BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Sebuah negara yang menganut paham demokrasi paling tidak terdapat beberapa hal yang mutlak keberadaannya, yakni mengharuskan adanya pemilihan umum, adanya rotasi atau kaderisasi kepemimpinan nasional, adanya kekuasaan kehakiman yang mandiri, adanya representasi kedaulan rakyat melalui kelembagaan parlemen yang kuat dan mandiri, adanya penghormatan dan jaminan hak asasi manusia, adanya konstitusi yang memberikan jaminan hal-hal tersebut berjalan.1 Apabila prinsip-prinsip tersebut berjalan serta adanya jaminan secara konstitusional, maka salah satu konsekuensinya akan melahirkan suatu mekanisme penataan kekuaasaan lembaga kePresidenan. Karenanya, masalah kekuasaan Presiden adalah merupakan perihal demokrasi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia. Sebagai bagian dari penyempunaan demokrasi tersebut, maka penataan kembali lembaga kePresidenan merupakan suatu hal yang harus dilakukan, mulai pada saat pemilihannya hingga pada saat fungsi dan tugas dari lembaga tersebut dijalankan. Muncullah suatu pemikiran bahwa kedaulatan harus dikembalikan ke tangan rakyat dengan memberikan peranan lebih besar yakni dalam proses pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Kemudian lahirlah suatu kajian terhadap sistem pemilihan Presiden secara langsung di mana yang dimaksudkan di sini bukan hanya diartikan bahwa rakyat secara “one man one vote”2 memilih Presiden, sehingga Presiden terpilih adalah calon Pesiden yang berhasil
1
Mariam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Cetakan ke-14, Garamedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992,
hal. 60. 2
One man one vote adalah suatu istilah yang mengandung pengertian satu orang satu suara. Artinya setiap orang (rakyat) berhak untuk menggunakan atau memberikan suaranya dalam suatu proses pemilihan yang berlansung.
mengumpulkan suara paling banyak dari calon Presiden lainnya. Melainkan suatu pemilihan Presiden yang benar-benar mendapatkan legitimasinya langsung dari rakyat bukan melalui institusi rakyat permanen yang memainkan peran pengganti rakyat sekaligus kepadannya Presiden bertanggung jawab secara langsung.3 Pemilihan Presiden dalam sistem pemerintahan Presidensial4 yang tidak dilakukan langsung oleh rakyat pemilih tetapi diserahkan kepada MPR mengandung beberapa masalah, yakni:5 1. Konsep pemilihan Presiden oleh MPR menimbulkan beban pertanggungjawaban atas segala pelaksanaan kekuasaan Presiden yang dapat membawa jatuhnya Presiden dalam masa jabatannya jika petanggungjawaban tidak diterima oleh MPR. Ini menunjukan bahwa sistem pemerintahan dan secara khusus hubungan Presiden dengan lembaga perwakilan rakyat baik DPR maupun MPR merupakan hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara parlementer di satu sisi dengan sistem Presidensial di sisi lain. Pola hubungan seperti ini harus segera diakhiri, sebab jika hendak meletakkan dominasi kekuasaan negara atas prinsip kedaulatan rakyat di tangan lembaga perwakilan rakyat, maka prinsip sistem parlementerlah yang harus dipakai. Tetapi jika hendak mempertahankan sistem Presidensial maka pola hubungan yang seimbang antara Presiden dengan lembaga perwakilan rakyat agar legitimasi kekuasaan Presiden tak lagi berasal dari majelis. 2. Problem lain yang menyangkut dasar legitimasi kekuasaan Presiden. Pemilihan Presiden yang hanya ditentukan oleh anggota MPR akan sangat tergantung kepada politik
3
Mulyana W.Kusuma, dkk, Menata Politik Pasca Reformasi, KIIP, Jakarta, 2000, hal.145 Sistem pemerintahan presidensial ialah sistem peerintahan yang tugas-tugas eksekutifnya dijalankan dan dipertanggungjawabkan oleh Presiden. 5 Mulyana W. Kusuma, Op.cit., hal.142 4
menjelang pemilihan Presiden pada saat sidang MPR. Jika suara MPR yang memenangkan calon Presiden yang terpilih sama dengan keinginan rakyat yang dimaksud. Tetapi jika terjadi sebaliknya, kehendak calon Presiden dari sebagian besar rakyat, maka dasar legitimasi atau ukuran kemauan rakyat menjadi persoalan. Presiden terpilih akan mendapat tingkat ekseptasi yang rendah di masyarakat sehingga prinsip kehendak rakyat sebagai dasar kekuasaan pemerintah tidak terpenuhi. 3. Pemilihan Presiden oleh MPR mudah di manipulasi. Sejarah membuktikan dalam masa pemerintahan orde baru MPR telah direkayasa sedemikian rupa melalui pembuatan undang-undang tentang susunan dan kedudukan MPR, undang-undang tentang pemilihan umum dan undang-undang tentang partai politik dan golongan karya sehingga Presiden yang berkuasa dapat terus menerus dipilih oleh MPR itu. Seiring dengan perjalanan waktu, terjadi perubahan di sana-sini. Setelah adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945, rakyat diberikan hak yang lebih istimewa lagi yaitu dapat memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung,6 di mana pada saat berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, hal tersebut adalah mutlak yang dimiliki oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Proses pencalonan Presiden dan Wakil Presiden bisa dilakukan dengan cara diusulkan oleh partai politik ataupun gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden.7Selanjutnya, akhir dari pada proses demokrasi tersebut, institusi penyelenggaraan pemilihan umum akan mengumumkan pemenang pemilu dan akan melahirkan satu pasangan
6 7
Pasal 6A ayat (1) UUD 1945. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945.
calon Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan representasi dari seluruh rakyat Indonesia yang nantinya akan dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.8 Pembentukan kabinet9 merupakan salah satu tugas yang harus dilaksanakan dalam waktu dekat oleh Presiden yang telah dilantik. Penentuan jumlah personil dan komposisi kabinet adalah wewenang mutlak atau hak prerogatif daripada Presiden.10 Akan tetapi dalam menggunakan hak prerogatif tersebut, Presiden dalam mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri seperti yang tertulis dalam Undang-Undang Dasar 194511 harus mempunyai pertimbangan yang benar-benar matang dalam menentukan komposisi dan personil dalam kabinet tersebut. Berkaitan dengan penyusunan kabinet tersebut banyak hal yang harus dijadikan pertimbangan oleh seorang Presiden terpilih; partai politik pendukung, merupakan partai politik tunggal ataupun gabungan daripada beberapa partai politik; stabilitas roda pemerintahan ke depan; kemajuan negara; dan lain-lain, kesemuanya itu bersifat politis dan sepenuhnya menjadi hak mutlak Presiden tentang hal siapa yang bisa menjadi anggota kabinet. Akan tetapi di sisi lain ada ketentuan yang menyebutkan bahwa seseoang yang diangkat menjadi menteri dan masuk dalam kabinet Presiden terpilih haruslah memiliki integritas dan kepribadian yang baik selama perjalanan karirnya. 12 Pada aspek inilah kemampuan Presiden terpilih digunakan dalam mempertimbangkan kesemua aspek dalam penyusunan kabinet untuk yang diinginkan selama lima tahun perjalanan roda pemerintahan ke depan ialah stabilitas kabinet dengan cara memasukkan 8
Pasal 6A ayat (4) UUD 1945. Kabinet adalah suatu dewan menteri yang bertugas membantu Presiden dalam melaksanakan tugas pemerintahan sehari-hari. 10 T. A. Legowo, Paradigma Check and Balance, Center For Strategic and International Studies, Jakarta, 2002, hal. 89 11 Pasal 17 ayat (2) UUD 1945. 12 Pasal 22 ayat (2) huruf e UU No. 39 tahun 2008 9
orang-orang profesional dalam kabinet sesuai dengan keahlian yang dimiliki tentu bukan merupakan hal yang sangat mudah untuk dilakukan. Karena dengan adanya konsep pemisahan kekuasaan yang dianut oleh Indonesia, akan ada sebuah sistem check and balance antara lembaga eksekutif dengan lembaga legislatif, dimana antara Presiden sebagai kepala eksekutif mempunyai kedudukan yang sederajat dan saling mengendalikan dengan lembaga parlemen sebagai pemegang kekuasaan legislatif.13 Apabila dalam pembentukan dan penyusunan kabinet lebih mengedepankan kemajuan dan perkembangan negara, maka selayaknya orang-orang profesional dan beberapa orang dari partai pendukung Presiden yang harus ditempatkan di dalam kabinet, dengan kata lain orang yang akan memimpin suatu kementerian haruslah orang yang benar-benar ahli dalam bidang tersebut, sesuai dengan tugas, fungsi dan keahliannya, akan tetapi Presiden dan kabinet akan mendapat kesulitan dalam menjalin hubungan dengan parlemen. Juga dalam menentukan kebijakan pemerintah, apalagi kalau partai pendukung Presiden tersebut bukan sebagai partai pemenang pemilu yang notabene pasti mempunyai suara minoritas di parlemen. Sebaliknya, jika stabilitas pemerintahan yang dikehendaki, maka Presiden harus menempatkan orang-orang dari partai politik pendukung ataupun dari gabungan partai politik pendukung di dalam kabinetnya, maka kepentingan gabungan partai politik pendukung akan terakomodir. Akan muncullah hubungan yang sangat harmonis antara Presiden sebagai kepala eksekutif dengan parlemen, dalam hal ini fungsi chech and balance tersebut tidak akan berjalan, karena Presiden dan kabinetnya telah didukung oleh mayoritas suara di parlemen.14
13
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Cetakan ke-3, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta, 2006, hal. 227. 14 Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Kompas Media Nusantara, Jakarta, 2008, hal.215
Hal yang demikianlah yang harus di hindari, Karena jika keadaaan tersebut bertahan sampai dengan masa kepemimpinan Presiden berakhir, maka sudah dapat dipastikan fungsi check and balance tidak akan berjalan sebagaiman mestinya. Dengan demikian, salah satu hal yang bisa ditimbulkan akibat hubungan yang harmonis dengan tidak berjalannya fungsi fungsi check and balance tersebut ialah terabaikannya kepentingan rakyat yang memberikan mereka mandat secara langsung untuk mensejahterakan segenap bangsa ini. Sebab fungsi pengawasan yang dimiliki oleh lembaga perwakilan rakyat tersebut tidak akan berfungsi lagi sebagaimana fungsinya mestinya. Berbagai pertanyaan akan muncul dengan sendirinya tentang cara yang paling tepat yang bisa dilakukan Presiden dalam menyusun kabinet. Pertimbangan apa yang akan dipergunakan dalam penyusunan kabinet tersebut, kesemuanya itu dikembalikan lagi kepada Presiden, karen alasan hak prerogatif yang tidak boleh dicampurtangani oleh siapapun termasuk Wakil Presiden. Apabila diperhatikan dengan seksama, penerapan sistem multipartai pada sistem pemerintahan Presidensial bukanlah hal yang pantas dipadukan. Karena keduanya dipilih secara langsung oleh rakyat (pemilih). Bila suatu ketika mayoritas suara di parlemen menentukan pilihan politik yang berbeda dengan Presiden, maka hubungan antara kedua lembaga tersebut akan berantakan, karena sistem pemerintahan Presidensial sering kali terjebak dalam pemerintahan yang terbelah (divide government) antara pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif. Hal ini merupakan salah satu hal yang harus dijadikan sebagai pertimbangan oleh Presiden dalam proses penyusunan dan pembentukan kabinet. Presiden harus mampu mempelajari semua kemungkinan yang akan terjadi jika hendak menyusun dan membentuk kabinet agar terciptannya hubungan yang baik antara legislatif dan eksekutif dengan tidak mengenyampingkan fungsi check and balance tersebut.
B. Batasan Masalah Melihat fenomena di atas penulis tertarik untuk menelaah lebih jauh tentang pembentukan kabinet pada sistem Presidensial di Indonesia dalam sebuah karya tulis yang berjudul Pembentukan Kabinet Pada Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945.
C. Rumusan Masalah Berdasarkan pada pengamatan penulis yang bersumber dari beberapa literatur baik yang berbentuk peraturan perundang-undangan maupun yang menggambarkan kondisi sosial politik masyarakat Indonesia dewasa ini, maka untuk pemahaman lebih lanjut, perlu kiranya dikemukakan beberapa permasalahan yang berkisar sebagai berikut: 1. Bagaiman tinjauan terhadap sistem pemerintahan di Indonesia setelah amandemen UUD 1945? 2. Bagaimana pembentukan kabinet pada sistem pemerintahan Presidensial di Indonesia pasca amandemen UUD 1945?
D. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk mengetahui tinjauan terhadap sistem pemerintahan di Indonesia setelah amandemen UUD 1945. b. Untuk mengetahui pembentukan kabinet pada sistem pemerintahan Presidensial di Indonesia pasca amandemen UUD 1945. 2. Manfaat Diharapkan penelitian yang dilakukan ini akan memberikan manfaat antara lain:
a. Secara teoritis Skripsi ini diharapkan bermanfaat sebagai tambahan dokumentasi dalam segi hukum terhadap persoalan pembentukan kabinet pada sistem pemerintahan Presidensial di Indonesia pasca amandemen UUD 1945 b. Secara praktis Secara praktis penelitian ini ditunjukkan kepada segenap kalangan, baik itu praktisi hukum, aparat penegak hukum, para penyelenggara negara, dan semua pihak yang ingin mengetahui bagaimana pembentukan kabinet pada sistem pemerintahan Presidensial di Indonesia pasca amandemen UUD 1945. Penelitian ini juga dapat bermanfaat terhadap segenap pimpinan partai politik dan kadernya yang turut meramaikan panggung pemilu, serta terhadap setiap orang yang ingin menjadi calon Presiden, agar mengetahui bagaimana pembentukan kabinet pada sistem pemarintahan predidensial di Indonesia pasca amandemen UUD 1945.
E. Tinjauan Pustaka Untuk memberikan pemahaman pada penelitian ini, berikut akan diberikan beberapa pengertian terkait objek penelitian ini. Sistem pemerintahan adalah sistem hukum ketatanegaraa, baik yang berbentuk monarki maupun republik, yaitu hubungan antarpemerintah dan badan yang mewakili rakyat.15 Kemudian Mahfud MD menambahkan bahwa sistem pemerintahan dapat juga dipahami sebagai hubungan tata kerja antar lembaga-lembaga negara.16 Secara singkat ada dua jenis sistem pemerintahan, yaitu sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan Presidensian. Sistem
pemerintahan
parlementer
ialah
sistem
pemerintahan
yang
tugas
pemerintahannya dipertanggungjawabkan oleh para menteri ke parlemen. Parlemen dapat menjatuhkan mosi tidak percaya kepada kabinet, tetapi pemerintah juga dapat membubarkan parlemen apabila parlemen dianggap tidak mewakili kehendak rakyat. 17 Sedangkan sistem pemerintahan Presidensial ialah sistem pemerintahan yang tugas-tugas eksekutifnya dipertanggungjawabkan oleh Presiden. Dalam menjalankan tugasnya, Presiden dibantu oleh wakil Presiden dan para menteri.18 Koalisi adalah persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, dimana dalam kerjasamannya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat. Dalam pemerintahan sistem parlementer, sebuah pemerintahan koalisi adalah sebuah pemerintahan yang tersusun dari koalisi. Dalam hubungan internasional, sebuah koalisi bisa berarti sebuah gabungan beberapa negara yang 15
Harun Alrasyid dan Sardi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya model Legislasi Parlemenr dalam Sistem Presidensial di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hal.23. 16 Moh. Mahfud MD dalam ibid 17 Httt://id.wikipedia.org/wiki/sistem_pemerintahan_parlemenr, diakses pada tanggal 12 mei 2013 18 Httt://id.wikipedia.org/wiki/sistem_pemerintahan_parlemenr, diakses pada tanggal 12 mei 2013
dibentuk untuk tujuan tertentu. Koalisi bisa juga merujuk pada sekelompok orang/warga negara yang bergabung karena tujuan yang serupa. Sepeti koalisi dalam ekonomi yg merujuk pada sebuah gabungan dari perusahaan satu dengan lainnya yang menciptakan hubungan saling menguntungkan.19 Pemerintahan koalisi adalah kabinet dalam pemerintahan parlementer, dimana beberapa partai bekerja sama. Alasannya yang biasa menyebabkan pembentukan koalisi ialah karena karena tidak adanya partai yang secara sendirian dapat mencapai mayoritas suara di parlemen. Selain itu, sebuah pemerintahan koalisi mungkin juga dibentuk dalam masa kesulitan atau krisis nasional, misalnya selama masa perang, untuk memberikan kepada pemerintah tingkat legitimasi politik yang tinggi yang dibutuhkannya; selain juga peranan dalam mengurangi pertikaian politik internal. Pada saat seperti ini, partai-partai akan membentuk koalisi semua partai (terkadang juga disebut “pemerintah persatuan nasional”, atau “koalisi akbar”). Umumnya jika suatu koaliasi runtuh, maka pengambilan suara untuk mosi kepercayaan atau mosi tidak percaya akan dilaksanakan. 20 Kabinet adalah suatu dewan menteri yang bertugas membantu Presiden dalam melaksanakan tugas pemerintahan sehari-hari. Jumlah menteri dalam tiap-tiap kabinet tidak selalu sama, tergantung kebijaksanaan Presiden atau pimpinan kabinet yang bersangkutan. Begitu juga dengan sebutan terhadap kabinet tersebut berbeda-beda, misalnnya: Wakil Perdana Menteri, Menteri Utama, Menteri Koordinator, Menteri Negara, Menteri (Pemimpin Departemen), Menteri Muda dan lain-lain.
F. Metode Penelitian
19 20
Httt://id.wikipedia.org/wiki/sistem_pemerintahan_parlemenr, diakses pada tanggal 12 mei 2013 Httt://id.wikipedia.org/wiki/sistem_pemerintahan_parlemenr, diakses pada tanggal 12 mei 2013
Untuk dapat merampungkan penyajian skiripsi ini dan agar dapat memenuhi kriteria sebagai tulisan ilmiah, diperlukan data yang relevan denagn skripsi ini. Dalam upaya pengumpulan data yang diperlukan itu, maka diterapkan metode pengumpulan data sebagai berikut: 1. Sifat dan jenis penelitian Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah yudikatif normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doctrinal, yaitu suatu penelitian yang menganalisis baik hukum yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputus oleh hakim melalui proses pengadilan ( law it is decided by judge through judicial process).21 Penelitian Hukum normatif dalam penelitian ini didasarkan pada data sekunder dan menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.22 Metode yang dipergunakan adalah metode penelitian normatif yang merupakan prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya.23 Logika keilmuan yang juga dalam penelitian hukum normatif dibangun berdasarkan disiplin ilmiah dan cara-cara kerja ilmu hukum normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Dengan demikian penelitian ini meliputi penelitian terhadap sumber-sumber hukum, peraturan perundang-undangan, keputusan pengadilan, dokumen-dokumen terkait dan beberapa buku mengenai pembentukan kabinet pada sistem pemerintahan Presidensial di Indonesia pasca amandemen UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 39 Tentang Kementerian Negara.
21
Amirudin dan Zainal Askin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2006, hal.118. J.ohnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, UMM Press, malang, 2007, hal.57. 23 J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2003, hal.3. 22
2. Sumber data Materi dalam skripsi ini diambil dari data sekunder. Adapun data sekunder yang dimaksud ialah: a. Bahan hukum primer Yaitu berupa peraturan perundang-undangan yang mengikat dan ditertapkan oleh pihak yang berwenang.24 Bahan hukum primer dalam tulisan ini diantaranya UUD 1945.
b. Bahan hukum Sekunder Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi, atau kajian yang berkaitan dengan dalam pembentukan kabinet, koran-koran, karya tulis ilmiah, dan beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan persoalan di atas. c. Bahan hukum tertier Yaitu semua dokumen yang berisi konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus, ensiklopedia dan lain-lain. 3. Teknik pengumpulan data Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang dilakkan dengan cara meneliti bahan pustaka atau bahan yang disebut sekunder. Adapun data sekunder yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain berasal dari buku-buku baik koleksi pribadi maupun dari perpustakaan,
24
Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1988, hal. 19
artikel-artikel baik yang diambil dari media cetak maupun elektronik,termasuk peraturan perundang-undangan. Tahap-tahap pengumulan data melalui studi pustaka adalah sebagai berikut:25 a. Melakukan inventarisasi hukum positif dan bahan-bahan hukum lainnya yang relevan dengan objek penelitian. b. Melakukan penelusuran kepustakaan melalui, artikel-artikel media cetak maupun elektronik, dokumen-dokumen pemerintah danperaturan perundang-undangan. c. Mangelompokkan data-data yang relevan dengan permasalahan. d. Menganalisa data-data yang relevan tersebut untuk menyelesaikan masalah yang menjadi objek penelitian. Agar dapat diperoleh hasil yang baik yang bersifat ilmiah, maka dibutuhkan datadata yangakurat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran akan hasilnya, maka dalam hal ini data dalam penelitian ini diperoleh dengan menggunakan alat pengumpul data melalui studi dokumen, yaitu berupa penelitian yang mempelajari dan memahami bahanbahan kepustakaan yang berkaitan dengan objek penelitian ini. Studi literatur yang berasal dari kepustakaan ataupun sumber lain yang berkaitan dengan masalah pembentukan kabinet pada sistem pemerintahan Presidensial di Indonesia pasca amandemen UUD 1945. 4. Analisis Data Data sekunder yang telah disusun secara sistematik kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topic skrifsi ini, 25
Ronitijo Hanitijo Soemitro, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 63.
sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah dirumuskan.26 Data yang didapat dari penelitian studi dokumen ini disusun secara sistematik untuk memperoleh deskripsi tentang pembentukan kabinet pada sistem pemerintahan Presidensial d Indonesia pasca amandemen UUD 1945. Analisis data yang dilakukan secara kuantitatif,27 yaitu dengan cara penguraian, menghubungakan dengan pendapat para pakar ukum. Untuk mengambil kesimpulan dilakukan dengan pendekatan deduktif.
G. Sistematika Penulisan Bab I
: Bab ini merupakan bab pendahuluan. Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang penulisan, batasan masalah, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,tinjauan kepustakaan, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab II
: Dalam bab ini akan dibahas mengenai tinjauan terhadap sistem pemerintahan.
Bab III
: Dalam bab ini akan dibahas mengenai sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan Presidensial.
Bab IV
: Dalam bab ini akan dibahas mengenai pembahasan dan hasil penelitian tijauan terhadap sistem pemerintahan di Indonesia setelah amandemen UUD 1945 dan pembentukan kabinet pada sistem pemerintahan Presidensialdi Indonesia pasca amandemen UUD 1945, serta praktek koalisi dalam pembertukan kabinet pada sistem pemerintahan Presidensial di Indonesia pasca amandemen UUD 1945.
Bab V
: Bab ini merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran mengenai pembahasan yang telah dikemukakan.
26 27
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1997, hal. 71. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2006, hal. 32.