BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu unsur yang paling penting dalam penegakan hukum. Sebagaimana yang dijustifikasi di dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai suatu kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Kekuasaan yang merdeka diartikan sebagai kekuasaan yang terlepas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif. Kekuasaan kehakiman di Indonesia dipegang oleh Mahkamah Agung serta peradilan dibawahnya yaitu, Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Mahkamah Kosnstitusi. Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman melalui peradilan dilaksanakan semata-mata untuk menegakan hukum dan keadilan. Berdasarkan hal tersebut maka hakim sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman haruslah memutus suatu perkara didasarkan atas prinsip penegakan hukum dan prinsip keadilan. Kekuasaan kehakiman merupakan badan yang menentukan dan kekuatan kaidah-kaidah hukum positif dalam konkretisasi oleh hakim melalui putusanputusannya. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang diciptakan dalam suatu Negara, dalam usaha menjamin keselamatan masyarakat menuju kesejahteraan rakyat, peraturan-peraturan tersebut tidak ada artinya,
apabila tidak ada kekuasaan kehakiman yang bebas yang diwujudkan dalam bentuk peradilan yang bebas dan tidak memihak, sebagai salah satu unsur Negara hukum. Sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman adalah hakim, yang mempunyai kewenangan dalam peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya.1 Menurut Bagir Manan tugas seorang hakim adalah meyelesaikan sengketa diantara pihak-pihak, memberi kepuasan hukum kepada pihak yang berperkara2. Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik. Menurut Gerhard Robbes secara kontekstual ada 3 (tiga) esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu: a.
Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;
b.
Tidak
seorangpun
termasuk
pemerintah
dapat
mempengaruhi
atau
mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim; c.
Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya.
1
Ahmad Rifai. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, Sinar Grafika,Jakarta, 2010, hlm.102 2 http://www.badilag.net/data/PIDATO/TUGAS%20HAKIM.pdf
Pengertian putusan hakim begitu kompleks, sehingga tidak mudah untuk memberikan rumusan yang aktual terhadap pengertian putusan hakim. Beberapa pakar hukum memberikan batasan terhadap pengertian putusan hakim, salah satunya adalah batasan pengertian putusan hakim menurut Lilik Mulyadi. Dengan berlandaskan pada visi teoritis dan praktik maka Lilik Mulyadi memberikan pengertian putusan hakim itu merupakan: “Putusan yang diucapkan oleh hakim karena jabatannya dalam persidangan perkara pidana yang terbuka untuk umum setelah melakukan proses prosedural hukum secara pidana pada umumnya berisikan amar pemidanaan atau bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dalam bentuk tertulis dengan tujuan penyelesaian perkaranya.”3 Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya. Oleh karena itu hakim tidak berarti dapat berbuat sesuka hatinya, melainkan hakim juga harus mempertanggung jawabkan putusannya. Putusan hakim merupakan aspek penting dan diperlukan untuk menyelesaikan perkara pidana. Putusan hakim merupakan tahapan akhir dari proses persidangan dalam suatu pengadilan. Putusan hakim inilah sebagai penentu apakah seseorang terdakwa bersalah atau tidak melakukan tindak pidana.
3
Lilik Mulyadi, Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana Indonesia (prespektif, Teoritis, Praktik, Teknik Membuat, dan Permasalahannya), PT Citra Aditya, Bandung., 2010, hlm 129
Dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara pidana, seharusnya putusan hakim tersebut berisi alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang bisa memberikan rasa keadilan bagi terdakwa. Dimana dalam pertimbanganpertimbangan itu dapat dibaca motivasi yang jelas dari tujuan putusan diambil, yaitu untuk menegakkan hukum (kepastian hukum) dan memberikan keadilan. Dalam memberikan pertimbangan untuk memutuskan suatu perkara pidana diharapkan hakim tidak menilai dari satu pihak saja sehingga dengan demikian ada hal-hal yang patut dalam penjatuhan putusan hakim apakah pertimbangan tersebut memberatkan ataupun meringankan pidana, yang melandasi pemikiran hakim, sehingga hakim sampai pada putusannya. Selain itu putusan hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus langkah terdakwa menjadi jelas, apakah menerima putusan, atau menolak putusan untuk melakukan upaya hukum. Hakim menjatuhkan putusan pidana harus dalam rangka menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang. Dalam penjelasan Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan “bahwa sifat-sifat yang jahat maupun baik dari tertuduh wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan”. Terhadap hal-hal atau keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa, selain mengacu pada Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ternyata Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) juga mengaturnya. Dalam KUHAP
ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 197 ayat 1 huruf (f) yang berbunyi:
“Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa.” Dalam hal ini hakim menguraikan keadaan baik yang meringankan dan memberatkan. Selain pertimbangan yuridis, pertimbangan nonyuridis juga harus diuraikan dalam hal yang meringankan dan memberatkan. Faktor-faktor nonyuridis seperti ; faktor psikologi terdakwa, faktor sosial ekonomi terdakwa, faktor edukatif, faktor lingkungan, faktor religious, dan sebagainya. Terhadap Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP belum ada keseragaman diantara hakim untuk mengartikan hal meringankan dan hal memberatkan. Menurut Amhad Syarif4 sebagai Hakim di Pengadilan Negeri Sumedang mendefinisikan hal yang meringankan dan memberatkan yakni hal-hal yang meringankan adalah mengenai sifat-sifat positif dari terdakwa dalam kehidupan sehari-hari dan selama mengikuti persidangan, juga mengingat faktor sosialekonomi yaitu tanggung jawab terdakwa dalam rumah tangganya. Hal-hal yang memberatkan adalah sifat negatif dari terdakwa yang telah menimbulkan kerugian bagi korban, ketertiban umum, atau Negara. Sedangkan menurut Marsudi sebagai Ketua Pengadilan Negeri Sumedang bahwasanya hal yang meringankan dan memberatkan dilihat dari perilaku seorang terdakwa. Tetapi dalam memutus hal
4
Hasil Wacancara dengan Bapak Ahmad Syarif Hakim Pengadilan Sumedang, 20 Februari 2012
Negeri
tersebut hakim mempunyai keyakinan tersendiri sehingga terdakwa dapat di vonis dengan meringankan hukuman ataupun memberatkan hukuman.5 KUHAP sebagai pedoman dalam beracara dalam peradilan pidana sama sekali tidak memberikan pengertian hal meringankan dan hal memberatkan oleh karena itu terbuka bagi setiap hakim karena kebebasannya untuk menilai sesuatu yang dinyatakan dalam sidang pengadilan sebagai hal yang meringankan atau hal yang memberatkan. Persoalannya adalah setiap hakim memiliki penilaian yang berbeda. Setiap hakim memiliki kebebasan untuk mengartikan suatu hal itu sebagai hal meringankan atau memberatkan tanpa memiliki batasan-batasan untuk mengkualifikasikannya. Selain itu dalam hal yang meringankan dan yang memberatkan dalam suatu putusan diperlukan beberapa kriteria sehingga hakim dapat memutus perkara tersebut dengan pertimbangan untuk memberatkan hukuman terdakwa atau justru meringankan hukuman terdakwa. Dengan melihat permasalahan yang terdapat dalam Pasal 197 ayat 1 huruf (f) tersebut, maka penulis tertarik untuk menulis skripsi dengan judul: PELAKSANAAN PASAL 197 AYAT 1 HURUF (f) UNDANGUNDANG NO. 8 TAHUN 1981 DALAM HAL PENGAMBILAN PUTUSAN OLEH HAKIM DALAM PERKARA PIDANA PENGADILAN NEGERI SUMEDANG
5
Ibid
DI
B. Indentifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan pokok yang akan dibahas dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1.
Apa hal yang meringankan dan memberatkan dalam suatu putusan?
2.
Apakah Unsur-unsur mengenai hal yang meringankan dan memberatkan dalam suatu putusan?
3.
Bagaimanakah pelaksanaan Pasal 197 ayat (1) huruf F Undang-Undang no. 8 Tahun 1981 di Pengadilan Negeri Sumedang?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian merupakan pernyataan tentang apa yang hendak dicapai dengan penelitian tersebut. Adapun tujuan penelitian dalam penulisan ini adalah sebagai berikut: 1.
Untuk mengetahui mengenai hal yang meringankan dan memberatkan dalam suatu putusan.
2.
Mengetahui unsur-unsur mengenai hal yang meringankan dan memberatkan dalam suatu putusan.
3.
Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan pasal 197 ayat (1) huruf (f) Undang-Undang no. 8 Tahun 1981 di Pengadilan Negeri Sumedang.
D. Kegunaan Penelitian Kegunaan yang diharapkan penulis dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Kegunaan Teoritis Diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi ilmiah bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya di bidang hukum pidana dan hukum acara pidana.
2.
Kegunaan Praktis Diharapkan pula hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi khususnya bagi para hakim dan para penegak hukum lainnya dalam menjalankan peradilan sesuai dengan ketentuan hukum acara.
E. Kerangka Pemikiran Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu unsur yang paling penting dalam penegakan hukum. Sebagaimana yang dijustifikasi di dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) menempatkan kekuasaan kehakiman sebagai suatu kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Kekuasaan yang merdeka diartikan sebagai kekuasaan yang terlepas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif. Aristoteles menggambarkan keadilan sebagai bentuk persamaan atau equality, yaitu prinsip dimana suatu kasus yang sama seharusnya diperlakukan dalam cara yang sama dan kasus yang berbeda diperlakukan dengan cara yang berbeda. Masalah pokok penegakan hukum terletak pada faktor-faktor yang
mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut6 : 1.
Faktor hukumnya sendiri.
2.
Faktor penegak hukum.
3.
Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4.
Faktor masyarakat.
5.
Faktor kebudayaan. Jhon Austin berpendapat bahwa hukum merupakan perintah dari penguasa,
dalam arti bahwa perintah dari mereka yang memegang kekuasaan tertinggi atau dari yang memegang kedaulatan.7 Selanjutnya, Austin menganggap hukum sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (closed logical system), hukum secara tegas dipisahkan dari keadilan dan tidak didasarkan pada nilai-nilai yang baik atau buruk.8 Sedangkan August Comte mempelopori faham positivisme hukum Jhon Austin yang analisis, dalam karyanya The Course of Positive Philosophy. Karena kurangnya perhatian Jhon Austin terhadap hukum yang dicita-citakan (ius constituendum) serta dijauhkannya dari nilai-nilai baik dan buruk dan hal-hal yang menyangkut keadilan.9 Hans Kelsen berpendapat bahwa hukum itu harus dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis, sosiologis, politis, dan sebagainya.10 Dalam sistem hukum pidana Indonesia mengenal aliran legalisme yang 6
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm, hlm. 8 7 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra AdityaBakti, Bandung, 2007 , hlm. 58 8 Ibid, hlm. 58 9 Ibid hlm. 57 10 Ibid hlm. 60
dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP : “ Tiada suatu perbuatan dapat dipidana Kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan “. Ketentuan pidana seperti yang telah diatur dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP ini terkandung suatu asas yang disebut dengan “asas legalitas” (principle of legality), yaitu asas yang menentukan bahwa suatu perbuatan itu hanya merupakan tindak pidana jika ditentukan demikian oleh undang-undang atau peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan undang-undang.11 Pada umumnya asas legalitas itu mengandung tiga pengertian yaitu: 12 1.
Tiada ada suatu perbuatan pun yang dilarang (diharuskan) dan diancam dengan pidana, kalau hal itu sebelumnya tidak dinyatakan dalam suatu ketentuan undang-undang.
2.
Untuk menentukan adanya tindak pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas).
3.
Ketentunn-ketentuan hukum pidana itu tidak boleh berlaku surut. Ketiga asas atau pengertian hukum pidana tersebut di atas merupakan asas
pokok dalam hukum pidana, terutama asas yang pertama. Dasar pikirannya adalah untuk menjamin kepastian hukum (rechtszekerheids).13 Moeljatno mengartikan bahwa hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-
11
Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Alasan Peniadaan Pidana), CV Armico, Bandung, 1995, hlm. 73 12 Ibid, hlm. 75 13 Ibid
dasardan aturan-aturan untuk:14 1.
Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2.
Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan.
3.
Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. Selain itu menurut Satochid Kartanegara yang dikutip oleh Sofjan
Sastrawidjaja, mengartikan bahwan hukum pidana adalah: Sejumlah peraturan yang merupakan bagian dari hukum positif yang mengandung larangan-larangan dan keharusan-keharusan yang ditentukan oleh negara atau kekuasaan lain yang berwenang untuk menentukan peraturan-peraturan pidana, larangan atau keharusan itu disertai ancaman pidana, dan apabila hal ini dilanggar timbullah hak negara untuk melakukan tuntutan, menjatuhkan pidana, dan melaksanakan pidana.15 Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting Negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan
14 15
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta , 2008, hlm. 1 Sofjan Sastrawidjaja, op, cit, hlm 12
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.16 Maka Indepedensi Kekuasaan Kehakiman juga dapat diterjemahkan ke dalam pengertian "kebebasan seorang hakim dalam memutus suatu perkara.17 Kebebasan hakim yang didasarkan kepada kemandirian dan kemerdekaan kekuasaan kehakiman di Indonesia itu, telah dijamin dalam konstitusi Indonesia yaitu, UUD 1945 yang selanjutnya diimplementasikan dalam UU Kekuasaan Kehakiman.18 Kemerdekaan kekuasaan kehakiman di satu sisi, diimbangi oleh akuntabilitas di sisi lain. Kedua unsur tersebut hadir bersamaan, tidak mungkin berdiri sendiri. Karena itu harus dikatakan bahwa tidak ada kebebasan tanpa akuntabilitas. Menurut Paulus E. Lotulung, yang dikutip oleh J. Djohansjah mengatakan bahwa: Perlunya independensi peradilan tidak berarti bahwa hakim tidak dapat dikritik walau diawasi. Sebagai keseimbangan dari independensi, selalu harus terdapat akuntabilitas peradilan atau tanggung-jawab peradilan untuk mencegah ketidakadilan. Mekanisme pengawasan itu harus dikembangkan oleh lembaga peradilan itu sendiri dan masyarakat dalam pengerlian untuk menjamin akuntabilitas seorang hakim. Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menjelaskan bahwa "Pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau 16
P.A.F,Lamintang, Dasar-Dasr Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm. 9-13 17 Kansil, C.S.T,Hukum Tata Negara Republik Indonesi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hlm. 161 18 Yesmi Anwar dan Adang, op.cit, hlm. 27
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya". Maksud ketentuan pasal ini bahwa hakim harus mempelajari cara menemukan hukum yang memang sudah disediakan oleh ilmu hukum, karena merupakan sualu kewajiban yang harus dijalankan oleh
setiap hakim dalam
mengemban tugas luhurnya itu. Sehingga, meskipun hukum pidana menganut asas legalitas tetapi UU Kekuasaan Kehakiman mewajibkan kepada hakim untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara pidana yang bertentangan dengan nilai-nilai dalam masyarakat, jika sebelumnya tidak diatur dalam undang-undang. Menurut Bagir Manan tugas seorang hakim adalah meyelesaikan sengketa diantara pihak-pihak, memberi kepuasan hukum kepada pihak yang berperkara19. Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menetukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, disamping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik. Menurut Gerhard Robbes secara kontekstual ada 3 (tiga) esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu: d.
Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;
19
http://www.badilag.net/data/PIDATO/TUGAS%20HAKIM.pdf tanggal 21 Januari 2021 , Hari kamis jam 21.00WIB
e.
Tidak
seorangpun
termasuk
pemerintah
dapat
mempengaruhi
atau
mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim; f.
Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya. Putusan hakim merupakan aspek penting dan diperlukan untuk
menyelesaikan perkara pidana. Putusan hakim merupakan tahapan akhir dari proses persidangan dalam suatu pengadilan. Putusan hakim inilah sebagai penentu apakah seseorang terdakwa bersalah atau tidak melakukan tindak pidana. Dalam memberikan putusan terhadap suatu perkara pidana, seharusnya putusan hakim tersebut berisi alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan yang bisa memberikan rasa keadilan bagi terdakwa. Dimana dalam pertimbanganpertimbangan itu dapat dibaca motivasi yang jelas dari tujuan putusan diambil, yaitu untuk menegakkan hukum (kepastian hukum) dan memberikan keadilan. Dalam memberikan pertimbangan untuk memutuskan suatu perkara pidana diharapkan hakim tidak menilai dari satu pihak saja sehingga dengan demikian ada hal-hal yang patut dalam penjatuhan putusan hakim apakah pertimbangan tersebut memberatkan ataupun meringankan pidana, yang melandasi pemikiran hakim, sehingga hakim sampai pada putusannya. Selain itu putusan hakim di satu pihak berguna bagi terdakwa memperoleh kepastian hukum tentang statusnya dan sekaligus langkah terdakwa menjadi jelas, apakah menerima putusan, atau menolak putusan untuk melakukan upaya hukum. Hakim menjatuhkan putusan pidana harus dalam rangka menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang. Dalam
penjelasan Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan “bahwa sifat-sifat yang jahat maupun baik dari tertuduh wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan”. Terhadap hal-hal atau keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa, selain mengacu pada Pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ternyata Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) juga mengaturnya. Dalam KUHAP
ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 197 ayat 1 huruf (f) yang berbunyi: “Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa.” Dasar hukum putusan hakim dalam KUHAP diatur dalam pasal 197. Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dan tiga kemungkinan :20 1. Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan atau tata tertib Dasar hukumnya adalah Pasal 193 ayat (1) KUHAP 2. Putusan bebas Dasar hukumnya adalah Pasal 191 ayat (1) KUHAP 3. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum Dasar hukumnya adalah Pasal 191 ayat (2) KUHAP. Putusan hakim berdasarkan Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP yang memuat hal meringankan dan memberatkan merupakan unsur yang sangat penting
20
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm. 1
dalam suatu putusan pidana. Secara formalitas hal yang meringankan dan memberatkan harus dicantumkan dalam putusan hakim, jika tidak akan menyebabkan putusan batal demi hukum. Tetapi secara substansinya terdapat kekeliruan dan kekhilafan dalam penulisan maka tidak menyebabkan putusan batal demi hukum. Ketentuan ini sesuai dengan penjelasan Pasal 197 ayat (2) KUHAP. Hal ini terkait dengan hak asasi terdakwa untuk mendapatkan pertimbangan hukum dan proses pengadilan. F. Langkah-langkah Penelitian 1. Metode Penelitian Adapun metode penelitian yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah metode penelitian Deskriptif analisis, yaitu metode yang digunakan dalam penelitian untuk menggambarkan, menganalisa, mengklarifikasi, dan mengkontruksi gejala-gejala atau fenomena-fenomena yang didasarkan atas hasil pengamatan dan beberapa kejadian dan masalah yang aktual dengan realita yang ada.21 Hal tersebut dilakukan dengan cara menganalisa hasil putusan No. 190 / Pid. B/ 2011/ PN. Smd. 2. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Yuridis Normatif yaitu mengkaji berbagai norma hukum dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang didapat dari dokumen, bahan berupa bacaan, buku-
21
Soerjono Soekanto, Pengantar Peelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2010, hlm. 2
buku, majalah, surat kabar, dan catatan lainnya yang terkait dengan permasalahan yang sedang dibahas.22 Adapun data tersebut berupa: a. Bahan pustaka berupa buku-buku yang terkait yang terdapat di perpustakaan UIN Sunan Gunung Djati, Perpustakaan fakultas Hukum UNPAD, dan Perpustakaan Daerah b. Bahan sekunder berupa putusan Pengadilan Negeri Sumedang No. 190 / Pid. B/ 2011/ PN. Smd. 3. Jenis Data Dalam penelitian pada umumnya dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari responden dan bahan pustaka. Data yang diperoleh langsung dari responden dinamakan data primer sedangkan data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka dinamakan data sekunder.23 Jenis Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder, adapun sumber data yang digunakan dalam penelitian ini baik data primer dan data sekunder adalah sebagai berikut: a.
Data primer merupakan data yang diperoleh secara langsung dari sumber dilapangan melalui penelitian secara sistematis dan terencana di Pengadilan Negeri Sumedang.
b.
Data sekunder merupakan data yang dikumpulkan untuk melengkapi data primer yakni berupa perundang-undangan yang terdiri dari: 1.
22
Undang-undang Dasar 1945
Ibid, hal. 3 Roni Hanitijo Sukirto,Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri, Galia Indonesia, Semarang, 1988. hlm 11 23
2.
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
3.
Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Jenis data yang dipilih
adalah jenis data kualitatif yaitu data yang
dikumpulkan berupa data jawaban atas pernyataan penelitian yang diajukan terhadap masalah yang dirumuskan. 4. Sumber Data Dalam pengumpulan data, penulis menggunakan serangkaian data-data sebagai berikut: 24 a.
Bahan Hukum Primer Bahan hukum Primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dan berupa peraturan perundang-undangan yaitu: 4.
Norma atau kaidah dasar, yaitu Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.
5.
Undang-undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana.
6. b.
Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder merupakan bahan pengkajian seperti buku-buku literatur, hasil penelitian, data-data, tulisan, kajian, situs internet, dan data-data sekunder lainnya yang bersifat melengkapi.
c.
24
Bahan hukum Tersier
Op.Cit, hlm. 3
Bahan hukum tersier merupakan bahan hukum yang akan memberikan informasi tentang bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder misalnya kamus hukum, artikerl, koran, dan penjelasan yang ada pada akhir buku (indeks kumulatif). 5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut: a.
Pengamatan atau Observasi Pengamatan atau Observasi adalah tehnik pengumpulan data dengan cara melakukan
observasi
secara
langsung,
artinya
penulis
langsug
mendatangi Pengadilan Negeri Sumedang dengan mengambil dan mencari data-data yang diperlukan dalam melakukan penelitian yang dimaksud. b.
Wawancara Yaitu pengumpulan data dengan cara tanya jawab dengan beberapa orang hakim di Pengadilan Negeri Sumedang.
c.
Studi Pustaka Yaitu dengan mempelajari buku-buku, dokumen-dokumen tertulis seperti makalah, artikel, serta literatur lain yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
6. Analisis Data Data yang sudah dikumpulkan kemudian secara umum dianalisis melalui langkah-langkah sebagai berikut:
a.
Mengkaji semua data yang terkumpul dari berbagai sumber baik primer maupun sumber sekunder mengenai pelaksanaan undang-undang no. 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana kaitannya dengan kebebasan hakim memutus perkara pidana di Pengadilan Negeri Sumedang.
b.
Menginventarisir seluruh data dalam satuan-satuan sesuai dengan masalah yang diteliti mengenai pelaksanaan Undang-Undang no. 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana kaitannya dengan kebebasan hakim memutus perkara pidana di Pengadilan Negeri Sumedang.
c.
Menghubungkan data dengan teori yang sudah dikemukakan dalam kerangka pemikiran tentang pelaksanaan Undang-Undang no. 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana kaitannya dengan kebebasan hakim memutus perkara pidana di Pengadilan Negeri Sumedang.
d.
Menarik
kesimpulan
dari
data-data
yang
dianalisis
dengan
memperhatikan rumusan masalah-masalah dan kaidah-kaidah megenai pelaksanaan Undang-Undang no. 8 tahun 1981 tentang hukum acara pidana kaitannya dengan kebebasan hakim memutus perkara pidana di Pengadilan Negeri Sumedang. 7. Lokasi Penelitian Lokasi Penelitian ini bertempat di Pengadilan Negeri Sumedang. Adapun data sekunder yang penulis kumpulkan diperoleh dari: a. Perpustakaan Daerah Kota Bandung. b. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (UNPAD). c. Perpustakaan Pengadilan Negeri Sumedang.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TUGAS HAKIM DI PENGADILAN NEGERI
A. Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka, seperti yang dinyatakan dalam penjelasan Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu bahwa “Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh dan campur tangan kekuasaan pemerintah. Oleh karena itu, harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang kedudukan para hakim”. Hal ini berarti bahwa kedudukan para hakim harus dijamin oleh Undang-Undang. Salah satu ciri dari Negara hukum adalah terdapat suatu kemerdekaan hakim yang bebas, tidak memihak dan tidak dipengaruhi oleh Kekuasaan Legislatif dan Eksekutif. Kebebasan hakim tersebut tidak dapat diartikan bahwa hakim dapat melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap suatu perkara yang sedang ditanganinya, akan tetapi hakim tetap terikat pada peraturan hukum yang ada. Kekuasaan negara di Indonesia dibagi berdasarkan konsep Trias Politica, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Menurut doktrin Trias Politica dengan konsep pemisahan kekuasaan, organ yudikatif harus terpisah dari organ kekuasaan lainnya. Hal ini berati juga bahwa kekuasaan yudikatif harus bebas dari campur tangan serta pengaruh kekuasaan lain termasuk pemerintah sebagai pemegang kekuasaan eksekutif.
Kekuasaan kehakiman sebagai lembaga yudikatif merupakan salah satu unsur yang penting dalam penegakkan hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yaitu: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”. Kekuasaan kehakiman dalam negara memang sangat mutlak diperlukan karena kekuasaan kehakiman mempunyai wewenang untuk mengadili apabila ada warga negara atau rakyat yang melanggar undang-undang, berkewajiban untuk mempertahankan undang-undang, berhak memberikan peradilan kepada rakyat, berkuasa memutus perkara, menjatuhkan hukuman terhadap pelanggaran undangundang yang diadakan dan dijalankan. 25 Pada masa sebelum perubahan UUD 1945, kekuasaan kehakiman tidak merdeka dan independen. Hal ini dapat terlihat dengan adanya campur tangan presiden (eksekutif) dalam sistem peradilan. Sedangkan setelah perubahan UUD 1945 terjadi perubahan mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kekuasaan kehakiman menjadi lembaga independen yang terlepas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan legislatif. Dengan demikian kekuasaan kehakiman yang sebelum perubahan UUD 1945 hanya diberikan kepada Mahkamah Agung (MA) dan pengadilan-pengadilan dibawahnya MA. Kini setelah perubahan UUD 1945 telah dibagi kepada dua lembaga. Lembaga tersebut adalah Mahkamah Agung beserta pengadilanpengadilan dibawahnya dan Mahkamah Konstitusi (MK). Kedudukan Mahkamah 25
Poentang Moerad, Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkar Pidana,PT. Alumni, Bandung, 2005, hlm. 50
Konstitusi sebagai lembaga pemegang kekuasaan kehakiman, menjadi pararel dengan Mahkamah Agung.26
1.
Independensi Kekuasaan Kehakiman Kemerdekaan kekusaan kehakiman (selanjutnya disebut dengan istilah “independensi” memang sudah sejak lama dipandang perlu dalam sistem peradilan, tetapi konsep tersebut tidak memperoleh perhatian yang cukup berati dalam praktiknya. Namun demikian, independensi kekuasaan kehakiman sebagai suatu konsep telah mendapat perhatian penuh dan menjadi bahan kajian.27 Dengan adanya independensi kekuasaan kehakiman sebagai ciri utama negara hukum, maka diharapkan kekuasaan-kekuasaan negara lainnya disamping mencegah atau mengurangi terjadinya penyalahgunaan wewenang atau kekuasaan.28 Independensi
kekuasaan kehakiman
dapat
diartikan sebagai
kemandirian dan atau kemerdekaan, dalam arti ada kebebasan penuh dan tidak adanya intervensi dalam kekuasaan kehakiman, yang selanjutnya diartikan dalam tiga hal:29 a.
Bebas dari campur tangan kekuasaan apapun;
b.
Bersih dan beritergeritas; dan
c.
Profesional.
26
J. Djohansjah, Reformasi Mahkamah Agung Kehakiman Kensaint Blanc, Jakarta, 2008, hlm. 113 27 Ibid, hlm. 123 28 Pontang Moerad, op.cit, hlm. 59 29 Ibid
Menuju
Independensi Kekuasaan
Secara umum, pendekatan komparatif dengan sejarah perkembangan independensi kekuasaan kehakiman berkisar kepada beberapa teori, antara lain: 30 a.
Teori Deklarasi Hukum Teori ini ditegakkan berlandaskan doktrin yang mengajarkan paham Supermasi Legislatif (legislative supermacy) dalam sistem Trias Politica yang memberikan penekanan pada doctrine of parliamentary. Berdasarkan ajaran ini, selanjutnya ditegakkan patokan yang membatasi otonomi kebebasan hakim yang berisi pinsip: hukum yang diciptakan oleh Parlemen berada diatas segalanya. Oleh karena itu, suatu undang-undang tidak boleh diusik dan dipertanyakan oleh hakim pada saat menerapkannya dalam kasus konkret (law made by perliament are supreme, and cannot be questioned in the court). Hakim pengadilan harus memutus kasus yang dihadapinya, sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan undang-undang.
b.
Teori Jugge Made Law atau hakim sembagai Pembuat Hukum Teori ini didasarkan pada doktrin Judge is a Law Maker atau Jude Make Law. Ada beberapa alasan kuat yang mendasari ajaran ini, yaitu: 1) Undang-undang langsung konservatif. Menurut aliran ini bahwa undang-undang dibuat dan diundangkan menjadi rumusan huruf mati dan menjadi statis terhadap
30
Ibid
perubahan sosial. Sedangkan di sisi lain, dalam kehidupan sosial akan terus mengalami perubahan. Sehingga untuk mengimbangi perubahan tersebut, hakim berwenang untuk mengaktualkan penerapan undang-undang yang dibuat oleh Parlemen. Tujuannya, agar hukum mengikuti perubahan dan perkembangan masyarakat sehingga dapat berfungsi sebagai hukum yang hidup (living law). 2) Tidak ada satu pun undang-undang yang sempurna. Pada saat undang-undang dibuat dan diundangkan maka akan dihadapkan pada permasalahan konkret yang tidak terpikirkan pada saat undang-undang tersebut dibahas. Permasalahan tersebut terjadi antara lain karena: (i) rumusan undang-undang sering sekali sulit dipahami; (ii) tidak jelas artinya; (iii) kabur atau samar; (iv) bertentangan dengan konstitusi. Menghadapi kondisi seperti ini, sudah sewajarnya bila hakim tidak berdiam diri dan diberi kesabaran untuk mencari dan menemukan hakikat makna yang sebenarnya, dengan cara melakukan penafsiran dan penyesuaian dengan kondisi perkembangan masyarakat. 3) Teori Hakim sebagai Pemberi Keadilan. Teori ini mendasari pemikiran kepada pendapat bahwa adil tidaknya suatu undang-undang berada di pundak hakim. Teori ini menolak supermasi legislatif berdasarkan kenyataan bahwa setelah pembuat undang-undang selesai menciptakan undangundang, maka tugas legislatif telah berakhir. Legislatif tidak
berurusan lagi apakah ketentuan undang-undang itu adil atau tidak, manusiawi atau tidak dalam pelaksanaannya. Tanggung jawab penerapan undang-undang tersebut beralih kepada hakim. Independensi kekuasaan kehakiman merupakan unsur yang penting dalam menjaga hak-hak asasi manusia, proses demokrasi, check and balances system, negara hukum dan lain-lain. Dengan tujuan perlindungan atas hak-hak warga negara terhadap tindakan sewenang-wenang yang mungkin dilakukan oleh negara, maka sangat penting jika salah satu kekuasaan negara memiliki independensi yang bertindak sebagai penengah atau hakim yang memeriksa tindakantindakan cabang kekuasaan eksekutif dan memeriksa apakah peraturan perundang-undangan sudah sesuai dengan konstitusi negara.
2.
Akuntabilitas Kekuasaan Kehakiman Kemerdekaan kekuasaan kehakiman harus diimbangi disatu sisi oleh independensi dan akuntabilitas disisi lain. Kata akuntabilitas sendiri mempunyai pengertian pertanggung jawaban, meskipun Bahasa Indonesia tidak memiliki padanan yang tepat atas pengertian akundabilitas, selain kata tanggung jawab. Akuntabilitas dan tanggung jawab adalah istilah yang “serupa tapi tak sama”. Akuntabilitas terkait dengan struktur hirarki formal dari lembaga kekuasaan kehakiman, sedangkan tanggung jawab mengacu kepada perbuatan individu hakim. Pengertian akuntabilitas berarti menyoroti hubungan formal
antara pada anggota lembaga kekuasaan kehakiman yang melahirkan model hirarki dalam struktur organisasi lembaga kekuasaan kehakiman. Sedangkan hirarki sebagai bagian dari hubungan antara para hakim bersinonim dengan “pertanggung jawaban”. Secara umum, terdapat dua pandangan dalam memahami pengertian akuntabilitas. Pendekatan pertama adalah pendekatan kultural, yang lebih menekankan pada tanggung jawab personal (personal obligation) dalam akuntabilitas. Pendekatan kedua adalah pendekatan eksternal, yang lebih menekankan kepada tekanan-tekanan eksternal untuk mengabdi kepada kepentingan publik.
B. Tugas dan Kewenangan Hakim Sebagai salah satu pilar untuk menegakkan hukum dan keadilan, hakim mempunyai peranan menentukan, sehingga kedudukannya dijamin undangundang. Dengan demikian, diharapkan tidak adanya direktiva/campur tangan dari pihak manapun terhadap para hakim ketika sedang menangani perkara. Sebaliknya, di lain sisi begitu pula untuk para hakim dalam penanganan perkara hendaknya dapat bertindak arif dan bikajsana, ketangguhan mentalitas, mejunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran materiel, bersifar aktif dan dinamis, berlandaskan kepada perangkat hukum positif, melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan praktik, sehingga kesemuanya itu bermuara kepada putusan yang akan dijatuhkannya harus dapat dipertanggungjawabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan negara, diri sendiri
serta Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Konkretnya, dalam menerapkan hukum acara dan hukum materil, hendaknya hakim tidak memihak dan bertindak adil sesuai pandangan dari sisi yang objektif guna menjatuhkan putusan secara konkret.31 Menurut Bagir Manan tugas seorang hakim adalah meyelesaikan sengketa diantara pihak-pihak, memberi kepuasan hukum kepada pihak yang berperkara. Menurut Gerhard Robbes secara kontekstual ada 3 (tiga) esensi yang terkandung dalam kebebasan hakim dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman, yaitu: g.
Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan;
h.
Tidak
seorangpun
termasuk
pemerintah
dapat
mempengaruhi
atau
mengarahkan putusan yang akan dijatuhkan oleh hakim; i.
Tidak ada konsekuensi terhadap pribadi hakim dalam menjalankan tugas dan fungsi yudisialnya. Kemudian, agar dalam melaksanakan tugas hakim dengan baik dan benar,
yaitu sebagai pengayoman (menegakkan hukum dan keadlilan/ to do justice according to law), Purwoto S. Mengemukakan kerangka landasan berpikir/dimana pada hakikatnya hakim, hendaknya:
31
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana (normatif, Permasalahannya, PT. Alumni, Bandung, 2007, hlm 76
teoretis,
Praktik dan
Harus
Tangkas a. ketanggapan ilmu (teori) b. keterampilan teknis (praktik)
Sarjana P-4 Pancakarsa)
Tangguh/tanggon/bersifat/ sikap moral/etik yang sesuai
Sarjana-susila Pancasila (Ekaprasetia
Menguasai/mempuni 1. ilmu hukum 2. huku acara
Panca Dharma---Sapta Prasetya hakim
Socrates Karya hakim yang tepat/
4
Commandement
maton
Mengenai tugas dan kewenangan hakim dalam kapasitasnya ketika sedang menangani perkara mempunyai wewenang antara lain sebagai berikut: 32 a.
Untuk kepentingan pemeriksaan hakim di sidang pegadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan (Pasal 20 Ayat (3), Pasal 26 Ayat (1) KUHAP).
b.
Memberikan penangguhan penahanan dengan atau tanpa jaminan orang, berdasarkan syarat yang ditentukan (Pasal 31 Ayat (1) KUHAP).
32
Ibid, hlm. 78
c.
Menjaga agar para terdakwa dapat memberikan keterangan secara bebas di depan persidangan (Pasal 52 KUHAP).
d.
Memberikan “penetapan” agar terdakwa dapat didampingi Penasehat Hukum/ Advokat secara cuma-cuma / prodeo ketika diperiksa di depan persidangan (Pasal 56 KUHAP).
e.
Memberikan ammar “rehabilitasi” yang berbunyi : “memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya” kepada seseoranga terdakwa yang diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 97 Ayat (1) KUHAP.
f.
Memerintahkan kepada anak yang belum mencapai umur tujuh belas tahun untuk tidak diperkenankan menghadiri sidang (Pasal 153 Ayat (5) KUHAP).
g.
Mengeluarkan “penetapan” agar terdakwa yang tidak hadir di persidangan tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya (Pasal 154 Ayat (6) KUHAP).
h.
Menentukan tentang sah atau tidaknya segala alasan atas permintaan orang yang karena pekerjaannya, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia dan minta dibebaskan dari kewajiban sebagai saksi (Pasal 170 KUHAP).
i.
Memerintahkan
terdakwa
agar
keluar
ruang
persidangan
untuk
mendapatkan/mendengarkan keterangan saksi mengenai hal tertentu tanpa kehadiran terdakwa (Pasal 173 KUHAP).
j.
Mengeluarkan perintah penahanan terhadap seorang saksi yang diduga telah memberikan keterangan palsu di depan persidangan baik karena jabatannya atau atas permintaan Penuntut Umum atau terdakwa (Pasal 174 Ayat (2) KUHAP).
k.
Mengeluarkan “penetapan” untuk menunjuk seorang juru bahasa dibawah sumpah atau janji terhadap terdakwa atau saksi yang tidak paham bahasa Indonesia dan seorang penerjemah (Pasal 177 Ayat (1), Pasal 178 Ayat (1) KUHAP).
l.
Memanggil seseorang untuk dimintai keterangan ahli dan dapat pula agar dijatuhkan bahan baru oleh yang berkepentingan guna menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di disidang pengadilan (Pasal 180 Ayat (1) KUHAP).
m. Memberitahukan kepada terdakwa tentang segala apa yang menjadi haknya segera setelah putusan pemidanaan diucapkan (Pasal 196 Ayat (3) KUHAP). n.
Memerintahkan perkara yang dijatuhkan oleh Penuntut Umum secara singkat agar dijatuhkan ke sidang pengadilan dalam waktu 14 hari, tetapi Penuntut Umum belum juga dapat menyelesaikan pemeriksaan tambahan tersebut (Pasal 203 Ayat (3) huruf b KUHAP).
o.
Memberikan penjelasan terhadap hukum yang berlaku, bila dipandang perlu di persidangan, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan terdakwa atau Penasihat Hukumnya (Pasal 221 KUHAP).
p.
Memberi perintah kepada seseorang untuk mengucapkan sumpah di luar sidang serta menunjuk panitera untuk menghadiri pengucapan sumpah atau janji tersebut dan membuat berita acaranya ((Pasal 223 KUHAP). Kemudian, dalam menjalankan tugas untuk menerima, memeriksa dan
menangani perkara, dalam persidangan Majelis Hakim dipimpin oleh seorang Hakim Ketua sidang. Dalam menangani perkara tersebut, semua pihak baik Jaksa/Penuntut Umum, Terdakwa dan/atau Penasehat Hukumnya, pengunjung sidang serta Hakim sendiri tentulah harus menghormati jalannya persidangan. Dan apabila salah satu anasir penegak Hukum sebagaimana tersebut diatas tidak menghormati jalannya persidangan, atau dengan melakukan tindakan keluar dari ruangan persidangan, sudah dapat dikategorikan sebagai “contempt of court”. Untuk memberikan deskripsi memadai, seperti contoh actual yang terjadi dalam peradilan Tindak Pidana Korupsi baru-baru ini, karena adanya perbedaan pendapat mengenai kehadiran seorang saksi antara Hukum Ketua Sidang dengan Hakim Anggota tersebut keluar ruangan sidang sehingga berkali-kali sidang tertunda. Apabila fenomena tersebut dikaji dari berbagai presfektif, sebenarnya aspek demikian tidaklah perlu terjadi karena polarisasi pemikiran para hakim sebagai pemegang kebijakan aplikatif haruslah melalui anasir sebagai berikut:33 a.
Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama dan pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukuman tidak ada atau kurang
33
Ibid, hlm 81
jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya serta dalam melaksanakan tugas “mengadili” tersebut, dilaksanakan oleh Hakim sebagai pejabat yang melaksanakan tugas kekuasaan dan kehaikman (Pasal 12 ayat (1), Pasal 50 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004, Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009). Konsekuensi logis dari ketentuan normatif sebagaimana tersebut diatas, tentu tidak dibenarkan apabila hakim yang mengadili perkara tersebut “menolak” perkara yang di ajukan kepadanya dengan tidak melakukan tugas “mengadili” dengan alasan apapun seperti misalnya keluar dari ruang persidangan ketika sedang menangani perkara yang di ajukan kepadanya. b.
Bahwa dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP) secara tegas menentukan secara imitative Hakim ketua sidang yang memimpin jalannya persidangan dan kewenangan yang diberikan undangundang tersebut sifatnya mutlak dan dimensi ini dapat dilihat dan ditentukan dengan redaksional, “hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan disidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh terdakwa dan saksi”, kemudian “hakim ketua sidang dapat menentukan bahwa anak yang belum mencapai umur tujuh belas tahun tidak diperkenankan menghadiri sidang” serta “Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib di persidangan,” (Pasal 153 ayat (2) huruf a, ayat (5) KUHAP, Pasal 217 ayat (1) KUHAP), berikutnya bahwa, “hakim ketua sidang memerintahkan supaya terdakwa dipanggil masuk dan jika ia dalam tahanan, ia dihadapkan dalam keadaan bebas,” kemudian,
“hakim ketua sidang memerintahkan agar ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil kedua kalinya dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya,” (Pasal 154 ayat (1), (6) KUHAP), dan pasal lainnya. Apabila dijabarkan lebih detail dan terinci dari polarisasi pemikiran kebijakan formulatif, adanya limitasi dari pembentuk undang-undang untuk memberikan kewenangan penuh kepada hakim ketua sidang untuk memimpin sidang acara mutlak, secara implisit dan eksplisit menentukan jalannya persidangan merupakan tanggung jawabnya sebagaimana dimensi ini tampak pada ketentuan Pasal 156 ayat (7), 159 ayat (1), (2), 160 ayat (1) huruf c, (2) KUHAP, dan lain sebagainya. Konkretnya, pembentuk undang-undang dalam pasal-pasalnya memberikan kewenangan mutlak dalam memimpin sidang kepada Hakim Ketua Sidang sedangkan kewenangan yang bersifat relative, memerlukan persetujuan dan ditunjukan kepada semua majelis hakim (i.c. terminology KUHAP memakai kata hakim) seperti dalam pasal 158 KUHAP, “hakim dilarang menunjukan sikap atau mengeluarkan pernyataan disidang tentang keyakinan mengenai salah atau tidaknya terdakwa,” pasal 170 ayat (2) KUHAP, “hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut,” berikutnya dalam ketentuan pasal 182 ayat (5) KUHAP, yaitu “dalam musyawarah tersebut hakim ketua majelis mengajukan pertanyaan dimulai dari hakim yang termuda
sampai
haklim
yang
tertua.
Sedangkan
yamg
terakhir
mengemukakan pendapatnya adalah hakim ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasannya,” serta ketentuan
pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 yang menentukan bahwa, “dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari putusan.” c.
Dari dimensi sebagaimana ketentuan pasal-pasal KUHAP sesuai konteks di atas, kebijakan formulaif mempergunakan terminologi yang berbeda yaitu Hakim ketua sidang, Hakim ketua majelis dan hakim. Pada asasnya, Hakim ketua sidang yang memimpin persidangan secara mutlak sehingga segala proses dan kelancaran jalannya persidangan merupakan tanggung jawabnya. Apabila terhadap jalannya proses persidangan ada sesuatu kendala, yang diperiksa oleh Pengadilan Tinggi/ Mahkamah Agung mengenai tanggung jawab persidangan adalah Hakim Ketua Sidang dan bukanlah para Hakim Anggota. Konsekuensi logis dimensi ini, bukan saja Jaksa/ Penuntut Umum, Terdakwa dan /atau Penasihat Hukum maupun pengunjung sidang yang harus menghormati
jalannya persidangan, tetapi juga termasuk Hakim anggota
harus menghormati Hakim ketua sidang tersebut sehingga pembentuk undang-undang perlu memberikan dimensi ini dalam ketentuan khusus tersendiri pada perbagai ketentuan Pasal 217 KUHAP yang menentukan bahwa, (1) Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan dan memelihara tata tertib di persidangan, (2) Segala sesuatu yang diperintahkan oleh hakim ketua sidang untuk memelihara tata tertib di persidangan wajib dilaksanakan dengan segera dan cermat”, serta ketentuan Pasal 218 ayat (2) KUHAP yang berbunyi, “siapapun yuang disidang pengadilan bersikap tidak sesuai
dengan martabat pengadilan dan tidak menaati tata tertib setelah mendapat peringatan dari hakim ketua sidang, atas perintahnya yang bersangkutan dikeluarkan dari ruang sidang”. Dari demensi demikian, jelaslah apabila hakim anggota keluar ruang sidang, fenomena ini sangat disayangkan dan baru pertama kali terjadi diseluruh dunia. Dengan tindakan demikian, tugas mengadili yang diwajibkan oleh undang-undang kepada hakim secara tidak langsung terabaikan, kemudian para hakim tersebut juga tercermin tidak memelihara tata tertib di persidangan dan melanggar perintah yang ditentukan oleh hakim ketua sidang sebagaimana limitatif diharuskan undang-undang. Apabila dijabarkan lebih lanjut, yang harus dilakukan apabila terjadi aspek yang diperdebatkan di dalam persidangan, segala sesuatunya haruslah dicatat dalam Berita Acara Persidangan, kemuaidan dilaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri/ Pengadilan Tinggi sebagai pengawas para hakim dalam melaksanakan proses persidangan karena tindakan keluar ruang persidangan bukanlah jalan keluar yang terbaik, tepat dan sesuai dengan prosedur perundang-undangan apabila ketentuan undang-undang secara limitatif dalam hal dilakukan musyawarah dilakukan oleh majelis hakim dalam hal pengambilan keputusan sebagaimana ketentuan Pasal 182 ayat (5), (6) KUHAP serta selaras dengan apa yang digariskan Mahkamah Agung RI dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II. d.
Dari dimensi sebagaimana diuraikan di atas, ketentuan dalam KUHAP tidak mengenal mekanisme pengambilan secara “voting” atau dengan “suara terbanyak” dalam mengambil tindakan ketika proses persidangan berjalan,
misalnya dengan menentukan perlu tidaknya kehadiran seorang saksi. Aspek ini perlu dicermati karena proses persidangan merupakan proses yuridis dan bukan proses politik. Oleh karena itu, mekanisme yang terdapat di dalam KUHAP maupun dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman jika terjadi aspek yang diperdebatkan di dalam persidangan, segala sesuatunya haruslah dicatat dalam Berita Acara Persidangan, kemudian dilaporkan kepada Ketua Pengadilan Negeri/ Pengadilan Tinggi sebagai pengawas para hakim dalam melaksanakan proses persidangan dan pengambilan putusan dengan suara terbanyak melalui proses dissenting opinion hanya dikenal dalam ketentuan Pasal 182 ayat (2) huruf a KUHAP dan Pasal 14 ayat (3) Undang-udang Nomor 48 Tahun 2009 ketika mengambil putusan akhir (eind vonnis). Selanjutnya dalam melaksanakan tugasnya baik bersifat teknis peradilan, administrasi peradilan maupun tingkah laku perbuatan hakim dilakukan pengawasan oleh Mahkamah Agung terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman (Pasal 32 ayat (1), (2) Undang-undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung). Selain itu, berdasarkan ketentuan Bab III Pasal 13 huruf b, Pasal 20 dan 22 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, pengawasan terhadap hakim juhga dilakukan oleh Komisi Yudisial yang mempunyai wewenang menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim yang dalam melaksanakan pengawasan tersebut Komisi Yudisial dapat:
1.
Menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim;
2.
Meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim;
3.
Melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggara perilaku hakim;
4.
Memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan
5.
Membuat laporan hasil pemeriksaan yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindakannya disampaikan kepada Presiden dan DPR. Kemudian, dalam melaksanakan pengawasan tersebut, kewajiban komisi
Yudisial untuk menaati norma, hukum, dan ketentuan peraturan dan perundangundangan dalam artian tidak memperlakukan semena-mena terhadap hakim yang dipanggil untuk memperoleh keterangan atau tidak memperlakukan hakim seolaholah sebagai tersangka atau terdakwa dan menjaga kerahasiaan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota dan Komisi Yudisial dalam melaksanakan tugas tersebut tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Pada dasarnya, untuk kepentingan pelaksanaan kewenangan guna menegakan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, Komisi Yudisial bertugas mengajukan usul penjatuhan sanksi kepada pimpinan Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi dan usul penjatuhan sanksi tersebut
dapat
berupa
teguran
tertulis,
pemberhentian
sementara,
atau
pemberhentian bahwa usul ini beserta alasannya bersifat mengingat setelah Hakim
bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri dihadapan majelis kehormatan hakim. Kemudian, jikalau dalam hal pembelaan diri di tolak, usul pemberhentian hakim diajukan oleh Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konsititusi kepada Presiden paling lambat 14 (empat belas) hari sejak Presiden menerima usul Mahkamah Agung. Selain dapat mengajukan usul member sanksi, Komisi Yudisial berdasarkan ketentuan Pasal 24 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004 dapat juga mengusulkan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi untuk memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam menegakan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
C. Penafsiran Hukum oleh Hakim Majelis hakim sebagai organ pengadilan mempunyai tugas pokok yaitu menerima, memeriksa, memutus, atau mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Majelis hakim dalam menerima, memerikasa, serta memutus suatu perkara yang diserahkan kepadanya, sebelum menjatuhkan putusan, maka majelis hakim tersebut mengadakan suatu musyawarah mejelis hakim yang bersifat rahasia. Hal tersebut terdapat pada ketentuan Pasal 182 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu “Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah akhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum, dan hadirin meninggalkan ruang sidang”. Dan apabila ketentuan pasal 182 ayat (5) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai
berikut “ Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertayaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasanya”. Menurut Rusli Muhammad dalam memberikan telaah kepada pertimbangan hakim dalam berbagai putusannya terdapat dua kategori, yaitu: 1) Pertimbangan yang bersifat yuridis Pertimbangan bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh undang-undang yang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat dalam putusan, hal-hal yang dimaksud antara lain: a) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum; b) Keterangan terdakwa; c) Keteragan saksi; d) Barang bukti; e) Pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana dan sebagainya. 2) Pertimbangan bersifat non yuridis Dalam pertimbangan yang bersifat non yurudis, yaitu34: a) Latar belakang terdakwa; b) Akibat perbuatan terdakwa; c) Kondisi diri terdakwa; d) Agama terdakwa. 34
Rusli Muhammad, 2006, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Jakarta, CV. Mandar Maju, hlm.. 144
D. Pengambilan Putusan Oleh Hakim 1.
PENGERTIAN DAN JENIS PUTUSAN HAKIM Pada Bab I tentang Ketentuan Umum Pasal 1 angka 11 KUHAP di tentutkan bahwa: “putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hokum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.” Jadi, dapat dikatakan bahwa putusan hakim merupakan “akhir”
dari
proses persidangan pidana untuk tahap pemerikasaan di pengadilan negeri. Sebelum putusan hakim diucapkan /dijatuhkan, procedural yang harus dilakukan dalam praktik lazim melalui tahapan sebagai berikut:35 1.
Sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.
2.
Terdakwa dipanggil masuk ke depan persidangan dalam keadaan bebas kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan identitas terdakwa serta terdakwa diingatkan supaya memerhatikan segala sesuatu yang didengar serta dilihatnya di persidangan.
3.
Pembacaan surat dakwaan untuk acara biasa (Pid.B) atau catatan dakwaan untuk acara singkat (Pid.S) oleh jaksa/penuntut umum.
4.
Selanjutnya , terdakwa dinyatakan apakah sudah benar-benar mengerti akan dakwaan/ catatan dakwaan tersebut. Apabila terdakwa ternyata tidak
35
Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2007, hlm 145
mengerti, penuntut umum atas permintaan hakim ketua sidang wajib memberikan penjelasan yang diperlukan. 5.
Keberatan terdakwa atau penasihat hukum terhadap surat dakwaan jaksa/penuntut umum.
6.
Dapat dijatuhkan putusan sela/penetapan atau atas keberatan tersebut hakim berpendapat baru diputus setelah selesai pemeriksaan perkara, maka sidang dilanjutkan.
7.
Pemeriksaan alat bukti yang dapat berupa: a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; dan e. Keterangan terdakwa.
8.
Kemudian, pernyataan hakim ketua sidang bahwa pemerikasaan dinyatakan “selesai” lalu penuntut umum mengajukan tuntutan pidana (requisitor).
9.
Pembelaan (pleidoi) terdakwa dan atau penasihat hukumnya.
10. Replik dan duplik, selanjutnya re-replik dan re-duplik. 11. Pemeriksaan dinyatakan “ditutup” dan hakim mengadakan musyawarah terakhir untuk menjatuhkan putusan. Putusan hakim ini hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan di sidang terbuka untuk umum (Pasal 195 KUHAP) dan harus ditandatangani hakim dan panitera seketika setelah putusan diucapkan (Pasal 200 KUHAP).
Kemudian, apabila kita melihat dari ketentuan KUHAP, dapat disimpulkan bahwa putusan hakim itu pada hakikatnya dapat dikategorisasikan ke dalam dua jenis, yaitu putusan akhir dan putusan yang bukan putusan akhir. Apabila suatu perkara oleh majelis hakim diperiksa sampai selesai pokok perkaranya, hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 182 ayat (3) dan ayat (8), Pasal 197, dan Pasal 199 KUHAP dinamakan dengan “putusan akhir” atau “putusan”. Pada jenis putusan seperti ini prosedural yang harus dilakukan adalah setelah persidangan dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum, pemeriksaan identitas terdakwa, dan peringatan agar mendengar dan memerhatikan segala sesuatu di dalam persidangan, pembacaan surat dakwaan, keberatan, pemeriksaan alat bukti, replik dan duplik kemudian re-replik dan re-duplik, pernyataan pemeriksaan “ditutup”, serta musyawarah majelis hakim, dan pembacaan “putusan”. Adapun mengenai putusan yang bukan putusan akhir dalam praktik dapat berupa “penetapan” atau “putusan sela” yang bersumber pada ketentuan Pasal 156 ayat (1) KUHAP. Putusan ini secara formal dapat mengakhiri perkara apabila terdakwa/penasihat hukum dan penuntut umum telah menerima putusan itu. Akan tetapi, secara materiil perkara tersebut dapat dibuka kembali apabila salah satu pihak (terdakwa/penasihat hukum atau penuntut umum) mengajukan perlawanan dan perlawanan tersebut oleh pengadilan tinggi dibenarkan sehingga pengadilan tinggi memerintahkan pengadilan negeri melanjutkan pemeriksaan perkara yang bersangkutan.
2.
SIFAT DAN RUANG LINGKUP PUTUSAN HAKIM Berdasarkan ketentuan Pasal 191 ayat (1) dan (2) serta pasal 193 ayat (1)
KUHAP, setidaknya ada dua sifat putusan hakim yaitu: Pasal 191 KUHAP (1) Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas. (2) Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang di dakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum. (3) Dalam hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), terdakwa yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali karena ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan.
Pasal 193 ayat (1) KUHAP Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana. Dari ketentuan tersebut diatas, maka ada dua sifat putusan hakim, yaitu:36 1) Putusan pemidanaan, apabila yang didakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
36
Ibid, hlm 148
2) Putusan yang bukan pemidanaan dapat berupa putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging). 1) PUTUSAN PEMIDANAAN Pada hakikatnya, putusan pemidanaan merupakan putusan hakim yang berisikan suatu perinah kepada terdakwa untuk menjalani hukuman atas perbuatan yang dilakukannya sesuai dengan amar putusan. Apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan. Lebih tepatnya lagi, hakim tidak melanggar ketentuan Pasal 183 KUHAP. Adapun terhadap lamanya pidana (sentencing atau straftoemeting) pembentuk undang-undang memeberikan kebebasan kepada hakim untuk menentukan antara pidana minimum sampai maksimum terhadap pasal yang terbukti dalam persidangan. Mengenai masalah berat ringannya atau lamanya pidana ini merupakan wewenang yudex facti yng tidak tunduk pada kasasi, kecuali apabila yudex facti menjatuhkan pidana melampaui batas maksimum yang ditentukan undang-undang sebagaimana ditentukan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1953 K/Pid/1988 tanggal 23 Januari 1993. Walaupun
pembentuk
undang-undang
memberikan
kebebasan
menentukan batas maksimal dan minimal lama pidana yang lama pidana yang harus dijalani terdakwa, hal ini bukan berati hakim dapat dengan seenaknya menjatuhkan pidana tanpa dasar pertimbangan yang lengkap. Penjatuhan
pidana tersebut harus cukup dipertimbangkan dengan putusan hakim yang kurang pertimbangan (onvoldoende gemetiveerd) dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia.
2) Putusan Yang bukan Pemidanaan Dapat berupa putusan bebas (Vrijspraak) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Onslag van Recht Vervolging) Bentuk-bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan tergantung hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan. Putusan yang akan dijatuhkan pengadilan mengenai suatu perkara, bisa berbentuk sebagai berikut: 1) Putusan Bebas Putusan bebas terdapat dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan “Jika pengadilan berpendapat bahwa hasil dari pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang dilakukan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”. Dakwaan yang tidak terbukti berati tidak memenuhi persyaratan yang dinyatakan dalam Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi, dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tersebut menjelaskan bahwa adanya dua alat bukti yang sah belum cukup untuk menjatuhkan pidana bagi seseorang, aka tetapi dari alat-alat bukti yang sah tersebut hakim juga perlu memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Sebaliknya keyakinan hakim saja tidak cukup apabila keyakinan tersebut tidak ditimbulkan oleh sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah.37
2) Putusan Lepas dari Segala Tuntutan Hukum Putusan hakim berupa dilepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum pengaturnya terdapat dalam Pasal 191 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang berbunyi : “Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”. Terdakwa ddilepas darri segala tuntutan hukum dapat disebabkan karena: a) Salah satu sebutan hukum pidana yang didakwakan tidak cocok dengan tindak pidana.
37
Rusli Muhammad, 2006, Potret Lembaga Pengadilan Indonesia, Jakarta, CV. Mandar Maju, hlm. 117
b) Terdapat keadaan-keadaan istimewa (alasan pembenar, alasan pemaaf maupun alasan penghapus penuntutan) yang menyebabkan terdakwa tidak dapat dihukum. c) Alasan pemaaf yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa. Perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tetap bersifat melawan hukum jadi tetap merupakan perbuatan pidana, tetapi dia dipidana, karena tidak ada kesalahan38. Adapun yang termasuk alasan pemaaf antara lain: (1) Pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu orang yang sakit jiwa, atau cacat jiwanya dan cacat dalam tubuhnya (gebrekkige onttwikkeling); (2) Pasal 48 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu tentang keadaan memaksa (overmacht); (3) Pasal 49 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu tentang pembelaan melampaui batas. d) Alasan Pembenar yaitu alasan yang mengahpuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, sehingga apa yang dilakukan oleh terdakwa lalu menjadi perbuatan yang patut dan benar (Moelyatno, 2002:137). Adapun yang termasuk alasan pembenar yaitu: (1) Pasal 49 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu tentang pembelaan terpaksa (noodweer)’
38
Sumber:
http://farahfitriani.wordpress.com/2011/10/30/analisis-putusan-mahkamah-
agung/tanggal 21 Januari 2012 Hari Kamis jam 21.00 WIB
(2) Pasal 50 Kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) yaitu, melakukan perbuatan untuk menjalankan peraturan Undang-undang. (3) Pasal 51 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu melakukan perintah yang dibebankan oleh atasan yang sah. e) Alasan Penghapus Penuntutan yaitu pemeritah menganggap bahwa atas dasar utilitas atau kemanfaatannya kepada masyarakat sebaiknya tidak diadakan penuntutan. Jadi yang menjadi pertimbangan di sini adalah kepentingan umum (Moelyatno, 2002:137). Adapun yang termasuk alasan penghapusan penuntutan adalah Pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu penuntutan pidana tentang perintah jabatan yang tanpa wewenang. Terhadap putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat, menurut Pasal 67 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak dapat dimintakan pemeriksaan tingkat banding. Meskipun Pasal 67 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) itu mengatakan demikian, tidak berati setiap putusan pengadilan tingkat pertama, yang mengandung pelepasan dari segala tuntutan hukum terdakwa atau penuntut umum tidak berhak meminta banding ke Pengadilan Tinggi (Rusli Muhamad, 2006:118).
3.
ACARA PENGAMBILAN PUTUSAN Apabila hakim memandang pemeriksaan sidang sudah selesai, maka ia
mempersilahkan penuntut umum membacakan tuntutannya (requisitoir). Setelah itu giliran terdakwa atau penasihat hukumnya membacakan pembelaannya yang dapat dijawab oleh penuntut umum, dengan ketentuan bahwa terdakwa atau penasihat hukumnya mendapat giliran terakhir (Pasal 182 ayat (1) KUHAP). Menurut ketentuan tersebut, tuntutan dan jawaban atas pembelaan dilakukan secara tertulis dan setelah dibacakan segera diserahkan kepada hakim ketua sidang dan turunannya kepada pihak yang berkepentingan. Jika acara tersebut selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan alasannya. Putusan pengadilan negeri dapat dijatuhkan dan diumumkan pada hari itu juga atau pada hari lain yang sebelumnya harus diberitahukan kepada penuntut umum, terdakwa, atau penasihat hukum (Pasal 182 ayat (8)). Satu hal yang sangat penting.
4.
Isi Keputusan Hakim Setiap keputusan hakim merupakan salah satu dari tiga kemungkinan:39
a.
Pemidanaan atau penjatuhan pidana dan/atau tatatertib;
39
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana, Sinar Grafika, Bandung, 2007, hlm 285
b.
Putusan bebas;
c.
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum. Sebelum membicarakan putusan akhir tersebut, perlu kita ketahui bahwa
pada waktu hakim menerima suatu perkara dari penuntut umum dapat diterima. Putusan mengenai hal ini bukan merupakan keputusan akhir (vonis), tetapi merupakan suatu ketetapan. Suatu putusan mengenai tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima (Niet ontvankelijk verklaring van het Openbare Ministrerie) jika berhubungan dengan perbuatan yang didakwakan tidak ada alasan hukum untuk menuntut pidana, misalnya dalam hal delik aduan tidak ada surat pengaduan yang dilampirkan kepada berkas perkara, atau aduan ditarik kembali, atau delik itu telah lewat waktu (verjaard), atau alasan non bis in idem. Suatu proses peradilan berakhir dengan putusan akhir (vonis). Dalam putusan
itu
hakim
menyatakan
pendapatnya
tentang
apa
yang
telah
dipertimbangkan dan putusannya. KUHAP Indonesia memberi definisi tentang putusan (vonis) sebagai berikut: “putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hokum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.”
Tentang kapan suatu putusan pemidanaan dijatuhkan, dijawab oleh Pasal 193 ayat (1) KUHAP sebagai berikut: “Jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana.”
Dapat dibandingakan dengan perumusan Van Bemelen sebagai berikut: 40 Een veroordeling zal de rechter uitspreken, als hij de overtuiging heeft verkregen, dat de verdachte het the laste gelgde feit heeft begaan en hij feit en verdachte ook strafbaar acht. (putusan pemidanaan dijatuhkan oleh hakim jika ia telah mendapat keyakinan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang didakwakan dan ia menganggap bahwa perbuatan dan terdakwa dapat dipidana). Selanjutnya putusan bebas (vrijspraak) dijatuhkan “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.” (Pasal 191 ayat (1) KUHAP). Perlu dicatat disini bahwa kurang tepat dipakai kata “kesalahan” di situ, karena jika kesalahan tidak terbukti, maka putusan mestinya lepas dari segala tuntutan hukum. Jika perbuatan yang didakwakan terbukti tetapi terdakwa tidak bersalah karena tidak melawan hukum atau ada alasan pemaaf. Menurut Van Bemmelen, “putusan bebas dijatuhkan jika hakim tidak memperoleh keyakinan mengenai kebenaran atau ia yakin bahwa apa yang didakwakan tidak atau setidaktidaknya bukan terdakwa ini yang melakukan). Selanjutnya putusan lepas dari segala tuntutan hukum dijatuhkan menurut KUHAP “jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum” (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).
40
Ibid, hlm 286
Sebenarnya kalau perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa bukan delik (tidak pidana), maka dari permulaan seharusnya hakim tidak menerima tuntutan jaksa (niet ontvankelijk verklaring van het openbare Ministerie). Jadi, dibelakang kata “tetapi” pada Pasal 191 ayat (2) KUHAP tersebut tertulis”...perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa tidak bersalah (sengaja atau tanpa alpa) atau tidak melawan hukum atau ada alasan pemaaf (feit d’excuse).
5.
Formalitas Yang Harus Dipenuhi Suatu Putusan Hakim Dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP diatur formalitas yag harus dipenuhi
suatu putusan hakimm dan menurut ayat (2) pasal itu kalau ketentuan tersebut tidak dipenuhi, kecuali yang tersebut pada huruf g, putusan batal demi hukum. Ketentuan tersebut adalah: a. Kepala putusan yang dituliskan berbunyi : “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Maksud eksplisit dicantumkan irah-irah seperti itu bahwa pengadilan dilaksanakan dengan sendi-sendi religious dan menifestasi hakim dalam memutus perkara harus mencari dan mewujudkan kebenaran marteril dan keadlilan sehingga secara moral bertanggung jawab kepada diri sendiri, dan juga kepada Tuhan Yang Maha Esa. b. Nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaan terdakwa.
Pemeriksaan identitas terdakwa di persidangan diperlukan agar tidak terjadi kesalahan dalam mengadili seseorang (error in persona). Sehingga dengan diperiksanya identitas terdakwa secara jelas dan cermat, diharapan bahwa orang yang diadili hakim didepan persidangan itulah merupakan terdakwa sebagaimana disebutkan dalam surat dakwaan. c. Dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan. Ruang lingkup pemeriksaan terdakwa di depan persidangan berorientasi kepada surat dakwaan. Sehingga berdasarkan dakwaan majelis hakim menentukan apakah terdakwa bersalah ataukah tidak melakukan tindak pidana yang didakwakan. d. Pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan beserta alat pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa. Fakta dan keadaan dalam ketentuan ini mengndung arti bahwa segala apa yang ada dan apa yang ditemukan di sidang oleh pihak dalam proses persidangan . e. Tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan. Tuntutan pidana dicantumkan dalam putusan menurut kebiasaan praktik hanya disebutkan pokok-pokoknya. f. Pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum dari putusan disertai keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa.
Dalam hal ini hakim menguraikan keadaan baik yang meringankan dan memberatkan. Selain pertimbangan yuridis, pertmbangan nonyuridis juga harus diuraikan dalam hal yang meringankan dan memberatkan. Faktorfaktor nonyuridis seperti ; faktor psikologi terdakwa, faktor sosial ekonomi terdakwa, faktor edukatif, faktor lingkungan, faktor religious, dan sebagainya. g. Hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim, kecuali perkara diperiksa oleh hakim tunggal. Mengenai hari dan tanggal musyawarah najelis hakim dalam putusn terdapat di bawah amar putusan. h. Pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan. Dalam amat putusan berisikan kualifikasi tindak pidana yang terbukti di depan persidangan dan lamanya pidana dijatuhkan oleh majelis hakim. i. Ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan jumlahnya yang pasti ketentuan barang bukti. Ketentuan pembebanan biaya perkara, khususnya terhadap putusan bebas atau pelepasan dari segala tuntutan hukum dibebankan kepada negara. j. Keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan dimana letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu. k. Perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.
Merupakan perintah dari amar putusan hakim yang berupa melakukan penahanan, tetap dalam tahanan, atau dibebaskan. l. Hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang memutus, dan nama panitera. Kemudian dalam Pasal 200 KUHAP dikatakan bahwa surat keputusan ditandatangani oleh hakim dan panitera seketika setelah putusan itu diucapkan. Perlu pula diperhatikan penjelasan Pasal 197 ayat (1) huruf d tersebut, yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan, “fakta dan keadilan“ disini ialah segala apa yang ada dan apa yang diketemukan di sidang oleh pihak dalam proses, antara lain penuntut umum, saksi, ahli, terdakwa, penasihat hukum, dan saksi korban. Disamping itu, dalam penjelasan pasal 197 ayat (2) tersebut dikatakan bahwa kecali yang tersebut pada huruf a,e,f,dan h, apabila terjadi kehilafan dan/atau kekeliruan dalam penulisan maka kehilafan dan/atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum. Ini berati secara a contrario putusan sebagaimana yang tersebut pada huruf a,e,f,dan h jika terjadi kehilafan dan/atau kekeliruan dalam penulisan atau pengertian batal demi hukum.
1.
Pengertian Pertimbangan Hakim Majelis hakim sebagai organ pengadilan mempunyai tugas pokok yaitu menerima, memeriksa, memutus, atau mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Majelis hakim dalam menerima, memerikasa, serta memutus suatu perkara yang diserahkan kepadanya,
sebelum menjatuhkan putusan, maka majelis hakim tersebut mengadakan suatu musyawarah mejelis hakim yang bersifat rahasia. Hal tersebut terdapat pada ketentuan Pasal 182 ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu “Sesudah itu hakim mengadakan musyawarah akhir untuk mengambil keputusan dan apabila perlu musyawarah itu diadakan setelah terdakwa, saksi, penasihat hukum, penuntut umum, dan hadirin meninggalkan ruang sidang”. Dan apabila ketentuan pasal 182 ayat (5) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai berikut “ Dalam musyawarah tersebut, hakim ketua majelis mengajukan pertayaan dimulai dari hakim yang termuda sampai hakim yang tertua, sedangkan yang terakhir ketua majelis dan semua pendapat harus disertai pertimbangan beserta alasanya”. Menurut Rusli Muhammad dalam memberikan telaah kepada pertimbangan hakim dalam berbagai putusannya terdapat dua kategori, yaitu: 1) Pertimbangan yang bersifat yuridis Pertimbangan bersifat yuridis adalah pertimbangan hakim yang didasarkan pada fakta-fakta yuridis yang terungkap dalam persidangan dan oleh undang-undang yang ditetapkan sebagai hal yang harus dimuat dalam putusan, hal-hal yang dimaksud antara lain: a) Dakwaan Jaksa Penuntut Umum; b) Keterangan terdakwa; c) Keteragan saksi; d) Barang bukti;
e) Pasal-pasal dalam peraturan hukum pidana dan sebagainya. 2) Pertimbangan bersifat non yuridis Dalam pertimbangan yang bersifat non yurudis, yaitu41: a) Latar belakang terdakwa; b) Akibat perbuatan terdakwa; c) Kondisi diri terdakwa; d) Agama terdakwa.
2.
Pertimbangan yang Meringankan dan Memberatkan Hakim menjatuhkan putusan pidana harus dalam rangka menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang. Dalam penjelasan Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan “bahwa sifat-sifat yang jahat maupun baik dari tertuduh wajib diperhatikan hakim dalam mempertimbangkan pidana yang akan dijatuhkan”. Terhadap hal-hal atau keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa, selain mengacu pada Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman ternyata Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) juga
mengaturnya. Tersurat bahwa hal-hal itu merupakan suatu keharusan yang perlu dimuat dalam surat putusan pemidanaan. Hal-hal yang meringankan dan memberatkan pidana tercantum pada Pasal 134 (Pasal 113) dan Pasal 136
41
Rusli Muhamad, Op.Cit , hlm. 144
(Pasal 115) naskah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru, yaitu sebagai berikut: 1) Pidana diperingan, hal-hal yang meringankan: a) Seseorang yang mencoba melakukan tindak pidana; b) Seseorang yang membantu terjadinya tindak pidana; c) Seseorang yang dengan sukarela menyerahkan diri kepada yang berwajib setelah melakukan tidak pidana; d) Wanita hamil melakukan tindak pidana; e) Seseorang yang dengan sukerela memberikan ganti kerugian yang layak atau memperbaiki kerusakan akibat tindak pidana yang dilakukannya; f) Seseorang yang melakukan tindak pidana karena keguncangan jiwa yang sangat hebat sebagai akibat yang sangat berat dari keadaan pribadi atau keluarganya; g) Seseorag
yang
melakukan
tindak
pidana,
kurang
dapat
dipertanggung- jawabkan karena menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, arau retardasi mental.
2) Pidana yang diperberat, hal-hal yang memberatkan: a) Pegawai negeri yang melanggar suatu kewajiban jabata khusus diancam dengan pidana atau pada waktu melakukan tindak pidana menggunakan kekuasaan, kesempatan, atau upaya yang diberikan kepadanya karena jabatan;
b) Setiap orang yang melakuka tindak pidana dengan menyalahgunakan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara Indonesia; c) Setiap
orang
yang
melakukan
tindak
pidana
dengan
menyalahgunakan keahlian profesinya; d) Orang dewasa melakukan tindak pidana bersama dengan anak dibawah umur delapan belas tahun; e) Setiap orang yang melakukan tindak pidana dengan bersekutu, bersama-sama, dengan kekerasan, dengan cara yang kejam, atau dengan berencana; f) Setiap orang yang melakukan tindak pidana pada waktu huru-hara atau bencana alam; g) Setiap orang melakukan tindak pidana pada waktu negara dalam keadaan bahaya; h) Hal-hal yang ditentukan secata khusus dalam suatu peraturan perundang-undangan; i) Pemberatan pidana dilakukan juga bagi setiap orang yang melakukan pengulangan tindak pidana dalam waktu 5 (lima) tahun sejak: j) Menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan; (1) Pidana pokok yang dijatuhkan tlah dihapuskan; atau (2) Kewenangan menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum kadaluwarsa.
BAB III PELAKSANAAN PASAL 197 AYAT (1) HURUF F UNDANG-UNDANG NO. 8 TAHUN 1981 TENTANG KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA DI PENGADILAN NEGERI SUMEDANG
A. Hal Meringankan dan Memberatkan Dalam pertimbangan hukum putusan, setelah menguji dan menilai tindak pidana yang dilakukan terdakwa, hakim menyatakan semua unsur dakwaan telah terpenuhi atau tidak terpenuhi. Tahap berikutnya, penjatuhan sanksi pidana sesuai dengan pasal yang dijadikan dasar dalam surat dakwaan. Secara formal setelah hakim menyatakan terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana, ia akan menjatuhkan sanksi pidana yang setimpal dengan perbuatannya. Sebelum menjatuhkan pidana, hakim masih mempertimbangkan lagi hal-hal yang di luar materi dakwaan yang dinilai masih relevan. Hal-hal tersebut yang pada akhirnya dapat menimbulkan disparitas lamanya sanksi pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa, meski tindak pidananya sama, pasal yang di dakwakan juga sama. Hal yang memberatkan dan meringankan terhadap diri terdakwa harus dipertimbangkan terlebih dahulu sebelum menjatuhkan putusan. Pertimbangan tersebut berkaitan dengan lamanya pidana yang akan dijatuhkan hakim. Menurut Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 8 ayat (2), bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat baik dan sifat jahat dari terdakwa. Esensi dari pertimbangan tersebut
merupakan dasar pembeda lamanya pemidanaan meski tindak pidana dan pasal dakwaannya sama.42 Pembedaan berat ringan sanksi pidana dapat dipengaruhi oleh kesadaran, latar belakang dan alasan-alasan perbuatan tersebut dilakukan.43 Perbuatan yang dilakukan karena penuh kesadaran dan sudah diniatkan melakukan perbuatan, dan sudah mengetahui segala resikonya tidak dapat disamakan dengan ketidaktahuan dan kelalaiannya. Meski hasilnya sama dan tingkat penyesalannya berbeda, sanksi pidananya juga harus dibedakan. Menurut Ahmad Syarif44 hal yang memberatkan dilihat dari cara bagaimana pelaku melakukan suatu tindak pidana. Contoh dalam Kasus Pembunuhan, esensi memberatkan dari pembunuhan yang paling utama yaitu menghilangkan nyawa orang lain, tetapi tidak semua pembunuhan itu hukumannya
sama,
hal
tersebut
tergantung
kepada
esensi
hal
yang
memberatkannya yaitu bagaimana cara si pelaku melakukan pembunuhan, apakah dengan membunuh lalu kemudian korban di mutilasi atau membunuh dengan menusuk anggota tubuhnya kemudian korban meninggal hal tersebut sudah jelas akan berbeda hukumannya. Jadi hal yang memberatkan yaitu sejauh mana perbuatan pidana itu dilakukan artinya bagaimana terdakwa melakukan perbuatan pidana itu yakni cara melakukannya. Sedangkan esensi dari hal yang meringankan menurut Ahmad Syarif45 yaitu dilihat dari cara ia melakukan tindak pidana dan
42
Abdullah, Pertimbangan Hukum Putusan Pengdilan, Program Pascasarjana Universitas Sunan Giri, Sidoarjo,2007, hlm. 88 43 Ibid. Hlm. 88 44 Hasil Wacancara dengan Bapak Ahmad Syarif sebagai Hakim Pengadilan Negeri Sumedang, 20 Februari 2012 45 Ibid
keadaan psikologis si terdakwa. Dari esensi yang meringankan dan memberatkan tersebut dapat ditentukan berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan majelis hakim. Secara normatif hal yang meringankan dan memberatkan harus dicantumkan dalam putusan hakim, jika tidak dicantumkan akan mengakibatkan putusan batal demi hukum, sehingga penerapan hal yang meringankan dan memberatkan sangat penting dalam putusan hakim. Tujuan mencantumkan hal tersebut adalah agar dalam pembentukan putusan hakim memuat aspek kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Dalam aspek kepastian hukum penerapan hal yang meringankan dan memberatkan berkaitan dengan akibat hukum jika tidak dicantumkan dalam putusan. Sesuai dengan penjelasan di atas, bahwa putusan yang secara formalitas tidak mencantumkan hal meringankan dan memberatkan akan menyebabkan putusan batal demi hukum. Hakim dalam putusannya tidak boleh sewenangwenang untuk tidak mencantumkan hal yang meringankan dan memberatkan, karena konsekuensinya putusan tersebut batal demi hukum. Dalam putusan yang batal demi hukum tidak akan diperoleh kepastian hukum karena tidak dapat menyatakan apakah terdakwa bersalah atau tidak. Penerapan hal yang meringankan dan yang memberatkan ini untuk membatasi hakim agar tidak dapat sewenang-wenang dalam menjatuhkan putusan. Sehingga penerapan hal yang meringankan dan memberatkan ini sangat penting dicantumkan dalam putusan. Karena untuk memperoleh kepastian hukum bagi pihak terdakwa, pihak korban, dan masyarakat pada umumnya.
Dalam aspek kemanfaatan, penerapan hal yang meringkankan dan memberatkan akan memberikan rangsangan bagi setiap manusia bahwa perbuatan baik itu berharga sekalipun bagi mereka yang melakukan tindak pidana. Sehingga setiap orang diharapkan untuk tidak melakukan tindak pidana, karena akibat dati tindak pidana tersebut dapat menimbulkan kerugian baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Penerapan hal yang meringankan seperti terdakwa berlaku sopan dalam proses persidangan, akan memberikan manfaat kepada semua orang. Karena akan memberikan gambaran kepada masyarakat, bahwa jika dalam proses persidangan haruslah bersikap sopan sehingga dapat tercipta proses peradilan yang kondusif. Sedangkan jika penerapan hal yang memberatkan seperti akibat yang timbul dari tindak pidana yang dilakukan, akan memberikan gambaran kepada terdakwa bahwa tindak pidana yang dilakukannya dapat menimbulkan dampak yang negatif bagi masyarakat. Seperti kasus tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh Jajang Haryana alias Ino bin Endut bersama-sama dengan Tatang Nurpalah alias Duren bin Tana. Dimana dalam hal yang memberatkan dicantumkan bahwa perbuatan terdakwa dapat meresahkan masyarakat. Dengan penerapan hal memberatkan ataupun yang meringankan diharapkan terdakwa dapat menyesali perbuatannya dan tidak akan mengulangi perbuatan tersebut, karena akibat dari perbuatannya dapat merugikan diri sendiri, korban, maupun masyarakat pada umumnya. Berdasarkan penjelasan tersebut penerapan hal yang meringankan dan memberatkan dalam putusan hakim sangat penting, karena akan memberikan manfaat bagi semua orang, bagi pihak korban dan pihak terdakwa pada khususnya, kepada masyarakat pada umumnya.
Dalam aspek keadilan, penerapan hal yang meringankan dan memberatkan diharapkan mampu memberikan rasa keadilan bagi pihak korban dan terdakwa pada khususnya, maupun kepada masyarakat pada umumnya. Rasa keadilan tersebut berdasarkan “Ketuhanan Yang Maha Esa”, sesuai dengan ketentuan Pasal 197 ayat (1) huruf a KUHAP. Majelis hakim dalam menentukan hal yang meringankan dan memberatkan haruslah dapat memberikan rasa keadilan, serta kepatutan dalam masyarakat. Sehingga penerapan hal yang meringankan dan memberatkan yang diamanatkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP menjadi sangat penting, karena dari penerapan hal tersebut akan memberikan rasa keadilan bagi pihak korban dan pihak terdakwa pada khususnya, maupun kepada masyarakat pada umumnya. Ditinjau dari kebebasan hakim, penerapan hal yang meringankan dan memberatkan sangat penting untuk dicantumkan dalam suatu putusan perkara pidana. Karena dalam hal ini untuk memberikan ukuran kepada hakim dalam menjatuhkan sanksi.
B. Unsur-unsur Hal Yang Meringankan Dan Memberatkan Unsur-unsur hal yang meringankan dan memberatkan tidak terdapat di dalam Undang-Undang. Akan tetapi Undang-Undang memberikan kebebasan terhadap Hakim dalam menentukan dan memberikan suatu kepastian hukum yakni memberikan hukuman terhadap orang-orang yang melanggar peraturan perundang-undangan. Menurut Ahmad Syarif46 unsur-unsur meringankan dan
46
Ibid
memberatkan terdapat pada cara ia melakukan tindak pidana dan bagaimana ia berprilaku di persidangan, misalnya mempersulit persidangan, tidak memberikan keterangan yang sebenarnya. Hal-hal yang meringankan dan memberatkan pidana tercantum pada Pasal Pasal 113 dan Pasal Pasal 115 naskah Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) baru, yaitu sebagai berikut: 1) Pidana diperingan, hal-hal yang meringankan: a) Seseorang yang mencoba melakukan tindak pidana; b) Seseorang yang membantu terjadinya tindak pidana; c) Seseorang yang dengan sukarela menyerahkan diri kepada yang berwajib setelah melakukan tidak pidana; d) Wanita hamil melakukan tindak pidana; e) Seseorang yang dengan sukerela memberikan ganti kerugian yang layak atau memperbaiki kerusakan akibat tindak pidana yang dilakukannya; f)
Seseorang yang melakukan tindak pidana karena keguncangan jiwa yang sangat hebat sebagai akibat yang sangat berat dari keadaan pribadi atau keluarganya;
g) Seseorag yang melakukan tindak pidana, kurang dapat dipertanggungjawabkan karena menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, arau retardasi mental. 2) Pidana yang diperberat, hal-hal yang memberatkan: a) Pegawai negeri yang melanggar suatu kewajiban jabatan khusus diancam dengan pidana atau pada waktu melakukan tindak pidana menggunakan
kekuasaan, kesempatan, atau upaya yang diberikan kepadanya karena jabatan; b) Setiap orang yang melakukan tindak pidana dengan menyalahgunakan bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, atau lambang negara Indonesia; c) Setiap orang yang melakukan tindak pidana dengan menyalahgunakan keahlian profesinya; d) Orang dewasa melakukan tindak pidana bersama dengan anak dibawah umur delapan belas tahun; e) Setiap orang yang melakukan tindak pidana dengan bersekutu, bersamasama, dengan kekerasan, dengan cara yang kejam, atau dengan berencana; f)
Setiap orang yang melakukan tindak pidana pada waktu huru-hara atau bencana alam;
g) Setiap orang melakukan tindak pidana pada waktu negara dalam keadaan bahaya; h) Hal-hal yang ditentukan secata khusus dalam suatu peraturan perundangundangan; i)
Pemberatan pidana dilakukan juga bagi setiap orang yang melakukan pengulangan tindak pidana dalam waktu 5 (lima) tahun sejak:
j)
Menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan; (1) Pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau (2) Kewenangan menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum kadaluwarsa.
C. Pelaksanaan pasal 197 ayat (1) huruf f Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 di Pengadilan Negeri Sumedang Kasus yang berkaitan dengan putusan hakim dalam hal yang meringankan dan memberatkan adalah kasus tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh terdakwa Jajang Haryana dan Tatang Nurpalah. Adapun tahapan kasus tersebut adalah sebagai berikut: 1.
Kasus Posisi Pada mulanya ketika Terdakwa I. Jajang Haryana Alias Ino bin Endut bersama dengan Terdakwa II. Tatang Nurpalah Alias Duren bin Tana, Saksi Julian Martin Alias Iyan bin Cecep Wahyudin, Sdr. Feri (DPO) dan Sdr. Wawan Alias Nabi (DPO) sedang berada di lapangan sepak bola, terdakwa I. Jajang Haryana mengatakan bahwa akan ada orang yang datang menyerang dan menyuruh berkumpul nanti malam di pos ronda karena akan melakukan perlawanan, kemudian pada waktu dan tempat sebagaimana tersebut diatas, mereka berkumpul kembali di tempat yang telah dijanjikan, lalu setelah berkumpul datang sekelompok orang dengan mengendarai sepeda motor yang diantaranya orang tersebut adalah saksi Dede Supriatna, Wandi Ramdani, dan saksi Taufik Hidayat, kemudian mereka turun dari motor dan saksi Dede Supriatna menghampiri Sdr. Wawan Alias Nabi dan mengatakan “Sok atuh siapkeun budak sia” (silahkan persiapkan teman-teman kalian) sambil menendang Sdr. Wawan, kemudian melihat Sdr. Wawan ditendang secara spontan terdakwa I. Jajang Haryana bersama terdakwa II. Tatang Nurpalah
dan teman-temannya menjadi emosi lalu terjadilah pemukulan dimana Sdr. Feri memukul tubuh saksi Dede Supriatna, kemudian diikuti oleh Sdr. Wawan yg ikut memukul dengan menggungakan balok kayu yang diikuti oleh terdakwa II. Tatang Nurpalah yang memukul saksi Dede Supriatna sebanyak dua kali yang mengenai bagian tangan dan bahu sebanyak satu kali, diteruskan terdakwa Jajang Haryana memukul kepala saksi Dede Supriatna sebanyak dua kali, kemudian saksi Dede Supriatna mencoba melarikan diri namun berhasil dicegah oleh saksi Julian Martin, lalu sodara Wawan memukul saksi Dede Supriatna dengan menggunakan balok kayu dan Sdr. Feri melakukan pemukulan lagi terhadap saksi Taufik Hidayat kearah kepala sebanyak lima kali, diikuti Sdr. Wawan iktu memukul dengan balok kayu sebanya tiga kali dan didikuti saksi Julian Martin menendang saksi Taufik Hidayat kearah bagian punggung sebanyak dua kali, sehingga akibat perbuatan
terdakwa
bersama-sama
temannya
saksi
Dede
Supriatna
mengalami luka memar sebagaimana teruarai dalam hasil Visum Et Revertum No. 48/PKM-SKM/V/2011 yang dikeluarkan oleh UPTD Puskesmas Sukamantri dan ditandatangani oleh dr. Arief Handoko.
2. Putusan Pengadilan Negeri Sumedang No. 190/Pid.B/2011/ PN. Smd. Terdakwa yaitu Jajang Haryana alias Ino bin Endut, tempat lahir di Sumedang, umur 23 Tahun, jenis kelamin laki-laki, kebangsaan Indonesia, tempat tinggal di Dusun Kamal Rt. 01/02, Desa Kamal, Kec. Tanjungmedar, Kab. Sumedang, agama Islam, pekerjaan wiraswasta. Dan terdakwa Tatang
Nurpalah alias Duren bin Tana, tempat lahir di Sumedang, umur 24 Tahun, jenis kelamin laki-laki, kebangsaan Indonesia, tempat tinggal di Dusun Kamal Rt. 03/02, Desa Kamal, Kec. Tanjungmedar, Kab. Sumedang, agama Islam, pekerjaan buruh. Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana secara besama-sama melakukan penganiayaan. Pokok dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum sebagai berikut: Dakwaan pertama: Terdakwa I. Jajang Haryana alias Ino bin Endut bersama-sama dengan terdakwa II. Tatang Nurpalah alias Duren bin Tana, pada hari Rabu tanggal 4 Mei 2011 sekira pukul 21.00 WIB atau setidak-tidaknya pada waktu lain di bulan Mei tahun 2011, bertempat di Dusun Kamal Wetan RT/RW. 03/02, Desa Kamal, Kecamatan Tanjung medar, dimuka umum besama-sama melakukan kekerasan terhadap orang yaitu Dede Supriatna alias Ruyung bin Lili, Wandi Ramdani, dan Taufik Hidayat alias Opik bin Hidayat. Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana dengan Pasal 170 ayat (1) KUHPidana. Setelah
memeriksa
dan
mengadili
perkara
tersebut,
hakim
memutuskan bahwa: a.
Terdakwa I. Jajang Haryana alias Ino bin Endut bersama-sama dengan terdakwa II. Tatang Nurpalah alias Duren bin Tana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana
“dimuka
umum
secara
bersama-sama
melakukan
kekerasan terhadap orang”. b.
Menjatuhkan pidana terdakwa dengan pidana penjara masingmasing 5 (lima) bulan.
c.
Menetapkan masa tahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dai pidana yang dijatuhkan.
d.
Memerintahkan agar terdakwa tetap berada dalam tahanan.
Pertimbangan hukum putusan tersebut adalah sebagai berikut: a.
Majelis hakim berpendapat bahwa Terdakwa I. Jajang Haryana alias Ino bin Endut bersama-sama dengan terdakwa II. Tatang Nurpalah alias Duren bin Tana terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “dimuka umum secara bersama-sama melakukan kekerasan terhadap orang”. Keyakinan hakim tersebut berdasarkan adanya 3 (tiga) alat bukti yang sah dalam persidangan, yaitu: alat bukti saksi, alat bukti petunjuk, dan keterangan saksi ahli.
b.
Majelis hakim dalam memutus perkara ini bukan bertitik tolak kepada adanya perlindungan kepada pelaku ataupun juga kepada korban, melainkan bertitik tolak kepada Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
c.
Majelis hakim dalam persidangan tidak menemukan sesuatu bukti bahwa terdakwa adalah orang yang tidak mampu bertanggung jawab atas kesalahannya itu. Majelis hakim juga tidak
menemukan sesuatu alasan apapun, baik alasan pembenar maupun alasan pemaaf sebagai alasan penghapusan pidana bagi terdakwa. d.
Majelis hakim berpendapat bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa haruslah dihukum, karena perbuatan tersebut membawa dampak yang negatif dalam kenyataan sehari-hari.
e.
Majelis hakim berpendapat bahwa sebelum menjatuhkan pidana juga
mempertimbangakan hal-hal
yang meringankan dan
memberatkan sebagai berikut: 1) Hal-hal yang memberatkan: a. Perbuatan para terdakwa meresahkan masyarakat. b. Keterangan Terdakwa I. Jajang Haryana alias Ino bin Endut berbelit-belit 2) Hal-hal yang meringankan: a. Para terdakwa mengakui dan menyesali perbuatannya. b. Para terdakwa belum pernah dihukum. c. Para terdakwa dengan korban sudah saling memaafkan. d. Para
terdakwa
berjanji
tidak
akan
mengulangi
perbuatannya dan siap dihukum lebih lama apabila perbuatan tersebut diulanginya lagi. Menurut Ahmad Syarif sebagai hakim di Pengadilan Negeri Sumedang bahwa Pelaksanaan Pasal 197 ayat (1) huruf f KUHAP sangat penting karena jika tidak dicantumkan dalam suatu putusan maka putusan
tersebut batal demi hukum oleh karena itu wajib dilaksanakan, hal tersebut telah
terbukti
dengan
putusan
Pengadilan
Negeri
Sumedang
No.
190/Pid.B/2011/ PN. Smd. Bahwa majelis hakim telah menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Jajang Haryana alias Ino bin Endut dan terdakwa Tatang Nurpalah alias Duren bin Tana yang diancam pidana dengan Pasal 170 ayat (1) KUHPidana dengan memberi hukuman penjara 5 (lima) bulan kepada masing-masing terdakwa. Majelis hakim telah menilai hal yang memberatkan dan meringankan dari si terdakwa sesuai dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Pasal 8 ayat (2), bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat baik dan sifat jahat dari terdakwa. Selain itu apabila ada hakim yang tidak menerapkan hal yang meringankan dan memberatkan yang menyebabkan batalnya putusan demi hukum, hakim nya bisa dikatakan unprofesional conduct (menyalahi aturan) dan hakim bisa diperiksa.47Oleh karena itu di Pengadilan Negeri Sumedang dalam memberikan suatu putusan kepada terdakwa selalu disertai dengan keadaan yang meringankan dan memberatkan bagi terdakwa.
47
Ibid
BAB IV SIMPULAN
1. Hal yang meringankan dan memberatkan itu kedua-duanya adalah merupakan alasan memberat atau meringankan vonis yang akan dijatuhkan oleh majeli hakim. Hal yang terpenting dari kedua hal itu adalah penentu dari berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan majelis hakim. Hal yang memberatkan dilihat dari cara bagaimana pelaku melakukan suatu tindak pidana. Sedangkan Hal yang meringankan dilihat dari cara terdakwa melakukan tindak pidana dan keadaan psikologis si terdakwa. 2. Unsur-unsur meringankan dan memberatkan terdapat pada cara terdakwa melakukan tindak pidana dan bagaimana terdakwa
berprilaku di
persidangan, misalnya mempersulit persidangan, tidak memberikan keterangan yang sebenarnya. 3. Bahwa Pelaksanaan Pasal 197 ayat (1) huruf f Undang-undang No. 8 Tahun 1981 di Pengadilan Negeri Sumedang sudah dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan hal tersebut telah terbukti dengan putusan Pengadilan Negeri Sumedang No. 190/Pid.B/2011/PN.Smd. disertai dengan keadaan yang meringankan dan memberatkan bagi terdakwa.