BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini menguraikan definisi dan teori-teori yang dijadikan landasan berpikir penulis dalam melakukan penelitian berkaitan dengan topik perilaku peduli pada anak-anak lewat metode panggung boneka. Penjelasan yang akan diutarakan sepanjang bab dua ini antara lain adalah definisi dari perilaku peduli, tahapan middle childhood mencakup aspek kognitif dan psikososial dan pembahasan mengenai panggung boneka itu sendiri.
2.1 Perilaku Peduli Pembahasan mengenai perilaku peduli mengambil beberapa definisi yang disadur dari beberapa sumber, sehingga penggunaan kata perilaku peduli atau kepedulian sedikit berbeda satu sama lainnya namun tetap memiliki arti yang sama. Gea, dkk (2002) menggunakan isitilah kepedulian sosial, sedangkan Baswardono (2010) dan Schiller, dkk (2002) menggunakan istilah kepedulian. Definisi pertama dari perilaku peduli atau kepedulian sosial adalah suatu bentuk keterlibatan antara satu pihak ke pihak lainnya dalam merasakan apa yang sedang dirasakan atau dialami oleh orang lain, baik suka maupun duka. Kepedulian sosial tidak hanya sebatas materi tetapi juga berupa perhatian, penerimaan, penyediaan waktu, pikiran dan hati
6
untuk sesama yang saling membutuhkan dan terlebih ketika mau turut berduka bersama dengan mereka yang juga berduka (Gea dkk, 2002). Definisi lainnya menurut Baswardono (2010) bahwa kepedulian adalah perasaan mendalam berbagi penderitaan orang lain, bersamasama dengan kebutuhan untuk memberi bantuan dan dukungan. Selain definisi tersebut, Schiller, dkk (2002) mengatakan bahwa kepedulian merupakan suatu tindakan atau upaya untuk mengenali pribadi orang lain dan keinginan untuk membantu orang lain yang sedang dalam keadaan susah. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa definisi umum dari kepedulian adalah bagaimana individu mau tahu akan kesulitan yang dialami orang lain dan kemudian disertai tindakan untuk membantu. Namun pada penelitian ini peneliti berfokus pada definisi kepedulian sosial yang diutarakan oleh Gea, dkk (2002). Mengingat nilai luhur ini semakin memudar dikalangan anak-anak dengan maraknya berbagai media hiburan seperti video game, internet, dll hal ini sebaiknya kembali diterapkan pada anak-anak yang merupakan generasi penerus bangsa yang sepatutnya dipersiapkan agar menjadi individu yang lebih baik dari generasi sebelumnya. Anak-anak yang menjadi sorotan peneliti adalah mereka yang berusia 7-9 tahun yang masuk dalam kategori perkembangan middle childhood.
2.2 Middle Childhood (Periode 7-11 tahun) Papalia (2007) membagi dimensi middle childhood menjadi tiga bagian, yakni dimensi fisik, kognitif dan psikososial. Namun dalam
7
penelitian ini yang menjadi sorotan peneliti hanya dimensi kognitif dan dimensi psikososial. Hal tersebut berdasarkan pertimbangan bahwa dimensi kognitif perlu dipertimbangkan berkenaan dengan keselarasan antara materi dan perkembangan kognitif anak. Sedangkan dimensi psikososial akan berisikan pembahasan mengenai bagaimana peneliti memanfaatkan teori pembelajaran sosial dalam penyampaian materi.
2.2.1 Dimensi Kognitif Peneliti dikemukakan
menggunakan oleh
Jean
teori
Piaget.
perkembangan Piaget
(dalam
kognitif
yang
Papalia
2007)
mengategorikan usia 7-11 tahun kedalam tahapan perkembangan concrete operational. Seorang anak dalam tahap kognitif concrete operational dikatakan sudah mampu untuk berpikir secara logis namun belum dapat berpikir secara abstrak. Piaget (dalam Papalia 2007) menyatakan beberapa kemampuan anak yang berkembang pada tahapan concrete operational, diantaranya adalah kemampuan spatial thinking (berpikir di luar kepala), hubungan sebab-akibat, pengelompokan/kategorisasi, pola pikir induksi-deduksi, conservation dan kemampuan berhitung dengan menggunakan soal cerita sederhana. Dengan berlandaskan perkembangan kognisi anak tersebut, maka peneliti akan menyediakan materi yang disesuaikan dengan tahapan
kognisi
memanfaatkan
concrete
kemampuan
operational. sebab-akibat,
Dimana
peneliti
akan
pengkategorian,
serta
kemampuan lainnya yang menggunakan logika sederhana.
8
Materi
yang
akan
diberikan
sebagai
stimulus
dengan
memanfaatkan perkembangan pola pikir mereka. Pada tahap concrete operational anak-anak sudah mampu untuk menyadari hubungan sebab akibat.
2.2.2 Dimensi Psikososial Dimensi
psikososial
yang
digunakan
peneliti
adalah
teori
pembelajaran observasional (modelling) yang dikemukakan oleh Bandura (dalam Santrock, 2008). Pembelajaran observasional (modelling) adalah pembelajaran yang dilakukan ketika seseorang mengamati dan meniru perilaku orang lain. Pembelajaran ini terdiri dari empat tahap akan dijadikan acuan oleh peneliti. Santrock (2008) mengatakan bahwa dalam pembelajaran
observasional
kontemporer
Bandura
terdapat
empat
tahapan, yakni : atensi, retensi, produksi dan motivasi 1. Atensi adalah tahapan dimana anak-anak memperhatikan cerita dan instruksi yang diberikan 2. Retensi adalah tahapan berupa pengkodean atau penyimpanan informasi yang baru saja diterima oleh anak-anak. Bandura (dalam Santrock, 2008) mengatakan bahwa informasi yang dikemas secara menarik dapat lebih diingat oleh anak-anak. 3. Produksi adalah proses menirukan informasi yang telah diberikan oleh model.
9
4. Motivasi adalah tahapan terakhir dari pembelajaran observasional. Pada tahap ini perilaku anak yang sudah termodifikasi perlu dipertahankan. Berdasarkan teori pembelajaran observasional oleh Bandura (dalam Santrock, 2008), peneliti akan menyelaraskan metode panggung boneka dengan teori tersebut. Pada tahap atensi, anak-anak dituntut untuk fokus sepenuhnya pada model yang akan menyampaikan informasi. Peneliti akan menggunakan puppet (boneka) sebagai media untuk menarik perhatian mereka. Pada tahap retensi, puppet akan memainkan sebuah cerita bertemakan perilaku peduli, materi ini perlu dikemas dengan menarik agar proses coding dapat berjalan dengan baik. Puppet yang diposisikan sebagai model akan memberikan penjelasan yang berulangulang mengenai pentingnya perilaku peduli terhadap sesama secara tidak langsung (tersirat dalam cerita) agar meningkatkan proses retensi yang diharapkan muncul pada tahapan ketiga, yakni produksi. Tahapan terakhir, motivasi, peran puppet sebagai model sudah berakhir. Peneliti yang memposisikan diri sebagai pengajar sendiri yang akan memberikan memberikan penjelasan mengenai perasaan gembira dan senang karena telah menunjukan perilaku peduli dan bersedia membantu sesama. Menurut Bandura (dalam Santrock, 2008) motivasi dapat diberikan baik berupa barang ataupun perkataan (penguat), namun peran penguat dalam pembelajaran observasional tidak mempunyai andil yang cukup besar. Hal ini dikarenakan bahwa dalam modelling, informasi tersebut sudah masuk kedalam ingatan (proses kognitif) anak.
10
2.3 Panggung Boneka Panggung boneka atau puppet show menurut Columbia Electronic Encyclopedia (2010) adalah sosok manusia maupun hewan dengan ukuran yang tidak terlalu besar, dimainkan di balik panggung (stage) dan dimanipulasi oleh pemain boneka yang bersembunyi di balik panggung tersebut. Menurut Pitre, dkk (2007) penggunaan puppet sebagai media pengajaran mempunyai keuntungan, diantaranya adalah puppet dinilai sebagai media yang dapat lebih menarik perhatian anak-anak dan menciptakan kondisi pengajaran yang tidak mengancam. Selain itu penggunaan puppet sebagai media pengajaran dinilai telah banyak melakukan kontribusi kepada kepentingan pendidikan dan klinis, anakanak menjadi lebih bebas mengekspresikan dirinya sembari meningkatkan ketertarikannya untuk belajar (Synovitz dalam Pitre, dkk, 2007). Menurut Morgan (dalam Aldiss, 2009) penggunaan puppet dapat dijadikan sebagai perantara orang dewasa dan anak-anak ketika berkomunikasi dalam kegiatan sehari-hari di rumah sakit. Peneliti
menjadikan
Sesame
Street
sebagai
acuan
dalam
memberikan materi pada anak-anak dalam penelitian ini. Hal ini disebabkan bahwa program pendidikan yang disajikan oleh Sesame Street merupakan pengajaran kreatif yang didalamnya didominasi oleh puppet yang telah berjalan selama 40 tahun dan telah mengembangkan program-program mereka ke manca negara (www.sesameworkshop.org).
11
Metode pembelajaran yang disediakan oleh Sesame Street merupakan kombinasi yang saling mendukung antara pendidikan dan hiburan (Lesser dalam Santrock, 2008). Kemudian dari segi materi Sesame Street menggunakan dua jenis pengajaran, yakni langsung dan tidak langsung. Materi pengajaran tidak langsung memanfaatkan teori pembelajaran observasional (modelling) karena didalamnya terdapat sebuah cerita dengan kondisi riil kehidupan sehari-hari yang bersifat mendidik keahlian sosial (Santrock, 2008). Oleh sebab itu peneliti menganggap bahwa sebagai program pendidikan anak-anak yang sudah berjalan selama kurun waktu 40 tahun dan terbilang sukses, maka Sesame Street adalah acuan yang tepat dalam mempraktekan program pendidikan dengan menggunakan media pengajaran panggung boneka. Hal tersebut menjadi pertimbangan bahwa penelitian ini tentunya menggunakan media alat peraga utama berupa puppet dan dibantu oleh alat peraga lain, seperti audio.
2.4 Kerangka Berpikir Berikut terpapar diagram singkat maupun penjelasan deskriptif mengenai proses kerangka berpikir.
12
Pendidikan sejak dini pada usia 7-9 tahun: - Memanfaatkan daya imajinasi anak - Pembelajaran berupa kombinasi antara pendidikan dengan hiburan yang disukai anakanak - Salah satu medianya adalah panggung boneka
Minimnya perilaku peduli dan harus dibenahi sejak dini
Mengacu pada teori perkembangan kognitif oleh Piaget dan teori pembelajaran observasional oleh Bandura
Gambar 2.1 Penjelasan Deskriptif Proses Kerangka Berpikir Berangkat dari semakin maraknya perkembangan elektronik termasuk videogame belakangan ini menimbulkan suatu permasalahan baru yang menyebabkan anak-anak menjadi cenderung pasif terhadap lingkungannya. Dikhawatirkan bahwa jika hal ini terus berlangsung maka generasi sekarang ini digolongkan menjadi digital native dimana individu menjadi lebih aktif di dunia maya yang dapat berdampak pada penurunan kecerdasan sosial (Kompas, 2010). Perilaku peduli merupakan keterlibatan antara satu pihak ke pihak lainnya dalam merasakan apa yang sedang dirasakan atau dialami oleh orang lain, baik suka maupun duka berupa perhatian, penerimaan, penyediaan
waktu,
pikiran
dan
hati
untuk
sesama
yang
saling
membutuhkan dan terlebih ketika mau turut berduka bersama dengan mereka (Gea dkk, 2002).
13
Permasalahan mengenai berkurangnya perilaku peduli dapat terjawab dengan memberikan pengajaran pada anak-anak. Salah satu bentuk pengajarannya adalah dengan menggunakan berbagai alat peraga sebagai ‘jembatan’ guna pemahaman yang lebih baik. Pentingnya menggunakan alat peraga menurut Sofer (2003) adalah peran alat peraga yang merupakan simbolisasi dan dapat menegaskan makna dari simbol tersebut. Jadi peran alat peraga dapat memberikan penekanan makna dari apa yang hendak kita sampaikan. Penggabungan unsur pendidikan dengan hiburan belakangan ini mempunyai istilah edutainment. Menurut Singer (dalam Goldstein, 1994) memberikan pengajaran tersebut menjadi penting karena menanamkan pendidikan pada anak-anak dengan memanfaatkan daya imajinasi mereka dapat menghasilkan dampak jangka panjang. Salah satu bentuk dari sekian banyak alat peraga adalah dengan menggunakan puppet (boneka). Menurut Pitre, dkk (2007) penggunaan puppet sebagai media pengajaran mempunyai keuntungan, diantaranya adalah puppet dinilai sebagai media yang dapat lebih menarik perhatian anak-anak dan menciptakan kondisi pengajaran yang tidak mengancam. Selain itu, seperti dinyatakan oleh Synovitz (dalam Pitre, dkk, 2007), penggunaan puppet sebagai media pengajaran dinilai telah banyak melakukan kontribusi kepada kepentingan pendidikan dan klinis, anakanak menjadi lebih bebas mengekspresikan dirinya sembari meningkatkan ketertarikannya untuk belajar. Bahkan penggunaan puppet, menurut Morgan (dalam Aldiss, 2009), dapat dijadikan sebagai perantara orang
14
dewasa dan anak-anak ketika berkomunikasi dalam kegiatan sehari-hari di rumah sakit. Pembelajaran yang paling sesuai dengan memanfaatkan puppet sebagai
media
pengajaran
adalah
dengan
mengacu
pada
teori
pembelajaran observasional oleh Bandura. Bandura (dalam Santrock, 2008)
mengatakan
bahwa
pembelajaran
observasional
adalah
pembelajaran yang dilakukan ketika seorang mengamati dan meniru perilaku orang lain. Dalam banyak kasus pembelajaran observasional cenderung
lebih
membutuhkan
sedikit
waktu
daripada
operant
conditioning. Mengenai isi materi dari pengajaran yang diberikan, peneliti mengacu pada teori perkembangan kognitif oleh Piaget. Subjek peneliti adalah anak usia 7-9 tahun, oleh sebab itu masuk kedalam kategori concrete operational. Pada tahap concrete operational, menurut Piaget (dalam Santrock 2008) bahwa anak sudah dapat berpikir dengan menggunakan logika mereka namun hanya sebatas pada situasi konkrit dan belum dapat memecahkan masalah-masalah yang bersifat abstrak. Berangkat dari pemahaman bahwa menggunakan puppet dapat lebih menarik dan dapat dijadikan sebagai media pembelajaran yang baik bagi anak (Pitre dkk, 2007) dan dengan melandaskan teori pembelajaran observasional yang dipadukan dengan tahap perkembangan kognitif anak sesuai dengan usianya, peneliti mencoba melihat hasil yang ditimbulkan dari
pengajaran
dengan
menggunakan
puppet.
Peneliti
akan
15
membandingkan hasil penelitiannya dengan metode pengajaran lain yang hanya melakukan penyampaian informasi secara verbal.
16