BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kekuasaan kehakiman, dalam konteks negara Indonesia, adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh:
1. Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan lingkungan peradilan tata usaha negara. 2. Mahkamah Konstitusi
Selain itu terdapat pula Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang merupakan pengadilan khusus dalam Lingkungan Peradilan Agama (sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama)
dan
Lingkungan
Peradilan
Umum
(sepanjang
kewenangannya
menyangkut kewenangan peradilan umum). Di samping perubahan mengenai
1
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, UUD 1945 juga memperkenalkan suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Komisi Yudisial adalah lembaga penunjang atau pembantu dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Dari sudut materi tugas yang dibebankan, Komisi Yudisial memang merupakan lembaga yang membantu dalam pelaksanaan tugas kekuasaan kehakiman, tetapi sebagai lembaga negara yang menjadi "pengawas eksternal", Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang mandiri seperti yang disebutkan di dalam pasal 2 UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang dibentuk pada tahun 2004, sedangkan Komisi Yudisial sendiri baru dibentuk pada pertengahan tahun 2005. Tak lama setelah dibentuk, Komisi Yudisial terlibat dalam konflik dengan Mahkamah Agung, ketika Komisi Yudisial mulai menerjemahkan tugas-tugasnya dalam langkah konkret terutama untuk menjaga kehormatan dan keluhuran martabat hakim, termasuk hakim agung. Ketegangan bermula ketika Komisi Yudisial merasakan adanya kesulitan untuk meminta keterangan dari Ketua Mahkamah Agung tentang kasus yang menjadi perhatian masyarakat. Kesulitan Komisi Yudisial untuk melakukan
2
pemeriksaan pemeriksaan atau pemanggilan terhadap beberapa hakim agung, terutama Ketua MA, menimbulkan anggapan bahwa MA sudah dihuni oleh orang orang yang tak kondusif bagi upaya memperbaiki lembaga peradilan.1 Komisi Yudisial yang sudah mendapat banyak laporan dari masyarakat tentang perilaku hakim yang 'dianggap' korup, kemudian menggagas Perppu tentang seleksi Ulang Hakim Agung yang kemudian menimbulkan pro dan kontra yang meluas. Seleksi ulang itu dimaksudkan sebagai upaya menyeleksi kembali hakim-hakim agung untuk diganti dengan yang 'dianggap' bersih. Gagasan Komisi Yudisial mendapat sambutan luas dari masyarakat. Bahkan diberitakan bahwa semula Presiden mendukung gagasan tersebut. Mahkamah Agung menganggap bahwa langkah Komisi Yudisial mengagendakan seleksi ulang hakim agung itu merupakan langkah yang melewati batas. Komisi Yudisial sebagai lembaga baru dipandang terlalu arogan karena ia seakan-akan memposisikan diri sebagai polisi bagi para hakim agung. Bagi Mahkamah Agung , langkah-langkah Komisi Yudisial bukan mengangkat derajat dan martabat hakim melainkan mengobok-obok dan melecehkan MA, dan justru bukan menjaga melainkan menjatuhkan martabatnya.2
1
Perpu Komisi Yudisial, Intervensi atau Pembaruan MA? , terdapat dalam http://antikorupsi.org/indo/content/view/7069/6/ 2 Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, terdapat dalam, http://arfanhy.blogspot.com/2008/04/konflik-mahkamah-agung-vs-komisi.html
3
B. Rumusan Masalah Bagaimanan hubungan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam perspektif Undang Undang no 3tahun 2009 ?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan seperti diuraikan di atas, penelitian ini bertujuan Mengetahui hubungan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam perspektif Undang Undang no 3 tahun 2009
D. Tinjauan Pustaka
1. Pembagian Kekuasaan Dalam sebuah praktek ketatanegaraan tidak jarang terjadi pemusatan kekuasaan pada satu tangan, sehingga terjadi pengelolaan sistem pemerintahan yang dilakukan secara absolut atau otoriter, sebut saja misalnya seperti dalam bentuk monarki dimana kekuasaan berada ditangan seorang raja. Maka untuk menghindari hal tersebut perlu adanya pembagian/pemisahan kekuasaan, sehingga terjadi kontrol dan keseimbangan diantara lembaga pemegang kekuasaan. John Locke adalah sarjana yang pertama kali mengemukakan teori pemisahan kekuasaan yang membagi kekuasaan pada negara menjadi kekuasaan
4
legislative (kekuasaan
membentuk undang-undang), kekuasaan eksekutif
(kekuasaan yang menjalankan undang-undang), serta kekuasaan federatif (kekuasaan yang meliputi perang dan damai, membuat perserikatan, dan segala tindakan dengan semua orang serta badan-badan di luar negeri).3 Berdasarkan teori Montesquieu, terdapat tiga kekuasaan yang dikenal secara klasik dalam teori hukum maupun politik, yaitu fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang kemudian dikenal sebagai trias politica.4 Montesquieu mengidealkan ketiga fungsi kekuasaan negara tersebut dilembagakan masingmasing dalam tiga organ negara, dengan ketentuan satu organ hanya menjalankan satu fungsi dan tidak boleh mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Konsep Montesquieu saat ini dianggap tidak lagi relevan mengingat ketidak mungkinan mempertahankan prinsip bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara ekslusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Dalam kenyataan sekarang ini, hubungan antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin tidak saling bersentuhan dan bahkan ketiganya saling sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip checks and balances.
3
Jimly Asshiddiqie, Pengantar ilmu hukum tatanegara jilid II, Sekretariat Jendral dan kepaniteraan mahkamah konstitusi RI, hal 13 4 Dahlan Thaib, DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal 7
5
2. Kekuasaan Kehakiman Dalam Islam tidak hanya berisi ajaran tentang keimanan atau aqidah, ibadah, serta moral belaka, tetapi juga berisi tentang hukum sebagai mana dimaksud dalam konsep hukum modern. 5 Allah berfirman dalam Al Quran surat An Nisa’ ayat 135 yang berbunyi:
Íρr& öΝä3Å¡àΡr& #’n?tã öθs9uρ ¬! u!#y‰pκà− ÅÝó¡É)ø9$$Î/ tÏΒ≡§θs% (#θçΡθä. (#θãΨtΒ#u tÏ%©!$# $pκš‰r'¯≈tƒ * (#θãèÎ7−Fs? Ÿξsù ( $yϑÍκÍ5 4’n<÷ρr& ª!$$sù #ZÉ)sù ÷ρr& $†‹ÏΨxî ï∅ä3tƒ βÎ) 4 tÎ/t ø%F{$#uρ Èøy‰Ï9≡uθø9$# ∩⊇⊂∈∪ #ZÎ6yz tβθè=yϑ÷ès? $yϑÎ/ tβ%x. ©!$# ¨βÎ*sù (#θàÊÌ ÷èè? ÷ρr& (#ÿ…âθù=s? βÎ)uρ 4 (#θä9ω÷ès? βr& #“uθoλù;$#
Yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.
Dari ayat diatas jelas disebutkan Allah memerintahkan kita untuk selalu menegakkan keadilan dengan sebenar benarnya. dan juga Al Quran menegaskan tentang persamaan dalam hukum, tidak peduli miskin ataupun kaya, saudara, kerabat ataupun bukan, Allah tetap memerintahkan untuk berbuat adil.
5
Bambang Sutiyoso & Sri Hastuti, Aspek Aspek Perkembangn kekuasaan Kehakiman, ctk. Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2005, hal 3
6
Sesuai dengan prinsip pemisahan kekuasaan, maka legislatif, eksekutif, dan yudikatif dikembangkan sebagai
fungsi-fungsi cabang-cabang
kekuasaan yang terpisah satu sama lain. Jika kekuasaan legislatif berpuncak pada Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD, maka cabang kekuasaan yudikatif berpuncak pada kekuasaan kehakiman yang juga dapat dipahami terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Pada mulanya, memang tidak dikenal adanya Mahkamah Konstitusi. Bahkan, keberadaan gagasan Mahkamah Konstitusi itu sendiri di dunia memang dapat dikatakan relatif masih baru. Karena itu, pada tahun 1945 ketika UUD 1945 dirumuskan, gagasan Mahkamah Konstitusi ini belum muncul. Namun di negara negara demokrasi baru, terutama di lingkungan negaranegara yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi demokrasi pada abad ke-20, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi ini menjadi sangat
populer.
Karena itu, setelah Indonesia memasuki era reformasi dan demokratisasi, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi itu menjadi sangat luas diterima. Dan sekarang, dalam Perubahan UUD
1945, ketentuan mengenai Mahkamah
Konstitusi itu sudah diadopsikan ke dalam rumusan UUD 1945. Bahkan, pada waktu UUD 1945 disusun pada tahun 1945, para perumusnya bersepakat bahwa UUD Proklamasi itu memang tidak didasarkan atas teori trias politica yang memisahkan secara tegas antar tiga cabang kekuasaan Legislatif, Eksekutif dan Yudikatif. Namun, sejak awal, khusus berkenaan dengan cabang kekuasaan
7
Yudikatif sudah dengan tegas ditentukan harus bebas dan merdeka dari pengaruh cabang kekuasaan lainnya, terutama pemerintah. Oleh karena itu,
sekarang
setelah lembaga MPR sendiri mengalami reformasi struktural dengan diterapkannya sistem pemisahan kekuasaan dan prinsip hubungan checks and balances
antara
lembaga-lembaga
negara
dapat
dikatakan
struktur
ketatanegaraan kita berpuncak pada tiga cabang kekuasaan, yang saling mengontrol dan saling mengimbangi secara sederajat satu sama lain, yaitu a. Presiden dan Wakil Presiden sebagai satu institusi kepemimpinan, b. MPR yang terdiri atas DPR dan DPD, dan c. Kekuasaan kehakiman yang terdiri atas Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. 6 Ketiga-tiganya tunduk di bawahpengaturan konstitusi, yaitu UndangUndang Dasar 1945 dengan segala perubahannya. Dengan demikian, lembaga Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan puncak dari sistem kedaulatan rakyat, sedangkan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dapat dilihat sebagai puncak pencerminan sistem kedaulatan hukum. Karena itu timbul usulan agar kedua mahkamah itu dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh dengan sebutan Mahkamah Agung yang memiliki dua pintu.
6
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi Dan Konstitusionalisme di Indonesia, ctk. Pertama, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dan pusat studi hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, jakarta, 2004, hal 5/8
8
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dapat berdiri sendiri dengan pengertian bahwa pada hakikatnya keduanya berada dalam satu kesatuan fungsi kekuasaan mahkamah kehakiman yang mencerminkan puncak kedaulatan hukum Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi itu secara bersama-sama dapat pula disebut sebagai Mahkamah Kehakiman. Sebenarnya, ajaran kedaulatan rakyat yang mencerminkan prinsip demokrasi dalam perkembangan sejarah pemikiran hukum dan politik memang sering dipertentangkan dengan ajaran kedaulatan hukum berkaitan dengan prinsip nomokrasi. Ajaran atau teori kedaulatan hukum itu sendiri dalam istilah yang lebih populer dihubungkan dengan doktrin the Rule of Law dan prinsip Rechtsstaat (negara hukum). Perdebatan teoritis dan filosofis mengenai mana yang lebih utama dari kedua prinsip ajaran kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat ini dalam sejarah terus berlangsung sejak zaman Yunani kuno. Pada zaman modern sekarang ini, orang berusaha untuk merumuskan jalan tengahnya juga terus terjadi. Misalnya dikatakan bahwa kedua prinsip itu tak ubahnya merupakan dua sisi dari mata uang yang sama. Keduanya menyatu dalam konsepsi negara hukum yang demokratis ataupun konsepsi negara demokrasi yang berdasar atas hukum. Namun, dalam praktek, tidaklah mudah untuk mengkompromikan prinsip kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat itu dalam skema kelembagaan yang benar-benar seimbang. Dalam sistem UUD
9
1945 selama ini, lembaga tertinggi negara justru diwujudkan dalam lembaga MPR yang lebih berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat. Akan tetapi, setelah dilakukan perubahan terhadap ketentuan Undang-Undang Dasar berkenaan dengan hal itu maka lembaga kekuasaan kehakiman yang mencakup dua mahkamah itu juga harus ditempatkan dalam kedudukan yang sederajat dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang terdiri atas DPR dan DPRD. Sekarang, kedua ajaran kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum itu dikembangkan secara bersamaan dan berada dalam hubungan yang sederajat, sebagai perwujudan keyakinan
kolektif
bangsa
Indonesia
akan
kedaulatan
Tuhan
yang
penyelenggaraan kehidupan kenegaraan Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
E. Metode Penelitian 1. Obyek Penelitian Hubungan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung dalam Undang undang No 3 tahin 2009.
2. Sumber data Menggunakan sumber data sekunder yang terdiri dari: a. Bahan hukum primer berupa berupa ketentuan hukum dan perundang-undangan yang mengikat serta berkaitan dengan studi ini.
10
b. Bahan hukum sekunder yang berupa pendapat para ahli, teori teori, literatur yang berkaitan dengan pokok masalah dalam studi ini, baik berbentuk buku, makalah , laporan penelitian, artikel, dan lain sebagainya.
3. Tehnik pengumpulan data Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kepustakaan, yaitu cara pengumpulan data dengan bersumber pada bahanbahan pustaka.
4. Pendekatan penelitian Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan Yuridis Normatif, yaitu menganalisa permasalahan dari sudut pandang atau menurut ketentuan hukum atau perundang undangan yang berlaku. 5. Analisa Data Analisa data dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif, yaitu pengelolaan dan penguraian data data yang diperoleh dalam suatu gambaran sistematis yang didasarkan pada teori dan pengertian hukum yang terdapat dalam studi ilmu hukum untuk mendapatkan kesimpulan yang ilmiah.
11
F. Kerangka Skripsi BAB I Pendahuluan A. Latar belakang masalah B. Rumusan masalah C. Tujuan penelitian D. Tinjauan pustaka E. Metode penelitian BAB II Kekuasaan kehakiman dan komisi Yudisial di Indonesia A. Kekuasaan kehakiman di Indonesia munurut Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 B. Komisi Yudisial di Indonesia BAB III Hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung A. Pasang surut hubungan Komisi Yudisial dan Mahkamah agung B. Hubungan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah agung dalam Undang ndang No 3 tahin 2009 BAB IV Penutup A. Kesimpulan B. Saran
12