BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Umum Terhadap Akad Mudarabah Mutlaqah 1. Pengertian Akad Kata akad berasal dari bahasa Arab al-„aqad yang secara etimologi berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan (al-itifaqa). Secara terminology fiqh, akad didefinisikan dengan : “Pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Kabul (pernyataan penerima ikatan) Penantuman kata-kata yang “sesuai dengan kehendak syariat” mksudnya bahwa seluruh periktan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tida dianggap sah apabila tidak sejalan dengan kehendak saya . Misalkan kesepakatan untuk melakukan transaksi riba, menipu orang lain, atau merampok kekayaan orang lain. Adapun penantuman kata-kata “berpengaruh pada objek perikatan” mksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilik dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan Kabul). 1 Para ulama fiqih mengemukakan bahwa akad itu dapat dibagi dilihat dari beberapa segi. Jika dilihat dari segi keabsahannya menurut syara‟, akad terbagi menjadi dua, yaitu :
1
Ghazaly, Abdul Rahman.2010.Fiqih Muamalah.Jakarta:Kencana.hlm 5-51
a. Akad Sahih adalah akad yang telah memenuhi rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Hukum dari akad sahih ini adalah berlakunya seluruh akibat hukum yang ditimbulkan akad itu dan mengikat kepada pihak-pihak berakad. b. Akad yang tidak sahih adalah akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat-syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak-pihak yang berakad. 2 Rukun Akad : 1. Aqid adalah orang yang berakad 2. Ma‟qud‟alaih adalah benda-benda yang diakadkan 3. Maudhu‟al‟-aqad adalah tujuan atau maksud pokok mengakadkan 4. Shighat al-„aqad adalah ijab Kabul Syarat Akad 1. Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). 2. Yang dijadikan objek akad dapat menerima hukumnya. 3. Akad itu dizinkan oleh syara‟, dilakukan oleh orang yang mempunyai hak melakukannya, walaupun dia bukan „aqid yang mmiliki barang. 2
Ibid.,hlm 56-57
4. janganlah akad itu akad yang dilarang oleh syara‟ seperti jual beli mulasamah (saling merasakan). 5. Akad dapat memberikan faedah, sehingga tidaklah sah bila rahn (gadai) dianggap sebagai imbangan amanah (kepercayaan). 6. Ijab itu berjalan terus, tidak diabut sebelum terjadi Kabul, maka apabila orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum Kabul maka batallah ijabnya. 7. Ijab dan Kabul mesti bersambung, sehingga bila sseorang yang berijab telah berpisah sebelum akadya Kabul, maka ijab tersebut menjadi batal. 2. Pengertian Akad Mudharabah Mudharabah berasal dari kata al-dharb, yang secara harfiah adalah berpegian atau berjalan. Selain al-dharb, disebut juga qiradh yang berasal dari al-qardhu, berarti al-qath‟u (potongan) karena pemilik potongan sebagian hartanya untuk diperdagangkan dan memperoleh sebagian keuntungannya. Ada pula yang menyebut mudharabah atau qiradh dengan muamalah. 3 Secara tekinis, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak, dimana pihak pertama bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) yang menyediakan seluruh modal 100%, sedangkan pihak lainnya sebagai pengelola usaha (mudharib). Keuntungan usaha yang didapat dari akad mudharabah dibagi
3
Hendi Suhendi. 2005. Fiqih Muamalah.Jakarta:PT Raja Grafindo Persada.hlm 135
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, dan biasanya dalam bentuk nisbah (presentase).4 3. Dasar Hukum Mudharabah Adapun Landasan hukum Mudharabah sebagai berikut : a. Al-Qur‟an Adapun ayat-ayat yang berkenaan dengan mudharabah, antara lain : surat An-Nisa ayat 29 :5
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. Didalam ayat ini menjelaskan bahwa salah satu syarat sahnya nasabah menitipkan uangnya untuk ditabung di Bank dengan kesepakatan suka sama suka atau bisa diakatakan nasabah mempercayakan uangnya untuk dikelola oleh bank sesuai dengan prinsip syariah yang kemudian keuntungannya dibagikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku diawal dan disepakati kedua belah pihak.
4 5
Dimyaudin Djuwaini. 2008. Fiqih Muamalah.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.hlm 224 Wiroso.Op.Cit.halm 47
b. Ijma‟ Imam Zaeili dalam kitabnya Nasbu ar-Rayah telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsensus akan legitimasi pengolahan harta anak yatim secara mudharabah. Kesepakatan para sahabat ini sejalan dengan spirit hadist yang dikutip oleh Abu Ubaid dalam kitabnya al-Amwal. 6 c. Mudharabah diqiyaskan kepada al-musaqah (menyuruh seseorang untuk mengelola kebun). Selain diantara manusia, ada yang miskin dan ada pula yang kaya. Disatu sisi lain, banyak orang kaya yang tidak dapat mengusahakan hartnya. Disisi lain, tidak sedikit orang miskin yang mau bekerja, tetapi tidak memiliki modal. Dengan demikian, adanya mudharabah diutujukan antara lain untuk memenuhi kebutuhan kedua golongan diatas, yakni untuk kemslahatan manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka. 7 4. Rukun dan Syarat Mudharabah Akad mudharabah memiliki beberapa rukun yang telah digariskan oleh ulama guna menentukan sahnya akad tersebut, rukun yang dimaksud adalah : a. Shahibul maal (pemillik dana). b. Mudharib (pengelola). c. Sighat (ijab qabul). 6
Muhammad Syafi‟I Antonio. 2001. Bank Syariah dari Teori Ke PraktikJakarta:Gema Insani Press..hlm 96. 7 Rachmat Syafe‟i.2001. Fiqih Muamalah untuk IAIAN,STAIN,PTAIS dan Umum.Bandung: Pustaka Setia.hlm 226.
d. Ra’sul maal (modal). Syarat-syarat mudharabah berhubungan dengan rukun-rukun mudharabah itu sendiri. Syarat-syarat sah mudharabah adalah sebagai berikut :8 a) Untuk shahibul maal dan mudharib, syarat keduanya adalah harus mampu bertindak layaknya sebagai majikan dan wakil. b) Sighat atau ijab dan qabul harus diucapkan oleh kedua pihak untuk menunjukkan kemauan mereka, dan terdapat kejelasan tujuan mereka dalam melakukan sebuah kontrak. c) Modal adalah sejumlah uang yang diberikan oleh shahibul maal kepada mudharib untuk tujuan investasi dalam akad mudharabah. Modal disyaratkan harus diketahui jumlah dan jenisnya (mata uang), dan modal harus disetor tunai kepada mudharib. d) Keuntungan adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Keuntungan adalah tujuan akhir dari kontrak mudharabah.
Syarat
keuntungan yang harus terpenuhi adalah kadar keuntungan harus diketahui, berapa jumlah yang dihasilkan. e) Pekerjaan atau usaha adalah kontribusi mudharib dalam kontrak mudharabah yang disediakan sebagai pengganti untuk modal yang disediakan oleh
8
Dimyaudin Djuwaini. 2010. Pengantar Fiqih Muamalah.Yogykarta: Pustaka Pelajar.hlm 226
shahibul mal, pekerjaan dalam konteks ini berhubungan manajemen kontrak mudharabah. 5. Jenis-jenis Mudharabah Secara umum, mudharabah terbagi menjadi dua jenis : a. Mudharabah Mutlaqah adalaha bentuk kerja sama antara shahibul maal dan mudharib yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu, dan daerah bisnis. b. Mudharabah Muqayyadah adalah mudharib dibatasi dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Adanya pembatasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum si shahibul maal dalam memasuki jenis usaha.9 6. Karakteristik Mudharabah Mutlaqah Karakteristik mudharabah muthlaqah atau investasi tidak terikat sebagai berikut : a. Mudharabah terdiri dari dua jenis yaitu mudharabah muthlaqah (investasi tidak terikat), mudharabah muqayyadah (investasi terikat).
9
237
Syafi‟I Antonio. 2001. Bank Syariah dari Teori Ke Praktik.Jakarta:Gema Insani Press.hlm
b. Investasi tidak terikat bukan merupakan kewajiban atau ekuitas bank, karena bank tidak berkewajiban mengembalikan dana tersebut apabila terjadi kerugian pengelolaan dan bukan disebabkan kelalaian banj sebagai mudharib. c. Bagi hasil mudharab dapat dilakukan dengan menggunakan dua metode yaitu bagi laba (profit sharing) atau bagi pendapatan (revenue sharing). Bagi laba dihitung dari pendapatan setelah dikurangi beban yang berkaitan dengan pengelolaan dana mudharabah sedangkan bagi pendapatan, dihitung dari total pendapatan pengelolaan mudharabah. d. Jika bank menggunakan metode bagi hasil (profit sharing) dan usaha mengalami kerugian maka seluruh kerugian ditanggung oleh pemilik dana (shahibul maal). Kecuali jika ditemukan adanya kelalaian atau kesalahan bank sebagai pengelola dana (mudharib) . Kelalaian atau kesalahan bank sebagai pengelola dana disebabkan, misalkan: e. Kelalaian atau kesalahan bank sebagai pengelola, misalkan : 1) Tidak dipenuhinya persyaratan yang ditentukan didalam akad. 2) Tidak terdapat kondisi diluar kemampuan (force majeur) yang lazim atau yang telah ditentukan di dalam akad. 3) Hasil putusan dari badan arbitase atau pengadilan. f. Jika banyak menggunakan metode bagi pendapatan (revenue sharing) maka pemilik dana (shahibul maal) tidak akan menanggung kerugian, kecuali bank dilikuidasi dengan kondisi realisasi asset bank lebih kecil dari kewajiban.
Investasi tidak terikat, antara lain : a. Tabungan mudharabah yaitu investasi tidak terikat pihak ketiga pada bank syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati. b. Deposito mudharabah adalah investasi tidak terikat pihak ketiga pada bank syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu dengan pembagian hasil usaha sesuai dengan nisbah yang telah disepakati dimuka antara nasabah dengan bank syariah yang bersangkutan.10 Tabungan mudharabah adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang dapat dipersamakan dengan itu . Tabungan dengan karakteristik seperti ini yang sesuai dengan prinsip mudharabah (tidak dapat ditarik setiap saat). Oleh karena tidak dapat ditarik setiap saat maka dalam tabungan yang mempergunakan prinsip mudharabah(tabungan mudharabah) tidak perlu diberikan ATM atau kartu yang sejenis itu. Ketika sebuah kontrak telah disepakati, maka kontrak tersebut menjadi sebuah hukum yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak. Jika ada pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak, baik shahib al-maal atau mudharib, maka kontrak menjadi gugur tidak berlaku lagi. Kesepakatan kontrak
10
Ibid..hal 44
mudharabah yang menjadi hukum tersebut membawa beberapa implikasi, diantaranya :11 1. Mudharib sebagai Amin (orang yang dipercaya ). Seorng mudharib menjadi amin untuk modal yang telah diserahkan kepadanya. 2. Mudharib sebagai Wakil Mudharib adalah wakil dari shahib al-maal dalam semua transaksi yang ia sepakati. Konsekuensinya hak-hak kontrak kembali kepadanya sebagai seorang yang mensepakati transaksi. 3. Mudharib sebagai Mitra dalam Laba. Mudharib akan mendapatkan bagian laba dari usaha yang telah dia lakukan, sebab mudharabah sendiri adalah pertemanan dalam laba. B. Tinjauan Umum Terhadap Metode Bagi Hasil 1. Pengertian Bagi Hasil Bagi Hasil adalah bentuk return (perolehan kembaliannya) dari kontrak investasi,dari waktu ke waktu, tidak pasti dan tidak tetap besar keilnya perolehan kembali itu bergantung pada hasil usaha yang benar benar terjadi. dengan
11
65-67.
Muhammad. 2005. Konstruksi Mudharabah Dalam bisnis Syari’ah.(Yogyakarta:BPFE).hal
demikian dapat dikatakan bahwa sistem bagi hasil merupakan salah satu praktik perbankan syariah. 12 Metode Bagi hasil terdiri dari dua sistem : a. Bagi untung (profit sharing) adalah bagi haslyang dihitung dari pendapatan setalah dikurangi biaya pengellaan dana. Dalam sistem syariah pola ini dapat digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaga keuangan syariah. b. Bagi Hasil (Revenue Sharing) adalah bagi hasil yang dihitung dari total pendapatan pengelolaan dana. Dalam sistem syariah, pola ini dapat digunakan untuk keperluan distribusi hasil usaha lembaga keuangan syariah. Aplikasi Perbankan Syariah pada umumnya, bank dapat menggunakan sistem profit sharing maupun revenue sharing tergantung pada kebijakan masingmasing bank untuk memilih salah satu dari sistem yang ada. Bank Syariah yang ada di Indonesia saat ini semuanya menggunakan perhitungan bagi hasil atas dari revenue sharing, untuk mendistribusikan bagi hasil kepada para pemilik dana atau deposan. Prinsip revenue sharing diterapkan berdasarkan pendapat dari Imam Syafii yang mengatakan bahwa mudharib tidak boleh menggunakan harta mudharabah sebagai biaya baik dalam keadaan menetap maupun bepergian (diperjalanan) karena mudharib telah mendapatkan bagian keuntungan maka ia tidak berhak 12
Adiwarman Karim. 2004. Bank Islam Analisi Fiqih dan keuangan Jakarta :PT Raja Grafindo Persada. hlm 191
mendapatkan sesuatu (nafkah) dari harta itu yang pada akhirnya ia akan mendapat yang lebih besar dari bagian shahibul mal. Sedangkan untuk profit sharing diterapkan berdasarkan dari Abu Hanifah, Malik, Zaidiyah, yang mengatakan bahwa
mudharib
dapat
membelanjakan
harta
mudharabah
hanya
bila
perdagangannya itu diperjalannan saja, baik itu berupa biaya makan, minum, pakaian, dan sebagainya. 2. Teori Bagi Hasil Keuntungan yang dibagihasilkan harus dibagi seara proposional antara shahibul maal dengan mudharib. Dengan demikian, semua pengeluaran rutin yang berkaitan dengan bisnis mudharabah, dapat imasukkan kedalam biaya operasional. Keuntungan bersih harus dibagi antara shahibul maal dan mudharib sesuai dengan proporsi yang disepakati sebelumnya dan seara eksplisit disebutkan dalam perjanjian awal. Tidak ada pembagian laba sampai semua kerugian telah ditutup dan ekuiti shahibul maal telah dibayar kembali. Jika ada pembagian keuntungan sebelum
habis
masa
perjanjian
akan
dianggap
sebagai
pembagian
keuntungandimuka. Kerja sama para pihak dengan sistem bagi hasil harus dilaksanakan dengan transparan dan adil. Hal ini disebabkan untuk mengetahui tingkat bagi hasil pada periode tertentu itu tidak dapat dijalankan keuali harus ada laporan keuangan atau pengakuan yang terperaya. Pada tahap perjanjian kerja sama ini disetujui oleh para
pihak, maka semua aspek yang berakaitan dengan usaha harus disepakati dalam kontrak agar antar pihakdapat saling mengingatkan.13 3. Konsep bagi hasil Pemilik dana akan menginvestasikan dananya melalui lembaga kuangan syariah yang bertindak sebagai pengelola. Pengelola atau lembaga keuangan syariah akan mengelola dana tersebut dalam sistem pool of fund selanjutnya akan menginvestasikan dana tersebut dalam proyek atau usaha yang layak dan menguntungkan serta memenuhi aspek syariah. kedua belah pihak menandatangani akad yang berisi ruang lingkup kerja sama, nisbah dan jangka waktu berlakunya kesepakatan tersebut.14 Nisbah Keuntungan Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. 4. Faktor-faktor Bagi Hasil Faktor-faktor yang mempengaruhi bagi hasil ada dua yaitu: a. Faktor langsung Faktor langsung meliputi : 1. Investment Rate, merupakan presentase actual dana yang diinvestasikan dari total dana. Jika bank menentukan investment rate sebesar 80%, hal ini berarti 20% dari total dana dialokasikan untuk memenuhi likuiditas. 13
Muhammad Ridwan. 2004. Manajemen Baitul Maal Wat Tamwil (BMT), Yogyakarta:UII Press.hlm 120 14 Tim Pengembangan Perbankan Syariah Institut Bankir Indonesia, Bank Syariah: Konsep, Produk dan Implementasi Operasional, (Jakarta : Djambatan, 2003), hlm 264
2. Jumlah dana yang tersedia untuk diinvestasikan merupakan jumlah dana dari berbagai sumber dana yang tersedia untuk diinvestaikan. 15 3. Nisbah (Profit Sharing Ratio) Nisbah antara satu bank dan bank lainnya dapat berbeda. Nisbah juga dapat berbeda dari waktu ke waktu dalam satu bank misalnya pembiyayaan mudharabah, 5 bulan, 6 bulan, 10, bulan, 12 bulan. b. Faktor tidak langsung Faktor tidak langsung meliputi : 1. Penentuan butir-butir pendapatan dan biaya mudharabah: a. Shahibul mal dan mudharib akan melakukan share baik dalam pendapatan maupun biaya. b. Jika semua biaya ditanggukan hal ini disebut revenue sharing. 2. Kebijakan akunting (prinsip dan metode akunting) bagi hasil secara tidak langsung dipengaruhi oleh berjalannya aktifitas yang diterapkan terutama sehubungan dengan pengakuan pendapatan dan biaya. 16 5. Landasan Syariah
15 16
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Yogyakarta : UPP AMP YPKN, 2002) , hlm 106 Ibid, hlm 106
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan bagi hasil antara lain : a. Komposisi pendanaan Bagi Bank Syariah yang pendanaannya sebagian besar diperoleh dari dana giro dan tabungan, yang nota-bene nisbah tidak setinggi deposan (apalagi bonus untuk giro cukup rendah karena diserahkan sepenuhnya pada kebijakan bank syariah yang bersangkutan) maka penentuan keuntungan (margin atau bagi hasil bank) akan lebih kompetitif jika dibandingkan suatu bank yang pendanaannya porsi terbesar berasal dari deposito. b. Tingkat persaingan Jika tingkat kompetisi ketat, porsi keuntungan bank tipis, sedangkan pada tingkat persaingan masih longgar bank dapat mengambil keuntungan lebih tinggi. c. Risiko pembiyaan Untuk pembiayaan pada sektor uang beresiko tinggi, bank dapat mengambil keuntungan lebih tinggi dibanding yang beresiko apalagi kecil. d. Jenis nasabah
Yang dimaksudkan adalah nasabah prima dan nasabah biasa. Bagi nasabah prima misal usahanya besar dan kuat bank cukup mengambil keuntungan tipis, sedangkan untuk pembiayaan kepada para nasabah biasa diambil keuntungan yang lebih tinggi. e. Kondisi perekonomian Siklus ekonomi melali kondisi : revival, boom / peak-puncak, resisi, dan depresi. Jika perekonomian secara umum berada pada dua kondisi pertama, dimana usaha berjalan lancar, maka bank dapat mengambil kebijakan pengambilan keuntungan yang lebih longgar. Namun pada kondisi lainnya (resisi dan depresi) bank tidak merugipun sudah bagus, keuntungan sangat tipis. f. Tingkat keuntungan yang diharapkan bank Secara kondisional, hal ini (spread bank) terkait dengan masalah keadaan perekonomian pada umumnya dan juga resiko atas suatu sektor pembiayaan, atau pembiayaan terhadap debitur dimaksud. Namun demikian, apapun kondisinya serta siapapun debiturnya bnak dalam operasionalnya setiap tahun tenu telah menetapkan berapa besar keuntungan yang dianggarkan. Anggaran
keuntungan inilah yang akan berpengaruh pada kebijakan penentuan besarnya margin ataupun nisbah bagi hasil untuk bank.17
17
192
Muhammad.2004. Manajemen Dana Bank Syariah.Yogyakarta : Ekonisia, cet Ke-1. hlm