BAB II LANDASAN TEORITIK 2.1 Teori Teori-teori
yang
digunakan
untuk
mengkaji
dan
menganalisis
permasalahan tentang dinamika sanksi hukum adat dalam perkawinan antarwangsa (perspektif HAM) sebagai berikut. 2.1.1 Teori Legal Sistem dari Lawrence M.Friedman Teori Legal sistem atau teori sistem hukum dari Friedman menyatakan bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu sistem. Lawrence M.Friedman dalam bukunya yang berjudul The Legal System : A Social Science Perspective, menyatakan bahwa setiap sistem hukum selalu mengandung tiga komponen, yaitu komponen struktur hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance), dan budaya hukum (legal culture). A legal sistem in cctual operation is complex organism in which structure, substance, and culture interact.”1 Artinya, sistem hukum dalam kenyataan sulit untuk dilaksanakan dalam berbagai organisasi yang akan mempengaruhi struktur, substansi, dan budaya. Penjelasan komponen-komponen di atas adalah sebagai berikut. a.
Komponen struktural (legal structure) dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai macam fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem tersebut. Salah satu di antaranya lembaga tersebut adalah pengadilan. Mengenai hal ini
1
Lawrence M. Friedman, 1969, The Legal System : A Social Science Perspective, Russel Sage Foundation, New York, h.16 (Selanjutnya disebut Lawrence M. Friedman I).
52
2
Friedman menulis “First many features of a working legal system can be called structural – the moving part, so to speak of the machine. Courts are simple and obvious example...”2 Artinya, salah satu bentuk bekerjanya sistem hukum dapat disebut sebagai struktur yang merupakan bagian mekanisme pengadilan. Pengadilan adalah contoh yang nyata dan sederhana. Komponen struktural yang dikaji dalam kaitannya dengan permasalahan penelitian adalah penegak hukum terhadap pelaksanaan peraturan perkawinan antarwangsa. Yang termasuk struktur hukum/penegak hukum dalam perkawinan antar-wangsa adalah raja, Hakim Raad Kertha/ Pendeta (brahmana) dan Hakim Pengadilan Negeri. b.
Komponen substansi hukum (legal substance), Friedman menyatakan sebagai “...the actual product of the legal system”.3 Menurutnya, pengertian substansi hukum meliputi aturan-aturan hukum, termasuk kaidah-kaidah hukum yang tidak tertulis, lontar-lontar yang mengatur perkawinan antar-wangsa serta sanksi menurut perkembangannya, Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951, Bhisama Sabha Pandita Nomor 03/X/PHDI/2002 Parisada Hindu Dharma Pusat dan Hasil Pesamuhan Majelis Utama Desa Pakraman ke III Tahun 2010.
c.
Komponen budaya hukum (legal culture). Sebelum dijelaskan lebih lanjut tentang budaya hukum, struktur dan substansi sering juga disebut sistem hukum. Budaya hukum oleh Friedman didefinisikan sebagai …”attitudes and values that related to law and legal system, together with those attitudes and 2
Lawrence M. Friedman, 1969, “On Legal Development” Dalam : Rutgers Law Rivies, Vol. 24. h.27. (selanjutnya disebut Lawrence M.Friedman II). 3 Ibid. h. 27.
3
values effecting behavior related to law and its institutions, either positively or negatively.4 Artinya, sikap-skap dan nilai-nilai yang ada hubungannya dengan hukum atau sistem hukum, berikut sikap-sikap dan nilai-nilai yang memberi pengaruh kepada tingkah laku yang berkaitan dengan hukum dan institusi hukum, baik positif maupun negatif. 2.1.2 Teori Law as a Tool of Social Engineering dari Rouscoe Pound Rouscoe Pound5 lahir tahun 1870 dan meninggal tahun 1964. Ia pernah menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Harvard Amerika Serikat selama 20 tahun. Konsep hukum Rouscoe Pound dimulai dari Social Interest, yang merupakan embrio dari teori “Law as social engineering. Pandangan tersebut kemudian dicantumkan dalam karyanya “A Theory of Interest”. Pernyataan Pound tentang fungsi hukum sangat luas termasuk untuk rekonsiliasi,harmonisasi dan kompromi atas seluruh konflik kepentingan orang lain, itulah disebut “law as social engineering”.6 Lebih lanjut Pound dalam teorinya menyatakan “the jurisprudence of interests suffers from the problems that exist in the sociological jurisprudence generally. In addition, the jurisprudence of interest point to the balancing of interet”7. Pound memandang hukum sebagai intitusi sosial dan eksistensi hukum diperlukan untuk memajukan kepentingan umum. Selanjutnya digunakan hukum
4
Ibid. h.28. Munir Fuadi, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Kencana Prenada Media Group, h.249. 6 Rouscoe Pound, 1975, Introduction to the Philosophy of Law, Yale University Press, p.47. 7 Surya Prakash Sinha, 1993, Jurisprudence Legal Philosophi In A Nutshell, ST, Paul, Minn, West Publishing CO, p.244. 5
4
untuk menyeimbangkan kepentingan. Kepentingan kemudian diklasifikasikan dalam teorinya menjadi tiga kepentingan yaitu pubict interest, social interest, and individual interest”.8 Artinya kepentingan publik, kepentingan sosial, dan kepentingan privat atau individu. Pound cendrung pada kepuasan kepentingan individu, artinya apabila kepentingan individu telah terpenuhi, maka otomatis kepentingan sosial dan kepentingan umum akan terpenuhi dengan sendirinya. Dari klasifikasi tersebut dapat ditarik dua hal. Pertama Pound mengikuti garis pemikiran von Jhering dan Bentham, yaitu berupa pendekatan terhadap hukum sebagai jalan ke arah tujuan sosial dan sebagai alat dalam perkembangan sosial Pound juga bisa dimasukkan dalam aliran Utilitarianism dan Realisme Amerika, oleh karena hukum yang dimaksudkan adalah keputusan hakim. Pada dasarnya kondisi awal suatu struktur masyarakat selalu berada dalam keadaan kurang seimbang.9 Ada yang terlalu dominan, ada pula yang terpinggirkan. Untuk itu perlu langkah progresif memfungsikan hukum untuk menata perubahan. Dari sinilah muncul teori Pound tentang hukum berfungsi sebagai alat rekayasa masyarakat (a tool of social engineering). Ungkapan ini berbeda dengan pandangan yang umumnya dianut pada saat itu, yakni bukan perubahan hukum yang mempengaruhi perkembangan masyarakat, tetapi justru perubahan dalam masyarakat yang mempengaruhi perubahan hukum. Namun berdasarkan hasil penelitian ungkapan tersebut semuanya benar.
8
Curzon, 1979, Jurisprudence: M&E Hanbook, Madonald& Evan Ltd., Estover, Plamouth, Great Britain, h.148. 9 Bernard L,Tanya, Yoan N.Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2010, Teori Hukum Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Genta Publishing, Yogyakarta, h.156.
5
Teori ini digunakan untuk menganalisis permasalahan tentang perubahan sosial berhubungan dengan hukum, sehingga menyebabkan terjadinya dinamika hukum perkawinan antar-wangsa. 2.1.3 Teori Stratifikasi Sosial dari Soerjono Soekanto Hukum dan stratifikasi sosial dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dalam bukunya berjudul Sosiologi Hukum dalam Masyarakat10mengemukakan bahwa stratifikasi sosial diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat atau secara hierarkis. Semakin kompleks stratifikasi sosial suatu masyarakat, semakin banyak hukumnya. Semakin kompleks stratifikasi sosial artinya, suatu keadaan di mana banyak sekali ukuran yang dipergunakan sebagai indikator untuk mendudukkan seseorang di dalam posisi sosial tertentu. Itu berarti bukan karena banyaknya lapisan-lapisan sosial yang ada melainkan ukuran yang dipakai. Mencermati apa yang dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dapat dipakai contoh masyarakat Hindu di Bali. Salah satu ukuran yang dipakai untuk menentukan posisi sosial adalah sistem wangsa. Orang yang termasuk dalam wangsa brahmana memiliki posisi yang paling tinggi di masyarakat. Semakin tinggi status orang dalam masyarakat, semakin sedikit hukum yang mengaturnya, demikian sebaliknya. Keadaan semacam ini sangat bertentangan dengan tujuan hukum, yang tidak membeda-bedakan status, dan jenis kelamin dalam masyarakat. Teori stratifikasi sosial dapat digunakan untuk menganalisis
10
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, 1980, Sosiologi Hukum dalam Masyarakat, Penerbit C.V. Rajawali Jakarta, h. 192.
6
permasalahan pertama, dan tidak menutup kemungkinan akan digunakan untuk menganalisis permasalahan kedua, dan ketiga. 2.1.4 Teori Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat dari William Chambliss dan Robert B.Seidman Teori ini dikemukakan oleh William Chamblis dan Robert B. Seidman.11 Berdasarkan teori ini, bekerjanya hukum dalam masyarakat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial, lembaga-lembaga pembuat hukum dan lembagalembaga pelaksana hukum. Oleh karena itu bekerjanya hukum tidak bisa dimonopoli oleh hukum. Teori ini digunakan untuk menganalisis permasalahan pertama, karena teori ini berkaitan dengan lembaga-lembaga pembuat hukum, penegak hukum, maupun kekuatan-kekuatan sosial, antara lain politik budaya masyarakat, dan wangsa. Kekuatan-kekuatan sosial itulah yang kemudian menyebabkan hukum mengalami dinamika. 2.1.5 Teori Living Law dari Eugen Ehrlich Eugen Ehrlich merupakan pelopor aliran Sociological Jurisprudence.12 Aliran ini mengemukakan pengaruh hukum terhadap masyarakat dan sebagainya dengan pendekatan dari hukum ke masyarakat. Aliran ini membedakan secara tegas antara hukum positif (the positive law), dan hukum yang hidup dalam masyarakat (the living law) di pihak lain.13
11
William J.Camblis dan Robert B. Seidman, 1971, Law, Order, and Power, Reading, Mess Addison, Wesly, 1971, h.12. 12 H.Abdul Manan, 2005, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Penerbit Prenada Media, Jakarta, h.19. 13 Darji Darmodiharjo dan Shidarta, I, Op.Cit, h. 128.
7
Berdasarkan uraian di atas hukum positif baru akan memiliki daya berlaku yang efektif apabila berisikan, atau selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu sebelum peratuaran atau undang-undang dibuat sebaiknya mengadakan penelitian terlebih dahulu di dalam masyarakat. Apa dan bagaimana hukum itu harus dibuat. Teori ini digunakan untuk menganalisis masalah pertama dan ketiga. 2.1.6 Teori Intraksionisme Simbolik dari Herbert Blumer Teori Interaksionisme Simbolik termasuk Paradigma Definisi Sosial.14 Teori ini menyangkut tentang proses pemikiran yang kreatif dari manusia. Teori ini menggunakan metode observasi khususnya metode observasi terlibat (participant observation). Teori Interaksionisme Simbolik dikemukakan oleh Blumer.
Interaksionisme
simbolik
(Simbolic
Interaksionism)
merupakan
pendekatan yang bersumber dari pemikiran George Herbert Mead. “Arti kata interaksionisme sudah nampak bahwa sasaran pendekatan ini ialah interaksi sosial; kata simbolik mengacu pada penggunaan simbol-simbol dalam interaksi. Interaksi simbolik juga berkaitan dengan gerak tubuh, antara lain suara atau vokal, gerakan fisik, ekspresi tubuh, yang semuanya itu mempunyai maksud dan disebut dengan simbol.15 Pokok pikiran interaksionisme simbolik Herbert Blumer16 ada tiga. Pertama adalah manusia betindak (act) terhadap sesuatu (thing), atas dasar makna yang dimiliki oleh sesuatu tersebut (act). Orang Hindu di India memaknai 14
George Ritzer, 1992, Sosiologi Berparadigma Ganda, Penerbit PT Rajawali Pers Jakarta, h.52. (Selanjutnya disebut George Ritzer I) 15 I.B.Wirawan, 2013, Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma, Fakta sosial, Definisi Sosial, dan Perilaku Sosial, Cetakan kedua, Penerbit Kencana Prenadamedia Group Jakarta, h.109. 16 Kamanto Sunarto, 2004, Pengantar Sosiologi, Edisi Revisi, Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, h.36.
8
seekor sapi (thing) akan berbeda dengan orang penganut agama Islam di Pakistan, karena makna terhadap seekor sapi bagi masing-masing orang tersebut berbedabeda. Berdasarkan uraian tersebut, makna suatu simbol akan berubah melalui suatu proses penafsiran (interpretative process), yang digunakan orang dalam menghadapi sesuatu yang dijumpainya. Teori ini akan digunakan untuk mengkaji masalah kedua mengenai makna perubahan sanksi hukum adat perkawinan antarwangsa. 2.1.7 Teori HAM Patrikularistis Relatif Teori Partikularistis Relatif17 bertitik tolak pada prinsip yang tidak membedakan pengertian-pengertian, nasional, regional, latar belakang sejarah, kebudayaan/keagamaan yang harus ditanamkan dalam pikiran masyarakat. Menjadi tugas negara, tanpa memandang sistem politik, ekonomi, dan budaya tetap memperhatikan dan melindungi HAM dan kebebasan dasar manusia. Pandangan ini berada dalam konteks dinamis dan berubah-ubah, oleh karena setiap negara memiliki warisan pengalaman sejarah dan perubahan yang nyata, baik
ekonomi,
sosial,
politik,
dan
budaya
juga
norma-norma
harus
dipertimbangkan. Prinsip-prinsip HAM yang digunakan dalam mengkaji HAM perempuan antara lain prinsip dignity yang diatur dalam mukadimah alinea pertama DUHAM yaitu pengakuan atas martabat yang melekat pada dan hak-hak yang sama dan
17
Mansyur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, 2010, HAM dalam Demensi/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan/Aplikasi HA-KHAM (Hukum Hak Asasi Manusia) Dalam Masyarakat, Ghalia Indonesia Anggota IKAPI, Cetakan ketiga, h.86-88.
9
tidak dicabut dari semua anggota keluarga manusia. Pengakuan terhadap martabat adalah landasan tentang kebebasan, keadilan, dan perdamaian di dunia. Hak-hak asasi manusia adalah tak terpisahkan (inherent) dengan dan merupakan perlindungan terhadap nilai martabat manusia (the dignity of the human person), sehingga harus dijunjung tinggi oleh bangsa dan negara Republik Indonesia yang berfalsafah Pancasila. Sanksi perkawinan antar-wangsa bertentangan dengan prinsip di atas, oleh karena merendahkan martabat manusia. Prinsip kesetaraan atau equality18 merupakan salah satu prinsip yang sangat penting dalam seluruh pembahasan mengenai HAM. Prinsip kesetaraan memiliki hubungan yang sangat kuat dengan konsep mengenai kebebasan dan keadilan. Prinsip ini sering digambarkan sebagai jiwa dari HAM karena hal yang fundamental dari ide lahirnya HAM, meletakkan setiap individu manusia di muka bumi ini dalam posisi yang sama dan sejajar dalam hubungan antara satu dengan yang lainnya. Ide kesetaraan didifinisikan “bahwa setiap orang pada suatu situasi yang sama harus diperlakukan sama”. Di satu sisi HAM menjamin kebebasan individu namun di sisi yang lain HAM juga mempunyai perhatian terhadap pemenuhan rasa keadilan. Prinsip anti diskriminasi diatur dalam Pasal 2 Universal Declaration of Human Rights 1948, yang menegaskan setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang dijamin dalam intrumen HAM tanpa pengecualian apapun, seperti pembedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pollitik atau pandangan lain, asal-usul kebangsaan atau masyarakat, kepemilikan, 18
Hesti Armiwulan Sochmawardiah, 2013, Diskriminasi Rasial Dalam Hukum HAM, Studi Tentang Diskriminasi terhadap Etnis Tionghoa, Genta Publishing, Yogyakarta, h. 88.
10
kelahiran atau status lainnya. Dengan mencermati sanksi perkawinan antarwangsa, sudah jelas bertentangan dengan prinsip di atas oleh karena masih membeda-bedakan manusia atas dasar kelahiran. Prinsip Keadilan yang digunakan prinsip keadilan John Rawl melalui karyanya A Theory of Justice. Menurut Rawls prinsip yang paling mendasar dari keadilan adalah bahwa setiap orang memiliki hak yang sama dari posisi-posisi mereka yang wajar.19 Dalam hal ini seseorang harus mengenyampingkan atributatribut yang membedakannya dengan manusia lainnya seperti jabatan, kasta, kekayaan, pendidikan, pandangan religius dan filosofis. Rowls melahirkan tiga prinsip keadilan,20 yaitu prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle), prinsip perbedaan (differences principle), prinsip persamaan kesempatan (equal opportunity principle). Perkawinan antar-wangsa menganut prnsip perbedaan oleh karena masih dipengaruhi oleh adanya atribut kasta, sehingga perlu diarahkan pada prinsip kebebbasan yang sama (equal liberty principle) dalam memilih jodoh. 2.1.8 Teori Feminist Legal Theory Feminisme merupakan suatu paham pergerakan perempuan untuk mendapatkan hak-haknya. “De vrouwenbeweging diebelangrijke wijzigingen heft doen aanbrengen aan ons publiek-en privatrecht,21 Artinya, gerakan perempuan telah menimbulkan perubahan-perubahan penting pada hukum publik dan hukum
19
John Rawls, 1971, A Theory Of Justice, The Belknap Press of Harvard University Press, Cambidge Massachusetts, USA, p.60. (Selanjutnya disebut John Rawls I). 20 Ibid, p. 65. 21 Gijssels Jan, Mark Van Hoeke,1982, Wat is rechtsteorie, Docent UFSIA, h.42. (Selanjutnya disebut Gijssel Jan, Van Hoeke I).
11
perdata22. Teori Hukum Feminis (Feminist Legal Theory) mengemukakan bahwa, pendekatan hukum bermula dari suatu asumsi dasar mengenai hubungan antara perempuan dan hukum. Sulistyowati Irianto mengemukakan “pendekatan hukum berperspektif
perempuan.”23
Kenyataan
menunjukkan
bahwa
hukum
diinformasikan oleh laki-laki, dan bertujuan memperkokoh hubungan-hubungan sosial yang patriarkis. Hubungan yang dimaksud didasarkan pada norma, pengalaman, dan kakuasaan laki-laki, dan mengabaikan pengalaman perempuan. Teori ini dapat digunakan untuk menganalisis permasalahan kedua dan ketiga. Kerangka teoritis dapat diragakan seperti gambar berikut: GAMBAR 3 Kerangka Teoritik TTHukum Substansi
Struktur Hukum
Kekuatan-Kekuatan Sosial
Kelas Vertikal dan Horizontal
22
Dinamika Sanksi Hukum Adat Perkawinan AntarWangsa
Budaya Hukum
Diskrimininasi Kesetaraan, keadilan
Makna/ Simbol
Gijssels Jan, Mark Van Hoeke, 2000, Apakah Teori Hukum Itu? Diterjemahkan oleh B.Arief Sidarta. Penerbit Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan Bandung, 31. (Selanjutnya disebut Gijssel Jan, Mark Van Hoeke II). 23 Tapi Omas Ihromi, Sulistyowati Irianto, Achie Sudiarti Luhulima, 2000, Penghapusan Diskriminasi Wanita, Alumni Bandung, h.93.
12
1.2 Konsep Hukum serta Pandangan Para Sarjana 2.2.1 Konsep Hukum dari Soetandio Wignjosoebroto Soetandio Wignjosoebroto merangkum konsep hukum dilihat dari abstrak dan konkretnya hukum, sekurang-kurangnya dikemukakan ada 6 (enam) konsep tentang apa yang disebut hukum yaitu: 1) Pertama, dalam konsepnya yang paling abstrak, hukum dimaknakan sebagai ide tentang kebaikan dan keindahan (Plato). Tipe kajiannya dalam filsafat hukum. 2) Kedua, dalam konsepnya yang lebih konkret lagi, hukum dikonsepkan sebagai azas-azas keadilan yang dipercaya secara kodrati berlaku universal. Kaum sekuler, yang kemudian mengembangkan hukum alam. Pelopornya adalah Hugo de Groot. Dalam konsep ini, tipe kajian filsafat hukum. 3) Ketiga, dalam bentuknya yang lebih konkret lagi, hukum dikonsepkan sebagai preskripsi yang dihasilkan sebagai produk legislasi oleh suatu badan politik suatu kekuasaan nasional yang disebut badan legislatif (hukum in abstaracto). Hukum Undang-undang sebagai satu-satunya hukum dalam kehidupan nasional yang harus ditaati, dan mengatasi norma sosial dalam kehidupan masyarakat (legal Positivist) atau tepatnya kaum legis. 4) Keempat, dalam bentuk yang lebih konkret lagi, hukum sebagai produk yang terwujud melalui proses yudisial, terwujud melalui putusan hakim di pengadilan (hukum in concreto) tipe judge made law, kajian American Sosiologi Jurisprudence. 5) Kelima, konsep hukum yang manifest dalam wujud keteraturan prilaku warga masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari. Tipe kajian Sosiolosi Hukum: Law as it is in society. 6) Keenam, hukum dikonsepkan sebagai manifest makna-makna simbolik para subyek, tersimak dalam wujud interaksi antar warga masyarakat dalam situasi otonom, terbebas dari intensi-intensi para pembentuk Undang-undang atau dari kehendak tetua hukum. Dalam konsep ini, hukum memproleh bentuk yang paling situasional, dinamis serta manifest dari para subyek yang berinteraksi, Tipe kajian sosiologi hukum: Law as it is human action.24
24
Soetandyo Wignyosoebroto, 2008, Keragaman Dalam Konsep Hukum, Tipe Kajian dan Metode Penelitiannya, dalam Butir-Butir dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Arief Sidarta, Penyunting Niken Savitri, Refika Aditama, Bandung, h.43-45. (Selanjutnya disebut Soetandyo II)
13
Dari enam konsep hukum yang telah dikemukakan oleh Soetandyo, penelitian ini tempatnya pada konsep keempat, kelima dan keenam yaitu hukum sebagai wujud peraturan-peraturan maupun keputusan hakim, hukum sebagai wujud keteraturan prilaku warga masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Prilaku masyarakat agar sesuai dengan apa yang ditetapkan dalam Keputusan DPRD Bali. Hukum juga dikonsepkan sebagai makna-makna simbolik para subjek hukum, tersimak dalam wujud interaksi antarwarga masyarakat. Dengan konsekuensi metodologisnya bersifat kualitatif, serta menggunakan teori sosial, di samping menggunakan teori hukum. Metode kualitatif digunakan untuk mengkaji prilaku manusia dalam kasus-kasus terbatas, namun mendalam (in depth) dan bersifat menyeluruh (holistic). 2.2.2 Konsep Hukum Triangular dari Werner Menski Konsep hukum triangular
25
dikemukakan oleh Werner Menski antara lain
mengemukakan bahwa, ”Beyond identitying three major types of laws created by society, by the state and through values and ethics…”Menski menggunakan tiga tipe utama hukum yaitu hukum yang diciptakan oleh masyarakat, hukum yang diciptakan oleh negara dan hukum yang timbulnya melalui nilai serta etika. Menurut Menski ketiga hukum tersebut bersifat plural. Sesungguhnya, di dalam realitas, tampak bahwa masing-masing dari ketiga tipe hukum tersebut, juga berisikan dua unsur tipe hukum lainnya. Selanjutnya ditemukan suatu level intrinsik yang benar-benar bersifat plural.
25
Achmad Ali, 2012, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence) Termasuk Interpretasi Undang-undang (legis Prudence), Kencana Prenada Media Group Jakarta, Cetakan ke-empat, h.430. (Selanjutnya disebut Achmad Ali II),
14
Meski dalam memperkenalkan representasi grafis (skema)26 dari “level intrinsic the second, pluralisme hukum yang disajikan dimulai dari hukum yang ditemukan di dalam kehidupan sosial, karena di kehidupan sosial itulah merupakan
tempat
di
mana
hukum
selalu
berlokasi.
Studi
terkini
mengonfirmasikan bahwa tiada masyarakat tanpa hukum, mungkin sedikit sekali hukum produk negara di dalam suatu konteks kultur dan lokal khusus tertentu. Pengertian masyarakat bukan dalam makna masyarakat secara nasional melainkan masyarakat dalam bentuk suatu komunitas atau kelompok lokal yang kecil, bahkan barangkali dalam bentuk suatu klan atau keluarga saja”. Konsep hukum triangular digunakan untuk mengkaji perkawinan antarwangsa, oleh karena perkawinan antar-wangsa diatur oleh hukum adat/ hukum asli dari masyarakat, antara lain adanya aturan keluarga tentang perkawinan sederajat, hukum produk negara seperti Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Bali Tahun 1951, demikian juga aturan-aturan yang timbul dari nilai-nilai, yaitu nilai agama Hindu, nilai Pancasila. Peraturan tersebut dapat saling mempengaruhi, sehingga menimbulkan peraturan yang menunjukkan level intrinsik yang bersifat plural. Hukum dalam konsep ini tidak dapat dilihat secara sebagian namun secara menyeluruh, seperti melihat pohon kayu, tidak hanya batangnya saja disebut pohon, tetapi ranting, daun, dan akar merupakan bagian dari pohon secara utuh. Melihat hukum dalam konsep triangular juga demikian halnya. Hukum adat/hukum masyarakat dapat berpengaruh mendukung hukum negara, namun di lain pihak dapat juga menghambat hukum negara.
26
Skema Triangular dapat dilihat dalam Achmad Ali II, h.190.
15
Konsep Hukum Triangular dapat diaplikasikan terhadap peraturan yang mengatur perkawinan antar-wangsa. Dari gambar di atas dapat ditunjukkan bahwa memang benar ketiga dari unsur tersebut di atas bersifat plural. Kenyataan di dalam masyarakat tampak masing-masing dari ketiga tipe hukum tersebut, juga berisikan dua unsur tipe hukum lainnya. Selanjutnya menemukan level intrinsik yang benar-benar bersifat plural, sehingga menghasilkan sembilan unsur-unsur nyata dari hukum yang bersifat plural. Nomor 1 pada segitiga, menggambarkan peraturan dari unsur masyarakat (number 1 to the triangle of society), nomor 2 menggambarkan peraturan dibuat oleh unsur negara (number 2 to triangle of state), dan nomor 3 menggambarkan peraturan bersumber pada dunia nilai serta etika (number 3 to the realm of value and ethics). Urutan ini tidak menyiratkan bahwa ada unsur yang relatif lebih unggul atau superior ketimbang unsur lain, tidak bertujuan bahwa secara relatif nomor 1 lebih unggul atau superior ketimbang yang nomor 2 dan nomor 3; atau yang nomor 2 lebih unggul ketimbang yang nomor 3. Dalam konsep ini hukum dilihat secara utuh atau menyeluruh. 2.2.3 Konsep tentang Hukum Adat Konsep tentang hukum adat menurut Soepomo,27 adalah hukum yang nonstatutair yaitu hukum tidak tertulis dalam peraturan legislatif, yang hidup dalam hukum kenegaraan (konvensi), keputusan-keputusan hakim, hukum kebiasaan (customary law), termasuk pula aturan-aturan desa dan aturan-aturan keagamaan. Soekanto28 berpendapat bahwa hukum adat adalah peraturan-peraturan yang
27
Soepomo R., 2000, Bab-bab tentang Hukum Adat, Cetakan kedelapan, Penerbit Pradnya Paramita Jakarta, h.7. 28 Soekanto, 1985, Meninjau Hukum Adat Indonesia, PT Rajawali, Jakarta, h.11.
16
bersanksi, kaidah-kaidah yang apabila dilanggar ada akibatnya dan bagi mereka yang melanggar dapat dituntut dan dihukum. Kompleks adat-adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasi (ongecodifiseerd), dan bersifat paksaan (dwang) mempunyai akibat hukum (rechtsgevolg), kompleks ini disebut hukum adat (adatrecht). Hukum adat menurut Seminar Hukum Adat 1975 di Yoyakarta,29 adalah hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini mengandung unsurunsur agama. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Hukum Adat Bali adalah “keseluruhan peraturan-peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis, termasuk peraturan-peraturan agama serta kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat Hindu di Bali. Pelanggaran terhadap peraturan tersebut akan menimbulkan reaksi dan sanksi adat”. 2.2.4 Konsep tentang Sanksi Hukum Sanksi hukum menurut E Utrecht adalah “akibat suatu perbuatan atau suatu reaksi dari pihak lain (manusia atau organisasi sosial) atas suatu perbuatan”.30 Sanksi terhadap pelanggarnya dapat dipaksakan dan dapat dilaksanakan di luar kemauannya. Menurut Achmad Ali “sanksi hukum tidak perlu berwujud hukuman fisik atau pencabutan kepemilikan. Bentuk sanksi terkait
29
I Gede A.B. Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia Perkembangan dari Masa ke Masa Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 52. 30 Chainur Arrasjid, 2004, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Cetakan ketiga, Sinar Grafika, Jakarta, h. 23.
17
dengan kultur dan subkelompok dimana sanksi tersebut digunakan, dan hal itu dapat bersifat fisik atau psikologis”.31 Berdasarkan uraian di atas sanksi hukum adat adalah sanksi yang pada umumnya tidak tertulis namun memiliki kemampuan untuk memaksakan terhadap pelanggarnya. Sanksi hukum adat tidak perlu berwujud fisik, justru dalam bentuk psikislah sanksi adat lebih ditakuti oleh masyarakat. Istilah sanksi adat dapat juga disebut sebagai reaksi adat. Reaksi adat pada umumnya perlu diselesaikan. Penyelesaian ini merupakan makna dari sanksi adat itu sendiri dengan cara mengembalikan keseimbangan yang telah dilanggar atau terganggu. Masyarakat yang demikian mempunyai budaya hukum yang sangat kuat, di mana anggota masyarakatnya menjunjung tinggi peraturan-peraturan, ugeran-ugeran, atau kaidah-kaidah yang merupakan warisan turun-temurun atau kaidah-kaidah yang telah disepakati dalam hidup bersama untuk mencapai ketertiban dan kedamaian masyarakatnya. 2.2.5 Konsep tentang Sanksi Adat Menurut Widnyana,32 “sanksi adat merupakan salah satu reaksi adat terhadap pelanggaran aturan-aturan adat atau tidak dilaksanakannya peraturanperaturan adat.” Lebih lanjut Widnyana menyatakan bahwa “sanksi adat dimaksudkan untuk mengembalikan keseimbangan yang terganggu akibat adanya pelanggaran adat”. Sanksi adat ini selalu disertai dengan suatu kejadian atau perbuatan yang harus dipertanggungjawabkan oleh si pelaku maupun keluarganya. 31
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2012, Resep Hukum Sebuah Bunga Rampai, Cetakan Pertama Kencana Prenada media Group, h.83. 32 I Made Widnyana, 1992, Eksistensi Delik Adat Dalam Pembangunan, Orasi Ilmiah, disampaikan di hadapan Sidang Terbuka Senat Universitas Udayana, h.11.
18
Biasanya perbuatan untuk melaksanakan sanksi adat selalu disertai dengan suatu upacara yang di Bali dikenal dengan istilah “pamarisuddhan” yaitu upacara pembersihan desa dari perasaan kotor alam gaib. Perbuatan ini bukanlah dimaksudkan sebagai suatu siksaan atau suatu penderitaan, akan tetapi untuk mengembalikan keseimbangan kosmis”. Berdasarkan uraian di atas sanksi adat dikenakan untuk mengembalikan ketidakseimbangan akibat dilanggarnya suatu aturan. Aturan tersebut bisa dari desa pakraman, bisa juga dari keluarga besar. Jenis sanksi yang pernah dikenal dalam hukum adat sebagai berikut. a. b. c.
d.
e.
Danda adalah sejumlah uang yang dikenakan kepada seseorang yang melanggar suatu ketentuan (awig-awig) di banjar/desa. Kesepekang adalah tidak diajak bicara oleh karma (warga) banjar/desa karena melanggar peraturan-peraturan di banjar/desa. Maprayascitta adalah suatu upacara adat untuk membersihkan desa/tempat tertentu apabila terjadi suatu peristiwa/perbuatan tertentu yang dianggap mengganggu keseimbangan magis dalam kehidupan masyarakat (dianggap mengotori desa). Selong adalah sejenis hukuman di mana seseorang dibuang ke tempat lain untuk beberapa lama karena melanggar sesuatu ketentuan adat/agama.33 Mapulang ke pasih (ditenggelamkan ke laut).34
Dari uraian tentang sanksi adat di atas, dapat dikemukakan jenis sanksi hukum adat perkawinan antar-wangsa sebagai berikut. a.
labuh geni (terjun ke dalam bara api) bagi perempuan,
b.
labuh batu (ditengelamkan ke dalam laut dan kakinya diperberat dengan batu) bagi laki-laki,
c.
selong (dibuang/diasingkan ke suatu daerah di luar pulau Bali atau di luar kota, di luar desanya), 33
TIP. Astiti, 1982, Inventarisasi Istilah-Istilah Adat/Agama dan Hukum Adat di Bali, (Laporan Penelitian), h.28-31. (Selanjutnya disebut Astiti II). 34 Tjok Raka Dherana dan I Made Widnyana, 1976, Agama Hindu dan Hukum Pidana Nasional (makalah). h. 29.
19
d.
danda dapat dilakukan dengan membayar dalam bentuk uang, dan dapat pula dilakukan dalam bentuk hukuman selong atau hukuman kurungan sebelum tahun 1951, jika si pelaku tidak mampu membayar.
e.
Sanksi penurunan wangsa dengan melakukan upacara patiwangi.
f.
Sanksi sosial dan sanksi pisikis dari masyarakat dan keluarga.
2.2.6 Konsep tentang Dinamika Sanksi Berbicara dinamika tentang sanksi maka, tidak dapat lepas dari dinamika hukum itu sendiri. Djojodigoeno,35 menyebutnya sebagai dinamika hukum yaitu hukum bersifat hidup. Dinamis artinya, bilamana hukum dapat mengikuti perkembangan masyarakat. Dalam perkembangannya hukum membutuhkan perubahan dasar-dasar hukum sepanjang perjalanan sejarahnya. Bilamana dikehendakkan penunaian keadilan dalam pelaksanaannya dan pemeliharaannya, yang memberi kemungkinan kepada hakim untuk mengambil suatu keputusan yang berlainan di dalam masalah hukum yang sama, namun diadili dalam waktu yang berlainan, berdasarkan perbedaan azas-azas hukum yang selalu berkembang menurut perkembangan masyarakat. Lebih lanjut, Djojodigoeno mengemukakan tentang hukum juga mempunyai sifat plastis,36 yaitu bilamana pelaksanaan hukum terdapat dua masalah hukum di mana termasuk dalam satu pola atau satu tipe, mungkin sekali berdasarkan pelbagai peristiwa yang berbeda-beda. Bilamana perbedaan itu relevan sifatnya, perbedaan itu haruslah diperhatikan agar dapat ditunaikan
35
Djojodigoeno M.M., 1950, Menyandra Hukum Adat, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, h.9-10. (Selanjutnya disebut Djojodigoeno II). 36 Ibid, h.11
20
keadilan. Sebaliknya, bilamana perbedaan dalam pelaksanaan dan pemeliharaan hukum itu tidak memproleh perhatian, maka perbedaan tersebut bersifat tegar. Widnyana mengemukakan bahwa hukum adat adalah hukum yang selalu tumbuh dan berubah. Demikian pula halnya dengan sanksi adat yang timbul, berkembang dan lenyap sesuai dengan perubahan masyarakat37. Perubahan akan membutuhkan perubahan-perubahan tentang dasar-dasar hukum sepanjang sejarah hukum itu sendiri, sehingga selalu berkembang menurut perkembangan masyarakatnya. Hukum plastis bersifat elastis artinya, pelaksanan hukum di masyarakat bisa saja tidak sama terhadap suatu permasalahan yang sama, disebabkan oleh latar belakang baik subyek maupun obyek hukum tersebut. Berdasarkan pendapat di atas dapat dikemukakan tentang dinamika hukum adalah hukum yang memiliki sifat dinamis dan plastis artinya, hukum itu hidup dan dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat. Hukum tidak bisa di pisahkan dengan sanksinya, jika hukum berubah maka sanksinya pun mengalami perubahan. Jika sanksi mengalami perubahan maka makna sanksi juga berubah. Pada umumnya perubahan hukum itu menuju ke arah hukum yang lebih baik, dan sanksi menuju ke arah yang lebih ringan, lebih manusiawi, dan lebih adil. Dengan demikian maka sanksi hukum adat mengalami dinamika.
37
I Made Widnyana, 1992, Op., Cit, h.12.
21
2.2.7 Konsep tentang Wangsa, Warna, dan Kasta Konsep tentang Wangsa Menurut Wiana dan Raka Santri,38 wangsa berasal dari kata wang dan sa, wang artinya keturunan/asal, sedangkan sa memiliki arti satu, jadi wangsa artinya satu keturunan. Untuk membuktikan bahwa catur wangsa memang benar berasal dari satu keturunan sebaiknya memahami terlebih dahulu tentang sejarah wangsa di Bali. Untuk tujuan itu akan dikemukakan secara singkat sejarah kerajaan di Bali dimulai dari awal berkuasanya kerajaan Majapahit. Setelah runtuhnya Kerajaan Bedahulu oleh ekspedisi laskar Gajah Mada, maka terjadi kekosongan pimpinan di Bali.39 Gajah Mada atas restu Raja Majapahit mengangkat putra Mpu Kepakisan yang bernama Mpu Kresna Kepakisan seorang keluarga Brahmana yang berasal dari Daha menjadi raja di Bali yang bergelar Sri Kresna Kepakisan(1350-1380).
Pada
awal
pemerintahan
Sri
Kresna
Kepakisan
nampaknya masih menggunakan sistem warna. Hal ini terbukti dari pengangkatan tersebut kemudian status brahmana-nya berubah menjadi ksatrya. Perubahan tugas menyebabkan Mpu yang menunjukkan lapisan brahmana, berubah menjadi Sri yang menunjukkan lapisan ksatrya.40 Pada zaman Sri Kresna Kepakisan, banyak bangsawan dari Majapahit ikut ke Bali. Bangsawan ini merupakan kelompok elit baru yang memegang peranan penting atas struktur pelapisan sosial masyarakat di Bali. Pada zaman Sri Kresna Kepakisan memerintah Bali mulai menciptakan wangsa-wangsa, yang kemudian dikelompokkan sebagai Ksatrya dan Wesya. Keturunan raja dan ksatrya Bali Aga 38
Wiana dan Raka Santri, Op., Cit., h. 120. Nyoka,1990, Sejarah Bali, Penerbit Toko Buku Ria Denpasar Bali, h.1 40 Ibid, h.18 39
22
menolak sistem kasta, kemudian mereka dikelompokkan sebagai Sudra. Kelompok ini kemudian menyebut diri sebagai Jaba (luar) yang berarti golongan di luar kasta Brahmana, Ksatrya dan Wesya.41 Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan sistem wangsa timbul sejak zaman dinasti Sri Kresna Kepakisan. Pada zaman inilah kemudian dikembangkan stratifikasi sosial yang disebut sistem wangsa yang berlaku sampai saat ini. Sistem wangsa terdiri dari wangsa berahmana, ksatrya, weisya, dan jaba wangsa. Keempat wangsa ini memiliki hubungan yang bersumber dari satu keturunan. Konsep tentang Warna Warna42 berasal dari bahasa Sanskerta yaitu urat kata Vri- yang berarti memilih lapangan pekerjaan. Catur warna membagi masyarakat Hindu menjadi empat kelompok profesi. Warna ditentukan oleh guna dan karma. Sistem warna pernah diterapkan dalam masyarakat Hindu di Bali. Buktinya adalah Prasasti Bila yang berangka tahun Saka 995 (1073) di mana masyarakat menganut sistem pembagian masyarakat atas Catur Warna. Jadi sistem warna sudah ada pada masa Bali Kuna dan tidak merupakan hak yang bersifat turun temurun.43 Pelapisan masyarakat berdasarkan sistem warna menganut stelsel horizontal. Dalam kitab-kitab suci agama Hindu yaitu Veda, Manawa Dharmacastra, dan Bhagawad Gita digunakan istilah “warna”. Berdasarkan Teori Weda warna adalah organisasi sosial yang membuat perbedaan antara status dan kekuasaan (yang biasanya dikaitkan dengan supremasi kerohanian yang berkaitan dengan
41
Ibid h.22-23 Wiana dan Raka Santri, Op.Cit. h.37. 43 Ibid, h.85 42
23
duniawi)44. Sistem warna terdiri atas empat kategori yaitu Brahmana, Ksatrya. Wesya, dan Sudra, yang sesungguhnya berbeda dengan konsep kasta atau jati, tetapi warna adalah kelas berdasarkan kelompok profesi. “Hymne Purusa sukta dari Rg Weda membandingkan masyarakat dengan seekor gajah. Brahmana adalah kepalanya, Ksatrya sebagai lengannya, Wesya sebagai belalainya (trunk), dan sudra sebagai kakinya. Disebutkan pula bahwa tidak ada elemen dari keseluruhan yang boleh mengklaim diri sebagai terpenting dan superior dari yang lain. Di sini kolaborasi dan pertukaran, saling memberi pelayanan adalah esensi dari teori warna”.45 Dalam konsep Mahapurusa mengajarkan bahwa ada empat jenis manusia yang lahir dari badan Mahapurusa (Tuhan). Brahmana lahir dari kepala, Ksatrya lahir dari tangan, Wesya lahir dari perut dan Sudra lahir dari kaki. Keempat jenis profesi tersebut saling membutuhkan dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu keempat profesi itu harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang bulat. Namun jika ditinjau dari hakikat dan martabatnya keempat jenis warna itu harus diartikan sederajat.46 Perubahan makna, sikap akan tergantung pada pergeseran nilai-nilai yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Hindu47. Berdasarkan uraian di atas dapat dikemukakan bahwa sistem warna merupakan status yang dimiliki seseorang atas dasar profesi yang diperolehnya melalui kemampuannya sendiri. Warna sama sekali tidak berdasarkan keturunan. Sistem pelapisan sosial berdasarkan warna merupakan pelapisan sosial yang
44
I Wayan Ardika dkk., Op.Cit. h.317. Ibid. h.317. 46 Made Pasek Diantha dan I Gede Pasek Eka Wisanjaya, Op.Cit, hal 50-51 47 Wiana dan Raka Santri, Op. Cit, h. 320 45
24
sesuai dengan prinsip-prinsip HAM. Dalam sistem warna sudah mengandung prinsip penghormatan terhadap martabat manusia, prinsip kesetaraan/kesamaan kedudukan, dan prinsip keadilan yang sesuai dengan profesi masing-masing. Sehubungan dengan hal tersebut di atas PHDI Pusat telah menerbitkan Bhisama yaitu Bhisama Sabha Pandita Nomor: 03/X/PHDI Pusat/ 2002 yang mengatur pengamalan Catur Warna sesuai dengan Kitab Suci Veda dan susastra hindu lainnya. Dalam bhisama disebutkan Catur warna48 adalah ajaran agama Hindu tentang pembagian tugas dan kewajiban masyarakat atas “guna” dan “karma” dan tidak terkait dengan kasta atau wangsa. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa sistem warna paling tepat untuk masyarakat Hindu di Bali. Konsep tentang Kasta Kasta dibawa oleh orang Portugis ke Indonesia pada abad ke-16, berasal dari bahasa latin castus yang berarti bersih, murni yaitu suatu istilah yang ditujukan kepada stuktur sosial masyarakat India pada masa itu. Kasta merupakan sistem ketidaksamaan yang dilembagakan, sehingga kasta berbeda dengan sistem warna.”49 Wiana dan Raka Santri50 mengemukakan bahwa istilah kasta dalam arti sebenarnya, yaitu menggolongkan masyarakat berdasarkan perbedaan status sosial yang bersifat turun temurun. Pendapat inilah dijadikan acuan oleh masyarakat Hindu di Bali di dalam menggunakan penggolongan masyarakat berdasarkan keturunan. 48
I Gusti Gurah Sudiana, 2007, Samhita Bhisama Parisada Hindu Dharma Indonesia, Penerbit Parisada Hindu Dharma Indonesia Provinsi Bali, h.145. 49 I Wayan Ardika dkk., Op.Cit. h.317. 50 I Ketut Wiana dan Raka Santri, Op.Cit, h. 25-26.
25
Ardika dkk.51 mengemukakan bahwa sistem kasta adalah suatu sistem yang membagi masyarakat ke dalam sejumlah unit yang terpisah secara lengkap, hubungan-hubungan di antara unit ditentukan secara ritual dalam satu bentuk klasifikasi. Kasta sebagai kelompok sosial memiliki dua karakter, yaitu. 1) Keanggotaan dibatasi dari kelompok siapa dilahirkan, 2) Anggota dilarang keras melakukan perkawinan dengan orang dari luar kelompoknya. Setiap orang dari kelompok demikian memiliki sebutan, dengan cara apa mereka dipanggil. Kasta52 memiliki konsepsi dasar yang amat berbeda dengan warna. Kasta untuk menyebut lapisan-lapisan, tingkatan-tingkatan, atau stratifikasi masyarakat Hindu di India pada zaman lampau. Kasta di India membeda-bedakan harkat dan martabat manusia berdasarkan keturunan. Kasta membagi masyarakat menjadi empat golongan secara vertikal genealogis. Kasta Brahmana tertinggi, Ksatrya golongan kedua, Waisya golongan ketiga, dan Sudra adalah golongan yang paling rendah, bahkan ada golongan yang lebih rendah lagi dari golongan Sudra yang disebut golongan Candala (cacat) yang juga disebut sebagai kasta Paria. Pengaruh sistem kasta sangat besar terhadap masyarakat Hindu di Bali. Lontar Brahmakta Widhi Sastra dan lontar Tri Agama53 menyebutkan bahwa, tiap-tiap golongan kasta itu sudah mempunyai tugas masing-masing di dalam masyarakat. Tugas yang harus dilaksanakan merupakan tugas atau kewajiban suci. Kewajiban harus dilakukan menurut norma agama Hindu, dengan demikian sistem kasta tidak lain dari pada perwujudan strata sosial yang diatur oleh norma 51
I Wayan Ardika dkk., Op. Cit, h.317. I Ketut Wiana dan Raka Santri, Op. Cit. h.18 53 Anak Agung Putra Agung, Op. Cit. h.62. 52
26
agama. Oleh sebab itu tiap-tiap kasta mempunyai aturan-aturan atau Kitab Undang-Undang yang harus ditaati, dan apabila dilanggar dapat mengakibatkan dipatita. Patita artinya, diturunkan kastanya. Hal ini berbeda dengan istilah nyineb yang artinya, secara sengaja menghilangkan identitas diri agar tidak diketahui oleh orang-orang tertentu. Sistem kasta berkaitan erat dengan hukum adat perkawinan. Sistem kasta menghendaki adanya perkawinan endogami kasta. Hukum adat perkawinan pada masyarakat Hindu di Bali, dikenal adanya perkawinan yang bersifat larangan yang dilindungi oleh undang-undang atau peswara-peswara pada zaman kerajaan dan zaman kolonial. Peswara54 adalah suatu peraturan atau tata yang penjelmaannya dari kehendak penguasa zaman raja-raja yang pada hakikatnya juga untuk mengatur kehidupan masyarakat, seperti larangan kawin dengan saudara sekandung, saudara ayah, saudara ibu, atau anak dari saudara sekandung. Sehubungan dengan adanya larangan perkawinan, Bushar Muhammad berpendapat bahwa hubungan seksual antara dua orang yang berlainan kasta yaitu wanita Brahmana kawin dengan pria Sudra di Bali merupakan delik yang berat.55 Tidak dijelaskan lebih rinci apa yang dimaksud dengan delik yang berat tersebut. Tampaknya delik berat yang dimaksud oleh Bushar Muhammad adalah delik adat Asu Pundung.
54
I Ketut Artadi, 2006, Hukum Dalam Prespektif Kebudayaan Pendekatan Kebudayaan Kepada Hukum, Pustaka Bali Post, h.80. (Selanjutnya disebut Artadi I). 55 Bushar Muhammad, 1991, Pokok-Pokok Hukum Adat, Cetakan kelima, Penerbit PT. pradnya Paramita Jakarta, h.64. (Selanjutnya disebut Bushar Muhammad II).
27
Putra Agung mengemukakan Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu adalah larangan kawin dengan kasta yang lebih tinggi.56 Ia menjelaskan sebagai berikut. (1) Asu Pundung adalah larangan perkawinan bagi orang laki-laki dari kasta Ksatrya, Wesya dan Sudra dengan seorang gadis atau wanita dari kasta Brahmana. (2) Alangkahi Karang Hulu adalah larangan perkawinan bagi orang laki-laki dari kasta Weisya dan kasta Sudra dengan seorang gadis atau wanita dari kasta Ksatrya. Pelanggaran terhadap larangan perkawinan tersebut di atas dapat dijatuhi hukuman penjara atau dikenakan hukuman “selong” atau buangan. Sejalan dengan Putra Agung, Kembar Kerepun mengemukakan bahwa sistem kasta masih mencekoki benak orang Bali sekarang. Sistem kasta sebenarnya dihidupkan kembali oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1910
setelah
seluruh
Bali
ditaklukkannya.
Konferensi
Pemerintahan
(Bestuurconfrentie) yang berlangsung di Singaraja dari 15, 16, dan 17 September 1910 dihadiri oleh seluruh anggota BB (Binnenlandsch Bestuur), pegawai tinggi bangsa Belanda dari seluruh Bali dan Lombok. Para ningrat/kaum bangsawan Bali dan Lombok hadir pada konferensi itu sebagai penasihat. Mereka ikut memberikan usulan yang mudah ditebak, yang hanya akan menguntungkan golongannya sendiri. Pada konferensi itulah Belanda mengambil keputusan yang sangat fundamental bagi tatanan politik di Bali pada waktu itu. Konferensi
56
Putra Agung, 1964, Op.cit, h.67.
28
memutuskan “het kastenwezen hoog te houden, zijende de voornaamste grondslag van de Balische Maatshcppij ( to uphold the caste concept, being the principal foundation of Balinese society).57 Artinya, sistem kasta dijunjung tinggi-tinggi karena kasta merupakan fondasi masyarakat Bali. Untuk melegitimasi (mengukuhkan secara hukum) sistem perkastaan58 “Pemerintah dengan bantuan baudanda-baudanda (pejabat pada zaman kolonial Belanda) di Bali dan Lombok, memberlakukan hukum kuna Majapahit yang pasti menjamin kewibawaan dan keajegan sistem kasta tersebut. Pilihan jatuh pada kitab hukum kuna, seperti Agama, Adi Agama, Purwa Agama, Kutara Agama sebagai hukum positif. Kitab hukum itulah nantinya sebagai standar absolut bagi Raad Kerta di Bali. Semua kitab ini memakai istilah agama, namun substansinya sangat diskriminatif, karena mengabdi pada kepentingan golongan tri wangsa. Pada zaman Majapahit disusun kitab Adigama sebagian menyebutnya Kitab Undang-Undang Agama59yang berlaku di wilayah jajahan Majapahit. Istilah Agama menunjukkan undang-undang. Kitab-kitab Agama tersebut di atas dikenal dengan peraturan-peraturan asli bangsa Indonesia yang di sana-sini ada pengaruh agamanya yaitu agama Hindu. Semenjak dikuasainya Bali sebagai daerah jajahan Belanda, maka otomatis Raja di Bali kemudian menjadi abdi atau parekan Ratu Wolanda60, secara tegas diusung dengan sebutan ”Sang Jummeneng Gustin Titiang”.
57
Kembar Kerepun, Op. Cit. h.13. Ibid h.14. 59 Otje Salman Soemadiningrat, 2002, Rekonseptualisasi Hukum Adat sebagai Hukum yang Hidup dalam Masyarakat, Cetakan pertama, Penerbit PT.Alumni Bandung, h.56. 60 Kembar Kerepun, Op.Cit.h. 49-50. 58
29
Wiryasuta dalam Surya Kanta, 23 Maret 1926, mengemukakan bahwa dengan dijajahnya Bali oleh Belanda, maka sistem kasta di Bali dengan sendirinya tumbang dan lenyap. Oleh karena semua orang Bali tanpa kecuali adalah kawula (panjak) Ratu Wolanda. Semua orang Bali menjadi sudra bagi penjajah Belanda. Setelah Bali ditundukkannya, Belanda tidak mau lagi menggunakan istilah kerajaan dan istilah raja bagi keturunan bekas raja-raja di Bali. Istilah yang dipergunakan adalah Negara Bestuurder (kepala Pemerintahan Bumi Putra) dan sebutan Para Agung sebagai sebutan bagi bekas raja-raja di Bali. Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa larangan perkawinan Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu mencontoh pengaruh kasta pada zaman kolonial. Sistem kasta tidak patut dipertahankan, apa lagi dianggap sebagai kearifan lokal pada zaman kemerdekaan yang menganut prinsip-prinsip HAM. Kearifan lokal adalah sesuatu yang sangat menghargai hal-hal yang baik, tidak mengandung pelecehan, menghormati ajaran agama, menghormati status sosial manusia di dunia, dan menghargai lingkungan. 2.2.8 Konsep tentang Perkawinan Hadikusuma61 menyatakan di Indonesia aturan tata-tertib perkawinan sudah ada sejak zaman kuno yaitu sejak zaman Sriwidjaya, Majapahit, sampai pada masa Kolonial Belanda dan sampai Indonesia telah merdeka. Bahkan aturan perkawinan itu tidak saja menyangkut warga negara Indonesia, tetapi juga menyangkut warga negara asing karena bertambah luasnya pergaulan bangsa Indonesia. 61
Hilman Hadi Kusuma, 1990, Hukum Perkawinan Indonesia menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama, Cetakan pertama, Mandar Maju, Bandung, h.1.
30
Perkawinan merupakan awal dari suatu kehidupan berkeluarga, sehingga perkawinan merupakan bagian dari hukum keluarga. Hukum keluarga masyarakat Hindu menganut sistem kapurusa yang identik dengan sistem patrilinial yang mengutamakan garis keturunan bapak/laki-laki. Intitusi perkawinan merupakan wadah untuk menampung perilaku makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan di dunia dapat berkembang. Hadikusuma62 menyatakan,” karena manusia adalah makhluk Tuhan yang mempunyai pikiran dan emosi, maka perkawinan merupakan salah satu budaya manusia dalam kehidupan masyarakat”. Dalam masyarakat yang berstruktur budaya masih sederhana, perkawinan akan bersifat sederhana, sempit, tertutup, sedangkan dalam masyarakat dengan stuktur budaya sudah maju, perkawinan juga mempunyai makna yang kompleks dan pelaksanaannya pun akan lebih terbuka dan maju. Kaidah yang mengatur tentang perkawinan itu terus bertambah maju seiring dengan perkembangan struktur masyarakat di bawah suatu kekuasaan negara. Perkawinan menurut Pasal 1 dan Pasal 2 Undang-undang Perkawinan63 menegaskan bahwa perkawinan ialah “ikatan lahir bathin antara seorang wanita dengan seorang laki-laki sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dan Pasal 2 menyebut “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.”
62
Loc.Cit Pasal tersebut di atas dapat dilihat dalam Himpunan Peraturan PerUndang-undangan, Undang-undang Perkawinan dan Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Penerbit Fokus Media Bandung, 2007, h.1-2. 63
31
Berdasarkan uraian di atas perkembangan hukum perkawinan dipengaruhi oleh perkembangan budaya masyarakat. Dengan demikian kaidah yang berlaku pada suatu masyarakat tidak terlepas dari pengaruh budaya dan lingkungan di mana masyarakat itu berada. Ia dipengaruhi oleh pengetahuan, kebiasaan, kepercayaan, dan agama yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Seperti halnya kaidah hukum perkawinan masyarakat Hindu yang di atur dalam Hukum Adat Bali tercantum dalam awig-awig desa pakraman. Perkawinan dalam awigawig disebut “pawiwahan”. Adapun perkawinan menurut Awig-awig Desa Pakraman antara lain: a.
Pawiwahan menurut Awig-Awig Desa Adat Sesetan64 “Pawiwahan inggih punika patemoning purusa pradana, melarapan panunggalan kayun suka cita kadulurin upasaksi sekala-niskala”.
b.
Pawiwahan menurut Awig-Awig Desa Pakraman Kesiman65 “Pawiwahan inggih punika patemon purusa lawan pradana malarapan antuk panunggalan kayun medasar tresna asih maduluran widhi widana upasaksi sekala niskala”.
c.
Pawiwahan menurut Awig-Awig Desa Pakraman Medahan66 “Pawiwahan inggih punika patemoning purusa kelawan pradana malarapan panunggalan pikayun pada lila, kadulurin upasaksi sekala lan niskala”. Di samping ketiga awig-awig tersebut di atas ditemukan perihal tentang
kewajiban upacara patiwangi di Desa Pakraman Kuwum Kecamatan Marga 64
Awig-Awig Desa Adat Sesetan Kecamatan Denpasar Selatan Kota Denpasar, 2002, h.31 Awig-Awig Desa Pakraman Kesiman Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar, 2010, h.34. 66 Awig-Awig Desa Pakraman Medahan Kecamatan Blahbatuh Kabupaten Gianyar, 2009, h.18. 65
32
Tabanan. Pawiwahan menurut Awig-Awig Desa Pakraman Kuwum67 yang tercantum dalam Pancamas Sargah Sukertan Tata Pawongan Palet 1 Pawos 38 (1), inggih punika pakilit jaba-jero pantaraning purusa-pradhana pinaka dampati, sane matetujon ngawangun kulawarga bagia lan langgeng mapagamel sradhan ring Ida Sang Hyang Widhi/Sang Hyang Tunggal. Berdasarkan beberapa awig-awig desa pakraman di atas, perkawinan atau pawiwahan pada intinya memiliki pengertian yang sama. Pawiwahan adalah hubungan lahir batin antara laki-laki dan perempuan yang berstatus purusa dan predana, disertai dengan pelaksanaan upacara sekala dan niskala. Dalam Awig-Awig Desa Pakraman Kuwum peneliti menemukan kewajiban melakukan patiwangi tercantum dalam Pawos 39 Tatacaraning Pawiwahan (5) yang berbunyi: Yaning pawiwahan pengambilannya tiyos wangsa patut ngemargiang mepatiwangi utawi munggah wangi ring merajan sang sane mawiwaha. Yening tiyos agama patut ngemargiang upacara sudhiwidani sedurung ngelaksanayang pengantenan. Magenah ring Bale Agung.68 Perkawinan dalam awig-awig tersebut sudah selaras dengan Pasal 1 dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan.69 Awig-Awig desa yang telah diteliti selain Awig-Awig Desa Pakraman Kuwum tidak ada yang mengatur perkawinan antar-wangsa. Dengan demikian dapat
67
Awig-Awig Desa Pakraman Kuwum Kecamatan Marga Kabupaten Tabanan, Warsa 2014, h. 22. 68 Ibid, 24. 69 Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pasal 2(2) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
33
dinyatakan bahwa Awig-Awig Desa Pakraman Kuwum masih mengatur kewajiban tentang pelaksanaan patiwangi. Nampaknya kelian adat/bendesa adat sewaktu menyusun awig-awig tersebut mengabaikan hukum negara dan mengutamakan hukum yang hidup dalam masyarakat, namun hukum yang hidup tersebut ternyata sudah usang. Oleh karena pelaksanaan patiwangi tidak selaras dengan Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951, UU Nomor 1 Tahun 1974, UU Nomor 7 Tahun 1984, Bhisama PHDI Tahun 2002, Keputusan MUDP 2010, dan Prinsipprinsip HAM. 2.2.9 Konsep tentang Perkawinan Antar-wangsa Konsep perkawinan antar-wangsa tidak diatur dalam peraturan perundangundangan negara. Namun larangan perkawinan antar-wangsa dapat ditemukan dalam kitab-kitab agama Hindu maupun lontar-lontar agama Hindu. Dengan demikian dapat dikemukakan perkawinan antar-wangsa menurut Manawa Dharmacastra. Dalam Manawa Dharmacastra dibedakan antara perkawinan “anuloma” dan perkawinan “pratiloma”. Perkawinan anuloma adalah perkawinan menurut garis menurun yaitu perkawinan antara laki-laki golongan bramana mengawini perempuan dari golongan ksatrya, wesya, dan sudra. Laki-laki dari golongan ksatrya mengawini perempuan dari golongan weisya dan sudra. Lakilaki dari golongan wesya mengawini perempuan dari golongan sudra. Perkawinan pratiloma adalah laki-laki dari golongan sudra mengawini perempuan wesya, ksatrya, dan brahmana. Laki-laki dari golongan wesya mengawini perempuan dari golongan ksatrya dan brahmana. Laki-laki dari golongan ksatrya mengawini perempuan brahmana. Konsep perkawinan dalam penelitian ini termasuk
34
perkawinan antar-wangsa dalam arti pratiloma, dan tidak menutup kemungkinan akan menyinggung juga tentang perkawinan anuloma. Konsep perkawinan antar-wangsa berdasarkan Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951 menetapkan peswara yang mengatur perhubungan antara catur wangsa di Bali yaitu: Pasal 2; Yang disebut Asu Pundung ialah : Gadis (wanita) dari kasta Brahmanawangsa dikawini oleh laki-laki dari kasta ksatrya, wesya, dan sudrawangsa. Pasal 3; Yang disebut Alangkahi Karang Hulu : Gadis (wanita) dari ksatryawangsa dikawini oleh laki-laki dari kasta wesya, sudrawangsa. Gadis (wanita) dari kasta Wesyawangsa dikawini oleh laki-laki dari kasta Sudrawangsa. Pasal 4; Hukum adat yang disebut Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu, termuat pada Pasal 2 dan 3 dihapuskan. Pasal 5; Peraturan ini dapat disebut peraturan perhubungan perkawinan antara catur wangsa di Bali dan mulai berlaku pada hari diumumkan yaitu 12 Juli 1951. Penelitian ini menganut konsep perkawinan antara wangsa berdasarkan Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951. Peneliti tidak menggunakan perkawinan beda wangsa, oleh karena konsep beda wangsa akan cenderung menimbulkan perbedaan perlakuan, perbedaan hak dan kewajiban dalam hidup berkeluarga dan bermasyarakat. Dengan demikian perkawinan antar-wangsa adalah perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki catur wangsa dengan perempuan catur wangsa disertai dengan pelaksanaa upacara sekala dan niskala.
35
2.2.10 Konsep tentang HAM dan HAM Perempuan Konsep tentang HAM Bangsa Indonesia telah memiliki nilai-nilai yang berkaitan dengan hak
azasi manusia. Menurut Mansyhur Effendi,70 HAM bukan “komoditas” (ide) impor dari luar, tetapi HAM milik bangsa Indonesia. Nilai-nilai HAM yang terkandung dalam Pancasila yaitu sila kedua yang berbunyi:” Kemanusiaan yang adil dan beradab”. Artinya, nilai kemanusiaan yang adil mengandung suatu makna bahwa hakikat manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan beradab harus berkodrat adil, adil terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain. HAM terwujud dalam ungkapan budaya di beberapa daerah, seperti di Aceh dikenal ungkapan “ tamubri saleunem tanda horrumat jaroe tamumat tanda meulia” yang artinya, memberi salam tanda orang menghormati sesamanya, jabat tangan berarti memuliakan sesamanya.” Di Bali juga memiliki nilai-nilai yang menghormati kesederajatan manusia dan menjunjung tinggi martabat manusia, yaitu 1) Ajaran Tat Twam Asi, dalam kamus Agama Hindu71(tat= itu, twam= engkau, asi= adalah) Tatwamasi adalah suatu ajaran yang menyatakan “saya adalah kamu”, artinya, apabila merendahkan martabat orang lain berarti pula merendahkan martabat diri sendiri. 2) Ajaran Manusapada nampaknya merupakan konstruksi masyarakat jaba wangsa kira-kira tahun 1926, pada saat terjadinya pertentangan kasta di Bali Utara. Ajaran Hindu ini dapat ditemukan dalam penjelasan tentang bakti 70
Mansyhur Effendi dan Taufani Sukmana Evandri, Op,Cit., h.136. Anonim, 2005, Kamus Istilah Agama Hindu, Milik Pemerintah Provinsi Bali Pengadaan Buku Penuntun Agama Hindu, h.3. 71
36
kepada Tuhan,72 bahwa tidak ada perbedaan antara golongan manusia yang rendah dan golongan manusia yang tinggi. Dengan demikian semua manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Namun dalam dunia yang fana ini dinyatakan ada perbedaan antara golongan manusia yang rendah dan golongan manusia yang tinggi, antara laki-laki dan perempuan. 3) Ahimsa73 dalam Bhagavad-Gita berarti tidak menghalang-halangi kehidupan makhluk hidup manapun yang mau maju dari satu jenis kehidupan ke jenis kehidupan lain. Dengan kata lain tidak menghalang-halangi kemajuan siapa pun dalam kehidupan. Berdasarkan kamus istilah Agama Hindu (a= tidak; himsa= membunuh) tidak membunuh-bunuh, dan tidak menyakiti. Ahimsa adalah dasar pertama dalam asta anngayoga untuk mencapai Samadhi.74 Dalam gaguritan Dharma Prawerti juga disebutkan tentang Ajaran Ahimsa yaitu “Ahimsa malu kawuwus, solah tan memati-mati, sahi mondong asih sayang, marep saring sarwa maurip, patuh sayange ring raga, ento solah darma jati.75 Arti ahimsa adalah perilaku manusia yang tidak menyakiti sesama atau membunuh makluk hidup, memiliki rasa kasih sayang, terhadap semua makhluk hidup, sama rasa sayangnya seperti menyangi diri sendiri, itulah perilaku yang benar menurut ajaran ahimsa.
72
Sri Srimad A.C. Bhaktivedanta Swami Prabhupada, 2000, Bhagavad – Gita, Hanuman Sakti di bawah lisensi The Bhaktivenanda Book Trust, h.496. 73 Ibid, h.742-743. 74 Anonim, 2005, Kamus Istilah Agama Hindu, Op.Cit., h.3. 75 Ni Nengah Sari Wangi, 2000, Kumpulan Geguritan, Banjar Yeh Gangga Tabanan, h.42.
37
4) Akrodha76 berarti mengendalikan amarah, dengan bersikap toleransi. Dalam kamus istilah agama Hindu akrodha77 (a= tidak, krodha= marah) tidak marah. Ajaran ini menyatakan bahwa orang jangan cepat marah, karena itu ia harus dapat mengendalikan diri agar tidak cepat marah. Kemarahan dapat mengantarkan orang pada kehancuran. Dalam sumber lain disebutkan akrodha78 termasuk dalam panca niyama brata artinya, tidak disusupi marah. 5) Ajaran Vasudhaiva Kutumbamkam. Dalam Hitopadesha I.64 ditulis Ayam niyah paroeti gamana caritanamtu vasudhaiva Kutumbakam.79 Artinya, orang-orang yang berpikiran mulia memandang semua orang di seluruh dunia sebagai saudara (keluarga). Nilai filosofi dan etika tersebut menjadi pedoman hidup bermasyarakat. Dalam perkembangan masyarakat Indonesia, nilai-nilai, ajaran-ajaran Hindu bertemu dengan sistem hukum bangsa asing secara terus-menerus, sehingga terjadi interaksi dan saling mengisi yang mengakibatkan adanya perpaduan, perubahan, dan pergeseran. Dalam dunia yang semakin modern, nilai-nilai yang sesuai dengan kemanusiaan akan terus dipertahankan, akan tetapi yang tidak sesuai akan dicabut atau dihapus. Sistem nilai yang menjelma dalam konsep HAM tidaklah semata-mata sebagai produk Barat, melainkan memiliki dasar pijakan yang kokoh dari seluruh budaya dan agama yang disebut nilai-nilai kearifan lokal.
76
Sri Srimad, A.C, Bhaktivenanda Swami Prabhupada, Op,cit, h. 742. Anonim, 2005, Kamus Istilah Agama Hindu, Op.Cit., h.4 78 I Ketut Subagiasta, 2010, Kepemimpinan Hindu Dalam Lontar Wrati Sasana, Penerbit Paramita Surabaya, h.28. 79 Otto Bohtlingkj, 1983, Indische Spiriiche, Penerbit Commisionere ST Peter Burg Rusia, h.203. 77
38
Pandangan dunia tentang HAM adalah pandangan kesemestaan bagi eksistensi dan proteksi kehidupan dan kemartabatan manusia.80 HAM adalah hak yang dimiliki manusia secara kodrati tanpa pengecualian dan keistimewaan bagi golongan, kelompok maupun tingkat sosial manusia tertentu. Hak-hak tersebut mencakup antara lain hak atas kehidupan, keamanan, kebebasan berpendapat dan merdeka dari segala bentuk penindasan yang wajib dijunjung tinggi, tidak saja oleh individu dari suatu negara yang mengakui keberadaan dan menghargai HAM itu sendiri, namun harus pula dijamin oleh negara tanpa ada perkecualian. Jaminan atas HAM secara umum di Indonesia bisa ditemukan di dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, yang menyatakan bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan. Persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan berarti juga persamaan kedudukan di bidang HAM karena justru hukum itulah yang mengatur HAM. Pasal 28 D ayat (1) Undang-undang Dasar 1945, intinya bahwa setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Pasal ini dapat diartikan bahwa setiap orang berhak untuk menikah, untuk melanjutkan keturunan asalkan perkawinannya sah menurut undang-undang yang sedang berlaku. Pasal 28 G ayat (1), menyatakan setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, kehormatan dan martabatnya. Pasal 28 J ayat (1) menyatakan bahwa: setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia lain, dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
80
Majda El Muhtaj, 2013, Dimensi-Dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial, Dan Budaya. Cetakan ketiga, Penerbit PT Raja Grafindo Persada, h.1. (Selanjutnya disebut Majda El Muhtaj I).
39
Prinsip-prinsip HAM yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 yaitu: Pasal 1 Ayat (1) menyatakan bahwa: Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh Negara, Hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Ayat (3) menyebutkan Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung maupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Pasal 1 ayat (3) yang memberi pengertian tentang “diskriminasi” yakni tindakan-tindakan pembatasan, pelecehan, atau pengucilan berdasarkan agama, suku, ras, etnik, “kelompok” golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan dll terhadap penikmatan hak-hak tersebut. Pasal 3 ayat (1) yaitu pasal yang mengandung prinsip kesetaraan martabat dan kesamaan HAM yang bunyinya sebagai berikut: “Setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat martabat manusia yang sama dan sederajat, serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat dalam semangat persaudaraan”. Pasal 10 ayat (1) dan (2) mengatur hak untuk kawin guna melanjutkan keturunan yaitu, setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah hanya berlangsung atas kehendak bebas calon suami atau calon istri yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Berdasar uraian tersebut perkawinan antar-wangsa menurut hukum dan agama adalah sah. Faktanya masih ada awig-awig desa yang mengatur tentang perkawinan antar-wangsa yang patut melakukan upacara patiwangi. Awig-awig tersebut tidak sejalan dengan spirit yang terkandung dalam pasal-pasal HAM tersebut di atas. Lagi pula upacara patiwangi telah dihapus berdasarkan Keputusan DPRD Bali Nomor: 11 Tahun 1951, merupakan langkah tepat untuk didukung dan dilaksanakan bersama,
40
karena sanksi perkawinan antar-wangsa apapun bentuknya tidak sejalan dengan perkembangan zaman.
Konsep tentang HAM Perempuan Perempuan sebagai suatu kelompok dalam masyarakat di dalam suatu negara, merupakan kelompok yang juga wajib mendapatkan jaminan atas hak-hak yang dimilikinya secara asasi.81 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM 1948) memang tidak menyatakan secara eksplisit tentang adanya jaminan hak azasi terhadap kelompok perempuan secara khusus, namun dalam Pasal 2 DUHAM dimuat bahwa hak dan kebebasan perlu dimiliki oleh setiap orang tanpa diskriminasi, termasuk tidak melakukan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin.82 Prinsip hak asasi manusia adalah bahwa semua orang memiliki martabat yang sama dan seharusnya semua orang bergaul dalam suasana persaudaraan sebagaimana ditentukan dalam Universal Declration of Human Rights. Hal ini menegaskan jaminan perlindungan setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif termasuk juga bebas dari diskriminasi rasial. Salah satu tujuan utama dari PBB adalah untuk melawan semua jenis diskriminasi.83 Kesungguhan PBB dalam rangka pemajuan dan perlindungan terhadap HAM perempuan dibuktikan dengan dikeluarkannya International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) pada tanggal 16 Desember 1966. Kovenan 81
Niken Savitri, 2008, HAM Perempuan Kritik Teori Hukum Feminis Terhadap KUHP, Cetakan pertama, Penerbit Refika Aditama, h.1. 82 Saparinah Sadli, 2000, Hak Azasi Perempuan adalah Hak Azasi Manusia, Dalam Pemahaman Bentuk-Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya, KK Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Gender, Universitas Indonesia Jakarta, h.1 83 Hesti Armiwulan Sochmawardiah, Op, Cit., h.189.
41
Hak Sipil dan Politik ini merupakan perjanjian Internasional yang mengikat secara hukum (International Bill of Human Rights). Kemudian Indonesia meratifikasinya melalui Undang-undang Nomor 12 tahun 200584. Bagian terpenting dari Kovenan ini adalah ketentuan alinea pertama (I) dari Preambul yang meneguhkan kembali salah satu prinsip dasar Piagam PBB, yakni prinsip “kesetaraan martabat” dan “kesamaan hak” (inherent dignity and equal right) sebagai berikut: “...recognition of the “inherent dignity” and of the equal and alienable rights” of all members of the human family is the foundation of freedom, justice and peace in the world”.85 Artinya, prinsip “ kesetaraan martabat” dan “persamaan hak yang tidak dapat dihapuskan” dari segala kehendak untuk berkeluarga sebagai kebebasan dasar, mendapatkan keadilan di dunia. Langkah-langkah perlindungan perempuan menemukan momentumnya ketika Majelis Umum PBB mengeluarkan resolusi 34/180 Desember 1979 tentang Convention on the Elimenation of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW).
Konvensi
Internasional
tentang
penghapusan
segala
bentuk
diskriminasi terhadap wanita, yang berlaku efektif sejak 3 September 1979. Bagi masyarakat internasional, konvensi ini merupakan langkah maju untuk memposisikan kaum perempuan dalam perlindungan dan pemenuhan HAM. Dengan demikian, berkaitan dengan kewajiban negara untuk memberikan jaminan atas warga negaranya. Negara juga memiliki tanggung jawab untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia kelompok perempuan sama seperti jaminan kepada kelompok laki-laki. Jaminan tersebut sebenarnya telah diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan atas dasar suka sama suka. Demikian
84 85
Ibid, h.189. Made Pasek Diantha dan I Gede Pasek Eka Wisanjaya, Op.Cit., h.148.
42
pula larangan perkawinan yang disebut Asu Pundung dan Alangkahi Karang Hulu telah dihapus dengan Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951. Pelanggaran terhadap hak asasi perempuan harus juga dianggap sebagai pelanggaran terhadap HAM secara umum. Selama ini, isu hak azasi perempuan sebagai bagian dari HAM masih merupakan isu yang belum memasyarakat. Bahkan sering merupakan isu yang terpinggirkan di antara isu hak asasi manusia lainnya seperti hak sipil dan politik atau hak ekonomi, sosial dan budaya. Charlote Bunch seorang aktivis HAM perempuan, “menyatakan bahwa sebetulnya selama ini hak-hak perempuan telah dilanggar dengan berbagai macam cara. Dalam kondisi politik tertentu sebenarnya baik perempuan maupun laki-laki mengalami atau menjadi korban kekerasan, namun karena aktor- aktor politik selama ini didominasi oleh laki-laki, masalah perempuan sebagai korban kekerasan yang terlanggar HAM-nya menjadi tidak terlihat (invisible).”86 Prinsip-prinsip HAM perempuan,87 dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 pada bagian menimbang point a. menyatakan: “bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan, sehingga segala bentuk diskriminasi terhadap wanita harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan Pancasila dan UndangUndang Dasar 1945”. Pasal 2 mengatur sebagai berikut: Negara-negara peserta mengutuk diskriminasi terhadap wanita dalam segala bentuknya dan bersepakat untuk menjalankan dengan segala cara yang tepat dan tanpa ditunda-tunda, kebijakan menghapus diskriminasi terhadap wanita, dan untuk tujuan ini melaksanakan: 1) Mencantumkan asas persamaan antara pria dan wanita dalam undangundang dasar nasional mereka atau perundang-undangan yang tepat lainnya, jika belum termasuk di dalamnya, dan untuk menjamin
86
Saprinah Sadli, Op.cit,h.2. Kelompok Kerja Convention Work, 2007, Hak Azasi Manusia Instrumen Hukum Untuk Mewujudkan Keadilan Gender Pusat Kajian dan Jender, Universitas Indonesia, h.12 87
43
2)
3)
4)
5)
6)
7)
realisasi praktis dari asas ini, melalui hukum dan cara-cara lain yang tepat. Membuat peraturan perundang-undangan yang tepat dan langkahtindak lainnya, termasuk sanksi-sanksinya di mana perlu, melarang segala diskriminasi terhadap wanita; Menegakkan perlindungan hukum terhadap hak-hak wanita atas dasar yang sama dengan kaum pria dan untuk menjamin melalui pengadilan nasional yang kompeten dan badan-badan pemerintah lainnya, perlindungan yang efektif terhadap wanita dari setiap tindakan diskriminasi; Tidak melakukan suatu tindakan diskriminasi terhadap wanita, dan untuk menjamin bahwa pejabat-pejabat pemerintah dan lembagalembaga negara akan bertindak sesuai dengan kewajiban tersebut; Melakukan langkah-langkah yang tepat untuk menghapus perlakuan diskriminasi terhadap wanita oleh tiap orang, organisasi atau perusahaan; Melakukan langkah-langkah yang tepat, termasuk pembuat undangundang, untuk mengubah atau menghapus undang-undang, peraturanperaturan, kebiasan-kebiasaan, dan praktek-praktek yang diskriminatif terhadap wanita. Mencabut semua ketentuan pidana nasional yang diskriminatif terhadap wanita.
Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan penelitian ini adalah prinsip-prinsip yang tercantum dalam point satu, dua, tiga, empat, dan enam. Lebih lanjut dapat ditemukan dalam Rekomendasi Umum Nomor 1 tentang Kesetaraan dalam Perkawinan dan hubungan keluarga88 Pasal 16 disebutkan sebagai berikut. 1.
88
Negara-negara pihak harus mengambil semua langkah-tindak yang tepat untuk menghapus diskriminasi terhadap perempuan dalam segala hal yang berkaitan dengan perkawinan dan hubungan dalam keluarga dan khususnya harus menjamin, berdasarkan kesetaraan antara lakilaki dan perempuan : a) Hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan; b) Hak yang sama untuk bebas memilih pasangan dan memasuki jenjang perkawinan hanya dengan persetujuan yang bebas dan penuh darinya. c) Hak dan tanggung jawab yang sama selama pernikahan dan pada pemutusan perkawinan,
Ibid.h. 68-69.
44
2.
d) Hak dan tanggung jawab yang sama sebagai orang tua, terlepas dari status perkawinan mereka, dalam urusan yang berhubungan dengan anak-anak mereka, dalam semua hal kepentingan anakanak harus diutamakan; e) Hak yang sama untuk memutuskan secara bebas dan bertanggung jawab mengenai jumlah dan jarak kelahiran anak-anak mereka dan untuk memproleh akses pada informasi, pendidikan dan sarana agar mereka dapat menggunakan hak tersebut; f) Hak dan tanggung jawab yang sama dalam hal pemeliharaan, perwalian, pengasuhan, dan pengangkatan anak, atau lembagalembaga sejenis di mana konsep-konsep ini ada dalam perUndang-undangan nasional; dalam semua hal kepentingan anak wajib diutamakan; g) Hak pribadi yang sama antara suami istri, termasuk untuk memilih nama keluarga, profesi atau jabatan; h) Hak yang sama untuk kedua suami istri bertalian dengan kepemilikan, perolehan, pengelolaan, administrasi, penikmatan dan memindah-tangankan harta benda, baik secara cuma-cuma maupun untuk pertimbangan yang mempunyai nilai yang berharga; Pertunangan dan pernikahan seorang anak tidak akan mempunyai akibat hukum, dan semua tindakan yang diperlukan, termasuk membuat perundang-undangan, wajib dilakukan untuk menetapkan usia minimum untuk menikah dan mewajibkan pendaftaran perkawinan di kantor pencatatan resmi.
Dari ketentuan di atas yang ada kaitannya dengan penelitian ini adalah Poin 1a, b, dan c yaitu hak yang sama untuk memasuki jenjang perkawinan, bebas memilih pasangan tanpa ada paksaan, hak dan tanggung jawab yang sama selama pernikahan dan dalam pemutusan perkawinan. HAM perempuan terdiri dari prinsip-prinsip antara lain: a.
Prinsip nondiskriminasi89 terhadap wanita terumus dalam Konvensi CEDAW adalah tidak ada pembedaan, pengucilan (atau tidak diikutkan exclusion), atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin yang mempunyai pengaruh
89
Gandhi Lapian, 2012, Disiplin Hukum Yang Mewujudkan Kesetaraan Dan Keadilan Gender, Penerbit Yayasan Pustaka Obor Indonesia, h.51.
45
(dampak) atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan, atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau apapun lainnya, oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita. Jadi prinsip nondiskriminasi dalam penelitian ini adalah tidak ada perbedaan yang dilakukan terhadap perempuan dengan laki-laki khususnya dalam hukum adat perkawinan antar-wangsa. b.
Prinsip kesetaraan90 adalah persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam hukum adat perkawinan antar-wangsa.
c.
Prinsip keadilan91 adalah keadilan substantif yaitu keadilan baik de yure, maupun de facto, dan benar-benar dinikmati dalam kenyataan oleh perempuan. Dasar dari keadilan substantif adalah etika dan moral sosial.92 Keadilan korektif juga cocok untuk mengkoreksi atau mengembalikan keseimbangan yang terganggu menjadi seimbang kembali. Hakimlah yang mempunyai
tugas
untuk
menilai
peraturan-peraturan
dalam
mempertimbangkan, memberlakukan unsur kesebandingan dan kepatutan (equity). Equity diperlukan jika hukum yang sama diterapkan dapat mengakibatkan ketidakadilan terhadap pihak laki-laki dan perempuan. Dengan demikian konsep HAM Perempuan dalam penelitian ini adalah hak asasi perempuan dalam perkawinan antar-wangsa termasuk melakukan perceraian. 2.3 Kerangka Pikir/Desain Penelitian 90
Ibid, h.53. Ibid, h. 54-193. 92 Loc.Cit. 91
46
GAMBAR 4 Kerangka Pikir Latar Belakang Masalah
Rumusan Masalah
Problem Filosofis
1. Bagaimana dinamika saksi hukum adat dalam perkawinan antar- wangsa?
Sanksi perkawinan antar-wangsa bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, Ajaran Hindu, dan Prinsipprinsip HAM.
Problem Yuridis Sanksi perkawinan antar -wangsa bertentangan dengan peraturan2 yang berlaku.
Problem Sosiologis Sanksi perkawinan antar -wangsa masih dilaksanakan oleh masyarakat
2. Apa makna perubahan saksi hukum adat dalam perkawinan antar -wangsa terhadap HAM perempuan? 3. Mengapa perubahan sanksi hukum adat dalam perkawinan antar- wangsa berimplikasi terhadap HAM perempuan?
Teori
T.Legal System T. Social Engineering T.Living Law T.Stratifikasi S. T. Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat
T.Interaksionisme Simbolik T.Partikularistis Feminist Legal Theory
Metode Penelitian
Paradigma penelitian Legal Critical Jenis penelitian Lokasi penelitian Pendekatan: sosio-legal, sejarah, konsep Difinisi Oprasonal Jenis data dan sumber data
T. Partikulaistis Feminist Legal Theory
Teknik pengumpulan data Teknik Analisis data
T. Living Law Pengujian kredibilitas data
Hipotesis
1) Jika substansi dan saksi perkawinan antar-wangsa berubah, penerapan sanksi hukum juga akan berubah, maka hukum akan berdinamika. 2) Jika terjadi perubahan substansi dan sanksi akan terjadi perubahan makna ke arah penghormatan terhadap HAM perempuan. 3) Jika makna sanksi berubah berimplikasi pula terhadap perkawinan dan perceraian yang berkeadilan, berkesetaraan, dan bermartabat. Hal ini selaras dengan perkawinan sederajat.
Hasil Penelitian
Kesimpulan dan Saran
a.
Penjelasan Kerangka Pikir
47
Kerangka pikir ini sama dengan desain penelitian93 merupakan suatu rencana beranjak dari latar belakang sampai menghasilkan serangkaian konklusi (jawaban) dari permasalahan yang diangkat. Dimulai dari latar belakang yaitu perkawinan merupakan salah-satu tahap penting dalam kehidupan manusia, memiliki landasan filosofis, yuridis dan sosiologis. Secara yuridis, sosiologis perkawinan antar-wangsa mengalami dinamika, dinamika tersebut disebabkan karena perubahan hukum. Perubahan hukum tidak selalu diikuti oleh perubahan sosial, demikian sebaliknya.Fakta yang terjadi di masyarakat, pelaksanaan Keputusan DPRD Bali Nomor 11 tahun 1951, tidak berlaku efektif. Sanksi perkawinan
antar-wangsa
masih
dilakukan
sampai
saat
ini,
sehingga
menimbulkan problem filosofis, yuridis, dan sosiologis. Problem filosofis terjadi oleh karena sanksi perkawinan antar-wangsa bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, nilai- nilai keadilan, nilai-nilai dari Ajaran Hindu seperti: Ajaran Tat Twam Asi, Manusapada, Ahimsa, Akrodha, Vasudhaiva Kutumbakam. Problem yuridis pelaksanaan sanksi bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984, Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999, Keputusan DPRD Bali Nomor 11 Tahun 1951. Problem sosiologis terjadi oleh karena sanksi perkawinan antar-wangsa masih dilaksanakan masyarakat. Berdasarkan problem tersebut di atas maka perlu diadakan penelitian secara holistik menyangkut problem filosos, yuridis, dan sosiologis. Untuk itu dapat diangkat tiga masalah/fokus penelitian, kemudian dikaji dengan teori-teori 93
Robert K.Yin, 2013, Studi Kasus Desain dan Metode, Cetakan keduabelas, PT.Raja Grafindo Persada, h.27.
48
yang telah dipersiapkan sebagai pisau analisis. Masalah pertama, dianalisis dengan Teori Legal System dari Lawrence M.Friedman, Teori Law as a Tool of Social Engineering dari Rouscoe Pound,Teori Living Law dari Ehrlich, Teori Bekerjanya Hukum dalam Masyarakat dari William J. Chambliss dan Robert B.Seidman, Teori Stratifikasi Sosial dari Soejono Soekanto. Masalah kedua dianalisis dengan Teori Interaksionisme Simbolik dari Herbert Blumer, Teori HAM Partikularistis Relatif, dan Feminist Legal Theory (FLT) dari Sulistyowati Iriyanto.
Masalah
ketiga
dianalisis
dengan
menggunakan
Teori
HAM
Patrikularistis Relatif, Feminist Legal Theory (FLT). Penelitian ini juga menggunakan konsep-konsep hukum sesuai dengan peremasalahan yang diteliti. Metode penelitian hukum ini menggunakan paradigma legal critical. Jenis penelitian ini termasuk penelitian hukum empiris dengan pendekatan kualitatif. Dalam hal ini peneliti langsung sebagai instrument penelitian. Lokasi penelitian di daerah Provinsi Bali dengan menentukan sampel aria secara purposive, yaitu Kota Denpasar, Kabupaten Tabanan, Kabupaten Gianyar, dan Kabupaten Buleleng. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosio-legal, sejarah, dan konsep. Jenis data terdiri dari data perimer yang bersumber pada responden dan informan, sedangkan data sekunder terdiri dari bahan hukum, baik primer, sekunder, dan tersier.Teknik pengumpulan data dengan cara wawancara, observasi, dan dokumentasi.Teknik analisis data dengan model interaktif yaitu setelah data dikumpulkan dilakukan reduksi data, penyajian data secara deskriptif analitis dan disertai argumentasi, selanjutnya penarikan kesimpulan. Setelah itu diadakan pengujian kredibilitas data, dengan mengadakan perpanjangan pengamatan,
49
meningkatkan ketekunan, diadakan triangulasi, setelah tersusun dalam bentuk disertasi diadakan diskusi/seminar dengan teman sejawat yaitu mahasiswa S3 Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Udayana. Langkah terakhir dilakukan member chek terhadap para aktor yang berkaitan dengan penelitian. b. Hipotesis Adapun hipotesis yang dapat dikemukakan sebagai kesimpulan penelitian untuk sementara, dan diuji kebenarannya setelah ada hasil penelitian lapangan, hipotesis dimaksud adalah sebagai berikut: 1) Jika substansi hukum perkawinan antar-wangsa berubah maka, sanksi akan mengalami perubahan, kemudian penerapan sanksi oleh struktur hukum juga berubah maka, akan terjadi dinamika sanksi perkawinan antar-wangsa. 2) Jika terjadi perubahan substansi dan penerapan sanksi perkawinan antarwangsa maka, akan terjadi perubahan makna terhadap sanksi perkawinan antar-wangsa. Makna sanksi seharusnya mengarah kepada penghormatan HAM perempuan. 3) Jika makna mengalami perubahan maka, berimplikasi terhadap perkawinan dan perceraian yang berkeadilan, berkesetaraan, dan bermartabat, selaras dengan perkawinan sederajat.