13
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Perkembangan Kognitif 1.
Pengertian Kognitif Teori-teori kognitif didasarkan pada asumsi bahwa kemampuan kognitif
merupakan sesuatu yang fundamental dan yang membimbing tingkah laku anak. Dengan kemampuan kognitif ini maka anak dipandang sebagai individu yang secara aktif membangun sendiri pengetahuan mereka tentang dunia. Perkembangan kognitif merupakan salah satu perkembangan manusia yang berkaitan dengan pengetahuan, yakni semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari dan memikirkan lingkungannya. Menurut Drever (Kuper & Kuper, 2000) disebutkan bahwa ”Kognisi adalah istilah umum yang mencakup segenap model pemahaman, yakni persepsi, imajinasi, penangkapan makna, penilaian, dan penalaran”. Sedangkan menurut Piaget (Hetherington & Parke, 1975) menyebutkan bahwa ”Kognitif adalah bagaimana anak beradaptasi dan menginterpretasikan objek dan kejadian-kejadian di sekitarnya”. Piaget memandang bahwa anak memainkan peran aktif di dalam menyusunpengetahuannya mengenai realitas, anak tidak pasif menerima informasi. Selanjutnya walaupun proses berpikir dan konsepsi anak mengenai realitas telah dimodifikasi oleh pengalamannya dengan dunia sekitar dia, namun anak juga aktif menginterpretasikan informasi yang ia peroleh dari pengalaman, serta dalam mengadaptasikannya pada pengetahuan dan konsepsi.
14
Menurut Chaplin (2002) dikatakan bahwa “Kognisi adalah konsep umum yang mencakup semua bentuk mengenal, termasuk di dalamnya mengamati, melihat, memperhatikan,
memberikan,
menyangka,
membayangkan,
memperkirakan,
menduga, dan menilai. Dari berbagai pengertian yang telah disebutkan di atas dapat dipahami bahwa kognitif adalah sebuah istilah yang digunakan oleh psikolog untuk menjelaskan semua aktivitas mental yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, ingatan, dan pengolahan informasi yang memungkinkan seseorang memperoleh pengetahuan, memecahkan masalah, dan merencanakan masa depan, atau semua proses psikologis yang berkaitan dengan bagaimana individu mempelajari, memperhatikan, mengamati,
membayangkan,
memperkirakan,
menilai,
dan
memikirkan
lingkungannya. 2.
Fungsi dan Tujuan Pengembangan Kognitif Dunia kognitif anak usia dini ialah kreatif, bebas dan penuh imajinasi.
Perkembangan kognitif anak berfokus pada tahap pemikiran praoperasional. Pada tahap ini pemikiran anak masih didominasi oleh hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas fisik dan persepsi sendiri. Menurut Prayitno (2000) menyatakan: Perkembangan berpikir anak usia TK masih sangat sederhana mereka mulai berpikir dengan mempergunakan mental maupun cara kerjanya tidak sempurna, berpikir belum logis dan sangat dikuasai oleh khayalan dan imajinasi mereka. Ciri Khas Tahapan Praoperasional adalah:
15
a.
Cara berpikir prakonseptual adalah cara berpikir transduktif artinya menarik kesimpulan yang bersifat khusus, tahap ini anak mulai membentuk konsep yang belum sempurna.
b.
Cara berpikir Intuitif (4-7 tahun) pada periode ini anak memecahkan masalah tidak secara logis tetapi lebih berdasarkan intuitif. Krakteristik yang paling menonjol pada tahap ini adalah kegagalan dalam mengembangkan konservasi yaitu kemampuan untuk memahami bahwa jumlah, panjang atau area akan tetap sama meskipun disajikan dengan cara berbeda-beda. Menurut Piaget keemasan anak yang memberikan perlengkapan sensori dan
struktur otak
yang diperlukan, namun kegagalan tetap dibutuhkan untuk
mengembangkan kemampuan anak. Menurut Piaget pada tahap ini dikenal dengan istilah Rigidity Of Though artinya bahwa usia ini anak mempunyai dorongan ingin tahu yang tinggi. Dorongan ini diwujudkan dengan bentuk bertanya. Kemampuan yang dapat dilihat dari tahap ini adalah : a.
Permasalahan simbolis merupakan suatu hal yang abstrak menuju hal sebenarnya.
b.
Imitasi yaitu dapat meniru.
c.
Bayangan dalam mental image (kesan-kesan yang tertinggal dalam ingatan). Tujuan dari pengembangan kognitif adalah: agar anak didik mampu
menghubungkan pengetahuan yang sudah diketahui dengan pengetahuan yang baru yang diperolehnya seperti mengembangkan kemampuan berpikir logis dalam pengetahuan akan ruang dan waktu.
16
Dan fungsi pengembangan kognitif adalah untuk mengenal lingkungan sekitar pada anak, mengenal konsep bilangan dengan benda, melatih anak berfikir logis, Memberi kesempatan pada anak untuk melakukan kegiatan bermain sambil belajar, belajar seraya bermain, dan melatih anak agar mampu menggunakan pancaindera untuk mengenal lingkungan serta manfaat dan bahayanya. 3.
Perkembangan Kognitif Pada Anak Usia Dini Perkembangan kognitif sebagian besar ditentukan oleh manipulasi dan interaksi
aktif anak dengan lingkungan. Pengetahuan datang dari tindakan. Piaget yakin bahwa pengalaman-pengalaman fisik dan manipulasi lingkungan penting bagi terjadinya perubahan perkembangan. Sementara itu bahwa interaksi sosial dengan teman sebaya, khususnya berargumentasi dan berdiskusi membantu memperjelas pemikiran yang pada akhirnya memuat pemikiran itu menjadi lebih logis (Nur, 1998). Teori perkembangan Piaget mewakili konstruktivisme, yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif membangun sistem makna dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman dan iteraksi-interaksi mereka. Menurut teori Piaget, setiap individu pada saat tumbuh mulai dari bayi yang baru di lahirkan sampai mengijak usia dewasa mengalami empat tingkat perkembangan kognitif. Empat tingkat perkembangan kognitif itu adalah: a.
Pertama, tahap sensori motorik (usia 0-2 tahun) anak mendapatkan pengalaman dari tubuh dan inderanya.
17
b.
Kedua, tahap praoperasional. Anak berusaha menguasai simbol-simbol, (katakata) dan mampu mengungkapkan pengalamannya, meskipun tidak logis (pralogis). Pada saat ini anak bersifat egocentris, melihat sesuatu dari dirinya (perception centration), yaitu melihat sesuatu dari satu ciri, sedangkan ciri lainnya diabaikan.
c.
Ketiga, tahap operasional kongkrit. Pada tahap ini anak memahami dan berfikir yang bersifat kongkrit belum abstrak.
d.
Keempat, tahap operasional formal. Pada tahap ini anak mampu berfikir abstrak. Menurut Piaget (dalam Slavin, 1994:145), perkembangan kognitif sebagian
besar bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi dengan lingkungannya. Berikut ini adalah implikasi penting dalam pembelajaran fisika dari teori Piaget : a.
Memusatkan perhatian pada berpikir atau proses mental anak, tidak sekedar pada hasilnya. Disamping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut. (Bandingkan dengan teori belajar perilaku yang hanya memusatkan perhatian kepada hasilnya, kebenaran jawaban, atau perilaku siswa yang dapat diamati). Pengamatan belajar yang sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap kognitif siswa yang mutakhir, dan jika guru penuh perhatian terhadap metode yang digunakan siswa untuk sampai pada kesimpulan tertentu, barulah dapat
18
dikatakan guru berada dalam posisi memberikan pengalaman sesuai dangan yang dimaksud. b.
Memperhatikan peranan pelik dari inisiatif anak sendiri, keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Didalam kelas Piaget, penyajian pengetahuan jadi (ready-made) tidak mendapat penekanan, melainkan anak didorong menemukan sendiri pengetahuan itu melalui interaksi spontan dengan lingkungannya. Sebab itu guru dituntut mempersiapkan berbagai kegiatan yang memungkinkan anak melakukan kegiatan secara langsung dengan dunia fisik. Menerapkan teori Piaget berarti dalam pembelajaran fisika banyak menggunakan penyelidikan.
c.
Memaklumi akan adanya perbedaan invidual dalam hal kemajuan perkembangan. Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh melewati urutan perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda. Sebab itu guru mampu melakukan upaya untuk mengatur kegiatan kelas dalam bentuk kelompok kecil dari pada bentuk kelas yang utuh. Implikasinya dalam proses pembelajaran adalah saat guru memperkenalkan
informasi yang melibatkan siswa menggunakan konsep-konsep, memberikan waktu yang cukup untuk menemukan ide-ide dengan menggunakan pola-pola berpikir formal. Dalam memahami perkembangan kognitif maka, terdapat dua pandangan yang dapat menjelaskan, pertama menekankan pada faktor biologis dan kedua
19
menekankan pada faktor lingkungan sosial, yang nantinya akan disebut dengan sociocutural perspective. Piaget percaya bahwa pemikiran anak-anak berkembang menurut tahap-tahap atau priode-periode yang terus bertambah kompleks. Menurut teori tahapan Piaget, setiap individu akan melewati serangkaian perubahan kualitatif yang bersifat invariant, selalu tetap, tidak melompat atau mundur. Perubahan kualitatif ini terjadi karena tekanan biologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan serta adanya pengorganisasian struktur berfikir. Untuk menunjukkan struktur kognitif yang mendasari pola-pola tingkah laku yang terorganisir Piaget menggunakan istilah skema dan adaptasi. Dengan kedua komponen ini berarti bahwa kognisi merupakan sistem yang selalu diorganisir dan diadaptasi, sehingga memungkinkan individu beradaptasi dengan lingkungannya. Skema (struktur kognitif) adalah proses atau cara mengorganisir dan merespons berbagai pengalaman. Dengan kata lain, skema adalah suatu pola sistematis dari tindakan, perilaku, pikiran, dan strategi pemecahan masalah yang memberikan suatu kerangka pemikiran dalam menghadapi berbagai tantangan dan jenis situasi. Adaptasi (struktur fungsional) adalah sebuah istilah yang digunakan oleh Piaget untuk menunjukkan pentingnya pola hubungan individu dengan lingkungannya dalam proses perkembangan kognitif. Menurut Piaget, adaptasi ini terdiri dari dua proses yang saling melengkapi, yaitu asimilasi dan akomodasi. a.
Asimilasi dari sudut biologi adalah integrasi antara elemen-elemen eksternal (dari luar) terhadap struktur yang sudah lengkap pada organisme. Asimilasi kognitif meliputi objek eksternal menjadi struktur pengetahuan internal.
20
Proses asimilasi ini didasarkan atas kenyataan bahwa setiap saat manusia selalu mengasimilasikan informasi-informasi yang sampai kepadanya, kemudian informasi-informasi tersebut dikelompokan kedalam istilah-istilah yang sebelumnya telah mereka ketahui. b.
Akomodasi adalah menciptakan langkah baru atau memperbarui atau menggabung-gabungkan istilah lama untuk menghadapi tantangan baru. Akomodasi kognitif berarti mengubah struktur kognitif yang telah dimiliki sebelumnya untuk disesuaikan dengan objek stimulus eksternal. Jadi kalau pada asimilasi terjadi perubahan pada objeknya, maka pada akomodasi perubahan terjadi pada subjeknya, sehingga ia dapat menyesuaikan diri dengan objek yang ada diluar dirinya. Struktur kognitif yang sudah ada dalam diri seseorang mengalami perubahan supaya sesuai dengan rangsanganrangsangan objeknya. Piaget mengemukakan bahwa setiap organisme yang ingin mengadakan
penyesuaian (adaptasi) dengan lingkungannya harus mencapai keseimbangan (ekuilibrium), yaitu antara aktivitas individu terhadap lingkungan (asimilasi) dan aktivitas lingkungan terhadap individu (akomodasi). Agar terjadi ekuilibrasi antara individu dengan lingkungan, maka peristiwa-peristiwa asimilasi dan akomodasi harus terjadi secara terpadu, bersama-sama dan komplementer.
B. Konsep Alat Permainan Edukatif 1.
Pengertian Bermain
21
Bermain merupakan suatu kegiatan yang sangat digemari oleh anak usia dini dan kegiatan bermain pada anak pada intinya adalah proses belajar anak itu sendiri. Dengan bermain anak-anak dapat melakukan kegiatan yang merangsang dan mendorong pengembangan aspek-aspek kemampuan dan potensi yang telah dimiliki anak. Di dalam Johnson et al (1999) dikemukakan bahwa istilah bermain merupakan konsep yang tidak mudah untuk dijabarkan, bahkan di dalam Oxford English Dictionary, tercantum 116 definisi tentang bermain. Salah satu contoh, ada ahli yang mengatakan bermain sebagai kegiatan yang dilakukan berulang-ulang demi kesenangan. Tetapi ahli lain membantah pendapat tersebut karena adakalanya bermain bukan dilakukan semata-mata demi kesenangan, melainkan ada sasaran yang ingin dicapai yaitu prestasi tertentu. Banyak keterangan yang simpang siur dan saling bertentangan. Karena itu untuk memperoleh pemahaman yang komperehensif mengenai bermain, perlu memandang bermain sebagai ‘tali’ yang merupakan untaian serat serta benang-benang yang terjalin menjadi satu. Jadi pendapat yang diungkapkan masing-masing ahli tidak dapat dilihat secara terpisah karena akan berdampak pada sulitnya memperoleh pemahaman mengenai bermain. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Smith et al; Garvey; Rubin, Fein dan Vandenberg (dalam Johnson et al, 1999) diungkapkan adanya beberapa ciri kegiatan bermain, yaitu sebagai berikut: a.
Dilakukan berdasarkan motivasi intrinsik, maksudnya muncul atas keinginan pribadi serta untuk kepentingan sendiri.
22
b.
Perasaan dari orang yang terlibat dalam kegiatan bermain diwarnai oleh emosi-emosi yang positif. Kalaupun emosi positif tidak tampil, setidaknya kegiatan bermain mempunyai nilai bagi anak.
c.
Fleksibilitas yang ditandai mudahnya kegiatan beralih dari satu aktivitas ke aktivitas lain.
d.
Lebih menekankan pada proses yang berlangsung dibandingkan hasil akhir. Tidak adanya tekanan untuk mencapai prestasi membebaskan anak untuk mencoba berbagai variasi kegiatan.
e.
Bebas memilih, dan ciri ini merupakan elemen yang sangat penting bagi konsep bermain pada anak-anak kecil.
f.
Mempunyai kualitas pura-pura. Kegiatan bermain mempunyai kerangka tertentu yang memisahkannya dari kehidupan nyata sehari-hari. Kerangka ini berlaku terhadap semua bentuk kegiatan bermain seperti bermain peran, menyusun balok-balok menyusun kepingan gambar dan lain-lain.
2.
Pengertian Alat Permainan Alat permainan adalah semua alat yang digunakan anak untuk memenuhi
kebutuhan naluri bermainnya dan memiliki berbagai macam sifat seperti bongkarpasang,
mengelompokkan,
memadukan,
mencari
padanannya,
merangkai,
membentuk, mengetok, menyempurnakan suatu desain, atau menyusun sesuai bentuk utuhnya. Alat permainan untuk anak dalam pengadaannya selain dapat dibeli di toko mainan, juga dapat digali dan dikumpulkan dari sekeliling kita. Kesemuanya itu memberikan kesempatan proses berasosiasi kepada anak untuk mendapatkan dan memperkaya pengetahuan.
23
Bermain dengan mengunakan alat permainan akan mendapatkan masukan pengetahuan untuk ia ingat. Alat permainan merupakan bahan mutlak bagi anak untuk mengembangkan dirinya yang menyankut seluruh aspek perkembangannya. Menurut Mayke Sugianto, (Anggani,1995:62) Mengatakan: Alat permainan adalah alat bermain yang sengaja dirancang secara khusus untuk kepentingan pendidikan. Menurut Montessori (Anggani sudono, 1945 : 7) alat permainan bagi anak dimulai dari tahap yang paling mudah, anak hanya diminta unuk megenal konsep warna, konsep bilangan, mengelompokan warna, membentuk dan membongkar kembali. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan alat permainan merupakan, suatu wahana untuk membantu anak dalam kegiatan bermain, alat tersebut dapat digunakan dalam kegiatan belajar mengajar yang berlangsung secara teratur, lancar, efektif dan efisien. Sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan anak denga adanya alat permainan mengenalkan angka warna buah melalui pohon pintar anak akan termotivasi dalam memainkannya serta dapat mengembangkan dimensidimensi yang dimiliki oleh anak. 3.
Pengertian Alat Permainan Edukatif Direktorat
Pendidikan
Anak
Dini
Usia
(PADU)
Depdiknas
(2003)
mendefinisikan Alat Permainan Edukatif sebagai segala sesuatu yang dapat digunakan sebagai sarana atau peralatan untuk bermain yang mengandung nilai edukatif (pendidikan) dan dapat mengembangkan seluruh kemampuan anak.
24
Mayke S. Tedjasaputra (2001), mengemukakan bahwa Alat Permainan Edukatif adalah alat permainan yang dirancang secara khusus untuk kepentingan pendidikan dan mempunyai beberapa ciri yaitu: a.
Dapat digunakan dalam berbagai cara, maksudnya dapat dimainkan dengan bermacam-macam tujuan, manfaat dan menjadi bermacam-macam bentuk.
b.
Ditujukan terutama untuk anak-anak usia prasekolah dan berfungsi mengembangkan berbagai aspek perkembangan kecerdasan serta motorik anak.
c.
Segi keamanan sangat diperhatikan baik dari bentuk maupun penggunaan cat.
d.
Membuat anak terlibat secara aktif.
e.
Sifatnya konstruktif. Anak yang sudah akrab dengan mainan edukatif sejak dini, perkembangan
kecerdasannya akan terlihat lebih maksimal. Ia lebih mampu berkonsentrasi, kreatif, serta tekun. Sementara yang tidak, biasanya akan lebih tertinggal dalam masalah intelektual. Anak-anak yang tidak diperkenalkan dengan mainan edukatif akan lebih sulit untuk belajar mengenai bentuk dan warna. Beberapa manfaat Alat Permainan Edukatif , diantaranya: 1.
Melatih kemampuan motorik. Stimulasi untuk motorik halus diperoleh saat anak menjumput mainannya, meraba, memegang dengan kelima jarinya, dan sebagainya. Sedangkan rangsangan motorik kasar didapat anak saat menggerak-gerakkan mainannya, melempar, mengangkat, dan sebagainya.
2.
Melatih konsentrasi. Mainan edukatif dirancang untuk menggali kemampuan anak, termasuk kemampuannya dalam berkonsentrasi. Saat menyusun puzzle,
25
katakanlah, anak dituntut untuk fokus pada gambar atau bentuk yang ada di depannya, ia tidak berlari-larian atau melakukan aktivitas fisik lain sehingga konsentrasinya bisa lebih tergali. Tanpa konsentrasi, bisa jadi hasilnya tidak memuaskan. 3.
Mengenalkan konsep sebab akibat. Contohnya, dengan memasukkan benda kecil ke dalam benda yang besar anak akan memahami bahwa benda yang lebih kecil bisa dimuat dalam benda yang lebih besar. Sedangkan benda yang lebih besar tidak bisa masuk ke dalam benda yang lebih kecil. Ini adalah pemahaman konsep sebab akibat yang sangat mendasar.
4.
Melatih bahasa dan wawasan. Permainan edukatif sangat baik bila dibarengi dengan penuturan cerita. Hal ini akan memberikan manfaat tambahan untuk anak, yakni meningkatkan kemampuan berbahasa juga keluasan wawasannya.
5.
Mengenalkan warna dan bentuk. Dari mainan edukatif, anak dapat mengenal ragam/variasi bentuk dan warna. Ada benda berbentuk kotak, segiempat, bulat dengan berbagai warna; biru, merah, hijau, dan lainnya.
C. Konsep Pendidikan Anak Usia Dini 1.
Pengertian Anak usia Dini Anak merupakan amanat yang harus ditunaikan oleh orang tuanya, anak pada
usia dini hatinya masih suci, bersih putih. Ia bagaikan permata yang berharga lagi indah terbebas dari semua kotoran dan kontaminasi, ia siap dipola, diwarnai dan mempunyai sifat yang cenderung untuk mengikuti siapa yang mempengaruhinya. Seandainya ia berbuat baik, maka kebaikan itu tidak hanya akan kembali kepada
26
dirinya, namun juga kepada orang tuanya dan setiap pendidik yang telah mendidiknya. Begitu juga sebaliknya, jika ia berbuat kejahatan maka kejahatan itu tidak hanya akan kembali kepada dirinya saja, namun kepada pendidik yang mendidiknya. Anak usia dini yaitu antara 2,5 sampai 6 tahun, adalah masa keemasan perkembangan seorang anak. Periode ini menentukan sekali perkembangan kepribadian, ketrampilan, minat, dan lain-lain. Oleh karena itu, pendidikan anak usia dini adalah sangat penting dan mendasari seluruh rangkaian pendidikan dan perkembangan seorang manusia. Adapun menurut Yudi Kurniawan yang dimaksud dengan anak usia dini adalah usia 0 - 7 tahun disebut sebagai masa anak kecil (masa bermain) usia 7 - 14 tahun disebut
masa
anak-anak
(masa
belajar
atau
masa
sekolah
rendah).
Bagi para pendidik selayaknyalah untuk mengetahui fase-fase perkembangan anak agar dalam melaksanakan pendidikan kepada anak tidak jauh dari kesadaran yang diharapkan. Dengan mengetahui fase-fase perkembangan akan memudahkan untuk mempelajari dan memahami jiwa anak. Pada saat perkembangan tertentu anak-anak secara umum memperlihatkan ciriciri dan tingkah laku yang hampir sama, kecuali pada pribadi tertentu. Karena itu para psikolog membagi masa perkembangan ke dalam beberapa fase. Para psikolog ini membagi fase-fase perkembangan ini secara berbeda-beda sesuai dengan dasar pemikiran dan latar belakang serta kepentingannya masing-masing. Pada masa pra operasional proses berfikir anak berpusat kepada penguasaan simbol-simbol (kata-kata) yang mampu mengungkapkan pengalaman masa lalu.
27
Menurut pandangan orang dewasa cara berfikir dan tingkah laku anak tidak logis, dan masa operasional konkrit proses dimana anak telah mampu membeda-bedakan sifat dalam mengenal bagian-bagiannya, sudah mulai berfikir secara abstrak dan mencapai tingkat berfikir abstrak dan pengamatannya sudah nyata. Anak usia dini tidak dapat melihat sesuatu dari pandangan orang lain, pada tahap ini sifat egosentrisme (mementingkan diri sendiri) bukanlah sesuatu yang negatif tetapi merupakan suatu proses perkembangan yang normal. Pada periode itulah diletakkan dasar struktur perilaku kompleks yang dibangun sepanjang kehidupan anak. Menurut Kartini Kartono bahwa aktifitas anak yang berhubungan langsung dengan benda-benda yang konkrit merupakan makanan bagi kecerdasan anak. Kewajiban orang tua, guru atau orang dewasa lainnya untuk menyediakan kemungkinan yang optimal bagi perkembangan anak, baik dirumah maupun sekolah. 2.
Pengertian Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan pendidikan yang sangat
fundamental, para pakar berpendapat bahwa usia anak 0-6 tahun merupakan masa keemasan (Golden Age) yang akan menentukan perkembangan anak selanjutnya. PAUD merupakan upaya pembinaan dan pengembangan yang ditujukan bagi anak usia 0-6 tahun dalam aspek kesehatan, gizi dan psiko sosial (kognitif, sosial dan emosional) dilakukan oleh lingkungan yang akan berpengaruh besar pada proses tumbuh kembang anak (Ace Suryadi, Dirjen PLS Depdiknas, 2006).
28
Dikatakan pendidikan yang sangat fundamental, dikarenakan masa usia dini merupakan proses pertumbuhan dan perkembangan anak sangat potensial, apabila pada masa tersebut diberikan stimulasi yang tepat, maka akan menjadi modal penting bagi perkembangan anak di kemudian hari. Paling tidak PAUD melejitkan potensi kecerdasan anak, penanaman nilai-nilai dasar, dan mengembangkan kemampuan dasar. Sebelum masuk sekolah dasar anak harus diberi pendidikan yang tepat, maksudnya pengaruh yang sesuai dengan perkembangan, bakat, hobi, kemauan atau fisik anak. Jika pada usia di bawah 7 tahun anak tidak diberi pendidikan apa-apa, anak ini akan terlambat dalam pertumbuhan dan perkembangannya. Dari segi fisik mungkin tidak begitu kentara, tetapi psikisnya akan kelihatan dengan jelas. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 1 Butir 14 ditegaskan : Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut. Rousseau berpendapat bahwa pendidikan yang ideal dan baik semestinya dilakukan sejak anak lahir sampai remaja dengan dikembalikan kepada alam atau pendekatan secara alamiah. Jika anak dapat bersatu dengan alam ia akan bahagia dan akan tumbuh rasa ingin tahunya. Anak sebaiknya dapat berkembang secara wajar tanpa hambatan. Orangtua harus memberi kebebasan kepada anak agar tumbuh dan berkembang sesuai dengan bakatnya. Pendidikan perlu mengikuti sifat bawaan anak, sehingga pengaruh yang diberikan kepada anak tidak bertentangan dengan kemauan dan bakat yang
29
berkembang. Pendidikan usia dini harus membantu perkembangan anak, sehingga kurikulum yang diatur sebaiknya berhubungan dengan pekerjaan, kesenian, keahlian, pembangunan melalui nyanyian, permainan, bahasa, dan matematika. Prinsip belajar melalui bermain dapat menimbulkan kreativitas, inilah prinsip yang perlu ditanamkan pada anak usia dini. Di samping itu, aktivitas yang diberikan mengarah kepada pembentukan disiplin pribadi, dan kemandirian. Oleh karena itu semua indera harus dilatih sehingga dapat menemukan hal-hal yang bersifat ilmu pengetahuan.
D. Konsep Kelompok Bermain 1.
Pengertian Kelompok Bermain Usia dini (0-5 thn) merupakan usia yang sangat menentukan, dalam
pembentukan karakter dan kepribadian seorang anak. Usia itu sebagai usia penting bagi pengembangan intelegensi permanen dirinya, mereka juga mampu menyerap informasi yang sangat tinggi. Informasi tentang potensi yang dimiliki anak usia itu, sudah banyak diketengahkan di media massa dan media elektronik lainnya. Bahkan sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk membuktikan, pada usia itu memiliki kemampuan intelegensi yang sangat tinggi. Menurut Raharjo ( 1995 ) Kelompok Bermain adalah salah satu bentuk usaha kesejahteraan
anak dengan
mengutamakan
kegiatan
bermain, yang juga
menyelenggarakan pendidikan prasekolah bagi anak- anak usia 3 tahun sampai memasuki pendidikan dasar. Pendidikan prasekolah sendiri adalah pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik di luar
30
lingkungan keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar yang diselenggarakan dijalur pendidikan luar sekolah. Sedangkan menurut Gustian (dalam Lestari 2002) pengertian Kelompok Bermain adalah institusi atau lembaga yang mengadakan program untuk mengembangkan potensi-potensi anak dan memberikan ketrampilan- ketrampilan, seperti ketrampilan untuk membantu diri sendiri dan ketrampilan yang bersifat sosial yang diberikan selama anak menjalani kegiatan bermain, Kelompok Bermain diperuntukkan bagi anak- anak yang berusia dua ( 2 ) atau tiga ( 3 ) tahun hingga empat ( 4 ) tahun. Kelompok Bermain merupakan salah satu dari sekian banyak satuan Pendidikan Luar Sekolah yang sedang dikembangkan, hal ini dikemukakan oleh BPKB DIKLUSEPORA JABAR (1999-2000: 06) sebagai berikut: Kelompok Bermain adalah salah satu bentuk usaha meningkatkan kesejahteraan warga belajar dengan mengutamakan kegiatan bermain yang juga menyelenggarakan pendidikan pra sekolah bagi warga belajar yang berusia 3 tahun sampai memasuki pendidikan dasar merupakan salah satu bentuk Pendidikan Luar Sekolah yang dilaksanakan melalui jalur Pendidikan Luar Sekolah.
Kelompok Bermain adalah salah satu bentuk layanan pendidikan bagi anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal yang menyelenggarakan program pendidikan dan layanan kesejahteraan khususnya usia 3 tahun sampai dengan memasuki pendidikan dasar. Kelompok Bermain dibagi dalam 3 tingkatan usia, yaitu: (a) Kelompok usia 3-4 tahun, (b) Kelompok usia 4-5 tahun, dan (c) Kelompok usia 5-6 tahun.
31
Kegiatan belajar pada Kelompok Bermain secara garis besar dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu: (a) Penanaman nilai-nilai dasar yang meliputi agama dan budi pekerti, (b) Pengembangan kemampuan berbahasa, motorik, emosi, sosial, dan daya cipta yang meliputi seluruh aspek perkembangan.
2.
Fungsi dan Tujuan Kelompok Bermain Program kegiatan belajar kelompok bermain berfungsi yaitu: (a) meningkatkan
kesejahteraan anak melalui kesehatan dan gizi, (b) mengembangkan seluruh potensi yang dimiliki anak sesuai dengan perkembangannya. Dan menurut Depdikbud (2002: 6) menegaskan bahwa Program kegiatan belajar kelompok bermain bertujuan untuk: a.
Meningkatkan keyakinan dalam beragama;
b.
Mengembangkan budi pekerti dalam kehidupan anak;
c.
Mengembangkan sosialisasi dan kepekaan emosional;
d.
Meningkatkan disiplin melalui kebiasaan hidup teratur;
e.
Mengembangkan komunikasi dalam kemampuan berbahasa;
f.
Meningkatkan pengetahuan atau pengalaman melalui kemampuan daya pikir;
g.
Mengembangkan koordinasi motorik halus dan kreatifitas dalam keterampilan dan seni;
h.
Meningkatkan kemampuan motorik kasar dalam rangka kesehatan jasmani. Sedangkan Menurut Raharjo (1995) tujuan dari kelompok bermain adalah
mengembangkan kemampuan dasar dan pembentukan perilaku melalui pembiasaan pada anak usia prasekolah kemampuan dasar ini meliputi daya cipta atau kreativitas,
32
kemampuan berbahasa atau berkomunikasi, daya pikir atau kecerdasan, ketrampilan ( motorik halus ) dan jasmani motorik kasar. Lebih lanjut dikatakan bahwa tujuan dari kelompok bermain dibagi menjadi dua, yakni tujuan khusus dan dan tujuan umum. Tujuan umum adalah untuk membantu meletakkan dasarnya kearah pengembangan sikap, pengetahuan, ketrampilan dan daya cipta yang diperlukan oleh anak didik dalam menyesuaikan diri dengan lingkunganya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan selanjutnya. Tujuan khusus antara lain, menambah perbendaharaan kata untuk berkomunikasi dan mampu mengungkapkan pendapat
pada
orang
lain.
Pengembangan
daya
pikir
atau
kecerdasan.
Pengembangan daya cipta atau kreativitas, mengekspresikan diri melalui daya ciptanya. Pengembangan perasaan atau emosi, disiplin, mengenal dirinya dan orang lain. Pengembangan kemandirian, melayani dirinya sendiri dalam kehidupan seharihari. Tujuan dari kegiatan penyelenggaraan Kelompok Bermain mencakup tiga sasaran: Pertama bagi anak, dengan harapan status kesehatan dan gizinya meningkat, tumbuh kembangnya meningkat, dan dapat memperoleh bekal pengetahuan, keterampilan dan sikap untuk memasuki pendidikan dasar. Kedua bagi orangtua, memberikan kesadaran akan pentingnya pendidikan, kesehatan, gizi bagi anak meningkat, pengetahuan, keterampilan dan sikap orangtua dalam mengasuh, merawat dan mendidik anak meningkat. Ketiga bagi pengelola, dengan harapan dapat memberikan pengetahuan kepada pengelola Kelompok Bermain dalam mengelola, merencanakan program pembelajaran, kemampuan dalam pelayanan gizi dan kesehatan, membuat administrasi Kelompok Bermain,
33
melakukan
pengawasan
kegiatan
dengan
baik
dan
tertib
serta
dapat
mengembangkan suatu program/rintisan program Kelompok Bermain.
3.
Faktor yang Mendukung Kelompok Bermain
a.
Karakteristik Tutor Pemahaman terhadap peserta didik, pengetahuan, kemampuan, keantusiasan dirinya, empati, kemampuan menentukan materi dan evaluasi belajar, kemampuan mengajar.
b.
Kemampuan tutor dalam melaksanakan tugas Dalam hal ini kemampuan tutor dalam melaksanakan tugas sangat menentukan keberhasilan dalam mendidik pada Kelompok Bermain. Tanggung jawab tutor sangat dituntut untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan pada Kelompok Bermain.
c.
Motivasi Orangtua Dorongan orangtua untuk menyerahkan anaknya pada Kelompok Bermain menjadi faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan anaknya maupun pendidikan untuk membantu anak-anak pada Kelompok Bermain dalam rangka pencapaian tujuan.
d.
Bantuan masyarakat dalam menyediakan fasilitas belajar masyarakat
34
Masyarakat dapat juga sebagai faktor pendukung Kelompok Bermain, dengan menyediakan fasilitas belajar bagi peserta didik yang berupa tanah, gedung, dan fasilitas lainnya.
E. Konsep Pendidikan Luar Sekolah 1.
Pengertian Pendidikan Luar Sekolah Dalam Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1991 Pasal 9, ayat 1 dan 3 serta
pasal 10 ayat 3 yang intinya adalah bahwa: a.
Penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar pada satuan pendidikan dapat dilaksanakan di luar sekolah.
b.
Lingkup pendidikan luar sekolah meliputi satuan pendidikan keluarga kelompok belajar, kursus, dan satuan pendidikan yang sejenisnya.
c.
Pendidikan luar sekolah tidak harus berjenjang dan berkesinambungan. Philip Coomb dalam Sutaryat (1992: 56) menyatakan bahwa: Pendidikan luar
sekolah adalah setiap kegiatan yang diorganisasikan di luar sistem persekolahan yang mapan, apakah dilakukan secara terpisah atau sebagai bagian penting dari kegiatan yang lebih luas, dilakukan secara sengaja untuk melayani anak didik tertentu dalam mencapai tujuan belajarnya.
35
Dari pendapat di atas, pendidikan luar sekolah memiliki kegiatan yang terorganisasi dan bertujuan untuk melayani anak didik atau warga belajar dalam mencapai tujuan belajarnya. Menurut Supardjo Adikusumo dalam Sutaryat (1992: 57), bahwa: Pendidikan luar sekolah adalah setiap kesempatan dimana terdapat komunikasi yang terarah dan teratur di luar sekolah, dan seseorang memperoleh informasi pengetahuan, latihan, ataupun bimbingan sesuai dengan usia dan kebutuhan hidupnya, dengan tujuan mengembangkan tingkat keterampilan, sikap-sikap, dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya bahkan masyarakat dan negaranya. Definisi tersebut mengindikasikan bahwa terdapat berbagai tingkat usia dengan berbagai macam kebutuhannya dalam pendidikan luar sekolah. Tujuannya untuk mengembangkan keterampilan, sikap, dan nilai-nilai, serta membantu individu untuk aktif dalam kegiatan kemasyarakatan. Selanjutnya, D. Sudjana (1992: 1) memberikan definisi pendidikan luar sekolah sebagai berikut: Pendidikan luar sekolah adalah setiap usaha pelayanan pendidikan yang dilakukan secara sengaja, teratur, dan berencana di luar sistem sekolah, berlangsung sepanjang umur, yang bertujuan untuk mengaktualisasikan potensi manusia sehingga terwujud manusia yang gemar belajar dan membelajarkan, maupun meningkatkan taraf hidup berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan pembangunan masyarakat. Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan oleh para ahli pendidikan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan luar sekolah mempunyai beberapa unsur, yaitu: proses, program, aktivitas, tujuan, dan sasaran. Pendidikan Luar Sekolah atau Pendidikan Nonformal merupakan konsep yang muncul dalam studi kependidikan. Kaplan (1964) mengemukakan bahwa “A concept is a construct” (konsep adalah sebuah bentuk).
36
Sehubungan dengan pengelompokan konsep, Kaplan membedakan tiga kelompok fenomena yang dapat dipelajari. Pertama ialah fenomena yang mudah diobservasi secara langsung (direct observation) seperti warna buah jeruk, tanda cek pada lembar jawaban kuesioner, dan daftar peserta didik kelompok belajar tertentu. Kedua ialah fenomena yang lebih kompleks dan hanya dapat diobservasi secara tidak langsung (indirect observation) seperti “tanda cek” yang terletak di sebelah kiri pernyataan “wanita”, dalam lembar jawaban kuesioner yang menyatakan “jenis kelamin”. Ketiga adalah konstruk yaitu suatu bentuk teoretis yang didasarkan atas hasil observasi yang diperoleh baik secara langsung maupun tidak langsung. Contohnya, Intelligence Quotion (IQ) dibentuk secara matematis atas dasar hasil observasi jawaban-jawaban yang diberikan terhadap sejumlah pertanyaan yang terdapat dalam tes IQ. Konsep Pendidikan Nonformal muncul atas dasar hasil observasi dan pengalaman langsung dan atau tidak langsung. Hasil observasi dan pengalaman ini kemudian dibentuk sehingga dapat diketahui persamaan dan perbedaan ciri-ciri antara pendidikan nonformal dengan pendidikan formal. 2.
Tujuan Pendidikan Luar Sekolah Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 73 tahun 1991 pasal 2, serta pernyataan
dari beberapa definisi pendidikan luar sekolah, maka dapat disarikan kesimpulan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah adalah: a.
Melayani.
b.
Membina.
c.
Memenuhi kebutuhan.
37
d.
Mengembangkan tingkat keterampilan, sikap-sikap, dan nilai-nilai yang memungkinkan baginya menjadi peserta yang efisien dan efektif dalam lingkungan keluarganya bahkan masyarakat dan negaranya.
e.
Mengaktualisasikan potensi manusia sehingga terwujud manusia yang gemar belajar dan membelajarkan, maupun meningkatkan taraf hidup berpartisipasi dalam kegiatan sosial dan pembangunan masyarakat.
Prof. Santoso S. Hamijoyo menyatakan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah adalah supaya individu dalam hubungannnya dengan lingkungan sosial dan alamnya dapat secara bebas dan bertanggung jawab menjadi pendorong kearah kemajuan,gemar berpartisipasi memperbaiki kehidupan mereka (Santoso,1983). Memperbaiki kehidupan atau taraf hidup adalah tujuan yang ingin dicapai. Artinya apapun yang dipelajari oleh orang-orang tersebut hendaknya mampu membantu mereka guna memperbaiki kwalitas hidupnya secara nyata sekarang dan tidak dijanjikan dalam waktu lama atau
yang akan datang. Kebebasan yang disertai
tanggung jawab berarti para peserta didik bebas mau belajar apa saja asalkan bermanfaat kepada masyarakat dan tidak sebaliknya belajar sesuatu yang membahayakan masyarakat. Demikian pula apa yang dipelajari bukan hal-hal yang bertentangan dengan norma masyarakat dan nilai kemanusiaan. Perubahan yang dilakukan bukan sekedar perubahan melainkan harus tetuju pada kemajuan bukan sebaliknya. 3.
Fungsi Pendidikan Luar Sekolah Terdapat tiga fungsi pendidikan luar sekolah, yaitu:
38
a.
Sebagai Pelengkap (Complementary Education) Berfungsi untuk melengkapi kemampuan peserta didik dengan jalan memberikan belajar yang tidak diperoleh dalam kurikulum pendidikan luar sekolah. Tipe pendidikan ini adalah untuk menyempurnakan atau melengkapi pendidikan sekolah. Sasaran anak didiknya adalah murid-murid yang mengikuti jenjang pendidikan sekolah. Pengorganisasian program didasarkan atas kebutuhan peserta dan kebutuhan masyarakat. Pengelola program adalah pihak sekolah yang bekerjasama dengan masyarakat.
b.
Sebagai Penambah (Suplementary Education) Berfungsi untuk menyediakan kesempatan bagi siswa suatu jenjang pendidikan
sekolah
yang
membutuhkan
kesempatan
belajar
guna
memperdalam pemahaman dan penguasaan materi pelajaran, mereka telah menamatkan jenjang pendidikan sekolah tetapi masih memerlukan pelayanan pendidikan yang dapat memperluas materi pelajaran yang telah diperoleh, atau bagi mereka yang putus sekolah dan mempunyai kebutuhan belajar untuk memperoleh pengetahuan baru dan keterampilan yang berkaitan dengan dunia kerja. Isi pelajaran biasanya dihubungkan dengan situasi praktis dan melibatkan pelajar dalam mengembangkan keterampilan secara langsung akan diaplikasikan dalam situasi kehidupan mereka. c.
Sebagai Pengganti (Substitution Education) Program-program yang dilaksanakan adalah untuk melayani anak atau orang dewasa yang karena berbagai hal tidak memasuki pendidikan sekolah. Isi program biasanya cenderung terpusat pada keterampilan membaca, menulis,
39
dan berhitung, serta pengetahuan umum yang praktis dan sederhana. Keuntungan program PLS sebagai pengganti ini adalah programnya bisa menjangkau masyarakat yang lebih luas, penyelenggaraannya singkat, dan biaya pendidikan relatif lebih murah.
4.
Komponen Pendidikan Luar Sekolah Komponen-komponen Pendidikan Luar Sekolah menurut Djuju Sudjana (2004 :
34) terdiri dari : Masukan Sarana (Instrumental Input), Masukan Mentah (Raw Input), Masukan Lingkungan (Environmental Input), Proses (Process), Keluaran (Output), Masukan Lain (Other Input), dan Pengaruh (Impact). Hubungan fungsional ini lebih lengkapnya dapat dilihat pada gambar berikut ini:
MASUKAN LINGKUNGAN
MASUKAN SARANA
MASUKAN LAIN
PROSES
KELUARAN
MASUKAN MENTAH
PENGARUH
MASUKAN LINGKUNGAN Gambar 2.1
40
Hubungan Fungsional antara Komponen, Proses dan Tujuan Pendidikan Nonformal Sumber : Djuju Sudjana (2004:34)
Masukan lingkungan (environmental input) terdiri atas unsur-unsur lingkungan yang menunjang atau mendorong berjalannya program pendidikan nonformal. Unsur-unsur ini meliputi lingkungan keluarga, lingkungan sosial seperti teman bergaul atau teman bekerja, kelompok sosial, komunitas, dan sebagainya, serta lingkungan alam mencakup sumber daya hayati (biotik), sumber daya non hayati (abiotik), dan sumber daya buatan. Masukan sarana (instrumental input) meliputi keseluruhan sumber dan fasilitas yang memungkinkan bagi seseorang atau kelompok dapat melakukan kegiatan pembelajaran. Kedalam masukan ini termasuk, kurikulum (tujuan belajar, bahan/materi, metode dan teknik, media, dan evaluasi hasil belajar), pendidik (tutor, pelatih, widyaswara, fasilitator, pamong belajar), tenaga kependidikan lainnya (pengelola program, teknisi sumber belajar), perpustakaan fasilitas dan alat, biaya, dan pengelolaan program. Masukan mentah (raw input) yaitu peserta didik (warga belajar) dengan berbagai ciri yang dimilikinya, yaitu karakteristik internal dan eksternalnya. Karakteristik internal meliputi atribut fisik, psikis, dan fungsional. Sedangkan karakteristik eksternal berkaitan dengan lingkungan kehidupan peserta didik seperti keadaan keluarga dalam segi ekonomi, pendidikan, status sosial, teman bergaul dan bekerja, biaya dan sarana belajar, serta cara dan kebiasaan belajar yang terjadi dalam masyarakat.
41
Proses (process) menyangkut interaksi edukasi antara masukan sarana, terutama pendidik, dengan masukan mentah, yaitu peserta didik (warga belajar). Proses ini terdiri atas kegiatan pembelajaran, bimbingan penyuluhan dan atau pelatihan, serta evaluasi. Proses pembelajaran menggunakan pendekatan bervariasi, di antaranya ialah pendekatan kontinum dari pedagogi ke andragogi, atau sebaliknya. Keluaran (output) merupakan tujuan antara pendidikan nonformal. Keluaran mencakup kuantitas lulusan disertai kualitas perubahan perilaku yang didapat melalui kegiatan pembelajaran. Perubahan perilaku ini mencakup ranah kognitif, afektif, dan psikomotor yang sesuai dengan kebutuhan belajar yang mereka perlukan. Kinsey (1977) mengemukakan bahwa perubahan perilaku ini mencakup pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), keterampilan (skills), dan aspirasi (aspiration). Masukan lain (other input) adalah daya dukung lain yang memungkinkan para peserta didik dan lulusan pendidikan nonformal dapat menggunakan perubahan perilaku yang telah dimilikinya untuk kemajuan kehidupannya. Masukan lain ini meliputi dana atau modal, bahan baku, proses produksi, lapangan kerja/usaha, jaringan informasi, alat dan fasilitas, bimbingan pemasaran, pekerjaan, koperasi, paguyuban peserta didik (warga belajar), latihan lanjutan, bantuan eksternal, potensi lingkungan alam dan lain sebagainya. Pengaruh (outcome) merupakan tujuan akhir kegiatan pendidikan nonformal. Pengaruh ini meliputi: (a) perubahan kesejahteraan hidup lulusan yang ditandai dengan perolehan pekerjaan atau berwirausaha, perolehan atau peningkatan pendapatan, kesehatan, dan pendidikan dan penampilan diri; (b) membelajarkan
42
orang lain terhadap hasil belajar yang telah dimiliki dan dirasakan manfaatnya oleh lulusan; dan (c) peningkatan partisipasinya dalam kegiatan sosial dan atau pembangunan masyarakat, dalam wujud partisipasi buah fikiran, tenaga, harta benda, dan dana.