BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka 1. ASI Eksklusif a. Pengertian ASI Eksklusif Air Susu Ibu (ASI) merupakan makanan terbaik untuk bayi yang mengandung sel darah putih, protein, dan zat kekebalan yang cocok untuk bayi. ASI membantu pertumbuhan dan perkembangan anak secara optimal serta melindungi terhadap penyakit (Dinkes Jawa Tengah, 2014). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2012 Bab I Pasal 1 Ayat 2, pengertian ASI eksklusif adalah ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan sampai usia enam bulan tanpa menambahkan dan mengganti dengan makanan atau minuman lain, kecuali suplemen vitamin, obat, dan mineral (Kemenkes RI, 2012). Manfaat ASI akan meningkat jika bayi hanya diberi ASI saja selama enam bulan pertama kehidupannya. Peningkatan itu sesuai dengan pemberian ASI eksklusif serta lamanya pemberian ASI bersama-sama dengan makanan padat setelah bayi berumur enam bulan (Yuliarti, 2010). b. Manfaat ASI bagi Bayi
6
7
Damayanti (2010) menyebutkan bahwa ASI mengandung lebih dari 100 jenis zat gizi yang tidak bisa disamai oleh jenis apapun dan sempurna untuk proses tumbuh kembang bayi. ASI mempunyai banyak manfaat, yaitu: 1) ASI membantu tumbuh kembang otak bayi; 2) ASI mengandung protein khusus (taurin), laktosa, dan omega-3 (asam lemak tak jenuh) yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan optimal sel-sel saraf dan otak bayi; 3) ASI mampu meningkatkan sistem kekebalan tubuh bayi; 4) ASI melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi, seperti infeksi saluran pernapasan (pneumonia dan bronkitis), infeksi saluran telinga bagian tengah (otitis media), dan infeksi saluran kemih; 5) ASI melindungi bayi dari berbagai penyakit lainnya, seperti alergi (asma, eksim, alergi makanan), influenza, difteri, diare, obesitas, diabetes, limfoma, dan leukemia; 6) ASI memperkecil risiko terjadinya Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) dan Postneonatal Death. Sudden Infant Death Syndrome (SIDS) adalah kematian bayi yang terjadi secara tiba-tiba, sedangkan Postneonatal Death adalah kematian bayi yang terjadi di masa 28 hari sampai satu tahun kehidupan bayi; dan 7) ASI menjaga kesehatan kardiovaskular bayi hingga dewasa. c. Komposisi ASI Kolostrum sangat ideal untuk memenuhi kebutuhan bayi. Kolostrum merupakan air susu yang diproduksi pertama kali oleh payudara, berwarna kekuningan atau jernih, dan sangat tinggi kandungan proteinnya. Kolostrum mengandung banyak antibodi yang dapat melindungi bayi dari infeksi,
8
memberikan efek pencahar yang membantu mempercepat pembuangan mekonium, dan membantu membangun keseimbangan bakteri dalam sistem pencernaan bayi (Simkin et al., 2008). Kolostrum dihasilkan pada hari pertama sampai hari ketiga. Hari keempat sampai hari kesepuluh dihasilkan susu transisi yang mengandung imunoglobulin, protein, dan laktosa lebih sedikit dibandingkan kolostrum, tetapi lemak dan kalori lebih tinggi dengan warna susu lebih putih. Pada akhir minggu pertama menyusui, air susu yang matang akan keluar. Selain mengandung zat-zat makanan, ASI juga mengandung zat penyerap berupa enzim tersendiri yang tidak akan mengganggu enzim di usus (Kemenkes RI, 2015). d. Faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif Damayanti (2010) menyebutkan bahwa pemberian ASI selama enam bulan memiliki banyak manfaat, namun masih banyak ibu yang tidak memberikan ASI secara eksklusif pada bayinya. Hal tersebut karena beberapa faktor sebagai berikut. 1) Minimnya pengetahuan ibu tentang manfaat dan proses menyusui. Sebaiknya ibu sudah mulai memperbanyak pengetahuan seputar pemberian ASI saat masih hamil. Pengetahuan yang cukup akan memperbesar kemungkinan sukses untuk memberikan ASI kepada bayi. 2) Kurangnya dukungan dari suami dan keluarga.
9
Banyak pasangan yang merasa tidak nyaman kalau istrinya menyusui. Selain itu, banyak nasihat diberikan oleh para anggota keluarga yang justru menghambat ibu dalam pemberian ASI.
3) Ibu bekerja di luar rumah. Ketatnya aturan jam kerja, lokasi tempat tinggal yang jauh dari tempat kerja, dan jarang tersedianya fasilitas yang memadai untuk memerah ASI membuat para ibu pekerja tidak dapat memberikan ASI secara eksklusif. e. Faktor Kekebalan Spesifik dalam ASI Agusjaya (2011) mengatakan bahwa faktor kekebalan spesifik dalam ASI terdiri dari sel limfosit T dan sel limfosit B. Sel limfosit T ASI merupakan subpopulasi T unik yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan sistem imun lokal, sedangkan sel limfosit B di lamina propria payudara akan memproduksi imunoglobulin A (IgA) yang disekresi berupa IgA secretory (sIgA). Kadar sIgA ASI berkisar antara 5,0-7,5 mg/dl. Pada empat bulan pertama bayi yang memperoleh ASI eksklusif akan mendapat 0,5 g sIgA/hari atau sekitar 75-100 mg/kgBB/hari. Konsentrasi sIgA ASI yang tinggi ini dipertahankan sampai tahun kedua laktasi. Fungsi utama sIgA adalah mencegah melekatnya kuman patogen pada dinding mukosa usus halus dan menghambat proliferasi kuman di dalam usus. IgA secretory (sIgA) ASI mengandung aktivitas antibodi terhadap virus, bakteri, dan protein makanan, seperti susu sapi dan kedelai. ASI
10
meningkatkan sIgA pada mukosa traktus respiratory dan kelenjar saliva bayi pada empat hari pertama kehidupan. Hal ini dapat menghindarkan bayi dari berbagai penyakit dan infeksi.
2. Mekanisme Pertahanan Fisiologis Tubuh a. Sistem Pertahanan Fisiologis Brooks et al. (2005) menerangkan bahwa dalam saluran pernapasan mukosa menutupi permukaan dan bakteri cenderung melekat di lapisan mukosa ini. Mukosa dan air mata mengandung lisozim dan zat kimia lain yang mempunyai kemampuan antimikroba. Pada beberapa mikroorganisme, tahap pertama infeksi adalah perlekatan ke sel epitel permukaan menggunakan protein permukaan bakteri yang bersifat adesif, misalnya Escherichia coli. Jika sel tersebut mempunyai antibodi IgA pada permukaannya maka perlekatan dapat dicegah. Ketika organisme masuk ke tubuh melalui membran mukosa, organisme tersebut cenderung ditangkap oleh fagosit dan dibawa ke saluran limfatik regional. Fagosit berperan sebagai pertahanan yang mencegah penyebaran bakteri lebih lanjut, sedangkan yang berfungsi menghilangkan bakteri dari saluran pernapasan adalah aparatus mukosiliar yang dibantu oleh makrofag pulmoner. b. Pembentukan Antibodi
11
Mukosa bayi dapat mengadakan ikatan dengan IgA dan IgM dari kolostrum dan ASI sehingga dapat melindungi bayi dari masuknya bakteri menuju sirkulasi umum. Imunoglobulin yang dijumpai pada mukosa IgA tidak dihantarkan ke bayi. Penerimaan IgA berasal dari kolostrum dan ASI. Masa neonatus adalah masa kritis terhadap patogen mukosa karena imaturitas imunitas mukosa pada masa ini. Sel tubuh ibu dan bayinya dapat mengadakan reaksi lokal membentuk antibodi sehingga dapat memberikan perlindungan atau terjadi migrasi sel yang dapat meningkatkan reaksi lokal untuk membentuk antibodi perlindungan infeksi (Sumadiono, 2008). ASI mengandung sejumlah faktor yang aktif secara imunologis, termasuk yang larut dalam air, sel imunologis, dan mediator reaksi imunitas. Rendahnya
kemampuan
buffer
ASI
dapat
menyebabkan
tumbuh
kembangnya Laktobacillus bifidus sehingga dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen. Dengan demikian, flora predominan pada bayi dengan ASI adalah Laktobacillus bifidus, sedangkan bayi dengan susu formula mempunyai susunan flora Streptococcus faecalis, Escherichia coli, dan Bacteroides. Oleh karena itu, apabila bayi sedikit saja terjadi kelainan pada pola minum dapat segera menimbulkan diare dan infeksi lainnya (Manuaba et al., 2007). 3. Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) a. Pengertian ISPA
12
Infeksi respiratory atas adalah infeksi primer respiratory di atas laring, sedangkan infeksi laring ke bawah disebut infeksi respiratory bawah. Pengertian akut adalah infeksi yang dapat berlangsung hingga 14 hari. Sebagian besar ISPA biasanya terbatas pada ISPA atas saja, tetapi sekitar 5% melibatkan laring dan respiratory bawah berikutnya sehingga berpotensi menjadi serius (Wantania et al., 2008). Infeksi Saluaran Pernapasan Akut (ISPA) dapat dikategorikan sering apabila terjadi ≥ 6x dalam satu tahun dan dikategorikan jarang apabila terjadi < 6x dalam satu tahun (Jesenak et al., 2011). b. Faktor Risiko Terdapat banyak faktor risiko yang mendasari penyakit ISPA pada anak. Hal ini berhubungan dengan pejamu, agen penyakit, dan lingkungan. Wantania et al. (2008) merangkum faktor risiko terjadinya ISPA sebagai berikut. 1) Usia ISPA dapat ditemukan pada 50% anak berusia di bawah lima tahun dan 30% anak berusia 5-12 tahun, serta didapatkan 23% kasus ISPA berat pada anak berusia di atas enam bulan. Pada negara berkembang ISPA adalah penyebab utama dari empat penyebab terbanyak kematian anak dengan kasus terbanyak terjadi pada anak berusia di bawah satu tahun. 2) Jenis Kelamin
13
Ada yang mengemukakan bahwa terdapat sedikit perbedaan yaitu insiden lebih tinggi pada anak laki-laki berusia di atas enam tahun. 3) Status Gizi Gizi buruk merupakan salah faktor predisposisi terjadinya ISPA pada anak. Hal ini dikarenakan adanya gangguan respons imun. Risk Ratio (RR) anak malnutrisi dengan pneumonia adalah 2,3. Selain itu, anak dengan defisiensi vitamin A yang ringan mengalami ISPA dua kali lebih banyak daripada anak yang tidak mengalami defisiensi vitamin A.
4) Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Prevalensi ISPA berhubungan dengan lamanya pemberian ASI. Bayi yang tidak pernah diberi ASI lebih rentan mengalami ISPA dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI paling sedikit selama satu bulan. Bayi yang tidak diberi ASI akan 17 kali lebih rentan mengalami perawatan di rumah sakit akibat pneumonia dibandingkan dengan bayi yang mendapat ASI. 5) Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Pada negara berkembang kematian akibat pneumonia berhubungan dengan BBLR. Sebanyak 22% kematian pada pneumonia diperkirakan terjadi pada BBLR. Berdasarkan analisis, menunjukkan bahwa BBLR mempunyai Risk Ratio (RR) kematian 6,4 pada bayi berusia di bawah enam bulan dan 2,9 pada bayi berusia 6-11 bulan.
14
6) Imunisasi Vaksin campak cukup efektif hingga 25% dapat mencegah kematian akibat ISPA. Usaha global dalam meningkatkan cakupan imunisasi campak dan pertusis telah mengurangi angka kematian ISPA akibat kedua penyakit ini. Selain itu, vaksin Pneumococcus dan Haemophilus influnzae tipe B juga penting diberikan pada anak untuk pencegahan pneumonia dan influenza.
7) Pendidikan Orang Tua Tingkat pendidikan ini berhubungan erat dengan keadaan sosial ekonomi dan pengetahuan orang tua. Kurangnya pengetahuan menyebabkan sebagian kasus ISPA tidak diketahui oleh orang tua dan tidak terobati. 8) Status Sosial Ekonomi Anak yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah mempunyai risiko lebih besar mengalami ISPA. Risiko mengalami ISPA adalah 3,3 kali lebih tinggi pada anak dengan status sosial ekonomi rendah. 9) Penggunaan Fasilitas Kesehatan
15
Penggunaan fasilitas kesehatan sangat berpengaruh pada tingkat keparahan ISPA. Pada sebagian negara berkembang pemanfaatan fasilitas kesehatan masih rendah. 10) Lingkungan Studi epidemiologi pada negara berkembang menunjukkan bahwa polusi udara, baik dari dalam maupun dari luar rumah, berhubungan dengan beberapa penyakit termasuk ISPA. Hal ini berkaitan dengan konsentrasi polutan lingkungan yang dapat mengiritasi mukosa saluran respiratory. Anak yang tinggal di dalam rumah berventilasi baik memiliki angka insiden ISPA yang lebih rendah daripada anak yang berada di dalam rumah berventilasi buruk. Selain itu, orang tua yang merokok dan lingkungan dengan suhu tinggi juga merupakan salah satu faktor risiko pneumonia. 11) Penyakit Lain Human Immunodeficiency Virus (HIV) atau penyakit AIDS serta penyakit-penyakit lain merupakan faktor risiko ISPA. Pada beberapa negara HIV mulai menjadi masalah karena pneumonia terjadi lebih sering dan lebih berat pada pasien HIV. Selain itu, didapatkan sebesar 25% dari kematian HIV disebabkan oleh ISPA bawah. 12) Bencana Alam Indonesia juga merupakan negara rawan bencana, seperti banjir, gempa, gunung meletus, tsunami, dan bencana lainnya. Kondisi bencana
16
tersebut menyebabkan kondisi lingkungan menjadi buruk, sedangkan fasilitas kesehatan terbatas. Penularan kasus ISPA akan lebih cepat apabila terjadi pengumpulan massa atau penampungan pengungsi. Pada situasi bencana jumlah kasus ISPA sangat besar dan menduduki peringkat teratas (Kemenkes RI, 2012).
c. Proses Terjadinya Penyakit Patogen mengembangkan strategi untuk bertransmisi dan hidup dalam tubuh pejamu. Patogen banyak yang berasal dari virus, terutama Respiratory Syntical Virus (RSV). Patogen yang lain, seperti Streptococcus, Haemophilus
influenza,
Chlamydia
trachomatis,
Mycoplasma,
dan
Pneumococci (Hartono, 2012). Strategi yang digunakan oleh suatu mikroorganisme pada tahap-tahap perjalanan infeksi adalah: 1) kontak mukosa yaitu terjadi perlekatan sel bakteri dengan permukaan epitel; 2) invasi yaitu patogen menyebabkan kerusakan dengan menginvasi jaringan yang lebih dalam melalui robekan pada kulit atau mukosa dan mekanisme invasi spesifik; 3) menghindari sistem imun yaitu beberapa patogen
17
menghasilkan enzim atau memiliki komponen tertentu pada permukaannya yang mengikat atau menghambat sIgA pada permukaan mukosa; 4) memproduksi toksin dalam patogenesi beberapa penyakit (Davey, 2005). d. Pembagian Penyakit ISPA 1) ISPA Atas a) Rinitis Rinitis karena virus sering dikenal sebagai common cold dengan gejala rinorea, bersin, kongesti hidung, nyeri tenggorok, dan demam ringan (Greenberg, 2008).
b) Faringitis Faringitis akut adalah penyakit epidemi disertai campuran gambaran klinis, tergantung tipe virus, umur, dan keadaan kesehatan umum anak. Apabila gejala sistemiknya cukup berat disebut sebagai influenza. Gejalanya meliputi sakit kepala, lemah, dan demam mendadak. Selanjutnya, terjadi sakit menelan, menggigil, hidung tersumbat, nyeri pada otot-otot, muntah, dan nyeri perut. Pada bayi faringitis dapat timbul disertai demam tanpa sebab yang jelas, diare, muntah, dan kejang demam (Rendle et al., 2007). c) Rinosinositis
18
Gejala yang sering timbul berupa nyeri pada wajah, hidung tersumbat, ingus purulen, hiposmia atau anosmia, dan demam (Daulay et al., 2008). d) Otitis Media Otitis media merupakan peradangan yang terjadi pada telinga tengah. Otitis media akut paling sering terjadi pada anak dengan gejala panas. Membran timpani yang cembung, kemerahan, dan keruh serta dapat juga dijumpai sekret purulen merupakan tanda otitis media (Hartono, 2012).
2) ISPA Bawah a) Epiglotitis Yangtjik dan Arifin (2008) mengatakan bahwa penyakit ini ditandai dengan demam tinggi yang timbul secara mendadak, nyeri tenggorok, sesak napas, dan diikuti dengan gejala obstruksi saluran respiratory yang progresif. b) Croup (Laringitis Akut) Croup disebabkan oleh kombinasi infeksi dan virus Haemophilus influenza dengan penyempitan laring. Anak yang terkena croup
19
seringkali dikemudian hari menjadi asma. Oleh karena itu, croup sering berulang. Laringitis timbul perlahan-lahan, beberapa hari setelah onset kataral atau tonsolitisnya, dapat pula timbul mendadak disertai stridor pada jam-jam pertama di pagi hari. Gejalanya dapat berupa suara serak yang disertai batuk keras sehingga dapat menyebabkan nyeri pada tenggorokan. Anak harus dirawat di tempat dengan udara yang kelembapan cukup (Rendle et al., 2007). c) Bronkitis Gejala batuk biasanya muncul 3-4 hari setelah rinitis. Batuk pada awalnya keras dan kering, kemudian seringkali berkembang menjadi batuk lepas yang ringan dan produktif. Selain itu, gejala dapat berupa hidung berair, badan menggigil, pegal-pegal, sakit kepala, dan sakit tenggorokan (Ikawati, 2007). d) Bronkiolitis Gejala
bronkiolitis
dapat
berupa
takipnea,
takikardi,
dan
peningkatan suhu di atas 38,50C. Selain itu, dapat ditemukan konjungtivitis ringan dan faringitis. e) Pneumonia Gejala infeksi umum, yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah atau diare, dan kadang-kadang ditemukan gejala infeksi
20
ekstrapulmoner. Selanjutnya, untuk gejala respiratory, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping, air hunger, merintih, dan sianosis (Said, 2008). e. Pertimbangan Penggunaan Antibiotik Prinsip utama pemilihan antibiotik adalah bakteri sensitif dengan antibiotik sehingga diperlukan biakan dan uji resistensi kuman penyebab penyakit. Namun, hal tersebut banyak sekali kendalanya sehingga sebagian besar pengobatan antibiotik dilakukan secara empirik. Idealnya, antibiotik yang digunakan
adalah
kloramfenikol
spesifik
untuk
untuk
Salmonella
bakteri thyposa
penyebabnya, atau
misalnya
rifampisin
untuk
Mycobacterium tuberculosis. Namun, dalam banyak kasus sulit untuk mengetahui kuman penyebab secara definitif sehingga digunakan antibiotik berspektrum luas (Wantania et al., 2008). 4. Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dan Kejadian ISPA pada Bayi dan Anak Air Susu Ibu (ASI) memiliki kandungan nutrisi yang ideal bagi bayi. Pemberian ASI sejak bayi lahir merupakan awal yang sempurna bagi bayi untuk memulai kehidupannya (Meadow, 2005). Semakin lama bayi mendapatkan ASI saja maka semakin menguntungkan bagi bayi. Bayi akan terhindar dari pengaruh pemberian makanan di luar ASI (Yuliarti, 2010). Banyak penelitian yang menilai pengaruh jangka pendek dan panjang dari menyusui terhadap kesehatan bayi dan anak. Menyusu eksklusif selama enam bulan terbukti memberikan risiko yang lebih kecil terhadap berbagai penyakit
21
infeksi, seperti infeksi saluran pernapasan, infeksi telinga, infeksi saluran kemih, diare, serta penyakit lainnya, seperti obesitas, diabetes, alergi, penyakit inflamasi saluran cerna, dan kanker di kemudian hari. Inilah alasan ASI dianjurkan sebagai sumber makanan utama selama enam bulan pertama kehidupan bayi. Angka kejadian ISPA yang tinggi dan masih rendahnya cakupan ASI eksklusif merupakan suatu masalah yang perlu mendapatkan perhatian (Endaryanto, 2013). Kelainan pada sistem pernapasan, terutama ISPA yang disebabkan oleh virus sering terjadi pada semua golongan masyarakat pada musim dingin. ISPA yang berlanjut menjadi pneumonia sering terjadi pada anak kecil, terutama apabila terdapat gizi kurang dan dikombinasi dengan keadaan lingkungan yang tidak higienis. Risiko terutama terjadi pada anak karena kemungkinan meningkatnya infeksi silang dan tidak tersedianya atau berlebihnya pemakaian antibiotik (Rendle et al., 2007). Asumsi dari hubungan pemberian ASI dan kejadian ISPA ialah pemberian ASI merupakan salah satu faktor yang dapat mencegah terjadinya ISPA pada bayi dan anak. Bayi yang mendapatkan ASI sejak lahir akan lebih jarang mengalami ISPA karena mukosa bayi dapat mengadakan ikatan dengan IgA dan IgM dari kolostrum dan ASI sehingga dapat melindungi dari masuknya bakteri menuju sirkulasi umum (Manuaba et al., 2007). Perlindungan dari infeksi merupakan hal yang penting untuk bertahan hidup. Sifat antiinfeksi pada ASI, yaitu ASI makanan yang steril, mengandung antibodi maternal (IgA),
22
laktoferin, lisozim, interferon, dan mendukung Lactobicilli dan Bifidobacter (Meadow, 2005).
B. Kerangka Konsep Sistem pertahanan tubuh bayi
Imaturitas imunitas mukosa bayi Faktor-faktor yang memengaruhi pola pemberian ASI 1. Minimnya pengetahuan 2. Kurangnya dukungan keluarga 3. Ibu bekerja
Kadar IgA secretory (sIgA) rendah
Pemberian ASI Eksklusif
ASI eksklusif
Tidak ASI eksklusif
Mengandung sIgA Meningkatkan sIgA pada mukosa traktus respiratory bayi
Tidak mendapatkan tambahan sIgA
23
Merangsang perkembangan sistem imun lokal bayi
Sistem imun lokal bayi tidak dapat berkembang dengan baik
Faktor-faktor lain yang memengaruhi kejadian ISPA Kejadian ISPA 1. Usia 2. Jenis kelamin 3. Status gizi 4. BBLR ISPA jarang 5. Imunisasi 6. Pendidikan orang tua 7. Status sosial Keterangan : ekonomi 8. Penggunaan = Variabel bebas fs fasilitas kesehatan 9. Lingkungan = Variabel terikat 10. Penyakit lain 11. Bencana alam
ISPA sering
= Variabel perantara
= Variabel luar
Gambar 2.1 Hubungan Pemberian ASI Eksklusif dan Kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada Bayi dan Anak Usia 7 Bulan – 5 Tahun
C. Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah terdapat hubungan pemberian ASI eksklusif dan kejadian Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) pada bayi dan anak usia 7 bulan – 5 tahun.