BAB II LANDASAN TEORI
A. Hakikat Akhlak Manusia 1. Pengertian Akhlak Manusia Manusia merupakan makhluk perkaitan antara badan dan roh. Roh merupakan unsur primer dan jasad adalah unsur sekunder yang merupakan alat yang digunakan oleh roh untuk menjalani kehidupan material di alam material.1 Manusia di dalam dirinya terdapat unsur-unsur alam, unsurunsur benda, unsur-unsur tumbuhan (artinya manusia mempunyai sifat tumbuh dan berkembang), unsur-unsur hewani, dengan kemampuan gerak, mempunyai nafsu, dan lain sebagainya. Akan tetapi, secara fisik manusia lebih sempurna dengan akal pikiran, lebih baik, dan lebih indah.2 Manusia adalah makhluk yang diciptakan dengan membawa potensi yang berbeda dengan makhluk lainnya. Potensi-potensi tersebut antara lain potensi akal, ilmu pengetahuan, dan agama.3 Setiap manusia dilahirkan dengan membawa fitrah. Fitrah itu sendiri merupakan citra asli yang dinamis yang terdapat pada sistem-sistem psikofisik manusia dan dapat diaktualisasikan dalam bentuk tingkah laku. Citra unik tersebut telah ada sejak awal penciptaannya. Dari pengertian ini, 1
Abdul Khobir, Filsafat Pendidikan Islam Landasan Teoretis dan Praktis, (Pekalongan: STAIN Press, 2011), hlm. 84. 2 Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2012), hlm. 77. 3 Khoiron Rosyadi, Pendidikan Profetik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.46.
21
22
sekalipun fitrah manusia itu merupakan gambaran asli yang suci, bersih, sehat, dan baik, namun dalam aktualisasi dapat mengaktual dalam bentuk perbuatan buruk (akhlakul mazmumah), sebab fitrah manusia itu dinamis yang aktualisasinya sangat bergantung keinginan manusia dan lingkungan yang mempengaruhinya.4 Fitrah memiliki banyak dimensi, antara lain: a. Fitrah agama; Sejak lahir manusia mempunyai naluri beragama yang mengakui adanya Dzat Yang Maha Pencipta dan Mahamutlak, yaitu Allah Swt. Sejak di alam roh manusia mempunyai komitmen bahwa Allah adalah Tuhannya, sehingga ketika dilahirkan ia berkecenderungan pada al-hanif, yakni rindu akan kebenaran mutlak. b. Fitrah intelek; Intelek adalah potensi bawaan yang mempunyai daya untuk memperoleh pengetahuan dan dapat membedakan antara yang baik dan yang buruk. Fitrah intelek ini membedakan antara manusia dan hewan. c. Fitrah sosial; Kecenderungan manusia untuk hidup berkelompok yang di dalamnya terbentuk suatu ciri yang khas yang disebut kebudayaan. Kebudayaan ini merupakan cermin manusia dan masyarakatnya. d. Fitrah susila; Kemampuan manusia untuk mempertahankan diri dari sifat-sifat amoral. Fitrah ini menolak sifat-sifat yang menyalahi kode etik yang telah disepakati oleh masyarakat Islam.
4
55.
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta: Kencana, 2008), hlm.
23
e. Fitrah ekonomi (mempertahankan hidupnya); Daya manusia untuk mempertahankan hidupnya dengan upaya memberikan kebutuhan jasmaniah demi kelangsungan hidupnya. Fitrah ekonomi tidak menghendaki adanya materialisme atau diperbudak oleh materi atau mengeksploitasi kekayaan alam demi kepentingan pribadi. Maksud fitrah ini adalah memanfaatkan kekayaan alam sebagai realisasi tugastugas kekhalifahan dalam rangka beribadah kepada Allah Swt. f. Fitrah seni; Kemampuan manusia yang dapat menimbulkan daya estetika yang mengacu pada sifat al-jamal Allah Swt. g. Fitrah kemajuan, keadilan, kemerdekaan, kesamaan, ingin dihargai, dan kebutuhan-kebutuhan hidup lainnya.5 Pengembangan berbagai potensi (fitrah) dapat dilakukan dengan kegiatan belajar, yaitu melalui berbagai institusi. Belajar yang dimaksud tidak terfokus melalui pendidikan di sekolah saja, tetapi juga dapat dilakukan di luar sekolah, baik dalam keluarga, masyarakat, maupun lewat institusi sosial keagamaan lainnya.6 Sejalan dengan diberikannya berbagai potensi tersebut kepada manusia, manusia harus mengimbanginya dengan akhlak yang mulia melalui pendidikan yang tepat. Pendidikan akhlak merupakan jiwa pendidikan Islam, dan mencapai akhlak sempurna adalah tujuan pendidikan Islam itu sendiri.7
5
Ibid., hlm. 56-57. Ibid., hlm. 58. 7 Zuhairini, op.cit., hlm. 164. 6
24
Akhlak termasuk di antara makna yang terpenting dalam hidup manusia. Tingkatannya berada sesudah keimanan kepada Allah, MalaikatNya, Kitab-Nya, Rosul-Nya, hari akhirat yang terkandung hasyar, hisab, balasan akhirat, serta qadha‟ dan qadar Allah. Akhlak yang baik termasuk ibadah kepada Allah, menaati-Nya, ikhlas kepada-Nya dan menyerahkan diri kepada-Nya. Apabila beriman kepada Allah dan beribadah kepada-Nya berkaitan erat dengan hubungan hamba dengan Tuhannya, maka akhlak yang pertama kali berkaitan dengan hubungan muamalah manusia dengan manusia yang lain, baik secara individu maupun secara kolektif. Namun, akhlak tidak hanya terbatas pada penyusunan hubungan antara manusia dengan manusia yang lain, manusia juga harus menjaga hubungan dengan segala yang terdapat dalam wujud dan kehidupan ini.8 2. Akhlak Manusia sebagai Hamba Allah Manusia dalam pandangan Islam adalah makhluk ciptaan Allah, ia tidak muncul dengan sendirinya atau berada oleh dirinya sendiri. Ia diciptakan Allah melalui sebuah proses, yang dimulai asal-usul bahannya dari sari pati tanah, kemudian berubah menjadi air mani, kemudian berubah menjadi segumpal darah, berubah lagi menjadi daging, daging berubah menjadi tulang yang dibungkus daging, dan akhirnya menjadi makhluk berbentuk jasmani manusia.9 Hal ini dijelaskan dalam Alquran Surat alMu‟minun ayat 12-15.
8
Ibid., hlm. 156. A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN-Malang Press, 2008), hlm. 55. 9
25
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik. Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati.” (Qs. al-Mu‟minun: 12-15)10 Proses lain tentang diciptakannya manusia ini adalah bermula diambil dari tanah liat (kering), berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk dengan melalui sebuah proses, kemudian menjadi makhluk yang bernama manusia dengan jasmani lengkap, dan kemudian Tuhan meniupkan roh di dalamnya hingga menjadi manusia sempurna dan harus tunduk sujud kepada-Nya. Seperti halnya Adam yang tidak diciptakan melalui mani manusia karena tidak mempunyai Ibu dan Bapak.11Hal ini dijelaskan dalam Alquran Surat al-Hijr ayat 29.
10
Departemen Agama Republuk Indonesia, Alquran Bayan (Alquran dan Terjemahannya Disertai Tanda-tanda Tajwid dengan Tafsir Singkat), (Alquran Terkemuka, 2009), hlm. 342. 11 Abd. Rahman Assegaf, Aktualisasi Konsep Dasar Pendidikan Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2001), hlm. 110.
26
Artinya: “Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan kedalamnya roh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (Qs. al-Hijr: 29)12 Manusia hidup bukan karena kebetulan dan sia-sia. Ia diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu. Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk mengabdi kepada Allah Swt. Indikasi tugasnya berupa ibadah (sebagai „abd Allah) dan tugas sebagai wakil-Nya di muka bumi.13 Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam Surat al-An‟am ayat 162.
Artinya:
“Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan matiku
hanya untuk Allah, Tuhan sekalian alam.” (Qs. al-An‟am: 162)14 Manusia sebagai hamba Allah dianjurkan untuk menginternalisasi akhlak-akhlak yang tertuang dalam asmaul husna sebatas pada kemampuan kemanusiaannya. Misalnya ketika menjelaskan istiqomah maka dikaitkan dengan asma al qayyum, tawakkal dengan al-Mutawakkil, dan lain sebagainya.15 Manusia sebagai seorang hamba pada dasarnya mewarisi sifat-sifat Tuhannya, hal ini biasa disebut dengan derivasi. Namun, sifat yang ditiru hanya sebagian kecil saja. Manusia tidak bisa sepenuhnya meniru sifat-sifat Tuhan karena manusia cenderung untuk berbuat dosa dan lupa. Sifat-sifat
12
Departemen Agama Republuk Indonesia, op.cit., hlm. 263. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.
13
71. 14
Departemen Agama Republuk Indonesia, op.cit., hlm. 150. Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakkir, op.cit., hlm. 80.
15
27
yang memungkinkan bisa ditiru oleh manusia sangat beraneka ragam, antara lain mampu memaafkan kesalahan orang lain, sabar, mempunyai sifat kasih sayang, menciptakan hal-hal baru (tetapi tidak sehebat ciptaan Tuhan), dan lain sebagainya.16 3. Akhlak Manusia sebagai Makhluk Individu Manusia sebagai makhluk individu berarti manusia itu merupakan keseluruhan yang tak dapat dibagi-bagi. Artinya, manusia tidak dapat dipisahkan antara jiwa dan raganya. Kegiatan manusia dalam kehidupan sehari-hari merupakan kegiatan keseluruhan jiwa raganya. Semua itu dilakukan secara khas sesuai dengan corak kepribadian dan kemampuan masing-masing individu. Pribadi yang terbentuk dari proses itu berbeda satu dengan yang lain karena perkembangan dan pengalaman antarindividu tidak sama.17 Islam memandang manusia sebagai pribadi yang bertanggung jawab dan memiliki kebebasan untuk memilih antara jalan yang baik dengan jalan sesat yang akan dilalui. Manusia adalah makhluk Allah yang dibebani tanggung jawab. Oleh karena itu, ia disifati dengan kesempurnaan sebagai kesiapan memikul tanggung jawab (taklif), dan jika ia gagal akan dikembalikan kepada derajat paling hina agar ia waspada terhadap perintah dan larangan. Menurut Suyudi sebagaimana yang dikutip oleh Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, agar amanah tersebut terlaksana maka manusia harus berusaha
16
Rully Nasrullah dan Abdul Mukti Rouf, Dari Mana dan untuk Apa., (Sidoarjo: Mahsun, 2008), hlm. 111-112. 17 Zuhairini, op.cit., hlm. 189.
28
untuk menumbuhkan amanah tersebut dalam perilakunya yang merupakan wahana paling dominan yang terformat dalam pendidikan.18 Manusia diajarkan mengenai berbagai aspek kehidupan baik duniawi maupun ukhrawi melalui agama Islam. Salah satu ajaran Islam tersebut adalah mewajibkan kepada umat Islam untuk melaksanakan pendidikan. Sebab menurut ajaran Islam, pendidikan juga merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak harus dipenuhi demi mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Islam merupakan agama ilmu dan agama akal, karena Islam selalu mendorong umatnya untuk mempergunakan akal dan menuntut ilmu pengetahuan.19 Manusia sebagai individu harus sadar bahwa dalam kehidupan ini selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya sendiri yang ingin menguasai. Agar posisinya terbalik, yaitu hawa nafsunya bisa dikuasai inteleknya, diperlukan upaya khusus, yaitu mujahadah dan riyadah. Upaya ini dalam tasawuf bisa dilaksanakan dengan 3 jenjang, yaitu pengosongan sifat-sifat tercela (takhalli), pengisian dengan sifat-sifat terpuji (tahalli) dan akhirnya mencapai kejernihan hati (tajalli). Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan kotoran atau penyakit yang merusak. Langkah pertama adalah mengetahui dan menyadari betapa buruk sifat-sifat tercela dan kotoran hati itu, sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya. Sifatsifat tercela itu antara lain sifat hasud (dengki atau iri hati), hirsh 18
Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, Studi Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 89. 19 Ibid., hlm. 91.
29
(keinginan yang berlebih-lebihan), takabbur (sombong), ghadlab (marah), riya’ (sikap pamer), sum’ah (ingin didengar kebaikannya), „ujub (bangga diri), dan syirik (menyekutukan Allah). Cara menghilangkan sifat-sifat tersebut ialah dengan menghayati akidah (keimanan) dan ibadah kita, mengadakan latihan dan bersungguhsungguh untuk menghilangkannya dengan cara mencari waktu yang tepat untuk itu, serta melakukan koreksi (muhasabah) dan berdoa kepada Allah Swt. Jenjang kedua yaitu tahalli, yang berarti menghiasi diri dengan jalan membiasakan sifat dan sikap yang baik, membina pribadi agar berakhlakul karimah. Sifat-sifat itu antara lain tauhid (mengesakan Allah secara mutlak), ikhlas (beramal karena Allah semata), taubat (kembali ke jalan yang baik), zuhud (sikap mental yang lebih mementingkan akhirat), hub (cinta Allah), wara’ (menjaga diri dari hal-hal yang tidak jelas kehalalannya), sabar (tabah), faqr (merasa membutuhkan Allah), syukur (berterima kasih dengan jalan mempergunakan nikmat dan rahmat Allah secara fungsional dan proporsional), ridha (rela terhadap karunia-Nya), tawakal (berpasrah diri setelah berusaha), dan lain sebagainya. Sesudah itu seseorang akan memperoleh tajalli, yaitu terangnya hati nurani (qalb), dan hilangnya tabir (hijab) yang terdiri dari sifat-sifat kemanusiaan. Dengan demikian, manusia akan mendapatkan karunia dari
30
Allah Swt. berupa kemampuan membedakan antara hal-hal yang baik dengan yang buruk, yang benar dengan yang salah, dan lain sebagainya.20 4. Akhlak Manusia sebagai Makhluk Sosial Manusia selain sebagai makhluk individu juga sebagai makhluk sosial. Manusia dilahirkan ke dunia dalam kondisi lemah tak berdaya, sehingga manusia tidak bisa melangsungkan hidupnya tanpa bantuan orang lain. Potensi-potensi yang dibawa sejak lahir justru baru bisa berkembang dalam pergaulan hidup sesama manusia. Manusia dalam bergaul, di samping manusia dapat memenuhi kebutuhan biologis juga dapat mengembangkan potensi psikologisnya. Dengan adanya kontak secara timbal balik akhirnya dia bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan kelompoknya dan bisa belajar membelakangkan kehidupan pribadi demi kepentingan kelompoknya.21 Konsepsi Islam mengenai sosialitas manusia menghendaki agar setiap orang Islam di samping memelihara hubungan dengan Tuhan (hablun minallah) juga harus memelihara hubungan dengan manusia (hablun minannas). Islam sendiri menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi.22 Manusia sebagai makhluk sosial memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan manusia yang lain. Manusia merupakan makhluk sosial (homo socious) yang mepunyai pembawaan untuk hidup bermasyarakat. Sebagai makhluk sosial, manusia mempunyai rasa tanggungjawab sosial 20
M. Amin Syukur, Tasawuf Sosial, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 10-11. Zuhairini, op.cit., hlm.192. 22 Ibid., hlm. 193. 21
31
untuk ikut mengembangkan interaksi antara anggota masyarakat. Manusia sebagai makhluk sosial di dalam kelompoknya selalu ingin diakui status sosialnya dan juga ingin dapat bekerja sama dengan orang lain. Akan tetapi, untuk mencapai itu semua, manusia harus dapat bersikap toleran, ramah tamah, pandai menyesuaikan diri, dan juga harus bisa melakukan pengendalian diri melalui pendidikan yang tepat.23 Secara sosiologis, institusi-institusi sosial dapat dikelompokkan menjadi delapan macam, yaitu keluarga, keagamaan, pengetahuan, ekonomi, politik, kebudayaan, keolahragaan, dan media massa. Setiap institusi ini memiliki simbol, identitas fisik, dan nilai-nilai hidup yang menjadi pedoman perilaku manusia.24 5. Akhlak Manusia sebagai Khalifah di Bumi Manusia sebagai khalifah Allah merupakan pelaksana dari kekuasaan dan kehendak (kodrat dan iradat) Tuhan. Di sinilah hakikat basmalah pada setiap perbuatan manusia. Segala perbuatan manusia dengan nama atau atas nama Tuhan. Dalam hal ini manusia terbagi menjadi dua kelompok, yaitu bersikap pasif dan bersikap aktif. Yang bersikap pasif beranggapan bahwa segala perbuatannya adalah sebagai pelaksana belaka dari kehendak Tuhan, sehingga ia tidak merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap perbuatannya. Ia terpaksa (ikbar) dalam perbuatannya. Sedangkan yang bersikap aktif beranggapan bahwa dalam segala perbuatannya, ia mendapatkan kuasa dari Tuhan, sehingga ia menguasai 23 24
Ibid., hlm. 96. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, op.cit., hlm. 58
32
perbuatannya.
Ia
memilih
dan
menentukan
perbuatannya,
serta
mempertanggungjawabkan perbuatannya terhadap yang meberikan kuasa. Manusia bersifat ikhtiar dalam perbuatannya. Manusia sebagai khalifah Allah melealisir fungsi ketuhanan sehingga manusia berfungsi kreatif, mengembangkan diri, dan memelihara diri dari kehancuran.25 Manusia ditakdirkan Allah Swt. sebagai khalifah di muka bumi senantiasa berinteraksi aktif dengan lingkungan. Kajian tentang manusia akan senantiasa menarik untuk dijadikan tema besar.26 Manusia mempunyai kemampuan memimpin dan untuk menjaga kelestarian alam yang diberikan Allah kepadanya dan bertanggungjawab terhadap apa yang dilakukannya.27 Manusia adalah makhluk yang paling sempurna, ia adalah makhluk bermoral dan berintelektual. Meskipun secara biologis bisa dikalahkan oleh makhluk lain, namun dengan modal intelektualnya, ia bisa membuat alat untuk melindungi dirinya, mengatasi dan mengendalikan wujud hayati lainnya. Misi utama manusia adalah misi moral dan intelektual. Dia merupakan jembatan kosmis tempat lewat kehendak Allah, dalam totalitas dan waktu dan menjadikannya aktual. Dengan dilengkapi akal dan kemampuan mengonseptualisasikan, manusia diberi petunjuk melalui wahyu Tuhan. Alam ini adalah milik Tuhan yang diberikan kepada manusia semata-mata sebagai sebuah amanah. 25
Zuhairini, op.cit., hlm. 78-79. Ismail Thoib, Wacana Baru Pendidikan, Cet-2, (Yogyakarta: Genta Press, 2008)., hlm.32. 27 Moh. Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, op.cit.,hlm. 98. 26
33
Sebagai khalifah, manusia mempunyai tugas kepemimpinan antara lain: a. Memakmurkan bumi Manusia dijadikan Allah dengan memikul amanah sebagai khalifah-Nya di muka bumi pada dasarnya ditugaskan untuk mengurus, memelihara, mengembangkan, mengambil manfaat bagi kesejahteraan manusia. Allah membekali dengan pancaindera, perasaan, intelektual, keyakinan, dan kehendak untuk melaksanakan tugas ini. Berbekal potensi-potensi itu, maka manusia memiliki keterampilan. b. Menegakkan kebenaran dan keadilan Menegakkan kebenaran dan keadilan adalah tugas kekhalifahan di dunia. Seperti halnya Allah mengangkat Daud sebagai khalifah dan mewasiatkan agar memutuskan perkara secara benar dan adil tidak mengikuti hawa nafsu yang berlawanan dengan ketentuan Allah yang dapat menyesatkan dari jalan atau perintah-Nya. c. Motivator dan dinamisator dalam kebaikan Khalifah dalam arti sempit berarti pemimpin, yang artinya manusia harus mampu mengaktualkan dirinya sebagai motivator dan dinamisator dalam kebaikan, baik dalam hubungannya secara vertikal maupun horizontal.28 Esensi makna khalifah adalah orang yang diberikan oleh Allah amanah untuk memimpin alam. Manusia bertugas untuk memelihara dan
28
M. Amin Syukur, op.cit., hlm. 153-154.
34
memanfaatkan alam semesta ciptaan Allah. Eksistensi khalifah terletak pada daya kreatif untuk memakmurkan bumi. Oleh karena itu, jabatan khalifah adalah jabatan yang lebih bersifat kreatif, bukan hanya sekedar status. Manusia harus memiliki ilmu pengetahuan dan perlengkapanperlengkapan lainnya agar manusia dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah secara maksimal. Berdasarkan fungsi manusia sebagai khalifah, maka manusia harus memiliki ilmu pengetahuan seperti ilmu kealaman, ilmu-ilmu sosial, ilmu-ilmu humaniora, dengan tidak mengesampingkan ilmu agama.29
B. Hakikat Pendidikan Islam 1. Definisi Pendidikan Islam Pendidikan mempunyai pengertian yang luas, yang mencakup semua perbuatan atau semua usaha dari generasi tua untuk mengalihkan nilai-nilai serta melimpahkan pengetahuan, pengalaman, kecakapan, serta keterampilan kepada generasi selanjutnya sebagai usaha untuk menyiapkan mereka, agar dapat memenuhi fungsi hidup mereka, baik jasmani maupun rohani. Ada tiga istilah yang sering dikaitkan dengan pendidikan Islam, yaitu tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib, yang semuanya merujuk kepada Allah. Tarbiyah berasal dari kata rabb atau rabba mengacu kepada Allah sebagai 29
Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 109-110.
35
rabb al-‘alamin. Sementara ta’lim berasal dari kata „allama juga merujuk kepada Allah sebagai Zat Yang Maha „Alim. Selanjutnya, kata ta’dib juga merujuk kepada Allah.
Hal ini menunjukkan bahwa sumber utama
pendidikan adalah Allah. Rasul sendiri juga menegaskan bahwa beliau dididik oleh Allah sehingga pendidikan yang beliau peroleh adalah sebaikbaik pendidikan. Oleh karena itu, Rasulullah saw. merupakan pendidik utama yang harus dijadikan teladan. Berdasarkan pengertian di atas, para ahli pendidikan Islam juga mencoba memformulasikan hakikat pendidikan Islam, antara lain: a. Muhammad Fadlil al-Jamaly memberikan arti pendidikan Islam dengan upaya mengembangkan, mendorong, serta mengajak manusia lebih maju dengan berlandaskan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia sehingga terbentuk pribadi yang lebih sempurna, baik berkaitan dengan akal, perasaan, maupun perbuatan. b. Omar Mohammad al-Tourny al-Syaebany mendefinisikan pendidikan Islam sebagai usaha mengubah tingkah laku dalam kehidupan, baik individu atau bermasyarakat serta berinteraksi dengan alam sekitar melalui proses pendidikan berlandaskan nilai Islam. c. Muhammad Munir Mursyi mengatakan bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan fitrah manusia. Disebabkan Islam adalah fitrah, maka segala perintah, larangan, dan kepatuhannya dapat mengantarkan mengetahui fitrah ini.
36
d. Hasan Langgulung mendefinisikan pendidikan Islam sebagai suatu proses spiritual, akhlak, intelektual, dan sosial yang berusaha membimbing manusia dan memberinya nilai-nilai, prinsip-prinsip, dan teladan ideal dalam kehidupan yang bertujuan mempersiapkan kehidupan di dunia dan akhirat. Berdasarkan penjabaran dari beberapa tokoh tersebut, dapat dijelaskan bahwa pendidikan Islam adalah segala upaya atau proses pendidikan yang dilakukan untuk membimbing tingkah laku manusia, baik individu maupun sosial untuk mengarahkan potensi, baik potensi dasar (fitrah) maupun ajaran yang sesuai dengan fitrahnya melalui proses intelektual dan spiritual berlandaskan nilai Islam untuk mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.30 Pendidikan Islam tidak hanya mengasah potensi manusia yang berkaitan dengan kemanfaatannya untuk alam, melainkan juga untuk menyelamatkan manusia dari api neraka. 2. Tujuan Pendidikan Islam Pendidikan yang diinginkan Islam adalah pendidikan yang mampu membentuk manusia yang unggul secara intelektual, kaya dalam amal, serta anggun dalam moral dan kewajiban. Agar dapat meraihnya, dibutuhkan suatu landasan filosofis yaitu prinsip-prinsip dasar sebagai hasil pemikiran, renungan dan pengkajian mendalam dan sistematis atas pesanpesan wahyu Ilahi tentang manusia.
30
Moh Haitami Salim dan Syamsul Kurniawan, op.cit., hlm. 32-33.
37
Pendidikan Islam menurut Abdurrahman al-Bani mempunyai misi utama, yaitu menjaga dan memelihara fitrah peserta didik, mengembangkan dan mempersiapkan segala potensi yang dimiliki dan mengarahkan fitrah potensi tersebut menuju kebaikan dan kesempurnaan serta merealisasikan program secara bertahap.31 Pendidikan Islam secara umum bertujuan untuk: a. Terbentuknya insan kamil (manusia paripurna) yang mempunyai wajahwajah qurani, yaitu insan beriman yang di dalam dirinya terdapat kekuatan, wawasan, perbuatan, kebijaksanaan, dan mempunyai sifatsifat yang tercermin dalam pribadi Nabi Muhammad saw. b. Terciptanya insan kaffah, yaitu insan yang mempunyai tiga dimensi kehidupan yang terdiri dari dimensi religius, dimensi budaya dan dimensi ilmiah. c. Penyadaran fungsi manusia sebagai hamba, khalifah Allah, serta sebagai pewaris Nabi dan memberikan bekal yang memadai dalam rangka pelaksanaan fungsi tersebut.32 Rumusan tujuan pendidikan yang bersifat universal dapat dirujuk pada hasil kongres sedunia tentang pendidikan Islam, yaitu bahwa pendidikan
harus
ditujukan
untuk
menciptakan
keseimbangan
pertumbuhan kepribadian secara menyeluruh, dengan cara melatih jiwa, akal pikiran, perasaan, dan fisik manusia. Pendidikan harus mengupayakan tumbuhnya seluruh potensi manusia, baik yang bersifat spiritual, 31
Zubaedi, Filsafat Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 2-3. Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, op.cit., hlm. 84-86.
32
38
intelektual, daya khayal, fisik, ilmu pengetahuan, maupun bahasa, baik secara perorangan maupun kelompok, dan mendorong tumbuhnya seluruh aspek tersebut agar mencapai kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan akhir pendidikan terletak pada terlaksananya pengabdian yang penuh kepada Allah, baik pada tingkat perseorangan, kelompok, maupun kemanusiaan dalam arti yang seluas-luasnya.33 Secara garis besar, tujuan pendidikan Islam dibedakan menjadi dua, yaitu: a. Tujuan Umum Tujuan umum pendidikan Islam ini sering pula disebut tujuan tertinggi dan terakhir. Tujuan ini adalah beribadah kepada Allah, maksudnya membentuk manusia yang beribadah kepada Allah. Tujuan umum ini bersifat tetap, berlaku di segala tempat, waktu dan keadaan. b. Tujuan Khusus Untuk mencapai tujuan umum pendidikan Islam diperlukan upaya yang tidak pernah berakhir dengan menerjemahkan di dalam berbagai tujuan khusus. Sehingga tujuan khusus pendidikan Islam merupakan operasionalisasi atau pengkhususan dari tujuan umum. Tujuan khusus bersifat relatif sehingga dimungkinkan untuk diadakan perubahan di mana perlu sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan selama tetap berpijak pada tujuan umum.Tujuan khusus pendidikan Islam ditetapkan berdasarkan keadaan tempat dengan mempertimbangkan
33
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2010), hlm. 62.
39
keadaan geografi, ekonomi, dan lain-lain yang ada di tempat tersebut. Tujuan khusus ini dapat dirumuskan berdasarkan ijtihad para ahli di tempat tersebut. Terdapat tiga hal yang menjadi dasar penyusunan tujuan khusus pendidikan Islam: 1) Kultur dan cita-cita suatu bangsa di mana pendidikan itu diselenggarakan. 2) Minat, bakat, dan kesanggupan subjek didik. 3) Tuntutan situasi dan kondisi pada kurun waktu tertentu.34 3. Metode Pendidikan Islam Metode pendidikan merupakan salah satu aspek pendidikan yang sangat penting dalam proses belajar mengajar guna mentransfer pengetahuan atau kebudayaan dari seorang guru kepada muridnya. Melalui metode pendidikan terjadi proses internalisasi dan pemilikan pengetahuan oleh peserta didik hingga peserta didik dapat menyerap dan memahami dengan baik apa yang telah disampaikan gurunya.35 Metode akan memberikan arah bagi segala aktivitas atau kegiatan kependidikan yang dilakukan oleh pendidik dalam rangka mengelola materi yang diberikan, mengarahkan perkembangan anak didik dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya. Metode pada dasarnya merupakan komponen pendidikan yang berfungsi membantu anak didik dalam menyerap segala informasi ilmu pengetahuan, nilai-nilai moral dan 34
Zubaedi, op.cit., hlm. 38-39. Suwito, Sejarah Sosial Pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 13.
35
40
keterampilan (skill) yang dikehendaki oleh pendidik. Tanpa metode maka transmisi pengetahuan, moral, dan keterampilan dapat dipastikan tidak akan terjadi antara pendidik dan anak didik. Metode merupakan instrumen penghubung antara pendidik dan anak didik dalam arus besar transformasi kependidikan.36 Metode merupakan salah satu usaha yang tidak boleh ditinggalkan oleh seorang pendidik, karena metode merupakan salah satu komponen yang ikut ambil bagian bagi keberhasilan pendidikan. Metode memiliki kedudukan sebagai alat motivasi ekstrinsik, sebagai strategi pengajaran, serta sebagai alat untuk mencapai tujuan.37 Pemilihan metode harus didasarkan pada kondisi pendidik, anak didik, materi yang disampaikan, serta tujuan yang akan dicapai. Metode-metode yang bisa digunakan dalam pendidikan Islam antara lain metode hiwar (percakapan), mendidik dengan kisah-kisah, mendidik dengan amtsal (perumpamaan), mendidik dengan memberi teladan, mendidik dengan pembiasaan diri dan pengalaman, mendidik dengan mengambil ibrah (pelajaran) dan mauidhoh (peringatan), mendidik dengan targhib (membuat senang) dan tarhib (membuat takut), dan lain sebagainya.38
36
Moh. Slamet Untung, Muhammad Sang Pendidik, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2005), hlm. 169. 37 Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain, Strategi Belajar Mengajar, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006), hlm. 72. 38 Khoiron Rosyadi, op.cit., hlm. 216.
41
4. Landasan Pendidikan Islam Secara umum, pendidikan Islam mengacu kepada dua landasan, yaitu landasan ideal dan landasan operasional. Landasan ideal pendidikan Islam menurut Said Ismail yang dikutip oleh Zubaedi antara lain mencakup: a. Alquran Alquran merupakan pedoman normatif dalam pelaksanaan pendidikan Islam. Kalam yang tertuang dalam Alquran merupakan dassollen yang harus diterjemahkan menjadi desain oleh ahli pendidikan menjadi suatu rumusan pendidikan Islam yang dapat mengantarkan pada tujuan pendidikan hakiki. Sebagai
wahyu,
Alquran
mendorong
manusia
agar
menggunakan akalnya untuk mencari kebenaran. Dengan akalnya, manusia dapat menempuh berbagai cara dalam memahami kebenaran dengan menggunakan ayat-ayat Tuhan sebagai premis. Kebenaran dicari
dengan
cara
merenungkan,
menggali,
menafsirkan,
membandingkan, menghubungkan, serta mentakwilkan informasi yang terkandung dalam wahyu. Kajian ini kemudian disusun dalam pemikiran pendidikan. b. Sunah Sunah adalah segala yang dinukilkan dari Nabi Muhammad saw., baik perkataan, perbuatan, maupun ketetapannya. Dijadikannya sunnah sebagai landasan dalam pendidikan Islam adalah karena fungsi
42
dari sunnah itu sendiri, di mana sunnah hadir untuk memperjelas isi Alquran dan juga sebagai pelengkap hal-hal yang belum dijelaskan dalam Alquran. c. Kata-kata Sahabat (Mazhab Sahabi) Kata-kata sahabat adalah praktik amaliyah, unsur kreativitas personal para sahabat dan berbagai upaya sahabat lainnya, yang diantaranya adalah untuk mengembangkan pendidikan Islam. d. Kemaslahatan kemasyarakatan (Maslahah Mursalah) Kemaslahatan kemasyarakatan merupakan ketetapan dan ketentuan perundang-undangan yang tidak disebutkan dalam Alquran dan sunah atas pertimbangan dan penolakan kerusakan dalam kehidupan
masyarakat.
Salah
satu
contoh
dan
kemaslahatan
kemasyarakatan adalah pentingnya upaya pendidikan. e. Nilai-nilai dan Adat-Istiadat Masyarakat („Urf) „Urf adalah perbuatan dan perkataan yang menjadikan jiwa merasa tenang dalam mengerjakan suatu perbuatan karena sejalan dengan akal dan diterima oleh tabiat yang baik. Masyarakat umumnya menganggap pendidikan sangat bermanfaat bagi kehidupan. Masyarakat primitif maupun modern akan membutuhkan pendidikan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. f. Hasil Pemikiran Muslim (Ijtihad) Ijtihad merupakan upaya yang sungguh-sungguh dalam memperoleh hukum syara‟ berupa konsep yang operasional melalui
43
metode istimbat (dengan deduktif-induktif) dariAlquran dan sunnah. Terhadap masalah pendidikan juga membutuhkan ijtihad sesuai dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat.39 Adapun landasan operasional merupakan dasar yang terbentuk sebagai aktualisasi dari dasar ideal. Menurut Hasan Langgulung sebagaimana yang dikutip oleh Zubaedi, landasan operasional pendidikan Islam terbagi menjadi enam macam, yaitu: a. Dasar historis, yaitu dasar yang memberi persiapan kepada pendidik dengan hasil-hasil pengalaman masa lalu, undang-undang dan peraturannya, batas-batas, dan kekurangan-kekurangannya. b. Dasar sosial, yaitu dasar yang memberikan kerangka budaya yang bertolak dan bergerak seperti melestarikan budaya, memilih, dan mengembangkannya. c. Dasar ekonomi, yaitu dasar yang memberi perspektif tentang potensipotensi manusia dan keuangan, materi dan persiapan yang mengatur sumber-sumbernya
dan
bertanggung
jawab
terhadap
anggaran
pembelanjaan. d. Dasar politik dan administratif, yaitu dasar yang memberi bingkai ideologi (akidah) dasar yang digunakan sebagai tempat bertolak untuk mencapai tujuan yang dicita-citakan dan rencana yang telah dibuat.
39
Ibid., hlm. 17-18.
44
e. Dasar psikologis, yaitu dasar yang memberi informasi tentang watak pelajar-pelajar, guru-guru, cara-cara terbaik dalam praktik, pencapaian dan penilaian serta pengukuran secara bimbingan. f. Dasar filosofis, yaitu dasar yang memberi kemampuan memilih yang terbaik, memberi arah suatu sistem, mengontrol dan memberi arah kepada semua dasar-dasar operasional yang lain.40
40
Ibid., hlm. 22-23.