisi mereka secra terbuka menceriminkan dan melestarikan berbagai sikap penghindaran dan menolak kematian. Kematian—bahkan bagi yang sudah sangat tua—dianggap sebagai kegagalan perawatan medis dari pada dianggap sebagai akhir hidup yang alami (McCue, 1995). Dengan ketiadaan berbagai penyakit yang dapat diindentifikasi, orang-orang yang berusia sekitar 100 tahun—dekat dengan batas rentang kehidupan manusia sekarang—cenderung menderita penurunan fungsi, kehilangan minat untuk makan dan minum, serta meninggal karena alesan alami (Johansson, et al., 2004; McCue, 1995; Rabbitt, et al., 2003; Singer, et al., 2003). Berbagai perubahan ini juga telah dideteksi pada orang-orang yang lebih muda yang mendekati kematian. Dalam sebuah penelitian longitudinal selama 22 tahun terhadap 1.927 laki-laki, kepuasaan hidup menunjukan penurunan tajam dalam satu tahun sebelum kematian, tanpa memperdulikan kesehatan yang dinilai sendiri (Mroczek dan Spiro, 2005).
20
2.4.3
Menghadapi Kematian Psikiater Elisabeth Kubler Ross, dalam karya pionirnya mengenai orang-
orang sekarat, menentukan bahwa kebanyakan dari mereka yang menyambut gembira peluang untuk membicarakan secara terbuka mengenai kondisi mereka dan sadar sedang mendekati kematian, bahkan ketika mereka belum diberitahu. Setelah berbicara dengan sekitar 500 pasien penyakit mematikan, Kubler Ross (1969, 1970) merangkum lima tahapan dalam berhadap dengan kematian: (1) penolakan (“tidak mungkin ini terjadi padaku!”); (2) marah (“kenapa aku?”); (3) menegosiasikan untuk waktu tambahan (“jika aku bisa hidup untuk melihat puteriku menikah, aku tidak akan meminta apa pun lagi”); (4) depresi; dan terakhir (5) penerimaan. Ia juga mengajukan kemajuan yang serupa dalam berbagai perasaan dari orang-orang yang menghadapi kehilangan yang segera terjadi (Kubler-Ross, 1975). Model Kubler Ross telah dikritik dan diubah oleh para professional lainnya yang bekerja dengan pasien sekarat. Meskipun berbagai emosi yang digambarkannya lazim, tidak semua orang melalui seluruh tahapan tersebut dan tidak harus dalam urutan yang sama. Misalnya, seseorang bisa saja bolak-balik antara marah dan depresi, atau bisa merasakan keduanya pada saat bersamaan. Sayangnya pada beberapa professional kesehatan menganggap bahwa tahapan-tahapan ini tidak terhindarkan dan universal, dan yang lain merasa gagal jika mereka tidak dapat membawa pasien pada tahap akhir, yaitu penerimaan. Sekarat, seperti kehidupan merupakan pengalaman individual. Bagi beberapa orang, penolakan atau marah mungkin cara yang lebih sehat untuk menghadapi
21
kematian daripada penerimaan yang tenang seperti yang dicontohkan oleh Beth dalam Little Women. Berbagai hasil penemuan Kubler-Ross bernilai karena membantu kita dalam memahami berbagai perasaan orang-orang yang menghadapi akhir kehidupan, sebaiknya tidak dianggap sebagai sebuah model atau sebuah “kematian yang baik‖. 2.4.4
Kehilangan Orang Tua Pada Masa Dewasa Sedikit perhatian diberikan mengenai dampak kematian orang tua pada anak
yang sudah dewasa. Kini, dengan harapan hidup yang lebih panjang, kehilangan ini biasanya muncul pada usia paruh baya (Aldwin dan Levenson, 2001). Dengan demikian, berbagai temuan dari penelitian MIDUS menyatakan, kehilangan kedua orang tua pada masa dewasa awal merupakan pengalaman non-normatif yang bisa memengaruhi kesehatan mental atau fisik secara negative (Marks, Bumpass, dan Jun, 2004). Tentu saja, kehilangan orang tua, kapan pun itu, tidak lah mudah. Wawancara mendalam dengan 83 relawan berusia 35 sampai 60 tahun menemukan kebanyakan anak-anak dewasa yang kehilang masih mengalami kesedihan emosional—dari kesedihan dan menangis sampai depresi dan pikiran untuk bunuh diri—ssetelah 1 sampai 5 tahun, terutama setelah kehilangan ibu (Scharlach dan Fredriksen, 1993). Namun, kematian orang tua dapat menjadi pengalaman yang mendewasakan. Hal ini dapat mendorong orang dewasa menyelesaikan bebrbagai persoalan perkembangan yang penting: meraih kesadaran diri yang lebih kuat dan lebih realistis serta menekan pada kematian mereka sendiri, bersamaan dengan kesadaran tanggung jawab,
22
komitmen, dan kelekatan pada orang lain yang lebih besar (M.S. Moss dan Moss 1989; Scharlach dan Fredriksen, 1993). 2.4.5
Kematian Dan Kehilangan Sepanjang Rentang Kehidupan Tidak ada cara tunggal dalam memandang kematian pada usia berapapun;
sikap orang-orang terhadap kematian mencerminkan kepribadian dan pengalaman mereka, dan juga seberapa sangat percayanya mereka bahwa sedang skarat. Namun, perbedaan yang luas berlaku. Sebagaimana model waktu peristiwa nyatakan, kematian mungkin tidak berarti sama bagi laki-laki yang berusia 85 tahun yang menderita arthritis yang sangat menyakitkan, dengan perempuan yang berusia 56 tahun yang berada dipuncak karir hukum cemerlang yang mendapati dirinya menderita kanker payudara, dan seorang anak berusia 15 tahun yang meninggal karena overdosis obat-obatan. Berbagai perubahan tipikal dalam sikap terhadap kematian sepanjang rentang kehidupan bergantung pada perkembangan kognitif dan peristiwa normatif atau nonnormatif.
2.5 Berbagai Pola Kedukaan Kehilangan (bereavement)—kehilangan seseorang yang dekat dan proses penyesuainnya—dapat mempengaruhi nyaris seluruh aspek kehidupan mereka yang ditinggalkan. Kehilangan seringkali membawa perubahan dalam status dan peran (misalnya, dari istri menjadi janda atau dari putra atau putri menjadi yatim). Hal ini bisa memiliki akibat sosial dan ekonomi—kehilangan seseorang teman dan terkadang
23
pendapatan. Namun, hal pertama yang terjadi adalah kedukaan (grief)—respons emosional yang dialami dalam fase awal kehilangan. Kedukaan, seperti sekarat, merupakan pengalaman yang sangat pribadi. Saat ini, penelitian telah menentang pendapat sebelumnya mengenai pola tunggal, ―normal‖ dari kedukaan dan waktu ―normal‖ untuk pemulihan. Seorang janda yang berbicara dengan suaminya yang sudah meninggal, sebelumnya mungkin dianggap sebagai orang yang terganggu emosionalnya; sekarang diakui sebagai perilaku yang lazim dan membantu (Lund, 1993b). Beberapa orang pulih lebih cepat setelah kehilangan, yang lainnya tidak pernah pulih. 2.5.1
Model Penyelesaian Kedukaan Klasik Pola klasik kedukaan terjadi dalam tiga tahapan, dimana orang yang berduka
menerima kenyataan kehilangan yang menyakitkan, secara perlahan melepaskan ikatan dengan orang yang sudah meninggal, menyesuaikan kembali kehidupan dengan mengembangkan minat dan hubungan baru. Proses penyelesaian kedukaan (grief work) ini, pemecahan berbagai persoalan yang berkaitan dengan kedukaan, biasanya mengikuti jalur berikut ini—meskipun seperti halnya tahapan Kubler-Ross, bisa saja bervariasi (J. T. Brown dan Stoudemire, 1983; R, Schulz, 1978). 1. Terguncang dan tidak percaya. Segera setelah kematian, orang yang ditinggalkan sering kali merasa tersesat dan bingung. Seiring dengan kesadaran akan kehilangan yang meresap, keadaan mati rasa awal memberikan jalan bagi perasaan kesedihan yang sangat dan sering menangis.
24
Tahap pertama ini bisa bertahan selama beberapa minggu, terutama setelah kematian yang mendadak atau tak terduga. 2. Terobsesi dengan kenangan orang yang sudah meninggal. Pada tahap kedua, yang bisa bertahan sampai 6 bulan sampai 2 tahun atau lebih, orang yang ditinggalkan berusaha menghadapi kematian, tetapi tidak bisa menerimanya. Seorang janda bisa saja mengenang kematian suaminya dan keseluruhan hubungan mereka. Dari waktu ke waktu, ia mungkin terperangkap oleh perasaan bahwa suaminya yang telah meninggal hadir. Pengalaman ini berkurang seiring dengan berjalannya waktu, meskipun mereka dapat berulang kembali—mungkin selama bertahun-tahun—pada situasi seperti peringatan pernikahan atau hari kematian. 3. Pemecahan. Tahap akhir tiba ketika orang yang berduka memperbaruhi minatnya dalam kegiatan sehari-hari. Berbagai kenangan orang yang sudah meninggal membawa perasaan mencintai bercampur dengan kesedihan, alihalih rasa sakit dan kerinduan yang pedih. 2.5.2
Berduka: Variasi Majemuk Meskipun pola pemecahan kedukaan yang batu saja dijelaskan adalah lazim,
kedukaan tidak harus selalu mengikuti garis lurus dari terguncang kepemecahan. Satu tim psikolog (Wortman dan Silver, 1989) mengkaji ulang berbagai penelitian mengenani reaksi terhadap kehilangan yang besar: meninggalnya orang yang dicintai atau kehilangan mobilitas karena cedera tulang punggung. Bukannya menemukan
25
pola tunggal tiga tahapan, penelitian ini menemukan tiga pola utama kedukaan. Pada pola yang umumnya diduga, orang yang berduka mengalami kesedihan yang tinggi ke rendah. Pada pola kedua (terkadang disebut ketiadaan rasa berduka), orang yang berduka tidak mengalami kesedihan segera atau menantinya. Pada pola ketiga, orang yang berduka tetap bersedih untuk jangka waktu yang lama (kedukaan kronis) (Wortman dan Silver, 1989). Secara khusus, para peneliti ini menemukan beberapa asumsi lazim yang lebih kearah mitos daripada fakta. Pertama, depresi jauh dari universal. Dari 3 minggu sampai 2 tahun setelah kehilangan, hanya 15 sampai 35 persen janda, duda, dan korban cedera saraf tulang belakang yang menunjukan tanda-tanda depresi. Kedua, kesedihan yang tinggi saat awal tidak serta-merta mengalihkan permasalahannya jangka panjang; orang-orang yang paling marah segera setelah kehilangan atau cedera memiliki kemungkinan menjadi paling bermasalah sampai dua tahun kemudian. Ketiga, tidak semua orang perlu ―membahas‖ kehilangan atau akan mendapat manfaat dari melakukan hal itu; beberapa orang yang melakukan pemecahan kedukaan intens memiliki lebih banyak masalah dikemudian hari. Keempat, tidak semua orang kembali normal dengan cepat. Lebih dari 40 persen janda dan duda menunjukan kecemasan sedang sampai parah hingga empat tahun setelah kematian pasangan hidup, terutama jika kematiannya mendadak. Kelima, orang-orang tidak dapat selalu menyelesaikan kedukaan dan menerima kehilangan mereka. Orang tua dan pasangan hidup orang-orang yang meninggal dalam kecelakaan mobil sering kali memiliki kenangan menyakitkan tentang orang yang dicintainya, bahkan setelah bertahun-tahun (Wortman dan Silver,
26
1986). Penerimaan mungkin terutama sulit ketika sebuah kehilangan tidak jelas, seperti ketika orang yang dicintai hilang dan dianggap sudah meninggal. Kedukaan yang lazim—depresi yang dimulai segera setelah kehilangan dan mereda seiring berjalannya waktu, seperti dalam pola pemecahan kedukaan tiga tahapan yang klasik, anehnya tidak lazim (11 persen dari sample). Juga, tidak ada bukti yang jelas dari ketiadaan duka atau penundaan kedukaan—kurangnya kedukaan yang terlihat segera setelah kematian, yang mana pada pola tertunda, dianggap mengakibatkan luapan kesedihan yang tidak sehat dikemudian hari. Bahkan, sejauh ini pola yang paling umum (diperlihatkan oleh 46 persen sample) adalah ketabahan: tingkat kesedihan yang rendah dan perlahan-perlahan berkurang. Orang berduka yang tabah mengungkapkan penerimaan kematian sebagai proses alami. Setelah kehilangan, mereka menghabiskan relative sedikit waktu untuk memikirkan dan membicarakan mengenai hal tersebut atau mencari makna didalamnya, meskipun kebanyakan melaporkan sedikit kerinduan dan kepedihan emosional selama enam bulan pertama. Berbagai pertemuan ini menantang asumsi bahwa ada sesuatu yang salah jika ada orang berduka yang menunjukan kesedihan yang sedang dan memperlihatkan bahwa dirinya ―baik-baik saja‖ setelah kehilangan tidak harus menyebabkan kekhawatiran, tetapi lebih merupakan respons normal untuk lansia (Boerner et al., 2005, hal P72). Diantara mereka yang menjanda yang menunjukan kesedihan tinggi dalam jangka waktu yang lama, para peneliti membedakan antara orang yang berduka kronis (16 persen), yang menjadi depresi akibat kehilangan, dan depresi kronis (8 persen),
27
yang telah depresi sebelumnya dan menjadi lebih parah setelahnya. Orang yang berduka kronis dulunya cenderung benar-benar bergantung kepada pasangan hidupnya. Mereka terus memikirkan kehilangan, membicarakan dan mencari makna dalam kehilangan mereka, tetapi mereka bisa ―melupakannya‖ setelah 48 bulan, sementara depresi kronis tidak. Dengan demikian, janda dan duda yang depresi paling mungkin menjadi kandidat untuk mendapatkan perawatan. Di sisi lain, beberapa orang yang berduka (10 persen) yang menunjukan tingkat depresi yang tinggi sebelum kehilangan akan meningkat selama kehilangan. Bagi kelompok ini, kematian kelihatannya mewakili akhir dari stressor kronis. Mereka cenderung telah negative atau ambivalen mengenai pernikahan mereka, dan banyak pasangan hidup mereka telah menderita penyakit serius sebelum kematian. Hasil temuan mengatakan bahwa kedukaan mengambil berbagai bentuk dan pola yang memiliki implikasi penting untuk membantu orang-orang menghadapi kehilangan (Boerner et al., 2004, 2005; Bonanno et al., 2002). Mungkin tidak perlu dan bahkan berbahaya untuk mendorong atau mengarahkan orang yang berduka untuk
―menyelesaikan‖
kehilangan,
atau
mengharapkan
mereka
mengikuti
sekumpulan pola reaksi emosional—sama seperti tidak perlunya dan berbahayanya untuk mengharapkan seluruh pasien yang skarat mengalami berbagai tahapan dari Kubler Ross. Menghormati berbagai cara yang berbeda menunjukan kedukaan dapat membantu mereka yang kehilangan menghadapi kehilangan tanpa membuat mereka merasa bahwa reaksi mereka tidak normal.
28
2.5.3
Berkabung Berkabung merupakan suatu pengalaman emosional yang pribadi pada setiap
individu. Beberapa orang dapat mengatasi kesedihan dan perasaan duka cita yang dialaminya lebih cepat dari pada orang lain. Namun, ada juga yang membutuhkan waktu hingga beberapa tahun untuk dapat mengatasi perasaannya dan mampu menerima kenyataan bahwa orang yang ia cintai yaitu seorang figure ayah sudah tiada untuk selama-lamanya. Kematian keluarga, terutama kematian seorang ayah didalam keluarga merupakan pengalaman emosinal yang dialami seseorang disertai dengan perasaan kehilangan. Masa berkabung bagi orang yang ditinggalkan, terutama bagi seorang anak tidak berakhir setelah pemakaman usai. Sebaliknya, emosi yang dirasakan setelah kematian seorang ayah semakin dalam setelah ia ditinggalkan seorang diri. Ekspresi berkabung yang dialami umumnya menyakitkan bagi orang yang mengalami kehilangan karena kematian (Aiken, 1994; Papalia & Olds, 1998, Turner & Helms, 1995). 2.5.4 Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Berkabung Aiken (1994) Ada beberapa factor yang menyebabkan berkabung, faktor yaitu: a. Hubungan individu dengan almarhum, yaitu reaksi-reaksi dan rentang waktu masa berduka yang dialami individu akan berbeda tergantung dari hubungan individu dengan almarhum, dari beberapa kasus dapat dilihat hubungan yang sangat baik dengan orang yang telah meninggal diasosiasikan dengan proses grief yang sangat sulit.
29
b. Kepribadian, usia dan jenis kelamin orang yang ditinggalkan, merupakan perbedaan yang mencolok ialah jenis kelamin dan orang yang ditinggalkan. Secara umum berkabung lebih menimbulkan stress pada orang yang usianya lebih muda. c. Proses kematian, cara dari seseorang meninggal juga dapat menimbulkan perbedaan reaksi yang dialami orang yang ditinggalkan. Pada kematian yang mendadak kemampuan orang yang ditinggalkan akan lebih sulit untuk menghadapi kenyataan. Kurangnya dukungan dari orang-orang terdekat dan lingkungan sekitar akan menimbulkan perasaan tidak berdaya dan tidak mempunyai kekuatan, hal tersebut dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menghadapi proses berkabung. 2.5.5
Proses Perkembangan Berkabung Turner & Helms (1987), menyebutkan bahwa ada beberapa tahapan dari
berkabung yang dijelaskan secara lebih rinci, yaitu : a. Denial of loss, pada fase ini orang yang ditinggalkan tidak percaya dan menyangkal kenyataan bahwa orang yang dicintai telah tiada. Reaksi yang muncul pada fase ini adalah ―Tidak mungkin ia sudah meninggal‖. b. Realization of loss, pada fase ini orang yang ditinggalkan secara emosional menyadari bahwa orang yang dicintainya memang sudah meninggal. Umumnya reaksi yang muncul adalah ―Ya Tuhan, hal ini memang terjadi dia sudah pergi untuk selamanya‖.
30
c. Realization of abandonment, alarm, and anxiety, pada fase ini orang yang ditinggalkan merasa khawatir dan gelisah. Karena ditinggalkan oleh orang yang dicintainya, reaksi yang muncul pada fase ini adalah ―Tuhan, bagaimana saya menjalani semua ini sendirian?‖. d. Despair, crying, physical numbness, mental confusion, indecisiveness pada fase ini orang yang ditinggalkan akan merasa putus asa, menangis, mati rasa, bingung, dan bimbang akibat kematian orang yang dicintai. e. Restlessness (a product of anxiety) insomnia, loss of appetite, irritability, lost of self control, wondering mind. Pada fase ini orang yang ditinggalkan akan mengalami keresahan (hasil dari kecemasan), insomnia, nafsu makan hilang, cepat marah, control diri menurun, serta pikiran kacau. f. Pining (the physical pain and agony of grieving) and search for some token remembrance of the lost love abject. Pada fase ini orang yang ditinggalkan akan merana, timbulnya sakit fisik dan penderitaan atas grief. Selain itu orang yang ditinggalkan akan mencari benda-benda sebagai kenang-kenangan yang mengingatkan pada orang yang telah meninggal. g. Anger, pada fase ini orang yang ditinggalkan merasa marah atas kematian orang yang menimpa orang yang dicintainya. h. Guilt, pada fase ini orang yang ditinggalkan akan merasaa bersalah atas kematian orang yang dicintainya. Umumnya reaksi yang muncul adalah ―Seharusnya saya menjaga ia lebih baik, salah saya sehingga ia sakit!‖.
31
i. Feeling of loss of self or total emptiness, psada fase ini orang yang ditinggalkan atas dirinya sendiri atau merasa kekosongan secara menyeluruh. Reaksi yang muncul umumnya adalah ―Sebagian diri saya telah pergi untuk selamanya‖. j. Longing (the dull ache that wont go away event with other). Pada fase ini orang yang ditinggalkan merasakan kerinduan yang sangat mendalam dan merasa sakit atas kesepian atau kehampaan, atau perasaan rindu tersebut tidak hilang, bahkan saat bersama dengan orang lain. k. Indentification with ones lost partner by assuming some of her traits, attitudes, or mannerism. Pada fase ini orang yang ditinggalkan akan melakukan identifikasi terhadap orang yang telah meninggal tersebut, dengan meniru beberapa sifat, perilaku atau gaya dari orang yang telah meninggal. l. Profound depression, pada fase ini seseorang akan merasa sangat depresi akibat kehilangan orang yang dicintainya melalui kematian. Umumnya orang yang ditinggalkan berfikir untuk menyusul orang yang dicintainya, yaitu keinginan untuk mati. m. Pathological aspects, such as minor acehs and aiments and tendency toward hypochondria. Pada fase ini muncul aspek patologis pada orang yang ditinggalkan, seperti penyakit minor dan penyakit ringan dan ditandai kecendrungan terhadap hypochondria. Reaksi yang umumnya muncul adalah ―siapa yang akan menjaga dan memperhatikan saya sekarang.‖
32
n. Voluntary return to society, pada fase ini orang yang ditinggalkan mulai kembali kemasyarakat atas keinginanya sendiri, setelah sebelumnya menarik diri dari lingkungan. o. The diminishment of grief symptom and the beginning of full recovery. Pada fase ini simtom-simtom grief yang dialami orang yang ditinggalkan mulai berkurang, mulai mengarah pada kepulihan yang menyeluruh.