BAB II KAJIAN TEORETIS
A. Kajian Teoretis 2.1 Pengertian, Tujuan dan Proses Motivasi Motivasi merupakan salah satu faktor yang juga memiliki peranan yang sangat penting dalam peningkatan produktivitas dan kinerja pegawai. Hal ini didasarkan pada asumsi : pertama individu mempunyai kesadaran yang bervariasi, tujuan yang kompleks serta perasaan bersaing, kedua sebagian besar perilaku individu dilakukan dengan sadar dan mengarah pada tujuan dan ketiga individu memberikan reaksi, penilaian serta perasaan terhadap hasil perilakunya (Lawer 1994:3). Robins (2006:214) mendefenisikan motivasi sebagai proses yang berperan pada intensitas, arah, dan lamanya berlangsung upaya individu kearah pencapaian sasaran. Intensitas terkait dengan seberapa keras seseorang berusaha. Akan tetapi, intensitas yang tinggi kemudian tidak akan menghasilkan kinerja yang diinginkan jika upaya itu tidak disalurkan kearah yang menguntungkan organisasi. Pada akhirnya, motivasi memiliki dimensi berlangsung lama. Ini adalah tentang ukuran tentang berapa lama seseorang dapat mempertahankan usahanya. Individu-individu yang termotivasi tetap bertahan dengan pekerjaan dalam waktu cukup lama untuk mencapai sasaran mereka. Sementara itu Schermerhorn et al (2005:120) mendefinisikan motivasi sebagai: ”Motivation refers to forces within an individual that account for the level, direction, and persistence of effort expended at work”
Motivasi mengacu pada kekuatan yang ada dalam individu yang meliputi tingkatan, arah dan ketekunan usaha dalam melakukan pekerjaannya. Mangkunegara (2005:18), mendefinisikan motivasi adalah kondisi (energi) yang menggerakan dalam diri individu yang terarah untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam setiap individu (pegawai) memiliki motivasi dan pada umumnya dalam diri seorang pekerja ada dua hal yang penting dan dapat memberikan motivasi atau dorongan yaitu masalah kompensasi (Compensation) dan harapan (Expectancy).Kompensasi sebagai imbalan jasa dari pimpinan kepada bawahan yang telah memberikan kontribusinya selalu menjadikan sebagai ukuran puas dan tidak-puasnya seseorang dalam menjalankan tugas atau pekerjaannya. Demikian pula pemberian kompensasi dapat berdampak negatif apabila dalam pelaksanaannya tidak adil dan tidak layak yang pada akhirnya menimbulkan ketidak-puasan. Mengenai ekspektasi, dalam expectancy theory dinyatakan bahwa orang termotivasi bereaksi dalam kehidupannya,
berkeinginan
menghasilkan
kombinasi
dari
hasil-hasil
yang
diharapkan.Sehubungan dengan hal tersebut maka nampak jelas bahwa ekspektansi dapat mendorong seseorang untuk memenuhi kebutuhannya, hal ini wajar karena manusia selalu mempunyai kebutuhan yang berbeda-beda menurut status sosialnya di masyarakat, sehingga unsur pembentuk ekspektasipun berbeda-beda. Menurut Siagian (2002:102), motivasi merupakan daya dorong bagi bagi seseorang untuk memberikan kontribusi yang sebesar mungkin demi keberhasilan organisasi mencapai tujuannya. Dengan tujuan bahwa tercapainya tujuan organisasi berarti tercapai pula tujuan pribadi anggota organisasi yang bersangkutan. Menurut Kreitner dan Kinicki (2005 : 248) . Motivasi adalah proses-proses psikologis meminta mengarahkan, arahan, dan menetapkan tindakan sukarela yang mengarah pada tujuan.
Greenberg dan Baron (2003 : 190)Motivation is the set of processes that arouse, direct and maintain human behavior toward attaining goal.(Motivasi merupakan suatu proses membangun, mengarahkan dan mempertahankan perilaku manusia dalam pencapaian tujuan) Dari pengertian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi merupakan sesuatu yang berasal dari dalam diri seseorang dalam melakukan pekerjaan yang didorong oleh reaksi yang diberikan oleh organisasi berupa kompensasi baik secara langsung maupun maupun tidak langsung untuk mencapai tujuan organisasi dan tujuan pribadi. Motivasi kerja mengandung arti dorongan kerja yaitu kadar upaya yang diarahkan seseorang untuk mencapai tujuan pekerjaan. Motivasi memiliki tujuan sebagai berikut: 1. Meningkatkan moral dan kepuasan kerja 2. Meningkatkan produktivitas pegawai 3. Mempertahankan kestabilan pegawai 4. Meningkatkan kedisplinan pegawai 5. Mengefektifkan pengadaan pegawai 6. Meningkatkan suasana dan hubungan kerja yang baik 7. Meningkatkan loyalitas, kreativitas, dan partisipasi pegawai 8. Meningkatkan tingkat kesejahteraan pegawai 9. Mempertinggi rasa tanggung jawab pegawai terhadap tugas-tugasnya 10. Meningkatkan efesiansi penggunaan alat-alat dan bahan baku 2.2 Teori-Teori Motivasi Berbicara mengenai motivasi tentunya tidak terlepas dari teori-teori yang melandasi motivasi itu sendiri. Terdapat beberapa teori motivasi, yang pada dasarnya dikelompokkan menjadi beberapa kelompok yaitu:
2.2.1 Teori Kepuasan. Pada dasarnya teori kepuasan memusatkan perhatian pada faktor-faktor individu yang mendorong, mengarahkan, mempertahankan, dan menghentikan perilaku. Mereka mencoba menentukan kebutuhan-kebutuhan spesifik yang memotivasi orang. Teori ini memusatkan diri pada kebutuhan individu didalam menjelaskan kepuasan kerja, perilaku kerja dan sistem imbalan. Selanjutnya teori ini menjelaskan bahwa efesiensi kebutuhan di dalam diri individu memicu semua respon perilaku bagi para pemimpin maupun manajer, agar menjadi efektif. Teori ini, disarankan kepada mereka agar: 1. Menentukan kebutuhan apa yang memicu prestasi yang diinginkan, perilaku kelompok dan pribadi. 2. Mampu menawarkan imbalan yang berarti yang membuat pekerja memuaskan kebutuhannya. 3. Mengetahui kapan untuk menawarkan imbalan yang layak untuk mengoptimumkan perilaku kerja. 4. Tidak menganggap defesiensi kebutuhan seseorang akan berulang sendiri dengan pola yang teratur. Orang berubah karena pengalaman, kejadian dalam kehidupan, umur, budaya, dan perubahan lingkungan serta faktor-faktor lain. Beberapa tokoh yang terkenal dengan teori ini adalah: (1)Teori Hirarki Kebutuhan dari Abraham Maslow, (2) Teori ERG Alderfer, (3) Teori Dua Faktor Herzberg dan (4) Teori Kebutuhan McClelland, (5) Teori X dan Teori Y dari Douglas McGregor. 2.2.2 Teori Proses Lebih menekankan pada usaha untuk lebih memberikan jawaban atas pertanyaan bagaimana bawahan bisa dimotivasi dan dengan tujuan apa bawahan bisa dimotivasi. Atau
dengan kata lain teori proses ini menerangkan dan menganalisis bagaimana perilaku didorong, diarahkan, dipertahankan dan dihentikan. Beberapa tokoh terkenal yang mengemukakan teori ini adalah (1)Vroom dengan teori pengharapan pilihan (2) Skiner dengan teori penguatan yang memperhatikan proses belajar yang terjadi sebagai konsekuensi perilaku (3) Adams dengan teori keadilan berdasarkan perbandingan yang dibuat individu (4) Locke dengan teori penetapan tujuan yang menganggap tujuan dan keinginan disadari merupakan faktor penentu perilaku. 2.2.3 Teori Hirarki Kebutuhan Mungkin bisa dikatakan bahwa teori motivasi yang paling terkenal adalah hirarki kebutuhan yang diungkapkan Abraham Maslow (dalam Husain, 2011;58) yakni; 1) physiologikcal – includes hunger, thirst, shelter, sex, and other bodily needs. 2) Safety-includes security and protection from physical and emotional harm. 3) Soxial-includes offection, a sence of belonging, acceptance, and friendship. 4)Esteem-includes internal factors such as self-respect, autonomy, and achievement; and external such as status, recognition, and attention. 5) Selfactualization- the drive to become what one is capable of becoming; includes growth, achieving on’s potential, and self-fulfillment. Yang dapat diartikan sebagai berikut: 1. Psikologis, antara lain: rasa lapar, haus, perlindungan (pakaian dan perumahan), seks dan kebutuhan jasmani lainnya 2. Keamanan, antara lain keselamatan dan perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional. 3. Sosial, mencakup kasih sayang, rasa memiliki, diterima baik dan persahabatan. 4. Penghargaan, mencakup faktor penghormatan diri seperti harga diri, otonomi, dan prestasi, serta faktor penghormatan dari luar seperti misalnya status, pengakuan dan perhatian.
5. Aktualisasi diri, dorongan untuk menjadi seseorang atau sesuatu sesuai ambisinya yang mencakup pertumbuhan, pencapai potensi dan pemenuhan kebutuhan diri. Begitu masing-masing kebutuhan ini terpenuhi secara substansial, maka kebutuhan berikutnya menjadi dominan. Dari titik pandang motivasi, teori ini mengatakan bahwa maskipun tidak ada kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi sepenuhnya, namun kebutuhan tertentu yang telah terpuaskan secara subtansial tidak lagi menjadi pendorong motivasi, sehingga dalam memberikan motivasi perlu memahami seseorang berada pada posisi yang mana. Teori ini memisahkan kelima kebutuhan tersebut sebagai tingkat tinggi dan tingkat rendah. Kebutuhan psikologis dan kebutuhan akan keamanan digambarkan sebagai kebutuhan tingkat rendah sementara kebutuhan sosial, kebutuhan akan penghargaan, dan aktualisasi diri didudukkan kedalam tingkat tinggi. Perbedaan antara keduanya tingkatan itu berdasarkan bahwa kebutuhan tingkat tinggi dipenuhi secara internal (dalam diri orang itu), sedangkan kebutuhan tingkat rendah terutama dipenuhi secara eksternal (misalnya dengan upah, kontrak serikat pekerja, dan masa kerja). 2.2.4 Teori X dan Teori Y Douglas McGregor dua pandangan yang jelas berbeda mengenai manusia. Pada dasarnya yang satu negatif, yang ditandai dengan teori X dan yang lain positif yang ditandai dengan teori Y. Menurut teori X, empat asumsi yang dipegang para manajer adalah sebagai berikut: 1. Pegawai secara inheren tidak menyukai kerja dan bila dimungkinkan akan mencoba menghindarinya. 2. Pegawai tidak menyukai kerja , mereka harus dipaksa, diawasi, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai sasaran.
3. Pegawai akan menghindari tanggungjawab dan mencari penghargaan formal bila mungkin. 4. Kebanyakan Pegawai menempatkan keamanan diatas semua faktor lain yang terkait dengan kerja dan akan menunjukan ambisi yang rendah. Kontras dengan pandangan negatif mengenai kodrat manusia ini McGregor mencatat empat asumsi positif yang disebut teori Y: 1. Pegawai dapat memandang kerja sebagai kegiatan alami yang sama dengan istirahat atau bermain. 2. Orang-orang akan melakukan penghargaan diri dan pengawasan diri jika mereka memiliki komitmen pada sasaran. 3. Rata-rata orang dapat belajar untuk menerima, bahkan mengusahakan tanggungjawab. 4. Kemampuan untuk mengambil inovatif menyebar luas kesemua orang dan tidak hanya milik mereka yang berada dalam posisi manajemen. 2.2.5 Teori Dua Faktor Teori dua faktor dikembangkan oleh Fredick Herzberg. Penelitian yang dilakukan dalam pengembangan teori ini dikaitkan dengan pandangan para pegawai tentang pekerjaannya. Hasil penemuan menunjukan bahwa jika para pegawai berpandangan positif terhadap tugas pekerjaannya, tingkat kepuasan biasanya tinggi. Sebaliknya, jika pegawai memandang tugas pekerjaannya secara negatif, dalam diri mereka tidak ada kepuasan. Herzberg berpendapat bahwa apabila para pimpinan ingin memberikan motivasi kepada para bawahannya, yang perlu ditekankan adalah faktor-faktor yang menimbulkan rasa puas yaitu dengan mengutamakan faktor motivasional yang sifat intrisik, (Siagian 1995:165).
Menurut teori ini faktor-faktor yang mendorong (motivator) dan faktor-faktor higienis tampak pada Tabel 2.2.5. Tabel 2.2.5 Teori Dua Faktor Herzberg Faktor-Faktor Higienis 1. Kebijakan dan administrasi perusahaan 2. Pengawasan teknis 3. Gaji 4. Hubungan antar pribadi , penyila 5. Kondisi kerja
Motivator 1. 2. 3. 4. 5.
Prestasi Pengakuan,penghargaan Pekerjaan itu sendiri Tanggung jawab Promosi
Sumber: Herzberg dalam Sukanto dan Hani Handoko (1992:271)
Untuk memahami teori Herzberg, menurut Sondang P. Siagian (2000:107) pegawai dibagi menjadi dua golongan besar, mereka yang termotivasi oleh faktor-faktor intrinsik, yaitu pendorong yang datang dari luar diri seseorang terutama organisasi tempat berkarya. 2.2.6 Teori ERG ERG merupakan singkatan dari Existence,Relatedness, dan Growth. Teori ini diperkenalkan oleh Clayton Alderfer. Pada dasarnya Alderfer setuju dengan Maslow bahwa kebutuhan manusia atau individu yang mendorong seseorang untuk termotivasi dalam melakukan bersifat hierarkis atau memiliki tingkatan. Namun Alderfer memiliki setidaknya dua perbedaan dibandingkan dengan Maslow. Perbedaan pertama adalah bahwa Alderfer hanya membagi tingkatan kebutuhan manusia menjadi kebutuhan Existence atau kebutuhan mendasar manusia untuk bertahan hidup (seperti kebutuhan fisik dan keamanan dari Maslow), kebutuhan Relatedness atau kebutuhan untuk melakukan berinteraksi dengan sesama, dan kebutuhan Growth, atau kebutuhan untuk menyalurkan kreativitas dan bersikap produktif. Perbedaan kedua adalah bahwa Aldefer cenderung berpandangan bahwa kebutuhan seseorang, sekalipun bersifat hirarkis, akan tetapi tidak bersifat tetap.
Penjelasan dari teori ini memberikan suatu masukan atau saran kepada para pimpinan maupun manajer tentang perilaku (Gibson 1996:195), yaitu jika kebutuhan tingkat yang lebih tinggi dari seorang bawahan dihalangi, mungkin karena kebijakan organisasi atau alasan lain, maka seharusnya menjadi perhatian manajer maupun pimpinan, dalam memenuhi kebutuhan keterkaitan dan eksistensi. 2.2.7 Teori Berprestasi dari McClelland Menurut teori ini dikatakan bahwa prestasi, kekuasaan, dan kelompok pertemanan merupakan
tiga
kebutuhan
penting
yang
membantu
memahami
motivasi
(Robbins
2006:222).Teori kebutuhan McClelland dikemukakan oleh David McClelland dan para koleganya. Teori ini berfokus pada tiga kebutuhan yakni prestasi, kekuasaan dan kelompok pertemanan. Kebutuhan ini didefinisikan sebagai berikut: 1. Kebutuhan akan pretasi: dorongan untuk unggul, untuk berprestasi berdasarkan seperangkat standar, untuk bekerja keras supaya sukses. 2. Kebutuhan akan kekuasaan: kebutuhan untuk membuat orang lain berperilaku dalam suatu cara yang sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan berperilaku sebaliknya. 3. Kebutuhan akan kelompok pertemanan: hasrat untuk hubungan antar pribadi yang ramah dan akrab. Teori McClelland ini sangat penting dalam mempelajari motivasi, karena motivasi pretasi dapat diajarkan untuk mencapai sukses kelompok atau organisasi. Selanjutnya McClelland mengemukakan teori motif sebagai berikut: 1. The survival motive model (teori yang mendasarkan diri pada dorongan untuk mempertahankan kebutuhan hidup). Teori ini mengatakan bahwa motif ini bersumber dari
kebutuhan-kebutuhan
atau
dorongan
individu
sebagai
makhluk,
untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya. Kebutuhan biologis seperti ini mendorong individu berbuat aktif untuk memenuhinya. 2. The stimulus intensif model (teori motif yang mendasarkan diri pada tingkat rangsangan yang dihadapi individu). Teori ini mengatakan bahwa motif atau dorongan untuk berbuat timbul karena adanya rangsangan yang kuat. Rangsangan tersebut menimbulkan dorongan berbuat jika ada intensitas yang cukup kuat. Agar timbul dorongan tersebut harus ada rangsangan yang kuat. 3. The stimulus pattnern (teori yang mendasarkan diri pada pola rangsangan di dalam suatu situasi). Teori ini mengatakan bahwa motif timbul apabila rangsangan situasi selaras harapan dan penilaian organisais, atau rangsangan situasi tersebut menimbulkan pertentangan respon yang mengarah pada kekecewaan. 4. The affective arrousal model (teori yang mendasarkan diri pada pembangkitan afeksi). David McClelland mengartikan motif sebagai berikut, A motive is the reintegration by cue of a change in an affective situation. Menurut teori ini yang menjadi dasar timbulnya motif adalah perubahan situasi afeksi karena rangsangan situasi tersebut. Afeksi merupakan dasar motif karena (1) afeksi ternyata penting dalam mengendalikan tingkahlaku, sekurang-kurangnya dalam taraf akal sehat dan (2) afeksi lebih daripada kebutuhan-kebutuhan jaringan tubuh yang digunakan hewan tingkat rendah dalam rangka “kepekaan memilih” yang mengarahkan tingkah lakunya. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh McClelland ini, terdapat berbagai usulan dari McClelland yang dapat digunakan oleh manajer ataupun pimpinan untuk:
1. Mengatur tugas sedemikian rupa sehingga bawahan menerima umpan balik mengenai prestasi mereka secara periodik, memberikan informasi yang memungkinkan mereka membuat modifikasi sebagai koreksi. 2. Menunjukan kepada bawahan model-model pencapaian prestasi. Identifikasi dan umumkan siapa orang-orang yang berprestasi, orang yang sukses dan gunakan mereka sebagai contoh 3. Bekerja dengan bawahan untuk memperbaiki gambaran diri mereka sendiri. Orang yang memiliki kebutuhan prestasi yang tinggi menyukai diri mereka dan mencari tantangan serta tanggungjawab yang moderat. 4. Perkenalkan realisme ke dalam semua topik yang berhubungan dengan kerja, promosi, imbalan, transfer, kesempatan pengembangan, dan kesempatan keanggotaan regu. Para bawahan harus berpikir dalam kerangka yang realistis dan berpikir secara positif mengenai bagaimana mereka dapat mencapai tujuan. 2.2.8 Teori Pengharapan Teori pengharapan telah dikembangkan sejak tahun 1930-an oleh Kurt Levin dan Edwar Tolman (Gitosudarmo dan Sudita 2000:42). Kemudian secara sistematis dikembangkan oleh Victor Vroom dalam bukunya work and motivation. Teori pengharapan disebut juga teori valensi, teori instrumentalis.ide dasar dari teori pengharapan adalah motivasi ditentukan oleh hasil yang diharapkan diperoleh dari seseorang sebagai akibat dari tindakan. Variabel-variabel kunci dalam teori pengharapan adalah: Usaha (effort). Usaha atau dorongan seseorang untuk bertindak tergantung pada pengharapan yaitu persepsi hubungan antara usaha dan prestasi, instrumentalitas yaitu hubungan antara prestasi dengan hasil dan valensi yaitu nilai dari hasil.
Hasil (outcome) merupakan tujuan akhir dari suatu perilaku
tertentu. hasil dibedakan menjadi hasil tingkat pertama dan hasil tingkat kedua. Hasil tingkat pertama (first-level outcome) adalah hasil dari usaha seseorang dalam melakukan pekerjaan, seperti kualitas produksi yang dihasilkan, kualitas produksi, dan produktivitas secara umum. Hasil tingkat kedua (secound-level outcome) adalah konsekuensi dari hasil tingkat pertama atu merupakan tujuan akhir dari prestasi. Hasil tingkat kedua meliputi upah, promosi penghargaan, dan imbalan yang lain. Pengharapan (expectancy) adalah suatu keyakinan atau kemungkinan bahwa suatu usaha atau tindakan tertentu akan menghasilkan suatu tingkat prestasi tertentu. Instrumentalis (instrumentality) berkaitan dengan hubungan antara hasil tingakat pertama dengan hasil tingkat kedua, atau berkaitan dengan hubungan antara prestasi dengan imbalan atas pencapaian prestasi tersebut. Valensi (Valance), berkaitan dengan kadar kekuatan keinginan seseorang terhadap hasil tertentu. 2.2.9 Teori Keadilan Teori ini dikembangkan oleh Stacy Adam. Ada pun komponen dari teori ini adalah input, outcome, comparison person, equity-in-equity. Wexley dan Yulk 1977 dalam Mangkunegara (2005:72) mengemukakan bahwa “ input is anything of value that an employee perceives that he contributes to his job. Outcome is anything of value that the employee perceives he obtains from the job. Comparison person may be some one in the same organization, someone in a different organization, or even the person himself in the previous job.” Menurut teori ini, puas atau tidak puasnya pegawai merupakan hasil dari membandingkan input-outcome pegawai (comparison person). Jadi, jika perbandingan tersebut dirasakan seimbang (equity) maka pegawai tersebut akanmeras puas. Tetapi, apabila terjadi tidak seimbang (inequity) dapat menyebabkan dua kemungkinan, yaitu over compensation inequity (ketidak-
seimbangan yang menguntungkan dirinya) dan sebaliknya under compensation (ketidakseimbangan yang menguntungkan pegawai lain yang menjadi pembanding atau comparison person). Stacy Adam (1973) dalam Sukanto dan Hani Handoko (1992:279), mengemukakan bahwa: “ketidak-adilan menimpa seseorang kapan saja dia menerima hasilnya terhadap masukan dan rasio hasil orang lain dengan masukan-masukan orang lain adalah tidak sama.” Teori keadilan menyarankan sejumlah cara yang dapat digunakan untuk memulihkan perasaan atau rasa keadilan. Beberapa contoh pemulihan keadilan menurut Gibson et al (1992) adalah sebagai berikut: 1. Perubahan masukan; bawahan dapat menentukan bahwa ia akan menggunakan lebih sedikit waktu atau usaha untuk bekerja. 2. Perubahan keluaran. bawahan dapat menentukan untuk memproduksi unit lebih banyak karena penetapan rencana upah. 3. Perubahan sikap. 4. Mengganti orang yang menjadi pembanding. 5. Mengubah masukan atau keluaran dari orang yang dijadikan pembanding. 6. Mengubah situasi. Keluaran dari pekerjaan tersebut akan mengubah perasaan tidak adil. Juga ada kemungkinan beralih tugas untuk keluar dari situasi yang tidak adil tersebut. Masing-masing metode tersebut dirancang untuk mengurangi atau mengubah perasaan yang tidak menyenangkan dan ketegangan yang ditimbulkan ketidak adilan. Teori keadilan menganjurkan bilaman terjadi ketidak-adilan, seseorang akan dimotivasi untuk satu atau lebih dari keenam langkah tersebut. 2.2.10 Teori Penetapan Tujuan
Pada akhir 1960-an Edwin Locke mengemukakan bahwa niat-niat bekerja untuk mencapai tujuan merupakan sumber utama dari motivasi kerja (Robbins 2006:227). Artinya, tujuan memberitahu karyawan apa yang perlu dilakukan dan berapa banyak upaya yang akan harus dilakukan. Untuk itu dalam penetapan tujuan para bawahan perlu dilibatkan agar dapat menumbuhkan motivasi kerja dan pencapaian kerja maksimal. Dengan demikian menurut Mangkunegara (2005:73) penetapan tujuan merupakan strategi pemotivasian yang krusial dalam upaya pegawai bekerja produktif dan sekaligus memotivasi mereka untuk mencapai tujuan organisasi perusahaan. Dari berbagai penjelasan teori di atas, baik teori kepuasan maupun teori proses dapat dibuat suatu penjelasan bahwa motivasi merupakan suatu proses psikologi yang terjadi pada diri seseorang, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik bersifat intrisik berupa ciri-ciri individu seseorang dengan segala unsurnya maupuan ekstrinsik berupa lingkungan kerja dan sebagainya. Dalam diri setiap individu memiliki kemampuan, ketrampilan, sikap, kebiasaan serta sistem nilai yang dianut dimana individu bekerja. Hal ini akan menimbulkan berbagai persepsi, harapan dan cita-cita terhadap kerja. Untuk itu organisasi dalam peningkatan motivasi individu perlu memperhatikan faktor-faktor tesebut, agar tercipta kesamaan tujuan dan persepsi antara pegawai dan organisasi dalam pencapaian tujuan organisasi yang lebih optimal. Berdasarkan penjelasan ini, penulis menggunakan teori motivasi yang berkaitan dengan prestasi kerja. 2.3. Pengertian Kinerja Perkembangan dan kelangsungan sebuah organisasi tergantung pada kinerja dari organisasi itu sendiri, bila kinerjanya baik maka organisasi tersebut mampu bertahan dan eksis dalam dunia bisnis dan persaingan dari pesaing yang lain terutama dalam era globalisasi dan perubahan lingkungan (environmental turbulence) yang tidak menentu. Peningkatan kinerja yang
optimal tergantung pada kemampuan perusahaan dalam memberdayakan anggota dalam organisasi tersebut, diantaranya dengan menciptakan budaya organisasi yang kondusif dan memotivasi anggota organisasi yang dapat mendukung peningkatan kinerja organisasi. Para ahli manajemen Sumber Daya Manusia dan perilaku organisasi menjelaskan konsep kinerja (performance) dengan menggunakan ungkapan bahasa dari sudut pandang yang berbedabeda, tetapi pada dasarnya kinerja berkaitan dengan hasil kerja dalam menyelesaikan pekerjaannya atau hasil (outcome) yang dihasilkan dari fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu dalam satu periode tertentu pula. Kinerja menurut Waldman 1994 dalam Koemono (2005:170) merupakan gabungan perilaku dengan prestasi dari apa yang diharapkan dan dipilihnya atau bagian syarat-syarat tugas yang ada pada masing individu pada organisasi. Randal S.S dan Susan E.J (1997:3) mengemukakan kinerja adalah suatu sistem formal dan terstruktur yang mengukur, menilai dan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan pekerjaan, perilaku dan hasil termasuk tingkat kehadiran. Kinerja merupakan tolok ukur dari sebuah keberhasilan seperti yang diungkapkan oleh Milkovich dan Boudreau (1997:99) yaitu:” Performance reflects the organizational success”, lebih lanjut diungkapkan bahwa: “Employee performance is the degree to which employees a complish work requirement” yaitu bahwa kinerja dapat merefleksikan kesuksesan organisasi sedangkan prestasi pegawai/bawahan adalah tingkat dimana mereka dapat menyelesaikan pekerjaan yang telah ditetapkan. Menurut Bernandin dan Russell (1998:239) mengatakan kinerja sebagai ”Performance is the record of outcome produced on a specified job function or activity during a specified time
period”, dimana menurut pengertian tersebut mengungkapkan bahwa kinerja sebagai hasil yang bersifat output yang dihasilkan selama periode tertentu. Berdasarkan pendapat yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan kinerja merupakan hasil yang dicapai oleh bawahan. Kinerja (performance)juga dapat dijabarkan sebagai prestasi kerja, pencapaian kerja atau penampilan kerja yang dihasilkan oleh bawahan atau kelompok kerja dari suatu organisasi yang dapat diukur secara kualitas dan kuantitas untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan dengan adanya kemampuan dan kapasitas, kemauan bekerja dan kesempatan yang tersedia baik yang direbut berdasarkan kompetisi antar pegawai/karyawan maupun yang diberikan oleh pihak manajemen. Sedangkan Mathis dan Jackson (2002:78) menyatakan bahwa kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukanpegawai/karyawan. Kinerja pegawai/karyawan adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi yang antara lain termasuk: 1). Kuantitas output 2). Kualitas output 3). Jangka waktu output 4). Kehadiran di tempat kerja Gomes (1995:142) mengatakan kinerja adalah catatan hasil produksi pada fungsi pekerjaan yang spesifik atau aktivitas selama periode waktu tertentu.Dalam melakukan penilaian terhadap kinerja pegawai yang berdasarkan deskripsi perilaku yang spesifik (judgement performance evaluation), maka ada delapan dimensi atau kriteria yang perlu mendapat perhatian.Dimensi kinerja tersebut adalah: (1) quantity of work, (2) quality of work, (3) job
knowledge, (4) creativenes, (5) cooperation, (6) dependability, (7) initiative, dan (8) personal qualities. Pengukuran kinerja pegawai berdasarkan perilaku kerja yaitu dengan mengevaluasi aktivitas atau kegiatan yang dilakukan oleh pegawai dalam kaitannya dengan pekerjaannya atau bagaimana pegawai mengerjakan pekerjaannya. Pengukuran berdasarkan perilaku akan menghasilkan objektivitas yaitu keluaran yang mampu menghasilkan pegawai sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya. Pengukuran kinerja berdasarkan ciri individu, adalah mengukur prestasi kerja berdasarkan fungsi.Sebagai contoh adalah kinerja seorang customer service harus diukur berdasarkan sifat-sifat keramahan, fleksibilitas komunikasi dan sebagainya. Mathis dan Jackson (2002:87) menyatakan bahwa penilaian kinerja dapat dilaksanakan oleh
siapa
saja
yang
paham
benar
tentang
perilaku
pegawai/karyawan
secara
individul.Kemungkinannya antara lain: 1. Para atasan yang menilai bawahannya. 2. Bawahan yang menilai atasannya. 3. Anggota kelompok yang menilai satu sama lain. 4. Sumber-sumber dari luar. 5. Penilaian bawahan sendiri. 6. Penilaian dengan multisumber. Mulyadi (2001:353) menjelaskan manfaat penilaian kinerja oleh organisasi, yaitu: 1. Mengelola operasi organisasi secara efektif dan efesien melalui pemotivasian personal secara maksimum. 2. Membantu pengambilan keputusan yang berkaitan dengan penghargaan personal.
3. Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan personal dan untuk menyediakan kriteria seleksi dan evaluasi program pelatihan personal. 4. Menyediakan suatu dasar untuk mendistribusikan penghargaan. Dalam penelitian ini kinerja pegawai diukur dengan penilaian yang diberikan oleh atasan langsung. Alasannya adalah agar didapatkan gambaran kinerja yang objektif yang mendekati nilai yang sebenarnya. B. Kajian Penelitian Yang Relevan Dalam bab ini disajikan beberapa hasil penelitian terdahulu dan teori yang berkaitan dengan tema penelitian, dan berbagai pijakan dalam pembahasan selanjutnya sebagai berikut: Hasil-hasil penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian ini dapat disajikan dalam berikut ini: Soedjono (2005) mengukur Pengaruh Budaya Organisasi Terhadap Kinerja Organisasi dan Kepuasan Kerja Karyawan pada Terminal Penumpang Umum Disurabaya, menyimpulkan Budaya Organisasi berpengaruh signifikan dan positif terhadap kinerja organisasi, kinerja organisasi berpengaruh signifikan dan positif terhadap kepuasan kerja karyawan dan budaya organisasi melalui kinerja organisasi tidak berpengaruh terhadap kepuasan karyawan. Dimensi Budaya organisasi yang digunakan adalah: inovasi dan pengambilan resiko, perhatian terhadap detil, berorientasi pada hasil, berorientasi pada manusia, berorientasi pada tim, agresivitas dan yang terakhir stabilitas. Penelitian yang telah dilakukan oleh H. Teman Kusmono (2005) yang dilakukan terhadap karyawan pada sub sektor industri pengolahan kayu skala menengah di Jawa Timur, menyimpulkan bahwa budaya organisasi berpengaruh terhadap motivasi dan kepuasan kerja serta berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Dimensi budaya organisasi yang digunakan
adalah: team work, leader, dan characteristic of organization serta administration process yang berlaku. Sedangkan dimensi motivasi yang digunakan adalah: compensation dan expectancy. Penelitian yang dilakukan oleh Dr. Fanscis Owusu (2005), menyimpulkan bahwa variabel Organization Culturberpengaruh secara signifikan terhadap kinerja.pada organisasi publik di Negara Ghana. Dimensi budaya organisasi yang digunakan adalah: organization mission, recruitment and training, performance expectation and evaluation, employee recognition and sanctions, autonomy. C. Kerangka Berpikir Kinerja yang tinggi atau meningkat, baik kinerja keuangan maupun kinerja non keuangan merupakan tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah organisasi. Pencapaian kinerja tersebut tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi tersebut diantaranya motivasi. Menurut McClelland (Robbins 2006:222) dalam teori motivasinya, pada dasarnya terdapat tiga kebutuhan dasar yang dimiliki oleh bawahan dalam suatu organisasi atau perusahaan. Tiga kebutuhan tersebut adalah pertama Need for Achievement, kedua Need for Affiliation, ketiga Need for Power. Dalam hal ini tingkah laku yang diasosiasikan dengan kebutuhan akan pencapaian prestasi, afiliasi dan kekuasaan merupakan instrument kinerja individu dalam suatu kinerja. Motivasi pada setiap individu timbul akibat adanya dorongan dalam diri sendiri maupun dorongan dari dari luar terutama kondisi lingkungan kerja yang mendorong seseorang termotivasi untuk melakukan pekerjaan tersebut.Kecenderungan orang termotivasi lebih pada adanya motif-motif tertentu yang melekat pada diri seseorang, motif tersebut dapat berupa
kompensasi yang diberikan oleh perusahaan atau harapan-harapan yang diinginkan oleh orang tersebut. Untuk memprediksi perilaku dengan suatu akurasi tertentu, seorang pimpinan harus mengetahui tujuan seorang karyawan dan tindakan-tindakan yang harus diambil bawahan untuk mencapainya.Teori motivasi terbagi kedalam dua kategori yaitu: teori kepuasan dan teori proses. Teori kepuasan memusatkan perhatian pada faktor-faktor didalam individu, mengarahkan, mempertahankan dan menghentikan perilaku. Sedangkan teori proses menerangkan dan menganalisis bagaimana perilaku didorong, diarahkan, dipertahankan dan dihentikan. Gambar ; Model Pendekatan Teori Motivasi
KEBUTUHAN
Motivasi Kerja Untuk Memuaskan KEBUTUHAN
TINDAKAN
KEPUASAN KETIDAKPUASAN Sumber : Marwansyah dan Mukaram (1999:155)
Motivasi merupakan proses psikologi yang terjadi pada diri seseorang yang dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti lingkungan kerja, pemimpin, dan gaya kepemimpinan, dan faktor internal seperti ciri-ciri pribadi seseorang dengan segala unsurnya serta jenis dan tingkat pekerjaan. Menurut Rivai (2004:309) bahwa kinerja pegawai dipengaruhi oleh motivasi dan kemampuan, dilain pihak bahwa kemampuan dan motivasi dipengaruhi oleh iklim organisasi, seperti kebijaksanaan dan filsafat manajemen, struktur dan tingkat pengupahan dan penghargaan, kondisi sosial, gaya kepemimpinan, syarat-syarat kerja, dan oleh lingkungan luar organisasi seperti budaya, hukum politik, ekonomi, sosial dan teknologi.
Bernandin & Russell (1998:243), mengungkapkan 6 (enam kriteria utama yang dapat dinilai atas kinerja sebagai berikut: 1. Kualitas: tingkat dimana proses atau hasil dari suatu kegiatan yang sempurna, dengan kata lain melaksanakan suatu kegiatan dengan cara yang ideal/sesuai atau menyelesaikan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. 2. Kuantitas: besaran yang dihasilkan dalam bentuk nilai dollar, sejumlah unit, atau sejumlah kegiatan yang diselesaikan. 3. Ketepatan waktu: tingkat dimana kegiatan diselesaikan, atau hasil yang diselesaikan dengan waktu lebih cepat dari yang ditetapkan dan menggunakan waktu yang tersedia untuk kegiatan lain. 4. Efektifitas biaya: tingkat dimana penggunaan sumber-sumber organisasi (antara lain SDM, uang, teknologi, materi) dimaksimalkan untuk mendapatkan target yang tertinggi atau sebaliknya, efektifitasnya berkurang, penggunaan sumber-sumber organisasi dikurangi. 5. Kebutuhan pengawasan: tingkat dimana bawahan melaksanakan pekerjaannya tanpa memerlukan bantuan pengawasan atau sebaliknya untuk menghindari kesalahan atau mendapatkan hasil yang tidak diinginkan. 6. Pengaruh interpersonal: tingkat dimana karyawan menunjukkan perasaan self-esteem (harga diri), goodwill dan kerja sama di antara rekan sekerja dan bawahan. Berdasarkan kerangka pikir tersebut diatas dan teori-teori yang dikemukakan
serta
penelitian-penelitian sebelumnya maka dapat digambarkan paradigma penelitian sebagai berikut: Gambar ;Paradigma Penelitian
Motivasi(X) Kebutuhan Berprestasi Kebutuhan Beravialiasi Kebutuhan kekuatan
Kinerja Karyawan(Y) Mutu kerja Ketepatan waktu Kuantitas kerja
Sumber: kerangka pemikiran
D. Hipotesis Berdasarkan pada rumusan masalah, tujuan penelitian dan kerangka penelitian dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: “Motivasikerja berpengaruh Positif terhadap kinerja Pegawai pada Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Gorontalo Utara.”