BAB II LANDASAN TEORI A.
RESILIENSI 1. Definisi Resilliensi Istilah resiliensi diformulasikan pertama kali oleh Block (dalam Klohnen,
1996) dengan nama ego-resilience, yang diartikan sebagai kemampuan umum yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi dan luwes saat dihadapkan pada tekanan internal maupun eksternal. Dalam perjalanannya, terminologi resiliensi mengalami perluasan dalam hal pemaknaan. Diawali dengan penelitian Rutter & Garmezy (dalam Klohnen, 1996), tentang anak-anak yang mampu bertahan dalam situasi penuh tekanan. Dua peneliti di atas menggunakan istilah resiliensi sebagai descriptive labels yang mereka gunakan untuk menggambarkan anak-anak yang mampu berfungsi secara baik walaupun mereka hidup dalam lingkungan buruk dan penuh tekanan. Liquanti (1992), menyebutkan secara khusus bahwa resiliensi pada remaja merupakan kemampuan yang dimiliki remaja dimana mereka tidak mengalah saat menghadapi tekanan dan perbedaan dalam lingkungan. Mereka mampu terhindar dari penggunaan obat terlarang, kenakalan remaja, kegagalan di sekolah, dan dari gangguan mental. Masten & Coatswerth (dalam Davis, 1999), mengatakan bahwa untuk mengidentifikasikan resiliensi diperlukan dua syarat, yang pertama adanya ancaman yang signifikan pada individu (ancaman berupa status high risk atau ditimpa kemalangan dan trauma yang kronis) dan yang kedua adalah kualitas adaptasi atau perkembangan individu tergolong baik.
Universitas Sumatera Utara
Menurut Reivich dan Shatte (2002) yang dituangkan dalam bukunya “The Resiliency Factor” menjelaskan resiliensi adalah kemampuan untuk mengatasi dan beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan, bertahan dalam keadaan tertekan, dan bahkan berhadapan dengan kesengsaraan (adversity) atau trauma yang dihadapi dalam kehidupannya. Berdasarkan uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa resiliensi adalah kemampuan seseorang untuk mampu bertahan dan tidak mengalah dalam situasi tertekan, sehingga terhindar dari kegagalan di sekolah dan mampu untuk beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupan.
2. Aspek-Aspek Resiliensi Reivich & Shatte (2002) memaparkan tujuh aspek dari resiliensi. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut: 1. Pengaturan Emosi (Emotion Regulation)
Pengaturan emosi diartikan sebagai kemampuan individu untuk mengatur emosi sehingga tetap tenang meskipun berada dalam situasi di bawah tekanan. Indikator perilaku dari pengaturan emosi, yaitu: a. Mampu mengontrol perasaan ketika sedang menghadapi kesulitan b. Mampu mengidentifikasi pemikiran sendiri dan bagaimana pemikiran tersebut bisa mempengaruhi kecenderungan berperilaku c. Tetap mampu menjaga kestabilan emosi dan perilaku ketika berada pada situasi yang emosional
Universitas Sumatera Utara
d. Bisa menjaga diri untuk tidak bertingkah laku secara emosional e. Bisa menjaga emosi ketika berdiskusi dengan orangtua, guru, teman, dan pasangan f. Bisa mengontrol emosi positif untuk membantu individu tetap fokus dalam penyelesaian tugas g. Tidak mudah terbawa perasaan h. Emosi tidak mempengaruhi kemampuan individu untuk fokus terhadap pekerjaan rumah, sekolah, maupun pekerjaan sampingan i. Menggunakan kemampuan yang berkembang dengan baik untuk mengontrol emosi dan perilaku j. Mudah diajak bekerja sama karena mudah mengatur emosi k. Mudah berteman karena memiliki kemampuan mengatur emosi
2. Kontrol Terhadap Impuls (Impuls Control)
Kontrol
terhadap
impuls
adalah
kemampuan
individu
untuk
mengendalikan impuls atau dorongan-dorongan dalam dirinya, kemampuan mengontrol impuls akan membawa kepada kemampuan berpikir yang jernih dan akurat. Indikator perilaku dari kontrol impuls, yaitu: a. Tidak mudah terdistraksi dalam mengerjakan tugas-tugas yang sedang dikerjakan b. Ketika ada masalah, individu cepat menyadarinya
Universitas Sumatera Utara
c. Mampu mendengarkan apa yang orang lain katakan terlebih dahulu sebelum menunjukkan sebuah reaksi ketika menghadapi komplain atau reaksi emosional dari orang lain d. Memiliki prinsip mencegah lebih baik daripada mengobati e. Tidak mudah menyerah ketika segala sesuatu berjalan dengan tidak lancar f. Memiliki perencanaan terhadap pekerjaan, tugas ataupun keuangan g. Memilih melakukan hal-hal secara terencana daripada secara spontan agar segala sesuatu berjalan baik h. Jika menginginkan sesuatu, mampu melakukan perencanaan terlebih dahulu untuk mewujudkannya
3. Optimisme (Optimism)
Optimisme berarti individu memiliki kepercayaan bahwa segala sesuatu akan menjadi lebih baik. Individu mempunyai harapan dan kontrol atas kehidupannya. Indikator perilaku dari optimisme, yaitu: a. Lebih meyakini bahwa masalah itu dapat dikontrol meskipun pada kenyataannya itu tidak selalu benar b. Mampu memahami penyebab dari sisi positif ketika menghadapi seseorang yang terlalu berlebihan dalam menghadapi masalah c. Yakin bahwa setiap kerja keras pasti tidak sia-sia dan memberikan hasil d. Ketika berhadapan dengan situasi yang sulit, tetap yakin situasi sulit tersebut dapat memiliki akhir yang baik e. Tidak cemas dengan kesehatan di masa depan
Universitas Sumatera Utara
f. Setelah menyelesaikan suatu tugas, yakin tugas tersebut akan dievaluasi secara positif g. Yakin segala suatu penyelesaian masalah berada di dalam kontrol individu h. Ketika berpikir tentang masa depan, individu melihat dirinya sebagai orang yang sukses i. Yakin segala hal yang buruk dapat berubah menjadi lebih baik j. Merasa mampu melaksanakan tugas-tugas lebih baik daripada teman sekolah k. Ketika sedang sakit, individu akan melakukan hal yang perlu dilakukan untuk meningkatkan kesempatan bagi kesembuhannya
4. Kemampuan Menganalisis Masalah (Causal Analysis)
Kemampuan menganalisis masalah pada diri individu dapat dilihat dari bagaimana individu dapat mengidentifikasikan secara akurat sebab-sebab dari permasalahan
yang
menimpanya.
Indikator
perilaku
dari
kemampuan
menganalisis masalah, yaitu: a. Ketika ada masalah yang muncul, individu memiliki berbagai alternatif solusi untuk mencoba menyelesaikannya b. Ketika ada masalah yang muncul, individu memikirkan terlebih dahulu apa penyebabnya sebelum mencoba menyelesaikannya c. Tidak menghabiskan waktu untuk memikirkan faktor-faktor yang berada di luar kontrol saya
Universitas Sumatera Utara
d. Dalam sebagian besar situasi, individu yakin mampu mengidentifikasi penyebab sebenarnya dari masalah tersebut e. Tidak terburu-buru dalam menyelesaikan masalah f. Tidak salah dalam menginterpretasi kejadian dan situasi g. Tidak langsung mengambil keputusan atau kesimpulan ketika muncul suatu masalah h. Bagi individu, lamanya menyelesaikan suatu masalah itu tidak penting, yang penting adalah pemahaman secara penuh terhadap masalah tersebut i. Jarang terjebak dalam melakukan kesalahan yang sama
5. Empati (Emphaty)
Empati merupakan kemampuan individu untuk bisa membaca dan merasakan bagaimana perasaan dan emosi orang lain. Indikator perilaku dari empati, yaitu: a. Dengan hanya melihat ekspresi wajah seseorang, individu mampu memahami emosi yang sedang mereka alami b. Jika seseorang sedang marah, sedih, atau malu, individu mampu memahami apa yang mungkin sedang mereka pikirkan c. Jika teman sedang marah, individu cukup bisa mengerti alasan yang melatarbelakanginya d. Cukup mudah bagi individu untuk terbawa dalam alur cerita sebuah film atau buku
Universitas Sumatera Utara
e. Tidak sulit bagi individu untuk memahami alasan orang lain melakukan apa yang mereka lakukan f. Orang-orang terdekat individu mengatakan kalau individu sangat mengerti mereka g. Teman-teman individu mengatakan bahwa individu mampu mendengarkan apa yang mereka katakan, individu tidak mendominasi dalam setiap percakapan ketika orang lain sedang menceritakan permasalahannya
6. Efikasi Diri (Self-efficacy)
Efikasi diri mewakili kepercayaan individu bahwa individu mampu untuk mengatasi segala permasalahan disertai keyakinan akan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Indikator perilaku dari efikasi diri, yaitu: a. Jika solusi pertama gagal, individu bisa kembali dan melanjutkan mencoba solusi yang berbeda sampai menemukan yang cocok b. Berharap individu dapat melakukan segala sesuatu dengan baik c. Orang-orang
sering
mencari
individu
untuk
membantu
mereka
memecahkan masalah d. Yakin memiliki kemampuan coping yang baik dan mampu berespon baik terhadap kebanyakan tantangan e. Lebih menyukai sesuatu yang menantang untuk dilakukan f. Tidak bergantung kepada kemampuan orang lain dalam segala situasi
Universitas Sumatera Utara
g. Tidak ragu terhadap kemampuan individu memecahkan masalah dalam rumah maupun pekerjaan h. Lebih menikmati tugas yang kompleks dan berubah-ubah i. Lebih suka menjadi pemimpin dalam suatu kelompok daripada menjadi anggota
7. Pencapaian (Reaching out)
Pencapaian menggambarkan kemampuan individu untuk meningkatkan aspek-aspek yang positif dalam kehidupannya yang mencakup pula keberanian seseorang untuk mengatasi segala ketakutan-ketakutan yang mengancam dalam kehidupannya. Indikator perilaku dari pencapaian, yaitu: a. Individu yang memiliki rasa ingin tahu yang besar b. Individu adalah orang yang suka mencoba hal-hal baru c. Apa yang orang lain pikirkan tentang individu, tidak mempengaruhi perilaku individu tersebut d. Melihat tantangan sebagai jalan untuk belajar dan meningkatkan diri e. Merasa nyaman berada dalam keadaan dimana individu satu-satunya orang yang memiliki tanggung jawab f. Suka tantangan-tantangan baru g. Suka bertemu dengan orang-orang baru h. Suka memiliki rutinitas yang baru
Universitas Sumatera Utara
3. Sumber-sumber Resiliensi Banyak penelitian yang berusaha untuk mengidentifikasikan sumber yang berpengaruh terhadap resiliensi seseorang. Sumber tersebut meliputi dukungan eksternal dan sumber-sumbernya yang ada pada diri seseorang (misalnya keluarga, lembaga-lembaga pemerhati dalam hal ini yang melindungi siswa), kekuatan personal yang berkembang dalam diri seseorang (seperti self-esteem, a capacity for self monitoring, spritualitas dan altruism), dan kemampuan sosial (seperti mengatasi konflik dan kemampuan berkomunikasi). Grotberg
(1995),
mengemukakan
sumber-sumber
resiliensi
yang
diidentifikasikan berdasarkan sumber-sumber yang berbeda. Untuk kekuatan individu dalam diri pribadi digunakan istilah ‘I Am’, untuk dukungan eksternal dan sumber-sumbernya digunakan istilah ‘I Have’, sedangkan untuk kemampuan interpersonal digunakan istilah’I Can’. Sumber-sumber resiliensi yang dapat menggambarkan resiliensi pada individu. 1. I Have I Have merupakan dukungan eksternal dan sumber dalam meningkatkan resiliensi. Sumber-sumbernya adalah: 1) Trusting relationships Orang tua, anggota keluarga lainnya, guru, dan teman-teman yang mengasihi dan menerima anak tersebut. Anak-anak dari segala usia membutuhkan kasih sayang tanpa syarat dari orang tua mereka dan pemberi perhatian primer (primary care givers), tetapi mereka membutuhkan kasih sayang dan dukungan emosional dari orang dewasa lainnya juga.
Universitas Sumatera Utara
2) Struktur dan aturan di rumah Orang tua yang memberikan rutinitas dan aturan yang jelas, mengharapkan anak mengikuti perilaku mereka, dan dapat mengandalkan anak untuk melakukan hal tersebut. Aturan dan rutinitas itu meliputi tugas-tugas yang diharapkan dikerjakan oleh anak. 3) Role models Orang tua, orang dewasa lain, kakak, dan teman sebaya bertindak dengan cara yang menunjukkan perilaku anak yang diinginkan dan dapat diterima, baik dalam keluarga dan orang lain. 4) Dorongan agar menjadi mandiri Orang dewasa, terutama orang tua, mendorong anak untuk melakukan sesuatu tanpa bantuan orang lain dan berusaha mencari bantuan yang mereka perlukan untuk membantu anak menjadi mandiri. 5) Akses pada kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan layanan keamanan Anak secara individu maupun keluarga, dapat mengandalkan layanan yang konsisten untuk memenuhi kebutuhan yang tidak bisa dipenuhi oleh keluarganya yaitu rumah sakit, dokter, sekolah, guru, layanan sosial, polisi dan perlindungan kebakaran atau layanan sejenisnya.
2. I Am I Am merupakan kekuatan yang berasal dari dalam diri sendiri. Sumbersumbernya adalah:
Universitas Sumatera Utara
1) Perasaan dicintai dan perilaku yang menarik Individu sadar bahwa orang menyukai dan mengasihi dia. Individu akan bersikap baik terhadap orang-orang yang menyukai dan mencintainya. Seseorang dapat mengatur sikap dan perilakunya jika menghadapi respon-respon yang berbeda ketika berbicara dengan orang lain. 2) Mencintai, empati, dan altruistik Individu mengasihi orang lain dan menyatakan kasih sayang tersebut dengan banyak cara. Dia peduli akan apa yang terjadi pada orang lain dan menyatakan kepedulian itu melalui tindakan dan kata-kata. 3) Bangga pada diri sendiri Individu mengetahui dia adalah seseorang yang penting dan merasa bangga pada siapakah dirinya dan apa yang bisa dilakukan untuk mengejar keinginannya. Individu tidak akan membiarkan orang lain meremehkan atau merendahkannya. Ketika individu mempunyai masalah dalam hidup, kepercayaan diri dan self esteem membantu mereka untuk dapat bertahan dan mengatasi masalah tersebut. 4) Otonomi dan tanggung jawab Individu dapat melakukan sesuatu dengan caranya sendiri dan menerima konsekuensi dari perilakunya tersebut. Individu merasa bahwa ia bisa mandiri dan bertanggung jawab atas hal tersebut.
Universitas Sumatera Utara
5) Harapan, keyakinan, dan kepercayaan Individu percaya bahwa ada harapan baginya dan bahwa ada orang-orang dan institusi yang dapat dipercaya. Individu merasakan suatu perasaan benar dan salah, percaya yang benar akan menang, dan mereka ingin berperan untuk hal ini.
3. I Can I Can adalah kemampuan interpersonal yang dimiliki individu. Sumbersumbernya adalah: 1) Berkomunikasi Individu mampu mengekspresikan pemikiran dan perasaan kepada orang lain dan dapat mendengarkan apa yang dikatakan orang lain serta merasakan perasaan orang lain. 2) Pemecahan masalah Individu dapat menilai suatu permasalahan, penyebab munculnya masalah dan mengetahui bagaimana cara memecahkannya. 3) Mengelola berbagai perasaan dan rangsangan Individu dapat mengenali perasaannya, memberikan sebutan emosi, menyatakannya dengan kata-kata, perilaku yang tidak melanggar perasaan dan hak orang lain atau dirinya sendiri. 4) Mengukur temperamen diri sendiri dan orang lain Individu memahami temperamen mereka sendiri (bagaimana bertingkah, merangsang, dan mengambil resiko atau diam, reflek dan berhati-hati) dan juga terhadap temperamen orang lain. Hal ini menolong individu untuk mengetahui
Universitas Sumatera Utara
berapa lama waktu yang diperlukan untuk berkomunikasi, membantu individu untuk mengetahui kecepatan untuk bereaksi dan berapa banyak individu mampu sukses dalam berbagai situasi. 5) Mencari hubungan yang dapat dipercaya Individu dapat menemukan seseorang misalnya orang tua, saudara, teman sebaya untuk meminta pertolongan, berbagi perasaan dan perhatian guna mencari cara terbaik untuk mendiskusikan dan menyelesaikan masalah personal dan interpersonal. Apabila karakteristik resiliensi telah berkembang maka siswa tersebut dapat menjadi pribadi yang dapat beradaptasi dengan baik pada saat ia berhadapan dengan masalah sehingga dapat melampaui kemungkinan kegagalan dan akhirnya mampu melanjutkan kehidupannya dengan baik. Mungkin masih ada kekecewaan dan halangan yang ia hadapi, tetapi ia akan menjadi pribadi yang tangguh dan selalu bangkit kembali dari masalah yang dihadapi. Setiap sumber dari I Am, I Have, I Can memberikan konstribusi pada berbagai macam tindakan yang dapat meningkatkan potensi resiliensi. Individu yang resilien tidak membutuhkan semua sumber-sumber dari setiap faktor, tetapi apabila individu hanya memiliki satu faktor individu tersebut tidak dapat dikatakan sebagai individu yang beresiliensi.
Universitas Sumatera Utara
4. Konsep Berpikir Resiliensi Untuk menciptakan konsep berpikir dalam melihat proses resiliensi ada beberapa komponen dasar yang digunakan. Empat dinamika sering didiskusikan dalam teori resiliensi yaitu (a) Risk factor, (b) Protektive factor, (c) Area vulnerability, (d) Strategy kompensatori (Kitano & Lewis 2005). a. Risk Factor adalah kondisi lingkungan yang menetapkan siswa dalam situasi yang berbahaya. Misalnya seperti dikucilkan dalam sekolah, budaya kekerasan dan atau kurangnya perhatian orang tua. Kondisi tersebut ataupun kondisi lain yang mirip kondisi tersebut dapat menempatkan siswa dalam kategori “At-risk” b. Protektive Factor adalah kekuatan siswa yang bekerja dalam mengatasi risk factor. Misalnya seperti hubungan yang saling peduli, etos kerja yang tinggi, internal locus of control, ataupun berada dalam komunitas yang mendukung. c. Area Vulnerability adalah aspek yang spesifik dari seorang siswa yang membuatnya berada dalam situasi yang problematik. Misalnya seperti gender, kelas sosial, ras-etnis adalah kondisi yang rentan dan berpotensial, tergantung pada dinamika situasi psikososial yang ada. d. Strategy Kompensatori adalah taktik yang dikembangkan oleh siswa untuk melidungi dirinya dari kondisi yang rentan dan berkontribusi terhadap hasil akademik yang positif. Hubungan antara Risk factor, Protektive factor, Area vulnerability dan Strategy kompensatori itulah yang menciptakan resiliensi (Kitano & Lewis 2005).
Universitas Sumatera Utara
5. Protective dan Risk Factor Studi resiliensi tidak terlepas dari pembahasan tentang protective factor (faktor penyeimbang atau pelindung) dan risk factor (faktor beresiko). Roberts (2007) menyatakan bahwa resiliensi merupakan istilah yang muncul dari riset tentang protective factor dan risk factor. Risk factor merupakan faktor yang dapat memunculkan kerentanan terhadap distress. Konsep risk dalam penelitian resiliensi
untuk
menyebutkan
kemungkinan
terdapatnya
maladjusment
(ketidakmampuan menyesuaikan diri) dikarenakan kondisi-kondisi yang menekan seperti: anak yang tumbuh pada keluarga yang mempunyai status ekonomi rendah, tumbuh di daerah yang terdapat kekerasan, dan pengalaman trauma. Faktor resiko ini dapat berasal dari faktor genetik seperti penyakit sejak lahir, faktor
psikologis,
kemungkinan
lingkungan
terdapatnya
dan
kerentanan
sosioekonomi terhadap
yang
stres.
mempengaruhi
Faktor-faktor
ini
mempengaruhi individu baik secara afektif maupun kognitif (Schoon, 2006). Penelitian-penelitian terhadap kelompok yang beresiko (risk factor) menemukan bahwa tidak semua orang berada pada kondisi beresiko mengalami maladjusment. Penelitian-penelitian lain juga mencatat bahwa anak yang tumbuh pada kondisi yang menekan atau beresiko dapat tumbuh dan beradaptasi secara positif. Hal inilah yang menjadi fokus para peneliti yaitu untuk melihat faktorfaktor apa yang dapat menyebabkan individu mampu beradaptasi positif meskupin berada pada kondisi yang bersiko. Kualitas-kualitas ini mengacu pada istilah protective factor.
Universitas Sumatera Utara
Protective factor (faktor pelindung) merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut faktor penyeimbang atau melindungi dari risk factor (faktor yang memunculkan resiko) pada individu yang resilien (Riley, 2005). Sebagaimana yang dinyatakan Werner (2005) bahwa banyak hal yang dapat menjadi protective factor bagi seseorang yang resilien ketika berhadapan dengan kondisi yang menekan. Dalam penelitiannya Werner (2005) menemukan kualitas-kualitas individu yang dapat menjadi protective factor yang memungkinkan seseorang dapat mengatasi tekanan dalam kehidupan mereka yaitu antara lain kesehatan, sikap yang tenang (easygoing), kontrol emosi, kompetensi intelektual, internal locus of control, konsep diri yang positif, kemampuan perencanaan, dan kualitas keimanan (Werner, 2005). Protective factor dapat dibagi kedalam dua kategori yaitu internal protective factor dan external protective factor. Internal protective factor merupakan protective factor yang bersumber dari individu seperti harga diri, efikasi diri, kemampuan mengatasi masalah, regulasi emosi, dan optimisme. Sedangkan external protective factor merupakan protective factor yang bersumber dari luar individu seperti suport dari kelurga dan lingkungan (McCubbin, 2001). Sedikit berbeda dengan pembagian oleh McCubbin, Schoon membagi faktor yang mendukung resiliensi seseorang (protective factor) kedalam aspek individu, keluarga dan komunitas. Protective factor dari aspek individu antara lain intelegensi, kemampuan sosial, dan aspek individu lainnya. Aspek keluarga terkait dengan dukungan keluarga ketika seseorang menghadapi tekanan. Sedangkan
Universitas Sumatera Utara
aspek komunitas berkenaan dengan aspek lingkungan yang dapat menjadi pendukung bagi individu ketika menghadapi sebuah tekanan (Schoon, 2006). Risk factor dan protective factor berhubungan dan saling berpengaruh secara interaktif. Protective factor, khususnya, menjadi penting ketika individu menghadapi faktor beresiko (Roberts, 2007). Ada beberapa cara bagaimana kedua faktor ini saling berhubungan. Protective factor dapat bekerja dengan mengurangi atau meringankan stress ketika terdapat faktor beresiko. Sebagai contoh, dukungan orang tua dapat mengurangi resiko anak yang mengalami hubungan sosial yang kurang baik. Protective factor dapat mencegah dari terjadinya faktor beresiko. Sebagai contoh, Morriset (dalam Roberts, 2007) melaporkan bahwa anak yang mempunyai temperamen yang periang dan cara yang sehat dalam bergaul dapat memunculkan reaksi yang positif terhadap teman sebayanya yang mempunyai kecendrungan nakal. Selain itu protective factor juga dapat bekerja dengan memutus rantai dari faktor beresiko. Misalnya, konflik keluarga merupakan faktor beresiko yang dapat memunculkan penggunaan narkoba pada anak. Dengan adanya protective factor hal tersebut dapat diputus, contohnya dengan adanya teman sebaya yang baik dan mempunyai pengaruh yang positif akan memutus resiko akan terlibatnya anak pada narkoba (Roberts, 2007).
6. Level Resiliensi Level resiliensi merupakan periode atau tahapan sebagai hasil ketika seseorang menghadapi sebuah ancaman atau kondisi yang menekan. Terkait dengan masalah ini O’Leary dan Ickovics (dalam Coulson, 2006) menyebutkan
Universitas Sumatera Utara
empat level yang dapat terjadi ketika seseorang mengalami situasi yang cukup menekan yaitu succumbing, survival, recovery, dan thriving. 1. Succumbing (Mengalah) Merupakan istilah untuk menggambarkan kondisi yang menurun dimana individu mengalah (succumbs) atau menyerah setelah menghadapi suatu ancaman atau kondisi yang menekan. Level ini merupakan kondisi ketika individu menemukan atau mengalami kemalangan yang terlalu berat bagi mereka. Penampakan (outcomes) dari individu yang berada pada kondisi ini berpotensi mengalami depresi, narkoba sebagai pelarian, dan pada tataran ekstrim bisa menyebabkan individu bunuh diri. 2. Survival (Bertahan) Pada level ini individu tidak mampu meraih atau mengembalikan fungsi psikologis dan emosi yang positif setelah saat menghadapi tekanan. Efek dari pengalaman yang menekan sangat melemahkan mereka yang membuat mereka gagal untuk kembali berfungsi secara wajar (recovery), dan berkurang pada beberapa respek. Individu pada kondisi ini bisa mengalami perasaan, perilaku dan kognitif yang negatif yang berkepanjangan seperti menarik diri dalam hubungan sosial, berkurangnya kepuasaan kerja, dan depresi. 3. Recovery (Pemulihan) Merupakan kondisi ketika individu mampu pulih kembali (bounce back) pada fungsi psikologis dan emosi secara wajar dan dapat beradaptasi terhadap kondisi yang menekan, meskipun masih menyisahkan efek dari perasaan yang
Universitas Sumatera Utara
negatif. Dengan demikian individu dapat kembali beraktivitas dalam kehidupan sehari-harinya, mereka menunjukkan diri mereka sebagai individu yang resilien. 4. Thriving (Berkembang dengan pesat) Pada kondisi ini individu tidak hanya mampu kembali pada level fungsi sebelumnya setelah mengalami kondisi yang menekan, namun mereka mampu melampaui level ini pada beberapa respek. Proses pengalaman menghadapi dan mengatasi kondisi yang menekan dan menantang hidup mendatangkan kemampuan baru yang membuat individu menjadi lebih baik. Hal ini dapat termanifestasi pada perilaku, emosi dan kognitif seperti sense of purpose of in life, kejelasan visi, lebih menghargai hidup, dan keinginan akan hubungan sosial yang positif.
B.
LATAR BELAKANG TERJADINYA ANAK BERESIKO PUTUS SEKOLAH Hampir disetiap tempat banyak anak-anak yang tidak mampu melanjutkan
pendidikan terutama di daerah pesisir pantai, banyak anak-anak yang tidak mampu melanjutkan pendidikan. Pendidikan putus di tengah jalan disebabkan karena berbagai kondisi yang terjadi dalam kehidupan, salah satunya disebabkan oleh kondisi ekonomi orangtua yang memprihatinkan. Kondisi ekonomi seperti ini menjadi penghambat bagi seseorang untuk memenuhi keinginannya dalam melanjutkan dan menyelesaikan pendidikannya. Hal ini disebabkan berbagai faktor, diantaranya orangtua tidak mempunyai pekerjaan tetap, tidak mempunyai keterampilan khusus, keterbatasan kemampuan dan faktor lainnya (Nata, 2003).
Universitas Sumatera Utara
Kondisi ekonomi masyarakat berbeda-beda, tidak semua keluarga memiliki kemampuan ekonomi yang memadai dan mampu memenuhi segala kebutuhan keluarga. Salah satu pengaruh yang ditimbulkan oleh kondisi ekonomi seperti ini adalah orang tua tidak sanggup menyekolahkan anaknya pada jenjang yang lebih tinggi walaupun mereka mampu membiayainya di tingkat sekolah dasar. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya anak beresiko putus sekolah antara lain adalah: 1. Keadaan Kehidupan Keluarga Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah (pendidikan formal), akan tetapi dapat juga berlangsung di dalam keluarga (pendidikan informal). Keluarga sangat menentukan berhasil tidaknya anak dalam pendidikan, karena pendidikan yang pertama dan utama diterima oleh anak adalah di dalam keluarga. Orang tua bertindak dengan cara yang menunjukkan perilaku anak yang diinginkan dan dapat diterima, baik dalam keluarga dan orang lain. Begitu anak dilahirkan ke dunia masih dalam keadaan yang sangat lemah dan tidak berdaya, pada saat itu sangat membutuhkan bantuan terutama dari kedua orangtua dan anggota keluarga yang lainnya sampai anak menjadi dewasa. Disinilah anak memperoleh bermacam-macam pengetahuan dan pengalaman, baik yang berupa susah, gembira dan kebiasaan-kebiasaan lain, seperti larangan, celaan, pujian dan juga sikap kepemimpinan orang tuanya, kesemuanya ini ikut mempengaruhi jiwa anak, baik secara langsung ataupun tidak langsung (Farmadi, 2004). Keadaan sebuah rumah tangga sangat besar pengaruhnya terhadap proses pendidikan anak, karena di dalam keluarga anak menerima kesan-kesan yang
Universitas Sumatera Utara
merupakan pengalaman pertama setelah seorang anak dilahirkan. Kalau di dalam rumah tangga sering terjadi pertengkaran antara ibu dan ayah, maka ini akan berakibat pada mental si anak dan akan mengakibatkan anak minder dalam pergaulan, sehingga anak akan malas pergi ke sekolah bahkan bisa mengakibatkan anak meninggalkan sekolahnya. Pendidikan dari keluarga sangat menentukan pendidikan yang akan menentukan corak kehidupan anak. Selanjutnya juga tingkat pendidikan orangtua ikut mempengaruhinya. Hal seperti ini sering kita lihat pada keluarga yang mampu ekonominya dan tidak mempunyai pendidikan, belum tentu bisa berhasil dalam masalah pendidikan bagi anak-anaknya. Sebaliknya keadaan keluarga yang ekonominya kurang tetapi banyaknya pengetahuan yang dimiliki maka sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan anak dalam bidang pendidikan. Kemudian kehidupan seorang anak dalam keluarga sangat mendambakan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Hal ini sesuai dengan sumber resiliensi “I Have” (Grotberg, 1995), yaitu orang tua, anggota keluarga lainnya, guru, dan teman-teman yang mengasihi dan menerima anak. Dalam hal ini orang tua dituntut sangat hati-hati dalam memberikan kasih sayang kepada anak-anaknya, agar tidak terlalu dimanjakan. Dalam memberikan kasih sayang kepada anak tidak perlu berlebih-lebihan, karena hal itu dapat menghilangkan rasa tanggung jawab yang ada pada diri anak dan memungkinkan si anak dapat menunjukkan sikapsikap dan cara bertingkah laku yang tidak baik. Apabila seorang anak yang mendapat kasih sayang secara berlebih-lebihan dari keluarganya, maka dalam
Universitas Sumatera Utara
tindakan mereka sering menuruti kata hatinya sendiri. Dengan demikian setiap perbuatan yang mereka lakukan kebanyakan cenderung ke arah yang tidak baik yang dapat menjadikan dirinya sebagai penjahat, pemalas dan sebagainya. Hal ini dapat mengakibatkan anak putus sekolah serta terbengkalai pendidikannya. 2. Keadaan Ekonomi Orang Tua Lemahnya keadaan ekonomi orangtua adalah salah satu penyebab terjadinya anak putus sekolah. Apabila keadaan ekonomi orangtua kurang mampu, maka kebutuhan anak dalam bidang pendidikan tidak dapat terpenuhi dengan baik. Hal ini sudah masuk dalam konsep risk dalam penelitian resiliensi, yaitu
terdapatnya
maladjusment
(ketidakmampuan
menyesuaikan
diri)
dikarenakan kondisi-kondisi yang menekan seperti anak yang tumbuh pada keluarga yang mempunyai status ekonomi rendah. Bila dilihat dari segi perkembangan zaman sekarang, biaya pendidikan yang setiap tahun terus meningkat, kebutuhan pokok masyarakat terus meningkatkan harganya sedangkan mata pencahariannya semakin merosot, sehingga keadaan kehidupan semakin sulit dan melarat. Hal seperti ini akan mengakibatkan anak tidak dapat melanjutkan pendidikannya karena terpaksa membantu orang tua dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Oleh karena itu pendidikan anak terhambat akibat kesibukan-kesibukannya dalam bekerja (Nata, 2003). Pendidikan anak terhambat akibat kesibukan-kesibukannya dalam bekerja sering terjadi di kalangan keluarga yang kurang mampu dan akibatnya pendidikan
Universitas Sumatera Utara
anak terhambat. Dalam hal ini faktor dana dalam dunia pendidikan sangat menentukan. Jika tanpa adanya dana yang cukup, tidak bisa diharapkan untuk mendapatkan pendidikan yang sempurna. Hal seperti inilah yang dapat menjadikan seorang anak menjadi putus sekolah. Masyarakat di pesisir pantai secara umum mempunyai karakteristik yaitu sebagian besar merupakan nelayan tradisional dengan penghasilan pas-pasan, tergolong keluarga miskin yang disebabkan oleh faktor alamiah; yaitu sematamata bergantung pada hasil tangkapan yang bersifat musiman. Faktor non alamiah berupa keterbatasan teknologi alat penangkap ikan sehingga berpengaruh terhadap pendapatan keluarga. Rendahya pendapatan keluarga berdampak terhadap ketersediaan pangan keluarga, ketersediaan rumah yang layak, dan pendidikan yang rendah untuk anak-anaknya (Kusnadi 2003). 3. Keadaan Sekolah Lingkungan sekolah merupakan suatu situasi yang sangat erat kaitannya dengan anak putus sekolah. Dimana sekolah merupakan suatu lembaga atau tempat anak memperoleh pendidikan dan pengetahuan kepada anak, serta berusaha agar anak dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Di sekolah guru mengajarkan seorang anak untuk bisa bertanggung jawab baik untuk dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat. Dalam upaya untuk tercapainya tujuan pendidikan faktor-faktor sarana dan prasarana sangat di butuhkan seperti, fasilitas gedung, ruangan serta alat-alat sekolah lainnya. Sarana adalah penunjang utama dalam hal pendidikan bagi anak, tanpa sarana yang memadai, maka pendidikan anak akan terbengkalai, sedangkan
Universitas Sumatera Utara
di negara Republik Indonesia sarana baik gedung sekolah maupun ruangan sekolah masih adanya kekurangan, jumlah gedung atau ruangan yang ada tidak dapat menampung seluruh aspek usia sekolah, sehingga masih ada anak yang terpaksa meninggalkan masa sekolahnya (Baharuddin, 1982). Selain masalah kurangnya sarana dan alat-alat sekolah, terdapat juga masalah tenaga pengajar, yaitu kurangnya tenaga guru. Guru sangat menentukan untuk terhindarinya anak-anak putus sekolah. Disamping perlu banyaknya jumlah tenaga pengajar juga sangat diperlukan kemampuan dan sifat-sifat seorang guru yang baik. Guru harus sanggup menciptakan suasana yang harmonis. Disekolah para guru dapat memberikan contoh-contoh yang baik dalam proses pendidikan dan pengajaran pada murid (Baharuddin, 1982). Daradjat (1980) guru mempunyai peranan sangat penting dalam pendidikan anak, jika guru tidak ada maka bisa mengakibatkan anak putus sekolah. 4. Keadaan Masyarakat Masalah kehidupan anak bukan saja berlangsung di dalam rumah tangga dan sekolah, tetapi sebahagian besar kehidupannya berada dalam masyarakat yang lebih luas. Kehidupan dalam masyarakat merupakan lingkungan yang ketiga bagi anak yang juga salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan mereka. Karena dalam lingkungan masyarakat inilah anak menerima bermacam-macam pengalaman baik yang sifatnya positif maupun negatif. Hal ini menunjukkan bahwa anak akan memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lain (Harahap, 1981).
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat sangat mempengaruhi perkembangan anak, karena di lingkungan masyarakat terdapat berbagai pengaruh. Pengaruh tersebut ada yang positif dan ada yang negatif yang ditimbulkan dari lingkungan masyarakat. Keadaan anak sejak ia dibesarkan di tengah-tengah masyarakat, maka apa saja yang ditemukan di dalamnya itulah menjadi pedoman yang akan dicontohnya. Sebagaimana diketahui bahwa insting pada anak cukup kuat, sehingga anak akan sangat mudah terpengaruh oleh tindakan-tindakan yang ada di lingkungan di mana ia berada (Harahap, 1981). Masyarakat sebagai ruang gerak dimana para remaja dalam pengembangan diri, menemukan diri dan menetapkan diri, turut berperan dalam memberikan corak khusus sesuai dengan yang masyarakat, namun masyarakat itu sanggup untuk membentuk anak sebagai seorang pilihan dalam masyarakat. Jadi kehidupan manusia
di
dalam
masyarakat terdapat hubungan timbal balik
dalam
mengembangkan, menetapkan dirinya, serta turut berperan dalam memberikan corak yang sesuai dengan kehidupan masyarakat yang ada di lingkungannya (Singgih, 1985). Masyarakat pesisir merupakan suatu komunitas yang hidup di wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya dengan sumberdaya pesisir. Masyarakat pesisir termasuk masyarakat yang masih terbelakang dan berada dalam posisi marginal. Lingkungan masyarakat pesisir sudah mengenalkan cara mendapatkan uang dengan mudah bahkan semenjak anak-anak pun sudah ikut mendapatkan uang dengan mudah untuk mendapatkannya. Disinilah peranan orang tua sangat diharapkan oleh anak
Universitas Sumatera Utara
Apabila orangtua kurang memperhatikan tentang kehidupan anak dalam masyarakat, maka segala tindakan, sikap serta perbuatan masyarakat yang tidak baik dengan mudah akan diterima oleh anak begitu saja. Hal ini disebabkan karena bentuk-bentuk pergaulan dan perbuatan dari suatu masyarakat dapat menyebabkan terjadinya hambatan dan tanggapan terhadap pendidikan anak dan perkataan dari suatu masyarakat dapat menyebabkan terjadinya hambatan dan tantangan terhadap pendidikan anak, dengan demikian cepat atau lambatnya hal tersebut dapat mengakibatkan seorang anak putus sekolah. Berdasarkan keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa terjadinya putus sekolah disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain keadaan ekonomi orang tua yang tidak stabil juga sarana dan prasarana. Sarana dan prasarana adalah salah satu penunjang bagi anak untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi. Kemudian masyarakat merupakan lingkungan yang ketiga bagi anak yang juga salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap pendidikan mereka. Karena dalam lingkungan masyarakat inilah anak menerima bermacammacam pengalaman baik yang sifatnya positif maupun yang sifatnya negatif.
C.
MASYARAKAT PESISIR 1. Definisi Masyarakat Pesisir Pengertian masyarakat pesisir tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat.
Oleh karena itu terlebih dahulu memahami tentang definisi masyarakat. Masyarakat merupakan sekelompok manusia yang telah hidup lama dan bekerja sama, sehingga mereka dapat mengatur diri dan menganggap diri mereka sebagai
Universitas Sumatera Utara
kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu yang diharuskan dengan jelas. Pada hakikatnya pengertian masyarakat mempunyai unsur-unsur sebagai berikut: a) Adanya sejumlah manusia yang hidup bersama. b) Bercampur atau bersamasama untuk waktu yang cukup lama. c) Menyadari bahwa mereka merupakan satu kesatuan. d) Menyadari bahwa mereka bersama-sama diikat oleh perasaan anggota yang satu dengan yang lainnya. e) Menghasilkan suatu kebudayaan tertentu (Audiyahira, 2011). Masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang atau suatu komunitas yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Mereka terdiri dari nelayan pemilik, buruh nelayan, pembudidaya ikan, pedagang ikan, pengolah ikan. Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa transportasi dan lain-lain (Nikijuluw dalam Dietriech, 2001). Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang memiliki tempramental dan karakter watak yang keras dan tidak mudah di atur. Realitas pendidikan di masyarakat pesisir mengalami proses kemunduran, anak-anak menjadi putus sekolah dan lebih memilih bekerja sebagai nelayan untuk mencari nafkah (Audiyahira, 2011).
2. Karakteristik Masyarakat Pesisir Masyarakat di pesisir pantai secara umum mempunyai karakteristik yaitu sebagian besar merupakan nelayan tradisional dengan penghasilan pas-pasan, tergolong keluarga miskin yang disebabkan oleh faktor alamiah; yaitu semata-
Universitas Sumatera Utara
mata bergantung pada hasil tangkapan yang bersifat musiman. Faktor non alamiah berupa keterbatasan teknologi alat penangkap ikan sehingga berpengaruh terhadap pendapatan keluarga. Rendahya pendapatan keluarga berdampak terhadap ketersediaan pangan keluarga, ketersediaan rumah yang layak, dan pendidikan yang rendah untuk anak-anaknya (Kusnadi 2003). Selain itu karakteristik masyarakat pesisir dapat dilihat dari beberapa aspek diantaranya aspek pengetahuan, kepercayaan (teologis), dan posisi nelayan sosial. Dilihat dari aspek pengetahuan, masyarakat pesisir mendapat pengetahuan dari warisan nenek moyangnya misalnya mereka untuk melihat kalender dan penunjuk arah maka mereka menggunakan rasi bintang. Sementara, dilihat dari aspek kepercayaan, masyarakat pesisir masih menganggap bahwa laut memilki kekuatan magic sehingga mereka masih sering melakukan adat pesta laut atau sedekah laut. Namun, dewasa ini sudah ada dari sebagian penduduk yang tidak percaya terhadap adat-adat seperti pesta laut tersebut. Mereka hanya melakukan ritual tersebut hanya untuk formalitas semata. Begitu juga dengan posisi sosial nelayan, pada umumnya nelayan tergolong kasta rendah (Nikijuluw dalam Dietriech, 2001). Karateristik sosial ekonomi masyarakat pesisir dapat dilihat dari faktor mata pencaharian dan lingkungan pemukiman. Mata pencaharian sebagian besar penduduk di wilayah pesisir adalah di sektor pemanfaatan sumberdaya kelautan, seperti nelayan, petani ikan (budidaya tambak dan laut), penambangan pasir, kayu mangrove dll. Sebagian besar penduduk wilayah pesisir memiliki tingkat
Universitas Sumatera Utara
pendidikan yang rendah. Lingkungan pemukiman masyarakat pesisir, khususnya nelayan masih belum tertata dengan baik dan terkesan kumuh (Fakhrudin, 2008). Apabila berbicara tentang karateristik budaya masyarakat pesisir disini akan menyangkut gaya hidup. Gaya hidup masyarakat pesisir ingin mengikuti gaya hidup masyarakat di perkotaan namun tidak sepenuhnya dapat terikuti. Hal ini lebih jelas terlihat dari kalangan generasi mudanya. Selain itu ada istilah “biar rumah condong asal gulai balomak”. Pepatah ini memberi makna bahwa meskipun kondisi rumahmu tumbang asalkan tetap makan enak. Ini merupakan sebuah gambaran penilaian yang sering diberikan oleh pihak luar kepada masyarakat pesisir. Gambaran lain tentang masyarakat pesisir adalah masyarakat pesisir kecenderungan untuk hidup boros. Penghasilan hari ini dihabiskan hari ini juga, sehingga akhirnya nelayan tetap berada dalam keadaan yang tidak baik karena tidak pasti penghasilan yang mereka peroleh dan apakah hari ini atau esok mereka akan memperoleh penghasilan atau tidak terkadang tidak begitu dipikirkan (Nikijuluw dalam Dietriech, 2001). Masyarakat pesisir merupakan suatu komunitas yang hidup di wilayah pesisir dan menggantungkan hidupnya dengan sumberdaya pesisir. Masyarakat pesisir termasuk masyarakat yang masih terbelakang dan berada dalam posisi marginal, masyarakat pesisir tidak mempunyai banyak cara dalam mengatasi masalah yang hadir. Masalah kompleks yang dihadapi masyarakat pesisir adalah kemiskinan, keterbatasan pengetahuan untuk pengelolaan sumberdaya dan teknologi.
Universitas Sumatera Utara
3. Pendidikan Masyarakat Pesisir Pendidikan seharusnya menjadi perhatian penting didalam masyarakat yang diprioritaskan pada masyarakat pesisir, hal ini terbukti dengan tingkat pendidikan yang rendah pada masyarakat pesisir, rata-rata tingkat pendidikan masyarakat pesisir berhenti sampai batas SMP atau SMA saja. Hal ini dipengaruhi dengan beberapa faktor diantaranya yaitu, faktor ekonomi, faktor lingkungan, faktor keluarga (Dahuri, 2004). a. Faktor Ekonomi Kurangnya informasi dan pengetahuan yang menjadikan pola ekonomi masyarakat pesisir menjadi stagnan (tetap pada posisi), sehingga perkembangan ekonomi masyarakat pesisir kurang berkembang. Hal ini disebabkan karena cara mendapatkan penghasilan yang singkat, dalam hal ini adalah sebagai seorang nelayan (untuk mendapatkan penghasilan tanpa harus membutuhkan ijazah atau legalitas dari akademika) dan penghasilan yang selalu digantungkan setiap hari, sehingga mempengaruhi pola keuangan dalam keluarga. Secara sederhananya (pendapatan satu hari dihabiskan untuk satu hari itu) hal ini terjadi karena pemikiran bahwa kekayaaan laut yang terus tersedia setiap harinya, sehingga tidak terlalu untuk memikirkan hari esok. Pola tersebut sulit untuk dikembangkan secara jangka panjang, dengan pola seperti itu kebutuhan pokok lebih dipentingkan
daripada
kebutuhan
pendidikan.
Anggapan
kurang
pentingnya pendidikan dipengaruhi oleh masa depan yang sudah pasti bagi masyarakat pesisir yaitu bekerja sebagai seorang nelayan, selain itu
Universitas Sumatera Utara
kurangnya berkembanganya ekonomi keluarga membuat anak-anak di masyarakat pesisir untuk mandiri (bekerja mencari uang sendiri) daripada menempuh pendidikan. b. Faktor Lingkungan Lingkungan
masyarakat
pesisir
sudah
mengenalkan
cara
mendapatkan uang dengan mudah bahkan semenjak anak-anak pun sudah ikut mendapatkan uang dengan mudah untuk mendapatkannya. Dunia pendidikan yang seharusnya dialami oleh anak-anak di masyarakat pesisir berubah menjadi perilaku selayaknya orang dewasa yang berusaha untuk menghasilkan uang sendiri. Lingkungan anak-anak lebih terbiasa untuk melakukan perilaku orang dewasa. Pola seperti ini mengarahkan anakanak untuk mengisi kesibukanya dengan kegiatan menghasilkan uang sendiri daripada mengisi keseharianya dengan pendidikan. c. Faktor Keluarga Pentingnya peran keluarga dalam melihat pendidikan sebagai hal yang penting terhadap masa depan anaknya. Dalam masyarakat pesisir orang tua menganggap pendidikan kurang penting. Hal ini dapat dilihat ketika anak-anak yang sudah menginjak usia produktif atau 17 tahun ke atas banyak yang disuruh untuk bekerja daripada melanjutkan ke pendidikan yang lebih tinggi. Hal tersebut dipengaruhi oleh pola pikir orangtua yang secara turun-temurun yang lebih mementingkan mencari uang. Selain itu, faktor ekonomi yang kurang membuat orangtua berpikir dua kali untuk menyekolahkan anak-anaknya ke jenjang yang lebih tinggi.
Universitas Sumatera Utara
4. Kemiskinaan Masyarakat Pesisir Secara umum, kemiskinaan masyarakat pesisir disebabkan oleh tidak terpenuhinya hak hak dasar masyarakat, antara lain kebutuhan akan pangan, kesehatan, pendidikan, perkerjaan dan infrastruktur. Selain itu kurangnya kesempatan berusaha, kurangnya akses terhadap informasi, teknologi dan permodalan, budaya dan gaya hidup yang cenderung boros, menyebabkan posisi masyarakat miskin semakin lemah. Pada saat yang sama, kebijakan Pemerintah selama ini kurang berpihak pada masyarakat pesisir sebagai salah satu pemangku kepentingan di wilayah pesisir (Elfindri, 2002).
5. Permasalahan di Masyarakat Pesisir Menurut Dahuri (2001), di dalam pembangunan masyarakat pesisir, sesuai sifat, situasi dan kondisi yang ada, ditemukan berbagai permasalahan sebagai berikut: 1. Desa pantai pada umumnya terisolasi. 2. Sarana pelayanan dasar termasuk prasarana fisik masih terbatas. 3. Kondisi lingkungan kurang terpelihara. 4. Air bersih dan sanitasi jauh dari cukup. 5. Keadaan perumahan umumnya masih jauh dari layak huni. 6. Keterampilan yang dimiliki penduduk umumnya terbatas pada masalah penangkapan ikan sehingga kurang mendukung diversifikasi kegiatan. 7. Pendapatan penduduk rendah.
Universitas Sumatera Utara
8. Peralatan melaut yang dimiliki terbatas. 9. Permasalahan modal. 10. Waktu dan tenaga yang tersita untuk kegiatan penangkapan ikan cukup besar sehingga kurang mempunyai kesempatan untuk mencari usaha tambahan maupun memperhatikan keluarga. 11. Kurang pengetahuan tentang pengelolaan kehidupan ikan maupun siklus hidup biota laut. 12. Pada umumnya keadaan lingkungan alam sekitar pantai kurang mendukung usaha pengembangan kegiatan pertanian. 13. Karena kurangnya waktu senggang, umumnya mereka kurang bergaul, kekeluargaan lemah dan kurang perhatian pada lembaga-lembaga masyarakat di desa maupun dalam pembangunan desanya. 14. Kegiatan ekonomi masyarakat umumnya masih tradisional, terbatas pada satu produk saja yaitu ikan. Dari berbagai permasalahan kehidupan (Risk factor) yang ada di masyarakat pesisir yaitu sebagian besar merupakan nelayan tradisional dengan penghasilan
pas-pasan,
tergolong
keluarga
miskin
dan
sebagian
besar
penduduknya memiliki tingkat pendidikan yang rendah, tentunya hal ini berdampak pada pendidikan yang rendah untuk anak-anaknya sehingga menyebabkan banyaknya anak yang putus sekolah dan beresiko putus sekolah. Ditengah kemiskinan dan kesulitan tersebut, tetap ada siswa yang meneruskan sekolah hingga SMA di masyarakat peisir. Mereka tetap yakin bahwa mereka mampu untuk bertahan dan bangkit dari kondisi tersebut. Hal ini terjadi karena
Universitas Sumatera Utara
minat, motivasi, harapan, dan persepsi siswa tentang sekolah tinggi, lalu persepsi orangtua tentang pendidikan yang tinggi dan bantuan dari pihak sekolah (Protective factors). Hubungan antara Risk factor, Protektive factor itulah yang menciptakan resiliensi. Resiliensi adalah kemampuan siswa untuk mampu bertahan dan tidak mengalah dalam situasi tertekanan, sehingga terhindar dari kegagalan di sekolah dan mampu untuk beradaptasi terhadap kejadian yang berat atau masalah yang terjadi dalam kehidupannya.
Universitas Sumatera Utara