BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sanitasi Lingkungan Rumah Sanitasi lingkungan adalah Status kesehatan suatu lingkungan yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air bersih dan sebaginya (Notoadmojo, 2003). Rumah adalah salah satu persyaratan pokok bagi kehidupan manusia. Rumah atau tempat tinggal manusia, dari zaman ke zaman mengalami perubahan. Pada zaman purba manusia bertempat tinggal digua-gua, kemudian berkembang, dengan mendirikan rumah tempat tinggal di hutan-hutan dan dibawah pohon. Sampai pada abad modern ini manusia sudah membangun rumah (tempat tinggalnya) bertingkat dan diperlengkapi dengan peralatan yang serba modern.sejak zaman dahulu pula manusia telah mencoba mendesain rumahnya, dengan ide mereka masing-masing yang dengan sendirinya berdasarkan kebudayaan masyarakat setempat dan membangun rumah mereka dengan bahan yang ada setempat (lokal material) pula. Setelah manusia memasuki abad modern ini meskipun rumah mereka dibangun dengan bukan bahan-bahan setempat tetapi kadang-kadang
desainya
masih
mewarisi
kebudayaan
generasi
sebelumnya
(Notoadmojo, 2003). Sanitasi rumah adalah usaha kesehatan masyarakat yang menitik beratkan pada pengawasan terhadap struktur fisik dimana orang menggunakan untuk tempat tinggal berlindung yang mempengaruhi derajat kesehatan manusia. Sarana sanitasi tersebut antara lain ventilasi, suhu, kelembaban, kepadatan hunian, penerang alami, konstruksi bagunan, sarana pembuangan sampah, sarana pembuangan kotoran manusia dan penyediaan air bersih (Azwar, 1990). 7
2.2 Sanitasi Lingkungan Rumah Pada Penderita Penyakit Kusta Ada beberapa faktor yang berkontribusi terhadap penderita penyakit kusta pada masyarakat, yaitu: immunisasi BCG, pelayanan kesehatan, lingkungan rumah atau tempat tinggal dan sosial ekonomi orang tua. Pada umumnya, lingkungan rumah yang buruk (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan berpengaruh pada penyebaran penyakit menular termasuk penyakit kusta. Berikut ini akan diuraikan mengenai lingkungan fisik dan sosial rumah yang berpengaruh pada penderita penyakit kusta. 2.2.1
Kepadatan Hunian Rumah
Banyak rumah yang secara teknis memenuhi syarat kesehatan, tetapi apabila penggunaannya tidak disesuaikan dengan peruntukannya, maka dapat terjadi gangguan kesehatan (Suhandayani, 2007). Setiap rumah harus mempunyai bagian ruangan yang sesuai dengan fungsinya. Penentuan bentuk, ukuran dan jumlah ruangan perlu memperhatikan standart minimal jumlah ruangan. Sebuah rumah tinggal harus mempunyai ruangan kamar tidur, ruangan tamu, ruangan makan, dapur, kamar mandi, dan kakus (Syahril, 2006). Secara umum penilaian kepadatan penghuni dengan menggunakan ketentuan standar minimum, yaitu kepadatan penghuni yang memenuhi syarat kesehatan diperoleh dari hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni _ 10 m²/orang dan kepadatan penghuni tidak memenuhi syarat kesehatan bila diperoleh hasil bagi antara luas lantai dengan jumlah penghuni _10 m²/orang (Lubis, 1999). 2.2.2
Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan tidak terlalu banyak. Kurangnya cahaya yang masuk kedalam ruangan rumah, terutama
8
cahaya matahari di samping kurang nyaman, juga merupakan media atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau, dam akhirnya dapat merusakan mata (Lubis, 1999). Cahaya dapat dibedakan menjadi 2, yakni : a. Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya matahari ini sangat penting, karena dapat membunuh kuman Mycobacterium leprae. Oleh karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup. Jalan masuk cahaya (jendela) luasnya sekurang-kurangnya 15% sampai 20% dari luas lantai yang terdapat didalam ruangan rumah. Perlu diperhatikan di dalam membuat jendela diusahakan agar sinar matahari dapat langsung masuk ke dalam ruangan, tidak terhalang oleh bangunan lain. Fungsi jendela disini, disamping sebagai ventilasi, juga sebagai jalan masuk cahaya. Lokasi penempatan jendela pun harus diperhatikan dan diusahakan agar sinar matahari lama menyinari lantai (bukan menyinari dinding). Maka sebaiknya jendela itu harus di tengah-tengah tinggi dinding (tembok). Jalan masuknya cahaya ilmiah juga diusahakan dengan geneng kaca. Genteng kaca pun dapat dibuat secra sederhana, yakni dengan melubangi genteng biasa waktu pembuatanya kemudian menutupnya dengan pecahan kaca. b. Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya. Secara umum pengukuran pencahayaan terhadap sinar matahari adalah dengan menggunakan lux meter, yang diukur ditengah-tengah ruangan, pada tempat setinggi < 84 cm dari lantai, dengan ketentuan tidak memenuhi syarat kesehatan bila < 50 lux atau
9
> 300 lux, dan memenuhi syarat kesehatan bila pencahayaan rumah antara 50-300 lux (Lubis, 1999). 2.2.3
Ventilasi
Ventilasi adalah usaha untuk memenuhi kondisi atmosfer yang menyenangkan dan menyehatkan manusia (Lubis, 1999). Berdasarkan kejadiannya, maka ventilasi dapat dibagi ke dalam dua jenis, yaitu: 1) Ventilasi alam. Ventilasi alam berdasarkan pada tiga kekuatan, yaitu: daya difusi dari gas-gas, gerakan angin dan gerakan massa di udara karena perubahan temperatur. Ventilasi alam ini
mengandalkan
pergerakan
udara
bebas
(angin),
temperatur
udara
dan
kelembabannya. Selain melalui jendela, pintu dan lubang angin, maka ventilasi pun dapat diperoleh dari pergerakan udara sebagai hasil sifat porous dinding ruangan, atap dan lantai.
2) Ventilasi buatan Pada suatu waktu, diperlukan juga ventilasi buatan dengan menggunakan alat mekanis maupun elektrik. Alat-alat tersebut diantarana adalah kipas angin, exhauster dan AC (air conditioner). Persyaratan ventilasi yang baik adalah sebagai berikut: 1) Luas lubang ventilasi tetap minimal 5 % dari luas lantai ruangan, sedangkan luas lubang ventilasi insidentil (dapat dibuka dan ditutup) minimal 5 % dari luas lantai.Jumlah keduanya menjadi 10% dari luas lantai ruangan.
10
2) Udara yang masuk harus bersih, tidak dicemari asap dari sampah atau pabrik,knalpot kendaraan, debu dan lain-lain. 3) Aliran udara diusahakan cross ventilation dengan menempatkan lubang ventilasi berhadapan antar dua dinding. Aliran udara ini jangan sampai terhalang oleh barangbarang besar, misalnya lemari, dinding, sekat dan lain-lain. Secara umum, penilaian ventilasi rumah dengan cara membandingkan antara luas ventilasi dan luas lantai rumah, dengan menggunakan Role meter. Menurut indikator pengawaan rumah, luas ventilasi yang memenuhi syarat kesehatan adalah _ 10% luas lantai rumah dan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 10% luas lantai rumah (Depkes RI, 1999). Rumah dengan luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Menurut Azwar (1990) dan Notoatmodjo (2003), salah satu fungsi ventilasi adalah menjaga aliran udara di dalam rumah tersebut tetap segar. Luas ventilasi rumah yang < 10 % dari luas lantai (tidak memenuhi syarat kesehatan) akan mengakibatkan berkurangnya konsentrasi oksigen dan bertambahnya konsentrasi karbondioksida yang bersifat racun bagi penghuninya. Disamping itu, tidak cukupnya ventilasi akan menyebabkan peningkatan kelembaban ruangan karena terjadinya proses penguapan cairan dari kulit dan penyerapan. Kelembaban ruangan yang tinggi akan menjadi media yang baik untuk tumbuh dan berkembang biaknya kuman Mycobacterium leprae. Selain itu, fungsi kedua ventilasi adalah untuk membebaskan udara ruangan dari Kuman Mycobacterium leprae, karena di situ selalu terjadi aliran udara yang terus menerus. Kuman yang terbawa oleh udara akan selalu mengalir (Notoatmodjo, 2003). Selain itu, menurut Lubis (1999), luas ventilasi yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan mengakibatkan terhalangngya proses pertukaran
11
aliran udara dan sinar matahari yang masuk ke dalam rumah, akibatnya kuman Mycobacterium leprae yang ada di dalam rumah tidak dapat keluar dan ikut terhisap bersama udara pernafasan. 2.2.4
Suhu Kamar
Suhu adalah panas atau dinginnya udara yang dinyatakan dengan satuan derajat tertentu. Suhu udara dibedakan menjadi: 1. Suhu kering, yaitu suhu yang ditunjukkan oleh termometer suhu ruangan setelah diadaptasikan selama kurang lebih sepuluh menit, umumnya suhu kering antara 24 – 34 ºC; 2. Suhu basah, yaitu suhu yang menunjukkan bahwa udara telah jenuh oleh uap air, umumnya lebih rendah daripada suhu kering, yaitu antara 20-25 ºC. Secara umum, penilaian suhu kamar dengan menggunakan termometer ruangan. Berdasarkan indikator pengawasan perumahan, suhu kamar yang memenuhi syarat kesehatan adalah antara 25-30 ºC, dan suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 2 5ºC atau > 30 ºC . Suhu dalam rumah akan membawa pengaruh bagi penguninya. Menurut Walton (1991), suhu berperan penting dalam metabolisme tubuh, konsumsi oksigen dan tekanan darah. Sedangkan Lennihan dan Fletter (1999), mengemukanan bahwa suhu rumah yang tidak memenuhi syarat kesehatan akan meningkatkan kehilangan panas tubuh dan tubuh akan berusaha menyeimbangkan dengan suhu lingkungan melalui proses evaporasi. Kehilangan panas tubuh ini akan menurunkan vitalitas tubuh dan merupakan predisposisi untuk terkena infeksi terutama infeksi saluran nafas oleh agen yang menular. Sedangkan menurut Goul & Brooker (2003), kuman
12
Mycobacterium leprae
memiliki rentang suhu yang disukai, tetapi di dalam rentang ini terdapat suatu suhu optimum saat mereka tumbuh pesat. 2.2.5
Kelembaban Udara Rumah
Kelembaban udara adalah prosentase jumlah kandungan air dalam udara (Depkes RI, 1999). Kelembaban terdiri dari 2 jenis, yaitu 1. Kelembaban absolut, yaitu berat uap air per unit volume udara; 2. Kelembaban nisbi (relatif), yaitu banyaknya uap air dalam udara pada suatu temperatur terhadap banyaknya uap air pada saat udara jenuh dengan uap air pada temperatur tersebut. Secara umum penilaian kelembaban dalam rumah dengan menggunakan hygrometer. Menurut indikator pengawasan perumahan, kelembaban udara yang memenuhi syarat kesehatan dalam rumah adalah 40-60 % dan kelembaban udara yang tidak memenuhi syarat kesehatan adalah < 40 % atau > 60 % (Depkes RI, 1999). Rumah yang tidak memiliki kelembaban yang memenuhi syarat kesehatan akan membawa pengaruh bagi penghuninya. Rumah yang lembab merupakan media yang baik bagi pertumbuhan mikroorganisme, antara lain kuman, bakteri, spiroket, ricketsia dan virus. Mikroorganisme tersebut dapat masuk ke dalam tubuh melalui udara. Selain itu kelembaban yang tinggi dapat menyebabkan membran mukosa hidung menjadi kering sehingga kurang efektif dalam menghadang mikroorganisme (Depkes RI, 1999). Kuman Mycobacterium leprae seperti halnya kuman lain, akan tumbuh dengan subur pada lingkungan dengan kelembaban tinggi karena air membentuk lebih dari 80 % volume sel kuman dan merupakan hal yang essensial untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup sel kuman (Gould & Brooker, 2003). Selain itu menurut
13
Notoatmodjo (2003), kelembaban udara yang meningkat merupakan media yang baik untuk kuman Mycobacterium leprae. 2.3 Pengertian Penyakit kusta Penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabakan oleh kuman Mycobacterium leprae (M. leprae) yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernapasan bagian atas, sistem retikulo endothelial, mata, otot, tulang dan testis (Harahap, Mawardi 2000). Penyakit kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan oleh kuman kusta yaitu Mycrobacterium leprae. Jenis bakteri ini juga dikenal dengan nama Hansen’s bacillus, karena ditemukan oleh seorang ahli fisika Norwegia bernama Gerhard Armauer Hansen, pada tahun 1873 lalu. Mycrobacterium leprae yang pertama menyerang saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa mulut, saluran nafas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot, tulang, dan testis, kecuali susunan saraf pusat (Harahap, Mawardi 2000). Penyakit Kusta terbagi atas 2 jenis adalah sebagai berikut: 1. Kusta tipe PB adalah penderita kusta dengan Basil Tahan Asam (BTA) pada sediaan apus, yakni tipe I (Indeterminate), TT (tuberculoid) dan BT (borderline tuberculoid) menurut kriteria Ridley dan Jopling dan hanya mempunyai jumlah lesi antara 1-5 pada kulit. Kusta tipe PB adalah tipe kusta yang tidak menular. 2. Kusta MB adalah semua penderita kuta tipe BB (mid borderline), BL (borderline lepromatous) dan LL (lepromatosa) menurut kriteria Ridley dan Jopling dengan jumlah lesi 6 atau lebih dan skin smear positif. Kusta tipe MB adalah tipe yang dapat menular.
14
Beberapa asumsi kemudian menyebutkan bahwa penyakit ini dapat ditularkan melalui udara. Selain itu, penyebaran juga diperkirakan terjadi akibat kontak langsung dengan luka penderita kusta. Namun ini biasanya hanya terjadi pada kusta tipe basah. Baru-baru ini diketahui juga bahwa proses penularan penyakit kusta dapat terjadi melalui air (Depkes, RI 1999). 2.3.1
Epidemiologi Kusta Menurut Depkes, RI. 2006 Kusta menyebar luas ke seluruh dunia, dengan
sebagian besar kasus terdapat di daerah tropis dan subtropis, tetapi dengan adanya perpindahan penduduk maka penyakit ini bisa menyerang di mana saja. Di seluruh dunia, dua hingga tiga juta orang diperkirakan menderita kusta. Distribusi penyakit kusta dunia pada 2003 menunjukkan India sebagai negara dengan jumlah penderita terbesar, diikuti oleh Brasil dan Myanmar. Pada tahun 1999, insidensi penyakit kusta di dunia diperkirakan 640.000, pada 2000, 738.284 kasus ditemukan. Pada 1999, 108 kasus terjadi di Amerika Serikat. Pada 2000, WHO membuat daftar 91 Negara yang endemik kusta. 70% kasus dunia terdapat di India, Myanmar, dan Nepal. Pada 2002, 763.917 kasus ditemukan di seluruh dunia, dan menurut WHO pada tahun itu, 90% kasus kusta dunia terdapat di Brasil, Madagaskar, Mozambik, Tanzania dan Nepal (Depkes, RI 1999). Penyakit ini diduga berasal dari Afrika atau Asia Tengah yang kemudian menyebar keseluruh dunia lewat perpindahan penduduk ini disebabkan karena perang, penjajahan, perdagangan antar benua dan pulau-pulau. Berdasarkan pemeriksaan kerangka-kerangka manusia di Skandinavia diketahui bahwa penderita kusta ini dirawat di Leprosaria secara isolasi ketat. Penyakit ini masuk ke Indonesia diperkirakan pada abad ke IV-V yang diduga dibawa oleh orang-orang India yang
15
datang ke Indonesia untuk menyebarkan agamanya dan berdagang (Depkes, RI 1999). Pada pertengahan tahun 2000 jumlah penderita kusta terdaftar di Indonesia sebanyak 20.742 orang. Jumlah penderita kusta terdaftar ini membuat Indonesia menjadi salah satu Negara di dunia yang dapat mencapai eliminasi kusta sesuai target yang ditetapkan oleh WHO yaitu tahun 2000 (Depkes, RI 1999). 2.3.2 Gambaran Klinis Penyakit kusta Menurut Suprayitno. 2004 Gambaran klinis penyakit kusta pada seorang pasien mencerminkan tingkat kekebalan selular pasien tersebut. Adapun klasifikasi yang banyak dipakai dalam bidang penelitian adalah klasifikasi menurut Ridley dan Jopling yang mengelompokkan penyakit kusta menjadi 4 kelompok berdasarkan gambaran klinis, bakteriologis, histopatologis dan imunologis. Sekarang klasifikasi ini juga secara luas dipakai di klinik dan untuk pemberantasan (Depkes, RI). 1. Tipe tuberkoloid (TT) Lesi ini mengenai baik kulit maupun saraf. Lesi kulit bisa satu atau beberapa, dapat berupa makula atau plakat, batas jelas dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang regresi atau cemntral healing. Permukaan lesi dapat bersisik dengan tepi yang meninggi bahkan dapat menyerupai gambaran psoriasis atau tinea sirsnata. Dapat disertai penebalan saraf perifer yang biasanya teraba, kelemahan otot, dan sedikit rasa gatal. Adanya infiltrasi tuberkuloid dan tidak adanya kuman merupakan tanda terdapatnya respons imun pejamu yang adekuat terhadap kuman kusta.
1. Tipe borderline tubercoloid (BT)
16
Lesi pada tipe ini menyerupai tipe TT, yakni berupa makula atau plak yang sering disertai lesi satelit di tepinya. Jumlah lesi dapat satu atau beberapa, tetapi gambaran hipopigmentasi, kekeringan kulit atau skuama tidak sejelas tipe tuberkuloid. Adanya gangguan saraf tidak seberat tipe tuberkuloid, dan biasanya asimetris. Lesi satelit biasanya ada dan terletak dekat saraf perifer yang menebal. 2. Tipe mid borderline (BB) Merupakan tipe yang paling tidak stabil dari semua tipe dalam spektrum penyakit kusta. Disebut juga sebagai bentuk dimorfik dan bentuk ini jarang dijumpai. Lesi dapat berbentuk makula infiltratif. Permukaan lesi dapat berkilap, batas lesi kurang jelas dengan jumlah lesi yang melebihi tipe BT dan cenderung simetris. Leso sangat bervariasi, baik dalam ukuran, bentuk, ataupun distribusinya. Bisa didapatkan lesi punched out yang merupakan ciri khas tipe ini. 3. Tipe borderline lepromatosa Secara klasik lesi dimulai dengan makula. Awalnya hanya dalam jumlah sedikit dan dengan cepat menyebar ke seluruh badan. Makula lebih jekas dan lebih bervariasi bentuknya. Walaupun masih kecil, papul dan nodus lebih tegas dengan distribusi lesi yang hampir simetris dan beberapa nodus tampaknya melekuk pada bagian tengah. Lesi bagian tengah tampak normal dengan pinggir dalam infiltrat lebih jelas dibandingkan dengan pinggir luarnya, dan beberapa plak tampak seperti punched-out.
Tanda-tanda
kerusakan
saraf
berupa
hilangnya
sensasi,
hipipigmentasi, berkurangnya keringat dan hilangnya rambut lebih cepat muncul dibandingkan dengan tipe LL. Penebalan saraf dapat teraba pada tempat predileksi. 4. Tipe lepromatosa (LL)
17
Jumlah lesi sangat banyak, simetris, permukaan halus, lebih eritematosa, berkilap, berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis. Distribusi lesi khas, yakni di wajah mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Sedang dibadan mengenai bagian badan yang dingin, lengan, punggung tangan, dan permukaan ekstensor tungkai bawah. Pada stadium lanjut tampak penebalan kulit yang progresif, cuping telinga menebal, garis muka menjadi kasar dan cekung membentuk fasies leonina yang dapat disertai madarosis, iritis dan keratis. Lebih lanjut lagi dapat terjadi deformitas pada hidung. Dapat dijumpai pembesaran kelenjar limfe, orkitis yang selanjutnya dapat menjadi atrofi testis. Kerusakan saraf yang luas menyebabkan gejala stocking dan glove anaesthesia. 2.3.3 Determinan Penyakit Kusta Proses terjadinya penyakit disebabkan adanya interaksi antara agent atau faktor penyebab penyakit, manusia sebagai pejamu atau host dan faktor lingkungan yang mendukung (environment). Ketiga faktor tersebut dikenal sebagai trias penyebab penyakit (Noor, 2006).
2.3.3.1 Faktor Host (Pejamu) 1. Umur Umur mempunyai pengaruh yang cukup besar untuk terjadinya Penyakit Kusta. Oleh sebab itu Penderita Kusta tidak memendang umur, karena umur berapa saja tetap akan menderita penyakit kusta baik pada anak-anak, remaja maupun dewasa tergantung pada perilaku hidup sehat. (Notoadmojo, 2003).
18
2. Jenis Kelamin Menurut Depkes RI dalam penelitian Taisir (2005) bahwa
ada
kecenderungan Perempuan lebih sering terserang infeksi daripada laki-laki, tetapi belum diketahui faktor yang mempengaruhinya. 3. Status ASI Ekslusif Menurut Depkes RI 2005 bahwa ada pengaruh pada pemberian ASI Ekslusif pada bayi. Apabila ibu menderita penyakit kusta maka bayi yang diberi ASI Ekslusif akan menderita juga. Karena Kuman Mycobacterium leprae yang ada pada tubuh ibu akan menyebar ke tubuh bayi yang diberikan ASI, sehingga bayi tersebut akan menderita penyakit kusta juga. 4. Status Imunisasi Imunisasi merupakan upaya pemberian ketahanan tubuh yang terbentuk melalui vaksinasi.Ada 4 jenis antigen yang tergolong penyakit Kusta telah diprogram di Indonesia yaitu BCG dan polio, (Depkes RI, 2002).
2.3.4 Masa Inkubasi Penyakit Kusta Masa inkubasi pasti dari kusta belum dapat dikemukakan. Beberapa peneliti berusaha mengukur masa inkubasinya. Masa inkubasi minimum dilaporkan adalah beberapa minggu, berdasarkan adanya kasus kusta pada bayi muda. Masa inkubasi maksimum dilaporkan selama 30 tahun Hal ini dilaporan berdasarkan pengamatan pada veteran perang yang pernah terekspos di daerah endemik dan kemudian berpindah ke daerah non-endemik. Dengan rata-rata adalah 4 tahun untuk kusta tuberkuloid dan dua kali lebih lama untuk kusta lepromatosa. Penyakit ini jarang sekali ditemukan pada anak-anak dibawah usia 3 tahun; meskipun, lebih dari 50
19
kasus telah ditemukan pada anak-anak dibawah usia 1 tahun, yang paling muda adalah usia 2,5 bulan. Secara umum, telah disetujui, bahwa masa inkubasi rata-rata dari kusta adalah 3-5 tahun. (Suprayitno. 2004) 2.3.5
Tanda-tanda Dan Gejala Kusta
Tanda-tanda dan gejala pada kulit a. Bercak/Kelainan kulit yang merah atau putih di bagian tubuh b. Kulit mengkilap c. Bercak yang tidak gatal d. Adanya bagian-bagian tubuh yang tidak berkeringat atau tidak berambut. e. Lepuh tidak nyeri.
Tanda-tanda dan Gejala pada saraf a. Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota badan atau muka. b. Gangguan gerak anggota badan atau bagian muka c. Adanya cacat (deformitas) d. Luka (ulkus) yang tidak mau sembuh 2.3.6 Diagnosa Penyakit Kusta Menurut Sutedja Endang. 2003. Penyakit kusta dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan banyak penyakit lain. Sebaliknya banyak penyakit lain dapat menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit kusta. Oleh karena itu dibutuhkan kemampuan untuk mendiagnosis penyakit kusta secara tepat dan membedakannya dengan berbagai penyakit yang lain agar tidak membuat kesalahan yang merugikan
20
pasien. Diagnosis penyakit kusta didasarkan pada penemuan tanda kardinal (tanda utama), yaitu : 1. Bercak kulit yang mati rasa Bercak hipopigmentasi atau eritematosa, mendatar (makula) atau meninggi (plak). Mati rasa pada bercak bersifat total atau sebagian saja terhadap rasa raba, rasa suhu dan rasa nyeri. 2. Penebalan saraf tepi Dapat disertai rasa nyeri dan dapat juga disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf yang terkena, yaitu : a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa b. Gangguan fungsi motoris : paresis atau paralisis c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering, retak, edema, pertumbuhan rambut yang terganggu. 3. Ditemukannya kuman tahan asam Bahan pemeriksaan adalah hapusan kulit cuping telinga dan lesi kulit pada bagian yang aktif. Kadang-kadang bahan diperoleh dari biopsi kulit dan saraf. Untuk menegakkan diagnosis ppenyakit kusta, paling sedikit harus ditemukan satu tanda kardinal. Bila tidak atau belum dapat ditemukan, maka kita hanya dapat mengatakan tersangka kusta dan pasien perlu diamati dan diperiksa ulang setelah 36 bulan sampai diagnosis kusta dapat ditegakkan atau disingkirkan. Untuk menetapkan diagnosa kusta perlu dicari tanda-tanda pokok pada badan yaitu : a. Adanya kelainan kulit dapat berupa hipopigmentasi (seperti panu), bercakeritem (kemerah-merahan), infiltrasi (penebalan kulit), nodul (benjolan). 21
b. Berkurang sampai hilang rasa pada kelainan kulit tersebut di atas. c. Penebalan syaraf tepi. d. Adanya kuman tahan asam didalam korekan jaringan kulit (BTA Positif). Menyatakan
(mendiagnosa
seseorang
menderita
penyakit
kusta
menimbulkan berbagai masalah baik bagi penderita, keluarga atapun masyarakat disekitarnya). Bila ada keraguan-raguan sedikit saja pada diagnosa, penderita harus berada dibawah pengamatan hingga timbul gejala-gejala yang jelas, yang mendukung bahwa penyakit itu benar-benar kusta. Diagnosa kusta dan kelasifikasi harus dilihat secara menyeluruh dari segi : a. Klinis b. Bakteriologis c. Immunologis d. Hispatologis Diagnosa kusta tipe lepromatosa (multibaciller) ditegakkan dengan ditemukannya bakteri tahan asam pada sediaan yang diambil dengan melakukan incisi pada kulit. Pada kusta tipe tuberkuloid (paucibaciller) jumlah basil kemungkinan sangat sedikit sehingga sulit ditemukan pada pemeriksaan. Dalam keadaan ini media kulit hendaknya dikirim kepada ahli patologi yang berpengalaman dalam penegakkan diagnosa kusta. Timbulnya gejala terserangnya saraf dan ditemukannya bakteri tahan asam merupakan gejala patognopmonis kusta. Diagnosis penyakit kusta masih tergantung pada penemuan klinis dan bakterioiogis, yang sifatnya subyektif dan merupakan mata rantai yang lemah dalam pemberantasan kusta. Dalam suatu penelitian ditemukan bahwa rata-rata penyakit
22
kusta baru ter-diagnosis setelah 2 tahun menderita dan terdiagnosis rata-rata dalam 4,5 kali kunjungan. Mycobacterium leprae masih belum dapat dibiakkan dalam medium buatan, sehingga diagnosis yang tepat dalam waktu pendek masih belum memungkinkan; teknik serologi untuk mengukur antibodi spesifik terhadap antigen M. leprae masih belum memuaskan, karena hanya bermakna pada penderita kelompok multibasiler, hampir tidak berguna pada kelompok paucibasiler, dan masih belum dapat meramalkan secara pasti kemungkinan sakit-tidaknya orang-orang sehat yang seropositip. 2.3.7 Penanggulangan Penyakit Kusta Menurut Sutedja Endang. 2003. Penanggulangan penyakit kusta telah banyak didengar dimana-mana dengan maksud mengembalikan penderita kusta menjadi manusia yang berguna, mandiri, produktif dan percaya diri. Metode penanggulangan ini terdiri dari : metode pemberantasan dan pengobatan, metode rehabilitasi yang terdiri dari rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial, rehabilitasi karya dan metode pemasyarakatan yang merupakan tujuan akhir dari rehabilitasi, dimana penderita dan masyarakat membaur sehingga tidak ada kelompok tersendiri (Harahap, Mawardi 2000). Upaya yang dilakukan untuk pemberantasan penyakit kusta melalui : 1. Penemuan penderita secara dini. 2. Pengobatan penderita. 3. Penyuluhan kesehatan di bidang kusta. 4. Peningkatan ketrampilan petugas kesehatan di bidang kusta. 5. Rehabilitasi penderita kusta.
23
Tujuan utama program pemberantasan kusta adalah memutus rantai penularan untuk menurunkan insiden penyakit, mengobati dan menyembuhkan penderita, dan mencegah timbulnya cacat. Untuk mencapai tujuan itu sampai sekarang strategi pokok yang dilakukan masih berdasarkan atas deteksi dini dan penobatan penderita, yang tampaknya masih merupakan dua hal yang penting meskipun nantinya vaksin kusta yang efektif telah tersedia. 2.3.8 Pencegahan Penyakit Kusta Menurut Sutedja Endang. 2003. Hingga saat ini tidak ada vaksinasi untuk penyakit kusta. Dari hasil penelitian dibuktikan bahwa kuman kusta yang masih utuh bentuknya, lebih besar kemungkinan menimbulkan penularan dibandingkan dengan yang tidak utuh. Jadi faktor pengobatan adalah amat penting dimana kusta dapat dihancurkan, sehingga penularan dapat dicegah. Disini letak salah satu peranan penyuluhan kesehatan kepada penderita untuk menganjurkan kepada penderita untuk berobat secara teratur. Pengobatan kepada penderita kusta adalah merupakan salah satu cara pemutusan mata rantai penularan. Kuman kusta diluar tubuh manusia dapat hidup 24-48 jam dan ada yang berpendapat sampai 7 hari, ini tergantung dari suhu dan cuaca diluar tubuh manusia tersebut. Makin panas cuaca makin cepatlah kuman kusta mati. Jadi dalam hal ini pentingnya sinar matahari masuk ke dalam rumah dan hindarkan terjadinya tempat-tempat yang lembab. Ada beberapa obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta. Tetapi kita tidak dapat menyembuhkan kasus-kasus kusta kecuali masyarakat mengetahui ada obat penyembuh kusta, dan mereka datang ke Puskesmas untuk diobati. Dengan demikian penting sekali agar petugas kusta
24
memberikan penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan kusta kepada setiap orang, materi penyuluhan berisikan pengajaran bahwa : a. Ada obat yang dapat menyembuhkan penyakit kusta b. Sekurang-kurangnya 80 % dari semua orang tidak mungkin terkena kusta c. Enam dari tujuh kasus kusta tidaklah menular pada orang lain d. Kasus-kasus menular tidak akan menular setelah diobati kira-kira 6 bulan secara teratur 2.3 Kerangka Berfikir 2.3.1 Kerangka Teori
Agent
Host
Lingkungan
Kuman Mycobacterium leprae
1. Umur 2. Jenis Kelamin 3. Status ASI Ekslusif 4. Status imunisasi
1. Kepadatan hunian 2. Pencahayaan 3. Ventilasi 4. Suhu 5. Kelembaban udara
Penderita Penyakit Kusta
25
2.3.2 Kerangka Konsep
Kepadatan Hunian Pencahayaan Sanitasi Lingkungan Rumah
Ventilasi
Suhu
Kelembaban Udara Keterangan : Variabel Bebas
:
Variabel Terikat : Variabel diteliti
:
26
Penderita Penyakit Kusta