BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Teoritis a.
Survivalitas Perempuan dalam Rumah Tangga Miskin Zulmiarni (2004) mengungkapkan bahwa sebagian besar penduduk miskin di Indonesia adalah perempuan, jumlah dari perempuan miskin di Indonesia tidak kurang dari enam juta yang terdiri dari kepala rumah tangga miskin dengan pendapatan rata-rata di bawah Rp. 10.000 per hari. Sehingga untuk menjaga kelangsungan hidup, mereka bekerja di sektor informal sebab mereka sulit mendapatkan akses sumber daya yang salah satunya adalah sumber daya keuangan. Menurut Zulmiarni (2004) kesulitan tersebut karena mereka dianggap tidak layak, tinggal di lokasi terpencil, tidak ada jaminan dan sebagian persoalan tersebut menyangkut isu gender. Strategi bertahan perempuan dalam rumah tangga miskin selama ini adalah mereka tergantung pada sumber-sumber keuangan alternatif seperti hibah program pengentasan kemiskinan baik yang dilakukan pemerintah maupun lembaga-lembaga sosial dan LSM, rentenir (bank keliling, bank plecit, dsb), kerabat dan tetangga (Zulmiarni, 2004). Oleh sebab itu,
sebagai akibatnya mereka menjadi tergantung, terjerat hutang dan mereka tidak berhasil mengeluarkan diri dari garis kemiskinan. Latar
belakang
ketidakberdayaan
perempuan
dalam
mempertahankan hidupnya tersebut menumbuhkan pemikiran tentang pentingnya pemberdayaan perempuan terutama dalam rumah tangga miskin. Sidu (2006) menyampaikan bahwa ada lima aspek yang saling berhubungan yang harus diperhatikan dalam pemberdayaan perempuan yaitu, kesejahteraan, akses sumber daya, partisipasi kesadaran kritis dan kontrol. Oleh sebab itu, Zulmiarni (2004) menyatakan bahwa untuk membantu perempuan dalam rumah tangga miskin bertahan maka perlu memulai untuk menumbuhkan kelompok-kelompok swadaya serta mengembangkan kegiatan simpan pinjam. Harapannya pola survivalitas perempuan dalam rumah tangga miskin berubah menjadi sejahtera, akses sumberdaya mudah, berpartisipasi aktif dengan kesadaran yang kritis serta mampu mengontrol diri mereka sendiri.
b. Kemiskinan 1.
Definisi Kemiskinan
Hakim (2005) mengemukakan bahwa banyak konsep dan definisi yang diberikan oleh para ahli tentang kemiskinan. Walaupun di antara satu konsep dengan konsep yang lainnya memiliki sudut pandang yang berbeda, namun
semuanya sepakat bahwa kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang bersifat multidimensi. Kemiskinan berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya dan aspek lainnya. Sumodiningrat (1998) membedakan pengertian kemiskinan menjadi tiga. Pertama, kemiskinan alamiah (natural) adalah kemiskinan yang disebabkan oleh kualitas sumberdaya alam dan sumberdaya manusia sehingga peluang produksi relatif kecil ataupun jika kegiatan roduksi dapat dilakukan pada umumnya dengan tingkat efisiensi yang relatif rendah. Kedua, kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang secara langsung atau tidak langsung disebabkan oleh catatan kelembagaan.
Hirarki yang paling tinggi kemiskinan struktural
disebabkan oleh adanya ketimpangan di dalam struktur perekonomian nasional. Ketiga, kemiskinan kultural mengacu pada sikap hidup seseorang atau masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya, di mana mereka sudah merasa kecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mudah untuk melakukan perubahan, menolak untuk mengikuti perkembangan, dan tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kehidupan. Akibatnya, tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai umum. Dengan ukuran absolut, misalnya tingkat pendapatan minimum, mereka dapat dikatakan miskin, tetapi mereka tidak merasa miskin dan tidak mau disebut miskin.
Sementara menurut Tambunan (2014:107) membedakan kemiskinan menurut ukurannya yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Konsep yang mengacu kepada garis kimiskinan disebut kemiskinan relatif, sedangkan konsep yang pengukurannya tidak didasarkan pada garis kemiskinan disebut kemiskinan absolut. Kemiskinan relatif adalah suatu ukuran mengenai kesenjangan di dalam distribusi pendapatan, yang biasanya dapat didefinisikan di dalam kaitannya dengan tingkat rata-rata dari distribusi yang dimaksud. Sementara itu, kemiskinan absolut adalah derajat dari kemiskinan dimana kebutuhan-kebutuhan minimum untuk bertahan hidup tidak terpenuhi. 2.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kemiskinan 2.1 Faktor Personal
Lewin (2006) mengemukakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh interaksi faktor personal dan faktor situasional. Faktor personal antara lain : motif, kebutuhan yang direfleksikan dalam sikap, kemampuan, perasaan, kepercayaan, kepribadian, sistem nilai dan kecenderungan untuk bertindak. Menurut teori Freud dalam Sjafari (2010), struktur kepribadian terdiri dari : (1) Das Es (the id), yaitu aspek biologis, terkait dengan alam bawah sadar/tidak sadar (kesadaran magis); (2) Das Ich (the ego), yaitu aspek psikologis, terkait dengan alam pra sadar (kesadaran naif); dan (3) Das Uber Ich (the super ego), yaitu aspek sosiologis, terkait dengan alam sadar (kesadaran kritis). Kesadaran magis dan kesadaran naif terkait dengan perspektif berpikir masyarakat di era
pra modern dan modern, sedangkan perspektif berpikir masyarakat post modern cenderung berada pada kesadaran kritis. 2.2. Faktor Situasional Menurut Mubyarto (1998) kemiskinan merupakan persoalan situasional. Faktor situasional berasumsi bahwa kemiskinan yang melanda setiap individu/sekelompok masyarakat lebih diakibatkan oleh faktor yang berasal dari individu/sekelompok masyarakat tersebut. Dengan kalimat lain, penyebab kemiskinan terkait dengan faktor kultural, struktural, dan alamiah. 3.
Indikator-Indikator Utama Kemiskinan
Menurut Tambunan (2014:110-116) mengemukakan besar kecilnya kemiskinan di suatu wilayah bisa dilihat atau diketahui dengan memakai sejumlah alat ukur yang umum disebut sebagai indikator-indikator kemiskinan. Adapun indikator-indikator kemiskinan menurut Tambunan tersebut dijelaskan sebagai berikut : a. Pendapatan/Konsumsi per Minggu/Bulan/Tahun Untuk mengukur kemiskinan seseorang pada umumnya ialah dengan menjumlahkan pendapatan dari hasil kerja/usaha ra-rat per minggu, bulan atau per tahun. Sebagai alternatifnya ialah nilai konsumsi ratarata per minggu, bulan atau tahun. Walaupun sebenarnya memakai data pebdapatan dari hasil kerja atau usaha sebagai alat ukur tidak selalu menggambarkan kondisi yang sebenarnya. Pada suatu kasus, seseorag bisa mempunyai gaji yang rendah namun sebenarnya
memiliki banyak aset atau mendapatkan warisan dari orang tua sehingga dapat digolongkan menjadi orang kaya atau seseorang bisa menekan konsumsinya sehingga tabungannya sangat banyak. b. Aset Indikator kemiskinan juga dapat menggunakan jumlah atau nilai aset seperti tanah, rumah/gedung, dan aset-aset lainnya yang bergerak. Di pedesaan, atau bahkan di kota-kota besar di Indonesia banyak orang yang tidak memiliki pekerjaan tetap dan tinggal di rumah kontrakan yang sangat kecil tapi sebenarnya mereka memiliki tanah yang tidak dimanfaatkan untuk menghasilkan kapital. Salah satu sebabnya biasanya adalah karena mereka tidak memiliki surat-surat resmi seperti sertifikat tanah karena tanah tersebut merupakan warisan yang turun temurun. Sehingga, orang-orang seperti ini memang terlihat miskin akan tetapi sebenarnya mereka sangat kaya apabila dapat memanfaatkan sumber daya yang mereka punya. c. Total Kekayaan Total kekayaan seseorang dalam sebuah keluarga atau rumah tangga adalah jumlah total semua aset yang dimiliki orang itu ditambah dengan jumlah pendapatan yang didapatnya dari segala sumber, termasuk sebagai pekerja atau pegawai. Total kekayaan jauh lebih baik daripada total pendapatan sebagai indikator kemiskinan karena seseorang bisa saja tidak mempunyai pekerjaan tetapi ia tidak miskin
karena memiliki banyak aset atau banyak saham di sejumlah perusahaan atau mendapat warisan. d. Makanan yang Dikonsumsi Makanan sebagai salah satu indikator kemiskinan harus dilihat dari dua hal, yaitu porsi dan kualitas dari makanan yang dikonsumsi. Sebagai landasan teorinya adalah untuk porsi makanan orang miskin akan lebih banyak menggunakan pendapatannya untuk konsumsi makanan daripada untuk non-makanan atau dapat dikatakan bahwa semakin miskin seseorang maka semakin besar porsi dari jumlah konsumsi atau pendpatan untuk makanan, dan berlaku sebaliknya. Untuk kualitas makanan, semakin miskin seseorang semakin rendah tingkat rata-rata konsumsi protein dan kalori. Biasanya, orang kaya lebih banyak makan yang berkalori dan berprotein dibandingkan orang miskin. Salah satu indikator umum yang digunakan untuk mengukur kecukupan makanan tidak hanya dalam volume, tetapi juga kandungan/asupan energi, seperti kalori dan protein. e. Tempat Tinggal Tempat tinggal bisa dalam arti rumah dan lokasi di mana rumah itu berada. Yang harus difokuskan adalah bentuk dan kualitas. Dalam hal rumah, bentuk dan kualitasnya bisa digunakan sebagai salah satu indikator kemiskinan. Landasannya adalah pada umumnya bentuk dari rumah yang dimiliki orang miskin lebih kecil dan sederhana
dibandingkan rumah punya orang kaya. Sedangkan yang terkait dengan kualitas adalah menyangkut kualitas dari bahan-bahan bangunan yang digunakan dan kualitas dari rumah itu sendiri dilihat dari sisi kenyamanan, keselamatan dan kesehatan. Dalam hal lokasi, orang miskin pada umumnya membangun rumah mereka di lokaslokasi yang sangat terpolusi, sangat padat manusia, dan sangat beresiko bencana, baik alam maupun karena ulah manusia, misalnya gubuk-gubuk di pinggir sungai atau jalur kereta api. f. Pendidikan Fornal Pendidikan formal merupakan salah satu aspek penting dari kemiskinan. Yang dilihat tidak hanya tingkatnya, tetapi juga kualitasnya. Yang bisa digunakan sebagai indikator-indikator kemiskinan dari aspek pendidikan adalah misalnya, angka melek huruf penduduk berumur 15 tahun ke atas, rata-rata lama sekolah penduduk usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi sekolah, jumlah anak yang terdaftar di sekolah, atau/dan indeks pembangunan manusia (IPM). g. Infrastruktur Dasar Rumah Tangga Yang dimaksud dengan infrastruktur dasar rumah tangga (RT) adalah seperti air bersih, sanitasi layak, listrik yang cukup, telekomunikasi, dan transportasi yang baik. Jadi, yang bisa digunakan sebagai indikator-indikator
kemiskinan
yang
mencerminkan
kondisi
infrastruktur dasar Rumah Tangga adalah, antara lain persentase dari jumlah Rumah Tangga di suatu wilayah yang memiliki akses air bersih, jumlah Rumah Tangga yang memiliki sanitasi layak, sebagai persentase dari jumlah Rumah Tangga, porsi dari jumlah Rumah Tangga yang cukup listrik, persentase dari jumlah Rumah Tangga yang punya akses ke telekomunikasi dan jumlah Rumah Tangga sebegai persentase dari jumlah RT yang punya akses transportasi yang baik. h. Kesehatan Seperti halnya pendidikan, kesehatan juga dilihat sebagai salah satu aspek penting dari kemiskinan dan oleh karena itu, dianggap sebagai salah satu indikator penting untuk menggambarkan kemiskinan di suatu wilayah/masyarakat. Dua komponen penting dari aspek kesehatan harus dikur. Komponan pertama adalah akses ke pelayanan kesehatan yang baik. Komponen kedua adalah kondisi kesehatan ratarata masyarakat. Indikator-indikatornya adalah, antara lain persentase dari jumlah masyarakat yang bergizi, jumlah anak yang mengalami malnutrisi, tingkat kematian anak ((1-5 tahun) per 1000 anak, tingkat kematian bayi per 1000 bayi yang lahir, jumlah kasus aids, malaria, kolera dan TBC, serta jumlah kematian ibu pada saat melahirkan. Dari uraian di atas, maka dapat diperoleh kesimpulan bahwa kemiskinan memang permasalahan yang multidensional yang di negara berkembang
termasuk Indonesia, saat ini membutuhkan usaha lebih yang harus dilakukan oleh pemerintah dan semua komponen masyarakat. c.
Gender Dalam keseharian, gender seringkali diidentikkan dengan jenis kelamin
(sex), padahal gender berbeda dengan jenis kelami. Menurut Echols dan Shadily (1983 : 265) secara etimologis kata ‘Gender’ berasal dari bahasa Inggris yang berarti jenis kelamin. Namun Showwalter (1989 : 3) mengemukakan pendapat lain yaitu gender adalah pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat
dari
konstruksi sosial budaya. Namun dalam Women’s Studies Encyclopedia, gender adalah suatu konsep struktural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat (Mulia, 2004 : 4). Sehingga, dari definisi-definisi tersebut dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan dilihat dari kondisi sosial dan budaya, nilai dan perilaku, mentalitas dan emosi, serta faktorfaktor non biologis lainnya. Wilson (2009 : 16) menjelaskan bahwa teori dan perspektif gender secara sosiologis dibagi atas dua kelompok besar yaitu teori nature (alamiah/kodrat alam) dan nurture (konstruksi budaya). Teori nature memandang perbedaan gender sebagai kodrat (alamiah) yang tidak perlu dipermasalahkan. Menurut teori nature adanya pembedaan laki-laki dan perempuan adalah kodrat, sehingga harus diterima. Perbedaan biologis itu
memberikan indikasi dan implikasi bahwa diantara kedua jenis kelamin tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Sependapat dengan Bhasin (2002) bahwa selama berabad-abad diyakini bahwa laki-laki dan perempuan dalam masyarakat ditentukan oleh biologi yaitu jenis kelamin. Hal tersebut bersifat alamiah, sehingga tidak dapat diubah. Perbedaan biologis ini memberikan indikasi dan implikasi bahwa di antara kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu membuat perempuaan selalu tertinggal dan terabaikan
peran
dan
kontribusinya
dalam
kehidupan
berkeluarga,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menurut teori nurture adanya perbedaan perempuan dan laki-laki adalah hasil konstruksi sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas yang berbeda. Perbedaan itu membuat perempuan selalu tertinggal dan terabaikan peran dan kontribusinya dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Konstruksi sosial menempatkan perempuan dan lakilaki dalam perbedaan kelas. Laki-laki diidentikkan dengan kelas borjuis, dan perempuan sebagai kelas proletar. Sementara itu, analisis gender dalam kegiatan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari analisis tentang keluarga. Ekonomi dan keluarga merupakan dua lembaga yang saling berhubungan sekalipun tampak keduanya terpisah satu sama lainnya. Ketidakseimbangan berdasarkan gender (gender inequality) mengacu pada ketidakseimbangan pada akses ke sumber-sumber yang langka dalam masyarakat. Sumber yang penting yang ada di masyarakat ini antara lain
meliputi kekuasaan atas material, jasa, prestise, peran dalam masyarakat, kesempatan memperolah pendidikan dan kesempatan memperoleh pekerjaan. Pendapat tentang ketimpangan gender ini tampaknya kurang memperlihatkan aspek sosial budaya yang mengkonstruksi terjadinya ketimpangan tersebut (Haryanto, 2008). Elizabet (2007) mengungkapkan bahwa dalam semua strata, terindikasi bahwa peran dan status wanita dalam mengurus keberlangsungan rumah tangga lebih tinggi dibanding pria (kepala keluarga). Dominasi peran dan status tersebut menunjukkan tingginya potensi wanita untuk mengendalikan dan mengarahkan rumah tangganya, ke arah lebih baik atau menjadi semakin buruk. Hal tersebut diperkuat bahwa pada kenyataannya lebih dari 50% dari total penduduk Indonesia adalah wanita (BPS, 1990-2006), dimana lebih dari 70% (atau sekitar 82,6 juta orang) berada di pedesaan dan 55% di antaranya hidup dari pertanian. Dari kajian tersebut, maka dapat diidentifikasikan bahwa pada dasarnya perempuan memiliki peran ganda dalam rumah tangga. Peran ganda kaum wanita tersebut adalah pertama, peran kerja sebagai ibu rumah tangga (mencerminkan feminimine role), meski tidak langsung menghasilkan pendapatan, secara produktif bekerja mendukung kaum pria (kepala keluarga) untuk mencari penghasilan, dan kedua, berperan sebagai pencari nafkah tambahan ataupun utama) Dalam pengembangan citra dan prospek wanita abad XXI, terbentuk beberapa peran, antara lain: (1) Peran tradisi, yang menempatkan wanita dalam
fungsi reproduksi, dimana 100% hidupnya untuk mengurusi keluarga, dan patron pembagian kerja jelas (wanita di rumah/domestik, pria di luar rumah/publik); (2) Peran transisi, mengutamakan peran tradisi lebih dari yang lain, pembagian kerja menuruti aspirasi gender, keharmonisan dan urusan rumah tangga tetap tanggungjawab kaum wanita; (3) Dwiperan, memposisikan wanita dalam dua dunia kehidupan (peran domestik-publik sama penting), dukungan moral dan perhatian suami menjadi pemicu ketegaran ataupun keresahan; (4) Peran egalitarian, kegiatan di publik menyita waktu dan perhatian wanita, dukungan moral dan tingkat kepedulian pria sangat hakiki untuk menghindari konflik; (5) Peran kontemporer, merupakan dampak pilihan wanita untuk mandiri dalam kesendirian. Jumlah golongan ini belum banyak, namun berbagai benturan dari dominasi pria (yang belum tentu peduli pada kepentingan wanita) akan meningkatkan populasinya (Vitayala dalam Hastuti, 2004). Dalam rumah tangga miskin, menurut Haryanto (2008) wanita mempunyai potensi dalam memberikan kontribusi pendapatan rumah tangga, khususnya rumah tangga miskin. Dalam rumah tangga miskin anggota rumah tangga wanita terjun ke pasar kerja untuk menambah pendapatan rumah tangga yang dirasakan tidak cukup. Walaupaun dalam arus kesetaraan gender menuntut kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dalam bidang pendidikan dan pekerjaan namun dalam kasus rumah tangga miskin, perempuan bekerja semata-mata untuk membantu perekonomian keluarga saja. Sebagaimana dalam penelitian yang dilakukan oleh
Wibowo (2002) potensi yang dimiliki wanita untuk menopang ekonomi keluarga memang cukup besar. Namun demikian wanita tidak menonjolkan diri atau mengklaim bahwa mereka menjadi penyangga utama ekonomi keluarga. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada pedagang tradisional di Semarang kaum wanita pedagang tetap tidak ingin menonjolkan diri atau mengklaim bahwa aktivitasnya sebagai pedagang adalah utama (pokok), melainkan hanya sekedar mendukung kegiatan suami, walaupun tidak menutup kemungkinan penghasilan mereka jauh lebih besar daripada yang diperoleh suami mereka. d. Pemberdayaan Widodo (2006) mengungkapkan bahwa konsep pemberdayaan dalam wacana pengembangan masyarakat selalu dihubungkan dengan konsep mandiri, partisipasi, jaringan kerja dan keadilan. Dan pada dasarnya pemberdayaan diletakkan pada kekuatan tingkat individu dan sosial (komunitas). Gunardi dkk (2003) mendifinisikan makna pemberdayaan sebagai upaya untuk memberikan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan ketrampilan untuk meningkatkan kapasitas atau kemampuan untuk menentukan masa depan sendiri dan untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi kehidupan komunitasnya. Dalam kaitanyya dengan pengembangan masyarakat, pemberdayaan mesyarakat merupakan salah satu prinsip yang harus diperhatikan dan dilaksanakan. Sementara itu, Hikmat (2004) mengartikan pemberdayaan sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekuan melaksanakan keputusan tersebut. Orang-orang yang telah mencapai tujuan koletif
diberdayakan melalui usaha mereka sendiri dan akumulasi pengetahuan, ketrampilan serta sumber lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka tanpa bergantung
pada
pertolongan
dari
hubungan
eksternal.
Dan
dalam
pengembangan masyarakat, menurut Ife (2002) pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu prinsip yang juga harus menjadi tujuan dari pengembangan masyarakat. Dengan demikian jelaslah bahwa pengembangan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Suharto (1997) mendefinisikan pemberdayaan masyarakat juga menunjuk pada kemampuan orang/kelompok/masyarakat yang rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam : a) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga mereka memiliki kebebasan (freedom), dalam arti bukan saja bebas mengemukakan pendapat, melainkan bebas dari kelaparan, kebodohan, dan kesakitan, b) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang-barang dan jasa-jasa yang mereka perlukan, c) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka. Siporin (1975) bahkan mengungkapkan “Problem in living generally are caused by many systematic factors : therefore blaming, faulting and scapegoating of people are unhepful and are to be avoid. Sehingga dalam memberdayakan masyarakat dibutuhkan pendekatan dualistik yaitu dengan
merubah masyarakat dan juga merubah lingkungan dalam pemecahan masalah masyarakat. Sementara itu, ciri-ciri masyarakat yang telah berdaya diungkapkan oleh Sumarjo dkk (2004) adalah : a) mampu memahami diri dan potensinya, b) mampu merencanakan (mengantisipasi konsisi perubahan kedepan) dan mengarahkan sendiri, c) memiliki kekuatan untuk berunding dan bekerja sama secara saling menguntungkan dengan “bargaining power” yang memadai, d) bertanggung jawab atas tindakan sendiri. Lebih lanjut, Pranarka dan Vidhyandika (Hikmat, 2004) menjelaskan bahwa konsep pemberdayaan dapat dipandang sebagai bagian atau sejiwa dengan aliran yang muncul pada paruh abad ke-20 yang lebih dikenal dengan aliran post-modernisme. Aliran ini menitikberatkan pada sikap dan pendapat yang berorientasi pada jargon antisistem, antistruktur, dan antideterminisme yang diaplikasikan pada dunia kekuasaan. Pemahaman konsep pemberdayaan oleh masing-masing individu secara selektif dan kritis dirasa penting karena konsep ini mempunyai akar historis dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat. Akar konsep pemberdayaan dibagi menjadi dua fase penting, yakni : pertama, lahirnya Eropa modern sebagai akibat dari dan reaksi terhadap alam pemikiran, tata masyarakat dan tata budaya Abad Pertengahan Eropa yang ditandai dengan gerakan pemikiran baru yang dikenal sebagai Aufklarung atau Enligtenment dan kedua, lahirnya aliran-aliran pemikiran
eksistensialisme, phenomenologi, personalisme yang lebih dekat dengan gelombang Neo-Marxisme, Freudianisme, strukturalisme dan sebagianya. Dalam tulisannya, Sidu (2006) menyatakan bahwa pemberdayaan sebagai proses menunjuk pada serangkaian tindakan yang dilakukan secara sistematis dan mencerminkan pentahapan kegiatan atau upaya mengubah masyarakat yang kurang atau belum berdaya, berkekuatan, dan berkemampuan menuju keberdayaan. Makna memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan menunjuk pada sumber inisiatif dalam rangka mendapatkan atau meningkatkan daya, kekuatan atau kemampuan sehingga memiliki keberdayaan. Kata memperoleh menunjukkan bahwa yang menjadi sumber inisiatif untuk berdaya berasal dari masyarakat itu sendiri. Sementara itu, makna kata “pemberian” menunjukkan bahwa sumber inisiatif bukan dari masyarakat. inisiatif untuk mengalihkan daya, kemampuan atau kekuatan adalah pihak-pihak lain yang memiliki keuatan dan kemampuan, misalnya pemerintah atau agen-agen pembangunan lainnya. e.
Lembaga Keuangan Mikro Hakim (2005) mengungkapkan bahwa istilah lembaga keuangan mikro
atau disebut dengan kredit mikro, pertama kali didefinisikan dalam pertemuan The World Summit on Micro Credit di Washington tanggal 2 sampai 4 Februari 1997, yang menyatakan bahwa kredit mikro adalah program/kegiatan memberikan pinjaman yang jumlahnya kecil kepada masyarakat miskin untuk kegiatan usaha meningkatkan pendapatan, pemberian pinjaman untuk mengurus diri sendiri dan keluarganya. Sementara itu, model kredit yang lain juga telah
diterapkan dii beberapa negara, antara lain Grameen Bank di Bangladesh, SEWA Bank di India, Bank of Agriculture and Agriculture Cooperatives (BAAC) di Thailand dan Rotating Savings and Credit Associations (ROSCAs) hampir ada di setiap negara dengan berbagai nama dan jenis kegiatan. Sumodiningrat (1998) memberikan definisi yang lebih kompleks yaitu bahwa sistem kredit yang ideal hendaknya ada ketergantungan yang saling menguntungkan antara penerima kredit (nasabah, masyarakat) dengan pemberi kredit (lembaga dana). Dengan terjadinya proses ketergantungan yang saling menguntungkan tersebut maka disini terdapat unsur kebersamaan, kerja sama, dan kooperatif. Selanjutnya dikatakan bahwa kredit mikro sebagai lembaga layanan kredit yang ideal harus mempunyai ciri sosial (kebersamaan), dan sekaligus mempunyai ciri ekonomi (menerapkan prinsip-prinsip ekonomi). Ciri sosial (kebersamaan) yang dimaksudkan adalah dapat membawakan aspirasi dan menguntungkan bagi masyarakat setempat. Prasyaratnya, ada proses yang muncul dalam masyarakat, yaitu saling mengenal dan saling membantu, yang meningkat menjadi hubungan ekonomi, serta adanya kewajiban mengmbalikan dana yang dipinjam. Krisnamurti (2002) menguraikan tiga prinsip pokok yang harus diperhatikan dalam kegiatan kredit mikro kaitannya dengan penyaluran dana bergulir sehingga dapat berjalan secara efektif, yakni : prinsip spiral, efektifitas, dan prinsip membangun kelompok.
Prinsip spiral artinya proses perguliran harus berlangsung secara simultan bukan merupakan suatu loncatan. Dengan kata lain pihak yang menerima perguliran memiliki kaitan erat dengan “pusat” dalam hal ini “pemangku proyek awal” baik secara emosional maupun dalam konteks jaringan usaha. Ikatan yang terjadi di antara mereka terjalin dalam waktu yang cukup panjang. Karena itu pihak yang menerima perguliran adalah pihak yang dikenali karakternya oleh pihak yang menggulirkannya sehingga kedua belah pihak memiliki tanggung jawab moral untuk mensukseskan program tersebut secara keseluruhan. Prinsip efektifitas yaitu menciptakan cara agar perguliran dengan pola spiral lebih efektif dalam pemanfaatan dana, penggunaan tenggang waktu dan efek ganda dari perguliran tersebut. Selama ini proses perguliran dilakukan dengan terlebih dahulu “pemangku proyek awal” menyerahkan secara bertahap dana yang telah digunakannya kepada pihak pemrakarsa. Setelah itu rencananya pemrakarsa proyek akan menggulirkan kepada kelompok lain. Prinsip membangun kelompok memiliki pengertian bahwa kelompok pemangku awal secara bertahap menyeleksi anggota baru dan menyatakan dalam sistem kelembagaan lama, dan pada tahap tertentu setelah melalui proses belajar bersama dengan kelompok yang dimasukinya, anggota-anggota baru dapat dilepas menjadi kelompok baru tanpa perlu dilakukan intervensi pendampingan yang lebih banyak. Dalam pendapatnya yang lain Krishnamurti (2005) yang menyatakan bahwa banyak definisi keuangan mikro, namun secara umum terdapat tiga
elemen penting dari berbagai definisi tersebut. Pertama, menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan. Keuangan mikro dalam pengalaman masyarakat tradisional Indonesia seperti lumbung desa, lumbung pitih nagari dan sebagainya menyediakan pelayanan keuangan yang beragam seperti tabungan, pinjaman, pembayaran, deposito maupun asuransi. Kedua, melayani rakyat miskin. Keuangan mikro hidup dan berkembang pada awalnya memang untuk melayani rakyat yang terpinggirkan oleh sistem keuangan formal yang ada sehingga memiliki karakteristik konstituen yang khas. Ketiga, menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel. Hal ini merupakan konsekuensi dari kelompok masyarakat yang dilayani, sehingga prosedur dan mekanisme yang dikembangkan untuk keuangan mikro akan selalu kontekstual dan fleksibel. Oleh sebab itu, maka tidak heran jika saat ini telah banyak yang menggunakan Lembaga Keuangan Mikro sebagai salah satu instrumen untuk mengentaskan kemiskinan. Hal ini juga diungkapkan oleh Hendayana dan Bustaman (2007) tentang salah satu upaya untuk mengentaskan kemiskinan adalah dengan Lembaga Keuangan Mikro. Lembaga Keuangan Mikro (LKM) diyakini sebagai suatu alat yang efektif untuk mengentaskan kemiskinan karena layanan keuangan melalui LKM memungkinkan orang kecil dan rumah tangga berpenghasilan rendah untuk memanfaatkan peluang ekonomi, membangun aset dan mengurangi kerentanan terhadap goncangan eksternal. f.
Modal Manusia
Investasi terdiri dari investasi fisik dan nonfisik. Atmanti (2005) menyebutkan bahwa investasi fisik meliputi bangunan pabrik dan perumahan karyawan, mesin-mesin dan peralatan serta barang-barang persediaan. Sementara, investasi nonfisik meliputi pendidikan, pelatihan, migrasi, pemeliharaa kesehatan dan lapangan kerja. Pengertian mengenai investasi nonfisik lebih dikenal dengan investasi sumber daya manusia. Atmanti (2005) mendefinisikan investasi sumber daya manusia adalah sejumlah dana yang dikeluarkan dan kesempatan memperoleh penghasilan selama proses investasi. Sementara itu, istilah modal manusia (human capital) ini dikenal sejak tiga puluh tahun lalu ketika Gary S Becker, seorang penerima Nobel di bidang ekonomi membuat buku dengan judul Human Capital (Becker, 1964 dalam Solihin, 1995). Hukumnya menurut Atmanti (2005) semakin tinggi kualitas sumber daya manusia, maka semakin meningkat pula efisiensi dan produktivitas suatu negara. Sejarahmencatat bahwa negara yang menerapkan paradigma pembangunan berdimensi manusia telah mampu berkembang meskipun tidak memiliki kekayaan sumber daya alam yang berlimpah. Kaufman dan Hotchkiss (1999) dalam Atmanti (2005) mengungkapkan bahwa asusmsi dasar teori Human Capital adalah bahwa seseorang dapat
meningkatkan penghasilannya melalui peningkatkan pendidikan. Setiap tambahan satu tahun sekolah berarti meningkatkan kemampuan kerja dan tingkat penghasilan seseorang tetapi menunda penghasilan selama satu tahun dalam mengikuti sekolah tersebut. Sehingga dari uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa modal manusia merupakan aset
yang penting bagi seseorang untuk melakukan
hubungan/interaksi secara baik dan menguntungkan bagi kehidupannya.
g.
Kelembagaan dan Modal Sosial Kelembagaan sosial sebagai suatu tata kelakuan tentu tidak dapat
dipisahkan dengan modal sosial. Menurut Sugiyanto (2002) modal sosial merupakan kekuatan yang mampu membangun civil community yang dapat meningkatkan pembangunan partisipatif, dengan demikian basis modal sosial adalah trust, ideoloagi dan religi. Modal sosial dapat dicirikan dalam bentuk kerelaan individu menumbuhkan interaksi kumulatif yang menghasilkan nilai sosial. Dimensi-dimensi yang terkandung dalam modal sosial meliputi : (1) Integrasi (integration), yaitu ikatan-ikatan yang berdasarkan kekerabatan, etnik, agama, dan ikatan lainnya; (2) Pertalian (linkage), yaitu ikatan dengan
komunitas lain di luar komunitas asal, berupa jejaring (network), dan asosiasiasosiasi yang bersifat kewarganegaraan (civil associations) yng menembus perbedaan kekerabatan, etnik dan agama; (3) Integritas organisasional (organizational integrity), yaitu keefektifan dan kemampuan institusi negara untuk menjalankan fungsinya, termasuk kepastian hukum dan penegakkan peraturan; dan (4) Sinergi (sinergy), yaitu relasi antara pemimpin dan institusi pemerintahan dengan komunitas (state-community relations). Sementara itu, Ismail (1999) mendefinisikan modal sosial sebagai hubungan-hubungan yang tercipta dan norma-norma yang membentuk kualitas dan kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai perekat sosial (social glue) yang menjaga kesatuan anggota kelompok secara bersama-sama. Lebih dari itu, Cohen dan Prusak (2001) mengungkapkan modal sosial sebagai setiap hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan (trust), kesaling pengertian (mutual understanding), dan nilai-nilai bersama (shared value) yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efektif dan efisien. Hal yang sama diungkapan oleh Hasbullah (2006) yang menjelaskan modal sosial sebagai segala sesuatu yang berkaitan dengan kerja sama dalam masyarakat atau bangsa untuk mencapai kapasitas hidup yang lebih baik, ditopang oleh nilai-nilai dan norma yang menjadi unsur-unsur utamanya seperti trust (kepercayaan), keimbal-
balikan, aturan-aturan kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa dan sejenisnya. Selain definisi-definisi tersebut, terdapat dua tipologi modal sosial menurut Hasbullah (2006) yaitu bagaimana perbedaan pola-pola intetraksi berikut konsekuensi antara modal sosial berbentuk bonding/exclusive atau bridging atau inclusive. Keduanya memiliki implikasi yang berbeda pada hasilhasil yang dapat dicapai dan pengaruh-pengaruh yang dapat muncul dalam proses kehidupan dan pembangunan masyarakat. A) Modal Sosial Terikat (Bonding Social Capital) Modal sosial terikat adalah cenderung bersifat eksklusif (Hasbullah, 2006). Yang menjadi karakteristik dasar yang melekat pada tipologi ini, sekaligus sebagai ciri khasnya, dalam konteks ide, relasi dan perhatian, adalah lebih berorientasi ke dalam (inward looking) dibandingkan dengan berorientasi keluar (outward looking). Ragam masyarakat yang menjadi anggota kelompok ini pada umumnya homogenis (cenderung homogen)1.
B) Modal Sosial yang Menjembatani (Bridging Social Capital)
1
Misalnya seluruh anggota kelompok masyarakat berasal dari suku yang sama. Apa yang menjadi perhatian terfokus pada upaya menjaga nilai-nilai yang turun temurun telah diakui dan dijalankan sebagai bagian dari tata perilaku (code conduct) dan perilaku moral (code of ethics). Mereka lebih konservatif dan mengutamakan solidarity making daripada hal-hal yang lebih nyata untuk membangun diri dan kelompok masyarakatnya sesuai dengan tuntutan nilai-nilai dan norma-norma yang lebih terbuka.
Mengikuti Hasbullah (2006), bentuk modal sosial yang menjembatani ini biasa juga disebut bentuk modern dari suatu pengelompokan, group, asosiasi, atau masyarakat. Prinsip-prinsip pengorganisasan yang dianut didasarkan pada prinsip-prinsip universal tentang : (a) persamaan, (b) kebebasan, serta (c) nilai-nilai kemajemukan dan humanitarian (kemanusiaan, terbuka, dan mandiri). B. Tinjauan Operasional 1.
Undang-Undang No. 1 tahun 2013 Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 merupakan Undang-Undang yang
secara hukum mengatur mengenai Lembaga Keuangan Mikro di Indonesia. Mengacu pada Undang-Undang tersebut, LKM di definisikan sebagai lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaga skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelola simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. Baskara (2013) mengungkapkan bahwa definisi dari Undang-Undang yang mengatur Lembaga Keuangan Mikro tersebut menyiratkan bahwa LKM merupakan sebuah institusi profit motive yang juga bersifat social motive, yang kegiatannya
lebih
bersifat
community
development
dengan
tanpa
mengesampingkan perannya sebagai lembaga keuangan yang berfungsi sebagai intermediasi, LKM juga melaksanakan kegiatan simpan pinjam namun juga
dituntut untuk membrikan kesadaran menabung kepada masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah. Selain Undang-Undang tersebut, tercatat dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) Pasal 33 ayat (1) menegaskan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan. Selanjutnya Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efiseiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.
2.
Undang Undang Dasar 1945 Pasal 33 Konstitusi Indonesia memiliki dimensi pengaturan ekonomi dan
kesejahteraan sosial yang tertuang di dalam pasal 33 UUD 1945. Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 sebagai landasan bagi sistem ekonomi Pancasila yang lebih dikenal dengan demokrasi ekonomi. Konstitusi ekonomi tersebut terlihat pada materi yang berbunyi : a.
Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
b.
Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
c.
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
d.
perekonomian Indonesia diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang (Hakim, 2012).
C. Penelitian Terdahulu
No. Nama Peneliti 1 Haryanto, Sugeng (2008)
Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu Tahun Rumusan Masalah Metode 2008
- Bagaimana kontribusi pendapatan pekerja wanita pemecah batu terhadap pendapatan keluarga? - Bagaimana penggunaan pendapatan pekerja wanita pemecah batu?
Metode yang dilakukan oleh penulis dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan menggunakan data primer melalui wawancara mendalam dan kuesioner terbimbing.
Hasil Penggunaan pendapatan dibelanjakan untuk kebutuhan keluarga antara lain untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, untuk kebutuhan sekolah dan juga untuk kebutuhan sosial seperti arisan, bowo (menyumbang orang yang punya hajatan). Para perempuan pemecah batu tersebut rata-rata bekerja sehari selama 5 dampai dengan 8 jam.
2
Katsushi S 2010 Imai, Thankom Arun dan Samuel Kobina Annim
-
Namun waktu yang dialokasikan relatif fleksibel. Hal ini karena pekerjaan tersebut tidak menuntut jam yang pasti. Bagaimana Metode yang Dari penelitian akses Lembaga digunakan ini ditemukan Keuangan dalam bahwa Mikro dapat penelitian ini kemudahan mengurangi adalah mendapatkan tingkat pendekatan kredit pinjaman kemiskinan? kuantitatif dari lembaga dengan keuangan lebih menggunakan terasa metode Probit. menfaatnya bagi keluarga miskin di desa daripada di kota. Di daerah perkotaan kemudahan akses untuk mendapatkan pinjaman di lembaga
3
Hakim, Arif 2005 Rahman
-
Bagaimana kontribusi program P2KP dalam upaya penanggulangan kemiskinan, khususnya di Kelurahan Rangkapanjaya Baru?
Kajian ini menggunakan pendekatan obyektifmikro. Strategi yang digunakan dalam kajian ini adalah studi kasus.
keuangan mikro lebih banyak tidak digunakan untuk kegiatan produksi. Keberadaan kredit mikro P2KP telah memberikan kontribusi terhadap upaya pengentasan kemiskinan di Kelurahan Rangkapanjaya Baru walaupunbelum dapat dirasakan oleh seluruh warga masyarakat miskin yang ada, namun melalui pemanfaatan kredit mikro sebagian warga masyarakat miskin dapat
4
Yuliawati, Eli
2012
-
Bagaimana pemberdayaan
meningkatkan pendapatan keluarga. Keterbatasan jumlah masyarakat miskin yang dapat dilayani oleh program kredit mikro disebabkan oleh jumlah dana yang ada kurang memadai dibandingkan dengan jumlah masyarakat miskin yang berhak dalam pemanfaatan kredit mikro, serta adanya keterlambatan pembayaran angsuran oleh nasabah. Penelitian ini Hasil penelitian menggunakan menunjukkan
kaum perempuan dalam menunjang peningkatan pendapatan keluarga melalui Home Industry di Dusun Pelemadu, Desa Sriharjo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, DIY?
pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Dengan menggunakan variabel bentuk program pemberdayaan perempuan dan pendapatan keluarga. Metode yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah metode wawancara, observasi, dokumentasi dan kuesioner. Sementara itu, metode analisis dalam penelitian ini menggunakan analisis statistik
bahwa bentuk program pemberdayaan yang diberikan untuk mengembangkan home industri rempeyek di Pelemadu berupa pelatihan, strategi usaha, pemahaman regulasi dan peraturan pemerintah serta penguatan jaringan usaha dengan pihak lain. Adapun kenaikan ratarata pendapatan perempuan pemilik sekaligus pengelola home industry setelah adanya pemberdayaan
deskriptif dan analisis dengan model interaktif Miles dan Huberman.
5
Rahmawaty, Penny
2005
-
Bagaimana peran perempuan pada sektor domestik dan sektor publik?
Penelitian ini menggunakan metode kuantitaif dengan data sekunder dari Badan Pusat Statistik Kota Yogyakarta.
sebesar 97,63% dan perubahan proporsi pendapatan perempuan dari hasil home industry dalam menunjang peningkatan pendapatan keluarga. Hasil penelitian menunjukkan bahwa preferensi memiliki anak menjadi penting karena ketidaksesuaian antara apa yang diinginkan dengan apa yang ada, akan berdampak pada bagaimana orang tua memperlakukan anaknya.
Mayoritas responden mengatakan memiliki anak perempuan dan laki-laki sama saja (80,6%) tetapi yang lebih suka anak lakilaki ternyata lebih banyak daripada yang suka anak perempuan (10,2% dengan 9,2%) sehingga dapat dikatakan disini bahwa kesadaran masyarakat Kota Yogyakarta akan perlunya relasi gender relatif lebih baik. Di bidang pendidikan menunjukkan bahwa angka
6
Widodo, Triyogo
2006
-
Bagaimana kapasitas Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan kapasitas individu masyarakat miskin sekitar hutan mengkaji performa kelembagan PHBM?
Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan menggunakan strategi studi kasus.
buta huruf yang dialami perempuan relatif lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hasil penelitian menunjukkan kondisi masih rendahnya kapasitas LMDH. Rendahnya kapasitas LMDH ditunjukkan dari tidak aktifnya kepengurusan, kepemimpinan (ketua LMDH) yang tidak dapat menjalankan perannya, belum diterapkannya AD/ART menjadi panduan dan peraturan
bagi pengurus dan anggota, serta jaringan kerjasama yang belum dimanfaatkan secara optimal. 6
Setianingsih, 2016 Devi
-
Bagaimana keadaan sosioekonomi perempuan miskin di Kelurahan Nusukan yang menjadi anggota Lembaga Keuangan Mikro “Baki 1”? Bagaimana survivalitas mereka melalui LKM “Baki 1”?
Metode penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan menggunakan strategi studi kasus.
D. Kerangka Pemikiran Salah satu upaya untuk menunjang perekonomian dalam rumah tangga miskin mengakibatkan perempuan harus membantu perekonomian keluarga dengan bekerja di sektor domestik yang tenggang waktu bekerjanya lebih fleksibel. Kondisi perekonomian mereka yang dikategorikan sebagai keluarga miskin dipengaruhi oleh beberapa hal termasuk sosio ekonomi mereka. Lembaga Keuangan Mikro “Baki 1” sebagai salah satu program untuk mengentaskan kemiskinan melayani ibu-ibu rumah tangga miskin yang salah satunya berada di wilayah Keluarahan Nusukan dengan kredit mikro. Penelitian ini diharapkan dapat mengkaji bagaimana para perempuan tersebut survive dengan kondisi perekonomian mereka yang dikategorikan sebagai rumah tangga miskin. Sehingga, kelembagaan, modal sosial serta pemberdayaan dalam Lembaga Keuangan Mikro “Baki 1” yang dikonsepkan melalui kelompok-kelompok kecil ini dapat mempengaruhi peningkatan pendapatan mereka melalui akses keuangan yang mudah serta nilai-nilai kebersamaan. Dengan mengetahui pola survivalitas perempuan dalam rumah tangga miskin di Kelurahan Nusukan ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk meningkatkan peran Lembaga Keuangan Mikro “Baki 1” sebagai upaya penanggulangan kemiskinan. Selain itu, harapannya penelitian ini dapat menjadi
referensi para pemegang kebijakan dalam membuat kebijakan terutama yang berkaitan dengan women employment agar lebih melindungi para perempuan. Adapun kerangka pemikirian dalam penelitian ini disajikan pada Gambar 2.1 berikut. Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Bekerja di sektor domestik
Perempuan dalam rumah tangga miskin
Pemberdayaan melalui LKM “Baki 1” Membutuhkan fasilitas untuk bersosialisasi dan meningkatkan perekonomian
-Meningkatkan perekonomian rumah tangga miskin -Bertahan hidup
39