BAB II LANDASAN TEORI
II.A. Keharmonisan Keluarga II.A.1. Definisi Keharmonisan Keluarga Menurut Gunarsa (2000) keluarga harmonis adalah bilamana seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai oleh berkurangnya ketegangan, kekecewaan dan menerima seluruh keadaan dan keberadaan dirinya (eksistensi, aktualisasi diri) yang meliputi aspek fisik, mental dan sosial. Daradjat (1994) mengemukakan bahwa keluarga harmonis adalah keluarga dimana setiap anggotanya menjalankan hak dan kewajibannya masing-masing, terjalin kasih sayang, saling pengertian, komunikasi dan kerjasama yang baik antara anggota keluarga. Menurut Nick (2002) keluarga harmonis merupakan tempat yang menyenangkan dan positif untuk hidup, karena anggotanya telah belajar beberapa cara untuk saling memperlakukan dengan baik. Anggota keluarga dapat saling mendapatkan dukungan, kasih sayang dan loyalitas. Mereka dapat berbicara satu sama lain, mereka saling menghargai dan menikmati keberadaan bersama. Dari definisi-definisi yang dikemukakan diatas dapat disimpulkan bahwa keharmonisan keluarga adalah suatu situasi atau kondisi keluarga dimana terjalinnya kasih sayang, saling pengertian, dukungan, mempunyai waktu bersama keluarga, adanya kerjasama dalam keluarga, komunikasi dan setiap anggota
14
Universitas Sumatera Utara
keluarga dapat mengaktualisasikan diri dengan baik serta minimnya konflik, ketegangan dan kekecewaan.
II.A.2. Aspek-aspek Keharmonisan Keluarga Menurut Gunarsa (2000) ada beberapa aspek keharmonisan keluarga adalah : 1. Kasih sayang antar anggota keluarga Anggota keluarga menunjukkan saling menghargai dan saling menyayangi, mereka bisa merasakan betapa baiknya keluarga. Anggota keluarga mengekspresikan penghargaan dan kasih sayang secara jujur. Penghargaan itu mutlak diperlukan, karena dengan demikian masing-masing anggota merasa sangat dicintai dan diakui keberadaannya. 2. Saling pengertian sesama anggota keluarga Selain kasih sayang, pada umumnya para remaja sangat mengharapkan pengertian dari orangtuanya. Dengan adanya saling pengertian maka tidak akan terjadi pertengkaran-pertengkaran antar sesama anggota keluarga. 3. Dialog atau komunikasi efektif yang terjalin di dalam keluarga Anggota keluarga mempunyai keterampilan berkomunikasi dan banyak waktu digunakan untuk itu. Dalam keluarga harmonis ada beberapa kaidah komunikasi yang baik, antara lain : a. Menyediakan cukup waktu Anggota keluarga melakukan komunikasi yang bersifat spontan maupun tidak spontan (direncanakan). Bersifat spontan, misalnya berbicara sambil
15
Universitas Sumatera Utara
melakukan pekerjaan bersama, biasanya yang dibicarakan hal-hal sepele. Bersifat tidak spontan, misalnya merencanakan waktu yang tepat untuk berbicara, biasanya yang dibicarakan adalah suatu konflik atau hal penting lainnya. Mereka menyediakan waktu yang cukup untuk itu. b. Mendengarkan Anggota keluarga meningkatkan saling pengertian dengan menjadi pendengar yang baik dan aktif. Mereka tidak menghakimi, menilai, menyetujui, atau menolak pernyataan atau pendapat pasangannya. Mereka menggunakan
feedback,
menyatakan/menegaskan
kembali,
dan
mengulangi pernyataan. c. Pertahankan kejujuran Anggota keluarga mau mengatakan apa yang menjadi kebutuhan, perasaan serta pikiran mereka, dan mengatakan apa yang diharapkan dari anggota keluarga. 4. Mempunyai waktu bersama dan kerjasama dalam keluarga Keluarga menghabiskan waktu (kualitas dan kuantitas waktu yang besar) di antara mereka. Kebersamaan di antara mereka sangatlah kuat, namun tidak mengekang. Selain itu, kerjasama yang baik antara sesama anggota keluarga juga sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Saling membantu dan gotong royong akan mendorong anak untuk bersifat toleransi jika kelak bersosialisasi dalam masyarakat.
16
Universitas Sumatera Utara
Selain aspek-aspek yang tersebut diatas, Nick (2002) juga menambahkan beberapa aspek lain, yaitu : 1. Kesejahteraan spiritual Keluarga mempunyai perasaan tentang adanya kekuasaan yang lebih besar dalam hidup. Kepercayaan itu memberi makna dalam hidup. Anggota keluarga meyakini Tuhan ada di tengah-tengah mereka dan mengatur segalanya. Mereka memiliki cinta kasih dan menerapkannya dalam kehidupan seharihari. 2. Minimalisasi konflik Faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam menciptakan keharmonisan keluarga adalah kualitas dan kuantitas konflik yang minim, jika dalam keluarga sering terjadi perselisihan dan pertengkaran maka suasana dalam keluarga tidak lagi menyenangkan. Dalam keluarga harmonis setiap anggota keluarga berusaha menyelesaikan masalah dengan kepala dingin dan mencari penyelesaian terbaik dari setiap permasalahan. Dari uraian diatas dapat disimpulkan ada beberapa aspek keharmonisan keluarga yaitu, kasih sayang antar anggota keluarga, saling pengertian, komunikasi efektif di dalam keluarga, kerjasama dalam keluarga, kesejahteraan spiritual, dan minimnya konflik dalam keluarga.
II.A.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keharmonisan Keluarga Gunarsa (2000) menyatakan bahwa suasana rumah dapat mempengaruhi keharmonisan keluarga. Suasana rumah adalah kesatuan yang serasi antara
17
Universitas Sumatera Utara
pribadi-pribadi, kesatuan yang serasi antara orangtua dan anak. Jadi suasana rumah yang menyenangkan akan tercipta bagi anak bila terdapat kondisi : a. Anak dapat merasakan bahwa ayah dan ibunya terdapat saling pengertian dan kerjasama yang serasi serta saling mengasihi antara satu dengan yang lainnya. b. Anak dapat merasakan bahwa orangtuanya mau mengerti dan dapat menghayati pola perilakunya, dapat mengerti apa yang diinginkannya, dan memberi kasih sayang secara bijaksana. c. Anak dapat merasakan bahwa saudara-saudaranya mau memahami dan menghargai dirinya menurut kemauan, kesenganan dan cita-citanya, dan anak dapat merasakan kasih sayang yang diberikan saudara-saudaranya. Faktor lain yang juga mempengaruhi keharmonisan keluarga menurut Gunarsa (2000), adalah kondisi ekonomi keluarga. Tingkat sosial ekonomi yang rendah seringkali menjadi penyebab terjadinya permasalahan dalam sebuah keluarga. Akibat banyaknya masalah yang ditemui karena kondisi keuangan yang memprihatinkan ini menyebabkan kondisi keluarga menjadi tidak harmonis. Banyaknya masalah yang dihadapi keluarga ini akan berpengaruh kepada perkembangan mental anak, sebab pengalaman-pengalaman yang kurang menyenangkan yang diperoleh anak di rumah, tentu akan terbawa pula ketika anak bergaul dengan lingkungan sosialnya. Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa faktor yang mempengaruhi keharmonisan keluarga adalah suasana rumah yang menyenangkan dimana anak merasakan bahwa orangtuanya saling pengertian, anggota keluarga saling menghargai dan kondisi ekonomi keluarga cukup baik.
18
Universitas Sumatera Utara
II.B. Perilaku Seksual Pranikah II.B.1. Definisi Perilaku Seksual Pranikah Mu’tadin (2002) mengatakan bahwa perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seks yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut agama dan kepercayaan masing-masing individu. Menurut Lestari (1999), perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan resmi menurut hukum maupun agama dan kepercayaan masing-masing individu. Sarwono (2005) menyatakan bahwa perilaku seksual pranikah adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita diluar perkawinan yang sah. Berdasarkan
definisi-definisi
yang
dikemukakan
di
atas,
dapat
disimpulkan bahwa perilaku seksual pranikah adalah segala perilaku yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan oleh dua orang, pria dan wanita tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun agama.
II.B.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Seksual Pranikah Sarwono (2005) mengemukakan ada beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku seksual pada remaja, yaitu : 1. Norma-norma agama yang dianut Hal ini merupakan mekanisme kontrol sosial yang mengurangi kemungkinan seseorang melakukan perilaku seksual diluar batas ketentuan agama. Namun
19
Universitas Sumatera Utara
untuk remaja yang tidak dapat menahan diri memiliki kecenderungan untuk melanggar hal-hal tersebut. 2. Hubungan dalam keluarga khususnya hubungan orangtua dan anak Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap aktivitas anak, kurangnya kasih sayang orangtua, dan komunikasi yang tidak efektif dalam keluarga dapat menjadi pemicu munculnya perilaku seksual pranikah pada remaja. Selain itu, orangtua perlu mengembangkan kepercayaan anak pada orangtua, sehingga remaja lebih terbuka dan mau bercerita agar orangtua bisa memantau dan mengarahkan pergaulan anak remajanya. Bila orangtua mampu memberikan pemahaman mengenai perilaku seksual kepada remaja, maka remaja cenderung mengontrol perilaku seksualnya sesuai dengan
pemahaman
yang
diberikan
orangtuanya.
Mu’tadin
(2002)
menambahkan suasana keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman, tidak menyenangkan dan hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya psikologis bagi masa remaja sehingga remaja cenderung lebih konform dengan pengaruh negatif lingkungan sosialnya seperti, perilaku seksual pranikah. Penelitian yang dilakukan oleh Gerald Patterson dan rekan-rekannya (dalam Santrock, 2003) juga menunjukkan bahwa pengawasan orangtua yang tidak memadai terhadap keberadaan remaja dan penerapan disiplin yang tidak efektif dan tidak sesuai merupakan faktor keluarga yang penting dalam tingginya perilaku seksual pranikah pada remaja.
20
Universitas Sumatera Utara
3. Media dan teknologi elektronik Pengaruh penyebaran informasi dan rangsangan melalui media dan teknologi yang canggih (seperti: VCD, Photo, majalah, televisi, dan internet) pun sering kali diimitasi oleh remaja dalam perilakunya sehari-hari. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa dilihat atau didengar dari media, karena pada umumnya mereka belum pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orangtuanya. 4. Adanya kecenderungan yang semakin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat, sebagai akibat berkembangnya peran dan pendidikan wanita, sehingga kedudukan wanita semakin sejajar dengan pria. 5. Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual remaja. Peningkatan hormon ini menyebabkan remaja membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku tertentu. 6. Perbedaan jenis kelamin Remaja laki-laki cenderung mempunyai perilaku seksual yang lebih agresif, terbuka, serta lebih sulit menahan diri dibandingkan remaja perempuan. Hal tersebut sebagai wujud nilai jender dan adanya norma-norma yang memberikan keleluasaan yang lebih besar pada laki-laki daripada perempuan. Hal ini membuat laki-laki merasa lebih bebas untuk bereksplorasi dalam berbagai macam bentuk perilaku seksual. Apalagi orientasi laki-laki berpacaran lebih ke arah aktivitas seksual daripada mengutamakan afeksi, membuat laki-laki cepat beraktivitas seksual tanpa melibatkan perasaan terlebih dahulu.
21
Universitas Sumatera Utara
Brooks, Gunn dan Furstenberg (dalam Dacey & Kenny, 1997) menambahkan faktor lain yang juga ikut mempengaruhi perilaku seks pada remaja, yaitu : a. Pandangan tentang maskulin dan feminin Fingerman (dalam Dacey & Kenny, 1997) menyatakan bahwa remaja yang memiliki nilai gender egalitarian yaitu memandang adanya kesetaraan antara peran pria dan wanita cenderung lebih besar kemungkinannya melakukan hubungan seks sebelum menikah dibandingkan dengan remaja yang menganut pandangan gender tradisional yang nonegalitarian. b. Telah memiliki pacar Dengan memiliki pacar sebagai pasangan seksual, maka kesempatan untuk melakukan berbagai perilaku seksual juga semakin besar. Selain faktor-faktor tersebut diatas Mu’tadin (2002) juga menambahkan beberapa faktor lain, yaitu : 1. Faktor internal Pada seorang remaja, perilaku seksual pranikah tersebut didorong oleh rasa sayang dan cinta dengan didominasi oleh perasaan kedekatan dan gairah yang tinggi terhadap pasangannya, tanpa disertai komitmen yang jelas. Selain itu, faktor lain yang dapat mempengaruhi seorang remaja melakukan seks pranikah karena didorong oleh rasa ingin tahu yang besar untuk mencoba segala hal yang belum diketahui. Hal tersebut merupakan ciri-ciri remaja pada umumnya, remaja ingin mengetahui banyak hal yang hanya dapat dipuaskan serta diwujudkannya melalui pengalaman sendiri, "Learning by doing".
22
Universitas Sumatera Utara
2. Teman sebaya Pada masa remaja, kedekatannya dengan peer-groupnya sangat tinggi karena selain ikatan peer-group menggantikan ikatan keluarga, mereka juga merupakan sumber afeksi, simpati, dan pengertian, saling berbagi pengalaman dan sebagai tempat remaja untuk mencapai otonomi dan independensi. Dari faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual yang telah diuraikan diatas maka fokus penelitian ini adalah hubungan dalam keluarga. Hubungan dalam keluarga yang terjalin baik akan mewujudkan keluarga yang harmonis. Perasaan aman dan bahagia yang timbul pada remaja yang hidup dalam keluarga yang harmonis akan mempengaruhi penyesuaian sosial pada diri remaja sehingga remaja mempunyai proteksi diri terhadap lingkungan teman sebaya yang negatif seperti perilaku seksual pranikah.
III.B.3. Bentuk-bentuk Perilaku Seksual Pranikah Penelitian yang dilakukan oleh BKKBN (dalam Ringkasan Riset Studi Mengenai Perilaku Seksual Kawula Muda di Empat Kota Besar di Indonesia, 2005), menunjukkan bahwa perilaku seksual yang banyak muncul dengan pasangan adalah sampai tahap berciuman baik di kening, pipi, maupun bibir. DeLamenter dan MacCorquodale (dalam Santrock, 2003), mengemukakan ada beberapa bentuk perilaku seksual yang biasa muncul, yaitu : a. Necking, yaitu berciuman sampai ke daerah dada. b. Lip kissing, yaitu bentuk tingkah laku seksual yang terjadi dalam bentuk ciuman bibir antara dua orang.
23
Universitas Sumatera Utara
c. Deep kissing, yaitu berciuman bibir dengan menggunakan lidah. d. Meraba payudara. e. Petting, yaitu bentuk hubungan seksual dengan melibatkan kontak badan antara dua orang dengan masih menggunakan celana dalam (alat kelamin tidak bersentuhan secara langsung). f. Oral sex, yaitu hubungan seksual yang dilakukan dengan menggunakan organ oral (mulut dan lidah) dengan alat kelamin pasangannya. g. Sexual intercourse (coitus), yaitu hubungan kelamin yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan, dimana penis pria dimasukkan ke dalam vagina wanita hingga terjadi orgasme/ejakulasi. Dari uraian diatas perilaku seksual pada remaja dapat dilihat dalam perilaku, berciuman di kening, dan pipi, lip kissing, deep kissing, necking, petting, meraba payudara, oral sex, dan sexual intercourse.
II.C. Remaja II.C.1. Definisi Remaja Istilah adolescence atau remaja berasal dari kata latin yaitu ‘adolescere’ yang berarti perkembangan menjadi dewasa (Monks dkk, 1999). Piaget (dalam Hurlock, 1999) mengemukakan bahwa istilah adolescence mempunyai arti lebih luas yaitu mencakup kematangan emosional, mental, sosial dan fisik. Santrock (2003), mengatakan bahwa masa remaja sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosial.
24
Universitas Sumatera Utara
Batasan usia yang ditetapkan para ahli untuk masa remaja berbeda-beda. Menurut Hurlock (1999), usia remaja dibagi dua bagian, yaitu awal masa remaja yang berlangsung dari usia 13 sampai 17 tahun, dan masa akhir remaja yang bermula dari usia 17 tahun sampai 18 tahun. Monks (1999) menyatakan bahwa batasan usia remaja antara 12 hingga 21 tahun, yang terbagi dalam tiga fase, yaitu remaja awal (usia 12 hingga 15 tahun), remaja tengah/madya (usia 15 hingga 18 tahun) dan remaja akhir (usia 18 hingga 21 tahun). Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan bahwa remaja adalah periode perkembangan dari anak-anak ke dewasa awal yang mencakup perubahan fisik, sosial, kognitif, emosional dan mental yang berlangsung antara usia 12 atau 13 tahun hingga 18 atau 21 tahun.
II.C.2. Tugas Perkembangan Pada Masa Remaja Menurut Havigurst (dalam Hurlock, 1999) tugas perkembangan remaja meliputi beberapa hal sebagai berikut : a. mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita b. mencapai peran sosial pria dan wanita c. menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif d. mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang bertanggung jawab e. mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya f. mempersiapkan karir ekonomi g. mempersiapkan perkawinan dan keluarga
25
Universitas Sumatera Utara
h. memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku mengembangkan ideologi
II.C.3. Perkembangan Seksual Remaja II.C.3.a. Perkembangan Seksual Primer dan Sekunder Sejak masa remaja, pada diri seorang anak terlihat adanya perubahanperubahan pada bentuk tubuh yang disertai dengan perubahan struktur dan fungsi (Hurlock, 1999). Menurut Imran (2000), masa remaja diawali oleh masa pubertas, yaitu masa terjadinya perubahan-perubahan fisik (meliputi penampilan fisik seperti bentuk tubuh dan proporsi tubuh) dan fungsi fisiologis (kematangan organorgan seksual). Perubahan ini ditandai dengan haid atau menarche pada wanita dan mimpi basah atau polutio pada laki-laki (Hurlock, 1999). Perubahan tubuh ini disertai dengan perkembangan bertahap dari karakteristik seksual primer dan karakteristik seksual sekunder. Karakteristik seksual primer mencakup perkembangan organ-organ reproduksi sedangkan karakteristik seksual sekunder mencakup perubahan dalam bentuk tubuh sesuai dengan jenis kelamin, misalnya pada remaja putri ditandai dengan pembesaran payudara, pinggul, sedangkan pada remaja putra mengalami pembesaran suara, tumbuh bulu di dada, kaki dan kumis. Karakteristik seksual sekunder ini tidak berhubungan langsung dengan fungsi reproduksi, tetapi perannya dalam kehidupan seksual tidak kalah pentingnya karena berhubungan dengan sex appeal (daya tarik seksual).
26
Universitas Sumatera Utara
II.C.3.b. Perkembangan Perilaku Seksual Remaja Kematangan seksual pada remaja menyebabkan munculnya minat seksual dan keingintahuan remaja tentang seksual. Perkembangan minat seksual ini menyebabkan masa remaja disebut juga dengan ”masa keaktifan seksual” yang tinggi, yang merupakan masa ketika masalah seksual dan lawan jenis menjadi bahan pembicaraan yang menarik dan penuh dengan rasa ingin tahu tentang masalah seksual (Imran, 2000). Perubahan dan perkembangan yang terjadi pada masa remaja, dipengaruhi oleh berfungsinya hormon-hormon seksual (testosteron untuk laki-laki dan progesteron & estrogen untuk wanita). Hormon-hormon inilah yang berpengaruh terhadap dorongan seksual remaja (Imran, 2000). Menurut Monks (1999), pertumbuhan kelenjar seks seseorang telah sampai pada taraf matang saat akhir masa remaja, sehingga fokus utama pada fase ini biasanya lebih diarahkan pada perilaku seksual dibandingkan pertumbuhan kelenjar seks itu sendiri. Pada kehidupan sosial remaja, perkembangan organ seksual mempunyai pengaruh dalam minat remaja terhadap lawan jenis. Remaja dapat memperoleh teman baru, dan mengadakan jalinan cinta dengan lawan jenisnya yang kemudian dimunculkan dalam bentuk berpacaran. Rahman dan Hirmaningsih (dalam Mayasari, 2000) mengemukakan bahwa adanya dorongan seksual dan rasa cinta membuat remaja ingin selalu dekat dan mengadakan kontak fisik dengan pacar. Kedekatan fisik inilah yang akan mengarah pada perilaku seksual dalam pacaran.
27
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kematangan seksual pada remaja menyebabkan munculnya minat seksual dan keingintahuan remaja tentang seksual. Pada masa-masa seperti inilah remaja mulai menunjukkan perilakuperilaku seksual dalam upaya memenuhi dorongan seksualnya. Perilaku seksual merupakan perilaku yang bertujuan untuk menarik perhatian lawan jenis dan memperoleh teman baru kemudian dimunculkan dalam bentuk pacaran. Aktivitas seksual dianggap sebagai hal yang lazim dilakukan remaja yang berpacaran sebagai ekspresi rasa cinta dan kasih sayang.
II.D. Hubungan Keharmonisan Keluarga dan Perilaku Seksual Pranikah Pada Remaja. Masalah seksualitas pada masa remaja menjadi pembicaraan yang selalu menarik bagi siapa saja. Adanya kematangan fisik termasuk matangnya organorgan seksual tanpa diimbangi percepatan pematangan emosi dan adanya kebebasan yang kian meningkat menyebabkan masalah seksualitas yang dialami remaja menjadi semakin kompleks. Hal tersebut diperparah dengan maraknya pemberitaan di media massa dan televisi yang menceritakan tentang pacaran dan cinta (Prihartini, 2002). Perkembangan organ seksual pada kehidupan remaja salah satunya berpengaruh pada kehidupan sosial remaja. Remaja dapat memperoleh teman baru, dan mengadakan jalinan cinta dengan lawan jenisnya yang kemudian dimunculkan dalam bentuk berpacaran (Mu’tadin, 2002).
28
Universitas Sumatera Utara
Aktivitas seksual seolah-olah sudah menjadi hal yang lazim dilakukan oleh remaja yang berpacaran. Hurlock (dalam Mayasari, 2000) mengemukakan bahwa aktivitas seksual merupakan salah satu bentuk ekspresi atau tingkah laku berpacaran dan rasa cinta. Hal-hal tersebut telah menempatkan remaja pada posisi yang rentan. Menurut Pudjono (dalam Prihartini, 2002), kematangan secara seksual membuat remaja menjadi mudah terangsang akan hal-hal yang berbau seksualitas karena dorongan seksual yang meningkat. Dorongan seksual yang meningkat dan rasa ingin tahu yang besar tentang seksualitas seringkali membawa remaja yang sedang berada dalam posisi rentan terhadap kasus-kasus ”keterlanjuran”. Masalah-masalah ”keterlanjuran” akibat seksualitas pada remaja dapat berupa perilaku seksual pranikah yang dapat mengakibatkan kehamilan pranikah dan penularan penyakit seksual (Prihartini, 2002). Menurut Sarwono (2005) salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku seksuah pranikah yang dilakukan remaja adalah hubungan dalam keluarga khususnya hubungan orangtua dan anak. Orangtua perlu mengembangkan kepercayaan anak pada orangtua, sehingga remaja lebih terbuka dan mau bercerita agar orangtua bisa memantau dan mengarahkan pergaulan anak remajanya. Mu’tadin (2002) juga menambahkan suasana keluarga yang menimbulkan rasa tidak aman, banyak konflik, tidak menyenangkan, dan hubungan keluarga yang kurang baik dapat menimbulkan bahaya psikologis bagi setiap usia terutama pada masa remaja sehingga remaja cenderung konform dengan pengaruh negatif lingkungan sosialnya.
29
Universitas Sumatera Utara
Sebaliknya hubungan dalam keluarga yang baik seperti, tidak adanya konflik dalam keluarga, anggota keluarga yang saling menyayangi, saling pengertian, adanya komunikasi yang efektif dalam keluarga, orangtua yang selalu membimbing dan mengarahkan perilaku anak tapi tidak memaksa, dan keluarga yang saling mendukung segala aktivitas, akan mewujudkan keluarga yang harmonis (Gunarsa, 2000). Suasana keluarga yang tidak menyenangkan, membuat anak ingin keluar dari rumah sesering mungkin karena secara emosional suasana tersebut akan mempengaruhi masing-masing anggota keluarga untuk bertengkar dengan lainnya. Kondisi ini membuat hubungan remaja dan orangtua menjadi renggang sehingga remaja semakin merasa tidak mendapat perhatian dalam menghadapi masalah yang dihadapi terutama seputar adanya perkembangan fisik dan psikis. Menurut Nuryoto (dalam Prihartini, 2002) hal ini dapat menimbulkan adanya suatu ketidakpuasan dalam diri remaja. Ketidakpuasan tersebut timbul karena kebutuhan psikisnya tidak terpenuhi secara tepat dan wajar, sehingga ia berusaha melakukan kompensasi. Tidak jarang remaja mengalami kesulitan memilih kompensasi yang positif. Bahkan ada remaja yang sampai melakukan tindakan yang berbau seks seperti perilaku seksual pranikah. Remaja yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang tidak harmonis, penuh konflik, kurangnya kasih sayang orangtua, kurangnya perhatian orangtua terhadap aktivitas remaja akan membentuk remaja yang tidak mempunyai proteksi diri terhadap pengaruh lingkungan teman sebaya yang negatif sehingga remaja lebih muda konform dengan lingkungannya. Banyak remaja yang melakukan
30
Universitas Sumatera Utara
kompensasi berupa perilaku seksual pranikah dengan pacarnya sebagai upaya untuk mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang tidak diperolehnya dari keluarga. Begitu juga sebaliknya, remaja yang berasal dari keluarga yang penuh perhatian, hangat, dan harmonis mempunyai kemampuan dalam menyesuaikan diri dan sosialisasi yang baik dengan lingkungan disekitarnya (Hurlock, dalam Maria, 2007). Hal ini disebabkan anak yang berasal dari keluarga yang harmonis akan merasakan rumah mereka sebagai suatu tempat yang membahagiakan dan penuh kasih sayang karena semakin sedikit masalah antara orangtua, maka semakin sedikit masalah yang dihadapi anak, dan begitu juga sebaliknya jika anak merasakan kondisi keluarganya berantakan atau kurang harmonis maka ia akan terbebani dengan masalah yang sedang dihadapi oleh orangtuanya tersebut. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga harmonis memiliki kaitan dengan perilaku seksual pranikah pada remaja. Dimana perasaan aman dan bahagia yang timbul pada remaja yang hidup dalam keluarga yang harmonis akan mempengaruhi penyesuaian sosial pada diri remaja sehingga remaja mempunyai proteksi diri terhadap lingkungan teman sebaya yang negatif seperti perilaku seksual pranikah.
II.E. Hipotesa Penelitian Berdasarkan uraian teoritis diatas maka hipotesa yang diajukan dalam penelitian ini adalah, ”terdapat hubungan negatif antara keharmonisan keluarga dan perilaku seksual pranikah pada remaja”.
31
Universitas Sumatera Utara