BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pada setiap perekonomian, dengan sistem perekonomian apapun,
pemerintah senantiasa memegang peranan yang penting. Pemerintah memiliki peranan yang sangat besar dalam sistem perekonomian sosialis dan sangat terbatas dalam sistem perekonomian kapitalis murni/liberal. Adam Smith mengemukakan teori bahwa pemerintah hanya mempunyai tiga fungsi: (1) untuk memelihara keamanan dalam negeri dan pertahanan, (2) untuk menyelenggarakan peradilan, dan (3) untuk menyediakan barang-barang yang tidak disediakan oleh pihak swasta, seperti halnya dengan jalan, jembatan, dan lain-lain (Asliana, 2012). Fungsi pemerintah yang ketiga ini mewajibkan pemerintah menyediakan barang/jasa yang dibutuhkan masyarakat. Meskipun untuk mewujudkan tujuan secara efektif dan efisien seringkali pemerintah masih dihadapkan pada banyak persolan, seperti: keterbatasan akses informasi yang menyebabkan kebijakan yang dikeluarkan menimbulkan ekses distorsi. Namun peran pemerintah tetap diperlukan,
terutama
yang
berkaitan
dengan
kestabilan
makroekonomi,
membangun infrastruktur, menyediakan barang publik, mencegah terjadinya kegagalan pasar, dan mendorong terjadinya pemerataan (Asliana,2012). Pengadaan Barang/Jasa merupakan bagian yang penting dalam instansi pemerintah baik di pusat maupun di daerah. Berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 dan Perubahannya (Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012) Pasal 1 ayat (1), Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah adalah kegiatan untuk memperoleh Barang/Jasa oleh Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah/Institusi (K/L/D/I) yang prosesnya dimulai dari perencanaan kebutuhan sampai diselesaikannya seluruh kegiatan untuk memperoleh barang/jasa tersebut. Berdasarkan Peraturan Presiden tersebut pula, Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang efisien, terbuka dan kompetitif sangat diperlukan bagi ketersediaan Barang/Jasa yang terjangkau dan berkualitas, sehingga akan berdampak pada peningkatan publik. Selama ini proses pengadaan barang/jasa dilakukan dengan cara konvensional dimana langsung mempertemukan pihak-pihak yang terkait dalam pengadaan seperti penyedia barang/jasa dan pengguna barang/jasa atau panitia pengadaan. Pengadaan yang dilakukan secara konvensional dinilai memiliki beberapa kelemahan yang banyak merugikan seperti mudahnya Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) berkembang, serta kurang transparan (Lubis, 2006). Seringkali
Pengadaan
Barang/Jasa
Pemerintah
yang
dilakukan
secara
manual/konvesional menjadi celah baik bagi panitia pengadaan maupun penyedia untuk melakukan persengkongkolan dengan memenangkan salah satu perusahaan yang memang sudah sering mengikuti tender dan dikenal baik oleh panitia lelangnya. Pengadaan konvensional juga membutuhkan waktu yang lama, sehingga dipandang menyia-nyiakan waktu dan biaya, kurangnya informasi serta kompetisi yang kurang sehat yang berakibat terhadap kualitas pengadaan, terjadi eksklusif terhadap pemasok potensial dan pemberian hak khusus terhadap pemasok tertentu (Tatsis et al, 2006).
2
Pada era globalisasi ini, perkembangan teknologi internet sudah mencapai kemajuan yang sangat pesat. Aplikasi internet sudah digunakan untuk e-commerce dan telah berkembang kepada pemakaian aplikasi internet di lingkungan pemerintahan yang dikenal dengan e-government. Sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, bahwa pemanfaatan teknologi informasi berperan penting dalam perdagangan dan pertumbuhan perekonomian nasional untuk kesejahteraan masyarakat, yang berdampak dalam meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan publik. Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin baik di Indonesia tersebut, dunia pengadaan juga turut mengambil manfaat tersebut dengan membuat suatu sistem/aplikasi pengadaan secara elektronik atau yang dikenal dengan eProcurement. Dengan adanya e-Procurement, diharapkan dunia pengadaan di Indonesia akan mencapai pengadaan yang sesuai dengan 7 (tujuh) prinsip pengadaan yang tercantum dalam Perpres No. 54 tahun 2010 dan Perubahannya Pasal 5 yaitu efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak diskriminatif, dan akuntabel. Pelaksanaan e-procurement di Indonesia pertama kali dikembangkan oleh Bappenas sebelum LKPP terbentuk, dengan menggunakan lima wilayah sebagai proyek percontohan yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Gorontalo, Kalimantan Tengah dan Sumatera Barat. E-announcement (lelang dengan pengumuman serentak) merupakan tahap awal dari sistem e-procurement dimana didalamnya terdapat tahapan sosialisasi bagi semua pelaksana e-procurement (LKPP, 2009). Pilot
3
project tersebut dimulai dari informasi pengadaan dan pelatihan bagi semua pelaku usaha pada semua golongan. Pengadaan secara elektronik atau e-procurement tersebut diperlukan agar Pengadaan Barang/Jasa yang diselenggarakan Pemerintah dapat terlaksana dengan baik, sehingga dapat meningkatkan dan menjamin terjadinya efisiensi, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas dalam pembelanjaan uang negara (Setneg, 2012). Dengan demikian ketersediaan barang/jasa dapat diperoleh dengan harga dan kualitas terbaik, proses administrasi yang lebih mudah dan cepat, serta dengan biaya yang lebih rendah, sehingga akan berdampak pada peningkatan pelayanan publik (Setneg, 2012). Sehingga dengan adanya e-Procurement ini, tentunya akan semakin berkurang peluang-peluang yang timbul untuk dapat melakukan kecurangan dalam proses pengadaan, karena dalam lelang secara elektronik ini semua dilakukan melalui sistem dan terbuka. Bahkan, sebelum dokumen penawaran yang diberikan penyedia memasuki masa pembukaan penawaran, maka identitas perusahaan akan tersamarkan sehingga tidak ada yang tahu perusahaan apa saja yang memasukkan penawaran. Untuk mendukung pelaksanaan pengadaan berbasis elektronik tersebut, diperlukan suatu unit atau wadah yang khusus untuk mengoperasikan pengadaan secara elektronik tersebut yang diberi nama Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Dasar hukum pembentukan LPSE adalah Pasal 111 Perarturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 dan Perubahannya yang ketentuan teknis operasional LPSE juga diatur oleh Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) Nomor 2 Tahun 2010 tentang Layanan Pengadaan Secara
4
Elektronik. LPSE dalam menyelenggarakan sistem pelayanan Pengadaan Barang/Jasa secara elektronik juga wajib memenuhi persyaratan sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU-ITE). LPSE
adalah
unit
kerja
yang
dibentuk
di
seluruh
Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/lnstitusi Lainnya (K/L/D/I) untuk menyelenggarakan sistem pelayanan pengadaan barang/jasa secara elektronik serta memfasilitasi ULP/Pejabat Pengadaan dalam melaksanakan pengadaan
barang/jasa
secara
elektronik.
ULP/Pejabat
Pengadaan
pada
Kementerian/Lembaga/Perguruan Tinggi/BUMN yang tidak membentuk LPSE dapat menggunakan fasilitas LPSE yang terdekat dengan tempat kedudukannya untuk
melaksanakan
pengadaan
secara
elektronik.
Selain
memfasilitasi
ULP/Pejabat Pengadaan dalam melaksanakan pengadaan barang/jasa secara elektronik LPSE juga melayani registrasi penyedia barang dan jasa yang berdomisili di wilayah kerja LPSE yang bersangkutan (LPSE LKPP). Berdasarkan data pada Smart Report Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), e-Procurement di Indonesia sudah mulai diterapkan sejak tahun 2008, dan ada 11 intansi pemerintah yang sudah mendirikan Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE). Jumlah tersebut meningkat setiap tahunnya,
dan
pada
tahun
2014
ini
sudah
ada
590
Kementerian/Lembaga/Daerah/Institusi (K/L/D/I) di Indonesia yang menggunakan e-Procurement atau hampir mencapai angka 100% sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2013 mengenai Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi pada
5
butir 147 yang mewajibkan seluruh pelelangan dilaksanakan secara elektronik. Hal tersebut berlaku juga di Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) yang pengadaannya dilaksanakan melalui LPSE.
Tabel 1: Data Jumlah LPSE di Indonesia Tahun 2008-2014 Implementasi LPSE 2008-2014 No. Deskripsi 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 1
LPSE System Provider
11
30
98
273
501
547
590
2
LPSE Service Provider
0
3
39
42
42
55
20
11
33
137
315
543
602
610
9
18
28
31
33
33
34
11
41
254
613
731
731
731
3 LPSE 4 Prov. Terlayani 5
Instansi Terlayani
Sumber : http://report-lpse.lkpp.go.id/v2/beranda, diakses 27 Oktober 2014.
6
Tabel 2: Status Transaksi e-Tendering LPSE 2008-2014 No
Deskripsi Jumlah 1 Lelang
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
Total
33
1.724
6.397
24.475
91.356
131.96
88.654
344.599
Nilai Pagu 2 Selesai (Juta Rp)
42.898
3.137.595
12.971.803
38.163.399
145.724.645
214.286.561
126.148 .315
540.475 .215
Nilai Hasil 3 Lelang (Juta Rp)
36.286
2.618.650
11.585.138
33.688.791
128.966.245
192.490.242
115.335 .123
484.720 .475
Selisih Pagu dan 4 Hasil Lelang (Juta Rp)
6.612
518.945
1.386.665
4.474.608
16.758.400
21.796.319
10.813. 192
55.754. 741
Selisih Pagu dan 5 Hasil Lelang (%)
15,41
16,54
10,69
11,72
11,50
10,17
8,57
Sumber : www.report-lpse.lkpp.go.id
Keterangan Tabel : Jumlah Lelang
: Jumlah paket pengadaan di seluruh Indonesia dalam kurun waktu satu tahun Nilai Pagu Selesai : Batas nilai atau anggaran negara untuk melaksanakan pengadaan. Nilai Hasil Lelang : Nilai atau nominal yang harus dikeluarkan negara untuk membeli barang/jasa melalui lelang. Selisih Pagu dan hasil lelang : Selisih yang diperoleh dari pagu dikurang dengan nilai lelang. Semakin banyak selisihnya, maka semakin baik efisiensi atau penghematan negara yang diperoleh melalui pengadaan secara elektronik. Selisih Pagu dan hasil lelang : Selisih yang diperoleh dari pagu dikurang dengan nilai lelang. Semakin banyak selisihnya, maka semakin baik efisiensi atau penghematan negara yang diperoleh melalui pengadaan secara elektronik dihitung dengan persentase (%). Berdasarkan tabel diatas, dapat diketahui bahwa jumlah paket lelang di Indonesia terus meningkat cukup signifikan setiap tahunnya. Selisih antara nilai
7
10,32
pagu dengan hasil lelang juga diharapkan akan semakin meningkat, karena hal tersebut menunjukkan adanya peningkatan efisiensi keuangan negara melalui pengadaan barang/jasa pemerintah. Sejak diimplementasikannya sistem pengadaan secara elektronik hingga saat ini, Indonesia telah berhasil melakukan penghematan hingga Rp. 55.754.741.000.000,- atau sekitar 10% dari pagu yang sudah disiapkan untuk pengadaan di seluruh K/L/D/I di Indonesia. LPSE LKPP telah ada sejak tahun 2009, namun pada awalnya masih berupa Service Provider atau secara sistem masih tergabung bersama Kementerian Keuangan. Berdasarkan data dari Smart Report LPSE, LPSE LKPP telah berdiri sendiri atau berubah menjadi System Provider sejak tahun 2011 dengan 16 paket pengadaan yang dilaksanakan secara elektronik. Jumlah paket pengadaan secara elektronik di LPSE LKPP terus meningkat setiap tahunnya hingga di tahun 2013 mencapai angka 338 paket pengadaan dalam satu tahun (Smart Report LPSE:2014). Bahkan, hingga saat ini masih ada beberapa satuan kerja yang belum memiliki LPSE sendiri, ikut lelang melalui LPSE LKPP.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan pada latar belakang yang telah diuraikan, sesuai Perpres 54
tahun 2010 dan Perubahannya, prinsip dasar dari pengadaan adalah efisiensi, efektifitas, keterbukaan, persaingan, transparansi, dan adil/tidak diskriminatif, serta akuntabilitas dari pengadaan barang/jasa pemerintah. Dapat diketahui bahwa pengadaan secara elektronik (e-Procurement) memberikan pengaruh dan perubahan yang cukup besar dalam dunia pengadaan di Indonesia khususnya
8
mengenai efisiensi. Sebelumnya pengadaan merupakan hal yang rawan akan terjadinya penyalahgunaan wewenang sehingga seringkali kasus korupsi banyak terjadi terkait pengadaan. Namun kini, dengan adanya e-Procurement kasus-kasus negatif terkait pengadaan menjadi lebih berkurang dan diharapkan akan tidak ada lagi. Hal tersebut dapat terlihat dalam laporan monitoring dan evaluasi LPSE, dimana negara telah melakukan banyak penghematan anggaran dengan adanya sistem e-Procurement tersebut. Dengan semakin banyaknya selisih antara pagu anggaran dengan hasil lelang yang telah dilaksanakan, maka akan semakin banyak pula efisiensi yang telah dilakukan oleh Indonesia, sehingga pemborosan negara akibat sektor pengadaan akan semakin menipis. Dengan demikian, pengadaan melalui sistem elektronik semakin digalakkan oleh pemerintah karena memberikan dampak positif bagi Indonesia. Sehingga, dikeluarkanlah Peraturan Kepala LKPP No. 18 Tahun 2012 mengenai e-Tendering yang memuat tata cara pelaksanaan pelelangan secara elektronik agar semua proses pengadaan di seluruh instansi terutama di Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
1.3
Pertanyaan Penelitian 1. Apakah implementasi Pengadaan Secara Elektronik (e-Procurement) di LKPP sudah sesuai dengan standar yang diterapkan? 2. Apa saja faktor-faktor pendukung dan penghambat dalam pencapaian standar tersebut?
9
3. Apa saja upaya yang harus dilakukan untuk mencapai standar yang telah ditetapkan tersebut?
1.4
Batasan Penelitian Dalam penelitian ini, peneliti akan membatasi lingkup penelitian di
Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP). Alasan pemilihan tersebut didasari ketersediaan data yang mendukung pelaksanaan penelitian tersebut. Lokasi tempat dilakukan penelitian ini adalah di Unit Layanan Pengadaan (ULP) LKPP dan LPSE LKPP yang terletak di SME Tower Lt.17, Jalan Jenderal Gatot Subroto Kav. 94, Jakarta Selatan 12780. ULP merupakan kelompok kerja atau panitia pengadaan yang berwenang dan bertanggung jawab dalam melaksanakan proses pengadaan barang/jasa dari awal sampai akhir dengan periode waktu antara tahun 2011 sampai dengan 2013.
1.5
Tujuan Penelitian Tujuan dari dilakukannya penelitian ini antara lain : 1. Mengevaluasi implementasi e-Procurement yang ada di LKPP apakah sudah sesuai dengan standar yang ditentukan. 2. Mengidentifikasikan faktor-faktor apa saja yang menjadi pendukung dan juga penghambat dalam implementasi sesuai standar tersebut. 3. Merumuskan upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencapai standar tersebut.
10
1.6
Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari dilakukannya penelitian
mengenai implementasi pengadaan secara elektronik, antara lain : a. Sebagai masukan bagi Pemerintah pada umumnya dan pelaksana pengadaan di LKPP pada khususnya dalam implementasi pengadaan secara elektronik (eProcurement) mengenai faktor-faktor yang dapat mendukung dan menghambat implementasi e-Procurement yang sesuai dengan standar dan bagaimana upaya yang harus dilakukan. b. Dapat menambah pengetahuan dan wawasan bagi para pembaca mengenai implementasi e-Procurement di Indonesia pada umumnya dan di LKPP pada khususnya.
1.7
Sistematika Penulisan Penelitian ini akan dibahas dalam 5 bab, yaitu: Bab I merupakan bab pendahuluan, terdiri dari sub-bab: Latar belakang,
rumusan masalah, pertanyaan penelitian, batasan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, susunan penelitian. Bab II berisi tinjauan pustaka yang memuat teori-teori yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan. Bab III berisi metode penelitian. Metode penelitian mengandung uraian tentang: bahan atau materi penelitian, serta data yang akan dikumpulkan. Tujuan dari bagian ini adalah untuk memberikan informasi kepada pembaca mengenai metode yang digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis data.
11
Bab IV berisi hasil penelitian dan pembahasan. Bab ini memuat hasil penelitian dan pembahasan yang sifatnya terpadu. Bab V yang memuat simpulan dan saran. Kesimpulan merupakan pernyataan singkat dan tepat yang disimpulkan dari hasil penelitian, sementara saran dibuat berdasarkan pengalaman dan pertimbangan yang ditujukan kepada para peneliti dalam bidang sejenis yang ingin melanjutkan atau mengembangkan penelitian yang sudah diselesaikan.
12