BAB II JAJARAN KEKUASAAN KEHAKIMAN MEMBUTUHKAN ADANYA KOMISI YUDIAL
A. KEMANDIRIAN LEMBAGA KEHAKIMAN Kemandirian suatu institusi semestinya dibangun oleh institusi itu sendiri melalui performance yang benar-benar prima. Kemandirian yang di bentuk dari dalam (from within)akan bersifat substansial serta hakiki sehingga pada akhirnya memperoleh pengakuan dari luar. Lebih lagi, pengakuan tersebut akan sekaligus mencerminkan nilai-nilai kewibawaan. Kalaupun suatu institusi secara formal dipaksakan memperolah status independen namun nyatanya masih menerima pengaruh lainnya, maka lembaga itu sama sekali tidak mandiri. Sebaliknya, suatu lembaga yang kinerjanya amat baik, integritas pelaksanaannya tidak diragukan, profesional, objektif, tegas namun adil, jelas akan memperoleh pengakuan tampa perlu menuntut independensi. Sungguh ironis sekali apabila agenda utama reformasi untuk memberantas korupsi justru semakin jauh dari sasaran karena adanya asumsi bahwa independensi institusi merupakan syarat yang tidak bisa ditinggalkan guna mencapai tujuan reformasi tersebut. 35 Gagasan tentang kemerdekaan yudikatif lahir bersamaan dengan gagasan negara denokrasi dan negara hukum yang muncul pada abad pencerahan di dunia barat.Seperti gagasan demokrasi telah ada sejak zaman Yunani kuno (abad ke-6 s.d ke-3 SM) yang dapat dirujuk pada negara (polis) Athena dan pikiran-pikiran Aristoteles, Plato, dan sebagainya.Namun, gagasan demokrasi ini kemudian lenyap dari dunia barat sejak Romawi dikalahkan oleh Eropa Barat dikuasai oleh Nasrani yang membangun pemerintahan oteriter dan menindas kebebasan rakyat.Di barat pada waktu itu dikembangkan pemikiran bahwa kehidupan sosial dan spiritual 35
Antonius Sujata, Reformasi dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Djambatan, 2000). hlm.144
27 Universitas Sumatera Utara
rakyatharus tunduk kepada Paus (gereja) dan pejabat agama, sedangkan kehidupan politik harus tunduk kepada Raja.Kegelapan dunia Barat ini kemudian dipecahkan oleh munculnya zaman Renaissance (1350-1600) yang minimbulkan minat pada pemunculan kembali sastra dan budaya yunani kuno.Munculnya Renaissance itu tidak lepas dari peristiwa Perang Salib yang berlangsung tidak kurang dari dua abad (1099-1299). Di dalam perang yang panjang itu akulturasi antara Islam dan Barat terjadi, sebab Islam pada awal-awal perang salib sedang berada di puncak kejayaannya, telah memancing kesadaran bagi orang-orang Barat yang datang ke negara-negara Islam sebagai konsekuensi dari perang yang saling memasuki wilayah itu. Setelah berhubungan dengan orang-orang Islam timbullah gagasan di kalangan orang Barat tentang perlunya kebebasan dan hak-hak rakyat serta penggalakan pengembangan ilmu pengetahuan seperti yang ketika itu berkembang di dunia Islam.Gagasan-gagasan seperti itu cepat menyebar dan dalam waktu yang tidak terlalu lama orang-orang Eropa Barat memasuki abad pemikiran (650-1850) yang menuntut pendobrakan atau pemerdekaan bagi pikiran rakyat dari pembatasanpembatasan yang ditentukan oleh gereja.Pada gilirannya timbullah gagasan di bidang politik bahwa manusia mempunyai hak yang tidak boleh diselewengkan oleh pemerintah, dan absolutism dalam pemerintahan haruslah didobrak. Rasionalitas yang mendasari perkembangan tersebut adalah perjanjian masyarakat (teori social contract) yang pada pokoknya menyatakan bahwa pemerintah itu berkuasa karena ada
Universitas Sumatera Utara
perjanjian masyarakat yang memberikan kekuasaan dan rakyatakan mematuhinya selama hak-hak rakyat tidak diselewengkan. 36 Kemandirian peradilan, menyangkut dengan sistem kemandirian kebebasan kekuasaan kehakiman sebagaimana diamanatkan pada pasal 24 UUD 1945.Pasal ini menuntut serta meletakkan landasan konstitusional tentang The Independence of The Judiciary. Secara konstitusional Pasal 24 UUD 1945 menuntut dan mengkehendaki kekuasaan kehakiman : 1. Yang benar-benar bersifat imparsial: Bebas dan merdeka dari pengaruh para pihak yang berperkara, serta tidak memihak kepada salah satu pihak sesuai dengan asas memberi kesempatan yang sama kepada setiap pihak (audi alteran partem atau must give the same opportunity to each party). Memberi perlakuan sama(equal treatment) kepada para pihak atau disebut juga equal dealing. 2. Juga harus benar-benar bebas dan merdeka dari pengaruh dan genggaman eksekutif atau penguasa (independence from the executive power) Sebagaimana telah disebutkan di atas, kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu pilar bagi negara yang berlandaskan sistem demokrasi dan negara hukum. 37Kekuasaan kehakiman yang bebas dan tidak memihak tidak hanya
36
Moh. Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum diIndonesia, (Jakarta: Gramedia,1999)
Hlm.270 37
R.St.J.Macdonal, F.Matcher, and H.Petzold, The European System for the protection of Human Rihgts, The Hague:Kluwer Academic Publishers, 1993, hlm.397.
Universitas Sumatera Utara
diartikan bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif, tetapi juga bebas dari gangguan dalam melaksanakan tugasnya. Sebagaimana telah disebutkan diatas, kekuasaan kehakiman merupakan instrument penting untuk menjamin hak-hak asasi manusia dan mempertahankan keadilan yang merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam demokrasi. Apabila kekuasaan kehakiman dalam suatu negara telah terkooptasi oleh kekuasaan lain di luarnya atau telah memihak pada pihak-pihak tertentu, maka dapat dipastikan negara tersebut tidak demokatis. Kemerdekaan kekuasaan kehakiman merujuk pada kemerdekaan dari campur tangan pemegang kekuasaan lain dalam persoalan-persoalan kehakiman. Tujuan membebaskan dan memerdekaan kekuasaan kehakiman (badan peradilan) dari pengaruh dan gemgaman penguasa (eksekutif), agar terjamin pelaksanaan fungi dan kewenangan peradilan yang jujur dan adil dan peradilan mampu berperan mengawasi pengadilan-pengadilan bawahan.Dan pengadilan cenderung untuk menerima putusan-putusasnya terdahulu. Kekuasaan kehakiman yang independen dipahami sebagai tidak adanya pengaruh yang datang dari pihak ketiga atau lembaga lain di luar kekusaan kehakiman dalam proses peradilan dimana putusan hakim lahir hanya atas dasar korelasi fakta-fakta
yang muncul dalam persidangan dan keterkaitannya dengan
hukum yang berlaku. Supremasi hukum erat kaitannya dengan putusan pengadilan yang mandiri, yang berisi keadilan hukum, yang memenuhi kepastian hukum.Untuk itu diperlukan tegaknya pengadilan yang independen, yang merupakan kekuasaan kehakiman yang bebas dari pengaruh ektra judicial.Wajah semuanya itu harus
Universitas Sumatera Utara
tercermin dari Mahkamah Agung, pengembang utama dan pertama eksistensi supremasi hukum. 38 Pemisahan secara tegas lembaga judikatif harus disertai dengan pemberian kewenangan secara otonom yang berkaitan dengan kemandirian dalam bidang kehakiman seperti fungsi judicial review, supervisi, konsultatif legislatif, dan administrative kepada Mahkamah Agung selaku lembaga pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan. 39 Artinya, akan tidak ada lagi keteganganketegangan yang sering terjadi di antara dua badan dalam bidang dan fungsi kekuasaan kehakiman. Pada Pasal 10 Declaration of Human Rights mensyaratkan independensi lembaga pengadilan adalah prasyarat terciptanya Rule of Law. Misi utama lembaga yudikatif dalam negara hukum adalah menjaga dan memelihara tegaknya supremasi hukum. 40 Sebagai lembaga yang bebas dari pengaruh kekuasaan, lembaga yudikatif dimungkinkan untuk melaksanakan pengadilan secara jujur, obyektif, tidak memihak, dan adil.Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara lembaga yudikatif merupakan sandaran harapan dan kepercayaan terakhir bagi warga negara untuk memperoleh keadilan.Yudikatif sering disebut sebagai landing of the last resort.Keistimewaaan yudikatif dibanding dengan legislatif dan eksekutif adalah pada substansi sifat produk lembaga.Produk legislatif, yang berupa Undang-Undang dan produk eksekutif, yang 38
Syamsuhadi, “Visi dan Misi Reformasi Hukum dan Keadilan Berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”. Jakarta: 2000 39 Lihat Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 40 Hendarmin Ranadireksa, “Arsitektur Konstitusi Demokratik”, Bandung, 2009, hal 220
Universitas Sumatera Utara
berupa kebijakan atau aturan-aturan pemerintah, didasarkan pada “demi kepentingan umum”.Sementara yudikatif mendasarkan putusannya pada “demi keadilan”. Bahkan di Indonesia, pengadilan mendasarkan putusannya dengan kalimat “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” Karena sifatnya yang demikian hakim acapkali diidentik-predikat sebagai “kepanjangan tangan Tuhan di dunia”.Dengan predikat seperti itu mengandung makna bahwa, penyalahgunaan fungsi dan kewenangan yang dilakukan elit politik merupakan penyalagunaan atau penghianatan atas kepercayaan rakyat sementara penyalagunaan fungsi dan kewenangan yang dilakukan hakim adalah pengingkaran atas fungsi dan misi sucinya sebagai “perpanjangan Tangan Tuhan” Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan tidak memihak atau independensi kekuasaan kehakiman adalah sesuatu yang mutlak yang harus ada karena merupakan prasyarat bagi terwujudnya cita negara hukum dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan.Konsep independensi kekuasaan kehakiman ini mengharamkan adanya tekanan, pengaruh dan campur tangan siapapun. Dalam bahasa putusan Mahkamah Konstitusi, prinsip independensi peradilan sangat melekat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi peradilan yag berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari pelbagai pengaruh yang berasal dari luar hakim berupa intervensi yang bersifat
Universitas Sumatera Utara
mempengaruhi secara langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan lainnya. Kemerdekaan hakim sangat berkaitan erat dengan pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan.Hakim yang tidak independen tidak dapat diharapkan bersikap netral atau imparsial dalam menjalankan tugasnya. Demikian pula lembaga peradilan yang tergantung
pada
orang lain dalam bidang tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri juga akan menyebabkan sikap yang tidak netral dalam menjalankan tugasnya. Kemerdekaan tersebut juga memiliki aspek yangpada orang lain dalam bidang tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri juga akan menyebabkan sikap yang tidak netral dalam menjalankan tugasnya. Kemerdekaan tersebut juga memiliki aspek yang berbeda. Kemerdekaan fungsional, mengandung larangan bagi kekuasaan yang lain untuk mengadakan intervensi terhadap hakim dalam melaksanakan tugas justisialnya. 41 Menurut putusan Mahkamah Konstitusi, kemerdekaan tersebut tidak pernah diartikan
mengandung
sifat
mutlak,
karena
dibatasi
oleh
hukum
dan
keadilan.Kemerdekaan hakim tersebut bukan merupakan privilege atau hak istemewa hakim, melainkan hak yang melekat pada hakim dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi dari warga negara untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak.Independensi peradilan yang disinggung tersebut adalah independensi 41
Jurnal Legislasi Indonesia Vol.7, “Desain Konstitusional Komisi Yudisial Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” Kementerian Hukum dan HAM RI, 2010, hlm. 70.
Universitas Sumatera Utara
peradilan dalam segala ranahnya, baik independensi konstitusional, independensi personal, independensi peraturan yang mengaturnya, dan independensi substantif. 42 Dengan demikian, independensi peradilan ini harus bersanding dengan konsep lain yang harus berdampingan secara harmonis dengannya, yakni akuntabilitas publik. Independensi kekuasaan kehakiman atau peradilan itu memang tidak boleh diartikan secara absolut. Salah satu rumusa penting konferensi Internasional Commission of Jurist menggarisbawahi bahwa “Independence does not mean that judge is entiled to act in an arbitrary manner”. Oleh karena itu, sejak awal munculnya gagasan mengubah UUD RI Tahun 1945 telah muncul kesadaran bahwa sebagai pengimbang independensi dan untuk menjaga kewibawaan kekuasaan kehakiman, perlu diadakan pengawasan eksternal yang efektif di bidang etika kehakiman seperti beberapa negara, yaitu dengan dibentuknya Komisi Yudisial. 43 Menurut Paulus E. Lotulung, batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural bagi kekuasaan kehakiman agar dalam melaksanakan indepenensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah “subordinated” pada hukum dan tidak dapat bertindak “contra legem”. Selanjutnya, harus disadari bahwa kebebasan dan independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungjawaban atau akuntabilitas, di 42
Ibid Jimly Asshiddiqie, Bagir Manan, et al., Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan Presiden secara Langsung”, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006, hlm. 24 43
Universitas Sumatera Utara
mana keduanya pada dasarnya merupakan dua sisi koin mata uang yang sama. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan kata lain dapat dipahami dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan. 44 Konsekuensi lebih lanjut dari adanya akuntabilitas adalah adanya pengawasan atau kontrol terhadap kinerja badan-badan peradilan baik mengenai jalannya peradilan maupun termasuk perilaku para aparatnya, agar kemandirian atau kebebasan kekuasaan kehakiman tidak disalahgunakan sehingga dikawatirkan dapat menjadi “tirani kekuasaan kehakiman”.Banyak bentuk dan mekanisme pengawasan yang dapat dipikirkan dan dilaksanakan, dan salah satu bentuknya adalah kontrol atau pengawasan melalui media massa. Dengan demikian aspek akuntabilitas, integritas, transparansi, maupun aspek pengawasan merupakan rambu-rambu yang menjadi pelengkap dari diakuinya kebebasan dan independensi kekuasaan kehakiman.Dengan demikian kebebasan hakim yang merupakan personifikasi dari kemandirian kekuasaan kehakiman, tidaklah berada dalam ruang hampa tetapi dibatasi oleh rambu-rambu
akuntabilitas,
integritas
moral
dan
etika,
transparansi
dan
pengawasan.Dalam hubungan dengan tugas hakim, independensi hakim masih harus dilengkapi lagi dengan sikap implementasi dan profesional dalam bidangnya.Oleh karena itu, kebebasan hakim sebagai penegak hukum harus dikaitkan dengan
44
Paulus E. Lotulung, “ Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum” (makalah disampaikan dalam seminar pembangunan Hukum Nasional VII) diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Depertemen Kehakiman dan HAM RI, Dempasar, 14-18 Juli 2003, hlm.7.
Universitas Sumatera Utara
akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi, pengawasan, profesionalisme, dan impartialisme. 45 Agus Surajat mengungkapkan bahwa keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan harus ditopang dengan kebijakan dan kapasitas kelembagaan dalam bidang pengawasan untuk mewujudkan akuntabilitas kinerja yang tinggi.Reformasi birokrasi harus mewujudkan sistem pengawasan nasional untuk mensinergikan pengawasan internal, eksternal dan masyarakat guna menjamin kualitas dan kinerja penyelenggaraan pemerintahan.Pengawasan juga menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan untuk membangun manajemen pemerintahan dan pembangunan yang efektif, efesien, tepat sasaran, guna mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. 46 Di Indonesia, program birokrasi pengawasan sudah dimulai sejak tahun 1996. Pada awal reformasi dilakukan dengan melakukan perampingan struktur organisasi instansi pengawasan internal. Pada tahun 2005, muncul program reformasi di bidang pengawasan yang lebih dikenal dengan nama “STAR-SDP” (State Audit Reform Sector Developmen Project). Proyek ini dibangun dengan landasan adanya suatu ketidakberdayaan di bidang pengawasan yang di sebabkan oleh: 1. Kemampuan sumber daya manusia aparatur pengawasan baik intern maupun ekstern yang kurang memadai. 2. Kedudukan akuntan pemerintah dalam struktur organisasi lembaga internal yang relative masih lemah 3. Institusi pengawasan yang didudukkan pada posisi yang tidak sepenuhnya independen 4. Kurangnya koordinasi dan sinergi antar lembaga pengawasan 5. Pengaturan kelembagaan yang lemah hingga mempengaruhi kinerja lembagalembaga audit 6. Lemah dalam pemahaman dan aplikasi standard an praktek audit yang diakui secara internasional. 47 Untuk itu peran STAR-SDP dijabarkan melalui program penguatan kapasitas lembaga audit eksternal dan internal baik berupa pengembangan sistem/prosedur operasional kerja, pengembangan sumber daya manusia, termasuk pendidikan maupun penyediaan fasilitas kantor sebagai upaya untuk mendukung operasional 45
Ibid Warta Pengawasan, “Reformasi Pengawasan”, 1 Maret 2010. Hlm.10 47 Ibid 46
Universitas Sumatera Utara
kerja yang lebih efektif dan efesien. Implementasi hal tersebut dilakukan melalui beberapa kegiatan pokok, meliputi: 1. Meningkatkan intensitas dan kualitas pelaksanaan pengawasan dan audit internal, ekternal dan pengawasan masyrakat. 2. Menata dan menyempurnakan kebijakan sistem, struktur kelembagaan dan prosedur pengawasan yang independen, efektif, efesien dan transparan 3. Meningkatkan koordinasi pengawasan yang lebih komprehensif 4. Mengembangkan pengawasan berbasis kinerja 5. Mengembangkan tenaga pemeriksa yang profesional 6. Mengembangkan sistem akuntabilitas kinerja dan mendorong peningkatan sistem imformasi dan perbaikan kualitas informasi hasil pengawasan 7. Melakukan evaluasi berkala atas kinerja dan temuan hasil pengawasan. 48 Kebebasan dan kemandirian hakim (A freedom and independency judiciary) harus diwujudkan secara konkrit, walaupun tidak berarti bebas sebebas-bebasnya. Mekanisme check and balances, check and control harus didorong dan diciptakan untuk menghindari adanya power blocks. Pemindahan kewenangan pembinaan dan pengawasan terhadap hakim dalam aspek organisasi, administrasi, dan keuangan pengadilan ke Mahkamah Agung (Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1995), tampa diikuti dengan perubahan sistem pengawasan yang baik
terhadap pelaksaan
kekuasaan kehakiman, terdapat peluang besar bagi penyalahgunaan kewenangan (abuse of power) oleh Mahkamah Agung. 49 Kendati telah dilakukan perubahan yang cukup signifikan dalam pengaturan hal ichwal kekuasaan kehakiman di dalam UUD Tahun 1945 pasca amandemen, masih ditemukan beberapa hal lainnya yang dapat mengakibatkan secara terhormat
48
Ibid Abdul Manan, “Kemandirian Lembaga Peradilan dan Supremasi Hukum di Indonesia” majalah hukum USU,Februari 2004.hlm.121 49
Universitas Sumatera Utara
dan bermartabat dengan akuntabilitas yang tinggi. Publik telah mengetahui bahwa periode orde lama dan orde baru ada masalah utama yang dihadapi oleh kekuasaan kehakiman berkenaan dengan intervensi kekuasaan dan kepentingan politik serta eksekutif. Intervensi dimaksud dilakukan melalui: 1. Kedudukan mahkamah ditempatkan sebagai bagian dari instrument kekuasaan politik orde lama untuk menjalankan politik “revolusioner” dari kekuasaan 2. Pada periode orde baru, mahkamah tidak lagi secara eksplisit menjadi bagian dari kepentingan tetapi ada “Kontrol politik” terhadap tugas dan wewenang mahkamah. Kontrol politik yang dimaksud antara lain meliputi: mekanisme rekruitmen hakim agung, pemilihan dan pengangkatan ketua mahkamah, control eksekutif atas promosi dan mutasi para hakim di lingkungan mahkamah, politik angaran yang disusun dan dirumuskan dengan campur tangan yang cukup intensif dan birokrasi pemerintahan. 3. Pasca orde baru, masalah utama seperti diuraikan di atas tidak lagi sepenuhnya dapat didesakkan kepada mahkamah karena adanya rumusan pasal di dalam konstitusi yang cukup tegas yang menyatakan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan. 50 B. MAFIA PERADILAN DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM Tuduhan adanya korupsi di pengadilan di mulai oleh kalangan advokat dengan ungkupan “mafia peradilan”.Tuduhan itu sudah dilontarkan oleh peradilan sejak tahun 1970-an. Mafia peradilan di sini tidak merujuk pada kejahatan terorganisasi seperti mafia Sisilia, tetapi mafia peradilan merujuk pada konspirasi para aparat keadilan untuk mempermainkan hukum demi keuntungan pribadi. Mafia Peradilan selalu ada khususnya di negara-negara berkembang yang memiliki manejemen pemerintahan lemah seperti lemahnya sistem pengawasan
50
Jurnal Legislasi, Reformasi Konstitusi: Perspektif Kekuasaan Kehakiman,Jakarta: Ami Global Media, Maret 2010, hlm 54-55.
Universitas Sumatera Utara
melekat dalam tubuh lembaga birokrasi, lemahnya mekanisme sistem kontrol lembaga-lembaga pemerintahan dan lemahnya kontrol masyarakat.Mafia peradilan lebih mudah tumbuh dan berkembang dalam sistem pemerintah yang tertutup atau semi tertutup karena sejalan dan seirama dengan sifat dan pola mafia yang juga tertutup. 51 Mafia peradilan adalah praktek kejahatan yang bersifat sistemik. Kata mafia menyiratkan pengertian adanya konfirasi, artinya bahwa apa yang dilakukan aparat tidak sendiri-sendiri melainkan dilakukan melalui jalinan kerjasama oleh sebagian atau seluruh lembaga yang terkait dengan proses hukum. Sebagaimana yang dikemukan oleh Muladi, “…sebagai mantan hakim agung, Muladi mengaku tahu mafia peradilan bukan Cuma terjadi di MA, melainkan sejak penyelidikan. Mafia peradilan sudah menjadi organized crime……Untuk mengatasinya, butuh kepemimpinan bersih, mulai dari kepolisian, pengadilan, kejaksaan, sampai MA. Kalau pimpinan bersih, anak buah pasti bersih. Kalau pimpinan maling, anak buahnya juga maling……”. 52 Dari rangkaian kejahatan hukum yang terorganisir semaam itu, hakim akan menempati posisi paling aman. Hakim akan sulit tersentuh hukum,
untuk
tidak
dikatakan kebal hukum, karena hakim dapat berlindung pada norma dan ketentuan dasar undang-undang bahwa kedudukan hakim adalah bebas dan mandiri. Posisi dan kewenangan hakim tidak boleh dicampuri oleh eksekutif, legislative, apalagi oleh masyarakat umum. Para hakim berlindung di balik prinsip asas yudikatif adalah lembaga yang harus bebas dari intervensi luar artinya tidak boleh ada campur tangan luar dalam bentuk apapun selama berlangsung proses peradilan, pro-justisia. Dengan berlindung pada asas tersebut hakim bias dengan bebas melaksanakan tugasnya,
51
Kompas, 11 Februari 2006, h.5 Kompas, 18 Oktober 2005, h.3
52
Universitas Sumatera Utara
menjatuhkan vonis sesuai dengan skenario yang telah dirancang sebelumnya. Kunci utama mafia peradilan adalah lemahnya integritas moral hakim. Praktek mafia peradilan atau korupsi peradilan bias dilakukan aparat penegak hukum dengan melakukan rekayasa hukum atas kasus atau perkara hukum, dikenal dengan istilah jual beli perkara. Jual beli perkara, jual beli putusan, rekasa hukum untuk menguasai asset negara atau pemilik asset yang berada pada posisi lemah (rakyat jelata, rakyat awam hukum) akan menjadi pandangan sehari-hari. Petugas dan penegak hukum bermain dan menari diatas keserawutan hukum yang melanda negara.White collar crime (kejahatan kerah putih) yakni kejahatan yang dilakukan oleh “manusia-manusia tehormat”, menemukan lahan subur.Di tangan mereka hukum bias diatur, dibolak-balik, dipilih dan dipilih sedemikian rupa, disesuaikan dengan target yang sebelumnya telah ditetapkan. Menurut pendapat Ronny Nitibaskara; “..…mafia peradilan secara obyektif sebenarnya harus dilihat dari integrated criminal justice yang terdiri dari polisi, jaksa, panitera hakim, hakim, lembaga pemasyarakatan, dan tentu saja pengacara……” 53 Ketua Komosi Yudisial, M. Busyro Muqoddas, mencoba untuk menjabarkan mafia peradilan lebih lanjut lagi dari bentuk-bentuk lahiriahnya. Menurutnya ada empat bentuk modus operandi mafia peradilan yang kerap terjadi di peradilan Indonesia. 54 1. 2. 3. 4.
Penundaan pembacaan putusan oleh majelis hakim. Manipulasi fakta hukum. Manipulasi penerapan peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan fakta hukum yang terungkap di persidangan. Modus terakhir, berupa pencarian peraturan perundang-undangan oleh majelis hakim agar dakwaan jaksa beralih ke pihak lain. Adapun antara Makelar kasus (markus) dengan Mafia Peradilan adalah dua
hal yang saling bersinergi atau saling membutuhkan, bahkan dalam praktiknya kadang tidak bisa dipisahkan.Mafia Peradilan spektrumnya jauh lebih luas dari
53
Kompas, 26 November 2005, h.5 www.hukumonline.com
54
Universitas Sumatera Utara
Makelar Kasus. Di negeri ini Law Enforcement diibaratkan bagai menegakkan benang basah kata lain, dari kata “sulit dan susah untuk diharapkan”. Salah satu indikator yang mempersulit penegakan hukum di Indonesia adalah maraknya “budaya korupsi” yang terjadi hampir disemua birokrasi dan stratifikasi sosial, sehingga telah menjadikan upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, baik markus maupun mafia peradilan hanya sebatas retorika yang berisikan sloganitas dari pidatopidato kosong belaka. Bahkan secara faktual tidak dapat dipungkiri semakin banyak undang-undang yang lahir maka hal itu berbanding lurus semakin banyak pula komoditas yang dapat diperdagangkan.Ironisnya tidak sedikit pula bagian dari masyarakat kita sendiri yang terpaksa harus membelinya. 55 Di sini semakin tanpak bahwa keadilan dan kepastian hukum tidak bisa diberikan begitu saja secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya. Kenyataan ini memperjelas kepada kita hukum di negeri ini “tidak akan pernah” memihak kepada mereka yang lemah dan miskin.Sindiran yang sifatnya sarkatisme mengatakan, “berikan aku hakim yang baik, jaksa yang baik, polisi yang baik dengan undang-undang yang kurang baik sekalipun, hasil yang akan aku capai pasti akan lebih baik dari hukum yang terbaik yang pernah ada dinegeri ini”. Tapi agaknya para Penegak Hukum, Politisi, Pejabat dan Tokoh-tokoh tertentu dalam masyarakat kita tidak akan punya waktu dan ruang hati untuk dapat mengubris segala bentuk sindiran yang mempersoalkan eksistensi pekerjaan dan tanggungjawab
55
Ibid
Universitas Sumatera Utara
mereka kepada publik. Lebih baik tebal muka dan tidak punya rasa malu, dari pada menggubris sindiran publik yang bakal mengurangi rejeki mereka 56. Buruknya kinerja para Penegak Hukum dan buruknya sistem pengawasan yang ada dalam proses penegakan hukum, telah melahirkan stigmatisasi mafia hukum dan mafia peradilan termasuk makelar kasus (markus) di Indonesia. Kenyataan ini bila kita telusuri keberadaannya ternyata mengakar pada kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa. Sehingga apa yang disebut dengan “markus” dan “mafia peradilan” eksistensinya cenderung abadi karena ia telah menjadi virus mentalitas yang membudaya dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Oleh karenanya berbicara tentang Law Enforcement di Indonesia tidaklah bisa dengan hanya memecat para Hakim, memecat para Jaksa dan memecat para Polisi yang korup, akan tetapi perbaikan tersebut haruslah dimulai dengan pembangunan pendidikan dengan pendekatan pembangunan kebudayaan mentalitas kita sebagai suatu bangsa dan menjadikan moral force yang berlandaskan pada Iman dan Taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, sebagai basic guna terbangunnya budaya sikap dan prilaku para Penegak hukum di Indonesia. Tanpa itu, semuanya menjadi utopia belaka. Dalam hal penegakan supremasi hukum, 57 ada beberapa langka istemik yang harus dilakukan
56
Ibid Muladi, “Reformasi Hukum Sebagai Bagian Intergral dari Proses Demokratisasi di Indonesia”, delapan tulisan contributor disalin dari buku kenangangan purna bakti Prof.M.Solly Lubis, SH, Medan: Pustaka Bangsa Press, 2002,hlm 78-79 57
Universitas Sumatera Utara
1. Pengadopsian semua aspirasi hukum sebagai sumber daya dalam untuk melakukan reformasi hukum, yang meliputi aspirasi suprastruktur, aspirasi infrastruktur,aspirasi kepakaran dan aspirasi internasional yang diterima oleh bangs-bangsa beradab; 2. Menjunjung prinsip kebebasan dan ketidak berpihakan lembaga peradilan, bebas dari campur tangan kekuatan internal maupun eksternal; 3. Meningkatkan pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia; 4. Meningkatkan semangat profesionalisme aparat penegak hukum; 5. Pembentukan Komisi Yudisial dengan keanggotaan yang konprehensif dalam rangka untuk mengawasi perilaku hakim dan pejabat peradilan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang berkelanjutan bagi para hakim, dan menangani pengaduan terhadap hakim dan aparat peradilan; 6. Mendorong fungsi kontrol masyarakat terhadap lembaga peradilan (semacam judicial awatch); 7. Meningkatkan pengimplementasian prinsip sistem peradilan terpadu; 8. Secara sistematis memerangi korupsi di pengadilan dan dalam sistem peradialan 9. Rekruitmen kepemimpinan atas dasar “merit system”
C. Pembentukan Komisi Yudisial Sejak 1998 Indonesia sedang mengalami apa yang disebut masa transisi demokrasi dan juga dalam masa “keadilan transional” dari rezim otoriter. Masa ini yang disebut Era Reformasi.Perubahan konfigurasi politk dari otoritarian menuju demokrasi mutlak menuntut adanya perubahan yang mendasar.Dalam hal pembagian kekuasaan tentu saja mengalami koreksi yang cukup signifikan.Pembagian kekuasaan tidak hanya meliputi kekuasaan pemerintah (executive), kekuasaan membuat undangundang (legislative), dan kekuasaan kehakiman (judicative).Konsekunsi dari perubahan itu adalah amandemen konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).
Universitas Sumatera Utara
Terdapat perkembangan menarik sebagai akibat perubahan rejim dalam tuntutan reformasi disamping mewujudkan tata pemerintah dan pemerintahan yang baik yaitu mendorong sejumlah state auxiliary institusional atau lembaga negara tambahan. Kantaprawira, menyebutkan lembaga-lembaga negara ini sebagai mesostruktur politik (struktur-tengah politik).Mesostruktur politik ini penguatan peran boleh dikatakan struktur hibrida (hybrid structure) 58yaitu bersifat setengah resmi dan juga setengah tak resmi, walau dalam kenyataanya diberi atribut-atribut formal dan kewenangan berlebih. Struktur tengah politik ini antara lain untuk Indonesia meliputi sejumlah komisi negara, seperti: 1.Komisi Konstitusi 59; 2.Komisi Pemilihan Umum (KPU); 3.Komisi Nasional Hak Asasi Manusia; 4.Komisi Penyiaran Indonesia (KPI); 5.Komisi Yudisial (KY) 60;
58
struktur hibrida ini pertama kali diperkenalkan In ‘t Veld (2005). Istilah organisasi hibrida diciptakan pada tahun 1995 oleh In 't Veld (2005). Biasanya organisasi hibrida ada di suatu posisi antara atau dalam gradien antara instansi pemerintah murni dan perusahaan-perusahaan komersial murni (Jörgensen, 1999: 570); mereka beroperasi dalam 'twilight zone' antara publik dan swasta. Organisasi hibrida dapat didefinisikan sebagai organisasi yang diatur oleh dua atau lebih 'murni' tatanan pemerintahan (Ruys dkk., 2007). Organisasi hibrida sebagai badan antar budaya, mampu menjembatani hubungan terfragmentasi dan dipisahkan di ruang publik.Sebenarnya organisasi hibrida bukan hal baru, telah ada selama beberapa waktu misalnya di Inggris dan Perusahaan India Timur Belanda abad ke-17 sering disebut sebagai contoh awal Wettenhall (2003: 237).Kickert bahkan memperkirakan bahwa saat ini banyak organisasi di ruang publik di Eropa Barat adalah organisasi hibrida (Kickert, 2001: 135). 59 yang besifat eenmalig dan kini sudah tidak ada lagi 60 dari sekian banyak komisi negara maka yang dasar hukumnya Konstitusi (UUD 1945) adalah KPU dan Komisi Yudisial, sedangkan komisi yang lain dasar hukumnya Undangundang
Universitas Sumatera Utara
6.Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau yang lebih dikenal dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK); 7.Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU); dan lain-lain Cornelis
Lay-lebih
cocok
menggunakan
istilah
sampiran
negara--
mengemukakan bahwa komisi negara pertama-tama dan terutama hadir sebagai hasil inisiatif otonom dari negara dalam keranka untuk memberikan perlindungan dan kepastian bagi publik. 61Pada dasarnya pembentukan komisi-komisi negara yang mandiri di Indonesia karena lembaga-lembaga yang ada belum dapat memberikan jalan keluar dan menyelesaikan persoalan yang ada ketika tuntutan perubahan dan perbaikan semakin mengemuka seiring maraknya era demokrasi.Perubahan sistem politik dan dinamika sosial kemasyarakatan mengakibatkan perubahan hubungan antara negara-masyarakat sipil (civil society).Masyarakat sipil lebih mudah melakukan inisiatif perubahan dengan kondisi pasca Orde Baru apalagi dengan munculnya
lembaga-lembaga
negara
baru.Lembaga-lembaga
ini
masih
mencerminkan sebagai negara (semi-negara).Artikulasi dan akomodasi kepentingan masyarakat sipil dapat disalurkan melalui lembaga yang ada sesuai dengan kewenangan atau atribut yang diberikan.Bersama lembaga-lembaga negara ini masyarakat sipil dapat menjalankan beberapa fungsi sekaligus mulai dari fungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah, pelengkap fungsi mitra kerja, juga fungsi kontrol sosial terhadap dampak kebijakan pemerintah.Dalam konteks Indonesia 61
Cornelis Lay, 2006, State Auxilary Agencies, artikel dalam Jurnal Hukum Jentera, Edisi 12 tahun III, April – Juni, 2006, Jakarta: PSHK, hal 5-21
Universitas Sumatera Utara
kekinian maka semua fungsi ini hendaknya didorong terutama fungsi kontrol.Adapun fungsi sebagai perpanjangan tangan pemerintah tentu saja dalam artian yang positif, bukan sebagai antek melainkan jembatan atau penghubung negara dengan pemerintah.Komisi Yudisial Republik Indonesia adalah lembaga negara yang mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman 62 yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim, sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya, yang berkedudukan di Jakarta. 63 Sejarah pembentukan Komisi Yudisial 64diawali dari inisiatif pembentukan lembaga pengawas hakim yang dicetuskan sebagai Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH) pada 1968.Fungsi MPPH ini adalah memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir mengenai saran-saran dan atau usul-usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan, pemberhentian dan 62
Kekuasaan kehakiman diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 18 Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 63 Ketentuan mengenai Komisi Yudisial diatur dalam Undang-undang No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, yang saat ini sedang diajukan perubahan oleh DPR sesuai rekomendasi putusan Mahkamah Konstitusi nomor 005/PUU-IV/2006 yang menghapus beberapa pasal dalam Undang-undang No 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial 64 Sejarah pembentukan Komisi Yudisial diuraikan dalam Naskah Akademis Undang-undang Komisi Yudisial yang disusun oleh Mahkamah Agung didukung oleh Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), 2003
Universitas Sumatera Utara
tindakan/hukuman jabatan para hakim.Namun ide tersebut tidak dimasukkan dalam Undang Undang Nomor 14 tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 65Inisiatif pembentukan lembaga pengawas kembali disuarakan sehingga menjadi wacana yang semakin kuat dan solid pada tahun 1998.Pada tahun 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR RI No.X/MPR/1998 tentang Pokokpokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Reformasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara.Dalam TAP MPR tersebut dinyatakan perlunya segera diwujudkannya pemisahan yang tegas antar fungsi yudikatif dan eksekutif.Adanya desakan penyatuan atap bagi badan peradilan ini dibawa pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 66 Sidang MPR 2001 memutuskan beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.Latar belakang pembentukan atau kelahiran Komisi Yudisial dapat ditinjau dalam beberapa aspek-aspek sebagai berikut:
65
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman ini mengalami 2 (dua) kali perubahan yaitu Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 Tentang Perubahan Pertama Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Perubahan Kedua Kekuasaan Kehakiman dan kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman 66
Undang-undang Dasar 1945 telah mengalami 4 kali amandemen. Amandemen pertama disyahkan pada tanggal 19 Oktober 1999, amandemen kedua disyahkan pada tanggal 18 Agustus 2000, amandemen ketiga disyahkan pada tanggal 10 Nopember 2001, dan amandemen keempat disyahkan pada tanggal 10 Agustus 2002.
Universitas Sumatera Utara
1. Aspek Filosofis Pembentukan Komisi Yudisial di beberapa negara pada umumnya dilatarbelakangi oleh situasi-situasi seperti lemahnya pengawasan dan monitoring terhadap kekuasaan kehakiman, tidak ada lembaga penghubung antara kekuasaan kehakiman dan kekuasaan pemerintah, transparansi dan akuntabilitas badan peradilan, rendahnya konsistensi putusan, dan pengangkatan hakim yang bias kepentingan, baik kepentingan politik maupun kepentingan yang lain. 67Kondisi tersebut menunjukkan bahwa independensi peradilan masih jauh dari harapan.Secara jelas, Hasil Studi Perkembangan Hukum oleh Bank Dunia sebagaimana dikutip oleh Marjono, menunjukkan rasa tidak puas masyarakat terhadap sistem peradilan yang ada.Bahwa sebenarnya dalam masing-masing lembaga yang ada dalam lingkup peradilan saat ini telah terdapat mekanisme pengawasan, baik secara internal vertikal maupun internal horisontal. Namun sangat disayangkan proses pengawasan yang ada tersebut masih tidak efektif dan tidak berjalan secara optimal. Hal tersebut salah satunya adalah dikarenakan adanya semangat kesatuan (esprit de corps) yang demikian kuat dan proses koordinasi antar lembaga peradilan tersebut dalam mekanisme pengawasan tidak berjalan dengan baik.Wim J.M. Voermans 68 melakukan penelitian terhadap sejumlah lembaga semacam Komisi Yudisial di beberapa negara Uni Eropa.Kesimpulan dari penelitian Voermans adalah Komisi Yudisial
dibentuk
untuk
memajukan
independensi
peradilan.
Ahsin
67
Tutik, op.cit 79 Wim J.M. Voermans (1999, lih 2002)
68
Universitas Sumatera Utara
Thoharimenyebutkan alasan-alasan utama sebagai penyebab munculnya gagasan pembentukan Komisi Yudisial di berbagai negara adalah: a. Lemahnya monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman, karena monitoring dilakukan secara internal saja; b. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antara kekuasaan kehakiman dan kekuasaan pemerintahan; c. Kekuasaan kehakiman dianggap tidak mempunyai efisiensi dan efektifitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih dibebani dengan persoalanpersoalan teknis non-hukum; d. Rendahnya kualitas dan tidak adanya konsistensi putusan pengadilan, karena tidak diawasi oleh lembaga yang benar-benar independen; dan e. Pola rekrutmen hakim terlalu bias dengan masalah politik karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik yaitu presiden dan parlemen. 2. Aspek Sistem Alasan utama pembentukan Komisi Yudisial adalah kegagalan sistem yang ada untuk menciptakan pengadilan yang lebih baik.Jawaban untuk memperbaiki kelemahan sistem tersebut adalah penyatuan atap badan peradilan yaitu mengalihkan sepenuhnya kewenangan pembinaan aspek administrasi, keuangan, dan organisasi dari departemen kehakiman (pemerintah) ke Mahkamah Agung. 69Proses penyatuan atap ini dianggap belum mampu menyelesaikan permasalahan secara tuntas karena: 70 a. Penyatuan atap berpotensi melahirkan monopoli dan penyalahgunaan kekuasaan kehakiman (abuse of power) oleh Mahkamah Agung apabila tidak diikuti dengan 69
ketentuan mengenai penyatuan atap ini diatur dalam Undang-undang No 35 tahun 1999 mengenai Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Kemudian DPR mengganti Undang-undang ini dengan Undang-undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam Undang-undang No 48 Tahun 2009 Pasal 21 ayat (1) menyebutkan bahwa organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. 70 Pandangan soal perlunya segera dibentuk Komisi Yudisial disampaikan Koordinator Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) Asep Rahmat Fajar dari Masyarakat Pemantau Peradilan (MaPPI) FH UI dan Direktur Eksekutif Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP) Rifqi S. Assegaf di Jakarta pada Senin 5 Januari 2004
Universitas Sumatera Utara
perubahan sistem lainnya misalnya seleksi, mutasi, promosi, dan pengawasan terhadap hakim. Upaya untuk menghindarinya dengan menciptakan mekanisme check and balances di bidang kekuasaan kehakiman sebagai bentuk penguatan peran publik dalam proses rekrutmen hakim agung. b. Adanya kekhawatiran Mahkamah Agung belum mampu menjalankan tugas barunya-sebagai konsekuensi dari penyatuatapan-karena Mahkamah Agung sendiri masih mempunyai beberapa kelemahan organisasional yang hingga saat ini upaya perbaikannya masih dilakukan. 71 c. Masih lemahnya pengawasan internal. Gagasan pembentukan komisi-komisi pengawas lebih merupakan jawaban atas ketidakefektifan sistem pengawasan internal (fungsional) yang telah built in dalam berbagai institusi penegak hukum (Santosa, 2005). Ketidakefektifan pengawasan internal pada lembaga penegak hukum tidak lepas dari berbagai faktor penyebab, antara lain (1) kualitas dan integritas pengawas yang tidak memadai; (2) proses pemeriksaan disiplin yang tidak transparan; (3) belum adanya kemudahan bagi masyarakat yang dirugikan menyampaikan pengaduan dan memantau proses serta hasilnya (ketiadaan akses); (4) masih menonjolnya semangat membela sesama korps (esprit de corps) yang mengakibatkan penjatuhan hukuman tidak sebanding dengan perbuatannya; dan (5) tidak terdapat kehendak kuat dari pimpinan lembaga penegak hukum untuk menindaklanjuti hasil-hasil pengawasan. Membenahi pengawasan fungsional berarti memberi solusi terhadap keempat permasalahan itu. 3. Aspek Yuridis Salah satu persyaratan mutlak atau conditio sine qua non dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum 72 adalah pengadilan yang mandiri, netral (tidak berpihak), kompeten dan berwibawa sehingga mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan.Pemenuhan hak asasi manusia dijamin oleh pengadilan yang memiliki semua kriteria diatas.Independensi
71
Paling tidak ada dua model berbeda yang mengatur keberadaan lembaga semacam Komisi Yudisial. Di negara Eropa Selatan, seperti Perancis, Italia, Spanyol atau Portugal, komisi ini cenderung mempunyai kewenangan terbatas, yaitu perekrutan hakim, mutasi, dan promosi, serta pengawasan dan pendisiplinan hakim. Sedang di negara Eropa Barat, seperti Swedia, Irlandia, Denmark, cenderung diberikan kewenangan yang lebih luas.Kewenangannya tidak hanya merekrut hakim, mutasi dan promosi serta pengawasan dan pendisiplinan hakim, tetapi juga mengawasi administrasi pengadilan, keuangan pengadilan, manajemen perkara sampai dengan manajemen pengadilan. (Voermans, 2004) 72 Ketentuan yang menyatakan ini diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3) yang berbunyi, “Negara Indonesia adalah negara hukum”
Universitas Sumatera Utara
pengadilan dan independensi hakim merupakan unsur esensial dari negara hukum (rechstaat).Sebagai aktor utama lembaga peradilan dan dengan segala kewenangan yang dimilikinya, posisi, dan peran hakim menjadi sangat penting.Hakim bebas dalam memeriksa dan memutus suatu perkara (independency of judiciary). 73Melalui putusannya, seorang hakim dapat mengalihkan hak kepemilikan seseorang, mencabut kebebasan warga negara, menyatakan tidak sah tindakan sewenang-wenang pemerintah terhadap masyarakat, hingga memerintahkan penghilangan hak hidup seseorang. 74Oleh sebab itu, semua kewenangan yang dimiliki oleh hakim harus dilaksanakan dalam rangka menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan tanpa pandang bulu dengan tidak membeda-bedakan orang seperti diatur dalam lafal sumpah seorang hakim, dimana setiap orang sama kedudukannya di depan hukum dan hakim. Kewenangan hakim yang sangat besar itu menuntut tanggungjawab yang tinggi. Hal ini tercermin dari setiap putusan yang menggunakan irah-irah atau kalimat pembuka “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” mengandungarti bahwa kewajiban menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan itu wajib
73
Hakim hanya tunduk pada hukum dan keadilan, dan tidak seorangpun boleh menentukan atau mengarahkan putusan yang akan diambil, termasuk tidak boleh ada kepentingan pribadi (conflict of interest) dalam menjalankan fungsi yudisialnya. Hakim dituntut untuk memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, dan profesional dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, serta dapat menghindari perbuatan atau perilaku yang dapat menodai kehormatan dan keluhuran martabatnya (Cetak Biru Komisi Yudisial, 2010). 74 Kebebasan hakim tersebut tidak bersifat mutlak, karena tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dengan jalan menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar serta asas yang menjadi landasannya, melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia (Penjelasan Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004).
Universitas Sumatera Utara
dipertanggung-awabkan secara horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.Produk hukum terutama dalam bentuk putusan pengadilan mengalami kecenderungan tidak mencerminkan nilai-nilai moral dan menciderai keadilan masyarakat.Posisi tawar masyarakat yang lemah dan tertindas di bidang politik, ekonomi, pendidikan, budaya, dan hukum sebagai akibat ketidakadilan multidimensional merupakan realitas yang mengenaskan yang pada praktiknya semakin jauh dari putusan pengadilan yang mengandung muatan nilai moral yuridis yang berpihak pada keejujuran, kebenaran, dan keadilan.Pengingkaran terhadap nilai-nilai moralitas hukum dan keadilan dengan berbagai dalih oleh beberapa kalangan aparat penegak hukum (APH) bukan saja pengingkaran terhadap esensi hak asasi manusia juga merupakan penolak terhadap latar belakang berdirinya bangsa dan negara Indonesia.Para penegak hukum yang berintegritas dan berpijak pada nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan profesional merupakan aset berharga dalam mewujudkan kekuasan kehakiman yang medeka, independen, dan profesional. 75 4. Aspek Sosiologis Korupsi sudah sedemikian rupa menjalar ke segala bidang termasuk badan peradilan.Korupsi di bidang peradilan (judicial corruption) atau yang sering disebut dengan mafia peradilan menjadi ancaman bagi penegakan hukum dan keadilan di Indonesia. Beberapa studi (Lev, 1990; Harman, 1997; KRHN & LeIP, 1999; ICW, 2001; Asrun, 2004; Pompe, 2005; KHN, 2010; Satgas Pemberantasan Mafia Hukum, 75
Tutik,” Eksistensi, kedudukan dan wewenang Komisi Yudisial”, Surabaya, 2007
Universitas Sumatera Utara
2010) telah mendiagnosis rusaknya institusi peradilan karena korupsi dan intervensi politik yang panjang sehingga mereduksi independensi dan imparsialitas pengadilan. Akhir-akhir ini juga disadari bahwa intervensi yang bersifat ekonomi juga menjadi penyebab rusaknya institusi peradilan. Mafia peradilan adalah praktik-praktik penyelewengan yang dilakukan oleh justiabel (pencari keadilan), aparat penegak hukum (meliputi polisi, jaksa, hakim, dan advokat, maupun pihak lain (pegawai pengadilan,panitera pengganti, juru sita, dan sebagainya)) dalam proses penanganan perkara di badan peradilan dengan menggunakan uang atau materi yang lain untuk meringankan atau menguntungkan salah satu pihak. 76Badan peradilan menjadi benteng terakhir bagi pencari keadilan namun pada kenyataannya justru menimbulkan masalah baru bagi pencari keadilan.Dalam menegakkan hukum dan keadilan, hakim memiliki wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara di pengadilan.Hakim dalam memutus perkara, tidak saja berdasarkan pertimbangan dari fakta-fakta persidangan, tetapi dapat dipengaruhi oleh hubungan transaksional antara para pihak yang mempunyai kepentingan untuk memenangkan perkara dengan hakim yang memiliki kewenangan untuk memeriksa dan memutus perkara.Reformasi peradilan adalah bagian dari reformasi kehidupan ketatanegaraan sebagai hasil dari gerakan moral rakyat terhadap penguasa Orde Baru yang otoriter dan antidemokrasi Ciri pokok dari kekuasaan ini adalah dijalankannya 76
Pembentukan Komisi Yudisial dinyatakan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie untuk melengkapi agenda pemberantasan korupsi di lingkungan penegak hukum.Mengingat selain Komisi Yudisial yang mempunyai peran dalam pengawasan hakim juga sudah dibentuk lembaga pengawasan kejaksaan (Komisi Kejaksaan) dan komisi kepolisian (Komisi Kepolisian Nasional). Hal ini disampaikan Jimly Asshiddiqie saat pelantikan anggota Komisi Yudisial 2 Agustus 2005 di Istana Negara (Pikiran Rakyat, 3 Agustus 2005)
Universitas Sumatera Utara
kekuasaan dengan sentralistik, anti demokrasi, kontrol yang ketat terhadap semua lembaga negara, partai politik dan organisasi masyarakat, serta tidak transparan. Dalam situasi demikian, korupsi memperoleh lahan yang subur. Proses peradilan dalam penegakan hukum dan keadilan sepenuhnya di bawah pengaruh kekuasaan. Komentar masyarakat mengenai kondisi peradilan sama sinisnya dengan yang dilontarkan kepada lembaga-lembaga politik. Mereka mempunyai kinerja yang sangat buruk, miskin integritas, dan sangat mudah disuap.Masyarakat menyoroti sistem dan praktik penegakan hukum di bidang peradilan lingkungan kekuasaan kehakiman, khususnya yang berkaitan dengan ruang lingkup tugas hakim. Masyarakat memberikan sorotan pada cara dan hasil kinerja hakim sebagai tumpuan dan sekaligus sebagai benteng terakhir dalam penegakan hukum, keadilan dan kebenaran.Komisi Yudisial berfungsi sebagai institusi pengawasan di luar struktur Mahkamah Agung di mana aspirasi masyarakat dilibatkan dalam prosespengangkatan hakim agung serta dilibatkan pula dalam proses penilaian terhadap etika kerja dan kemungkinan pemberhentian para hakim karena pelanggaran terhadap etika itu. M. Fajrul Falaakh berharap agar pembentukan Komisi Yudisial secara lebih mendasar dapat mengevaluasi kinerja hakim (assessment of judicial performance) dengan empat alasan yaitu: (1) model pengawasan Komisi Yudisial dimandulkan jadi pola anti-akuntabilitas publik; (2) kebutuhan instrumen kerja Komisi Yudisial; (3) kelemahan model evaluasi yang sudah ada dan dikritik Mahkamah Agung; (4) harapan dan dukungan positif dari masyarakat maupun kalangan hakim yang lebih
Universitas Sumatera Utara
luas.Dukungan masyarakat terhadap pembentukan Komisi Yudisial cukup luas dan kuat.Lahirnya
Komisi
Yudisial
banyak
disuarakan
aktivis
organisasi
non
pemerintah.Pada era ini banyak komisi-komisi yang lahir sejak tumbangnya rezim otoriter Soeharto. 77Harian Kompas mencatat pada saat 2004 terdapat sudah tiga belas komisi dilahirkan.Kehadiran Komisi Yudisial telah menambah lembaga negara konservatif seperti eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang digagas Montesquieu. Dalam konsep kekuasaan negara menurut Montesquieu, doktrin pemisahan kekuasaan dengan mekanisme cheks and balances mengharuskan kekuasaan kehakiman yang merdeka ketika menjalankan fungsi kontrol dan penyeimbang vis a vis cabang kekuasaan lainnya, yakni kekuasaan eksekutif dan legislatif.
77
Kompas, 25 Februari 2005
Universitas Sumatera Utara
SKEMA PEMBINAAN KEHAKIMAN SEBAGAI SUBSISTEM PEMBANGUNAN HUKUM
1 ParadigmaNilai 1. Filosofis 2. Politis 3. Yuridis Yangrelevanden gankehakiman
10
2 Potensi di bidang Kehakiman 1. SDM 2. PeraturanHuk um 3. PerangkatPen dukung
INTERAKSI Situsi dan kondisi yang sedang berkembang di bidang kehakiman masa kini
feed back/ inputs mengenaipotensibagipembinaankehakiman
misi
visi
4 Wawasanpolit ikpembangun ankehakiman
5 Garispolitikpe mbangunanBi dangkehakim an
6 Program legislasikhus usbidangkeh akiman
7
8
Law making perluuntukk ehakiman
Feek back mengenai sikon bagi pembinaan kehakiman
Law Enforcement dibidangkeha kiman
9 Kehakiman yangdicitac itakan
Monitoring danEvaluasi
3 Gambar 1: Hasil Derivasi Sistem Kehidupan Nasional dalam Buku Sistem Nasional, Prof. Dr. M. Solly Lubis, SH PenerbitMandarMaju, Bandung 2002
56 Universitas Sumatera Utara
Keterangan: Paradigma nilai filosofis, politik dan yuridis yang relevan dengan kehakiman yang di jumpai di dalam Undang-Undang Dasar 1945, dengan potensi yang ada dibidang kehakiman
menyangkut Sumber daya manusia, peraturan hukum yang
berlaku serta perangkat pendukung didukung dengan situasi dan kondisi penegakan hukum yang sedang berkembang di bidang kehakiman masa kini akan berinteraksi atau bekerja sama membentuk wawasan politik pembangunan kehakiman yang akan melahirkan garis politik dibidang kehakiman. Garis politik hukum dalam pembinaan kehakiman sebagai dasar politis bagi program legislatif dalam proses pembuatan hukum dan pembaharuan hukum yang dapat menunjang pembinaan kehakiman. Dengan demikian kehakiman dapat bekerja dengan baik dan adil dalam memutuskan perkara berdasarkan undang-undang dan sesuai dengan harapan masyarakat. Apabila kehakiman yang dicita-citakan tidak maksimal dalam melaksanakan tugasnya maka seharusnya dilakukan monitoring dan evaluasi sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, dalam arti lain harus dikaji ulang dari awal pembuatan hukum dalam bidang kehakiman tersebut. Jika pimbinaan kehakiman yang dicita-citakan masyarakat sudah dapat dirasakan dengan baik akan menghasilkan sistem hukum yang eksis, kesadaran hukum serta penegakan hukum akan terjamin. Untuk itu Komisi Yudisial sebagai lembaga independen di luar kehakiman kiranya dapat memonitoring kinerja kehakiman sesuai kewenangan yang ada pada dirinya.
Universitas Sumatera Utara