BAB II LANDASAN FILOSOFIS PERADILAN MILITER DALAM KEPENTINGAN PENYELENGGARAAN PERTAHANAN KEAMANAN NEGARA
Dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-undang No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer disebutkan : (1) Peradilan Militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara. (2) Oditurat merupakan Badan Pelaksana kekuasaan pemerintahan negara di bidang penuntutan dan penyidikan di lingkungan Angkatan Bersenjata berdasarkan
pelimpahan
dari
Panglima
dengan
memperhatikan
kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara. Teori yang digunakan dalam mengkaji permasalahan ini terdiri atas 5 Teori umum : Pertama Teori Lawrence Friedman tentang sistim hukum. Kedua Kedaulatan dan Hukum. Ketiga Teori Kedaulatan Negara. Keempat Teori Fungsi Negara, dan Kelima Teori Benhard Grossfeld dalam buku “The Strength and Weak Ness of Comparative Law”. Ada ahli yang menggolongkan sistem peradilan militer didasarkan pada tiga sistem hukum yang berlaku di dunia mi, yaitu common law system, roman law system dan socialist law system. Namun beberapa ahli yang lain menggolongkan sistim peradilan militer berdasarkan kewenangan mengadili atau
Universitas Sumatera Utara
jurisdiksi dan pengadilan militer itu sendiri menjadi empat golongan yaitu (1) peradilan militer mempunyai yurisdiksi bersifat umum, (2) Peradilan militer mempunyai yurisdiksi umum yang berlaku secara temporer, (3) Peradilan militer mempunyai yurisdiksi terbatas pada kejahatan militer dan (4) peradilan militer mempunyai yurisdiksi hanya pada saat perang atau operasi militer. Selain penggolongan ini masih ada sistem penggolongan yang lain. Kebanyakan peradilan di berbagai negara lebih menganut pada sistem peradilan militer yang berwenang mengadili kejahatan secara umum. Sistem peradilan militer di Indonesia saat ini lebih menganut pada system dimana peradilan militer mempunyai yurisdiksi yang bersifat umum yaitu berwenang mengadili kejahatan umum dan kejahatan sipil disamping kejahatan militer. Namun demikian yurisdiksi peradilan militer tersebut tidak murni lagi seperti penggolongan yang pertama. Hal ini terjadi setelah lahirnya UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dimana berdasarkan ketentuan tersebut kejahatan HAM Berat yang dilakukan oleh Prajurit TNI diadili Pengadilan HAM. Kemudian diikuti oleh Pandangan tentang Perang : Sejak perang dunia kedua, kemudian disusul berakhirnya perang dingin yang disimbolkan robohnya tembok Berlin tahun 1989 dan rumah tangga negara adidaya Uni Soviet, otomatis eksistensi Pakta Warsawa ikut bubar, masyarakat dunia pun mempunyai harapan besar akan datangnya perdamaian abadi di dunia. Amerika Serikat dan para sekutunya yang didukung aliansi kekuatan militer Nato keluar sebagai pemenang tanpa harus melalui proses perang. Sejak
Universitas Sumatera Utara
itu pula terjadi pergeseran pandangan mengenai konsepsi pertahanan dan keamanan pada masing-masing negara di dunia. Perang dianggapnya sebagai sesuatu yang sudah usang (old sashioned). Maka lahirlah cara baru globalisasi yang lebih membawa muatan misi ekonomi yang terlepas dari carut marut persoalan politik dan militer suasana Indonesia pun ikut terbawa oleh perubahan dinamika politik internasional tersebut. Pemerintah dan khususnya Departemen Pertahanan sibuk mencari rumusan yang ideal. 23
Praktek Peradilan Militer di Beberapa Negara Malaysia Sistem peradilan umum di Malaysia tidak membedakan pelaku perbuatan pidana. Oleh karena itu baik orang sipil maupun militer yang terlibat dalam pelanggaran hukum pidana umum diadili oleh pengadilan pidana sipil. Indepensi badan peradilan ini telah ditegaskan dalam konstitutis Federal. 24 Permasalahan yang berkaitan dengan kedinasan dan pelanggaran hukum disiplin bagi anggota Angkatan Bersenjata Malaysia diatur dalam Law of Malaysia Act 77, disebut juga Armed Forces Act, 1972 dan ketentuan ini berlaku khusus bagi anggota Angkatan Bersenjata. 25 Kondisi Peradilan di Malaysia adanya pemisahan antara pelanggaran terhadap ketentuan (pidana) umum oleh militer (civil offerenses commited by
23
Kerbiantoro H.S. Mayjen (Purn), Rudianto Dody MM, Rekonstruksi Pertahanan Indonesia, Jakarta : PT Golden Terayon Press, 2006, cet. 1. 24 Marcus Priyo Gunarto, Redefinisi Perbuatan Pidana pada Peradilan Militer, Makalah disampaikan pada Semiloka Implikasi Reposisi TNI-Polri di Bidang Hukum, FH UGM, Yogyakarta : 22 – 23 Nopember 2000, hal. 5 - 6 25 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
military), akan diadili oleh peradilan umum/sipil, sedangkan pelanggaran yang berkaitan dengan tugas dan atau jabatan kemiliteran akan diadili oleh peradilan militer.
26
Amerika Serikat Sistem Peradilan Militer di Amerikan Serikat merupakan sistem yang paling luas dalam memproses kejahatan, seperti disampaikan Charles A. Shanor and L. Lynn Hoque dalam bukunya National Security and Military Law selama perang dunia kedua hampir dua juta kasus yang diselesaikan melalui peradilan militer. Pada tahun 2001 ada sekitar 1753 kasus yang disidangkan pada Peradilan Militer dengan rincian, 4848 kasus pada Angkatan Laut, 1799 kasus pada Angkatan Darat, 956 kasus pada Angkatan Udara dan 50 kasus pada Penjaga Pantai (Coast quard). 27 Dalam beberapa hal sistem Peradilan Militer paralel dengan sistem peradilan sipil pada negara bagian dan negara Federal. Demikian juga Hukum Militer baik secara substansi maupun secara hierarkhi, konstitusi berada paling puncak kemudian hukum perundang-undangan federal, dan peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden, Menteri Pertahanan dan masing-masing Angkatan serta yang dikeluarkan Menteri Pertahanan dan masing-masing Angkatan serta yang dikeluarkan para komandan. Secara prosedural juga hampir sama dengan pengadilan sipil, yaitu terdiri dari pengadilan militer tingkat pertama dan tingkat banding dua. Tingkat banding 26
Ibid. Tiarsen Buaton, Sistem Peradilan Militer Amerika Serikat, Jurnal Hukum, Pusat Studi Hukum Militer Sekolah Tinggi Hukum Militer, Jakarta, 2006, hal. 41. 27
Universitas Sumatera Utara
pertama hakimnya terdiri dari hakim militer dan banding tingkat kedua hakimnya terdiri dari hakim sipil, putusan banding terakhir dapat ditinjau kembali oleh Mahkamah Agung. Sumber hukum militer adalah Uniform Code of Military Justice (UCMU) dan Manual for Court-Martial (MCM), ketentuan lain yaitu Rules for courtMartial (RCM), Military Rules of Evidence (MRE). 28 Pelanggaran atau kejahatan militer dapat diproses melalui tindakan disiplin (Nonjudicial Measures), Hukuman disiplin (Nonjudicial punishement) dan pengadilan Militer. 29 a. Tindakan disiplin Tujuan dari tindakan disiplin ini bukanlah sebagai hukum tetapi sebagai tindakan koreksi terhadap kekurangan prajurit, komandan atau atasan yang bertanggung jawab diberikan wewenang untuk menjatuhkan tindakan disiplin untuk menegakkan ketertiban dan disiplin. b. Hukum disiplin Diatur
dalam
Pasal
15
UCMJ
komandan
diberi
kewenangan
menjatuhkan hukuman disiplin tanpa adanya intervensi dari pengadilan militer terhadap pelanggaran ringan dimana tindakan disiplin dianggap tidak memadai. Hal ini dalam menjaga agar moral dan disiplin prajurit tidak menurun.
28
PLT, Sihombing, Perbandingan Sistem Peradilan Militer dengan Amerika Serikat, Makalah disampaikan pada Workshop Peradilan. 29 Tiarsen loc. cit.
Universitas Sumatera Utara
c. Peradilan Militer terdiri dari : 1) Pengadilan Militer Singkat Pengadilan ini terbatas hanya mengadili prajurit berpangkat tamtama dan hukuman yang dijatuhkan terbatas pada hukuman penjara tidak lebih dari satu bulan, hukuman kerja paksa tidak lebih dari 45 hari serta pemotongan gaji tidak lebih dari 2/3 (dua pertiga gaji), Peradilan Militer Singkat ini hanya dilakukan oleh seorang hakim perwira yang juga bertindak sebagai oditur dan pembela. 2) Pengadilan Militer Khusus Pengadilan Militer khusus merupakan pengadilan militer yang berbeda dari Peradilan Militer Singkat dengan Peradilan Militer Umum. Hukuman maksimum yang dapat dijatuhkan adalah pemberhentian karena perilaku buruk, penjara tidak lebih dari 1 tahun, kerja berat tanpa penahanan tidak lebih dari 3 bulan dan pemotongan gaji tidak lebih dari 2/3 gaji selama maksimum1 tahun. Peradilan Militer khusus terdiri dari 1 orang perwira sebagai hakim militer dan minimal 3 anggota sebagai juri. 3) Pengadilan Militer Umum Pengadilan Umum mempunyai kewenangan untuk mengadili setiap orang yang tunduk pada UCMJ atas setiap pelanggaran yang diancam pidana berdasarkan UCMJ. Apabila pemerintah sipil digantikan oleh pendudukan militer, Peradilan Militer Umum dapat mengadili setiap orang yang tunduk pada pengadilan militer sesuai hukum perang dan
Universitas Sumatera Utara
juga dapat menjatuhkan semua jenis hukuman termasuk hukuman mati. Prosedur Pengadilan Militer Umum adalah semua pengacara yang terlibat dalam persidangan adalah pengacara militer yang telah bersertifikat dan hakim militer adalah hakim yang diangkat dan disumpah. Juridiksi Pengadilan Militer pada dasarnya ditentukan berdasarkan pada : 1) Subjek Peradilan Militer berwenang mengadili anggota Militer, penjahat perang, orang yang melakukan serangan pada daerah pendudukan. 2) Perbuatannya Pengadilan Militer berwenang mengadili semua kejahatan Militer yang diatur UCMJ dan kejahatan yang terdapat dalam hukum pidana lainnya. 3) Locus delictinya. Pengadilan Militer berwenang mengadili kejahatan yang dilakukan militer Amerika Serikat yang terjadi pada instalasi Militer, kejahatan yang terjadi di negara lain dan kejahatan yang terjadi dalam wilayah pendudukan. Dalam proses pengadilan militer, Perwira penyerah perkara berwenang melimpahkan ke pengadilan apabila berdasarkan pemeriksaan pendahuluan dianggap sebagai pelanggaran pendahuluan dianggap sebagai pelanggaran yang cukup serius. Pasal 22 UCMJ, yang dapat menjadi Perwira penyerah perkara pada Peradilan Milter Umum adalah perwira senior seperti Komandan Teretorial, Komandan Devisi, Komandan Brigade yang berdiri sendiri,
Universitas Sumatera Utara
Komandan Kamando Udara, Komandan Armada Laut, Presiden Amerika Serikat, Menteri Pertahanan, Perwira yang diangkat oleh Preseiden atau Menteri Pertahanan. Sedangkan pasal 23 UCMJ Papera untuk Pengadilan Militer khusus selain disebut di atas dapat juga Komandan Distrik, Komandan Garnisun, Komandan Kamp, Komandan Group, Komandan Skuardron, Komandan Pangkalan. Selanjutnya Papera untuk Pengadilan Militer Singkat terdiri dari semua Papera yang disebut di atas ditambah dengan Komandan Kompi berdiri sendiri. Belanda Perbuatan pidana yang diadili di lingkungan Peradilan Militer adalah pelanggaran Wetboek van Militaire Strafrecht (WvMSr) dan Oorlog Wet yang di dalamnya juga meliputi beberapa perbuatan pidana umum, sebagaimana diatur dalam MvS. Dengan demikian, di Belanda Peradilan Militer juga mengadili perbuatan pidana umum yang dilakukan oleh anggota militer. Menurut Marcus, hal yang menarik dan berbeda dengan negara lainnya adalah tata cara peradilan yaitu : Tata cara Peradilan Militer Belanda telah mengalami beberapakali perubahan. Tahun 1945 sampai dengan tahun 1965 yang menjadi central figure dalam penyelidikan adalah Komandan di atasnya, pelakanaannya harus diberitahukan kepada Komandan Jenderal. Komandan Jenderal kemudian akan membentuk sebuah komisi yang terdiri dari beberapa perwira untuk
Universitas Sumatera Utara
memutuskan apakah perkara akan diteruskan atau tidak. Apabila diteruskan Komandan Jenderal akan meminta kepada Jaksa Penuntut Umum untuk membuat dokumen (berita acara). Sedangkan hakim yang akan memeriksa ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Militer berdasarkan advis dari Komandan Jnderal. Sesudah tahun 1965 yang melakukan penyelidikan adalah Polisi khusus yang dikenal dengan Marechaussea atas kuasa Menteri Pertahanan meminta kepada Jaksa Agung untuk menentukan Fiscal (untuk Angkatan Laut) atau Auditeur Generale (untuk Angkatan Udara dan Angkatan Darat). Susunan Hakim Militer dengan 1 hakim sipil sebagai Ketua Majelis. Sesudah tahun 1991 susunan majelis hakim dalam Peradilan Militer teridir dari 2 hakim sipil dan 1 hakim militer. Sedangkan susunan majelis hakim pada Mahkamah Militer Agung terdiri atas Ketua dan Wakil Ketua Majelis dari hakim sipil dan 3 anggota hakim militer. 30 a. Teori Kedaulatan dan Hukum Kedaulatan rakyat adalah salah satu fokus perhatian penting yang muncul pada saat BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) mengadakan sidang I (29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945) yang menampilkan 3 orang pembicara yaitu: Soepomo, M. Jamin, dan Soekarno. Mereka masing-masing mengemukakan Dasar negara Indonesia yang akhirnya diberi nama Pancasila. PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) merumuskan Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. Sebagai
30
Marcus Priyo Gunatro, loc. cit., hal. 9 - 10
Universitas Sumatera Utara
negara yang merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, Negara Indonesia perlu mempelajari konsep-konsep kedaulatan dan negara-negara lain yang telah lebih dahulu berdiri. Hasil dan pengkajian dan diskusi inilah yang kemudian menjadi konsep Kedaulatan Rakyat Indonesia menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Selanjutnya tulisan ini hanya akan dibahas secara konsepsional. Konsepsional yang dimaksud adalah pembahasan didasarkan pada isi UUD 1945 dan sila-sila Pancasila secara teori (konsep). Menurut Hans Kelsen Teori mengenai negara maka jalan yang paling baik ialah meninjau persoalan tersebut semata-mata dari sudut hukum saja. Tiap peninjauan negara, organisasi negara hendaklah dimulai dengan peninjauan dari sudut hukum. Hans Kelsen menganggap lahirnya suatu negara sebagai suatu pernyataan yang sederhana yang tak dapat dimasukkan dalam hal-hal yang Yurusdiksi. Generasi yang menjalankan negeri kita saat ini memang bukanlah mereka yang bermandikan peluh dan darah dalam memperjuangkan kemerdekaan. Bila tidak kita lestarikan, bisa saja apa yang sudah ada hanya menjadi sebuah tontonan tanpa suatu arti. Satu-satunya jalan agar sebuah perjuangan itu tidak padam adalah dengan mengingat apa yang terjadi di Indonesia dahulu kala. Akibat kemajuan, api revolusi kemerdekaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan di negeri ini sudah dapat kita rasakan dan hargai. Perjuangan merebut dan menegakkan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia melahirkan dan membentuk Tentara Nasional Indonesia
Universitas Sumatera Utara
(TNI) sebagai penjelmaan rakyat Indonesia yang melakukan perlawanan bersenjata terhadap penjajah, dengan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) sebagai intinya. Bersamaan dengan itu, terbentuk pula tradisi kepejuangan prajurit Indonesia yang manunggal dengan rakyat, rela berkorban, percaya pada kekuatan sendiri, dan tidak mengenal menyerah. Tradisi itulah yang kemudian dikukuhkan sebagai kode etik prajurit ABRI, yaitu Sapta Marga, sebagai pencerminan tekad dan kepribadian prajurit ABRI seutuhnya, yaitu pejuang prajurit dan prajurit pejuang. Disamping melahirkan dan membentuk TNI sebagai wadah pengabdian, pengalaman perjuangan kemerdekaan Indonesia telah pula keyakinan yang kuat tentang hakikat Pertahanan Keamanan Negara (Hamkamneg), yaitu perlawanan rakyat semesta, yang dilaksanakan dengan sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata). TNI beserta cadangannya, yang menjadi komponen utama kekuatan Hankamneg dalam Sishankamrata, dibina sebagai kekuatan siap yang relative kecil namun efektif dan efesien, serta memiliki mobilitas yang tinggi dan kekuatan cadangan yang cukup. Pembinaan prajurit ABRI harus mengacu kepada tetap lestarinya tradisi keperjuangan, sehingga mampu mengemban setiap tugas yang dibebankan kepadanya, baik sebagai kekuatan pertahanan maupun keamanan Negara. Dalam pada itu, pembinaan prajurit ABRI merupakan salah satu fungsi komando yang menjadi tanggung jawab setiap Komandan/Pimpinan satuan ABR1 yang bersangkutan, mulai dan yang terendah sampai yang tertinggi. Perlu tidaknya Hukum Militer erat hubungannya dengan persoalan ada tidaknya perbedaan antara Hukum Umum dan Hukum Militer. Dan ada tidaknya
Universitas Sumatera Utara
perbedaan fungsi ini tergantung dan pada ada tidaknya perbedaan kedudukan atau tugas kewajiban antara orang preman (bukan militer) dengan orang militer. 31 Orang militer harus mengabdikan kemauannya sendiri kepada kemauan orang lain, kepada kemauan Angkatan Bersenjata. Untuk itu jika perlu, dia harus mengenyampingkan perasaan-perasaan, pendapat-pendapat serta kepentingankepentingan pribadinya. Sifat menurut dan menjadikan kemauan sendiri kepada kemauan orang lain, harus dipelajari dan dipelihara. Untuk memudahkannya maka setiap militer diwajibkan untuk menghormati atasannya dan menghargai bawahannya. 32 Itulah kewajiban-kewajiban khusus yang terutama dan pada seorang militer. Secara praktis dapat dikatakan bahwa semua kewajiban-kewajiban lainnya dan pada seorang militer dapat dikembalikan kepada kedua kewajiban utama
tadi.
Melalaikan
kewajiban-kewajiban
tersebut
mungkin
dapat
mengakibatkan suatu malapetaka bagi kelanjutan kehidupan Negara dan Bangsa. 33
Oleh karena itu bagaimana yurisdiksi yang dimaksud “Pelanggaran Hukum
Pidana” yang terdapat dalam Pasal 65 ayat (2) dan (3) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI hal ini berkaitan dengan tindak pidana dan kompetensi mengadili. b. Teori Kedaulatan Kedaulatan rakyat sesungguhnya merupakan salah satu dan sekian banyak teori kedaulatan. Di samping teori kedaulatan rakyat, dikenal juga teori
31
Himpunan Kuliah Militer, Oleh Brigjen A. Tambunan, Jakarta, 1990. Ibid, ha 9. 33 Ibid, ha 9. 32
Universitas Sumatera Utara
kedaulatan Tuhan, kedaulatan raja, Kedaulatan negara dan kedaulatan hukum. Jenis teori kedaulatan yang dianut suatu negara biasanya dapat diamati dan dasar negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan, dan sistem hukumnya. Dapat juga terjadi, tidak hanya satu teori kedaulatan yang dianut oleh suatu negara, tetapi gabungan atau kombinasi dan beberapa teori sekaligus. Indonesia misalnya, termasuk negara yang menganut lebih dan satu teori kedaulatan. Dalam pembukaan UUD 1945 dinyatakan, bahwa kemerdekaan didasarkan atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Hal ini mengandung pengakuan akan kekuasaan Tuhan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas makhluk hidup dan segenap ciptaan-Nya. Dengan demikian, Tuhan memiliki kedaulatan. Selanjutnya disinggung pula tentang Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dan dalam pasal 1 ayat 2 UUD 1945 ditegaskan tentang kedaulatan ada di tangan rakyat. Pasal 3 UUD 1945 menyatakan: “Oleh karena Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR) memegang kedaulatan negara, maka kekuasaannya tidak terbatas,..,”. Penjelasan tersebut menyinggung tentang kedaulatan negara. Kemudian Penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara, kunci pokok yang pertama menegaskan bahwa Negara Indonesia berdasar atas hukum (rechstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machstaat). Ini berarti Negara Indonesia juga menganut teori kedaulatan hukum, demikian juga dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 45 secara tegas dituliskan : “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dalam ilmu hukum dan filsafat hukum, kasus mengenai istilah kedaulatan rakyat dikaitkan dengan permasalahan : mengapa orang menaati
Universitas Sumatera Utara
hukum. Permasalahan tersebut dapat dirumuskan dengan perkataan lain: “Siapa yang menjadi sumber hukum utama dalam negara itu?” Jawaban atas pertanyaan itu melahirkan banyak teori kedaulatan, seperti kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Rakyat, kedaulatan negara, dan kedaulatan hukum. Demikian pula dalam hukum tata negara, masalah kedaulatan ini juga muncul dalam konteks pembicaraan serupa tentang siapa yang memegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Konsep kedaulatan rakyat ini sering kali diidentikkan dengan konsep demokrasi. Secara etimologis, demokrasi (demos = rakyat, kratos/kratein kekuasaan/berkuasa). Lengkapnya, dapat dikatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Pengertian kekuasaan sendiri menurut definisi yang telah diterima secara umum adalah kemampuan seseorang/ sekelompok orang/ suatu badan untuk mempengaruhi orang lain agar bersikap/bertindak sesuai dengan keinginan yang memiliki kemampuan itu. Kekuasaan harus pula dibedakan dengan kewenangan. Kewenangan adalah kekuasaan yang ada pada seseorang/ sekelompok orang yang mempunyai dukungan/ mendapat pengakuan dan masyarakat. Dengan demikian, demokrasi sesungguhnya lebih luas cakupannya daripada kedaulatan rakyat. Demokrasi dalam arti material adalah segala kewenangan yang dimiliki rakyat. Dalam arti formal, demokrasi berkaitan dengan tata cara rakyat dalam melaksanakan kewenangan itu. Jelaslah, bahwa kedaulatan rakyat adalah salah satu unsur penting dalam demokrasi. Kedaulatan rakyat sendiri merupakan suatu konsep ketatanegaraan yang dianut banyak negara. Konsep kedaulatan dalam alam pikiran modern pertama
Universitas Sumatera Utara
kali dikemukakan oleh Jean Bodin, melanjutkan apa yang dikemukakan oleh Machiaveli. Selanjutnya, konsep ini terus berkembang dan tercatat beberapa nama penting disinggung setiap kali berbicara tentang Kedaulatan Rakyat, yaitu Thomas Hobbes, John Locke dan Jean Jacques Rousseau. Konsep tersebut dikembangkan sebagai reaksi atas kekuasaan yang terlalu besar dan kaum penguasa negara dan gereja, khusus pada abad pertengahan di Eropa. Paham perjanjian yang dikemukakan Thomas Hobbes berangkat dan perjanjian antar individu untuk melahirkan suatu negara. Dalam perjanjian itu, para individu yang selalu bertikai itu menyerahkan semua hak mereka kepada negara. ini berarti perjanjian yang dilakukan bukan antara individu dengan negara, sebab negara adalah buah dari perjanjian itu, dan tidak mempunyai kewajiban apapun terhadap para individu. Negara adalah “manusia buatan”, atau Sang Leviatan sebagaimana judul yang diberikan Thomas Hobbes atas bukunya. Negara mempunyai kehidupan dan kehendak sendiri. Sang Leviatan ini dapat saja mati/bubar, tetapi selama ia ada, selama itu pula ia berkuasa dan berwenang mutlak menyerupai Tuhan. Hobbes bahkan juga mengatakan, bahwa negara itu ibarat “Tuhan yang dapat mati”. Paham ini melahirkan absolutisme negara, yang dalam prakteknya berarti bukan pula absolutisme penguasa negara (raja). Hobbes bukan tidak menyadari jika absolutisme ini dapat saja disalahgunakan oleh penguasa. Untuk itu ia menyatakan penguasa masih mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab kepada Tuhan, karena kekuasaan yang diperolehnya berasal dan Tuhan, bukan dan masyarakat Landasan moral inilah satu-satunya pembatas yang dapat
Universitas Sumatera Utara
menghindarkan negara dan kesewenang-wenangan. John Locke secara tidak langsung memberi reaksi atas pemikiran Hobbes tersebut. Jika Hobbes berpendapat bahwa individu-individu senantiasa bertikai, Locke sebaliknya mengatakan bahwa manusia itu pada awalnya hidup dalam kedamaian. Situasi ini baru berubah setelah manusia mulai diperdayai oleh materi, termasuk masalah tanah. Untuk melindungi hak milik inilah yang membuat para individu bersepakat mendirikan negara. Hak milik ini meliputi pula hak-hak asasi manusia yang paling utama, seperti hak untuk hidup dan kebebasan. Para individu yang mengadakan perjanjian tersebut kemudian menyerahkan 2 haknya kepada negara, yaitu: 1. Hak untuk menentukan sendiri bagaimana mempertahankan din dan dan orang-orang lain. 2. Hak untuk menghukum seorang pelanggar hukum menurut aturan hukum kodrat. Kekuasaan negara dengan demikian, terbatas pada tujuan penegakan 2 hak itu saja. Urusan yang pribadi adalah hal individu yang bersangkutan, yang tidak perlu dicampuri oleh negara. Pemikiran ini lebih jauh melahirkan paham negara sebagai penjaga malam (nachtwakerstaat). Kekuasaan negara tidaklah tak terbatas. Kekuasaan yang dimiliki negara datang dari para individu yang membuat perjanjian, bukan dari Tuhan seperti teori Hobbes. Pembatasan kekuasaan negara ini dimuat dalam
Universitas Sumatera Utara
konstitusi. John Locke membagi kekuasaan ini menjadi 3 fungsi, yaitu legislatif, eksekutif, dan federatif (hubungan luar negeri). Menurut Locke, kekuasaan yang tertinggi ada di tangan legislatif, yaitu parlemen. Sayangnya ia tidak merekomendasikan parlemen yang benar-benar dapat menggambarkan kedaulatan rakyat, walaupun ia menyatakan konstitusi negara harus menganut prinsip mayoritas yang berarti didukung oleh kesepakatan sebagian besar masyarakat. Kenyataannya, para parlemen di Inggris tidak lebih daripada representasikan golongan pemilik modal dan kaum bangsawan, bukan rakyat kebanyakan. Pembagian kekuasaan ini (negara) dan Locke dikembangkan oleh Montesquieu dengan menyebut 3 fungsi yaitu legislative, eksekutif, dan yudikatif. Fungsi federatif dimasukkannya dalam eksekutif. Tokoh terakhir yang akan disinggung berikut adalah Jean Jacques Rousseau. Ia menentang keras absolutisme negara. Menurutnya, setiap individu memiliki kehendaknya sendiri, tetapi di sisi lain juga ada kepentingan para individu untuk menjaga hubungan sosial. Hal terakhir ini disebut kehendak umum (volonte generale), dan tugas negara adalah menjalankan kehendak umum dari rakyat itu. Ini berarti kehendak rakyat identik dengan kehendak negara. Rakyat yang memiliki negara, bukan penguasa. Rakyatlah pemilik kedaulatan. Dalam hal ini tidak ada satupun hak-hak rakyat yang diserahkan kepada negara. Sampai di sini pemikiran Rosseau dapat kita terima. Hanya kemudian, sebagai konsekuensi pendapatnya tentang identifikasi negara dan rakyat. Rosseau menolak keberadaan lembaga perwakilan. Menurutnya, rakyat tidak dapat
Universitas Sumatera Utara
diwakili. Bila diadakan pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat, itu artinya sama dengan mengasingkan negara dan rakyat. Untuk menjaga kemurnian kehendak rakyat itu, tidak ada jalan lain kecuali mengajak rakyat seluruhnya bersama masyarakat menyuarakan kehendaknya dan mencantumkan dalam undang-undang. Gagasan Rosseau ini tentu suatu utopia untuk dapat dilaksanakan, bahkan bagi negara Perancis ketika Rosseau hidup. Paham negara persatuan yang dianut oleh bangsa Indonesia sepintas agak menyerupai pemikiran Rosseau ini. Hanya saja pemikiran Rosseau tentang perlindungan hak-hak individu tentu saja tidak sejalan dengan pandangan Indonesia. Karena rakyat identik dengan negara, berarti negara (rakyat) tidak perlu membatasi kekuasaan yang dimilikinya sendiri. Konsekuensinya, wujud final pemikiran Rosseau untuk menolak Kedaulatan Rakyat Menurut Pancasila Dan UUD 1945 Pengertian demokrasi meliputi cakupan yang lebih luas daripada kedaulatan rakyat. Istilah yang disebut terakhir ini adalah segi material demokrasi. Bagi Negara Indonesia, perbedaan antara demokrasi dalam arti material dan formal tersebut dapat diamati dan kata-kata dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 :“... maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan
Universitas Sumatera Utara
suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 ini merupakan prinsip apa yang dinamakan “Demokrasi Pancasila” Dinamakan Demokrasi Pancasila karena berdasarkan pada lima sila Pancasila secara bulat utuh (sebagai landasan idiil dan tentu saja dengan sendirinya berdasar kepada UUD 45 sebagai landasan konstitusional). Demokrasi Pancasila meliputi segala aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Artinya demokrasi yang dimaksud tidak saja meliputi demokrasi politik, namun juga demokrasi di bidang ekonomi dan sosial, sebagaimana dapat di perhatikan dalam pasal 27-32 dan pasal 34 UUD 1945. Reaksi yang sama dengan alinea ke-4 Pembukaan UUD 1945 juga ditemukan pada Pokok Pikiran ke-3 Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan tentang negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan/ perwakilan. Kata “berkedaulatan rakyat” di atas menunjukkan demokrasi dalam arti
materialnya,
kebijaksanaan
sedangkan
dalam
“kerakyatan
yang
permusyawaratan/perwakilan”
dipimpin atau
oleh
hikmat
“kerakyatan
dan
permusyawaratan” mengandung pengertian demokrasi material itu dilaksanakan. Tata cara yang dimaksud antara lain dinyatakan dalam Pasal 2 ayat 3 UUD 1945, yakni dengan suara terbanyak. Pengertian suara terbanyak di sini identik dengan kewajiban melakukan voting. Istilah “kerakyatan” di atas menunjukkan, bahwa segala sesuatu berasal dan rakyat, dilaksanakan oleh rakyat, dan diperuntukkan bagi rakyat. Kata “perwakilan” menunjukkan bahwa demokrasi yang dianut bangsa Indonesia pada dasarnya dilaksanakan melalui wakil-wakil rakyat.
Universitas Sumatera Utara
“Hikmat kebijaksanaan” berarti kearifan dalam mengambil keputusan melalui permusyawaratan. Kearifan inilah yang memimpin seseorang dalam mengambil keputusan bersama di atas kepentingan perorangan/golongan. “permusyawanahan” menunjukkan
adanya
pembicaraan
dan
wakil-wakil
rakyat
yang
ingin
memperoleh keputusan atau kesepakatan bersama secara arif bijaksana mengenai suatu masalah. Istilah yang lazim dipakai untuk itu ialah “bermusyawarah untuk mencapai mufakat”. Juga telah disinggung sebelum bahwa sistem pemerintahan negara dapat menjadi indikator teori kedaulatan apa yang dianut negara tersebut. Demikian pula apabila kita menyatakan, bahwa. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat, dapat diketahui dan salah satu indikator itu. Dalam UUD 1945 dinyatakan, bahwa sistem pemerintahan negara berpegang kepada tujuh prinsip, yaitu: 1. Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum (rechs taat). 2. Sistem konstitusional. 3. Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan MPR. 4. Presiden ialah penyelenggara pemerintahan negara tertinggi di bawah Majelis. 5. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. 6. Menteri negara ialah pembantu Presiden, Menteri negara tidak bertanggung jawab kepada DPR. 7. Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas. Dalam uraian selanjutnya tidak akan disinggung tujuh prinsip itu satu demi satu. Berikut ini diberikan gambaran secara umum dan singkat atas tujuh
Universitas Sumatera Utara
prinsip tersebut, yang dapat menunjukkan keterkaitannya dengan konsep kedaulatan rakyat bagi negara Republik Indonesia. Jika mengacu pada teori-teori perjanjian seperti yang telah diuraikan di muka negara Indonesia ini sebenarnya juga didirikan oleh rakyat dengan suatu “perjanjian”. Perjanjian yang dimaksudkan melalui suatu proses perjuangan yang panjang, yang kemudian mencapai puncaknya dengan Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945. Dengan perantaraan pejuang-pejuang bangsa itu pula, satu hari kemudian, tanggal 18 Agustus 1945 disahkan UUD 1945. Undang-Undang Dasar ini memuat hukum dasar yang tertulis. Pembukaan UUD 1945 sebagai pernyataan kemerdekaan yang terperinci, yang mengandung cita-cita luhur Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Dan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumber dan segala sumber hukum yang meliputi pandangan hidup, kesadaran dan cita hukum, cita-cita moral
yang
mengenai
kemerdekaan
individu,
kemerdekaan
bangsa,
perikemanusiaan, keadilan sosial, perdamaian nasional, cita-cita politik mengenai sifat, bentuk dan tujuan negara, kehidupan kemasyarakatan, keagamaan sebagai pengejawantahan budi nurani manusia telah dimurnikan dan dipadatkan menjadi dasar negara Pancasila. Pancasila yang menjiwai Prokiamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, diuraikan terinci dalam Pembukaan UUD 1945 yang mengandung pokok-pokok pikiran dan selanjutnya dijabarkan dalam pasal-pasal dan Batang Tubuh UUD 1945. Apa yang dicantumkan dalam UUD 1945 inipun hanya berupa aturan-aturan pokok, yang mempunyai garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara negara untuk menyelenggarakan
Universitas Sumatera Utara
kehidupan negara dan kesejahteraan sosial. Dalam hal in ketentuan dalam UUD 1945 perlu dikonkretkan lagi dalam produk hukum yang lebih rendah tingkatannya. Tata urutan peraturan perundang-undangan ini dimuat dalam UU No. 10 tahun 2004. Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan itu berlaku asas hukum lex superior derogat legi inferiori, yang berarti peraturan yang lebih rendah tingkatannya tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi. Karena UUD 1945 merupakan hukum dasar yang tinggi, maka semua peraturan yang lebih rendah itu harus tunduk kepadanya. Telah disinggung sebelumnya, bahwa berbeda dengan teori Jean Jacques Rosseau, bagi bangsa Indonesia, kedaulatan rakyat ini dipercayakan pelaksanaannya kepada suatu badan perwakilan yang kita sebut Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR). Pembukaan UUD 1945 menyatakan tentang Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat, yang kemudian dalam Pokok Pikiran ke3 dan Pembukaan yang tercantum dalam Penjelasan UUD 1945 diulangi lagi dan kemudian ditegaskan dengan katakata “Oleh karena itu, sistem negara yang terbentuk dalam Undang-Undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan/ perwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.” Kita mengetahui bahwa Pokok Pikiran ke-3 yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 tersebut tidak lain adalah sila ke-4 dan Pancasila. Keberadaannya tidak dapat dilepaskan dan keseluruhan sila-sila Pancasila. Artinya, apabila kita membicarakan konsep kedaulatan rakyat menurut UUD 1945, maka dengan
Universitas Sumatera Utara
sendirinya kita berbicara tentang konsep kedaulatan rakyat menurut Pancasila, demikian pula sebaliknya. Di atas telah dikemukakan, bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat Indonesia. Dengan demikian, rakyat memiliki sepenuhnya hak-haknya. Tentu saja mengingat jumlahnya yang demikian besar, rakyat tidak mungkin dapat melaksanakan kekuasaannya itu. Untuk itulah kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD 1945 (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945). Berbeda dengan teori kedaulatan John Locke seperti telah disinggung sebelumnya, hak untuk berdaulat dan rakyat itu tidak dapat dikatakan hilang. Hak itu hanya didelegasikan pelaksanaannya kepada MPR. Perlu diingat, bahwa anggota MPR berasal dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum, dan perwakilan setiap daerah propinsi (DPD) yang dipilih melalui pemilu yang sama dengan DPR. Dengan demikian secara teoritis, cukup logis dikatakan bahwa MPR merupakan penjelmaan seluruh bangsa Indonesia. Karena mereka yang duduk di MPR dan DPR (keduanya merupakan lembaga perwakilan rakyat) merupakan wakil-wakil rakyat, sehingga mereka harus mengetahui dan kemudian meyalurkan aspirasi rakyat yang diwakilinya. Jika mereka gagal, rakyat dapat menggunakan kedaulatannya untuk tidak lagi memilih organisasi sosial politik yang mewadahi wakil rakyat itu dalam pemilihan umum yang akan datang. Kedaulatan itu harus diwujudkan sesuai dengan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia. Untuk itu perlu ada pihak yang diberi mandat untuk menjalankan pemerintahan, sehingga tujuan dan citacita bangsa Indonesia dapat tercapai. Dalam rangka, mewujudkan rakyat dalam
Universitas Sumatera Utara
pemerintahan negara sesuai dengan amanat UUD Negara RI tahun 1945, pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung oleh rakyat (pasal 6A UUD 1945). Hal ini setelah dipelajari, ditelaah, dan dipertimbangkan dengan seksama dan sungguh-sungguh hal-hal yang bersifat mendasar yang dihadapi rakyat, bangsa, dan negara, serta dengan menggunakan kewenangannya berdasarkan pasal 37 UUD 45 MPR-RI mengubah dan / atau menambah pasal 6, pasal 6A, pasal 7A 7B 7C dan pasal 8 ayat 1,2 tentang Presiden dan Wakil Presiden. Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan secara demokratis dan beradab dengan partisipasi rakyat seluasluasnya yang dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Dalam kerangka inilah MPR melantik Presiden dan Wakil Presiden hasil pemilihan umum oleh rakyat. Di atas telah disebutkan, bahwa agar kekuasaan tidak
cenderung
Presiden
sebagai
disalahgunakan pemegang
perlu
mandat
diadakan pun
diberi
pembatasan-pembatasan. pembatasan-pembatasan
kekuasaan. Pembatasan yang paling utama tercantum dalam Undang-Undang Dasar yang telah ditetapkan sendiri oleh MPR (pasal 4 ayat 1 UUD 45) Apabila Presiden dipandang tidak bekerja sesuai dengan UUD (contoh: melakukan korupsi),
maka
MPR
dapat
mengadakan
sidang
istimewa
meminta
pertanggungjawabannya. Mekanisme untuk mengadakan sidang istimewa ini memang diajukan terlebih dahulu oleh DPR kepada Mahkamah Konstitusi (pasal 7B UUD 45) karena lembaga yang disebut terakhir inilah yang sesungguhnya menjalankan
Universitas Sumatera Utara
fungsi perwakilan rakyat itu terus menerus sepanjang tahun. Mengingat separuh anggota MPR adalah anggota DPR, maka usul untuk mengadakan sidang istimewa ini (secara teoritis) tentu sangat besar kemungkinannya untuk dikabulkan oleh MPR. DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat, walaupun secara hirarkis berada setingkat dengan presiden, memiliki kedudukan dan peranan yang amat strategis dalam rangka perwujudan kedaulatan rakyat. Presiden memerlukan kerja sama DPR dalam menetapkan undang-undang. Salah satu materi yang teramat penting yang ditetapkan dengan undang-undang (berarti harus di setujui oleh DPR) adalah berkenaan dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun. Memang pemeriksaan tanggung jawab keuangan negara secara terinci dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tetapi hasil pemeriksaan tersebut wajib diberitahukan kepada DPR, DPD, dan DPRD, sesuai dengan kewenangannya (Pasal 23 E ayat 2 UUD 1945). Bentuk perwujudan lainnya dan kedaulatan rakyat tampak pada saat undang-undang dasar akan diubah atau diganti. Akses ke arah perubahan dan penggantian itu terdapat dalam pasal 37 UUD 1945. MPR telah melakukan Amandemen UUD 1945 itu terwujud secara bertahap dan tahun 1999-2002 sebanyak empat kali masing-masing: disahkan 19 Oktober 1999, 18 Agustus 2000, 10 Nopember 2001, dan 10 Agustus 2002. Apa yang digambarkan di atas paling tidak telah memenuhi ciri-ciri hirarki negara berkedaulatan rakyat (demokrasi) dengan ciri: 1. Negara hukum, 2. Pemerintahan yang di bawah kontrol nyata masyarakat,
Universitas Sumatera Utara
3. Pemilihan umum yang bebas, 4. Prinsip mayoritas, dan 5. Adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis, Ciri yang kelima tidak lain berkenaan dengan hak-hak asasi manusia, seperti hak untuk mengeluarkan pendapat, hak untuk berserikat dan berkumpul, dan seterusnya. Dalam UUD 1945 secara jelas hak-hak demikian dijamin secara konstitusional (pasal 27 sampai dengan pasal 34 UUD 45). Hak-hak asasi manusia ini juga mempunyai landasan idilnya, yakni Pancasila. Sebagai uraian akhir dapat ditegaskan di sini, bahwa Pancasila dan UUD 1945 telah secara jelas dan lengkap memuat prinsip-prinsip kedaulatan rakyat atau lebih luas lagi prinsip-prinsip demokrasi, termasuk di dalamnya pengakuan kedaulatan rakyat sebagai bagian dan hak-hak asasi manusia. Dalam hal ini rakyat tidak menyerahkan hak-haknya kepada (penguasa) negara. Hak-hak itu tetap utuh ada pada rakyat. Dengan perkataan lain, hak asasi manusia di Indonesia dipertahankan melalui kedaulatan rakyat. Rakyat ikut serta dalam sistem pemerintahan negara, yaitu melalui wakil-wakilnya. Apa saja kekuasaan/ wewenang rakyat itu dan bagaimana tata caranya, itulah yang disebut dengan demokrasi, tepatnya demokrasi Pancasila. Apabila dikaitkan dengan teori-teori kedaulatan, jelas bahwa kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 tidak mengacu kepada salah satu teori yang ada, tetapi merupakan gabungan dan teori kedaulatan hukum. Hal ini disebabkan oleh motivasi yang melatar belakangi berdirinya bangsa dan negara Indonesia, yang muncul melalui proses perjuangan
Universitas Sumatera Utara
yang panjang dengan titik kulminasinya pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Dasar negara Pancasila dan menurut UUD 1945, secara tegas menyatakan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Lembaga MPR negara ini diberi wewenang utama mengubah dan menetapkan dan melantik Kepala Negara (Presiden) serta memberhentikan Presiden menurut UUD dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Di samping itu, terdapat pula lembaga-lembaga tinggi negara lainnya yang setingkat dengan Presiden. Masing-masing lembaga mempunyai tugas mengemban kedaulatan rakyat pula. Kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini secara lebih konkret dilaksanakan melalui berbagai produk hukum, seperti UU, dan peraturan lainnya mulai dan undang-undang sampai dengan keputusan Kepala Dati II. Masalahnya tentu saja, kedaulatan rakyat sebagai bagian dan demokrasi Pancasila tersebut, tidak cukup hanya dituangkan secara konsepsional dan perlu dilengkapi dengan segi operasionalnya. Dua segi tersebut secara simultan harus dijadikan indikator untuk menilai kadar demokrasi suatu negara, termasuk negara kita. Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa kedaulatan rakyat yang dikenal bangsa kita itu berbeda dengan bangsa lain di dunia. Kedaulatan rakyat di Indonesia berlandaskan pada UUD 1945 dan Pancasila. UUD 1945 terdiri atas: 1. Pembukaan (preambule) dengan 4 alinea. 2. Batang tubuh dengan XVI Bab dan 37 pasal. 3. Penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.
Universitas Sumatera Utara
Dalam Pembukaan saja terdapat kata kedaulatan rakyat yang tersurat dalam alinia IV, dan ditemukan pula di Pokok Pikiran ke-3 Pembukaan UUD 1945, sedang Kedaulatan Rakyat menurut Pancasila terdapat di sila ke-4. Pada batang tubuh UUD 1945 kedaulatan rakyat terdapat di pasal 1 ayat 2, pasal 2 ayat 3, sedang pelaksanaan kedaulatan rakyat diatur pasal 3 (MPR), pasal 19-22 B (DPR), pasal 37 (perubahan UUD). Secara implisit sistem pemerintahan negara berpegang kepada tujuh prinsip (dalam penjelasan UUD 1945) yang dapat menunjukkan keterkaitannya dengan konsep kedaulatan Rakyat bagi negara Republik Indonesia. Kedaulatan rakyat yang kita kenal di Indonesia berbeda dengan kedaulatan rakyat versi Barat (menurut Montesquieu). Menurut versi Barat, kedaulatan rakyat dibagi menjadi 3 bagian kekuasaan yang terdiri dan kekuasaan: 1. Legislatif (Pembuat UU / UUD) Parlemen 2. Eksekutif (Pelaksana UU) Pemerintah 3. Yudikatif (Pengawas pelaksanaan UU): Di Indonesia pemisahan kekuasaan ini berlandaskan pada sila-sila Pancasila. Kedaulatan rakyat juga akan diartikan berbeda dengan demokrasi. Kedaulatan rakyat dipandang sebagai bagian dan istilah demokrasi. Dalam negara yang menganut paham demokrasi, rakyat memiliki kedaulatan tertinggi berdasarkan nilai-nilai bangsa Indonesia serta bagaimana kedaulatan rakyat itu diwadahi baik tersirat dan tersurat dalam Pancasila dan UUD Tahun 1945 di Indonesia sehingga memiliki ciri khas.
Universitas Sumatera Utara
Sejarah Peradilan Militer Di Indonesia Peradilan Militer di Indonesia yang ada saat ini adalah merupakan penjelmaan
dan
penyelenggaraan
kekuasaan
kehakiman
sebagaimana
diamanatkan Undang-undang Dasar 1945, dan Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 pasal 2 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mengamanatkan adanya empat lingkungan Peradilan yaitu, penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan Peradilan Militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konsitusi. Ketika Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945 bangsa Indonesia tidak/belum membentuk badan peradilan tetapi dengan sangat bijak dan guna menghindarkan kekosongan hukum maka Undang-undang Dasar tahun 1945 memuat Aturan Peralihan dalam pasal 2 yang menyatakan “Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini” Dalam konteks keberadaan hukum di Indonesia, Indonesia mengalami paling tidak dua kali masa transisi. Transisi pertama saat Indonesia baru merdeka dan transisi yang kedua pada saat Presiden Soeharto menyatakan berhenti sebagai Presiden yang sering diberikan label sebagai era “reformasi”. 34
34
Hikmahanto Juwana, Wacana Kewenangan Peradilan Militer Dalam Perspektif LawAnd Development, (Disampaikan Dalam rangka Wisuda Sarjana dan Pascasarjana Sekolah Tinggi Hukum Militer “AHM-PTHM” 15 Nopember 2006, hal. 4
Universitas Sumatera Utara
Transisi
pertama
terjadi
karena
pemerintah
yang
baru
dibentuk
mengirimkan hukum yang berlaku adalah hukum yang muncul dalam masyarakat Indonesia, dilain pihak pemerintah yang baru tidak mungkin mengganti seluruh peraturan perundang-undangan yang ada berikut institusinya dalam waktu sekejap. Transisi kedua terjadi pasca berakhirnya pemerintahan Soeharto, transisi yang dialami adalah transisi hukum yang berfungsi sebagai alat kekuasaan dan legistimasi menjadi hukum sebagai instrumen yang menjadikan rujukan dan rel dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Saat ini sedang dibahas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Perubahan terhadap Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer, oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Pemerintah. Dalam pembahasan tersebut muncul perdebatan tentang kewenangan dan Peradilan Militer sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 65 ayat (2) Undang-undang Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia yang mengatur: “Prajurit tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan Undang-undang”. Pro dan kontra terjadi, argumentasi yang digunakan mereka yang menghendaki agar Peradilan Militer hanya untuk pelanggaran pidana militer adalah dalam sebuah negara yang demokratis harus ada supremasi sipil. Oleh karena itu pelanggaran pidana umum yang dilakukan oleh personil militer harus tunduk kepada kewenangan dan otoritas sipil.
Universitas Sumatera Utara
Sementara yang menghendaki agar Peradilan Militer berwenang mengadili pelanggaran pidana dengan melihat status dan pelaku kejahatan mendasarkan pada sistem yang selama ini berlaku di Indonesia. Karena adanya pendapat pro dan kontra tentang jurisdiksi Peradilan Militer, alangkah baiknya terlebih dahulu. dibahas mengenai sejarah Peradilan Militer di Indonesia.
A. Peradilan militer pada masa penjajahan Belanda 1. (Krijgsraad dan Hoog Militair Gerechtshof) Sebelum Indonesia merdeka dikenal Peradilan Militer Belanda dengan nama nama Krijgsraad untuk tingkat Pertama dan Hoog Militair Gerecbtshof Dasar berlakunya Krijgsraad dan Hoog Militair Gerechshof adalah Bepalingen Betreffende de rechtmacht van de militair reobter in Nederlands Indie, S. 1934 No. 173 dan De Provisioneie Instructie voor bet Hoog Militaire gerechtshof van Nederlands India, S. 1922 No.163. 35 Peradilan ini memiliki wewenang mengadili perbuatan pidana militer yang dilakukan oleh anggota Angkatan Darat Belanda di Indonesia (Hindia Belanda), yaitu KNIL (Koninhijke Nederlandsch-Indie Leger) dan anggota Angkatan Laut Belanda. KNIL merupakan organisasi tersendiri terlepas dari Tentara (Angkatan Darat) kerajaan Belanda. (Koninklijke Leger-KL).
Sedangkan Angkatan Laut,
merupakan bagian Integral dan Angkatan Laut, merupakan bagian Integral dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda (Koninklijke Marine-KM) berkedudukan : 35
Soegir, dkk., 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara Republik Indonesia, Cet. 1, Jakarta: India Djaya, 1976, halama 48.
Universitas Sumatera Utara
a. Meliputi Jawa, Madura, Sumsel (Palembang), Bangka, Belitung, Riau Jambi, Bengkulu (Lampung), Kalimantan Bali Dan Lombok. b. Padang : meliputi Sumatra Barat, Tapanuli, Aceh, Sumatera Timur. c. Ujung Pandang : meliputi Sulawesi, Manado, Maluku Timur. Angota Angkatan Darat Belanda (KNIL) yang melakukan tindak pidana, diperiksa dan diadili oleh Krijgsraad untuk tingkat pertama dan Hoog Militair Gerechtshof untuk tingkat banding. Sedangkan untuk Angkatan Laut Belanda di Hindia Belanda yang melakukan tindak pidana diperiksa dan diadili oleh zee krijqstraad dan Hoog Militair Gerechtshof. Krijasraad bersidang untuk mengadili tiap perkara apabila ada panggilan sidang oleh Komandan Militer. Susunan majelisnya, adalah seorang ketua (orang sipil/ahli hukum) dengan 4 (empat) orang anggota militer dengan pangkat opsir (perwira) dan diangkat untuk jabatan itu oleh Komandan Garnizun. Sedangkan jabatan Auditeur Militair (oditur/jaksa Tentara) dirangkap oleh seorang bukan Militer, yaitu sipil yang diangkat oleh Gubernur jenderal (pasal 125 Rechtpleging Landmacht). 36 Susunan persidangan yang dilakukan jika ancaman hukumannya lebih 15 tahun terdiri dari tiga orang Oditur dari Jaksa Landgecht dan Majelis Hakim, sedangkan pada Pengadilan Negerinya bersidang dengan sistim Hakim Tergugat.
36
Supomo, Sistim Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke-Il, Cet. Kesebelas, Jakarta: Pradnya Paramita, 1972, hal. 45.
Universitas Sumatera Utara
Krijgsraad memeriksa dan mengadili pidana pada tingkat pertama terhadap semua anggota militer dan orang-orang sipil yang bekerja di lingkungan kemiliteran, kecuali mereka yang pada tingkat pertama harus dihadapkan kepada Hoog Militair Gerechtshof. Sedangkan Hoog Militair Gerechtshof, merupakan pengadilan militer tingkat banding dan yang tertinggi di Hindia Belanda serta berkedudukan di Jakarta. Hal ini berbeda dengan di negara Belanda, terdapat Hoge Raad (Majelis Kehakiman yang tertinggi) yang bertugas memutus pada tahap terakhir atau kasasi. 37 Majelis Hakim Hoog Militair Gerechtshof (HMG) saat bersidang terdiri dan 5 (lima) orang, yaitu dua dan sipil yang ahli hukum, dimana salah satunya akan bertindak selaku Ketua Majelis, sedangkan 3 (tiga) orang dan militer berpangkat opsir tinggi atau menengah yang terdiri dan 2 (dua) orang KNIL dan 1 (satu) orang Angkatan Laut Belanda, baik yang masih dinas aktif maupun yang sudah pensiun. Seorang Advocaat Fiscaal Generaal pada Hoog Militair Gerechtshof bertindak sebagai Penuntut Umum yang diangkat oleh Gubernur Jenderal. 38 Hoog Militair Gerechhtshof pada tingkat pertama mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh anggota militer yang berpangkat lebih tinggi dari Kapten, dan pada tingkat kedua mengadili perkara banding yang diajukan terhadap putusan Krijgsraad. 37 38
Ibid, halaman 31. Ibid, halaman 45.
Universitas Sumatera Utara
2. Zee Krijgsraad Bersidang untuk mengadili perkara pidana yang dilakukan oleh Anggota Angkatan Laut Belanda (Koninklijke Marine) yang berada diluar Negeri Belanda. Hakim pengadilan tersebut terdiri dan opsir-opsir Angkatan Laut Belanda dan biasanya bersidang di atas geledak kapal perang serta seorang opsir Tata Usaha dan Angkatan Laut ditunjuk sebagai oditur (penuntut umum). Pengadilan banding bagi Zee Krijgsraad adalah sama sebagaimana krijsraad, yaitu Hoog Militair Gerechtshof (Krijsraad/Zee Krijgsraad) 39 Sedangkan kewenangan yang dimiliki, adalah mengadili tindak pidana militer murni maupun tindak pidana umum (pasal 1 dan 2 Wetboek van Militair Strafrecht voor Nederiand Indie, S1934 No. 267) oleh militer maupun yang dipersamakan (Artikel 2 bepalingen betreffende de rechtsmacht van de militairen rechter in Nedelandsch Indie, Stb. 1934 Nr. 173). Selain berwenang mengadili pada masa damai pengadilan militer juga berwenang memeriksa dan mengadili setiap orang dalam keadaan perang di daerah Hindia Belanda maupun di daerah musuh yang dikuasai oleh Angkatan perang, sebagaimana tercantum dalam pasal ke-1, ke-2, dan 3 Bepalingen betreffende de rechtsmavht van de militairen rechter in Nederlandsch Indie (Stb. 1934 Nr. 173) yang konkordan dengan Invoeringswer Militair Straf en Tuchtrecht (Stb. 1921 Nr. 841 Titel VIII art.76, 77, 78), yaitu: 40
39 40
Ibid SR. Sianturi, Op. Cit., halaman 22-24
Universitas Sumatera Utara
Artikel 1 De Militaire rechter neemt kennis van de strafbare feiten begaan door militairen, behoudens de uitzonderingen bij de wet, bij algemeenen maatregel van bestuur of bij ordonan tie gemaakt. Artikel 2 De Militaire rechter neemt verder kennis: 1e Van de bepaaide strafbare feiten door hen, die ten aanzein van zoodanige feiten bij de wet, bij algemeenen maatregei van besutur of bij ordonantie met militairen zijn gelijkgesteid; 2e van de strafbare feiten door hen, die bij een op voet van oorlog gebrachte krijgsmacht in dienstbetrekking zijn of haar met toestemming van de militaire overhead vergezelen of volgen. Artikel 3 Bovendien neemt de militaire rechter, voor zover hij niet reeds krachtens een der beide voorgaande artikelen bevoegd is, kennis: 1e. Van de misdrijven in geval van oorlog door wien ook begaan in een staat van beleg verklaard gedeelte van het grondgebied van Nederlandsch Indei, voor zoover die misdrijven zijn omschreven in een der titels I en II van het tweed bock van het wetboek van strafrecht of in het wetback van militair strafrecht; 2e. in geval van oorloq van destrafbare feiten, begaan in een in staat van beleg verklaard gedeelte van het qrondgebied van Nederlandsch Indie, warneer de buraerlijke rechter, die vol gens wettelijke voorschrift in eerste instantie had moeter rechtspreken, niet in staat is daarvan kennis te nenlent; 3e. van de strafbare feiten op door de kriijgsmacht geheel of ten deele bezet vijandelijk gebied door wien ook begaan, Indien eenig Nederlandsch of Nederlands Indisch belang daardoor is of kan worden geschaad, tenzij de oorlog een einde heeft genomen en het feit niet strafhaar is gesteld bij het wetboek van militair strafrecht. Secara bebas dapat diartikan sebagai berikut: Pasal 1 Hakim Militer memeriksa dan mengadili suatu tindak pidana yang dilakukan oleh militer kecuali yang ditetapkan lain oleh undang-undang, peraturan pemerintah atau ordonansi. Penjelasan Pasal 1 Bahwa Hakim memeriksa dan mengadili suatu tindak pidana yang dilakukan oleh Militer menyatakan Hakim Militer berwenang memeriksa/ mengadili pelaku tindak pidana yang subjeknya adalah militer. Kecuali yang ditetapkan lain oleh undang-undang, peraturan pemerintah atau ordonansi. Bahwa subjek militer tersebut dapat diperiksa oleh Hakim non Militer (di Peradilan Umum) bila melakukan tindak pidana koneksitas (Militer dengan Sipil secara bersama-sama melakukan tindak pidana umum). Yang diperiksa di Peradilan Umum jika kepentingan umum yang paling dirugikan atau diperadilan Militer bila kepentingan Militer yang paling dirugikan atas persetujuan Menteri Kehakiman dan Penetapan Menteri Pertahanan.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 2 Hakim Militer Juga memeriksa dan mengadili: Ke-1 tindak pidana tertentu, yang dilakukan oleh seseorang yang karena sifat dan tindakan tersebut dipersamakan dengan militer oleh undang-undang, peraturan pemerintah atau ordonansi; Ke-2 tindak pidana tertentu, yang dilakukan oleh seseorang yang dalam hubungan dinas berada pada suatu Angkatan Perang yang disiapsiagakan untuk perang atau menyertainya atau mengikutinya dengan persetujuan penguasa militer. Penjelasan Pasal 2 Bahwa Hakim Militer juga berhak memeriksa dan mengadili seseorang yang melakukan tindak pidana tertentu mengingat Hakim Militer pada umumnya lebih bertitik berat kepada penggunaan azas perorangan (personalities beginsd) baik terhadap militer maupun terhadap setiap orang yang berada dalam suatu daerah musuh/lawan yang dikuasai oleh suatu Angkatan Perang, dalam hal tertentu (dalam hal ini dalam perkara pidana tertentu), sudah sewajarnya apabila mereka ditundukkan kepada kekuasaan Peradilan Militer. (Pasal 5 KUHPM). Pasal 5 KUHPM (diubah dengan UU No. 39 Tahun 1947). Ketentuan Pidana dalam Perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap anggota yang dalam keadaan perang, di luar Indonesia melakukan tindak pidana, yang dalam keadaankeadaan tersebut termasuk dalam kekuasaan badan-badan peradilan militer. Pasal 3 Selanjutnya hakim militer sepanjang tidak ditentukan lain dalam salah satu dan dua pasal terdahulu berwenang memeriksa mengadili: Ke-1 Kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh setiap orang dalam keadaan perang di suatu daerah Hindia Belanda yang dinyatakan dalam keadaan bahaya, sepanjang kejahatan-kejahatan itu termasuk salah satu dari Bab I Bah II Buku Kedua KUHP atau dari KUHPM; Ke-2 tindak pidana dalam keadaan perang yang dilakukan di suatu daerah Hindia Belanda yang dinyatakan dalam keadaan bahaya, apabila hakim sipil yang menurut perundang-undangan harus mengadili pada tingkat pertama tidak mampu memeriksanya; Ke-3 tindak-tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang di daerah musuh yang dikuasai oleh Angkatan Perang, apabila karenanya dapat merugikan kepentingan Belanda atau Hindia Belanda, kecuali jika perang berakhir dan tindakan tersebut ditentukan tidak diancam dengan pidana dalam KUHP. Penjelasan ke-1 Bahwa Hakim Militer berwenang memeriksa mengadili setiap orang (baik militer maupun sipil) dalam keadaan perang disuatu daerah bekas jajahan Belanda yang dinyatakan dalam keadaan bahaya bila kejahatan itu diatur dalam KUHP Bab I dan II Buku Kedua atau yang terdapat dalam peraturan KUHPM.
Universitas Sumatera Utara
Penjelasan ke-2 Tindak pidana-tindak pidana dalam keadaan perang yang dilakukan di suatu daerah Hindia Belanda yang dinyatakan dalam keadaan bahaya, apabila hakim Sipil yang menurut perundang-undangan harus mengadilinya pada tingkat pertama, tidak mampu memeriksanya. Penjelasan ke-3 Bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh setiap orang di daerah musuh yang dikuasai oleh Angkatan perang, yang dimaksud di daerah musuh adalah setiap orang yang menyeberang ke daerah musuh, berkhianat, sebagai mata musuh yang dapat merugikan kepentingan pemerintah Belanda atau Pemerintah Jajahan Belanda, kecuali jika perang (kemudian) berakhir dan tindakan tersebut ditentukan tidak diancam dengan pidana dalam KUHPM. Maksudnya pengecualian ini perang tidak berlanjut, selesai (usai) dan tindakan tersebut tidak termasuk/tidak terbukti dalam tindakan pidana yang diatur dan diancam pidana sebagaimana terdapat di dalam KUHPM.
B. Masa Penjajahan Jepang Ketika Jepang menjajah Indonesia maka bala tentara Jepang menjalankan kekuasaan dan pemerintahan militer. Pendudukan Jepang ini merupakan keadaan darurat dimana untuk mengatur masyarakat dan demi kepentingan Angkatan Perangnya sering mengabaikan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam keadaan biasa. Dengan berhasilnya Jepang menduduki bekas Hindia Belanda dimulai 10 Januari 1942 ditandai dengan jatuhnya Tarakan dan Minahasa ke tangan Jepang 41 Menurut Sudikno Mertokusumo dalam Desertasinya di UGM “Sejarah Peradilan dan Perundangan-undangan di Indonesia sejak 1942 dan Apakah Manfaatnya
Bagi
Kita
Bangsa
Indonesia”,
mengatakan
adalah
tidak
mengherankan bila dalam bidang hukum pidana dan acaranya pemerintah
41
Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Badan Pembinaan Hukum, Pembahasan Perkembangan Pembangunan Hukum Nasional tentang Hukum Militer dan Bela Negara, Jakarta, Februari 1996, halaman 19
Universitas Sumatera Utara
pendudukan Jepang mengadakan perubahan-perubahan dan ketentuan-ketentuan baru karena peraturan yang telah ada tidak memadai untuk keadaan darurat serta tidak cukup melindungi angkatan perangnya. Untuk itu pada tanggal 2 Maret 1942 (pemerintah Hindia Belanda belum menyerah) dibentuklah Gunrintukaigi atau Mahkamah Militer yang akan mengadili perkara-perkara pelanggaran Undang-undang militer. Pembentukan Gunrintukaigi ini didasarkan pada Osamu Gunrei Nomor 2 tahun 1942. Disamping itu dikeluarkan pula Osamu Gunrei nomor 1 tentang hukuman bala tentara yang berlaku untuk semua pendudukan daerah yang telah diduduki. 42 Setelah pemerintah Hindia Belanda menyerah maka pemerintahan pendudukan Jepang pada 7 Maret 1942 (Bandung jatuh pada 8 Maret 1942) mengundangkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1942 pada pasal 3 menyatakan “Semua badan-badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan undangundang dan pemerintah yang dahulu tetap diakui sah sementara waktu asal tidak bertentangan dengan aturan pemerintah militer”. 43 Perubahan lain yang dapat ditemukan dalam hal ini adalah dipaksakannya penduduk Indonesia menjadi anggota Heiho, Gyugun, Kaygun, Peta bahkan romusha sehingga memperluas penundukan subjek peradilan militer. 44 Adapun vonis Mahkamah Militer di Indonesia usai peperangan dijumpai dalam kasus penjahat perang Jepang yang bernama Naomi, seorang bintara tinggi 42
Ibid., halaman. 20. Ibid. 44 Ibid. 43
Universitas Sumatera Utara
Angkatan Laut Jepang yang bertindak sebagai kepala dapur kamp tawanan perang di Makassar selama perang dunia Ke II, yaitu menyangkut perlakuan buruk terhadap tawanan perang yang terdiri dan kaum militer dan sipil sekutu (Belanda, Australia, Inggris dan Amerika) . Mahkamah bersidang menjatuhkan putusan berupa pidana mati.
45
C. Masa Kemerdekaan Indonesia 1. Dalam Masa Perang Kemerdekaan 1945 sampai dengan 1949 a. Peradilan Militer berdasarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1946. Berdasarkan pasal II aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yang bunyinya: “Segala badan Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang
Dasar ini”.
Ketentuan inilah yang merupakan dasar hukum yang terpenting dari praktek peradilan di Indonesia pada masa setelah Proklamasi. Dengan adanya ketentuan tersebut Peradilan-Peradilan (terutama Peradilan Umum dan Peradilan Agama) yang sudah ada sejak pendudukan Jepang tetap berlaku termasuk Peradilan Ketentaraan, maka peradilan-peradilan yang telah ada pada zaman pendudukan Jepang dapat tetap berlangsung seperti sebelumnya, yaitu peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan ketentaraan. Akan tetapi kenyataan tidak demikian, maka hanya peradilan umum dan peradilan agama yang berjalan seperti sediakala. Sedangkan peradilan ketentaraan (militer) tidak/belum
45
Andi Hamzah, Hukum Pidana Politik, Jakarta: Pradnya Paramita, halaman 2.
Universitas Sumatera Utara
diadakan, meskipun Angkatan perang Republik Indonesia telah dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945. Periode antara 5 Oktober 1945 sampai dengan pembentukan Pengadilan Tentara, yaitu berdasarkan Undang-undang nomor 7 tahun 1946 tanggal 8 Juni 1946 seolah-olah tidak ada hukum dan keadilan serta penegakan hukum terhadap prajurit atau anggota tentara yang melakukan tindak pidana. Sesungguhnya tidak demikian karena para Komandan kesatuan selalu menegakkan peraturan melalui penerapan hukum disiplin. 46 Peradilan Militer baru dibentuk setelah diundangkannya Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 tentang Peraturan Mengadakan Pengadilan Tentara di samping Pengadilan Biasa pada tanggal 8 Juni 1946, dan bersamaan dengan itu diundangkan pula Undang-undang No. 8 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Acara Pidana Guna Pengadilan Tentara. Dengan dikeluarkan kedua Undangundang yang mengatur tentang peradilan militer, maka Negara Republik Indonesia baik secara formil maupun materiil tidak memberlakukan ketentuanketentuan di bidang peradilan tentara yang ada sebelum proklamasi kemerdekaan. Susunan dari Pengadilan Tentara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 7 tahun 1946, hanya terdiri dan dua badan (tingkatan), yaitu: 1) Mahkamah Tentara, dan 2) Mahkamah Tentara Agung. 46
Soegiri, dkk., op. cit., halaman 53.
Universitas Sumatera Utara
Di samping kedua badan atau mahkamah tersebut berdasarkan pasal 22 Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 bila perlu Presiden berhak membentuk Pengadilan Tentara Luar Biasa. Undang-undang nomor 7 tahun 1946 berlaku hingga tahun 1948, kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasaan Pengadilan/ Kejaksaan dalam lingkungan Peradilan Ketentaraan yang mulai berlaku pada tanggal 1 Oktober 1948. Demikian juga sebagai akibat berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1948 maka Hukum Acara Pidana Militer diadakan perubahan dan Undang-undang nomor 8 tahun 1946 menjadi peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1948. Wewenang yang dipergunakan sebagai dasar pergantian suatu undangundang hanya dengan peraturan Pemerintah yang menurut Undang-undang Dasar adalah lebih rendah tingkatannya adalah didasarkan pada wewenang Presiden pada saat itu sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang nomor 30 tahun 1948 diberi kekuasaan penuh (plein pouvoir) kepada presiden untuk menjalankan tindakan-tindakan dan peraturan-peraturan yang menyimpang dan undang-undang dan peraturan yang ada guna menjamin keselamatan Negara dalam menghadapi keadaan bahaya yang memuncak. 47 Undang-undang tersebut ditetapkan pada tanggal 20 September 1948, dan hanya terdiri dan suatu pasal yang berbunyi :
47
Soegiri, dkk., Op Cit., halaman 54.
Universitas Sumatera Utara
Selama tiga bulan terhitung mulai tangga1 15 September 1948, kepada Presiden diberikan kekuasaan (plein Pouvoir) untuk menjalankan tindakantindakan dan mengadakan peraturan-peraturan dengan menyimpang dan Undang-undang dan Peraturan-peraturan, guna menjamin keselamatan Negara dalam menghadapi keadaan bahaya. Selain itu alasan Presiden mengeluarkan Peraturan yang tidak sesuai ketentuan yang ada, karena: Waktu itu kondisinya sangat kacau, ketentuan-ketentuan yang ada tidak diikuti atau tidak diindahkan. Periode tahun 1945 sampai dengan tahun 1949, masih dipengaruhi suasana revolusi. Artinya, bentuk peraturan dan tata urutan peraturan perundang-undangan sama sekali tidak dijadikan pertimbangan untuk membuat peraturan, bahkan yang banyak dikeluarkan seperti Maklumat yang kadang kedudukannya sama seperti UUD. 48 Dengan demikian dapat dipahami, apabila Presiden mengeluarkan peraturan yang menyimpang dari ketentuan yang ada, karena selain adanya undang-undang yang memberikan kekuasaan demikian juga karena kondisi yang dihadapi untuk bertindak cepat. b. Peradilan Militer berdasarkan Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 1948 Pasal 1 mengatur bahwa kekuasaan kehakiman dalam Peradilan ketentaraan dilakukan oleh Pengadilan tentara, yaitu: 1) Mahkamah Tentara 2) Mahkamah Tentara Tinggi 3) Mahkamah Tentara Agung Dengan demikian, maka sistem peradilan yang selama ini berlaku berdasarkan Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 terdiri dari 2 (dua) tingkatan,
48
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, cet. I, Indonesia, 1998, halaman 35, 45.
Jakarta: Pustaka LP3ES
Universitas Sumatera Utara
yaitu Mahkamah Tentara dan Mahkamah Tentara Agung, berubah menjadi 3 (tiga) tingkatan. Pengadilan Tentara berwenang mengadili perkara-perkara kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh: 1) Seorang yang pada waktu itu adalah prajurit Tentara Nasional Indonesia; 2) Seorang yang pada waktu itu adalah orang yang oleh Presiden dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan sama dengan prajurit Tentara Nasional Indonesia; 3) Seorang yang pada waktu itu adalah anggota suatu golongan atau jawatan yang dipersamakan atau dianggap sebagai tentara oleh atau berdasarkan undang-undang; 4) Seorang yang tidak termasuk golongan a, b dan c, tetapi atas ketetapan Menteri Pertahanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Ketentaraan
49
Perlu dikemukakan bahwa Tentara Republik Indonesia (TRI), Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) dan Tentara Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) sebagaimana tersebut dalam Pasal 2 sub a Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Tentara Nasional Indonesia. 50 Perkembangan selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 1946 menambahkan suatu pasal baru di antara pasal 3 dan 4, yang berbunyi:
49 50
Pasa1 2 angka 1 huruf a, b, c dan d Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1948 Soegiri, dkk., op. cit., halaman 80.
Universitas Sumatera Utara
“Pengadilan tentara mengadili pula perkara-perkara kejahatan yang dilakukan oleh siapapun juga jikalau kejahatan-kejahatan tersebut termasuk titel 1 atau titel 2 Buku II dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau termasuk Kitab Undang-undang Hukum Pidana Tentara dan dilakukan dalam lingkungan yang dinyatakan dalam keadaan bahaya berdasarkan pasal 12 Undang-Undang Dasar”. 51 Maksud diadakannya pasal ini, adalah memberi kewenangan kepada Pengadilan Tentara untuk mengadili perkara-perkara dalam lingkungan yang dinyatakan dalam keadaan bahaya berdasarkan Pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945, karena hal ini berkaitan dengan kesulitan-kesulitan dalam penyelesaian perkara pemberontakan PKI Muso/Amr Cs (peristiwa Madiun) yang melibatkan pihak tentara dan pihak sipil, dimana penyelesaian perkara berdasarkan Peraturan Pemerintah No.37 tahun 1948 harus dipergunakan pemisahan (splitsing), dan diadakannya pasal tersebut maka kesulitan-kesulitan berkenan dengan pemisahan tadi dapat dihindarkan. 52 c. Peradilan Militer Khusus Berdasarkan ketentuan Pasal 12 undang-undang Dasar 1945, tanggal 7 Juni 1945, Presiden menyatakan Daerah Jawa dan Madura dalam keadaan bahaya. 53 Kemudian pada tanggal 28 Juni 1946, pernyataan tersebut diikuti dengan pernyataan berlakunya keadaan bahaya untuk seluruh wilayah Indonesia. 54 Hal ini disebabkan oleh pertentangan politik yang meruncing di dalam negeri maupun disebabkan ancaman kekuatan bersenjata dan pihak Belanda yang 51
Pasa1 3 huruf a Peraturan Pemerintah nomor 74 tahan 1948. Penjelasan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 1948. 53 Undang-undang Nomor 6 tahun 1946 tanggal 27 September 1946. 54 AH. Nasution, Sejarah Perjuangan Nasional di Bidang Bersenjata, Jakarta: Mega Book Store, 1966, hal.96. 52
Universitas Sumatera Utara
menginginkan
kembali
menjajah
Indonesia.
Peristiwa-peristiwa
tersebut
menunjukkan bahwa kondisi Indonesia saat itu dalam keadaan genting. Pertentangan Politik yang meruncing di dalam negeri kemudian meningkat pada tindakan melakukan coup d’etat pada tanggal 3 Juli 1946. Golongan yang tergabung dalam Persatuan Perjuangan mendatangi Istana Kepresiden untuk memaksakan suatu konsep susunan kabinet baru sesuai dengan keinginan mereka. Percobaan coup d’etat ini ternyata gagal dan peristiwanya sendiri kemudian terkenal dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946. 55 Ancaman kekuatan bersenjata dan pihak Belanda, bermula saat Belanda yang datang kembali ke Indonesia dengan cara membonceng tentara sekutu yang sebenarnya bertugas melucuti tentara Jepang. 56 Selanjutnya pada tanggal 30 Nopember 1946, Inggris secara resmi menyerahkan pendudukan di Jawa dan Sumatera kepada Belanda dan pada tanggal 21 Juli 1947, Belanda melancarkan Agresi Militer-I, maka setelah itu terjadi pertempuran di mana-mana, dan dalam keadaan demikian di bidang peradilan perlu diadakan peraturan-peraturan yang lebih sederhana dan praktis supaya peradilan mampu menjalankan fungsinya. 57 Periode tahun 1946 -1948 diadakan peradilan-peradilan khusus yaitu Peradilan Tentara Luar Biasa yang terdiri dan: 1) Mahkamah Tentara Luar Biasa. Dasar hukum dibentuknya peradilan ini adalah Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 1946 dan Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1947. Pengadaaan peradilan
55
Soegiri, dkk., op.cit., hal. 38 Moh. Mahfud, op.cit., hal.38. 57 Soegiri, dkk., op.cit., hal.76 56
Universitas Sumatera Utara
ini memang dimungkinkan sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 22 UndangUndang No. 7 Tahun 1946, yaitu bahwa jika perlu berhubung dengan keadaan, Presiden berhak membentuk Pengadilan Tentara Luar Biasa yang susunannya menyimpang dan ketentuan dalam Undang-Undang No.7 Tahun 1946 58 2) Mahkamah Tentara Agung Luar Biasa Peradilan ini dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 1946 yang berlaku sejak tanggal 19 Juli 1946. Dasar dikeluarkannya Peraturan Pemerintah ini adalah Pasal 22 Undang-undang Nomor 7 tahun 1946 tentang Mengadakan Pengadilan Tentara di samping Pengadilan Biasa. 3) Mahkamah Tentara Sementara. Dengan tujuan untuk menyesuaikan jalannya Pengadilan Tentara baik dalam keadaan perang, maka berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1947, Makamah Tentara Sementara merupakan Pengadilan Negeri yang merangkap menjadi Pengadilan Tentara Luar Biasa. 4) Mahkamah Tentara Daerah Terpencil. Didasarkan pada pemikiran setidak-tidaknya akan lebih baik jika ada Pengadilan daripada tidak sama sekali. Sekitar tahun 1947 keadaan perang atau keadaan bahaya, sehingga dibutuhkan penyelesaian perkara dalam suatu pasukan tentara yang mungkin sekali pada suatu saat berada dalam daerah terpencil yang tidak terjangkau Pengadilan Tentara Luar Biasa (Pasal 1) 58
Penjelasan Peraturan Pemerintah No.4 Tahun 1947, Penyimpangan yang diperbolehkan hanya dalam hal susunan pengadilan saja, sedangkan perihal hak atau kekuasaan, kewajiban mengadili,cara mengadili dan pemberian pangkat militer (tituler), Undang-undang No7 tahunl96 tetap berlaku.
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan kondisi tersebut, pada tanggal 18 Agustus 1947, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No.23 Tahun 1947 tentang pembentukan suatu pengadilan tentara yang disebut Mahkamah Tentara Daerah Terpencil. d. Peradilan Militer masa Agresi Kedua Pada tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda melakukan agresi yang kedua kalinya terhadap Negara Republik Indonesia yang berakibat seluruh kota besar di Jawa dan Madura jatuh ke tangan Belanda, hal ini memaksa TNI dan pejuang Indonesia untuk menyingkir ke daerah yang tidak diduduki serta melancarkan perang gerilya terhadap Belanda.
59
Selanjutnya menurut Soegiri: Kondisi tersebut memaksa pimpinan TNI memberlakukan Pemerintahan Militer di seluruh Jawa dan Madura, dan untuk menyelenggarakan keamanan dan ketertiban, diperlukan adanya kepolisian yang kuat dan adanya pengadilan untuk memeriksa dan mengadili para pengganggu keamanan dan ketertiban, tetapi dengan jatuhnya kota—kota besar ke tangan Belanda dimana tempat kedudukan pengadilan negeri berada, maka pengadilan dalam lingkungan peradilan umum menjadi lumpuh yang berarti lumpuh pula pengadilan tentara karena pejabat-pejabatnya berasal dan pengadilanpengadilan dalam lingkungan peradilan umum”. 60 Dikeluarkan Peraturan Darurat Tahun 1949 No. 46/MBDK/49 tanggal 7 Mei 1949 guna memenuhi kebutuhan yang pada waktu itu dihadapkan dengan keadaan
genting
dan
hanya
sedikit
tenaga
di
daerah-daerah
untuk
menyelenggarakan peradilan sipil maupun militer. Sebenarnya berdasarkan Peraturan Darurat Nomor 3 tahun 1949 yang telah ada sebelumnya, di beberapa
59 60
AH. Nasution, op. cit., halaman 80 - 108. Soegiri, dkk., op.cit., halaman 112
Universitas Sumatera Utara
tempat telah dibentuk pengadilan Darurat, tetapi mengingat situasi perjuangan yang memerlukan waktu lama, maka Pengadilan Darurat tersebut perlu disempurnakan serta diperlukan peraturan yang mencakup seluruh pengadilan, baik sipil maupun militer. 61 Berangkat dan keadaan yang genting ini, maka para komandan yang dalam berbagai hal memiliki peranan yang menentukan dalam lingkungan Peradilan Militer, dibebani tugas sebagai ketua pengadilan tentara tersebut, sedangkan untuk Peradilan Sipil, para kepala daerah diberi tugas sebagai ketua pengadilan sipil di daerahnya masing-masing. Peraturan Darurat Nomor. 46/11BKD/49 tersebut mengatur tentang Pengadilan Tentara Pemerintah Militer untuk seluruh Jawa dan Madura, maka dengan adanya ketentuan ini maka pengadilan tentara di seluruh Jawa dan Madura yang diatur oleh Undang-undang Darurat Nomor 3 tahun 1949 dihapuskan serta diganti dengan Peraturan Darurat Nomor 46/MBKD/49 tentang Pengadilan Tentara Pemerintahan Militer. Peraturan darurat ini memuat berapa hal yaitu: 1) Pengadilan Tentara Pemerintahan Militer. Sesuai pasal 2 Peraturan Darurat tersebut susunan peradilan tentara terdiri dari : a) Mahkamah Tentara Onder Distrik Militer, disingkat MTODM dengan daerah kedudukan sama dengan kedudukan Komandan Onderdistrik Militer KDM) dan daerah hukumnya meliputi onderdistrik militer tersebut.
61
Ibid
Universitas Sumatera Utara
b) Mahkamah Tentara Distrik Militer, disingkat MTDM dengan daerah kedudukan sama dengan kedudukan Komandan Distrik Militer dan daerah hukumnya meliputi Distrik Militer yang bersangkutan. c) Mahkamah Tentara Daerah Gubernur Militer, disingkat MTG dengan daerah kedudukan sama dengan kedudukan Gubernur Militer yang bersangkutan. d) Mahkamah Tentara Istemewa. 2) Pengadilan Sipil Pemerintahan Militer tentang Mahkamah Luar Biasa Pengadilan sipil di seluruh Jawa dan Madura dihapuskan serta diganti dengan Pengadilan Sipil Pemerintahan Militer. Pengadilan ini terdiri atas: a) Pengadilan Kabupaten Pengadilan ini ada di tiap-tiap kabupaten dan tempat kedudukannya sama dengan tempat kedudukan Bupati dengan daerah hukum meliputi daerah Kabupaten (Pasal 18). Di mana Bupati sebagai Ketua dan sedikit-dikitnya dua orang terkemuka yang diangkat CM (penguasa militer) sebagai anggota serta seorang pegawai yang ditunjuk oleh Bupati sebagai panitera dan sidang tersebut sah, apabila dihadiri Ketua, dua orang anggota dan panitera (pasal 19 dan 20) b) Pengadilan Kepolisian Sesuai Pasal 26, Pengadilan ini ada di tiap-tiap Kecamatan (Kaonderan, Kapanewon) dan tempat kedudukan sama dengan tempat kedudukan Camat serta daerah hukum meliputi daerah Kecamatan. Sedangkan susunan pengadilan terdiri dan Camat (Asisten Wedana, Panewu) sebagai Hakim dan
Universitas Sumatera Utara
seorang pegawai yang ditunjuk oleh Bupati sebagai Fiscaalgriffier (Pasal 27 dan 28) Cara menjalankan hukuman penjara sesuai Peraturan Darurat No.3 Tahun 1949, adalah hukuman penjara dan dapat diganti dengan membayar uang, dan apabila tidak mampu, maka harus menjalani kerja paksa. c) Mahkamah Tentara Luar Biasa. Bab III Peraturan Darurat tersebut memuat ketentuan-ketentuan tentang Mahkamah Luar Biasa dengan dasar pemikiran, sebagai berikut: 1) Suatu daerah dimana belum terbentuk pemerintahan Militer atau di mana Pemerintahan Militer Daerah yang ada oleh karena gerakan musuh telah meninggalkan daerah itu, tetapi daerah tersebut masih diduduki oleh pasukan sekecil-kecilnya satu Kompi dapat diadakan suatu Mahkamah Tentara Luar Biasa guna mengadili perkara pidana yang terdakwanya anggota angkatan perang atau orang sipil. Wewenang membentuk mahkamah tersebut menurut Pasal 1 dan Pasal 3 diberikan kepada Komandan Pasukan yang bersangkutan. 2) Apabila terdapat perkara yang terdakwanya berpangkat lebih tinggi dan pada komandan pasukan tersebut, maka terdakwa itu oleh Perwira Provost yang bersangkutan harus diserahkan kepada Komandan Batalyon dan kesatuan Perwira tesebut (Pasal 2 dan 4). 3) Mahkamah Tentara Luar Biasa diwajibkan harus berpedoman pada aturanaturan yang tercantum Peraturan Darurat.
Universitas Sumatera Utara
D. Peradilan Militer Masa R.I.S Tahun 1949 - 1950 Masa ini kedudukan Republik Indonesia berpusat di Jogjakarta dan menjadi negara bagian Republik Indonesia Serikat. Dibandingkan dengan negara bagian lain, hanya Republik Indonesia yang memiliki tentara lengkap dengan peraturan-peraturannya, yang telah dimiliki sejak awal berdirinya Republik Indonesia 7 Agustus 1945 Peraturan perundang-undangan tentang peradilan tentara menurut hukum masih tetap berlaku dalam masa RIS selama tidak bertentangan dengan Konstitusi RIS atau selama belum diganti. Peraturan tentang Peradilan Militer yang masih berlaku, antara lain: a. Peraturan Pemerintah Pengganti Perundang-undangan Nomor 36 tahun 1949 tanggal 29 Desember 1949 yang berlaku tentang penghapusan Peraturan Darurat No.49/MBKD/49 dan menghidupkan kembali pengadilan tentara yang ada sebelum tanggal 7 Mei 1949. b. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1948 tentang susunan dan Kedudukan Pengadilan/ Kejaksaan dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan. Meskipun wilayah RIS meliputi seluruh Indonesia, tetapi hanya RIS yang memiliki badan-badan peradilan tentara, sedangkan negara bagian lain belum memiliki mahkamah maupun kejaksaan tentara. Oleh karena itu, Pemerintah RIS berusaha mengisi kekosongan peraturan-peraturan yang sangat diperlukan, kemudian mengeluarkan Undang-undang darurat nomor 16 tahun 1950 yang kemudian menjadi Undang-undang nomor 5 tahun 1950 tanggal 20 Juli 1950 yaitu sebagai Undang-undang Federal.
Universitas Sumatera Utara
c. Peradilan Militer berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 16 Tahun 1950. Untuk mengisi kekosongan di negara bagian selain dari Republik Indonesia RIS berusaha mengeluarkan Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1950 yang kemudian menjadi Undang-undang nomor 5 tahun 1950 tanggal 20 Juli 1950 yang dikenal dengan Undang-undang Federal. Selanjutnya dikeluarkan juga Undang-undang Darurat Nomor 17 Tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Tentara yang kemudian menjadi undang-undang Federal Nomor 6 tahun 1950, tetapi sebelum diundangkan Undang-undang Darurat Nomor 16 Tahun 1950, berdasarkan pasal 192-195 Konstitusi RIS, yang berlaku adalah peraturanperaturan Republik Indonesia. Sejak diundangkan Undang-undang Darurat Nomor 16 tahun 1950 maka peraturan tentang susunan dan kekuasaan dalam lingkungan peradilan ketentaraan di Indonesia, dapat dikatakan sudah mantap. Konsideran undangundang ini menyebutkan tentang keperluan diadakannya peraturan baru tentang materi pokok yang termuat didalamnya. Demikian pula dalam pasalpasalnya tidak ditemukan ketentuan peralihannya, bahkan dalam pasal 1 dicantumkan ketentuan yang isinya menyatakan, bahwa segala peraturan yang ada sebelumnya dihapus dan diganti dengan undang-undang ini. d. Susunan dan Kekuasaan. Susunan peradilan tentara berdasarkan Undang-undang Darurat Nomor 16 tahun 1950, yaitu: 1) Mahkamah Tentara, 2) Mahkamah Tentara Tinggi, 3) Mahkamah Tentara Agung.
Universitas Sumatera Utara
E. Peradilan Militer Masa Berlakunya UUDS tahun 1950 sampai dengan tahun 1959 a. Peradilan Militer berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1950. Seperti diketahui, kedudukan dan daerah hukum Peradilan Militer pada umumnya bersamaan dengan peradilan umum (Peradilan Negeri). Hal ini membawa akibat apabila terjadi perubahan atau pergantian dalam peradilan umum akan diikuti pula oleh Peradilan Militer. Oleh karena itu dikeluarkan Undang-undang Darurat No.1 Tahun 1951 pada tanggal 13 Maret 1951 tentang Tindakan-tindakan Sementara untuk menyelenggarakan Kesatuan Susunan, kekuasaan dan Acara Pengadilanpengadilan Sipil yang intinya berisi: 1) Penghapusan pengadilan yang tidak sesuai lagi dengan susunan negara kesatuan. 2) Pengahapusan
secara
berangsur-angsur
pengadilan
Swapraja
dan
Pengadilan Adat. 3) Selanjutnya Pengadilan Agama dan Pengadilan Desa. 4) Pembentukan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di tempat-tempat tertentu. Undang-undang ini menghapuskan semua undang-undang yang berkaitan dengan Pengadilan/ Kejaksaan Ketentaraan, dimana kekuasaan kehakiman dalam peradilan tentara dilaksanakan oleh: 1) Pengadilan Tentara 2) Pengadilan Tentara Tinggi: 3) Mahkamah Tentara Agung (Pasal 2)
Universitas Sumatera Utara
Ketika itu pejabat -pejabat yang menjalankan Peradilan Tentara, adalah Ketua Pengadilan Negeri karena jabatannya menjadi Ketua Pengadilan Tentara demikian pula untuk Pengadilan Tentara Tinggi dan Mahkamah Tentara Agung juga Kejaksaan Tentara, Kejaksaan Tentara Tinggi serta Kejaksaan Tentara Agung. Mereka saat menjalankan tugasnya oleh Presiden diberi pangkat militer tituler (Pasal 32). Sedangkan hukum acara yang digunakan, sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 adalah het Herziene Inlandsch Reglement (HIR) dengan perubahan-perubahan seperti yang dimuat dalam Undang-undang No.6 Tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Tentara, sehingga Jaksa merupakan pemimpin pemeriksaan permulaan (penyidikan). b. Mahkamah Militer Luar Biasa. Tahun 1950, sebagian wilayah Indonesia masih ada yang dinyatakan dalam keadaan perang atau dalam keadaan darurat perang. 62 Khusus untuk bekas Negara Indonesia Timur dengan Keputusan Presiden No.160, 169, dan 204 Tahun 1950, hampir seluruh wilayah Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat perang. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Panglima Tentara dan Teritorium VII memegang kekuasaan militer tertinggi di daerah itu, dan dalam melaksanakan tugas serta tanggungjawabnya ia dapat menyimpang ketentuan meskipun secara terbatas. Panglima pada waktu itu 62
Soegiri, dkk, op. cit., hal. 160
Universitas Sumatera Utara
(Kolonel Inf Kawilarang) berpendapat, bahwa peradilan tentara di Komando Tentara dan Teritorium VII belum dapat melaksanakan fungsinya lagi pula keadaan masih gawat sehingga masih perlu diadakan tindakan cepat dan tepat dengan mematuhi saluran dan prosedur hukum. 63 Berdasarkan alasan tersebut, ia kemudian mengusulkan kepada Menteri Pertahanan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di Pusat untuk membentuk Mahkamah Militer Luar Biasa, maka kemudian terbit Surat Keputusan Kekuasaan Militer Pusat No.3 Tahun 1950 tanggal 10 Oktober 1950 yang isinya Di daerah yang dalam keadaan darurat perang, Panglima dapat membentuk Mahkamah Militer Luar Biasa.
c. Mahkamah Angkatan Darat Daerah Pertempuran Berdasarkan persetujuan Konfrensi Meja Bundar di Den Haag Tahun 1949, Belanda harus menyerahkan seluruh wilayah yang diduduki kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia, kecuali Irian Barat setelah konfrensi tersebut. Ternyata sampai bertahun-tahun, Irian Barat tidak diserahkan ke Republik Indonesia, sampai akhirnya pada tanggal 19 Desember 1961, Presiden Soekarno mencanangkan Tritura untuk merebut kembali Irian Barat. 64 Di satu sisi, TNI dengan segala lapisan masyarakat bersiap-siap untuk menghadapi Belanda, ternyata di sisi lain juga mendapat rongrongan berupa
63
Ibid. Disjorahad, Sajarah TNI 1945-1973, Peranan TNI AD, Bandung: Dinas Sejarah TNI Angkatan Darat, 1979, halaman 85-11 64
Universitas Sumatera Utara
pemberontakan PRRI Permesta
65
, dan untuk mengantisipasi meluasnya
pemberontakan, maka pemerintah menyatakan seluruh wilayah Indonesia dalam keadaan bahaya, sehingga dikeluarkan Undang-Undang Keadaan Bahaya No.74 Tahun 1957 dengan Peraturan Pelaksanaannya, yaitu Keputusan Presiden RI No. 225 Tahun 1957, kemudian dibentuk suatu peradilan
di
lingkungan
TNI
Angkatan
Darat
Daerah
Pertempuran
(Mahadper) berdasarkan Surat Keputusan Penguasa Perang Pusat Angkatan Darat No.Prt/peperpu/024/1958 tanggal 28 April 1958 juga di lingkungan TNI Angkatan Udara dibentuk badan peradilan serupa, yaitu Mahkamah Angkatan Udara Daerah Pertempuran dengan Surat Keputusan Penguasa Perang Pusat Angkatan Udara No.2/ Peperpu/AU-1958 tanggal 28 April 1958. d. Perubahan Hukum Acara Pidana Militer. Ketika itu penyelenggaraan atau penegakan Disiplin Tentara, sistem pemeriksaan dan penyerahan perkara dirasakan jauh dari memuaskan, sebagaimana terdapat dalam Penjelasan Undang-undang Darurat No.1 Tahun 1958, yaitu: Sistem itu mudah mengakibatkan bentrokan antara kejaksaan dan pihak pimpinan Angkatan /Kesatuan, bahkan sesungguhnya mengurangi kedudukan para Komandan yang bertanggung jawab penuh atas keadaan keamanan dan ketertiban dalam lingkungan Angkatan/Kesatuan dan atas kedudukan/keadaan anak buahnya sebagai anggota militer. Oleh karena sering terjadi bentrokan maka dicari sistem baru yang memungkinkan Komandan/Atasan tersangka dapat ikut campur dalam phase
65
Soegiri, dkk. op .cit., halaman 162.
Universitas Sumatera Utara
pemeriksaan permulaan, penahanan sampai penyerahan perkara untuk di sidang di Pengadilan, yaitu Undang-undang No. 29 Tahun 1954 tentang Pertahanan Negara Pasal 35 ayat (1) menyatakan: “Angkatan Perang mempunyai peradilan tersendiri dan Komandan-komandan mempunyai hak penyerahan perkara.” Menindaklanjuti Pasal 35 ayat (1) tersebut, dikeluarkan ‘Undang-undang Darurat No.1 Tahun 1958 tentang Perubahan Undangundang No. 6 Tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada Pengadilan Ketentaraan, dan Undang-undang inilah pada akhirnya Jaksa tidak mewakili lagi
hak
menahan,
memeriksa
ataupun
menyerahkan
perkara
tanpa
sepengetahuan / ijin Komandan atau Atasan tersangka. 66
F. Periode 5 Juli 1959 sampai dengan 11 Maret 1966 a. Peradilan Militer Angkatan dan Polri Tanggal 5 Juli 1959, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Dekrit yang antara lain menyatakan pembubaran Konstituante dan berlakunya Undang-undang Dasar 1945. Meskipun demikian, berdasarkan Ketentuan Ketentuan Peralihan UUD 1945, Peradilan Militer sebagaimana diatur dalam Undang-undang No.6 Tahun 1950 serta perubahannya dalam Undang-undang Darurat No.1 tahun 1958 masih tetap/1angsung berlaku. Setelah berlakunya UUD 1945, maka untuk melaksanakan ketentuan Pasal 24 ditetapkan Ketentuan-ketentuan Pokok mengenai kekuasaan
66
Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1958 Pasal 6 ayat 1.
Universitas Sumatera Utara
Kehakiman sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 9 Tahun 1964 yang diundangkan pada tanggal 31 Oktober 1964, dan Pasal 7 menetapkan: 1) Kekuasaan Kehakiman dilaksanakan oleh pengadilan dalam lingkungan: a) Peradilan Umum b) Peradilan Agama c) Peradilan Militer d) Peradilan Tata Usaha Negara 2) Semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung yang merupakan pengadilan tertinggi untuk semua peradilan. 3) Peradilan-peradilan tersebut secara teknis ada di bawah pimpinan Mahkamah Agung, tetapi secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah Departemen Kehakiman, Departemen Agama, dan Departemen Departemen da1am lingkungan Angkatan Bersenjata. Dalam pasal ini istilah Angkatan Bersenjata, mempunyai arti yang sama dengan Angkatan Perang, karena hingga diundangkannya UU NO.19 Tahun 1964, yang menyelenggarakan Peradilan Militer adalah Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Sedangkan Kepolisian Negara pada waktu itu sebenarnya juga sudah disebut Angkatan Kepolisian, sehingga merupakan Departemen tersendiri juga berstatus Menteri, tetapi terhadap anggota Angkatan Kepolisian belum diberlakukan Hukum Pidana Militer dan Hukum Disiplin Militer, sehingga anggota Angkatan Kepolisian belum masuk kekuasaan Peradilan Militer tetapi masih berada di bawah kekuasaan Peradilan Umum. 67
67
Soegiri, dkk., op.cit., halaman 190
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan Undang-undang No. 15 Tahun 1961 yang mulai berlaku tanggal 31 Jun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian, Pasal 3 menyatakan, bahwa Kepolisian Negara adalah Angkatan Bersenjata. Inilah awal Polri berintegrasi dengan TNI. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden No. 290 Tahun 1964, Angkatan Kepolisian sejajar dengan Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Berdasarkan Penetapan Presiden No.3 Tahun 1965, maka Hukum Pidana Tentara dan Hukum Disiplin Tentara dinyatakan berlaku bagi Tamtama, Bintara dan Perwira Angkatan Kepolisian, sehingga apabila ada anggota Angkatan Kepolisian yang melakukan tindak pidana tidak lagi diadili oleh peradilan umum (negeri) tetapi oleh Peradilan Mi1iter. Penetapan Presiden No.3 Tahun 1965 Pasal 2, menetapkan bahwa Tamtama, Bintara dan Perwira Angkatan Kepolisian yang melakukan tindak pidana, diadili oleh : 1) Badan peradilan dalam lingkungan Angkatan Laut, apabila tindak pidana itu dilakukan di daerah Tingkat II Riau Kepulauan. 2) Badan peradilan dalam Lingkungan Angkatan Darat, apabila tindak pidana itu dilakukan di luar daerah tersebut, kecuali kalau ada ketentuan-ketentuan khusus. Selanjutnya Pasal 2 Undang-undang No.3 PNPS Tahun 1965, mengalami perubahan dan tambahan dengan UU No.23 PNPS Tahun 1965 yang mengatur tentang dimungkinkan Angkatan Kepolisian mempunyai badan peradilan tersendiri untuk memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama terhadap tamtama, bintara dan perwira yang melakukan tindak pidana.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan instruksi. MEN/PANGAK No. 44/ Instr/SK/1966 tanggal 19 Nopember 1966, dibentuk Pengadilan Tinggi AKRI (LANAKTI) dan Pengadilan AKRI (LANAK) . LANAK berkedudukan di tiap KOMDAK (Komando Daerah Kepolisian) sedangkan LANAKTI ditingkat DEPAK (Departemen Kepolisian) atau pada eselon KOMDAK yang tidak memiliki garis komando terhadap LANAK. LANAK bersidang pertama kali di KOMDAK I/Aceh pada tanggal 8 Nopember 1966, sedangkan di KOMDAK Jawa Timur (Surabaya) pada tanggal 22 dan 1967. 68 Dengan demikian, pengadilan dalam lingkungan Paradilan Militer terdiri dari : 1) Peradilan Militer untuk lingkungan AD. 2) Peradilan Militer untuk lingkungan AL. 3) Peradilan Militer untuk lingkungan AU. 4) Peradilan Militer untuk lingkungan AK. Perkembangan selanjutnya diundangkan Penetapan Presiden No.22 Tahun 1965 tanggal 30 Oktober 1965 tentang perubahan dan tambahan beberapa pasal dalam Undang-undang No.5 tahun 1950. Pasal-pasal yang mengalami perubahan, ialah Pasal 9, Pasal 15, Pasal 23 ayat (2) dan (6) serta Pasal 32. Sedangkan yang dicabut adalah Pasal 10 ayat (5) dan Pasal 16 ayat (4). Perubahan-perubahan tersebut adalah mengenai pengangkatan personel teras atau pejabat-pejabat utama pada badan-badan Peradilan Militer sehubungan telah tersedianya tanaga ahli dari kalangan Militer sendiri. Demikian juga 68
Ibid., halaman 219.
Universitas Sumatera Utara
Jaksa tentara dari kalangan Militer harus sudah dapat melaksanakan penuntutan sendiri di sidang pengadilan tentara. 69 b. Peradilan Militer Khusus. Undang-undang No.23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang diundangkan pada tanggal 16 Desember 1959 telah mencabut Undang-undang. Undang-undang No.23 Prp Tahun 1959 telah membawa konsekuensi pada peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Penguasa Keadaan Bahaya berdasarkan Undang-undang Keadaan Bahaya Tahun 1957. Berkaitan dengan keadaan bahaya tersebut, Undang-undang No.. 23 Prp Tahun 1959 mengatur tiga keadaan bahaya, yaitu: 1) Keadaan Darurat Sipil 2) Keadaan Darurat Militer 3) Keadaan Perang. Berdasarkan Undang-undang No.23 Prp Tahun 1959 yang mengatur tentang keadaan bahaya maka lahirlah Peraturan Penguasa Perang Tertinggi No. 2 Tahun 1960 tentang Mahkamah Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara dalam keadaan perang. Tingkatan keadaan bahaya sebagaimana dimaksud Undang-undang No. 23 Prp Tahun 1959 tersebut, adalah keberadaan Mahkamah sebagaimana diatur dalam Peraturan Penguasa Perang Tertinggi di atas, hanya ada pada tingkatan Keadaan Perang. Keadaan bahaya dicabut dan seluruh wilayah RI pada tanggal 1 Mei 1963, dengan dihapusnya keadaan bahaya tersebut, maka Peraturan Penguasa 69
Ibid., hal..202. Hal ini didasarkan telah tersedianya tenaga Perwira ahli Hukum/sarjana hukum yang diperoleh melalui Akademi Hukum Militer/Perguruan Tinggi Hukum Militer (AHM/PTHM) dan juga dan Sarjana Hukum melalui wajib militer.
Universitas Sumatera Utara
Perang Tertinggi No. 2 Tahun 1960 tersebut tidak berlaku lagi, sehingga sejak saat itu, Badan Peradilan Militer Khusus tidak ada/dihapus. 70 c. Mahkamah Militer Luar Biasa (MAHMILLUB) Berdasarkan Undang-undang No. 5 tahun 1963 tanggal 24 Desember 1963 dibentuk Mahkamah Militer Luar Biasa sebagai pengadilan khusus, kemudian menjadi Undang-undang No. 16 Pnps Tahun 1963. Tempat kedudukan dan daerah hukum Mahkamah ini, adalah di Ibukota Negara RI yaitu Jakarta dan Daerah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara (pasal 2). Dengan demikian, persidangan dapat dilakukan di Ibu Kota Negara atau di luar Ibu Kota Negara. MAHMILLUB telah bersidang di tempat kedudukannya di Jakarta dan di Luar Jakarta, yaitu Medan, Pekanbaru, Palembang, Padang, Bandung, Banjarmasin, dan Makassar. Mahkamah Militer Luar Biasa memiliki kekuasaan memeriksa dan mengadili dalam tingkat pertama dan terakhir perkara-perkara khusus yang ditentukan oleh Presiden (pasal 1). Perkara-perkara khusus dimaksud, adalah mengenai perbuatan yang merupakan ancaman dan bahaya besar bagi keamanan bangsa dan negara, sehingga memerlukan penyelesaian yang sangat segera. Pelaku tindak pidana tersebut tidak dibatasi, baik militer maupun sipil.
70
Soegiri, dkk., op. cit., halaman 235.
Universitas Sumatera Utara
Oleh karena itu, maka penentuan suatu perkara khusus dilakukan oleh Presiden. Perkara G-30-S-PKI misalnya, hanya perkara para tokohnya saja yang dinyatakan sebagai perkara khusus dan diadili oleh MAHMILLUB.
71
Sedangkan perkara-perkara G-30-S/PKI lainnya yang bukan melibatkan tokoh, diperiksa dan diadili oleh : 1) Mahkamah Militer, apabila pelakunya anggota militer. 2) Pengadilan Negeri, apabila pelakunya sipil.
d. Mahkamah Bersama Angkatan Bersenjata (MAHSAMANTA) Berkaitan peiaksanaan DWIKORA, dirasa perlu adanya penyelesaian yang cepat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Angkatan Bersenjata serta angota Hansip dan Sukarelawan untuk memelihara dan mempertahankan semangat dan disiplin yang tinggi, sehingga dengan Penetapan Presiden No.5 Tahun 1965 yang diundangkan pada tanggal 15 Maret 1965, dibentuk suatu Mahkamah Bersama Angkatan Bersenjata yang berwenang mengadili tindak pidana yang dilakukan Bersenjata anggota Angkatan Bersenjata anggota Hansip serta Sukarelawan dan meskipun telah dibentuk, kenyataan mahkamah ini belum pernah bersidang, bahkan sampai dicabutnya Penetapan Presiden no. 5 Tahun 1965 tersebut.
71
Keputusan Presiden RI No. 370 tahun 1965.
Universitas Sumatera Utara
G. Peradilan Militer Tahun 1966 sampai dengan tahun 1997 a. Peradilan Militer Integrasi. Sejak keluar Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), pelaksanaan Peradilan Militer di dalam 1ingkungan masing-masing Angkatan masih berjalan
terus sebagaimana sebelumnya. Keadaan ini berlangsung sampai
dengan tanggal 16 Agustus 1973, sebagaimana ditentukan dalam Keputusan Bersama Menteri Kehakiman dan Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima Bersenjata
masing-masing
No.
J.S.4/10/14
tanggal
10
Juli
1972
SKEP/2/498/VII/72 tentang Perubahan Nama, Tampat Kedudukan, Daerah Hukum, Yurisdiksi serta kedudukan Organisatoris, Daerah Hukum Mahkamah Militer Tinggi dan Orditurat Militer Tinggi. Bersamaan dengan No. KEP/B/10/III/ 1973 tanggal 19 Maret 1973, mengenai Tempat J.S.8 /18/ 19 Kedudukan dan Daerah Hukum Mahkamah Militer dan Oditurat Militer. Sebelumnya pada Tahun 1968 dikeluarkan surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Kehakiman dengan Menteri Pertahanan Keamanan No.Kep /8.306/1968 tentang perubahan nama Peradilan Tentara, Daerah Hukum dan Tempat Kedudukan. Nama Peradilan Tentara diubah menjadi Mahkamah Militer (Mahmil) dan daerah hukumnya meliputi suatu Daerah Militer dan berkedudukan di tempat kedudukan Markas Komando Daerah Militer atau di tempat Lain dalam wilayah Komando Daerah Militer (Kodam) serta Nama Peradilan Tentara Tinggi diubah menjadi Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) yang daerah hukumnya meliputi seluruh Indonesia.
Universitas Sumatera Utara
Terintegrasinya
peradilan/mahkamah
militer
telah
menjadikan
Peradilan Militer tidak lagi berada dalam lingkungan Angkatan masingmasing, tetapi dilakukan oleh badan Peradilan Militer yang berada di bawah Departemen Pertahanan/Keamanan dan pelaksanaan Peradilan Militer yang terintegrasi ini merupakan suatu perkembangan penting yang tidak bisa dilepas dan perkembangan ABRI. Di samping itu, terhitung mulai 17 Agustus 1973, semua perkara harus diperiksa dan diadili oleh Mahkamah Militer Integrasi. Menyesuaikan perkembangan istilah dalam bidang peradilan yang terdapat dalam berbagai peraturan perundangan, antara lain dalam UndangUndang No. 14 Tahun 1970, maka terhadap nama pengadilan ketentaraan perlu dilakukan penyesuaian, dan dengan penyesuaian itu, maka penyebutan nama kekuasaan kehakiman dalam Peradilan Militer dilakukan Militer, yaitu: 1) Mahkamah Militer (Mahmil) 2) Mahkamah Militer Tinggi (Mahmilti) 3) Mahkamah Militer Agung (Mahmilgung). Sedangkan susunan jabatan Mahkamah Militer dan Mahkamah Militer Tinggi, adalah mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang No.5 tahun 1950 yang telah diubah dengan Undang-Undang No. 22 Pnps Tahun 1965. Susunan persidangan Mahmil/Mahmilti sesuai dengan Ketentuan UndangUndang No. 5 Tahun 1950 jo. Undang-Undang No. 14 Tahun 1970, adalah dengan tiga orang hakim tersebut, satu orang oditur dan seorang panitera. Tiga
Universitas Sumatera Utara
orang hakim tersebut, satu orang hakim sebagai Ketua dan 2 (dua) orang hakim anggota. Dengan tersedianya tenaga hakim, maka hakim anggota terdiri dari Hakim Perwira (Kimpa) atau Hakim Militer (Kimmil), dan untuk memberikan arti pada asas integrasi, maka komposisi sidang diusahakan terdiri dan unsurunsur ketiga Angkatan dan Polri. Hukum acara yang dipergunakan dalam proses peradilan Mahmil, Mahmilti integrasi adalah tetap mengacu pada ketentuanketentuan yang telah diatur, khususnya dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1950 dan perubahannya, yaitu Undang-Undang No. 1 Prt Tahun 1958. Bersamaan dengan berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Acara pidana (KUHAP) melalui Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 yang secara tegas mencabut HIR sepanjang menyangkut hukum acara pidana, maka perkataan berpedoman pada HIR sebagai tercantum dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 1950 tersebut, harus dibaca berpedoman pada RUHAP. Hal ini disebabkan ketentuan dalam KUHAP tidak dapat sepenuhnya diberlakukan dalam lingkungan peradilan militer, berpangkal pada kekhususan-kekhususan yang terdapat dalam kehidupan militer. b. Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmillub) Seperti yang telah diuraikan pada bagian di atas, Mahimillub sebagai pengadilan militer khusus, dibentuk berdasarkan penetapan Presiden No. 16 tahun 1963, kemudian berdasarkan Undang-undang nomor 5 tahun 1969 dinyatakan menjadi. Undang-undang nomor 16 Pnps tahun 1963. Keberadaan Mahmillub sebagaimana dilaksanakan pada masa sesudah 11 Maret. 1966, pada dasarnya tidak mengalami perubahan yang berarti karena secara substansi
Universitas Sumatera Utara
keberadaannya selalu dikaitkan dengan perkara-perkara khusus yang ditentukan oleh Presiden. Kegiatan Mahmillub pada masa sesudah 11 Maret 1966 terutama dalam memeriksa dan mengadili perkara tokoh-tokoh G-30-S/PKI sebagaimana ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 370 tahun 1965, terdapat perubahan
sehubungan
dengan
perkembangan
keadaan,
organisasi
dan
administrasi pemerintah. Perubahan tersebut ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1973 yaitu: 1) Memberikan wewenang kepada Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban atau pejabat yang ditunjuk olehnya, untuk: a). Menentukan siapa yang termasuk tokoh-tokoh G-30-S/PKI b). Bertindak selaku Perwira Penyerah Perkara dalam perkara tersebut. c). Menentukan susunan Mahmillub untuk mempersiapkan, memeriksa dan mengadili perkara-perkara tersebut. 2) Pembiayaan
peradilan
dan
penyelesaian
perkara
dibebankan
kepada
Departemen Pertahanan Keamanan cq. Anggaran Khusus Kehakiman ABRI.
H. Tahun 1997 sampai dengan sekarang a. Peradilan Militer Berdasarkan Undang-undang No. 31 Tahun 1997. Berdasarkan undang-undang ini, maka semua peraturan, undang-undang yang berkaitan dengan Peradilan Militer maupun hukum acaranya dinyatakan tidak berlaku. Undang-Undang ini selain mengatur tentang susunan dan
Universitas Sumatera Utara
kekuasaan pengadilan serta oditurat (kejaksaan) di lingkungan Peradilan Militer juga memuat hukum acara pidana militer. Hal yang paling baru yang belum pernah diatur sebelumnya adalah masalah sengketa Tata Usaha ABRI dan menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana. Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer terdiri dari : 1) Pengadilan Militer; 2) Pengadilan Militer Tinggi; 3) Pengadilan Militer Utama; dan 4) Pengadilan Militer Pertempuran (pasal 12) Kekuasaan Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer Utama hampir sama dengan kekuasaan pengadilan sebagaimana diatur dalam ketentuan sebelumnya, hanya ditambahkan dengan sengketa Tata Usaha dan menggabungkan gugatan ganti rugi. Sedangkan Pengadilan Militer Utama, sebelumnya Mahkamah Militer Agung dengan kekuasaan hampir sama, hanya ditambahkan kekuasaan untuk memutus perbedaan pendapat antar Perwira Penyerah Perkara dan Oditur berkaitan dengan diajukannya perkara kepengadilan. Sedangkan
Pengadilan
Militer
Pertempuran
memiliki
kekuasaan
memeriksa Pidana oleh prajurit (militer) di daerah pertempuran serta bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan, berkedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran (pasal 45 dan pasal 46) pidana yang dilakukan oleh prajurit ABRI atau yang dipersamakan berdasarkan undang-undang atau seseorang yang
Universitas Sumatera Utara
berdasarkan Keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh pengadilan militer juga memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata serta menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam perkara pidana dalam satu putusan. Undang-undang Nomor. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer selain mengatur susunan, organisasi peradilan juga mengatur hukum acaranya, hukum acara yang diatur dalam Undang-undang ini hampir sama dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dengan berbagai kekhususan, seperti kewenangan Komandan (Atasan yang Berhak menghukum/Ankum) melakukan penyidikan, penahan serta peran Perwira Penyerah Perkara dalam penyerahan perkara (pasal 69 sampai dengan pasal 131) b. Pemisahan Polri dari ABRI Berdasarkan Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2000 tentang Pemisahan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia serta Ketetapan MPR RI nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, maka mulai tanggal 1 Juli 2000, Polri dan TNI dinyatakan sebagai suatu keseimbangan yang terpisah dengan kedudukan yang setara. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 89 tahun 2000 tanggal 1 Juli 2000, kedudukan Polri ditetapkan berada langsung di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden RI yang kemudian dikuatkan dengan Ketetapan MPR RI nomor VII / MPR / 2000, khususnya Pasal 7 ayat (2).
Universitas Sumatera Utara
Kemudian dengan diundangkannya Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia pada pasal 29 ayat (1) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia tunduk pada kekuasaan Peradilan umum. Pada ketentuan peralihan pasal 43 (b) mengatur tindak pidana yang dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang belum diperiksa baik ditingkat penyidikan maupun pemeriksaan di pengadilan militer berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan di lingkungan peradilan umum. Berkaitan dengan peradilan mana yang memeriksa dan memutus tindak pidana yang dilakukan anggota Militer, pasal 65 ayat (2) mengatur Prajurit TNI (militer) tunduk kepada kekuasaan Peradilan Militer dalam pelanggaran hukum militer dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Ketentuan ini membawa perubahan yang mendasar, sebab Undang-undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer pasa1 9 mengatur tentang kompetensi Peradilan. Militer mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh militer, dan orang-orang yang ditentukan oleh Perundangundangan tunduk kepada Peradilan Militer dan koneksitas. Dalam arti Peradilan Militer sampai saat ini mengadili dan memeriksa berdasarkan pada pelaku tindak pidana. Perkembangan selanjutnya guna mewujudkan kekuasaan kehakiman yang independen, berbagai pihak terutama hakim meyakini perlunya memberlakukan sistem satu atap (one roof system) bagi kekuasaan kehakiman di Indonesia. 72 Satu atap dalam arti satu sistem yang menyatukan kewenangan pembinaan teknis 72
Departemen Hukum Dan HAM RI Badan Pembinaan Hukum Nasional, Laporan Akhir Pengkajian Hukum Reformasi Lembaga Perdi1an 2006, halaman 83.
Universitas Sumatera Utara
yang menyatukan kewenangan pembinaan teknis yudisial dan kewenangan pengelolaan aspek organisasi, administrasi dan finasial peradilan, berada di Mahkamah Agung RI, lepas dari campur tangan pemerintah (Mabes TNI) untuk Peradilan Militer. Sesuai Pasal 72 ayat 3 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Militer Kehakiman mengatur, Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan Peradilan Militer tanggal 30 Juni 2004. Ketentuan ini tidak dapat dilaksanakannya Keputusan Presiden Nomor 56 tahun 2004 tanggal 9 Juli 2004 namun pengalihan berlaku sejak 30 Juni 2004 vide pasal 2 ayat (1), bahkan secara phisik penyerahan baru terjadi pada tanggal 1 September 2004. 73 Akibat yuridis dari peralihan tersebut, semua pegawai negeri sipil di lingkungan Peradilan Militer beralih menjadi Pegawai Negeri Sipil Mahkamah Agung, khusus untuk pembinaan personil militer sesuai dengan peraturan yang mengatur tentang personil militer.
c. Teori Fungsi Negara Menurut Goodnow yang membagi dua fungsi pokok dalam negara yakni : making and eksekuting. Untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah benturan bantuan dalam masyarakat, maka negara harus melaksanakan penertiban. Dapat dikatakan bahwa negara bertindak sebagai stabilisator. Mengenai pengertian tentang ketertiban bahwa baik negara maupun hukum muncul dari kehidupan manusia karena keinginan bathinnya untuk memperoleh tata tertib berdasarkan 73
Ibid.
Universitas Sumatera Utara
keadilan, sedangkan suatu masyarakat yang menetapkan tata hukumnya bagi masyarakat dan oleh senidri dalam sikap itu sudut soal sendiri dalam berlakunya tata hukum itu. Dengan demikian ketertiban adalah kualitas atau kondisi yang dapat diwujudkan melalui tata hukum dalam suatu masyarakat hukum, tetapi ketertiban adalah hanya satu aspek hukum saja, karena hukum bertujuan untuk menciptakan kehidupan yang damai melalui tugas-tugas mencapai kepastian hukum dan keadilan. Dalam teori fungsi negara disebutkan agar diketahui, untuk apa organisasi negara itu dibentuk, atau dengan kata lain apa yang menjadi tugas daripada negara. Hal ini dapat diuraikan oleh Teori-teori fungsi negara yang dikenal dalam lima faham. Hal ini sangat penting guna dapat memilih dan memilah aliran dari ke lima faham yang sesuai dengan faham dan falsafah bangsa Indonesia yakni Pancasila dan UUD 1945. Adapun ke lima faham tersebut adalah : 1. Fungsi negara pada abad ke XVI di Prancis. 2. Fungsi negara menurut Jhon Locke 3. Fungsi negara menurut Montesquieu 4. Fungsi negara menurut Van Vollen Hoven 5. Fungsi negara menurut Goodnow 74 ad.1. Fungsi negara pada abad ke XVI di Prancis. Fungsi negara pertama kali dikenal pada abad ke XVII di Prancis yaitu : a. Diplomacie Di Indonesia sama dengan Departemen Luar Negeri, tugasnya adalah penghubung antar negara, dalam penghubung antar raja. 74
H. Daud, Ilmu Negara, Bumi Aksara.
Universitas Sumatera Utara
b. Difencie Di Indonesia sama dengan Departemen Pertahanan dan Keamanan. Tugas yang dijalankannya adalah masalah keamanan dan pertahanan. TNI sudah tepat dibawah Departemen HANKAM sebagai penegak Kedaulatan, menjaga keutuhan NKRI dan menjaga Keselamatan Bangsa dan Negara. c. Financie Di Indonesia sama dengan Departemen Keuangan yang bertugas menyediakan keuangan negara. d. Justicie Di Indonesia sama dengan Departemen Kehakiman dan Departemen Dalam Negeri, tugasnya menjaga ketertiban perselisihan antar warga negara dan urusan dalam negara. Polisi hendaknya dibawah Departemen ini, yakni Depkeh atau Depdagri sesuai teori fungsi negara. Sebagaimana negara-negara di dunia. Hal ini sangat perlu perhatian pemerintah dalam rangka pengawasan dan pencegahan pelanggaran Ham yang lebih banyak. e. Policie Bertugas mengurusi kepentingan negara yang belum menjadi wewenang dari Departemen lainnya (keempat departemen diatas). ad.2. Fungsi Negara menurut Jhon Locke a. Fungsi Legislatif untuk membuat perwakilan b. Fungsi Eksekutif untuk melaksanakan peraturan (termasuk urusan mengadili). c. Fungsi Fedaratif untuk mengurusi urusan luar negeri dan keadaan perang dan damai.
Universitas Sumatera Utara
ad.3. Fungsi negara menurut Montesquieu disebut Trias Politika a. Fungsi legislatif, membuat undang-undang b. Fungsi Eksekutif, melaksanakan undang-undang dan c. Fungsi Yudikatif, untuk mengawasi agar semua peraturan ditaati (fungsi mengadili). ad. 4. Fungsi negara menurut Van Vollen Hovan a. Regeling (membuat peraturan) b. Bestuner (menyelenggarakan pemerintahan) c. Rech poak (fungsi mengadili) d. Politie (fungsi ketertiban dan keamanan). ad. 5. Fungsi negara menurut Goodnow a. Making (membuat peraturan) b. Eksekuting (melaksanakan aturan)
d. Teori Pemisahan Kekuasaan Montesquieu Kedaultan rakyat yang dikenal di Indonesia berbeda dengan kedaulatan rakyat versi Barat (menurut Montesquieu).
Menurut versi Barat, kedaulatan rakyat
dibagi menjadi 3 bagian kekuasaan yang terdiri dari kekuasaan : 1. Legislatif (Pembuat Undang-Undang / Undang-Undang Dasar) : Parlemen 2. Eksekutif (Pelaksana Undang-Undang : Pemerintah 3. Yudikatif (Pengawas Pelaksana Undang-Undang).
Universitas Sumatera Utara
Di Indonesia pemisahan kekuasaan ini berlandaskan pada sila-sila Pancasila. Kedaulatan rakyat juga akan diartikan berbeda dengan demokrasi. Kedaulatan rakyat dipandang sebagai bagian dari istilah demokrasi. Dalam negara yang menganut paham demokrasai, rakyat memiliki kedaulatan tertinggi. Tulisan ini menganalisis makna dari kedaulatan rakyat itu berdasarkan nilai-nilai bangsa Indonesia serta bagaimana kedaulatan rakyat itu diwadahi baik tersirat dan tersurat dalam Pancasila dan UUD Tahun 1945 di Indonesia sehingga memiliki ciri khas. Sehubungan dengan pemisahan tersebut, diperlukan suatu persamaan pendapat berkaitan dengan kompetensi peradilan militer yang selalu dihubungkan dengan kondisi suatu negara, apakah negara tersebut dalam keadaan damai atau dalam keadaan perang, karena hal ini masing-masing membawa implikasi yang berbeda, baik mengenai obyek maupun subyek delik. Prajurit TNI atau anggota militer di negara manapun merupakan warga negara yang memperoleh perlakuan khusus dibandingkan dengan warga sipil atau warga negara pada umumnya, dan kekhususan itu berkaitan dengan tugas dan wewenang yang dimiliki dalam rangka membela, menjaga dan mempertahankan negara. 75 Kekhususan dimaksud antara lain; hak “membunuh” musuh. Sebagaimana dinyatakan oleh Jean Pictet, yaitu di dalam asas hukum humaniter yang terdapat 75
Soegiri, dkk, 30 Tahun Perkembangan Peradilan Militer di Negara Republik Indonesia, Cet. 1. Jakarta: Indra Djya, 1976 hal 6.
Universitas Sumatera Utara
dalam Konvensi Jenewa tanggal 12 Agustus 1949 tentang Perlindungan terhadap korban perang, dijelaskan bahwa hanya anggota angkatan bersenjatalah yang berhak menyrang dan menahan musuh. 76 Hal ini berarti, seseorang militer di dalam pertempuran, selain dapat menahan musuh yang tentu saja masih hidup baik luka maupun tidak, juga memiliki hak untuk membunuh musuh sebagaimana dipersyaratkan dalam hukum humanitar. Anggota angkatan bersenjata atau militer dalam hukum humaniter dikategorikan sebagai kombatan. Menurut hukum humanitar, combatantas are members of the armed forces of a party to the conflict except medical and religious personnel. 77
Dengan demikian, kombatan adalah anggota angkatan
bersenjata yang terlibat konflik kecuali petugas kesehatan dan rohaniawan yang tidak boleh diserang atau dibunuh. Selain itu, perlakuan hukum terhadap anggota militer berbeda dengan warga negara pada umumnya (warga sipil). Sebagai warga negara, militer tunduk pada hukum pidana umum yaitu KUHP yang merupakan ketentuan yang berlaku bagi warga negara, sedangkan selaku warga negara yang memiliki tugas wewenang khusus berlaku hukum yang bersifat khusus, yaitu Hukum Pidana Militer yang hanya berlaku bagi militer saja atau yang dipersamakan. Berlaku KUHP dan perundang-undangan pidana lainnnya di lingkungan TNI didasarkan pada ketentuan Pasal 1 dan Pasal 2 KUHPM sebagaimana telah 76
Arlina Permatasari, dkk, Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta: International Committee of the Red Cross, 1999, hal. 75. 77 Anthony P.V. Rogers and Paul Marherbe, Fight It Right Chapters 1-9 Model Manual on the Low of Armed Conflict for Armed Forces, Geneva: International Committee of The Red Cross, 1999 page 29.
Universitas Sumatera Utara
diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1947 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tentara. 78 Berdasarkan ketentuan tersebut, bagi seoang prajurit TNI selain tunduk pada KUHPM, juga tunduk pada perundangundangan pidana umum yang kesemuanya merupakan tindakan pidana militer dalam arti tindak pidana yang dilakukan prajurit TNI. Dasar negara Pancasila dan menurut UUD 1945, secara tegas menyatakan bahwa kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat. Lembaga MPR negara ini diberi wewenang utama mengubah dan menetapkan dan melantik Kepala Negara (Presiden) serta memberhentikan Presiden menurut UUD dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Di samping itu, terdapat pula lembaga-lembaga tinggi negara lainnya yang setingkat dengan Presiden. Masing-masing lembaga mempunyai tugas mengemban kedaulatan rakyat pula. Kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini secara lebih konkret dilaksanakan melalui berbagai produk hukum, seperti UU, dan peraturan lainnya rnulai dan undang-undang sampai dengan keputusan Kepala Dati II. Masalahnya tentu saja, kedaulatan rakyat sebagai bagian dan demokrasi Pancasila tersebut, tidak cukup hanya dituangkan secara konsepsional dan perlu dilengkapi dengan segi operasionalnya. Dua segi tersebut secara simultan harus dijadikan indikator untuk menilai kadar demokrasi suatu negara, termasuk negara kita. Secara garis besar bahwa kedaulatan rakyat yang dikenal bangsa kita itu berbeda dengan bangsa lain di dunia. Kedaulatan rakyat di Indonesia berlandaskan pada UUD 1945 dan Pancasila. UUD 1945 terdiri atas: 78
E. Utrect, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Surabaya: Pustaka Tinta Emas, 2000,
hal. 71.
Universitas Sumatera Utara
1. Pembukaan dengan 4 alinea. 2. Batang tubuh dengan XVI Bab dan 37pasal. 3. Penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal. Dalam Pembukaan saja terdapat kata kedaulatan rakyat yang tersurat dalam alma IV, dan ditemukan pula di Pokok Pikiran ke-3 Pembukaan UUD 1945, sedang Kedaulatan Rakyat menurut Pancasila terdapat di sila ke-4. Pada batang tubuh UUD 1945 kedaulatan rakyat terdapat di pasal 1 ayat 2, pasal 2 ayat 3, sedang pelaksanaan kedaulatan rakyat diatur pasal 3 (MPR), pasal 19-22 B (DPR), pasal 37 (perubahan UUD). Secara implisit sistem pemerintahan negara berpegang kepada tujuh prinsip (dalam penjelasan UUD 1945) yang dapat menunjukkan keterkaitannya dengan konsep kedaulatan Rakyat bagi negara Republik Indonesia. Sebagai uraian akhir dapat ditegaskan di sini, bahwa Pancasila dan UUD 1945 telah secara jelas dan lengkap memuat prinsip-prinsip kedaulatan rakyat atau lebih luas lagi prinsip-prinsip demokrasi termasuk di dalamnya pengakuan kedaulatan rakyat sebagai bagian dan hak-hak asasi manusia. Dalam hal ini rakyat tidak menyerahkan hak-haknya kepada (penguasa) negara. Hak-hak itu tetap utuh ada pada rakyat. Dengan perkataan lain, hak asasi manusia di Indonesia dipertahankan melalui kedaulatan rakyat. Rakyat ikut serta dalam sistem pemerintahan negara, yaitu melalui wakil-wakilnya. Apa saja kekuasaan/ wewenang rakyat itu dan bagaimana tata caranya, itulah yang disebut dengan demokrasi, tepatnya demokrasi Pancasila. Apabila dikaitkan dengan teori kedaulatan, jelas bahwa kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
Universitas Sumatera Utara
tidak mengacu kepada salah satu teori yang ada, tetapi merupakan gabungan dan teori kedaulatan hukum. Hal ini disebabkan oleh motivasi yang melatar belakangi berdirinya bangsa dan negara Indonesia, yang muncul melalui proses perjuangan yang panjang dengan titik kulminasinya pada Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Bahwa setelah ditetapkannya UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dimana Peradilan Militer berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, yang sebelumnya sepenuhnya berada di bawah kendali Markas Besar TNI, membuat peradilan militer semakin independen dan imparsial, terbebas dan campur tangan komando. Secara umum dapat dikatakan bahwa pengadilan umum tidak tepat untuk mengadili tindak pidana (baik pidana umum maupun pidana militer) yang dilakukan oleh prajurit. Untuk itu dibutuhkan suatu pengadilan militer yang terpisah untuk menegakkan standard disiplin militer secara khusus di dalam Angkatan Bersenjata karena militer dianggap sebagai komuniti khusus, yang mempunyai disiplin khusus, yang mempertaruhkan nyawanya dan dipersiapkan untuk mempertahankan kedaulatan negara. Bahwa asas-asas peradilan militer yaitu asas kesatuan komando, asas komandan bertanggungjawab terhadap anak buahnya dan asas kepentingan militer merupakan asas yang harus ada dalam sistem peradilan militer selain asas umum yang terdapat dalam peradilan umum. Apabila asas tersebut tidak berlaku maka fungsi komandan selaku Ankum/Papera juga tidak berlaku lagi atau peranannya akan berkurang. Dengan demikian juga, fungsi pembinaan yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukan oleh komandan selaku Pembina disiplin akan berkurang atau sama sekali hilang dan ketaatan prajurit akan berkurang terhadap komandan. Selanjutnya apabila ketaatan berkurang maka disiplin prajurit juga akan berkurang. Dan apabila disiplin berkurang maka efisiensi, kesiapan dan efektifitas pasukan akan sulit dicapai. Konsekuensi logisnya adalah bahwa hal tersebut akan mengganggu stabilitas keamanan negara yakni Pertahanan Keamanan (Hankam), Bahwa sistem peradilan militer yang seyogiyanya diterapkan di Indonesia adalah sistem peradilan militer yang sesuai dengan budaya militer Indonesia dimana berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Jo. Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer dimana Peradilan Militer masih tetap mempunyai yurisdiksi untuk mengadili kejahatan militer dan kejahatan umum. Mengingat peradilan militer sudah berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, baik bersifat teknis yuridis maupun organisasi, administrasi dan finansial sehingga membuat peradilan militer sudah semakin bersifat independen dan akuntabel.
e. Teori Benhard Grose Fedd Dalam Bukunya The Strength and Weaknese of Comparative Bahwa tiap negara mempunyai sejarah dan culture yang berbeda, demikian juga historis yuridis kemerdekaan yang berbeda pula. Dikatakan dalam
Universitas Sumatera Utara
teori ini bahwa tiap kebudayaan mempunyai hukumnya sendiri (Every culture has its particular law, and every law has an unique individuality). Tentang ketentuan Perundang-undangan dapat mengakomodir penundukan militer pada peradilan umum dalam melakukan tindak pidana umum. Tentangkompetensi mengambil tindak pidana yang dimaksud dalam Paal 65 ayat (2) UURI No. 24 Tahun 2004 tentang TNI. Hal ini tentunya kembali kepada historis, yuridis dan sosiologis TNI dan Palsafah Bangsa yang mengandung Pancasila dan Pembukaan UUD 1945 dan tercetus dalam sumpah Pemuda. Peradilan Militer tetap dipertahankan karena merupakan fungsi strategis nilai-nilai dan semangat juang 1945. Hal ini merupakan pertahanan keamanan nasional yang jika tidak diberlakukan terjadi gaps atau kekosongan hukum sebagaimana diuraikan dalam pendapat Hans Kelsen. Dikatakan berlaku dalam segala situasi dan Eskalase Nasional baik dalam keadaan aman, terjadi perubahan adanya ancaman, gangguan yang dapat merongsong kewibawaan Pemerintah atau Negara meningkat menjadi darurat, darurat militer dan darurat perang. Peradilan
Militer
merupakan
gerbang
keamanan
nasional
karena
merupakan sejarah (historis) perjuangan kemerdekaan dan kemudian lahirnya TNI dari sini lahirnya Keamanan Republik Indonesia. Perjuangan yang panjang dalam merintis kemerdekaan melalui pejuang-pejuang rakyat Indonesia yang bersatu padu membuat Barisan Keamanan Rakyat (BKR) untuk mengusir penjajah dari muka bumi Indonesia yakni dari BKR (Badan Keamanan Rakyat)
Universitas Sumatera Utara
berubah menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) kemudian TRI (Tentara Rakyat Indonesia) dan menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia). Maka hal ini senantiasa dipertahankan dan menjadi tradi. Dipertahankan dalam Sistim Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrat) yang merupakan pelibatan seluruh Rakyat Indonesia. Pasal 27 UUD 1945 tentang persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, dan Pasal 30 UUD 1995 tentang kewajiban belanegara. Dalam historis yuridis merupakan perjuangan BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang bersidang pada 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945 dengan 3 orang pembicara sebagai putra-putri terbaik bangsa yaitu : Soepono, M. Jamin dan Soekarno. Mereka mengemukakan Dasar Negara Indonesia yang akhirnya diberi nama Pancasila. Dari sini PPKI merumuskan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945. Hasil pengkajian dan diskusi ini yang kemudian menjadi konsep kedaulatan Rakyat Indonesia menurut Pancasila dan UUD 1945. Secara sosiologis hal ini diikuti, ditaati dan diyakini sebagai idiologi bangsa. Secara ideal sebagai satu kesatuan pandang dalam visi dan missi secara logis diterima oleh bangsa Indonesia dengan kesadaran bernegara, kesadaran hukum. Pengalaman-pengalaman dalam negara kita sejak perang kemerdekaan, perang pembebasan (Irian) dan penumpasan-penumpasan pemberontakan sudah cukup banyak untuk dijadikan sebagai dasar penilaian apakah bagi kita perlu
Universitas Sumatera Utara
mengadakan perundang-undangan agar supaya kekuasaan peradilan militer lebih diperluas lagi untuk dapat menanggulangi suatu tindak pidana yang dilakukan oleh “orang-orang tertentu”/non militer dalam keadaan perang dan/atau dalam suatu bagian negara yang dinyatakan dalam suatu tingkatan keadaan bahaya tertentu, atau dilakukan di suatu daerah musuh/lawan yang telah dikuasai angkatan Perang kita. Mengingat perkembangan hakekat, sifat dan cara peperangan di dunia internasional dewasa ini, kiranya tidak salah lagi apabila kita mengakui kekurang-cepatan kita untuk membuat perundang-undangan yang setidak-tidaknya mirip dengan ketentuan yang telah ada di negeri Belanda (bukan di Hindia Belanda). Kecenderungan
ini
lebih
diperkuat
lagi
dengan
perkembangan-
perkembangan pelajaran-pelajaran atau doktrin-doktrin dalam Angkatan Perang kita mengenai taktik dan stragtegi perang seperti misal perang gerilya, perang lawan gerilya, penyerangan, pertahanan, gerak mundur dan lain sebagainya. Terutama di daerah-daerah gerilya sudah barang tentu sangat rawan bagi alat-alat penegak hukum umum (sipil) untuk menjalankan fungsinya, sementara di satu negara hukum tidak diharapkan gar suatu kejahatan dibiarkan begitu saja, atau akan diselesaikan secara “hukum rimba”. Peradilan Militer mengadili tindak pidana militer dan pelanggaran disiplin militer, terhadap pelanggaran disiplin militer yang berulang-ulang dapat dilakukan (pemecatan/PDTH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat).
Universitas Sumatera Utara
Bahwa hukum disiplin militer merupakan “sifat alamiyah ke dua” (tweede natuur) dari seseorang militer dan tanpa (hukum) disiplin dalam kehidupan dan penghidupan militer, maka mereka itu tiada lebih dari pada gerombolan liar. Oleh karena itu terhadap mereka yang diberlakukan hukum disiplin militer walaupun mereka itu tidak disamakan dengan seseorang militer, sebaiknya ditentukan bahwa mereka termasuk jurisdiksi peradilan militer, setidak-tidaknya dalam rangka penerapan pasal-pasal tindak pidana dalam KUHPM. Bahwa apabila suatu golongan, jawatan, badan atau organisasi demi kepentingan negara dalam hal ini kepentingan pertahanan dan keamanan (militer, dalam arti sempit) dinyatakan dipersamakan dengan (bagian) Angkatan Perang, maka sudah dapat dipastikan adanya hubungan yang erat secara timbal-balik antara organisasi tersebut dengan Angkatan Perang. Suatu contoh, apabila suatu pabrik pemerah bibir (lipstick) “ditugaskan” untuk memproduksikan peluru senjata, adalah tepat jika perusahaan itu dipersamakan dengan bagian dari Angkatan Perang. Demi kerahasiaan pembuatan peluru atau kemampuan memproduksi dan lain sebagainya, adalah tepat juga apabila terhadap anggotaanggota organisasi tersebut ditentukan termasuk juridiksi peradilan militer, setidak-tidaknya dalam rangka penerapan pasal-pasal tindak pidana dari KUHPM. Bahwa seseorang non-militer yang menyertai/mengikuti suatu operasi militer baik karena hubungan dinas ataupun atas izin pimpinan operarasi militer, dalam
banyak
hal
mempunyai
“kesempatan”
menyalahgunakn
suatu
Universitas Sumatera Utara
kekuasaan/sarana/kesempatan yang ada pada satuan operasi tersebut. Kepada mereka ini pun perlu ditetapkan seperti yang diutarkan diatas. “Pertahanan Negara merupakan fungsi pemerintahan negara untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan keselamatan segenap bangsa dari ancaman dan gangguan baik yang beradal dari luar maupun dalam negeri. Undang-Undang Nomor 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Pasal 7 ayat (2) dan (3) menyebutkan dua macam ancaman yaitu ancaman militer dan ancaman non militer. Ancaman militer adalah ancaman yang menggunakan kekuatan bersenjata dan terorganisasi serta dinilai mempunyai kemampuan yang membahayakan kedaulatan negara. Keutuhan wilayah negara dan keselamatan segenap bangsa. Ancaman non militer, pada hakekatnya ancaman yang menggunakan faktor-faktor non militer yang dinilai mempunyai kemampuan dan membahayakan kedaulatan negara, kutuhan wilayah negara dan keselamatan segenap bangsa. Masalah yang melibatkan Polisi mengabaikan kenyataan bahwa Polisi adalah bagian dari sistem keamanan dan keadilan yang lebih luas, yang bukan menjadi tanggung jawab mereka sepenuhnya. 79 Sistem Keamanan Badan-badan yang terlibat dalam pemeliharaan dan pemulihan keamanan yaitu :
79
http://pthan,dephan.go.id.2008.DirjenPothan.Deplu.RI
Universitas Sumatera Utara
1) Militer. 2) Badan-badan keamanan internal. 3) Sektor keamanan swasta. 4) Penataan keamanan dan keadilan tradisional dan informal. Bagaimana dengan Polisi (de jure dan de facto) berkaitan dengan hal tersebut. Polisi dituntut untuk melaksanakan tiga fungsi dasar yaitu pemeliharaan ketertiban umum, pencegahan dan pendeteksian tindak pidana dan penyediaan bantuan namun dapat diperbantukan atau ditambahkan fungsi lain diantaranya Keamanan Nasional dan Fungsi Intelijen. Keamanan Keamanan adalah kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hak dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat. Keamanan dibagi 2 bagian : a. Defence security approach adalah merupakan pertahanan keamanan. b. Social security approach (Kamtibmas) Keterangan : subversi, insurgensi/insureaksi direct action (aksi sepihak). Proses sosial disosiatif bencana alam dan kriminilitas.
Universitas Sumatera Utara
RUU KAMNAS (Bagian dari Sektor Keamanan) Dengan keluarnya prolegnas tahun 2004 – 2009 termasuk diantaranya RUU Hanteamneg yang ditugaskan kepada Dephan untuk menyusun Drafnya. Berdasarkan hal diatas dibentuk Tim Pekerja dari Deplu, Depdagri. Lemhannas, Wantanas, TNI, Polri. Mulai awal diskusi-diskusi sudah muncul perbedaan pendapat tentang nama RUU HANKAMNEG. Pihak KaPolri diwakili Wakapolri mengemukakan bahwa Pertahanan itu upaya / proses sedangkan Keamanan itu kondisi/hasil, jadi tidak mungkin disatukan. (Ekskalasi Darurat: Tertib Sipil. Drt. Darurat Militer, Darurat Perang). 80 Memperlakukan Polisi seolah-olah mereka sama di negara manapun, tanpa memandang konteks Nasional adalah menyesatkan dan tidak tepat. Negara yang berbeda memiliki sumber daya dan budaya yang berbeda, dan ini mempengaruhi Pemolisian di negara-negara tersebut. Ahli-ahli merumuskan secara tepat bagaimana Kepolisian yang seharusnya. Pengertian ketertiban keamanan masyarakat (Kamtibmas) yakni keamanan masyarakat
(ketenteraman
masyarakat)
dalam
menjaga
keamanan
demi
kelangsungan pembangunan nasional. Adapun pelibatan social security approach (Kamtibmas) yakni : masyarakat, militer, polisi militer disamping polisi umum). Mengenai pelibatan polisi sebagai pembinaan Kamtibmas dibagi dalam tiga lokasi yaitu : wilayah pemukiman, wilayah kerja, dan wilayah umum. Dalam wilayah atau lingkungan pemukiman adalah usaha dan keamanan masyarakat lingkungan itu sendiri misalnya peran swakarsa yang merupakan tugas 80
Journal Hukum Militer Vol. 1 No. 2. Agustus 2007.
Universitas Sumatera Utara
pembinaan aparat kepolisian. Sedangkan dalam lingkungan kerja yakni berhubungan dengan security atau satpam-satpam yang dibentuk oleh masyarakat itu sendiri dan polisi yang melegesnya. Demikian pula dalam lingkungan umum, yaitu ketertiban dalam berlalu lintas, patroli dan lain-lain. Yang menjadi tugastugas Kepolisian dalam fungsinya: Kamtibmas, investigasi hukum dan bantuan masyarakat. Fungsi ketertiban umum guna pemeliharaan ketertiban masyarakat, kelancaran roda pemerintahan dan segenap perangkatnya serta kegiatan segenap masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Fungsi keamanan rakyat yaitu guna menanggulangi dan atau meniadakan gangguan atau subversi yang dapat menimbulkan terganggunya stabilitas keamanan. Fungsi perlindungan rakyat yakni guna menanggulangi gangguan ketertiban masyarakat. Hal ini sesuai dengan pendapat Romli Atmasasmita dalam kerangka tugas Kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik terhadap tindak pidana atau pelanggaran hukum pidana sipil, yang berbeda dengan tindak pidana umum. Menurut Romli Tindak Pidana Sipil adalah Tindak pidana yang menimbulkan akibat-akibat langsung atau tidak langsung terhadap keamanan dan ketertiban sipil. Sedangkan tindak pidana umum adalah “tindak pidana secara langsung atau tidak langsung menimbulkan akibat-akibat kepada pertahanan negara.
Universitas Sumatera Utara
Dari uraian diatas dapat dipetakan sebagai berikut : Militer
Menyangkut
Pertahanan dan
Keamanan
Militer+Sipil
Menyangkut
Pertahanan
Keamanan
= Hankamneg
Sipil
Menyangkut
Keamanan
= Kamtibmas
Pembinaan Pertahanan Keamanan oleh TNI (Binter) outputnya adalah Cinta Tanah Air, Bela Negara. Pembinaan Keamanan Ketertiban Masyarakat oleh Polri BINKAMTIBMAS (Swakarsa) outputnya adalah Sadar hukum ketentraman masyarakat.
EKSISTENSI PERADILAN MILITER
Ide dasar pemikiran reformatif dan arah garis/politik hukum yang tertuang dalam TAP MPR/VII/2000 dan Undang-undang Nomor 4 tentang Kekuasaan Kehakiman serta undang-undang nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara nasional Indonesia memang seharusnya menjadi landasan dalam melakukan perubahan perundang-undangan termasuk perubahan terhadap undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang peradilan militer. Namun dilihat dari sudut kebijakan pembaharuan atau penataan ulang keseluruhan tatanan (system) hukum pidana militer masih perlu dikaji ulang apakah tepat saat ini yang diperbaharui hanya Rancangan undang-undang Peradilan militer. 81
81
Hikmahanto Juwana, Loc. Cit, hal. 2. Melalui orasi tersebut diajukan pertanyaan, apakah pengaturan TNI tunduk pada peradilan umum dalam melakukan tindak pidana umum
Universitas Sumatera Utara
Pembaharuan sistem hukum pidana militer, seyogianya mencakup pembaharuan integral (sistematik) yaitu perubahan keseluruhan sub-sistem yang meliputi, aspek substansi hukum (legal substance), aspek struktur hukum (legal structure), aspek struktur hukum (legal structure) dan aspek budaya hukum (legal culture). Dalam kondisi system hukum yang berlaku saat ini, apabila yang diubah hanya undang-undang Peradilan Militer (UU 31 tahun 1997) yang lebih banyak
mengatur
aspek
struktur/kelembagaan
peradilan
(kompetensi/
jurisdikasinya) dan hukum acaranya saja, berarti baru melakukan perubahan parsial, perubahan parsial ini dapat menimbulkan masalah. Memperhatikan permasalahan yang disampaikan sebagai pembuka bab ini penulis ingin terlebih dahulu memulai dengan melakukan pembahasan terhadap susunan pengadilan militer serta membahas kasus yang terkait, sebagai berikut :
A. Susunan Pengadilan Pengadilan di lingkungan Peradilan Militer merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata (sekarang TNI) yang pelaksanaannya berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi. Pasal 12 Undang-undang 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer merumuskan : Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer terdiri dari :
dilakukan sekarang atau secara gradual. Untuk menjawab pertanyaan yang diajukan selanjutnya dijawab melalui konsep law and development yaitu gerakan dari pemikir Negara maju agar Negara berkembang mengadopsi dan melakukan transformasi pengalaman negera berkembang yang ingin membangun ekonominya tetapi terhambat oleh adanya ketentuan hukum yang usang.
Universitas Sumatera Utara
1. Pengadilan Militer; 2. Pengadilan Militer Tinggi; 3. Pengadilan Militer Utama; 4. Pengadilan Militer Pertempuran; Masing-masing tingkat pengadilan tersebut di atas mempunyai kekuasaan yang berbeda yang diatur pasal 42 sampai dengan 45 yaitu : 1. Kekuasaan Pengadilan Militer adalah : Pengadilan Militer memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah : a. Prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah; b. Mereka sebagaimana dimaksud pasal 9 angka 1 huruf b dan huruf c yang terdakwanya termasuk tingkat kepangkatan Kapten kebawah; dan c. Mereka yang berdasarkan Pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Peradilan Militer. 2. Kekuasaan Pengadilan Militer Tinggi adalah : a. Pada tingkat pertama 1) Memeriksa dan memutus perkara pidana yang terdakwanya adalah : a) Prajurit atau salah satu prajurit berpangkat Mayor ke atas;
Universitas Sumatera Utara
b) Mereka sebagaimana dimaksud pasal 1 angka (1) huruf b dan c yang terdakwanya atau salah satu terdakwanya termasuk tingkat kepangkatan mayor ke atas dan; c) Mereka yang berdasarkan pasal 9 angka 1 huruf d harus diadili oleh Peradilan Militer Tinggi; 2) Memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata (sekarang TNI). 3. Kekuasaan Peradilan Militer Utama adalah : Memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata (Sekarang TNI) yang telah diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer tinggi yang dimintakan banding. a. Pengadilan Militer
Utama memutus pada tingkat pertama dan
terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili. (1) Pengadilan Militer yang berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Militer Tinggi yang berlainan; (2) Antara Pengadilan Militer Tinggi dan (3) Antara Pengadilan Militer Tinggi dan Pengadilan Militer. b. Sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terjadi : (1) Apabila 2 (dua) pengadilan atau lebih menyatakan dirinya berwenang mengadili atas perkara yang sama.
Universitas Sumatera Utara
(2) Apabila 2 (dua) mengadili atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara yang sama. c. Pengadilan Militer Utama memutus perbedaan pendapat antara Perwira Penyerah Perkara dan oditur tentang diajukan atau tidaknya suatu perkara kepada pengadilan dalam lingkungan peradilan militer atau pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. d. Pengadilan Militer Utama melakukan pengawasan terhadap : (1) Penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan pengadilan Militer, pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran di daerah hukumnya masing-masing. (2) Apabila 2 (dua) mengadili atau lebih menyatakan dirinya tidak berwenang mengadili perkara yang sama. e. Pengadilan Militer Utama berwenang untuk meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari Peradilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran. f. Pengadilan Militer Utama memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, dan Pengadilan Militer Pertempuran.
Universitas Sumatera Utara
g. Pengawasan dan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) tidak mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara. h. Pengadilan Militer Utama meneruskan perkara yang dimohonkan kaasi, peninjauan kembali dan grasi kepada Mahkamah Agung. 4. Kekuasaan Pengadilan Militer Pertempuran adalah : a. Pengadilan Militer Pertempuran memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh mereka sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 angka 1 di daerah pertempuran. b. Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil mengikuti gerakan pasukan dan kedudukan serta berdaerah hukum di daerah pertempuran.
B Hal-Hal Yang Menjadi Dasar Pemikiran Masyarakat Yang Menghendaki Militer Tunduk Pada Peradilan Umum Dalam Melakukan Tindakan Umum 1. Asas Equality Before The Law. Militer, oleh sebagian masyarakat Indonesia dinilai sebagai institusi yang ekseklusif yang tidak sama kedudukannya dalam hukum dengan warga Negara lainnya. Anggapan ini merupakan salah satu yang mendasari masyarakat (civil society) menghendaki agar militer tunduk pada Peradilan Umum dalam hal melakukan tindak pidana umum.
Universitas Sumatera Utara
Dasar pemikiran yang mengatakan “seolah-olah” militer eksklusif ini juga disampaikan oleh Mardjono Reksodiputro, apakah betul? Berdasarkan penelitian singkat yang dilakukan diperoleh hasil bahwa kekhususan Peradilan Militer, ternyata masih dalam koridor system hukum yang berlaku di Indonesia. Adapun hal yang mengkhususkan (lex specialis derogate lex generalis) adalah kewenangan peradilan militer didasarkan pada pelaku tindak pidana bukan tindakannya, hal yang sama juga terdapat pada Peradilan Anak yang hanya mengadili pelaku tindak pidana anak, selain itu juga terdapat peradilan yang hanya mendasarkan berlakunya hukum pada subyek dan tindakannya yaitu Peradilan Agama, Mahkamah Syariah di Propinsi Nanggroe Aceh Darrussalam, bahkan kemungkinan berlakunya Pengadilan Adat di Papua berdasarkan UndangUndang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi Papua. Sementara itu masyarakat militer menganggap Peradilan Militer diperlukan oleh militer sebagai sarana meningkatkan dan membina terus disiplin bagi militer dan oleh karenanya diperlukan kekhususan bagi masyarakat militer. Dengan adanya beberapa peradilan di Indonesia Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 pada pasal 2 yang mengatur adanya : a. Peradilan Umum b. Peradilan Agama c. Peradilan Militer d. Pengadilan Tata Usaha Negara e. Mahkamah Konstitusi.
Universitas Sumatera Utara
Masing-masing peradilan di atas mempunyai yurisdiksi dan yustisiabel yang tersendiri. Bahkan Konstitusi / Undang-Undang Dasar 1945 pasal 24 telah memberikan landasan bahwa asas equality before the law tidak mutlak dianut. Dengan demikian tunduknya militer pada Peradilan Militer bukan karena militer merupakan institusi yang eksklusif tetapi memang system hukum kita memungkinan hal tersebut. 82 2. Kekawatiran Terjadinya Impunity Bagi Militer Yang Melakukan Tindak Pidana. Kecurigaan ini berpangkal tolak pada keberadaan Papera dalam Sistem Peradilan Pidana Militer yang oleh masyarakat dianggap sebagai resistensi berlakunya Peradilan Militer. Komentar disampaikan oleh Kol. CHK Sumartono, SH dengan memberikan contoh apabila seorang militer (sebagai suami) memukuli istrinya (tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga), namun oleh Papera dianggap sebagai perkara yang dapat diselesaikan dengan hukum disiplin. 83
Kekawatiran ini tidaklah mendasar karena kewenangan Papera ini
diatur dalam undang-undang dan untuk perkara tindak pidana yang diatur dengan undang-undang tentu akan disarankan oleh oditur sebagai tindak pidana. (vide Pasal 123 Ayat 1 UU Nomor 31 Tahun 1997). Berdasarkan kekawatiran di atas, perlu diperhatikan bahwa Peradilan Militer sudah berada dibawah Mahkamah
82
Wawancara dengan Kepala Pengadilan Militer I – 02 Medan, Kol. CHK Tigor Samosir, SH., Jakarta : 6 Agustus 2009. 83 Wawancara dengan Kepala Oditurat Militer Tinggi I –Medan, Kol. CHK Sumartono, SH., Jakarta : 6 Agustus 2009..
Universitas Sumatera Utara
Agung salah satu kewenangan Papera yang berkaitan dengan masalah hukum adalah kewenangan Papera dalam hal penutupan perkara. Penjelasan Pasal 123 Ayat 1 huruf h dirumuskan bahwa perkara ditutup demi kepentingan hukum dengan alasan : a. Tidak terdapat cukup bukti b. Bukan merupakan tindak pidana c. Perkara telah kadaluarsa d. Tersangka/terdakwa meninggal dunia e. Nebis in idem f. Maksimum denda telah dibayar g. Pengaduan telah dicabut (dalam delik aduan) Kewenangan Papera ini diatur juga dalam KUHP dalam Bab VIII tentang hapusnya kewenangan menuntut dan menjalani pidana dengan demikian merupakan system peradilan pidana (umum), sedangkan untuk alasan penutupan perkara demi kepentingan Negara, demi kepentingan masyarakat/umum, demi kepentingan militer. Lebih lanjut telah diatur pula, dalam hal terjadinya perbedaan pendapat antara Oditur dengan Papera apakah perkara tindak pidana diajukan ke Pengadilan atau tidak, maka akan diselesaikan oleh Peradilan Militer Tingkat Utama pada saat ini telah menjadi bagian dari Mahkamah Agung baik secara organisatoris, administrasi dan financial, hal ini menandakan supremasi hukum (vide Keputusan Presiden) Nomor 56 Tahun 2004 tentang Pengalihan Organisasi, administrasi dan financial Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Militer dari
Universitas Sumatera Utara
Mabes TNI ke Mahkamah Agung RI) 84 Penulis berpendapat kewenangan Papera ini perlu diawasi lebih maksimal, jika perlu secara normative diatur sanksi atas pelanggaran yang terjadi sehubungan tugas Papera. 3. Sanksi Pidana Yang Dijatuhkan Oleh Peradilan Militer Lebih Ringan Salah satu contoh kasus yang dijadikan dasar adalah persidangan kasus tindak pidana narkotika yang dilakukan oleh Letnan Satu Inf. Agus Isro 85 kenyataannya terdakwa dipidana dengan pidana penjara 4 tahun dan denda Rp. 10.000.000,- serta pidana tambahan berupa pemecatan. (vide putusan Nomor PUT/58-K/MM II-08/AD/VI/2000 tanggal 21 Juni 2000).
Berdasarkan kasus
tersebut, timbul tuduhan bahwa Peradilan Militer digunakan sebagai sarana untuk menghukum dengan pidana yang rendah atau untuk melindungi pelaku kejahatan oleh atasan atau komandannya. Para pegiat Hak Asasi Manusia serta para anggota Lembaga Swadaya Masyarakat (Non Government Organization) di Indonesia secara nyata juga menyampaikan bahwa tidak terungkapnya para penjahat Hak Asasi Manusia, seperti kasus Semanggi, Daerah Operasi Militer di Nangroe Aceh Darusallam, adalah contoh yang dimaksudkan mereka, sebagai contoh praktek perlindungan atasan atau komandan dalam proses Peradilan Militer yatu dilakukan dengan memilih kambing hitam atau korban yang dapat dipasang sebagai penyelesaian masalah. Sebagai contoh adalah kasus penculikan para aktivis masa “orde baru” 84 85
Tigor Samosir, Ibid. Putra mantan Kasad Jenderal TNI Soebagio HS.
Universitas Sumatera Utara
yang dilakukan oleh Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TN AD yang dikenal dengan nama Tim Mawar, ternyata tidak mampu menyentuh petinggi TNI. Menanggapi hal ini Tigor Samosir mengatakan bahwa penjatuhan sanksi/pidana melalui proses pengadilan tidak dapat dipukul rata harus sama, itulah sebabnya selalu terjadi disparitas didasarkan pada tingkat pemahaman hakim terhadap kasus yang sedang disidangkannya dengan memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Militer yang dijatuhi pidana 4 tahun penjara dan denda Rp. 10.000.0000,- mungkin dianggap ringan oleh masyarakat, tetapi penjatuhan pidana tambahan berupa pemecatan merupakan pidana yang paling berat dibandingkan pidana lainnya (kecuali pidana mati), itulah sebabnya tidak atupun militer yang dijatuhi pidana tambahan berupa pemecatan tidak mengajukan upaya hukum, harga dirinya dan kehormatan serta martabatnya, contoh kasus lain adalah dijatuhkannya pidana mati oleh Majelis Pengadilan Tinggi Surabaya terhadap Kolonel Laut M. Irfan dalam kasus pembunuhan hakim pada saat persidangan kasus perceraian di Pengadilan Agama, Surabaya.
4. Peradilan Militer Tidak Transparan Masalah transparansi, berkaitan dengan praktek system peradilan pidana militer, khususnya pada salah satu sub-sistemnya, yaitu pengadilan militer. Pendapat ini dikatakan oleh Loebby Loqman, yaitu bahwa : Praktek pengadilan militer selama ini memang tidak dijalankan secara transparan sebagaimana layaknya suatu pengadilan. Kalaupun dikatakan transparan, itu sangat terbatas sekali hanya pada (anggota) militer saja.
Universitas Sumatera Utara
Realitanya yang menghadiri sidang (pengadilan militer) hanya anggota militer saja. Sedangkan masyarakat sipil hampir tidak ada yang datang, sehingga bagaimana mungkin dapat dikatakan Pengadilan Militer Transparan. 86
Pernyataan tidak transparan perlu dicermati, jika perlu diadakan penelitian terlebih dahulu. Apabila masalah transparansi hanya berkaitan dengan kehadiran masyarakat sipil untuk menilai apakah pengadilan dijalankan sesuai dengan kaedah hukum (Hukum Acara Pidana Militer) yang ada, maka pandangan tersebut tidaklah benar, karena hal ini bukanlah kesalahan sub-sistem atau komponen SPP, khususnya pengadilan militer, karena realitanya sidang pengadilan militer terbuka untuk umum dan bukan untuk (anggota) militer saja, kecuali perkara kesusilaan sidang dinyatakan tertutup untuk umum, sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (2) UU No. 31 Tahun 1997. Sedangkan pemeriksaan atau penggeledahan oleh petugas keamanan sidang pengadilan bagi setiap pengunjung yang akan mengikuti jalannya (sidang) suatu perkara, merupakan keharusan yang telah ditentukan oleh undang-undang, dan lebih bersifat sebagai menjaga tata tertib untuk keamanan sidang itu sendiri, seperti dilarang membawa senjata api, senjata tajam, atau benda-benda lain yang membahayakan keamanan sidang, sebagaimana di atur dalam Pasal 347 UU No. 31 Tahun 1997. Justru pengalaman tidak tertibnya persidangan seperti ini terjadi di Pengadilan Agama Surabaya, seorang terdakwa Kolonel Laut (S) Muhammad Irfan menusuk hakim dengan sangkurnya sehingga meninggal hal ini terjadi
86
Indajit, www.tniad.mil.id.
Universitas Sumatera Utara
karena kurangnya pengawasan sehingga masih ada terdakwa yang membawa senjata tajam ke dalam persidangan. Dengan demikian tidak seharusnya mengukur transparansi SPPM hanya dengan dihadiri oleh masyarakat sipil atau tidak dalam sidang pengadilan militer dalam memeriksa suatu perkara, karena apakah harus menunggu terlebih dahulu kehadiran masyarakat dalam suatu tugas, sehingga apabila masyarakat sipil tidak hadir, maka tidak ada sidang. Anton Saragih menyampaikan bahwa sebelum diadakan sidang di Peradilan Militer Tinggi Medan sering diupayakan publikasinya dengan mengundang/menelopon media masa baik cetak maupun elektronik, tetapi mereka hanya hadir beberapa kali saja selanjutnya tidak mau meliput lagi. 87 Pengunjung yang datang dalam sidang didasarkan atas suatu kepentingan, bagi media tentu berdasarkan latar belakang bisnis yaitu apakah berita yang akan diliput laku untuk dijual kepada masyarakat yang hadir dalam persidangan didasarkan atas kepentingan penelitian untuk akademis/pemantauan untuk lembaga
masyarakat/pemantauan
karena
keluarga
mereka
yang
sedang
disidangkan dan/atau selaku korban dalam kejahatan yang sedang disidangkan atau alasan lain. Seharusnya ukuran transparan atau tidak dalam proses SPPM, khususnya pada sub-sistem pengadilan militer bukan diukur dari kehadiran masyarakat sipil dalam sidang di pengadilan militer, tetapi apakah pengadilan militer telah
87
Wawancara dengan Kol. CHk. Anton Saragih, Kepala Pengadilan Militer Tinggi-I Medan., Medan : 10 Agustus 2007.
Universitas Sumatera Utara
dijalankan sesuai ketentuan dan prinsip-prinsip hukum acara pidana (militer) yang ada atau tidak. Misalnya, apakah hakim menyatakan sidang terbuka untuk umum (untuk perkara biasa), apakah terbuka untuk umum (untuk perkara biasa), apakah terdakwa atau saksi dipanggil secara sah, apakah hakim memberitahu hak terdakwa untuk didampingi penasehat hukum, apakah terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas di muka pengadilan, apakah hakim dalam menjatuhkan
vonis
telah
mempertimbangkan
fakta-fakta
hukum
dalam
persidangan, dan lain-lain. Dengan demikian, apabila ketentuan – ketentuan yang ada sebagaimana tercantum dalam hukum acara pidana militer, yaitu terdapat dalam UU No. 31 tahun 1997 tidak dilaksanakan oleh hakim militer, maka dapat dikatakan Pengadilan Militer dijalankan secara tertutup. Sedangkan kehadiran warga sipil dalam sidang pengadilan militer, tidak harus secara fisik ada dalam ruang sidang pengadilan, karena yang lebih penting adalah apakah warga sipil atau masyarakat pada umumnya dapat memperoleh akses ke pengadilan militer, misalnya mendengar jalannya sidang melalui pengeras suara atau layer monitor yang disediakan atau melalui media massa yang meliput sidang. Sedangkan berkaitan dengan pelaksanaan peradilan militer selama ini yang dianggap tidak fair dan tidak transparan, sehingga sampai ada keinginan untuk menghapuskannya. Dinyatakan oleh Harkristuti Harkrisnowo, sebagai berikut :
Universitas Sumatera Utara
Sebenarnya masyarakat dapat saja tidak berburuk sangka terhadap kinerja peradilan militer, andai saja transparansi dan obyektifitas dijadikan tolak ukur operasi mereka. Ada beberapa Negara yang memiliki system yang sama dengan orang Indonesia berkenaan dengan kompetensi Pengadilan Militer atau court martial. Namun kondisinya agak berbeda, karena lembaga pengadilan di Negara-negara tersebut lain dipercaya oleh masyarakat. Sedangkan di Indonesia berbagai kasus yang ditangani oleh Pengadilan Militer (misalnya saja kasus bantaqiah), ternyata justru menerbitkan kecurigaan yang luar biasa di benak masyarakat, yang bersifat impartial, independent, and due process-oriented. 88
5. Adanya Kemandirian Dalam Profesi Hakim Masyarakat (sebagian masyarakat) menganggap bahwa intervensi dari sang atasan atau komandan identik dengan profil Peradilan Militer di Indonesia. Tentu anggapan masyarakat dimaksud ditentang keras oleh para penegak hukum pidana militer, bahkan oleh militer sendiri. Bahkan beberapa dari mereka menyampaikan pertanyaan ulang apakah dalam system peradilan pidana pada justisiabel peradilan umum telah bersih dari intervensi? Pasca pengaturan satu atap dengan Mahkamah Agung RI bagi para hakim militer, merupakan solusi terbaik bagi pro dan kontra tentang kemandirian para penegak hukum dalam justisiabel Peradilan Militer. Tuntutan rasa keadilan yang dikehendaki oleh masyarakat diatas, tentu bukanlah sesuatu yang pasti benar dalam penilaian aspek proses dalam persidangan pidana. Kemandirian profesi seorang hakim sangat diperlukan dalam penegakan hukum dan langkah para penyusunan undang-undang degan meletakan para hakim militer dalam atau atap dengan Mahkamah Agung RI adalah suatu 88
Indrajit, www.dispenad,mil.com.
Universitas Sumatera Utara
kemajuan tersendiri bagi system peradilan pidana militer di Indonesia. Campur tangan komandan atau atasan dapat terpangkas secara organisatoris, administrasi dan financial dalam sistem satu atap, Badan pembinaan Hukum TNI sebagai staf Panglima TNI tidak lagi mempunyai kewenangan yang dapat mencampuri kemandirian para hakim militer. Namun demikian, Ketua Indonesia Military Watch berpendapat bahwa sekalipun satu atap tetapi secara faktual bahwa para hakim militer yang ada pada saat ini masih sebagian besar merupakan produk sistem peradilan pidana militer yang lama. Sebagai contoh, sistem rekrutmen hakim militer pada masa lalu masih didasarkan pada cara penunjukan berdasarkan pengamatan para komandan yang berada dalam lingkup korps hukum Para hakim yang berpangkat Kapten (telah mengikuti pendidikan Selapa) 89 yang ditunjuk kemudian mengikuti pendidikan pengembangan spesialisasi hakim. Kewenangan Babinkum TNI terhadap pembinaan para oditur dan secara organisatoris memegang komando atas Orjen TNI ini seharusnya dipangkas dan hanya difungsikan sebagai staf khusus bidang hukum Panglima TNI dalam kaitannya melaksanakan fungsi organik militer. Selama Babinkum TNI masih memegang kendali terhadap Orjen TNI, maka sudah dapat dipastikan intervensi pimpinan TNI, maka sudah dapat dipastikan intervensi pimpinan TNI melalui sistem yang tidak mandiri ini akan terus terjadi, demikian pendapat Prastopo.
89
Seklah Lanjutan Perwira (Selapa) merupakan pendidikan tertinggi yang dilakukan kecabangan di lingkungan TNI AD.
Universitas Sumatera Utara
Penulis
berpendapat
seyogianya
Panglima
TNI
menyampaikan
permasalahan reformasi hukum militer ini kepada Departemen Pertahanan khususnya mengenai Oditur, agar berada di bawah pembinaan Kejaksaan Agung. Hal ini dapat secara langsung dibahas melalui amandemen undang-undang Peradilan Militer, sehingga terjadi pembahasan yang lebih komprehensip tentang system peradilan pidana militer pada saat ini
Universitas Sumatera Utara