4
BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Sanitasi Lingkungan Rumah a.
Definisi Sanitasi lingkungan adalah Status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebaginya (Notoadmojo, 2007).
b.
Perumahan Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia disamping sandang, pangan dan papan, sehingga rumah harus sehat agar penghuninya dapat bekerja secara produktif. Konstruksi rumah dan lingkungannya yang tidak memenuhi syarat kesehatan merupakan faktor risiko sebagai sumber penularan berbagai penyakit. Berdasar Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) yang dilaksanakan tahun 1995 (Ditjen PPM dan PL, 2002) tuberkulosis yang merupakan penyebab kematian terbanyak ketiga erat kaitannya dengan kondisi sanitasi perumahan yang tidak sehat. Upaya pengendalian faktor risiko yang mempengaruhi timbulnya ancaman kesehatan telah diatur dalam Kepmenkes RI No. 829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan. Dalam penilaian rumah sehat menurut Kepmenkes tersebut diatas, parameter rumah yang dinilai meliputi lingkup 3 (tiga) kelompok komponen penilaian, yaitu : 1)
Kelompok komponen rumah, meliputi langit-langit, dinding, lantai, jendela kamar tidur, jendela kamar keluarga, ruang tamu, ventilasi,
sarana
pembuangan
asap
dapur,
pencahayaan,
kelembaban, dan suhu. a. Kepadatan Hunian Luas rumah yang cukup memberikan ruang gerak bagi penghuninya, sehingga terasa bebas dari resiko benturan dengan yang ada dalam rumah. Kenyamanan dapat terjamin, karena sirkulasi udara berjalan baik tanpa menimbulkan kejenuhan udara
5
dalam ruangan yang di dalam terkandung zat-zat buangan dari sesama penghuni misalnya CO2 dan kuman-kuman patogen. Kepadatan hunian untuk seluruh rumah bisa dinyatakan dalam m2/orang. Penggunaan luas lantai ini dimaksudkan untuk mennghindari penularan penyakit pernafasan (droplet infection). Menurut WHO salah satu kriteria rumah sehat adalah rumah tinggal yang memiliki luas lantai per orang minimal 10 m2. Sementara luas ruangan tidur minimal 8 m2, dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari 2 orang tidur dalam satu ruang tidur, keculi anak dibawah umur 5 tahun ( Notoatmodjo, 2007). b.
Pencahayaan Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup. Cahaya alamiah, yakni cahaya matahari ini sangat penting, karena dapat membunuh bakteri patogen dalam rumah, misalnya baksil TBC. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan cahaya yang cukup. Sebaiknya jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 10% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat dalam ruang rumah. Jalan masuknya cahaya alamiah juga dihusahakan dengan genteng kaca. Genteng kaca pun dapat di buat secara sederhana, yakni dengan melubangi genteng kaca biasa pada waktu pembuatannya, kemudian menutupnya dengan pecahan kaca ( Notoatmodjo, 2007).
c.
Ventilasi Fungsi pertama adalah untuk menjaga agar aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Fungsi kedua dari pada ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruang dari bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan rumah selalu tetap didalam kelembaban( humidity) yang optimum. Ada 2 macam ventilasi, yakni: Ventilasi almiah, dimana aliran udara didalam ruangan tersebut secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin, lubang-
6
lubang pada dinding dan sebagainya. Dipihak lain ventilasi alamiah ini tidak menguntungkan karana juga merupakan jalan masuknya nyamuk dan serangga lainnya ke dalam rumah . Untuk itu harus ada usaha-usaha lain untuk melindungi kita dari gigitan nyamuk tersebut. Seperti pemasangan jaring-jaring nyamuk di setiap lubang ventilasi. Perlu di perhatikan disini bahwa sistem pembuatan ventilasi harus di jaga agar udara tidak berhenti atau membalik lagi, harus mengalir. Artinya di dalam ruangan rumah harus ada jalan masuk dan keluarnya udara ( Notoatmodjo, 2007). d.
Suhu Suhu ruangan harus dijaga agar jangan banyak berubah. Suhu sebaiknya berkisar antara 18-200C. Suhu ruangan ini sangat dipengaruhi oleh ( Chandra, 2007):
2)
suhu udara luar
pergerakan udara
kelembaban udara
suhu benda-benda yang ada disekitarnya
Kelompok sarana sanitasi, meliputi sarana air bersih, sarana pembuangan kotoran, sarana pembuangan air limbah, dan sarana pembuangan sampah ( Notoatmodjo, 2007).
3)
Kelompok perilaku penghuni, meliputi perilaku membuka jendela kamar tidur, membuka jendela ruang keluarga dan tamu, membersihkan halaman rumah, membuang tinja bayi/anak ke kakus, dan membuang sampah pada tempatnya ( Notoatmodjo, 2007)
.
7
2.2. A.
TB paru Definisi Tuberkulosis ( TB ) adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil M. tuberculosis. Tuberkulosis paru merupakan salah satu penyakit saluran pernapasan bawah ( Crofton, 2002)
B.
Klasifikasi ( PDPI, 2006) a. Pembagian secara patologi 1)
Tuberculosis primer
2)
Tuberculosis post-primer
b. Pembagian secara aktivitas radiologis tuberculosis paru aktif, non aktif, quiescent ( bentuk aktif yang mulai menyembuh ). c. Pembagian TB menurut WHO berdasarkan terapi : 1) Kategori I ditujukan terhadap : Kasus baru dengan sputum positif Kasus baru dengan bentuk TB berat. 2) Kategori II ditujukan terhadap : Kasus kambuh Kasus gagal dengan sputum BTA positif 3) Kategori III ditujukan terhadap : Kasus BTA negatif dengan kelainan paru yang tidak luas. Kasus TB ekstra paru selain yang di sebut dalam kategori I 4) Kategori IV ditujukan terhadap : TB kronik C.
Epidemiologi Menurut data dari WHO tahun 2008, saat ini Indonesia menempati urutan ke-5 di dunia untuk pernderita TB, dengan angka 429.682 kasus dengan estimasi 189 kasus per 100.000 penduduk, untuk kasus BTA positif ditemukan 92 kasus per 100.000 penduduk, angka kematian untuk TB ditemukan 27 kasus per 100.000 penduduk ( WHO, 2009).
D.
Mikrobiologi Mikobaktrium adalah bakteri berbentuk batang aerob yang tidak membentuk spora, yang sering menyebabkan TB adalah M. tuberculosis. Pada jaringan, M. tuberculosis adalah bakteri berbentuk batang tipis lurus
8
berukuran 0,4 x 3 µm. Mikobakterium tidak dapat diklasifikasikan menjadi bakteri gram karena bila diwarnai kuman akan mempertahankan dekolorisasi oleh asam atau alkohol oleh karena itu dinamakan Basil Tahan Asam (BTA) ( Geo, 2007). Komponen basil tuberkel terdiri dari : 1) Lipid Terdiri dari asam mikolat, lilin, dan fosfat. Di dalam sel, lipid banyak terikat dengan protein dan polisakarida. Murail dipeptida yang
membuat
kompleks
dengan
asam
mikolat
dapat
menyebabkan pembentukan granuloma yaitu suatu fosfolipid penginduksi nekrosis kaseosa. Strain virulen basil tuberkel membentuk “serpentine cords” dimana hal ini menghambat migrasi leukosit, menyebabkan granuloma kronis. 2) Protein Setiap tipe mikobakterium mengandung beberapa protein yang membangkitkan reaksi tuberculin dan juga dapat merangsang pembentukan berbagai antibody. 3) Polisakarida Mikobacterium mengndung polisakarida seperti arabinogalaktan dan arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut menyebabkan bakteri M. tuberculosis bersifat tahan asam, yaitu apabila sekali diwarnai akan tetap tahan terhadap upaya penghilangan zat warna tersebut dengan larutan asam-alkohol. Pewarnaan yang biasa dilakukakan untuk mengidentifikasi basil ini adalah pewarnaan Ziehl-Neelsen (Geo, 2007). M. tuberculosis bersifat aerob obligat dan mendapatkan energi dari oksidasi banyak komponen karbon sederhana. Peningkatan tekanan CO2 mendukung pertumbuhannya. Berporiferasi baik pada suhu 22-23 0
C, mudah mati pada air mendidih ( 5 menit pada suhu 80 0C, 20
menit pada suhu 60 0C). Waktu yang diperlukan untuk bakteri ini bereplikasi sekitar 18 jam. Basil tuberkel juga tahan terhadap
9
pengeringan dan dapat hidup untuk waktu yang lama pada sputum yang dikeringkan ( Tim Mikrobiologi UI, 1993). e.
Penularan ( Depkes, 2006) Tuberkulosis ditularkan dari orang ke orang oleh transmisi melalui udara. Individu terinfeksi melalui berbicara, batuk, bersin, dan bernyanyi dengan cara melepaskan droplet besar dan kecil( 1-5 mikron). Droplet yang besar akan menetap, sementara droplet yang kecil tertahan di udara dan terhirup oleh individu yang rentan. Individu yang berisiko tinggi untuk tertular adalah :
Mereka yang kontak dengan seseorang yang mempunyai TB aktif
Individu yang imunosupresif ( termasuk lansia, pasien kanker, sedang daam terapi kortikosteroid, individu penderita HIV/AIDS)
Penggunaan obat-obat intravena dan alkoholik,
Individu tanpa perawatan kesehatan yang tidak adekuat,
Individu dengan gangguan medis yang sudah ada sebelumnya,
Imigran dari Negara dengan insidens TB yang tinggi ( India, China)
f.
Individu dengan status sosioekonomi rendah
Petugas kesehatan
Faktor Risiko 1)
Umur Infeksi tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Insiden tertinggi tuberkulosis paru biasanya mengenai usia dewasa muda. Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun ( Aditama,2002).
2)
Jenis Kelamin TB paru Iebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru ( Aditama,2002).
3)
Tingkat pendidikan
10
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat( Aditama,2002). 4)
Pekerjaan Beberapa fakta TB pada pekerja menunjukkan bahwa penyakit ini mempunyai dampak morbidity, mortality, sosial, dan ekonomi. Menyerang usia produktif dan ekonomi lemah, peluang dalam pendidikan/ pekerjaan berkurang, kinerja dan produktifitas turun, serta pilihan kerja yang terbatas( Aditama,2002).
5)
Kebiasaan merokok Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan risiko untuk mendapatkan kanker paru, penyakit jantung koroner, bronkitis kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Kemungkinan mekanisme pengaruh merokok terhadap terjadinya TBC adalah sebagai berikut; merusak mekanisme pertahanan paru,merusak mekanisme muccociliary clearance dari patogen potensial di paru, panjanan akut asap rokok meningkatkan airway resistensi dan permiabilitas epitel pulmoner, merusak makrofag, menurunkan respon terhadap antigen, meningkatkan sintesa elastase dan menurunkan produksi antiprotease ( Aditama,2003).
6)
Sanitasi lingkungan tempat pasien tinggal Seperti yang sudah dijelaskan pada penjelasan tentang sanitasi lingkungan diatas, penyakit infeksi pernafasan dipengaruhi oleh kepadatan hunian, kelembaban, ventilasi dan pencahayaan hunian.
7)
Status Gizi
11
g.
Patofisiologi Infeksi primer terjadi setelah seseorang menghirup M. tuberculosis. Setelah melalui barier mukosilier saluran napas, kuman TB akan mencapai alveoli. Kuman akan mengalami multiplikasi di paru, yang disebut sebagai focus Gohn. Melalui aliran limfe, kuman TB akan mencapai kelenjar limfe hilus. Fokus Gohn dan limfadenopati hilus membentuk kompleks primer TB. Melalui kompleks primer, kuman TB akan menyebar melalui pembuluh darah ke seluruh tubuh ( Braunwald, 2005 dan John, 2002) Respons tubuh terhadap infeksi kuman TB berupa respons imun seluler hipersensitivitas tipe lambat yang terjadi 4-6 minggu setelah terinfeksi. Banyaknya kuman TB serta kemampuan daya tahan host menentukan perjalanan penyakit selanjutnya. Pada sebagian besar kasus, respons imun tubuh dapat menghentikan multiplikasi kuman, sebagian kecil kuman dorman. Pada penderita dengan daya tahan tubuh buruk, respons imun tidak dapat menghentikan multiplikasi kuman sehingga host akan sakit beberapa bulan kemudian. Berdasar penularannya maka tuberkulosis dapat dibagi dalam 3 bentuk, yaitu: ( Braunwald, 2005 dan John, 2002) 1) Tuberkulosis primer: terdapat pada anak-anak. Setelah 6-8 minggu akan mulai terbentuk mekanisme imunitas dalam tubuh, sehingga test tuberkulin akan positif. Pada pasien ini akan terbentuk kompleks primer TB dan selanjutnya dapat menyebar secara hematogen ke apeks paru yang kaya oksigen. 2) Reaktivasi dari tuberkulosis primer. Infeksi TB primer akan mengalami reaktivasi terutama pada 2 tahun post infeksi primer maka keadaan ini disebut sebagai tuberkulosis post primer. Kuman akan disebarkan secara hematogen ke segmen apikal posterior. Reaktivasi dapat juga terjadi melalui penyebaran melalui pembuluh darah ke berbagai jaringan tubuh. 3) Reinfeksi. keadaan ini terjadi saat adanya penurunan imunitas tubuh atau terjadi penularan secara terus-menerus oleh kuman TB dalam satu keluarga.
12
h.
Manifestasi Klinis ( Mukty, 2008) 1) Gejala-gejala umum Demam, menggigil, berkeringat pada malam hari,berat badan menurun, anoreksia, serta badan menjadi lemah. Gejala ini seringkali baru disadari oleh penderita setelah ia memperoleh terapi. 2) Batuk berdahak Batuk > 2 minggu dimana batuk pada awalnya tidak berdahak, sehingga sering dianggap batuk biasa. Sekret akan terkumpul pada malm hari dan akan dikeluarkan saat penderita bangun pagi hari. Sekret atau dahak awalnya bersifat mukoid dan keluar dalam jumlah sedikit, kemudian akan berubah menjadi mukopurulen sampai purulen yang kemudian berubah menjadi kental bila sudah terjadi perkijuan dan perlunakan. 3) Batuk berdarah Darah yang dikeluarkan dapat berupa bercak bercampur dahak atau darah segar dalam jumlah banyak. Batuk darah merupakan tanda telah terjadinya ekskavasi dan ulserasi dari pembluh darah pada dinding kavitas. Batuk darah masif terjadi bila ada robekan dari aneurisma Rasmussen pada diding kavitas, atau ada perdarahan yang berasal dari bronkiektasis atau ulserasi trakeo-bronkial. 4) Nyeri dada Nyeri dada pada TB paru termasuk nyeri pleuritik yang ringan. Bila nyeri bertambah berat berarti telah terjadi pleuritis yang luas. 5) Wheezing Wheezing terjadi karena penyempitan lumen endobronkus yang disebabkan oleh sekret, bronkostenosis, peradangan, jaringan granulasi, serta ulserasi. 6) Dyspneu Dyspneu merupakan late symptom dari proses lanjut TB paru akibat adanya restriksi dan obstruksi saluran pernapasan serta vaskular trombosis yang dapat mengkibatkan gangguan difusi, hipertensi pulmonal dan cor pulmonal.
13
i.
Evaluasi Diagnostik 1) Tes tuberkulin Uji tuberkulin telah digunakan sekitar 1 abad untuk diagnosis infeksi TB dengan cara mengukur respons hipersensitivitas tipe lambat 48-72 jam setelah suntikan intradermal PPADA. Sampai saat ini belum ada pilihan lain untuk diagnosis TB laten selain uji tuberkulin. Uji tuberkulin untuk diagnosis imunologik terhadap infeksi M. tuberculosis mempunyai banyak keterbatasan. Uji ini membutuhkan 2 kali kunjungan pasien, keterampilan petugas untuk melakukan uji dan pembacaan. Selain itu uji tuberkulin tidak mampu memisahkan infeksi TB laten dengan vaksinasi BCG atau infeksi oleh Mycobacteria other than tuberculosis (MOTT). 2) Pemeriksaan Bakteriologi ( PDPI, 2006 ) a.
Bahan Pemeriksaan Pemeriksaan
bakteriologik
untuk
menemukan
kuman
tuberkulosis mempunyai arti yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis. Bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum halus/BJH) b.
Cara pengumpulan dan pengiriman bahan Cara pengambilan dahak 3 kali (SPS): 1) Sewaktu (dahak sewaktu saat kunjungan) 2) Pagi ( keesokan harinya ) 3) Sewaktu ( pada saat mengantarkan dahak pagi) Bahan
pemeriksaan/spesimen
dikumpulkan/ditampung
dalam
yang pot
berbentuk
yang
bermulut
cairan lebar,
berpenampang 6 cm atau lebih dengan tutup berulir, tidak mudah pecah dan tidak bocor. Apabila ada fasilitas, spesimen tersebut
14
dapat dibuat sediaan apus pada gelas objek (difiksasi) sebelum dikirim ke laboratorium. Bahan pemeriksaan hasil BJH, dapat dibuat sediaan apus kering di gelas objek, atau untuk kepentingan biakan dan uji resistensi dapat ditambahkan NaCl 0,9% 3-5 ml sebelum dikirim ke laboratorium. Spesimen dahak yang ada dalam pot (jika pada gelas objek dimasukkan ke dalam kotak sediaan) yang akan dikirim ke laboratorium, harus dipastikan telah tertulis identitas pasien yang sesuai dengan formulir permohonan pemeriksaan laboratorium. Bila lokasi fasilitas laboratorium berada jauh dari klinik/tempat pelayanan pasien, spesimen dahak dapat dikirim dengan kertas saring melalui jasa pos. c.
Cara pembuatan dan pengiriman dahak dengan kertas saring: Kertas saring dengan ukuran 10 x 10 cm, dilipat empat agar terlihat bagian tengahnya. Dahak yang representatif diambil dengan lidi, diletakkan di bagian tengah dari kertas saring sebanyak + 1 ml. Kertas saring dilipat kembali dan digantung dengan melubangi pada satu ujung yang tidak mengandung bahan dahak. Dibiarkan tergantung selama 24 jam dalam suhu kamar di tempat yang aman, misal di dalam dus. Bahan dahak dalam kertas saring yang kering dimasukkan dalam kantong plastik kecil. Kantong plastik kemudian ditutup rapat (kedap udara) dengan melidahapikan sisi kantong yang terbuka dengan menggunakan lidi. Di atas kantong plastik dituliskan nama pasien dan tanggal pengambilan dahak. Dimasukkan ke dalam amplop dan dikirim melalui jasa pos ke alamat laboratorium.
15
d.
Cara pemeriksaan dahak dan bahan lain. Pemeriksaan bakteriologik dari spesimen dahak dan bahan lain (cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar /BAL, urin, faeces dan jaringan biopsi, termasuk BJH) dapat dilakukan dengan cara :
3) Pemeriksaan mikroskopik: a) Jenis a. Mikroskopik biasa : pewarnaan Ziehl-Nielsen dan Kinyon Gabet b. Mikroskopik
fluoresens:
pewarnaan
auramin-rhodamin
(khususnya untuk screening) b) Interpretasi hasil pemeriksaan dahak dari 3 kali pemeriksaan ialah bila : a. 3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negative : BTA positif b. 1 kali positif, 2 kali negatif : ulang BTA 3 kali (kecuali bila ada fasilitas foto toraks) kemudian c. bila 1 kali positif, 2 kali negatif : BTA positif d. bila 3 kali negatif : BTA negatif c) Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala IUATLD (rekomendasi WHO). Skala IUATLD (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease) : a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negatif b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman yang ditemukan. c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut + . d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ . e. Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++. d)
Interpretasi hasil dapat juga dengan cara Bronkhorst/ Skala Bronkhorst (BR) : a. BR I : ditemukan 3-40 batang selama 15 menit pemeriksaan. b.BR II : ditemukan sampai 20 batang per 10 lapang pandang. c. BR III : ditemukan 20-60 batang per 10 lapang pandang. d.BR IV : ditemukan 60-120 batang per 10 lapang pandang.
16
e. BR V : ditemukan > 120 batang per 10 lapang pandang. 4) Pemeriksaan biakan kuman: Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode konvensional ialah dengan cara : a)
Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh.
b)
Agar base media : Middle brook.
c)
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi M. tuberculosis.
5) Foto Thorax
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral, top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi gambaran bermacam-macam bentuk (multiform). a. Gambaran radiologik yang dicurigai sebagai lesi TB aktif : b)
Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah.
c)
Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.
d)
Bayangan bercak milier.
e)
Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
b. Gambaran radiologik yang dicurigai lesi TB inaktif 1)
Fibrotik
2)
Kalsifikasi
3)
Schwarte atau penebalan pleura
c. Luluh paru (destroyed Lung ) : Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis, ektasis/ multikavitas dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit hanya berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
17
Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan proses penyakit. d. Luas lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb (terutama pada kasus BTA negatif) : 1)
Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak lebih dari sela iga 2 depan (volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5), serta tidak dijumpai kavitas
2)
Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.
Gambar 1. Bagan alur diagnosis TB Paru Sumber : Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan TB. Jalarta 2007
18
j. Penatalaksanaan ( Depkes, 2007 ) Pada awal tahun 1990-an WHO dan IUATLD telah mengembangkan strategi penanggulangan TB yang dikenal sebagai strategi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course) dan telah terbukti sebagai strategi penanggulangan yang secara ekonomis paling efektif (cost-efective). 1) Strategi DOTS terdiri dari 5 komponen kunci: a. Komitmen politis b. Pemeriksaan dahak mikroskopis yang terjamin mutunya. c. Pengobatan jangka pendek yang standar bagi semua kasus TB dengan tatalaksana kasus yang tepat,
termasuk pengawasan langsung
pengobatan. d. Jaminan ketersediaan OAT yang bermutu. e. Sistem pencatatan dan pelaporan yang mampu memberikan penilaian terhadap hasil pengobatan pasien dan
kinerja program secara
keseluruhan. 2)
Tujuan Pengobatan : Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
3)
Jenis, sifat dan dosis OAT Tabel 1. Jenis, sifat, dan dosis OAT
4)
Jenis OAT
Sifat
Isoniazid ( H ) Rifampicin ( R ) Pyrazinamide ( Z ) Streptomisycin ( S ) Ethambutol ( E )
Bakterisid Bakterisid Bakterisid Bakterisid Bakteriostatik
Dosis yang (mg/kgbb) Harian 5 ( 4-6 ) 10 ( 8-12) 25 ( 20-30 ) 15 ( 12- 18 ) 15 ( 12- 18 )
direkomendasikan 3x seminggu 10 ( 8-12 ) 10 ( 8-12 ) 35 ( 30-40 ) 15 ( 12- 18 ) 30 ( 20-35 )
Prinsip pengobatan : OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
19
Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengendalian TB adalah mengatur dan mengelola pengobatan standar di seluruh negeri untuk semua kasus TB dewasa dan anak, dahak BTA-positif, BTA-negatif, dan luar paru. Dalam pengobatan TB WHO telah merekomendasikan tentang tata cara pengkategorian dan manajemen pengobatan TB. Pedoman pengobatan ini menekankan akan penggunaan standar efektif dengan rejimen pendek dan dosis obat kombinasi tetap untuk memfasilitasi kepatuhan terhadap pengobatan TB. Layanan untuk perawatan TB harus mengidentifikasi dan mengatasi faktor yang dapat membuat pasien mengganggu atau menghentikan pengobatan. Pengobatan yang diawasi meliputi observasi langsung terapi (DOTs), membantu pasien untuk mengambil obat mereka secara teratur dan perawatan lengkap, sehingga mencapai target penyembuhan dan mencegah perkembangan resistensi obat. Pengawasan harus dilakukan secara khusus dan pasien-sensitif secara konteks, dan dimaksudkan untuk memastikan kepatuhan dalam meminum obat. Pengawasan Minum Obat dapat dilakukan di fasilitas kesehatan, di tempat kerja, di masyarakat atau di rumah. Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan. a)
Tahap awal (intensif) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan.
b)
Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan
20
penting untuk membunuh kuman sehingga mencegah terjadinya kekambuhan. 5) Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia: a)
Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3.
b)
Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3.
c)
Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)
d)
Kategori Anak: 2HRZ/4HR Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. Paket Kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT. Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu paket untuk satu pasien dalam satu masa pengobatan.
6) Paduan OAT dan peruntukannya. a)
Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: a. Pasien baru TB paru BTA positif. b. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif c. Pasien TB ekstra paru
b)
Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3)
21
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya: a. Pasien kambuh b. Pasien gagal c. Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default) c)
OAT Sisipan (HRZE) a. Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).
Tabel 2. Paduan OAT dan peruntukannya Kategori Program I
Kasus 1. 2. 3. 4.
II
III
1. 2. 3. 1.
2. IV
k.
1. 2.
TB paru BTA positif, kasus baru BTA negatif, lesi luas TB ekstrapulmonal luas TB kasus berat, HIV Kambuh Gagal pengobatan Putus berobat TB paru BTA negatif, lesi minimal, HIV negatif Ekstrapulmonal ringan TB kronik MDR
Panduan OAT Nasional 2 RHZE/ 4R3E3
program
Panduan Alternatif 2HRZE/ 4RH
2 HRZE/ 6 HE
2RHZES/HRZE/5H3E3R3
2RHZES/HRZE/5 HRE
2RHZ/4R3H3
2RHZ/4RH 2RHZ/6HE
Rujuk ke spesialis
Rujukan spesialis obat lini ke 2
Kriteria sembuh 1) BTA negatif pada fase intensif dan fase lanjutan 2) Foto thorax serial stabil 3) Biakan sputum negatif
l.
Komplikasi Bila tidak ditangani dengan benar dapat menimbulkan komplikasi, baik dini maupun lanjut. 1) Komplikasi dini : pleuritis, efusi pleura, empiema, laryngitis, TB usus, Poncet’s arthropathy. 2) Komplikasi lanjut : obstruksi jalan nafas ( Sindrom Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat (SOPT/fibrosis paru), cor
22
pulmonal, amiloidosis, karsinoma paru, sindrom gagal nafas dewasa (ARDS), komplikasi lanjut ini sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB. m.
Pencegahan Pencegahan dapat dilakukan dengan cara : 1) Terapi pencegahan Kemoprofilaksis diberikan kepada pasien HIV atau AIDS. Obat yang digunakan pada kemoprofilaksis adalah Isoniazid (INH) dengan dosis 5 mg / kg BB (tidak lebih dari 300 mg ) sehari selama minimal 6 bulan. 2) Diagnosis dan pengobatan TB paru BTA positif untuk mencegah penularan
3.2. Kerangka Teori
Sanitasi lingkungan rumah
Karakteristik responden - Jenis kelamin - Umur - Imunitas
Ekonomi
Pengetahuan tentang TB
Faktor resiko TB TB paru
Penyakit penyerta - HIV/AIDS - Malnutrisi - MDR Gambar 2. Kerangka Teori
Penularan dari orang lain
23
3.2. Kerangka Konsep
Variable Independent
Variable Dependent
Kepadatan Hunian Ventilasi
TB Paru
Pencahayaan
Gambar 3. Kerangka Konsep
3.2. Hipotesis 1) Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan TB Paru (diterima). 2) Ada hubungan a ntara ventilasi dengan TB Paru (diterima). 3) Ada hubungan antara pencahayaan dengan TB Paru (diterima).