6
BAB II LANDASAN TEORI
2.1
Sistem Pengukuran Kinerja
2.1.1 Pengertian Pengukuran Kinerja Informasi akuntansi sangat bermanfaat untuk menilai pertanggungjawaban kinerja manajer karena penilaian kinerja pada dasarnya
merupakan
penilaian
perilaku
manusia
dalam
melaksanakan peran yang dimainkan dalam mencapai tujuan organisasi atau perusahaan. Kinerja merupakan suatu istilah secara umum yang digunakan untuk sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi pada suatu periode dengan referensi pada sejumlah standar seperti biaya-biaya masa lalu atau yang diproyeksikan, dengan dasar efisiensi, pertanggungjawaban atau akuntabilitas manajemen dan semacamnya Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengukuran kinerja adalah tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktivitas dalam rantai nilai yang ada pada perusahaan.
Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan
sebagai umpan balik yang akan memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik di mana perusahaan
7
memerlukan penyesuaian-penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian.
2.1.2 Tujuan Pengukuran Kinerja Pengukuran kinerja mempunyai tujuan pokok yaitu untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, agar membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan. Adapun tujuan umum pengukuran kinerja adalah: 1. Untuk menentukan kontribusi suatu bagian dari perusahaan terhadap organisasi secara keseluruhan. 2. Memberikan dasar untuk mengevaluasi kinerja masing-masing manajer. 3. Memotivasi para manajer untuk mengoperasikan divisinya secara konsisten sehingga sesuai dengan tujuan pokok perusahaan. Untuk itu sistem pengukuran kinerja harus memenuhi tuntutan sebagai berikut: 1. Sistem tersebut harus mencerminkan pemahaman organisasi yaitu sistem
pengukuran kinerja harus memonitor kinerja organisasi
dan menggiring kinerja dalam tujuan utama organisasi. 2. Sistem pengukuran kinerja harus mengukur aspek kritis yang penting atau
perbedaan-perbedaan dari kinerja organisasi untuk
mencapai tujuan utama.
8
2.1.3 Manfaat Pengukuran Kinerja Menurut Lynch dan Cross (1993), manfaat sistem pengukuran kinerja yang baik adalah sebagai berikut: a. Menelusuri kinerja terhadap harapan pelanggan sehingga akan membawa
perusahaan lebih dekat pada pelanggannya dan
membuat seluruh orang dalam organisasi terlibat dalam upaya memberi kepuasan kepada pelanggan; b. Memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan sebagai bagian dari mata-rantai pelanggan dan pemasok internal; c. Mengidentifikasi berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-upaya
pengurangan
terhadap
pemborosan
tersebut
(deduction of waste); d. Membuat suatu tujuan strategis yang biasanya masih kabur menjadi lebih konkret sehingga mempercepat proses pembelajaran organisasi; e. Membangun konsensus untuk melakukan suatu perubahan dengan memberi “reward” atas perilaku yang diharapkan tersebut.
2.1.4 Karakteristik Sistem Pengukuran Kinerja Dengan munculnya berbagai paradigma baru di mana bisnis harus digerakkan oleh customer-focused, suatu sistem pengukuran kinerja yang efektif, paling tidak harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut:
9
1) Didasarkan
pada
masing-masing
aktivitas
dan
karakteristik organisasi itu sendiri sesuai perspektif pelanggan; 2) Evaluasi atas berbagai aktivitas, menggunakan ukuranukuran kinerja yang customer-validated; 3) Sesuai dengan seluruh aspek kinerja aktivitas yang mempengaruhi
pelanggan,
sehingga
menghasilkan
penilaian yang komprehensif; 4) Memberikan umpan balik untuk membantu seluruh anggota organisasi mengenali masalah-masalah yang mempunyai kemungkinan untuk diperbaiki.
2.2 Penilaian Kinerja dengan Sistem Tradisional Dalam masyarakat tradisional, ukuran kinerja yang biasa digunakan adalah ukuran kinerja keuangan. Pengukuran ini mudah dilakukan sehingga personel yang diukur hanyalah yang berkaitan dengan
keuangan.
Namun
ukuran
keuangan
tidak
dapat
menggambarkan penyebab yang menjadikan perubahan kekayaan yang diciptakan oleh organisasi dan lebih memfokuskan pada pengerahan sumber daya organisasi untuk tujuan-tujuan jangka pendek. Ukuran keuangan yang biasa digunakan adalah rasio-rasio keuangan yang meliputi :
10
1. Rasio likuiditas yang mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban jangka pendek bila jatuh tempo. 2. Rasio leverage yang mengukur hingga sejauh mana perusahaan dibiayai oleh hutang. 3. Rasio aktivitas yang mengukur seberapa efektif manajemen yang ditujukan oleh laba yang dihasilkan dari penjualan dan investasi perusahaan. 4. Rasio pertumbuhan yang mengukur kemampuan perusahaan mempertahankan
posisi
ekonomi
didalam
pertumbuhan
ekonomi dan industri. 5. Rasio penilaian yang mengukur kemampuan manajemen dalam menciptakan nilai pasar yang melampaui pengeluaran biaya investasi. Menurut Weston dan Copeland (1989) pengukuran kinerja dengan menggunakan rasio-rasio seperti diatas mempunyai keterbatasan-keterbatasan yaitu : 1. Rasio ini disusun berdasarkan data akuntansi dan data ini dipengaruhi oleh cara penafsiran yang berbeda dan bahkan bisa merupakan hasil manipulasi. 2. Jika perusahaan menggunakan tahun fiskal yang berbeda atau jika faktor musiman merupakan pengaruh yang
11
penting maka akan mempunyai pengaruh pada rasio-rasio perbandingannya. 3. Analisis harus sangat hati-hati dalam menentukan baik buruknya suatu rasio dalam membentuk suatu penilaian menyeluruh dari perusahaan berdasarkan serangkaian rasio keuangan. 4. Rasio
yang
sesuai
dengan
rata-rata
industri
tidak
memberikan kepastian bahwa perusahaan berjalan normal dan memiliki manajemen yang baik. Sedangkan menurut Robert S. Kaplan dan David P. Norton kelemahan-kelemahan
pengukuran
kinerja
yang
menitikberatkan kinerja keuangan yaitu : 1. Ketidakmampuan mengukur kinerja harta-harta tidak tampak (intangible Assets) dan harta-harta intelektual (sumber daya manusia) perusahaan. 2. Kinerja keuangan hanya mampu bercerita mengenai sedikit masa lalu perusahaan dan tidak mampu sepenuhnya menuntun perusahaan ke arah yang lebih baik.
2.3 Balance Scorecard Menurut Kaplan dan Norton (1996), Balance Scorecard merupakan suatu metode penilaian yang mencakup empat perspektif untuk mengukur kinerja perusahaan yaitu perspektif
12
keuangan, perspektif pelanggan, perspektif proses bisnis internal dan perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. Sementara, Amin Widjaja Tunggal (2002): Balance Scorecard merupakan kumpulan kinerja yang terintregrasi yang diturunkan dari strategi perusahaan yang mendukung strategi perusahaan secara keseluruhan. Balance Scorecard memberikan suatu cara untuk mengkomunikasikan strategi suatu perusahaan pada manajer-manajer di seluruh organisasi. Balance Scorecard juga menunjukkan bagaimana perusahaan menyempurnakan prestasi keuangannya. Dengan demikian, Balance Scorecard merupakan suatu sistem manajemen, pengukuran, dan pengendalian yang secara cepat, tepat, dan komprehensif dapat memberikan pemahaman kepada manajer tentang performance bisnis. Pengukuran kinerja dengan Balanced Scorecard memandang unit bisnis dari empat perspektif, yaitu perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis dalam perusahaan, serta proses pembelajaran dan pertumbuhan. Melalui mekanisme sebab akibat (cause and effect), perspektif keuangan menjadi tolok ukur utama yang dijelaskan oleh tolok ukur operasional pada tiga perspektif lainnya sebagai driver (lead indicator). Selain itu, Balanced Scorecard juga memberikan kerangka berpikir untuk menjabarkan strategi perusahaan ke dalam segi
13
operasional.
Sebelum Balanced Scorecard diimplemantasikan,
pada saat penyusunan (building) Balanced Scorecard, terlebih dulu dijabarkan dengan jelas visi, misi, dan strategi perusahaan dari topmanagement perusahaan, karena hal ini menentukan proses berikutnya berupa transaksi strategis kegiatan operasional. Dengan Balanced Scorecard, tujuan suatu unit usaha tidak hanya dinyatakan dalam suatu ukuran keuangan saja, melainkan dijabarkan lebih lanjut ke dalam pengukuran bagaimana unit usaha tersebut menciptakan nilai terhadap pelanggan yang ada sekarang dan masa datang, dan bagaimana unit usaha tersebut harus meningkatkan kemampuan internalnya termasuk investasi pada manusia, sistem, dan prosedur yang dibutuhkan untuk memperoleh kinerja yang lebih baik di masa mendatang. Melalui Balanced Scorecard diharapkan bahwa pengukuran kinerja finansial dan non finansial dapat menjadi bagian dari sistem informasi bagi seluruh pegawai dan tingkatan dalam organisasi.
2.3.1 Keunggulan Balance Scorecard Balanced Scorecard memiliki keunggulan yang menjadikan sistem manajemen strategi saat ini berbeda secara signifikan dengan sistem manajemen strategi dalam manajemen tradisional. Manajemen strategi tradisional hanya berfokus ke sasaransasaran yang bersifat keuangan, sedangkan sistem manajemen
14
strategi kontemporer mencakup perspektif yang luas yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, dan pembelajaran dan pertumbuhan. Selain itu berbagai sasaran strategi yang dirumuskan dalam sistem manajemen strategi tradisional tidak koheren satu dengan lainnya, sedangkan berbagai sasaran strategi dalam sistem manajemen strategi kontemporer dirumuskan secara koheren. Disamping itu, Balanced Scorecard menjadikan sistem manajemen strategi kontemporer memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh
sistem
manajemen
strategi
tradisional,
yaitu
dalam
karakteristik keterukuran dan keseimbangan. Keunggulan pendekatan Balance Scorecard dalam sistem perencanaan strategi adalah mampu menghasilkan rencana strategi yang memiliki karakteristik sebagai berikut: (1) komprehensif, (2) koheren, (3) seimbang, (4) terukur.
2.3.2 Hubungan Balance Scorecard dengan Visi, Misi, dan Strategi Perusahaan Sistem pengukuran kinerja harus dapat memotivasi para manajer dan karyawan untuk mengimplementasikan strategi unit bisnisnya. Perusahaan yang dapat menerjemahkan strateginya ke dalam sistem pengukuran akan memiliki kemampuan yang lebih baik dalam menjalankan strategi tersebut, sebab mereka telah
15
mengkomunikasikan tujuan dan targetnya kepada para pegawai. Komunikasi ini akan memfokuskan mereka pada pemicu-pemicu kritis, memungkinkan mereka untuk mengarahkan investasi, inisiatif, dan tindakan-tindakan dengan menyempurnakan tujuantujuan strategis. Selanjutnya Kaplan dan Norton juga mengemukakan tiga prinsip yang memungkinkan Balanced Scorecard organisasi terhubung dengan strategi, yaitu: cause-and-effect relationships, performance drivers dan linkage to financial. a. Cause-and-effect relationships Prinsip ini sangat penting bagi Balance Scorecard karena prinsip inilah yang membedakan Balance Scorecard dengan konsep-konsep yang lain.
Dengan prinsip ini,
Balance Scorecard mampu menjabarkan tujuan dan pengukuran masing-masing perspektif dengan baik dalam satu kesatuan yang padu.
Menurut Kaplan dan Norton,
sebuah strategi adalah seperangkat hipotesis dalam model hubungan cause and effect, yaitu suatu hubungan yang dapat diekspresikan melalui kaitan antara pernyataan ifthen. Pengembangan Balance Scorecard yang baik harus dapat menjelaskan rangkaian cerita dari seluruh Strategic Business Unit (SBU) dalam hubungan cause dan effect. Melalui model hubungan cause and effect ini pula, suatu
16
strategi dapat dianimasikan dan dikritisi bersama, baik sebelum, selama, dan sesudah dieksekusi.
Pengujian
terhadap sekumpulan Balance Scorecard dapat dilakukan dengan mudah karena tiap relasi dan hubungan kausalitas dapat diuji secara rinci. b. Performance Drivers Sebuah Balanced Scorecard yang baik harus memiliki bauran hasil (lagging indicators) yang memadai dan pemicu kinerja (leading indicators) yang digunakan oleh SBU. Outcomes
(lagging
indicators)
mencerminkan
tujuan umum dari berbagai strategi yang dimiliki oleh kebanyakan perusahaan, seperti profitability, market share, customer satisfaction, customer retention, dan employee skills. Sedangkan performance drivers (leading indicators) mencerminkan keunikan strategi unit bisnis. Identifikasi performance drivers membantu mengatasi kelemahan dari outcome measures.
Pemahaman mengenai pertumbuhan
segmen pasar (outcome measures) akan lebih bermanfaat jika
diketahui
pergerakannya.
faktor-faktor
yang
menyebabkan
17
c. Linkage to Financials Adanya kritik terhadap pengukuran kinerja berbasis laporan keuangan tidak lantas menghasilkan rekomendasi untuk membuang tolok ukur keuangan.
Keberhasilan
perusahaan dalam pencapaian berbagai tujuan seperti kualitas, kepuasan pelanggan, inovasi dan pemberdayaan karyawan tidak akan memberikan perbaikan terhadap perusahaan apabila hal tersebut hanya dianggap sebagai tujuan akhir. Semua pengukuran yang berkaitan dengan pencapaian tujuan perusahaan harus dikaitkan dengan tujuan keuangan sebagai tujuan akhir.
Hal ini seperti
dikatakan Kaplan dan Norton: “Ultimately, causal paths from all the measures on a scorecard should be linked to financial objectives.”
Dengan demikian, tolok ukur
keuangan dapat digunakan untuk menguji hasil dari performance driver dalam hal sejauh mana efektivitasnya dalam memberikan hasil. Sebagai ilustrasi sederhana adalah dalam suatu pertandingan sepakbola, kedua tim yang bertanding bebas mengembangkan strategi dan taktik permainan yang terbaik. Namun, pemenang pertandingan bukanlah mereka yang telah mengembangkan permainan dengan cantik. Apapun strategi yang digunakan, pemenang pertandingan
18
adalah mereka yang lebih banyak mencetak gol. Mencetak gol seumpama outcome measures.
Sedangkan strategi
permainan itulah yang dikenal dalam Balance Scorecard sebagai Performance Driver.
2.4
Perspektif Balanced Scorecard
2.4.1 Perspektif Keuangan Secara tradisional, laporan keuangan merupakan indikator historis-agregatif yang merefleksikan akibat dari implementasi dan eksekusi strategi dalam satu periode. Pengukuran kinerja keuangan akan menunjukkan apakah perencanaan dan pelaksanaan strategi memberikan perbaikan yang mendasar bagi keuntungan perusahaan. Perbaikan-perbaikan ini tercermin dalam sasaran-sasaran yang secara khusus berhubungan dengan keuntungan yang terukur, pertumbuhan usaha, dan nilai pemegang saham. Pengukuran kinerja keuangan mempertimbangkan adanya tahapan dari siklus kehidupan bisnis, yaitu: a) Tahap Pertumbuhan (growth) Growth adalah tahapan awal siklus kehidupan perusahaan dimana perusahaan memiliki produk atau jasa yang secara signifikan memiliki potensi pertumbuhan terbaik.
Di sini,
manajemen terikat dengan komitmen untuk mengembangkan
19
suatu produk atau jasa baru, membangun dan mengembangkan suatu
produk/jasa
dan
fasilitas
produksi,
menambah
kemampuan operasi, mengembangkan sistem, infrastruktur, dan jaringan distribusi yang akan mendukung hubungan global, serta membina dan mengembangkan hubungan dengan pelanggan. Dalam tahap pertumbuhan, perusahaan biasanya beroperasi dengan arus kas yang negatif dengan tingkat pengembalian modal yang rendah. Dengan demikian, tolok ukur kinerja yang cocok dalam tahap ini adalah, misalnya, tingkat pertumbuhan pendapatan atau penjualan dalam segmen pasar yang telah ditargetkan. b) Tahap Bertahan (sustain) Sustain adalah tahapan kedua di mana perusahaan masih melakukan investasi dan reinvestasi dengan mengisyaratkan tingkat pengembalian terbaik.
Dalam tahap ini, perusahaan
mencoba mempertahankan pangsa pasar yang ada, bahkan mengembangkannya, jika mungkin. Investasi yang dilakukan umumnya
diarahkan
untuk
menghilangkan
bottleneck,
mengembangkan kapasitas, dan meningkatkan perbaikan operasional secara konsisten. Sasaran keuangan pada tahap ini diarahkan pada besarnya tingkat pengembalian atas investasi
20
yang dilakukan. Tolok ukur yang kerap digunakan pada tahap ini, misalnya ROI, ROCE, dan EVA. c) Tahap Panen (harvest) Harvest adalah tahapan ketiga di mana perusahaan benarbenar
memanen/menuai
sebelumnya.
hasil
investasi
di
tahap-tahap
Tidak ada lagi investasi besar, baik ekspansi
maupun pembangunan kemampuan baru, kecuali pengeluaran untuk pemeliharaan dan perbaikan fasilitas. Sasaran keuangan utama dalam tahap ini, sehingga diambil sebagai tolok ukur, adalah memaksimumkan arus kas masuk dan pengurangan modal kerja. Kebijakan keuangan untuk masing-masing tahapan tersebut berbeda. Sasaran keuangan untuk tahap growth akan menekan pada pertumbuhan penjualan pertumbuhan di dalam pasar baru. Tahap sustain lebih menekan pada ROI dan dalam tahap harvest menekan pada cash flow. Pada setiap tahap siklus bisnis, Balance Scorecard menyediakan beberapa alternatif pelaksanaan strategi perusahaan yang digolongkan sebagai pemicu strategi perusahaan (Kaplan, 2000;44) yaitu: 1) Revenue growth and mix Berkenaan dengan pengembangan produk dan jasa yang ditawarkan menjangkau pelanggan dan pasar yang baru,
21
mengubah bauran produk dan jasa melalui penawaran penambahan nilai yang lebih tinggi dan mengubah produk dan jasa. 2) Cost reduction/production improvement Berkenaan
dengan
upaya
untuk
menurunkan
biaya
langsung dari produk serta jasa, mengurangi biaya tidak langsung ataupun berbagai sumber yang sama dengan unit usaha yang lain. Penekanan biaya ini sangat diperlukan guna memperoleh laba lebih baik. 3) Asset utilization/investment strategy Sasarannya adalah manajer berusaha untuk mengurangi modal kerja yang dibutuhkan untuk menghasilakan volume dan bauran produksi. Manajer berusaha keras untuk memanfaatkan dengan optimal aktiva tetap dengan cara meningkatkan kapasitas secara optimal, menggunakan sumber yang langka secara efisien dan membuat asset yang memberikan tingkat pengembalian yang tidak senilai dengan nilai pasarnya.
2.4.2 Perspektif Pelanggan Filosofi manajemen terkini telah menunjukkan peningkatan pengakuan atas pentingnya customer focus dan customer satisfaction. Perspektif ini merupakan leading indicator. Jadi, jika pelanggan tidak puas mereka akan mencari produsen lain yang
22
sesuai dengan kebutuhan mereka.
Kinerja yang buruk dari
perspektif ini akan menurunkan jumlah pelanggan di masa depan meskipun saat ini kinerja keuangan terlihat baik. Perspektif pelanggan memiliki dua kelompok pengukuran, yaitu:
customer
core
measurement
dan
customer
value
propositions. 1. Perusahaan Inti Konsumen (Customer Core Measurement) Customer core measurement memiliki beberapa komponen pengukuran, yaitu: market share, customer retention, customer acquisition, customer satisfaction, dan customer profitability. a. Pangsa
pasar
(Market
Share);
Pengukuran
ini
mencerminkan bagian yang dikuasai perusahaan atas keseluruhan pasar yang ada, yang meliputi antara lain: jumlah pelanggan, jumlah penjualan, dan volume unit penjualan. b. Kemampuan
mempertahankan
pelanggan
lama
(Customer Retention); Mengukur tingkat di mana perusahaan dapat mempertahankan hubungan dengan konsumen. c. Tingkat
perolehan
pelanggan
baru
(Customer
Acquisition); mengukur tingkat di mana suatu unit bisnis
mampu
menarik
memenangkan bisnis baru.
pelanggan
baru
atau
23
d. Tingkat kepuasan pelanggan (Customer Satisfaction); Menaksir tingkat kepuasan pelanggan terkait dengan kriteria kinerja spesifik dalam value proposition. e. Tingkat
profitabilitas
(Customer
pelanggan
Profitability); Mengukur laba bersih dari seorang pelanggan atau segmen setelah dikurangi biaya yang khusus
diperlukan
untuk
mendukung
pelanggan
tersebut. 2. Proporsi Nilai Pelanggan (Customer Value Proposition) Customer Value Proposition (proporsi nilai pelanggan) yang menggambarkan performance driven (pemicu kerja) yang menyangkut pertanyaan apa yang harus disajikan perusahaan untuk mencapai tingkat kepuasan, loyalitas, retensi dan akuisisi konsumen yang tinggi. Performance driver mengukur nilai yang dapat disampaikan perusahaan kepada pelanggannya. a) Atribut Produk dan Jasa (Product/service attribut) Meliputi fungsi dari produk atau jasa, harga, dan kualitas. Pelanggan memiliki preferensi yang berbedabeda atas produk yang ditawarkan.
Ada yang
mengutamakan fungsi dari produk, kualitas, atau harga yang murah. Perusahaan harus mengidentifikasikan apa yang
diinginkan
pelanggan
atas
produk
yang
24
ditawarkan. Selanjutnya pengukuran kinerja ditetapkan berdasarkan hal tersebut. b) Hubungan dengan Konsumen (Customer relationship) Menyangkut perasaan pelanggan terhadap proses pembelian
produk
yang
ditawarkan
perusahaan.
Perasaan konsumen ini sangat dipengaruhi oleh responsivitas dan komitmen perusahaan terhadap pelanggan
berkaitan
penyampaian.
dengan
masalah
waktu
Waktu merupakan komponen yang
penting dalam persaingan perusahaan.
Konsumen
biasanya menganggap penyelesaian order yang cepat dan tepat waktu sebagai faktor yang penting bagi kepuasan mereka. c) Citra dan Reputasi (Image and reputation) Menggambarkan seorang
konsumen
perusahaan.
faktor-faktor untuk
yang
berhubungan
menarik dengan
Membangun citra dan reputasi dapat
dilakukan melalui iklan di media masa atau elektronik dengan membuat ungkapan-ungkapan yang mudah diingat oleh konsumen, melakukan promosi dengan membuat pameran atau door to door, dan menjaga kualitas seperti yang dijanjikan.
25
Nilai =
Fungsionalitas
Atribut Produk/Jasa
+ Citra + Hubungan
Waktu
Harga
Mutu
Gambar 2.4.1: Proposisi Nilai (Robert S. Kaplan dan David P. Norton, 2000:65)
2.4.3 Perspektif Proses Bisnis Internal Analisis proses bisnis internal perusahaan dilakukan dengan menggunakan analisis value-chain.
Disini,
manajemen mengidentifikasi proses internal bisnis yang kritis yang harus diunggulkan perusahaan.
Balance
Scorecard dalam perspektif ini memungkinkan manajer untuk mengetahui seberapa baik bisnis mereka berjalan dan apakah produk dan atau jasa mereka sesuai dengan spesifikasi pelanggan. Perspektif ini harus didesain dengan hati-hati oleh mereka yang paling mengetahui misi perusahaan yang mungkin tidak dapat dilakukan oleh konsultan luar. Perbedaan
perspektif
bisnis
internal
antara
pendekatan tradisional dan pendekatan Balance Scorecard adalah:
26
1. Pendekatan tradisional berusaha untuk mengawasi dan memperbaiki proses bisnis yang sudah ada sekarang. Sebaliknya, Balance Scorecard melakukan pendekatan atau berusaha untuk mengenali semua proses yang diperlukan untuk
menunjang
keberhasilan
strategi
perusahaan,
meskipun proses-proses tersebut belum dilaksanakan. 2. Dalam pendekatan tradisional, sistem pengukuran kinerja hanya dipusatkan pada bagaimana cara menyampaikan barang atau jasa. Sedangkan dalam pendekatan Balance Scorecard, proses inovasi dimasukkan dalam perspektif proses bisnis internal. Aktivitas penciptaan nilai perusahaan, terangkai dalam suatu rantai nilai yang dimulai dari proses perolehan bahan baku sampai penyampaian produk jadi ke konsumen. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Shank dan Govindarajan, yaitu: “The value chain for any firm in any business is linked set of value creating-activities from basic raw material sources to the ultimate product or service that is delivered to customers.” Aktivitas penciptaan nilai di atas diistilahkan sebagai proses bisnis internal.
27
Kaplan dan Norton (1996:96) membagi proses bisnis internal ke dalam: inovasi, operasi, dan layanan purna jual. 1. Proses inovasi Menciptakan produk baru atau jasa yang disesuaikan dengan kebutuhan pelanggan. Proses inovasi dibagi menjadi dua yaitu: a. Mengidentifikasikan kebutuhan pasar b. Menciptakan produk atau jasa untuk memenuhi kebutuhan pasar tersebut. Kedua hal tesebut merupakan hal yang terpenting dan saling terkait. Inovasi yang dilakukan perusahaan biasanya dilakukan oleh bagian riset dan pengembangan perusahaan
(R&D).
tidak
Bila
bagian
R&D
mengidentifikasikan
pasar
akibatnya adalah terisolasinya bagian tersebut dari dunia luar yang mengakibatkan meskipun bagian R&D
mampu
membuat
produk-produk
yang
canggih namun gagal untuk dikomersilkan karena tidak adanya kebutuhan pasar. Pengukuran kinerja dalam proses inovasi selama ini kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan proses operasi. Hal ini disebabkan: pertama,
28
pasar masa lampau, ketika kinerja perusahaan mulai berkembang pusat perhatian perusahaan ada pada proses manufaktur dan bukan pada proses R&D. Kedua adalah karena tidak ada hubungan yang pasti antar input yang digunakan dalam R&D dengan output yang dihasilkan dan parahnya output yang dihasilkan R&D membutuhkan waktu yang lama untuk benar-benar dapat menghasilkan uang bagi perusahaan. 2. Proses Operasi Proses operasi adalah proses untuk membuat dan menyampaikan produk/jasa. Aktivitas di dalam proses operasi terbagi ke dalam dua bagian yaitu: a) Proses Pembuatan Produk Secara
umum,
pengukuran
dalam
proses
pembuatan produk ini dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu: kualitas, biaya, dan waktu. b) Proses Penyampaian Produk Kepada Pelanggan Proses penyampaian produk atau jasa kepada pelanggan ini sering disebut dengan aktivitas pemasaran. Aktivitas pemasaran dalam konsep Value Chai dan Porter dibagi menjadi tiga
29
aktivitas yaitu: outbond logistics, penjualan dan pemasaran, pelayanan purna jual. 3. Proses Pelayanan Purna Jual Proses ini merupakan jasa pelayanan pada pelanggan setelah penjualan produk/jasa tersebut dilakukan. Aktivitas yang terjadi dalam tahapan ini, misalnya
penanganan
penanganan
atas
dikembalikan pelanggan.
garansi
barang
serta
dan
rusak
pemrosesan
perbaikan dan
yang
pembayaran
Perusahaan dapat mengukur apakah
upayanya dalam pelayanan purna jual ini telah memenuhi
harapan
pelanggan,
dengan
menggunakan tolok ukur yang bersifat kualitas, biaya, dan waktu seperti yang dilakukan dalam proses operasi.
Untuk siklus waktu, perusahaan
dapat menggunakan pengukuran waktu dari saat keluhan pelanggan diterima hingga keluhan tersebut diselesaikan. Salah satu ukuran kinerja yang biasa digunakan dalam perspektif proses internal bisnis adalah Manufacturing Cycle Efficiency (MCE). MCE mengukur jumlah waktu efektif yang diperlukan
30
untuk dapat menghasilkan dan menyampaikan produk atau jasa. Adapun formula MCE adalah: MCE = Troughput Time Processing Time Processing Time merupakan waktu yang diperlukan untuk memproses produk atau jasa secara sesungguhnya. Troughput Time terdiri atas waktu proses, waktu inspeksi, waktu perpindahan dan waktu tunggu. MCE yang baik adalah sebesar 1.
Proses Inovasi
Kebutuhan Pelanggan Diidentifikasi
Kenali Pasar
Ciptakan Produk/ Jasa
Proses Operasi
Bangun Produk/ Jasa
Proses Layanan Purna Jual
Luncurkan Produk/ Jasa
Layani Pelanggan
Kebutuhan Pelanggan Terpuaskan
Gambar 2.4.2 Perspektif Proses Bisnis Internal (R.S. Kaplan dan David P. Norton, 2000:84)
2.4.4 Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Proses pembelajaran dan pertumbuhan ini bersumber dari faktor sumber daya manusia, sistem, dan prosedur organisasi. Termasuk dalam perspektif ini adalah pelatihan pegawai dan budaya perusahaan yang berhubungan dengan perbaikan individu
31
dan organisasi.
Dalam organisasi knowledge-worker, manusia
adalah sumber daya utama. Dalam berbagai kasus, perspektif pembelajaran dan pertumbuhan merupakan fondasi keberhasilan bagi knowledgeworker organization dengan tetap memperhatikan faktor sistem dan organisasi. Hasil dari pengukuran ketiga perspektif sebelumnya biasanya akan menunjukkan kesenjangan yang besar antara kemampuan orang, sistem, dan prosedur yang ada saat ini dengan yang dibutuhkan untuk mencapai kinerja yang diinginkan. Inilah mengapa, perusahaan harus melakukan investasi di ketiga faktor tersebut untuk mendorong perusahaan menjadi sebuah organisasi pembelajar (learning organization). Menurut Kaplan dan Norton “learning” lebih dari sekedar “training” karena pembelajaran meliputi pula proses “monitoring dan tutoring”, seperti kemudahan dalam komunikasi di segenap pegawai yang memungkinkan mereka untuk siap membantu jika dibutuhkan. Dalam perspektif ini, perusahaan melihat tolok ukur: employee capabilities, information system capabilities, dan motivation, empowerment, and alignment. 1. Kompetisi karyawan (Employee capabilities)
32
Tidak ada yang lebih baik bagi transformasi revolusioner dari pemikiran era industrial ke era informasi dibandingkan filosofi manajemen baru, yaitu bagaimana para pegawai menyumbangkan segenap kemampuannya untuk organisasi. implementasi
Untuk itu perencanaan dan upaya
reskilling
pegawai
yang
menjamin
kecerdasan dan kreativitasnya dapat dimobilisasi untuk mencapai tujuan organisasi. 2. Kemampuan
Sistem
Informasi
(Information
systems
capabilities) Bagaimanapun juga, meski motivasi dan keahlian pegawai
telah
mendukung
pencapaian
tujuan-tujuan
perusahaan, masih diperlukan informasi-informasi yang terbaik.
Dengan kemampuan sistem informasi yang
memadai, kebutuhan seluruh tingkatan manajemen dan pegawai atas informasi yang akurat dan tepat waktu dapat dipenuhi dengan sebaik-baiknya. 3. Kultur
Organisasi
(Motivation,
empowerment,
and
alignment) Perspektif ini penting untuk menjamin adanya proses yang berkesinambungan terhadap upaya pemberian motivasi dan inisiatif yang sebesar-besarnya bagi pegawai. Paradigma manajemen terbaru menjelaskan bahwa proses
33
pembelajaran
sangat
penting
bagi
pegawai
untuk
melakukan trial and error sehingga turbulensi lingkungan sama-sama
dicoba-kenali
tidak
saja
oleh
jenjang
manajemen strategis tetapi juga oleh segenap pegawai di dalam organisasi sesuai kompetensinya masing-masing. Upaya tersebut perlu didukung dengan motivasi yang besar dan pemberdayaan pegawai berupa delegasi wewenang yang memadai untuk mengambil keputusan.
Selain itu,
upaya tersebut juga harus dibarengi dengan upaya penyesuaian yang terus menerus yang sejalan dengan tujuan organisasi.
Hasil
Retensi pekerja
Produktivitas pekerja Kepuasan pekerja
Kompetensi staf
Infrastruktur teknologi
Iklim untuk bertindak
Gambar 2.4.3 Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan (R.S. Kaplan dan D.P. Norton, 2000:112)