LAPORAN KEMAJUAN PENULISAN DISERTASI (Bab III dan IV – Hasil dan Pembahasan)
KOMISI YUDISIAL DALAM TATANAN KEKUASAAN KEHAKIMAN MENURUT SISTEM KETATANEGARAAN
OLEH :
Febria Nur Kasimon NIM. 030970509
PROGRAM DOKTOR ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA 0
BAB III EKSISTENSI KOMISI YUDISIAL DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA 1. Teori Pembagian Kekuasaan Dalam Negara Sebelum pembahasan tentang teori pembagian kekuasaan perlu dipahami dulu tentang Teori Bernegara. Harus dibedakan antara teori negara dan teori bernegara. Kalau teori negara yang menjadi titik pusat pembahasannya ialah wibawa, kekuasaan dari pemerintah artinya membahas negara sebagai suatu struktur kekuasaan, mengapa seseorang atau sekelompok orang berkuasa atas suatu kelompok/paguyuban. Misalnya teori tentang pembenaran kekuasaan negara (rechtsvardigings theorie), diantaranya ialah, teori teokrasi (theocratieshe theorie), teori kekuasaan (machten theorie) dan lain-lain. Sedangkan teori bernegara lebih memusatkan perhatiannya pada wadah pengorganisasian diri
dari
suatu
masyarakat/paguyuban
bangsa.
Negara
dianggap
sebagai
wadah/perwujudan tempat masyarakat bangsa mengorganisasikan dirinya (de staat is een figuur in dit volksgemenschap zichself organiseren van het gemeenschap wezen). Jellinek menamakan teori bernegara ini sebagai staatbildung theorie. Pada waktu membahas teori Negara, dilihat dari sudut hukum sedangkan pada waktu pembahasan teori bernegara, dilihat dari sudut sosial dan filosofisnya. 1 Jellinek dalam membahas ilmu Negara umum, mengintroduksi teori dua segi (zweiseiten teorie). Teori ini meninjau dari dua sudut pandang, yaitu segi sosiologis dan segi yuridis. Segi sosiologis melihat negara sebagai suatu bangunan masyarakat atau Negara sebagai suatu kebulatan (ganzheit), sedangkan segi yuridis melihat Negara dalam 1
Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara: Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen, Rajawali, Jakarta, 2005, hlm. 6-7.
1
strukturnya atau Negara sebagai suatu bangunan hukum. Pendekatan yuridis (legal entility-legal community) ini sering disebut allgemeine staats-rechtlehre.2 Dalam kajian hukum tata Negara, kedua sudut pandang itu tidak mungkin dipisahkan, karena satu dengan yang lainnya mempunyai keterikatan yang kuat. Artinya objek kajian yang sama dengan sudut pandang yang berbeda, tentu tidak mungkn untuk dipisahkan. Adalah tidak mungkin membahas kekuasaan Negara dari sudut hukum saja tanpa melihatnya juga dari sudut sosial-filosofis. 3 Sebagai contoh tidak akan dapat dipahami UUD suatu Negara apabila hanya mambaca teks dan penjelasannya saja. Harus di pelajari latar belakang sejarahnya, situasi dan kondisi pada saat UUD itu dibuat, dan yang paling penting ialah mengetahui jalan pikiran dari para pembuatnya. Oleh sebab itu apabila dikaji dengan ukuran-ukuran lain, sudah pasti kekeliruan pemahaman atau penafsiran yang keliru yang tidak sesuai dengan maksud dan jiwa dari UUD tersebut. Undang- Undang Dasar yang merupakan hasil karya dari suatu bangsa, tentu dibuat dalam rangka merumuskan kehendak bangsa yang bersangkutan. Mengingat hal yang telah dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa tidak akan ada UUD yang sama dengan UUD Negara lainnya. Kalaupun ada, hal tesebut hanya terbatas pada pengertian-pengertiannya saja (formele stelsel- matigheid), sedangkan isinya (materiele stelsel-matigheid) dapat berbeda sesuai dengan nilai-nilai yang disetujui oleh bangsa tersebut dalam mengatur kehidupan bernegaranya. Arti “dari pengertian-pengertian dasar” (formele stelsel-matigheid) adalah hal-hal yang pada umumnya dipahami mempunyai arti yang sama. Sedangkan arti dari “sendisendi dasar” (materiele stelsel-matigheid) adalah hal-hal yang sama, namun karena pengaruh pandangan hidup dan kondisi masyarakat yang berlainan, isinya menjadi berbeda.
2
Lihat Teuku Amir Hamzah dkk (de), Ilmu Negara: Kuliah Padmo Wahjono, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Indo Hill Co, Jakarta,2003.hlm 21. 3
Azhariy,Teori Bernegara Berbangsa Indonesia (Suatu Pemahaman tentang pengertianpengertian dan asas-asas dalam hukum Tata Negara, Pidato pengukuhan diucapkan pada Upacara Penerimaan Jabatan sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia di Jakarta tanggal 26 Juli 1995, hlm.3-4.
2
Dalam penulisan ini, akan digunakan sendi-sendi dasar (pokok) kehidupan bernegara bangsa Indonesia sebagai dasar analisis. Sebagai contoh apabila analisis terhadap eksistensi Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan menggunakan ide demokrasi sebagai sendi bernegara, dalam penelitian ini akan digunakan ide demokrasi yang ada dalam konstitusi Republik Indonesia, yaitu gagasan kedaulatan rakyat sebagaimana yang dipahami penyusun konstitusi. 4 Gagasan kekuasaan rakyat ini lazim dikenal dengan nama demokrasi Pancasila; demokrasi yang berdasarkan nilai lima sila; demokrasinya berbangsa Indonesia. Untuk itu bagaimanakah teori bernegara bangsa Indonesia dan dimanakah dicari atau ditemukan teori bernegara bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia telah menetapkan bahwa kehidupan bernegaranya di atur dalam Undang-Undang Dasar 1945. oleh karena itu teori bernegaranyapun harus dicari dalam UUD 1945. Teori bernegara bangsa Indonesia yang tentunya merupakan suatu pandangan khas Indonesia yang tidak lepas dari pengaruh alam dan budaya Indonesia, suatu cara pandang yang berlandaskan falsafah dasar negara. Meskipun harus tetap di pelajari teori bernegara bangsa Indonesia ini tidak lepas sama sekali dari teori bernegara pada umumnya ia hanya merupakan pengkhususan, yaitu berupa teori bernegara umum yang teoritis dikaitkan dengan fakta nyata kehidupan berkelompok bangsa Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dengan demikian analisis mengenai eksistensi Komisi Yudisial dalam sistem ketatanegaraan ini mengacu pada pemahaman atas teori bernegara bangsa Indonesia. Teori bernegara khusus bangsa Indonesia ini merupakan hasil refleksi dari teori bernegara pada umumnya (algemeine staatslehre). Teori bernegara ini dapat di katakan sebagai artikulasi teori bernegara yang berasal dari Eropa Barat dengan pandangan hidup, sejarah, nuansa psikopolitik, dan keadaan hukum konstitusi negara Republik Indonesia. 5 Kekuasaan merupakan suatu bagian integral dari kehidupan manusia itu sendiri. Oleh karenanya, kemanapun manusia berada, kekuasaan akan selalu hadir guna 4
Dalam bahasa para founding fathers, gagasan ini juga dikenal dengan sebutan ide kerakyatan. 5 Istilah „akulturasi‟ ini digunakan oleh Padmo Wahjono untuk menggambarkan adanya suatu perpaduan atau penyesuaian keilmuan dalam lapangan ilmu pengetahuan mengenai negara, antara lain yang berkembang di Eropa dan di Indonesia sendiri. Lihat Teuku Amir Hamzah, op. Cit., hlm 1.
3
mengiringi kepentingan hidupnya, secara individual maupun komunal. Kekuasaan tersebut setingkat demi setingkat akan mengalami perubahan, dan akhirnya yang tinggal hanyalah kekuasaan primitif. Kekuasaan dalam bentuk primitif ini, menurut R.M. Mac Iver, kemudian berkembang ke arah tujuan yang pasti sehingga sifatnya yang sempurna akan muncul dan terealisasi dalam bentuk Negara modern seperti sekarang. 6 Dalam suatu Negara modern, mayoritas pembentukan kekuasaan dilakukan seiring dengan pembentukan lembaga-lembaga atau badan-badan (organisasi Negara) yang memperoleh kekuasaan tersebut. Lembaga atau badan organisasi itu,7 dalam perkembangan selanjutnya dikenal dalam beberapa bentuk. Ada legislatif, eksekutif, yudikatif, federatif, kepolisian, dan sebagainya. Namun di antaranya yang paling menonjol dalam perkembangan Negara modern sekarang hanyalah tiga bentuk lembaga kekuasaan yaitu lembaga legislatif, eksekutif, yudikatif. Menurut sebagian paham, ketiga lembaga kekuasaan ini dipisahkan antara satu dengan yang lainnya, sedangkan menurut sebagian paham lainnya hanyalah terpisah dalam arti formil. Paham yang memisahkan tersebut dikenal dengan istilah ajaran tentang pemisahan kekuasaan (separation of power),8 sementara paham yang hanya memisahkan dalam arti formil dikenal dengan ajaran pembagian kekuasaan (division of power atau distribution of power)9.
6
R.M. MacIver, The Modern State, Oxford University Press, London, 1950, Hlm. 218. 7 John Locke mengemukakan adanya tiga macam kekuasaan dalam Negara yang harus diserahkan kepada badan yang masing-masingnya berdiri sendiri yaitu kekuasaan legislatif (membuat undang-undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan undang-undang) dan kekuasaan federatif (keamanan dan hubungan luar negeri). …Menurut Montesquieu kekuasaan (fungsi) di dalam Negara itu dibagi ke dalam kekuasaan legislatif, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan yudikatif (mengadili atas pelanggaran-pelanggaran bagi undang-undang). Dalam S.F Marbun dan Moh. Mahfud MD, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000, Hlm. 42 – 43. Van Vollenhoven membagi kekuasaan Negara menjadi empat bentuk kekuasaan (Catur Praja), yaitu pemerintahan (bestuur), perundang-undangan, Kepolisian dan Pengadilan. Dalam Wiryono Prodjodiko, Asas-Asas Hukum Tata Negara Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1989, Hlm.17. Logemann membagi kekuasaan Negara ke dalam lima fungsi (Panca Praja), yaitu: Fungsi Perundangan (wetgeving), Fungsi Pelaksana (eksekutif), Fungsi Pemerintahan (dalam arti sempit), Fungsi Peradilan, dan Fungsi Kepolisian. Sedangkan A.M. Donner mengemukakan teori Dwi Praja, yaitu kekuasaan menentukan politik Negara (menentukan tugas alat-alat perlengkapan Negara) dan kekuasaan menyelenggarakan tugas-tugas tersebut. Lihat Soehino, Asas-asas Hukum Tata Pemerintahan, Liberty, Yogyakarta, 1984, Hlm. 8-9. Pemikiran tentang pemisahan kekuasaan dipengaruhi oleh teori John Locke (1632 – 1704) seorang filosofi Inggris yang tahun 1690 menerbitkan buku Two Treaties of Civil Government … Pengaruh teori Locke tentang pemisahan kekuasaan dalam Negara itu memang tidak sebesar pengaruh teori Montesquieu (1689 – 1755) seorang ahli hukum berkebangsaan 8
4
Negara Republik Indonesia sendiri tidak mengenal adanya pemisahan kekuasaan. Argumentasi tersebut dapat diperhatikan dari penentuan kekuasaan terhadap lembagalembaga Negara seperti halnya termuat dalam UUD 1945. misalnya, Presiden mengesahkan rancangan undang-undang (RUU) yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang, 10 padahal jika berpedoman kepada paham pemisahan kekuasaan maka wewenang untuk mengesahkan RUU tersebut berada di tangan DPR sebagai lembaga legislatif. Demikian juga, bahwa dalam hal mengangkat duta dan menerima penempatan duta Negara lain harus memperhatikan pertimbangan DPR, 11 sementara kekuasaan tersebut menjadi milik Presiden sebagai lembaga eksekutif menurut paham pemisahan kekuasaan Montesquieu. Oleh karena itu, cukup argumentatif jika Ismail Suny menegaskan bahwa dalam UUD 1945 tidak dikenal adanya pemisahan kekuasaan dalam arti materiil, tetapi pemisahan kekuasaan yang dilaksanakan adalah pemisahan dalam bentuk formil. 12 Hal yang sama juga dikatakan oleh Jennings bahwa pada umumnya di Indonesia tidak pernah dilaksanakan pemisahan kekuasaan dalam arti metril kecuali dalam bentuk formil. 13 Dengan menganut paham pembagian kekuasaan atau pemisahan kekuasaan dalam arti formil, dalam sistem ketatanegaraan Indoneisa, kekuasaan penyelenggaraan Negara didistribusikan kepada beberapa lembaga Negara. Sebelum amandemen UUD 1945 tahun 2002, kekuasaan tersebut didistribusikan kepada MPR, DPR, Presiden, DPA, Mahkamah Agung (MA) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sedangkan sesudah amandemen 2002, kekuasaan tersebut didistribusikan kepada MPR, DPR, Presiden, MA, BPK, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY). Distribusi kekuasaan antar lembaga-lembaga Negara tersebut mengindikasikan kalau masing-masing lembaga berdiri sendiri secara formil, namun memiliki keterkaitan Prancis yang pada tahun 1748 menerbitkan buku yang sangat terkenal dengan judul De L’esprit des Lois (jiwa dan undang-undang). Lihat dalam S.F Marbun dan Moh Mahfud MD, Ibid. 9
Ismail Suny menggunakan istilah pembagian kekuasaan (distribution of power) dengan istilah division of power. Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Bumi Aksara, Jakarta, 1986, Hlm. 21. 10
UUD 1945 Sesudah Amandemen, Pasal 20 ayat (4). Ibid, Pasal 13 ayat (1) dan (2) 12 Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Loc Cit 11
13
Lihat dalam Dahlan Thaib, DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Liberty, Yogyakrta 2000, Hlm.9
5
erat antara satu sama lain dalam menjalankan kekuasaannya, atau dengan kata lain adanya percampuran kewenangan secara materiil. Meskipun tidak ada pemisahan kekuasaan secara materiil, namun bukan berarti terjadi adanya wewenang subordinatif di antara lembaga tersebut. Khususnya antara DPR dengan Presiden, di mana DPR tidak dapat dibubarkan oleh Presiden dan Presiden pun tidak bertanggung jawab kepada DPR. 14 Distribusi kekuasaan kepada lembaga-lembaga Negara tersebut dijalankan pada tingkat Negara (pusat), di mana mekanisme serta kedudukannya sebagai alat perlengkapan dalam struktur Negara Republik Indonesia diatur berdasarkan konstitusi Negara, yaitu UUD 1945. tetapi mengingat Negara merupakan suatu organisasi besar, sudah merupakan konsekuensi logis jika organisasi besar itu dibagi menjadi bagianbagian organisasi yang lebih kecil menurut besar dan kecilnya organisasi. Hal itu dikarenakan, selain luasnya wilayah (termasuk juga besarnya jumlah penduduk) Negara Indonesia, juga terdapat pula ruang lingkup kerja yang besar dari masing-masing organisasi. Menyadari hal itu, jauh sebelumnya, The Founding Fathers Republik ini telah memformulasikan adanya pembagian organisasi Negara Indonesia ke dalam beberapa bentuk daerah, atau konsep pembagian daerah sebagaimana tertuang dalam Pasal 18 UUD 1945. Tetapi upaya pemberian wewenang atau pendelegasian kekuasaan kepada organisasi Negara yang lebih kecil itu tidak akan efektif tanpa diikuti pula dengan mempersiapkan perangkat-perangkatnya. Dengan demikian, jelaslah dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, tidak saja adanya pembagian organisasi pemerintahan tetapi juga adanya pemberian wewenang kepada lembaga-lembaga tertentu untuk menjalankan organisasinya. Distribusi kekuasaan seimbang yang dimaksud, baru dapat terealisasi ketika antara lembaga kekuasaan dapat menjalankan fungsinya masing-masing dan dapat menciptakan mekanisme checks and balances dalam menjalankan fungsinya tersebut. Distribusi kekuasaan yang seimbang dimaksudkan untuk menghindari terjadinya pemusatan kekuasaan pada satu tangan. Karena pemusatan kekuasaan, menurut Bertrand Russel,
14
UUD 1945 sebelum amandemen, Penjelasan tentang Sistem Pemerintahan Negara. Bandingkan dengan UUD 1945 sesudah amandemen, Pasal 7C.
6
akan cenderung melahirkan kekerasan dalam pelaksanaannya, sekaligus dapat menghilangkan batas-batas kekuasaan itu sendiri. 15
2. Konsep Kekuasaan Kehakiman Dalam kekuasaan kehakiman setidaknya terdapat 2 (dua) rezim konsep yang sekilas mungkin dapat dipahami sebagai kontradiktif antara satu dengan lainnya, yakni konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak (independence and impartial judiciary) di satu sisi dan konsep akuntabilitas publik (public accountability) di sisi lain. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak atau independensi kekuasaan kehakiman adalah sesuatu yang mutlak harus ada karena merupakan prasyarat bagi terwujudnya cita negara hukum dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Konsep independensi kekuasaan kehakiman ini mengharamkan adanya tekanan, pengaruh, dan campur tangan dari siapa pun. Dalam bahasa putusan Mahkamah Konstitusi, prinsip independensi peradilan melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari pelbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentudari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya. Kemerdekaan hakim sangat berkaitan erat dengan sikap tidak berpihak atau sikap imparsial hakim, baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan. Hakim yang tidak independen tidak dapat diharapkan bersikap netral atau imparsial dalam menjalankan tugasnya. 15
Bertrand Russel dalam bukunya berjudul the practice and theory of bshevism (terbit 1920) mengatakan : Baik kediktaoran komunis maupun metode-metode kekerasan lainnya, tetap akan mendatangkan bahaya, dan bahaya itu inheren dalam pemusatan kekuasaan yang tak bias dihindari. Lihat dalam S.P Varna, Teori Politik Modern, (Terjemahan Mohammad Oemar dkk), Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995, Hlm.246.
7
Demikian pula lembaga peradilan yang tergantung pada organ lain dalam bidang tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri juga akan menyebabkan sikap yang tidak netral dalam menjalankan tugasnya. Kemerdekaan tersebut juga memiliki aspek yang berbeda. Kemerdekaan fungsional, mengandung larangan bagi cabang kekuasaan yang lain untuk mengadakan intervensi terhadap hakim dalam melaksanakan tugas justisialnya. Masih menurut putusan Mahkamah Konstitusi, kemerdekaan tersebut tidak pernah diartikan mengandung sifat yang mutlak, karena dibatasi oleh hukum dan keadilan. Kemerdekaan hakim tersebut bukan merupakan privilege atau hak istimewa hakim, melainkan merupakan hak yang melekat (indispensable right atau inherent right) pada hakim dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi dari warga negara untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak (fair trial). Independensi peradilan yang disinggung tersebut adalah independensi peradilan dalam segala ranahnya, baik independensi konstitusional, independensi personal, independensi peraturan yang mengaturnya, dan independensi substantif. Dalam pandangan John Ferejohn, independensi peradilan adalah sebuah konsep yang relatif, bukan absolut. Selengkapnya, Ferejohn menyatakan: ”One definitional problem is that judicial independence is a relative, not an absolute, concept. The following definition of „dependency‟ highlights the relative nature of judicial independence: in [A] person or institution [is] … dependent … [if] unable to do its job without relying on some other institution or group.”16 Dengan demikian, independensi peradilan adalah keadaan di mana peradilan dapat atau sanggup menjalankan tugasnya tanpa memiliki ketergantungan pada pihak lain. Relativitas konsep independensi peradilan ini akhirnya memang selalu memicu perdebatan yang pada akhirnya diterjemahkan secara berbeda-beda di setiap negara. Dalam perkembangannya, independensi peradilan ini harus bersanding dengan konsep lain yang harus berdampingan secara harmonis dengannya, yakni akuntabilitas
John Ferejohn, “Independent Judges, Dependent Judiciary: Explaining Judicial Independence,” 72 Southern California Law Review 353 (1999) sebagaimana dikutip The Asia Foundation, Judicial Independence Overview and Country-Level Summaries, Asian Development Bank Judicial Independence Project, RETA No. 5987, submitted by The Asia Foundation, October 2003, hlm. 2. 16
8
publik (public accountability). International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence dalam angka 33 menyatakan sebagai berikut: It should be recognised that judicial independence does not render the judges free from public accountability, however, the press and other institutions should be aware of the potential conflict between judicial independence and excessive pressure on judges.17 Dengan demikian, independensi kekuasaan kehakiman atau peradilan itu memang tidak boleh diartikan secara absolut. Salah satu rumusan penting konferensi International Commission of Jurist menggarisbawahi bahwa "Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manner”. Oleh karena itu, sejak awal munculnya gagasan mengubah UUDNRI Tahun 1945 telah muncul kesadaran bahwa sebagai pengimbang independensi dan untuk menjaga kewibawaan kekuasaan kehakiman, perlu diadakan pengawasan eksternal yang efektif di bidang etika kehakiman seperti beberapa negara, yaitu dengan dibentuknya Komisi Yudisial.18 Menurut Paulus E. Lotulung, batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial atau materiil merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah "subordinated” pada Hukum dan tidak dapat bertindak "contra legem". Selanjutnya, harus disadari bahwa kebebasan dan independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungjawaban atau akuntabilitas, di mana keduanya pada dasarnya merupakan dua sisi koin mata uang yang sama. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan perkataan lain dapat dipahami bahwa dalam konteks kebebasan hakim haruslah diimbangi dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan (judicial accountability).19 17
International Bar Association, International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence, The Jerussalem Approved Standards of the 19th IBA Biennial Conference held on Friday, 22nd October 1982, in New Delhi, India. 18 Jimly Asshiddiqie, Bagir Manan, et. al., Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan Presiden secara Langsung, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepeniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hlm. 24. Paulus E. Lotulung, “Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum”, (makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, dengan tema “Penegakan 19
9
Konsekuensi lebih lanjut dari adanya akuntabilitas adalah adanya pengawasan atau kontrol terhadap kinerja badan-badan peradilan baik mengenai jalannya peradilan maupun termasuk perilaku para aparatnya, agar kemandirian dan kebebasan kekuasaan kehakiman tidak disalahgunakan sehingga dikawatirkan dapat menjadi “tirani Kekuasaan Kehakiman”. Banyak bentuk dan mekanisme pengawasan yang dapat dipikirkan dan dilaksanakan, dan salah satu bentuknya adalah kontrol atau pengawasan melalui media massa. Dengan demikian, aspek akuntabilitas, integritas, transparansi, maupun aspek pengawasan merupakan 4 (empat) rambu-rambu yang menjadi pelengkap dari diakuinya kebebasan dan independensi kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, kebebasan hakim yang merupakan personifikasi dari kemandirian kekuasaan kehakiman, tidaklah berada dalam ruang hampa tetapi dibatasi oleh rambu-rambu akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi, dan pengawasan. Dalam hubungan dengan tugas hakim, independensi hakim masih harus dilengkapi lagi dengan sikap imparsialitas dan profesionalisme dalam bidangnya. Oleh karena itu, sekali lagi, kebebasan hakim sebagai penegak hukum harus dikaitkan dengan akuntabiltas, integritas moral dan etika, transparansi, pengawasan, profesionalisme, dan impartialitas.20
3. Teori Alat-alat Perlengkapan Negara ( Die Staatsorgene) Secara definitif, alat-alat kelengkapan suatu negara atau lazim disebut sebagai lembaga negara adalah institusi-institusi yang dibentuk guna melaksanakan fungsi-fungsi negara. 21 Berdasarkan teori-teori klasik mengenai negara setidaknya terdapat beberapa fungsi penting seperti fungsi membuat kebijakan perundang-undangan (fungsi legislatif), fungsi pelaksanaan peraturan atau fungsi penyelenggaraan pemerintah (fungsi eksekutif), dan fungsi mengadili (fungsi yudisial) Teori yang sering kali menjadi rujukan „teori fungsi dan organ negara‟ adalah trias politica (tri praja). Teori ini dibuat agar kekuasaan tidak terpusat pada satu tangan atau satu institusi tertentu. Kekuasaan harus dipilah menjadi tiga fungsi besar agar dapat saling „mengawasi‟ (check) dan saling „mengimbangi‟ (balances) dalam operasionalisasi yang hukum dalam era pembangunan berkelanjutan”, diselenggarakarn oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI), Denpasar, 14 -18 juli 2003, hlm. 7. 20
Ibid., hlm. 8-9.
21
Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, ilmu Negara, Edisi Revisi, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hlm.241.
10
real. Dengan demikian, kekuasaan dapat dibatasi sesuai dengan fungsinya dan dapat dikontrol secara internal oleh lembaga lain yang sederajat, maupun secara eksternal oleh rakyat sebagai konstituen real yang diwakili oleh lembaga-lembaga negara tersebut. Untuk itu alat kelengkapan negara berdasarkan teori-teori negara tersebut, meliputi kekuasaan ekskutif, dalam hal ini dapat presiden atau perdana menteri atau raja, kekuasaan legislatif, dalam hal ini dapat disebut parlemen atau dengan nama lain seperti dewan perwakilan rakyat, dan kekuasaan yudikatif seperti Mahkamah Agung atau Supreme Court. Setiap alat kelengkapan negara tersebut dapat memiliki organ-organ lain untuk membantu pelaksanaan fungsinya. Kekuasaan eksekutif, misalnya, dibantu wakil dan menteri-menteri yang memimpin satu departemen tertentu. Meskipun demikian, dalam kenyataannya, tipe-tipe lembaga negara yang diterapkan setiap negara berbedabeda sesuai dengan perkembangan sejarah politik kenegaraan dan juga sesuai dengan kebutuhan masyarakat di negara yang bersangkutan. Filosofinya adalah alat perlengkapan ini untuk merealisasikan tujuan dan keinginan-keinginan negara (staatswill). Sesuai dengan perkembangan zaman, fungsifungsi negara kemudian dielaborasi lagi menjadi tugas-tugas detail kenegaraan sehingga jabaran dari tujuan negara menjadi fungsi-fungsi ini dikonkritkan dalam bentuk tugastugas kenegaraan yang cakupannya sedemikian banyak. Kemudian semakin kompleks kegiatan kenegaraan modern, maka semakin banyak lembaga atau alat perlengkapan yang dibutuhkan. Alat perlengkapan atau lembaga yang di tentukan melalui konstitusi seringkali tidak lagi mampu menampung tugas-tugas spesifik yang umumnya membutuhkan independensi dan profesionalitas dalam pelaksanaannya. Dengan demikian, pembentukan alat negara atau organ (lembaga) baru merupakan condition sine qua non bagi pertumbuhan negara. Demikian juga berkembang beragam istilah alat perlengkapan negara ini, seperti organ, lembaga, forum instansi, institusi tambahan (state auxiliaries), badan-badan independent (independent state bodies atau self regulatory bodies). Stete enterprise, dan lain-lain. Akhirnya secara konseptual, tujuan diadakannya lembaga-lembaga negara atau alat-alat kelengkapan negara adalah selain untuk menjalankan fungsi negara, juga untuk menjalankan fungsi pemerintah. Dengan kata lain, lembaga-lembaga itu harus membentuk suatu kesatuan proses yang satu sama lain saling berhubungan dalam rangka penyelenggaraan fungsi negara atau istilah yang digunakan Sri Soemantri adalah actual
11
governmental process. 22 Jadi meskipun dalam prakteknya tipe lembaga-lembaga negara yang diterapkan setiap negara berbeda-beda, secara konsep lembaga-lembaga tersebut harus bekerja dan memiliki relasi sedemikian rupa sehingga membentuk suatu kesatuan untuk merealisasikan secara praktis fungsi negara dan secara ideologis mewujudkan tujuan negara. Dengan demikian untuk menganalisis eksistensi Komisi Yudisial sebagai salah satu komisi negara digunakan teori alat perlengkapan negara dalam konteks pengertian organ atau lembaga negara dengan beragam istilah yang berkembang. Selanjutnya dalam bingkai sistem ketatanegaraan, maka analisis mengenai anatomi dan tipologi dari organ negara akan digunakan dalam penelitian ini.
4. Pelembagaan Komisi-Komisi Negara Dalam Sistem Ketatanegaraan Secara general, alat-alat perlengkapan negara pada pokoknya dapat di klasifikasikan menjadi: 23 1. lembaga (organ) yang bersumber langsung dari konstitusi 2. lembaga (organ) yang tidak bersumber langsung dari konstitusi (derivatif). Istilah „sumber‟ dalam kalimat di atas mengacu pada sumber kewenangan kelembagaannya, apakah diberikan langsung oleh konstitusi ataukah tidak. Kedua jenis lembaga tersebut di atas ada yang berwenang membentuk lembaga atau organ (alat perlengkapan negara) lainnya, ada pula yang tidak diberi hak untuk itu. Ada lembaga yang diharuskan untuk independen, ada pula yang terikat dan memiliki keterkaitan fungsional dengan lembaga lainnya. Inti dari gagasan trias politica 24 ini adalah adanya pemisahan kekuasaan berdasarkan fungsi-fungsi utama negara: eksekutif, legislatif, dan yudisial. Eksekutif berfungsi menjalankan kekuasaan pemerintah; legislatif, membuat ketentuan hukum untuk menjalankan kekuasaan; judicial, berfungsi mengadili pelanggaran terhadap
22
Sri Soemantri , Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Alumni, Bandung. 1986. 23
Jellinek dalam: Teuku Amir Hamzah dkk(ed), Ilmu negara., Op. Cit., hlm. 222.
24
Djoko Soetono menerjemahkan istilah ini dengan Tri Praja (trias politica Montesquieu); Catur praja untuk teorinya Van Vollenhoven; Dwi Praja (Dichotomy) untuk goodnow (policy making and policy executing).
12
ketentuan hukum yang telah dibuat. Ajaran tentang pemisahan fungsi kekuasaan secara horizontal ini dinamakan separation of powers, sedangkan pembagian kekuasaan secara vertikal lebih dimaksudkan sebagai federalisme. 25 Prinsip trias politica ini dilaksanakan dengan sistem check and balances yang pengertiannya sebagai berikut:26 “system that ensure that for every power in governmentthere is an equal and opposite power placed in separate branceh to restraint there force.... ckecks and balances are the constitutional controls whereby separate branches of government have limiting power over each other so that no branceh will become supreme. Dengan demikian dalam menetapkan fungsi-fungsi dan tugas-tugas harus mengacu pada tujuan negara yang termuat dalam konstitusi. Dari tujuan dasar ini kemudian ditetapkan fungsi-fungsi; dari fungsi-fungsi ini kemudian dijabarkan ke dalam tugas-tugas;
dari
tugas-tugas
ini
kemudian
dibentuk
organ-organ
(lembaga)
pelaksanaannya. Lembaga-lembaga negara dan pemerintahan sehari-hari dapat disetting sesuai dengan tujuan dasar negara. 27 Dalam teori organisasi, target utamanya adalah efektif, efisien, dan berkeadilan. Pelaksanaan satu fungsi atau satu tugas tidak selalu harus ditempatkan pada hanya satu organisasi saja. Kajian detail tentang tugas-tugas pemerintah yang mengacu pada satu fungsi tertentu perlu dilakukan agar penataan organisasi lembaga-lembaga negara dapat berjalan menuju pemenuhan tujuan dasar negara secara efisien dan tidak tumpang tindih Pertama-tama, dalam hal ini berpangkal pada organ yang mempunyai fungsi tertentu yaitu negara sebagai gezagsorganisatie. Artinya organ organ itu di gantungkan dari fungsi negara. Kalau mengambil teori fungsi negara dari Montesquieu, maka ada tiga fungsi dari tiga organ. Ajaran Montesquieu ini sudah tidak dapat di pertahankan lagi, karena ia tidak memisahkan antara fungsi dan organ, karena satu organ mungkin memiliki lebih dari satu fungsi. 28 Pembagian fungsi menurut Montesquieu ini tidak dapat di pakai lagi., sehingga harus menggabungkan pembagian fungsi negara ini dengan pembagian 25
Federalisme disebut territorial division of powers. Pendapat ini disebut oleh Ananda B. kusuma, Lahirnya UUD 1945, Pusat Studi HTN UI, 2004. hlm. 24-26. L.Berman, “ Approaching Democracy”.1999, hlm. 58, dalam : ibid., hlm.25.
26 27
Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara. Op.Cit., hlm. 71-73.
28
Ajaran van Vollenhoven dengan catur prajanya.
13
dari Goodnow, yang terdiri dari organ policy making dan policy executers. Dengan demikian pembagiannya adalah terdapat organ-organ politis atau jabatan politis dan organ-organ atau jabatan-jabatan yang didasarkan pada keahlian. Dan kalau dihubungkan dengan pandangan sarjana lain yaitu dari rowse yang membaginya yang membaginya atas: (a) political framework (jabatan politik) dan; (b) administrative framework (jabatan administratif). Demikian juga mengenai alat-alat perlengkapan negara ini, maka secara historis dihubungkan dengan tujuan masing- masing. Tetapi ahli-ahli hukum tidak puas dengan hal itu, karena teori-teori historis kurang menerangkan hal yang sebenarnya, karena itu ia menganalisir dari segi hukum, yaitu meninjau bagaimana struktur alat-alat perlengkapan negara secara yuridis, jadi ini semua tetap berpangkal pada negara sebagai organisasi. Kalau berpaham pada Jellinek, maka tidak akan memperoleh penyelesaian mengenai kriteria yang tepat untuk membagi organ negara. Tetapi kalau berpaham pada Hans Kelsen, maka Hans Kelsen hanya melihat normanya, menurut Herman Heller negara sebagai organ dari orang-orang tertentu yang seolah-olah mewakili keseluruhan wewenang
dalam
melaksanakan
kepentingan
umum,
maka
organisasi
yang
menyelenggarakan tugas– tugas tertentu ialah negara. Artinya negara merupakan organisasi jabatan, secara yuridis organ negara itu merupakan organisasi jabatan. Kemudian organ negara dilihat dari bagaimana organisasi jabatan itu terbentuk. Dalam hal ini maka terpaksa harus melihat dari segi sejarah. Dilihat dulu bahwa fungsi negara atau tugas dalam bidang kenegaraan disebut jabatan, dan fungsi ini tidak bisa di lepaskan dari keseluruhan, karena dengan adanya fungsi negara diketahui adanya tujuan negara. Artinya fungsi tidak bisa dilepaskan dari suatu organisasi, dan organisasi itu dirumuskan sebagai suatu kerja sama berdasarkan pembagian kerja yang bersifat tetap atau langgeng. Kerjasama yang tetap menghasilkan organisasi negara dan fungsi ini disebut jabatan. Jellinek mengatakan bahwa orang dan jabatanpun dimiliki atau di pegang oleh orang. Jadi orang ini mewakili jabatan itu. Oleh karena itu organisasi merupakan pembagian kerja yang tetap, maka jabatan juga tetap, meskipun orangnya bisa bergantiganti. Akibatnya maka dalam perwakilan, orang mewakili suatu jabatan (ambtsdrager) ini, orang selalu membedakan dua macam tindakan: (a) tindakan prive; (b) tindakan
14
jabatan. Maksud pembedaan tindakan ini terutama untuk pertanggungjawaban. Ukuran untuk meminta pertanggung jawaban ialah: a.) Melaksanakan peraturan-peraturan yang mengenai fungsinya. b.) Harus melaksanakan pula sendi-sendi hukum, misalnya keadilan, persamaan, tidak ada diskriminasi dan lain-lainnya. c.) Harus menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya atau dengan cara yang sebaik-baiknya. Hal ini penting karena mengenai soal kewibawaan. Sehingga kadang-kadang mempengaruhi tindakan-tindakan prive; karena walaupun harus memisahkan tindakan jabatan dan tindakan prive. Tetapi adakalanya dalam tindakan-tindakan prive yang di anggap “bebas”, kadang- kadang orang masih melekatkan padanya segi jabatan yang dipegangnya. Yang jelas ialah apabila tindakan itu adalah untuk melaksanakan tugas secara sebaik-baiknya yang berhubungan dengan kewibawaan. Negara hukum pada dasarnya merupakan negara yang menolak kekuasaan tanpa kendali. Negara yang pola hidupnya berdasarkan hukum yang adil dan demokratis, sehingga kekuasaan negara di dalamya, harus tunduk pada “aturan main”. Salah satu wujud aturan main tersebut adalah adanya landasan legal-yuridis yang jelas dan menjadi “aturan main” terhadap semua anasir yang berada dalam negara, termasuk terhadap lembaga-lembaga negara. Sesuai dengan asas negara hukum, setiap penggunaan wewenang harus mempunyai dasar legalitasnya. 29 Norma-norma hukum yang berlaku dalam masyarakat dapat dilihat dari beberapa sudut pandang, salah satunya hierarki norma hukum. Hans Kelsen mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum bahwa norma-norma hukum itu berjenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan. Suatu norma yang lebih rendah berlaku bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu dasar (Grundnom).30 Wewenang dalam bahasa Inggris disebut authority, kewenangan adalah otoritas yang dimiliki suatu lembaga untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. 29
Firmansyah Arifin dkk, Hukum dan Kuasa Konstitusi, KRHN, Jakarta, 2004, hlm. 63.
30
Hans Kelsen dalam Maria Farida Indriati Soeprapto. Ilmu Perundang-Undangan DasarDasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm. 25.
15
Menurut Robert Bierstedt,31 bahwa wewenang adalah institutionalized power (kekuasaan yang dilembagakan). Wewenang merupakan wujud nyata dari kekuasaan. Sementara itu, kekuasaan menurut Mariam Budiardjo adalah kemampuan
untuk
mempengaruhi
tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku terakhir menjadi sesuai dengan keinginan dari perilaku yang mempunyai kekuasaan. Kekuasaan seringkali dipandang sebagai suatu hubungan antara dua atau lebih kekuasaan, sehingga kekuasaan dianggap mempunyai sifat rasional. Karenanya perlu dibedakan antar scope of power dan domain of power atau ruang lingkup kekuasaan menunjuk pada kegiatan, tingkah laku serta sikap dan keputusan-keputusan yang menjadi obyek dari kekuasaan. Sementara istilah domain of power, jangkauan kekuasaan, menunjuk pada perilaku, kelompok, atau kolektivitas yang terkena kekuasaan. 32 Kewenangan dalam konteks penyelenggaraan negara terkait dengan paham kedaulatan (sovereignty). Dalam konteks wilayah hukum dan kenegaraan, gagasan kedaulatan diperkenalkan oleh Jean Bodin dan setelah itu dilanjutkan Hobbes. Menurut Hobbes, kedaulatan bukan hanya merupakan atribut negara, malainkan juga merupakan fungsi esensial yang ada di dalamnya. Konsep kedaulatan inilah yang membedakan antara organisasi negara dan organisasi sosial. Kedaulatan adalah jiwa (soul) dari lembaga politik yang disebut negara yang disimbolkan sebagai makhluk kebal yang tak terkalahkan. 33 Kewenangan, merupakan kewenangan antar lembaga negara yang bersifat horizontal dan kewenangan secara vertikal, yaitu
berkaitan dengan menggunakan
wewenang tersebut kepada rakyat. Sering kali terjadi kekaburan dalam menggunakan istilah, fungsi, tugas, wewenang, dan kewajiban. Selama ini belum ada konsep hukum yang jelas tentang kata-kata tersebut dari segi hukum dan dasar-dasar teoritis atas pemberian makna-makna tersebut secara komprehensif. Fungsi mempunyai makna yang lebih tepat untuk menyambut aktivitas-aktivitas yang diperlukan agar fungsi dapat lebih terlaksana. Fungsi dapat lebih melaksanakan. Fungsi memerlukan banyak aktivitas agar 31
R. Bierstedt dalam Miriam Budiarto, Demokrasi Di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, dan dikutip dalam: PSHK, semua harus terwakili: Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia, PSHK, Jakarta, 2000, hlm.7. 32 R. Berstedt, ibid., hlm.7. D‟Entreves dalam Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah Konstitusi-Pusat Studi HTN UI, Jakarta , 2004. 33
16
fungsi dapat terlaksana. Gabungan dari tugas-tugas adalah operasional dari sebuah fungsi yang sifatnya ke dalam. Tugas selain aspek ke dalam juga memiliki aspek ke luar. Aspek keluar dari tugas adalah wewenang. 34 Dengan demikian konsekuensi logis dari pilihan suatu sistem dengan menerapkan prinsip cheeck and balances adalah timbulnya sengketa atau pertentangan antar organ kelembagaan negara yang diletakkan secara sederajat dan saling kontrol. Lahirnya sengketa tidak lain karena adanya persinggungan kepentingan yang tidak dapat di kompromikan. Dalam konteks penyelenggaraan pemerintah timbulnya sengketa dapat disebabkan beberapa kemungkinan, diantaranya kurang memadainya sistem yang mengatur dan mewadahi hubungan antar organ yang ada sehingga menimbulkan perbedaan interpretasi.
Perbedaan interpretasi terhadap suatu ketentuan yang menjadi
bingkai bagi penyelenggaraan negara seringkali menyulut sengketa. Ada banyak penafsiran yang sering digunakan untuk menilai atau memahami suatu konteks permasalahan, diantaranya adalah penafsiran oleh lembaga pengadilan dan penafsiran konsitusional. Terkait dengan sengketa kewenangan, salah satu penafsiran yang dapat digunakan adalah penafsiran konsitusional.
5. Pengawasan Kekuasaan Pengawasan kekuasaan merupakan tujuan dasar dari konstitusi, dalam sejarah ideide politik kebutuhan untuk mempertahankan kekuasaan telah menjadi suatu pokok pembicaraan yang selalu berulang, bahkan sudah menjadi obsesi seseorang yang berkuasa.35 Pembatasan kekuasaan dengan sistem konstitusionalisme mempunyai tiga pengertian, yakni : (1) suatu negara atau setiap sistem pemerintahan, harus didasarkan atas hukum, sementara kekuasaan yang digunakan dalam negara menyesuaikan diri pada aturan-aturan dan prosedur-prosedur hukum yang pasti; (2) struktur pemerintahan harus 34
Hardjono, dalam : Firmansyah Arifin dkk, Op Cit., hlm, 27-28. Sistem penguasaan konstitusional bukan semata-mata persoalan pembagian dan pemisahan kekuasaan,dimana satu orang hanya boleh menjalankan suatu kekuasaan atau tidak, akan tetapi pembagian kekuasaan harus dilakukan untuk emnentukan tanggung jawab secara hukum, politik dan moral. Lihat Ibrahim R, 2003. Sistem Pengawasan Konstitusional antara kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam pembaruan UUD 1945, disertasi di Unpad Bandung, hlm. 44. 35
17
memastikan bahwa kekuasaan terletak dengan dan diantara, cabang-cabang kekuasaan yang berbeda yang saling mengawasi penggunaan kekuasaannya dan yang berkewajiban untuk bekerjasama (ide-ide pembauran kekuasaan, pemisahan kekuasaan dan Checks and balances); (3) hubungan antara pemerintah dengan rakyatnya harus diatur dengan cara sedemikian rupa dalam menyerahkan hak-hak dasar dengan tidak mengurangi kebebasan individu.36 Dalam prospektif teoritik, istilah pengawasan dikenal dan dikembangkan dalam ilmu manajemen, karena pengawasan merupakan salah satu unsur dalam kegiatan pengelolaan. Henry Fayol37 menyebutkan : Control consist in veryvying wether everything occur in conformity with the plan adopted, the intruction issued and principle estabilished. It has for object to point out weaknesses in error in order to rectivy then and prevent recurrance”. Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa pengawasan hakekatnya merupkan suatu tindakan menilai apakah sesuatu telah berjalan sesuai dengan yang ditentukan. Dengan pengawasan tersebut akan dapat ditemukan kesalahan-kesalahan yang kesalahan-kesalahan tersebut akan dapat diperbaiki dan yang terpenting jangan sampai kesalahan tersebut terulang kembali. Sementara Newman38 berpendapat bahwa “control is assurance that the performance conform to plan”. Ini berarti bahwa titik berat pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin agar pelaksanaan suatu tugas dapat sesuai dengan rencana. Dengan demikian menurut Newman, pengawasan adalah suatu tindakan yang dilakukan selama proses suatu kegiatan sedang berjalan, bahkan setelah akhir proses tersebut. Selanjutnya Muchsan39 mengemukakan bahwa “pengawasan adalah kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan tugas secara de facto, sedangkan tujuan pengawasan hanya terbatas pada pencocokan apakah kegiatan yang telah dilaksanakan telah selesai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan sebelumnya (dalam hal ini berwujud suatu rencana/plan). 36
Karl Loewenstain, Political Power and the Govermental Process. 2end ed. Chicago and London, 1965. hlm. 8 dalam La Ode Husen, 2005. Hubungan Fungsi PengawasanDPR dengan BPK dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Bandung : CV. Utomo, hlm. 91. 37
Muchsan, 2000. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan PTUN di Indonesia, Yogyakarta : Liberty, hlm. 37. 38 Ibid 39 Ibid
18
Sedangkan Bagir Manan40 memandang kontrol sebagai “sebuah fungsi sekaligus hak, sehingga lazim disebut dengan fungsi kontrol atau hak kontrol. Kontrol mengandung dimensi pengawasan dan pengendalian. Pengawasan yang bertalian dengan arahan (directive)” Dari pendapat-pendapat tersebut diatas, maka dapat ditangkap makna dasar dari pengawasan adalah : (1) pengawasan ditujukan sebagai upaya pengelolaan untuk mencapai hasil dari tujuan; (2) adanya tolok ukur yang dipakai sebagai acuan keberhasilan; (3) adanya kegiatan untuk mencocokkan antara hasil yang dicapai dengan tolok ukur yang ditetapkan; (4) mencegah terjadinya kekeliruan dan menunjukkan cara dan tujuan yang benar; dan (5) adanya tindakan koreksi apabila hasil yang dicapai tidak sesuai dengan tolok ukur yang ditetapkan. 41 Dalam kerangka pengawasan ada begitu banyak lembaga yang melakukan pengawasan dan memfungsikan diri sebagai lembaga pengawasan. Paulus Effendi Lotulung42 memetakan macam-macam lembaga pengawasan, yaitu : 1. Ditinjau dari segi kedudukan dari badan / organ yang melaksanakan kontrol, dapat dibedakan atas : (a) kontrol intern. Kontrol intern berarti pengawasan yang dilakukan oleh organisasi / struktural masih termasuk dalam lingkungan pemerintah sendiri. Kontrol ini disebut juga built in control. Misalnya pengawasan pejabat atasan terhadap bawahannya atau pengawasan yang dilakukan oleh suatu tim verifikasi yang biasanya dibentuk secara insidental; (b) kontrol ekstern adalah pengawasan yang dilakukan oleh organ atau lembaga-lembaga yang secara organisasi/struktural berada diluar pemerintah dalam arti eksekutif. 2. Ditinjau dari segi waktu pelaksanaannya suatu kontrol dapat dibedakan atas: (a) kontrol
a priori, yaitu pengawasan yang dilakukan sebelum dikeluarkannya
keputusan / ketetapan pemerintah atau peraturan lainnya, yang pembentukannya merupakan kewenangan pemerintah; (b) kontrol a posteriori, yakni pengawasan
40
Bagir Manan, 2001. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta : Pusat Studi Hukum FH-UII, hlm. 201. 41
Perhatikan Irfan Fakhrudin, 2004. Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung : Alumni, hlm. 90. 42
Paulus Efendi Lotulung, 1993. Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Bandung: Citra Aditya Bakti.
19
yang baru terjadi sesudah dikeluarkan keputusan/ketetapan pemerintah atau sesudah terjadinya tindakan/perbuatan pemerintah. 3. Ditinjau dari segi obyek diawasi suatu kontrol dapat dibedakan atas : (a) kontrol segi hukum, adalah kontrol untuk menilai segi-segi pertimbangan yang bersifat hukum dari perbuatan pemerintah; (b) kontrol segi kemanfaatan adalah untuk menilai benar tidaknya perbuatan pemerintah ditinjau dari segi pertimbangan kemanfaatannya. Dalam sistem pemerintahan di Indonesia pengawasan dapat dilakukan lembagalembaga di luar organ pemerintahan yang diawasi (pengawasan eksternal) dan dapat pula dilakukan
oleh
lembaga-lembaga
dalam
lingkungan
pemerintahan
itu
sendiri
(pengawasan internal). Pengawasan yang bersifat eksternal dilakukan oleh lembagalembaga negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA dan lembaga-lembaga peradilan dibawahnya. Pengawasan eksternal ini juga dilakukan oleh masyarakat, yang dapat dilakukan oleh orang perorangan, kelompok masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan media massa.43 Dalam pengawasan internal, pengawasan dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga yang dibuat khusus oleh pemerintah seperti Badan Pengawasan Keuangan Pembangunan (BPKP), pengawasan yang dilakukan oleh Inspektoral Jenderal Departemen, Badan Pengawasan Daerah (Bawasda). Pengawasan internal dalam lingkungan pemerintahan juga dilakukan oleh atasan langsung pejabat/badan tata usaha negara. Pengawasan ini sering juga dinamakan pengawasan melekat (Waskat). Dalam konteks yang lebih luas maka arti dan makna pengawasan yang dikemukakan diatas lebih bercorak pada pengawasan (kontrol) yang berlaku dalam organisasi dan birokrasi. Jika ditarik dalam makna yang lebih luas dan komperhensif maka pengawasan dapat dilihat berbagai segi yakni: (1) kontrol sebagai penguasaan pikiran; (2) disiplin sebagai kontrol diri; (3) kontrol sebagai sebuah makna simbolik. Kontrol tidak terbatas pada prosedur formal dalam penyelenggaraan organisasi. Kontrol bisa digunakan untuk mencapai tujuan tertentu yang sesuai dengan keinginan kelompok tertentu (yang berkuasa), kontrol dikonstruksi beragam. 43
Galang Asmara, 2005. Ombudsman Nasional Dalam Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia, Yogyakarta:Leksbang Pressindo, hlm. 126.
20
“Selain menciptakan suasana horor dan kondisi chaos, sebuah sistem kekuasaan, dalam rangka semakin menumbuhkan kepatuhan total terhadap kekuasaan, menciptakan berbagai kontrol yang sistematis terhadap pikiran dan jiwa (mind) masyarakat. Ia mengembangkan semacam penjara pikiran (mind capture). Wacana pemikiran/filsafat yang dikembangkan oleh penguasa (lewat P4, Prajabatan, litsus) tidak lagi berkaitan dengan upaya-upaya pengembangan daya nalar, daya kritis, daya analitis, daya kreativitas, daya imajinasi yang didukung oleh sikap obyektivitas, kejujuran, sportivitas, kebijaksanaan atau kearifan akan tetapi telah dikontaminasi oleh model wacana pemikiran yang berdasarkan kepatuhan, loyalitas, pembelaan buta dan ketakutan.44 Antonio Gramsci melalui konsep hegemoni berbicara mengenai penguasaan pemikiran. Menurutnya, masyarakat sipil dan masyarakat politik (negara) adalah dua level suprastruktur yang masing-masing menjalankan fungsi kontrol sosial politik dalam pengertian berbeda. Atas pendangan diatas, Mahadi Sugiono memberikan komentar sebagai berikut : “Kedua level ini pada fungsi “hegemoni” dimana kelompok dominan menangani keseluruhan masyarakat dan disisi lain berkaitan dengan “dominasi langsung” atau pemerintah yang dilaksanakan diseluruh negara dan pemerintahan yuridis”. 45 Atas pandangan diatas, Mahadi Sugiono memberikan komentar sebagai berikut : “perbedaan yang dibuat Gramsci antara “masyarakat sipil” dan “masyarakat politik”, seperti sudah diuraikan sebelumnya, sesungguhnya tidak sejelas yang terlihat dan pembedaan itu dibuat hanya semata untuk kepentingan analitis semata. Dibagian lain, karya yang sama(prison notebooks) dengan jelas ia menunjukkan bahwa kedua suprastruktur itu pada kenyataannya, sangat diperlukan satu dan lainnya tidak bisa dipisahkan. Bahwa kedua level itu sangat diperlukan bisa dilihat dengan gamblang dalam konsepsi Gramsci tentang negara yang lebih luas, dimana ia ditunjuk sebagai “negara integral, yang meliputi tidak hanya masyarakat politik tetapi juga masyarakat sipil.46
44
Yasraf Amir Piliang, 2001. Sebuah Dunia yang Menakutkan, Mesin-mesin Kekerasan dalam Jagad Raya Chaos, Bandung: Mizan, hlm. 53-54. 45
Antonio Gramsci. 1971. Selection From Prison Notebook, diedit dan diterjemahkan oleh Hoare dan Geoffrey N. Smith, London: Lawrance and Wishart, hlm. 12 dalam Anthon F. Susanto, 2004. Wajah Peradilan Kita, Bandung:Refika Aditama, hl. 55. 46
Mahadi Sugiono, 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, hlm. 36.
21
Konsep pengawasan juga ditawarkan oleh Foucault, yaitu sebagaimana mendisiplinkan diri, menjadikan tubuh-tubuh patuh. Metode disiplin dikembangkan di penjara, sekolah, rumah sakit, barak tentara, dan bengkel kerja untuk menciptakan tubuhtubuh yang patuh. Dalam setiap masyarakat tubuh senantiasa menjadi obyek kuasa. Tubuh dimanipulasi, dilatih dan dikoreksi menjadi patuh, bertanggung jawab, terampil dan meningkat kekuatannya. Tubuh selalu menjadi sasaran kuasa baik dalam arti “anatomimetafisik” yakni seperti yang dibuat oleh para dokter dan filsuf, maupun dalam arti “teknik-politis” yang mau mengatur dan mengontrol atau mengoreksi segala aktifitas tubuh. Kuasa, dari masa yang satu ke masa yang lain, selalu menyentuh tubuh, hanya cara, ukuran dan sasaran kontrolnya saja yang senantiasa berubah-ubah.47 Bahasa kenyataannya tidak hanya digunakans ebagai alat komunikasi, tetapi juga alat (dominasi) kekuasaan. Artinya orang (yang berkuasa) tidak hanya ingin di dengar dan dimengerti, tetapi juga ingin dipercayai, dipatuhi, dihargai atau diikuti oleh orang yang dikuasainya. Kontrol dalam kategori ini berkaitan dengan sistem dominasi, kompetensi yang digunakan untuk menentukan siapa yang mempunyai otoritas (authority) yang berbicara, yaitu otoritas yang melegitimasi bahasa, yaitu bahasa-bahasa kekuasaan. Setiap ungkapan bahasa merupakan produk dari kompromi antara apa yang akan dikatakan (expressive interest) dan sensor (censorship) yang melekat pada struktur bahasa (symbolic market) tempat ungkapan tersebut diproduksi dan didistribusikan. Oleh sebab itulah, kajian bahasa tidak dapat dipisahkan dari kajian idiologi di balik ungkapan bahasa tersebut. Bahasa adalah media tempat ideologi dikomunikasikan atau ditawarkan. Mempelajari sebuah simbol atau sebuah bahasa sama artinya dengan mempelajari kepercayaan, keyakinan atau sikap politik yang tersimpan dibalik ungkapan simbol dan bahasa tersebut. Realitas kontrol selalu datang dari atas, melalui struktur formal yang telah ditetapkan, tetapi bisa lahir dari keadaan sebaliknya. Hal semacam itu menggambarkan realitas kontrol dalam berbagai makna, tidak hanya dari sisi positif tetapi bisa juga negatif. Artinya, kontrol merupakan konstruksi (dikonstruksi). Bagaimana kontrol ditetapkan, untuk tujuan apa, serta faktor yang mempengaruhi (terutama sosial, politik 47
Michel Foucult, 1997. Disiplin Tubuh, Bengkel Individu Modern, Yogyakarta: LKIS,
hlm. 75
22
dan ekonomi) menjadi dominan. Misalnya, ditengah percepatan teknolgi saat ini, mekanisme pengawasan berkembang, sehingga semakin tinggi teknik, semakin beragam mekanismenya. Konstelasi demikian berkembang bersama semakin kritisnya masyarakat dan memiliki peran aktif dalam membangun dunia yang dicita-citakannya. Fenomena itu akan berlangsung terus sebagai dinamika kehidupan sepanjang masa. 48 Selanjutnya kembali kepada konsep pengawasan dalam konteks organisasi kekuasaan, maka ada bebarapa teori konsekuensi pengawasan yang dapat menjelaskan efektif tidaknya suatu pengawasan. Perbincangan tentang konsekuensi dan efektivitas bertolak dari keberlakuan (gelding) hukum yang dikemukakan oleh Bruggink dalam buku “Rechtsrefleties”. Beliau mengemukakan tiga macam keberlakuan hukum, yaitu : (1) Keberlakuan normatif atau keberlakuan formal kaidah hukum, yaitu jika suatu kaidah merupakan bagian dari suatu sistem kaidah hukum tertentu yang didalamnya kaidahkaidah hukum itu saling menunjuk. Sistem kaidah hukum terdiri atas suatu keseluruhan hierarkhi kaidah hukum khusus yang tertumpu kepada kaidah hukum umum, kaidah khusus yang lebih rendah diderivasi dari kaidah hukum umum yang lebih tinggi; (2) Keberlakuan faktual atau keberlakuan empiris kaidah hukum, yaitu keberlakuan secara faktual atau efektif, jika para warga masyarakat, untuk siapa kaidah hukum itu berlaku, mematuhi kaidah hukum tersebut. Keadaan ini dapat dinilai dari penelitian empiris; dan (3) Keberlakuan evaluatif kaidah hukum, yaitu jika kaidah hukum itu berdasarkan isinya dipandang bernilai. Dalam menentukan keadaan keberlakuan evaluatif, dapat didekati secara empiris dan cara keinsafan.49 Senada dengan Bruggink, Hans Kelsen melihat hukum “efektif” apabila keadaan orang berbuat sesuai dengan norma hukum yang mengharuskan mereka berbuat atau tidak berbuat, dengan kata lain norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi sesuai dengan perintah norma hukum. Lengkapnya dikatakan : “Efficacy of law means that man actually behave as, according to the legal norms, they ought to behave, that the norms are actually applied and obeyed, (Efektifnya hukum berarti bahwa orang benar-benar
48
Anton F. Susanto, Wajah Peradilan .....Op Cit, hlm. 60 Bruggink, 1996. Refleksi Tentang Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm. 149-152.
49
23
berbuat sesuai dengan norma-norma hukum sebagaimana mereka harus berbuat, bahwa norma-norma itu benar-benar diterapkan dan dipatuhi).50 Menurut Antony Allott suatu norma adalah efektif apabila terdapat kriteria: Pertama; jika tujuannya “preventil”, ukuran keberhasilannya ditentukan oleh eksistensi dan penerapan yang dapat dicegah sifat yang tidak disetujui; Kedua; bila tujuannya “kuratif”, yaitu untuk memperbaiki suatu kekurangan atau kerusakan, keberghasilannya diukur dari sejauh mana kekuarangan atau kerusakan dapat dihilangkan. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa hukum yang efektif pada umumnya harus melaksanakan tujuannya; bila terjadi kegagalan, harus ada cara yang mudah untuk memperbaikinya; bila diharuskan untuk menerapkan dalam suasana yang berbeda atau keadaan baru, hukum itu harus dapat menyesuaikan.51 Teori yang lain yang relevan dikemukakan disini adalah Teori Kekuatan Yuridis. Teori ini menyandarkan keberhasilan pelaksanaan pengawasan kepada ada atau tidaknya kekuatan yuridis. Efektivitasnya pengawasan digantungkan kepada sejauhmana produk hukum memiliki kekuatan yuridis dengan kata lain pelaksanaannya dapat dipaksakan. Instrumen paksaan merupakan karakteristik khusus penegakan hukum. Hans Kelsen berpendapat bahwa apabila dibandingkan dengan tata sosial lainnya, “hukum” memiliki karakteristik umum yang tidak dimiliki dan yang membedakannya dengan tata sosial lainnya seperti “moral” dan “agama” adalah sifat memaksa dari hukum. “Moralitas” membatasi dirinya kepada keharusan dan pelanggarnya akan mendapatkan celaan moral dari sesama anggota masyarakat. Sedangkan “agama” mengancam pelanggarnya dengan hukuman dari Tuhan dan tidak diorganisasikan oleh masyarakat. Sanksi yang diterapkan oleh norma keagamaan memiliki karakter transedental). Sedangkan bagi pelaku pelanggaran “norma hukum” dilaksanakan dengan tindakan paksaan yang diorganisir oleh masyarakat. Hukum sebagai teknik sosial yang bersifat 50
Hans Kelsen terkenal sebagai penggagas Teori jenjang norma hokum. Teori ini mendapat kritik dari berbagai ahli hokum, dan oleh banyak ahli, Kelsen dikelompokkan kedalam aliran hokum yang bersifat Possitivis, karena Kelsen ingin membersihkan ilmu hokum dari anasir-anasir non hokum, seperti sejarah, moral, sosiologi, politis dan sebagainya. Kelsen misalnya menolak dijadikan pembahasan dalam ilmu hokum. Bagi Kelsen keadilan adalah masalah ideology yang ideal rasional. Kelsen hanya ingin menerima hokum apa adanya, yaitu berupa peraturan-peraturan yang dibuat dan diakui oleh negara. Lihat Hans Kelsen, 1973. General Theory of Law and State, New York: Russel & Russel, hlm. 39. 51 Antony Allot, 1980, The Limits of Law, London : Butterworths & Co, hlm. 29.
24
memaksa dalam mencapai tujuannya mempunyai instrumen ancaman sanksi yang bersifat memaksa.52 Sementara teori tipe pengawasan melihat bahwa mempertahankan berarti menjaga agar pihak yang dituju oleh suatu kaidah sedapat mungkin memenuhinya. Untuk mencapai tujuan itu dikenal berbagai tipe mempertahankan hukum. Bentuk yang paling menonjol antara lain, Pertama; pengawasan dengan cara “mendesak dari atas” atau “membuat takut”. Kedua; pengawasan “membujuk” atau “melalui perundingan”. Etzioni sebagaimana yang diintrodusir Hertogh membedakan pengawasan menjadi “pengawasan memaksa” dan “pengawasan normatif”. Dalam tipe pertama, upaya mencapai pemenuhan tujuan dengan cara mengancam dengan sanksi.) Dunsire menyebutkan dengan pengawasan atas dasar paksaan. Kagan & Schoiz melihatnya sebagaimana pengawasan dengan penghukuman. Pengawasan model ini menekankan kepada penghukuman bagi yang tidak memenuhi aturan. Dengan penghukuman orang akan berpikir panjang sebelum melakukan pelanggaran. Dalam perkembangannya van den Heuvel menggunakan istilah “pengawasan represif” untuk mempertahankan hukuman model ini. 53 Otoritas artinya kekuasaan atau
gezag.
Kekuasaan ada karena orang
menciptakannya dan mengakui sebagai hukum atau karena nilai batinnya sendiri. Mengikatnya hukum atau ditaatinya hukum karena dibentuk oleh pejabat yang berwenang atau masyarakat mengakuinya karena dinilai sebagai hukum yang hidup di masyarakat. 54 Lili Rasjidi mengangkat teori yang mendasar otoritas atau mengikatnya hukum. (1) Teori teokrasi, teori ini berpendapat bahwa hukum ditetapkan oelh Tuhan, dan pemerintah-pemenrintah duniawi adalah utusan dari kehendak Tuhan. Oleh karena itu, sebagai makhluk harus taat kepada hukum Tuhan; (2) Teori kontrak sosial, peletak dasar teori ini adalah antara lain Thomas Hobbes, John Locke, Jean Jecques Rousseau dan Immanuel Kant. Teori ini berpendapat bahwa orang taat kepada hukum karena perjanjian bersama atau hasil konsensus segenap masyarakat; (3) Teori kedaulatan negara, teori ini pada intinya berpendapat bahwa orang wajib tunduk dan taat kepada hukum karena
Hans Kelsen, Op Cit, hlm. 20-21; Perhatikan juga Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa‟at, 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta : Konstitusi Press. 53 Lihat Irfan Fachrudin, 2004. Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung : Alumni, hlm, 190. 52
54
Ibid
25
hukum adalah kehendak negara. Hans Kelsem menyebutnya “wille des staates”. (4) Teori kedaulatan hukum, otoritas hukum diperoleh karena merupakan perumusan dari kesadaran hukum rakyat atau penjelmaan nilai batiniah masyarakat. Kesadaran hukum rakyat berpangkal kepada perasaan hukum setiap individu. Penganjur teori ini adalah Krabbe. 55 Faktor lain yang menentukan efektifitas pelaksanaan putusan dan rekomendasi pengawas adalah “publisitas” atau putusan atau rekomendasi mereka. Niemeijer & Timmer mengemukakan pentingnya publisitas sebagai pembentukan publik opinion atau opini publik). Ten Berge memandang publisitas sebagai pendukung keterbukaan.
55
Lili Rasjidi, 1993. Dasar-dasar Filsafat Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, hlm.85-89.
26
BAB IV LANDASAN KOMISI YUDISIAL DALAM MENJALANKAN KEWENANGAN MENGAWASI KEKUASAAN KEHAKIMAN 1. Kedudukan dan Fungsi Komisi Yudisial Dalam Sistem Ketatanegaraan 1.1. Dinamika Sistem Ketatanegaraan Indonesia Perubahan Hukum Tata Negara yang dilakukan oleh badan politik selama ini, ternyata dilakukan oleh partisipasi masyarakat. Perubahan terjadi dari desakan kelompok masyarakat yang tidak berada dalam struktur kekuasaan. 56 Belajar dari pengalaman perubahan Hukum Tata Negara yang terjadi selama ini, maka peran serta masyarakat (“inspraak”) menjadi sangat penting maknanya dalam proses pembaruan. 57 Undang-Undang Dasar 1945 tidak memuat secara rinci materi-materi yang secara substansial harus ada pada setiap Konstitusi yakni perlindungan HAM dan pembatasan kekuasaan bagi penyelenggara negara.58 Secara lebih rinci jika kajian atas isi UUD 1945 didekati dengan studi sociolegal tentang sejarah konstitusionalisme, HAM dan demokrasi, tampak bahwa UUD 1945 memang kurang memenuhi syarat sebagai aturan main politik yang (seharusnya) mewadahi konstitusionalisme. Menurut Soetandyo Wigjosoebroto59 paham konstitusional paling tidak terdiri dari dua hal: Pertama, konsepsi negara hukum yang menyatakan bahwa secara universal kewibawaan hukum haruslah mengatasi kekuasaan pemerintah (anatomi kekuasaan harus tunduk pada hukum), Kedua, konsepsi hak-hak sipil warga negara yang menggariskan adanya kebebasan warga negara di bawah jaminan konstitusi (jaminan dan perlindungan atas HAM). Perubahan atau mengubah Undang-Undang Dasar tidak hanya mengandung arti menambah, mengurangi atau mengubah kata-kata dan istilah maupun kalimat dalam
56
Suwoto Mulyosudarmo, Dinamika Hukum Tata Negara Di Era Pemerintahan Transisi, Pidato Pengukuhan Penerimaan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 3 Juli 1999, hal. 15. 57
Konijnenbelt, Willem, Hoofdlijen van Administratief Recht, Cet. II, Lemma B.V., Utrecht, 1990, hal. 129. 58
Moh. Mahfud MD., Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara, UII Press, Yogyakarta, hal. 62. 59
Soetandyo Wigjosoebroto, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Makalah Lokakarya oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional di Surabaya, 15-16 Oktober 1998, hal. 5.
27
Undang-Undang Dasar. Di samping itu juga berarti membuat isi ketentuan UndangUndang Dasar menjadi lain daripada semula melalui penafsiran. Pada sisi lain, UUD sebagai produk hukum (ein Rechtsverfassung), materi muatannya ditentukan oleh keadaan pada saat UUD tersebut dibuat dan ditetapkan. Hal ini sejalan dengan pandangan Strychen bahwa konstitusi merupakan hasil perjuangan politik bangsa pada masa lampau yang berisi pandangan-pandangan dan keinginankeinginan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan dalam kehidupan ketatanegaraan di masa kini dan mendatang.60 Kemudian oleh K.C. Wheare dinyatakan bahwa UUD tatkala dirancang dan ditetapkan cenderung untuk menggambarkan kepentingankepentingan dan keyakinan-keyakinan yang dominan saat itu dan merupakan ciri atau karakter masyarakat saat itu.61 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415) merupakan pelaksanaan dari Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 juncto Pasal 34 ayat (3) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Tujuan utama pembentukan UU No. 22 Tahun 2004 terdapat dalam bagian Konsideran Menimbang huruf b yang menyatakan bahwa “Komisi Yudisial melakukan pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim.” Sehubungan dengan penerapan prinsip checks and balances dalam mewujudkan hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung sebagaimana yang terdapat dalam Penjelasan Umum UU No. 22 Tahun 2004 alenia ke-tiga yang menyatakan: Pasal 24B ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 memberikan landasan hukum yang kuat bagi reformasi di bidang hukum, yakni dengan memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk mewujudkan checks and balances. Walaupun Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman.
60
Sri Soemantri M., Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Aksara Baru, Jakarta,
hal. 143. 61
Wheare, K.C., Modern Constitutions, Oxford University Press, London, hal 67.
28
Berkaitan dengan penerapan fungsi checks and balances dalam pola hubungan lingkup internal kekuasaan kehakiman, Bagir Manan mengemukakan bahwa: 62 Dari kedua wewenang sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, yakni “wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, secara substansif wewenang ini berkaitan dengan penegakkandisiplin dan etik dan Komisi Yudisial tidak memiliki wewenang melaksanakan sendiri putusannya, melainkan hanya mengajukan usul penjatuhan sanksi kepada pimpinan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mengingat wewenang ini berupa “usul”, maka makin memperkuat argumentasi bahwa Komisi Yudisial adalah hanya sebagai badan “advisory”. Hal ini semakin diperkuat dengan tata cara pemeriksaan yang menentukan: 1. Kewajiban menjaga kerahasiaan keterangan, dan 2. Pemeriksaan tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara (Pasal 22 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2004). Dalam memperjelas hubungan antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial, lebih lanjut Bagir Manan mengemukakan bahwa: 63 Dua wewenang yang diberikan UUD kepada Komisi Yudisial bukan wewenang ketatanegaraan karena tidak dalam kedudukan yang bertindak untuk dan atas nama negara. Selain tidak konstitutif, wewenang-wewenang tersebut tidak merupakan wewenang penunjang bagi alat perlengkapan negara yang lain (Mahkamah Agung, Presiden dan DPR). Karena bukan wewenang yang bersifat ketatanegaraan, maka Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidak termasuk alat perlengkapan negara. Hal ini sekaligus membedakan kedudukan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi di satu pihak dengan Komisi Yudisial di pihak lain. Atas dasar wewenang yang diberikan UUD, Komisi Yudisial secara fungsional adalah “auxiliary agency” atau “auxiliary agent” Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam menegakkan disiplin dan etika hakim. Dengan demikian, hubungan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi di satu pihak dengan Komisi Yudisial di pihak lain bukanlah termasuk dalam hubungan ketatanegaraan sehingga tidak bersifat staatsrechtlijk, melainkan sebagai hubungan atributif yang bersifat menunjang dan bersifat administrasi belaka”. Dengan merujuk pada pendapat tersebut di atas, maka penerapan prinsip “checks and balances” untuk mewujudkan hubungan antara Mahkamah Agung dengan Komisi Yudisial adalah kurang tepat, karena sebagai komisi negara, sifat tugas Komisi Yudisial
62
Bagir Manan, Hubungan Ketatanegaraan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi Dengan Komisi Yudisial (Suatu Pertanyaan), Majalah Hukum Varia Peradilan Tahun ke XXI No. 244, Maret 2006, IKAHI, hal. 10. 63
Ibid., hal. 10.
29
secara fungsional bukan sebagai pelaku kekuasaan kehakiman, namun hanya sebagai penunjang Mahkamah Agung dalam menegakkan disiplin dan etik hakim. Berkenaan dengan pengawasan terhadap perilaku hakim yang dilaksanakan oleh Komisi Yudisial, baik pada ketentuan Pasal 34 ayat (3) UU No, 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman juncto Pasal 13 huruf b UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial, tidak menjelaskan secara tegas dan limitative mengnai istilah “perilaku hakim”. Dalam hal ini ketentuan beberapa Pasal tersebut telah bertentangan dengan asas kepastian hukum karena pada pasal-pasal tersebut tidak terdapat batasan-batasan yang tegas dan tolak ukur yang jelas dalam menilai perilaku hakim yang diperbolehkan dan yang dilarang. Sehubungan dengan istilah “perilaku hakim”, Philipus M. Hadjon menyatakan bahwa:
64
Pengertian perilaku hakim (behavior) dapat diartikan sama dengan kepatutan perilaku hakim yang dalam hal ini tidak boleh dikaitkan dengan hakim dalam menjalankan fungsi yustisialnya. Kepatutan perilaku hakim sebagai pejabat penyelenggara negara dalam menjalankan tugasnya harus selalu didasarkna pada asas-asas umum penyelenggaraan negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Apabila dalam hal perilaku aparat tidak menjalankan fungsi sebagaimana mestinya, maka hal tersebut dapat dikatakan sebagai maladministrsi. Res judicata dapat dilakukan melalui dengan cara memeriksa suatu putusan mengenai legal reasoning putusan, bukan dikaitkan dengan memeriksa perilaku hakim pada saat membuat suatu putusan. Apabila kualitas putusan tersebut dinilai tidak atau kurang mencerminkan keadilan dan kepastian hukum, maka dalam hal ini berkaitan dengan mampu atau tidak mampu seorang hakim secara akademis dalam membuat suatu putusan. Sedangkan mengenai istilah “perilaku hakim”, Bagir Manan mengemukakan bahwa:65 Pada ketentuan Pasal 34 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004 dan Pasal 13 huruf (b) UU No. 22 Tahun 2004 bermaksud menegaskan ketentuan UUD, Pasal 24B yaitu mengenai “wewenang lain” Komisi Yudisial yaitu “dalam rangka menjaga dan
64
Philipus M. Hadjon, Penataan Kembali Hubungan dan Kewenangan Pengawasan Komisi YudisialDidasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006, Makalah yang Disampaikan Pada Dialog Nasional Hukum dan Non Hukum: “Penataan State Auxiliary Bodies Dalam Sistem Ketatanegaraan”, Diselenggarakan Oleh Departemen Hukum dan HAM RI-Badan Pembinaan Hukum Nasional Bekerjasama dengan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, 26-29 Juni 2007. 65
Bagir Manan, Op cit, hal.12.
30
menegakkan kehormatan, kluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Berdasarkan Pasal 34 ayat (3) UU No. 4 Tahun 2004, maka wewenang lain tersebut (hanya) mengenai pengawasan, dan hanya berlaku untuk Hakim Agung dan Hakim. Halhal yang menyangkut kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku harus diartikan sebagai perbuatan-perbuatan yang tidak termasuk dalam perbuatan mengadili atau yang lazim disebut dengan “teknis yustisial”. Dengan bahasa sehari-hari, yang diawasi oleh Komisi Yudisial adalah perbuatan atau tingkah laku yang berkaitan dengan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Dengan terbitnya UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang mencabut keberadaan UU No, 4 Tahun 2004
Kekuasaan Kehakiman, pengawasan
eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial terhadap hakim dituangkan dalam ketentuan Pasal 40 UU No. 48 Tahun 2009 sebagai berikut: (1) Dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim dilakukan pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial. (2) Dalam melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Selanjutnya dalam Pasal 41 UU No. 48 Tahun 2009 dinyatakan bahwa: (1) Dalam melaksanakan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40, Komisi Yudisial dan/atau Mahkamah Agung wajib: a. menaati norma dan peraturan perundang-undangan; b. berpedoman pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim; dan c. menjaga kerahasiaan keterangan atau informasi yang diperoleh. (2) Pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. (3) Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b ditetapkan oleh Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. (4) Ketentuan mengenai pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 40 diatur dalam undang-undang. Berdasarkan ketentuan Pasal 41 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jelaslah bahwa “perilaku hakim” sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 13 huruf b UU No. 22 Tahun 2004 tidak dikaitkan dengan tugas hakim dalam pembuatan putusan. Pelaksanaan fungsi pengawasan perilaku hakim yang dijalankan oleh Komisi Yudisial tidak boleh dikaitkan dengan tugas hakim dalam menjalankan fungsi yustisialnya, yakni dalam memeriksa dan memutus perkara. Dengan demikian
31
pelaksanaan pengawasan yang menyangkut tentang kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim haruslah didasarkan pada tolah ukur yang jelas sehingga tidak melanggar asas kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagaimana secara jelas dan tegas diatur dalam konstitusi, yakni Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
1.2. Kedudukan Komisi Yudisial Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang keberadaannya bersifat konstitusional. Hal ini sebagaimana ketentuan Pasal 24B UUD 1945, bahwa: “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”. Selanjutnya mengenai wewenang dan tugas dari Komisi Yudisial dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 yang diimplementasikan dalam Pasal 13 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Kewenangan mengusulkan pengangkatan hakim agung sebagaimana diatur Pasal 13 huruf a dijabarkan dalam Pasal 14 Ayat (1) UU No. 22 Tahun 2004 sebagai berikut : a. melakukan pendaftaran calon hakim agung; b. melakukan seleksi terhadap calon hakim agung; c. menetapkan calon hakim agung; d. mengajukan calon hakim agung ke DPR. Sedangkan kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 13 huruf b dijabarkan dalam Pasal 20 dan Pasal 22 Ayat (1) UU No. 22 Tahun 2004 sebagai berikut: a. menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim; b. meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim; c. melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim; d. memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim dan membuat laporannya yang berupa rekomendasi dan disampaikan kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi.
32
Dari beberapa ketentuan di atas, maka jelaslah bahwa kedudukan, wewenang dan tugas Komisi Yudisial sebagai lembaga negara yang mandiri, yang mana salah satu kewenangannya adalah melakukan fungsi pengawasan secara eksternal terhadap hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dan hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945 dan UU No. 22 Tahun 2004. Sistem ketatanegaraan Indonesia setelah perubahan keempat UUD 1945 itu telah mengalami perubahan-perubahan yang sangat mendasar. Perubahan-perubahan itu juga mempengaruhi struktur dan mekanisme struktural organ-organ negara Republik Indonesia. Kajian filosofisnya adalah bagaimana sebenarnya pokok-pokok pikiran baru yang diadopsi ke dalam kerangka UUD 1945.66
1.3. Keberadaan Komisi Yudisial Dalam Kelembagaan Negara Pengkajian terhadap organisasi dan kelembagaan negara dapat dimulai dengan mempersoalkan hakekat kekuasaan yang melembagakan atau diorganisasikan ke dalam bangunan kenegaraan. Bagaimanakah prinsip kedaulatan rakyat selain diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan, juga tercermin dalam struktur dan mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, bagaimana prinsip kedaulatan rakyat diorganisasikan melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution atau division of power). Selanjutnya bagaimanakah pemisahan kekuasaan yang bersifat horisontal dalam arti kekuasaan di pisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi tersebut dapat terpola ke dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (check and balances). Memang dalam paham
66
Empat diantaranya adalah (a) penegasan dianutnya cita demokrasi dan nomokrasi secara sekaligus dan saling melengkapi secara komplamenter; (b) pemisahan kekuasaan dan prinsip‟chechs and balances‟ (c) pemurnian sistem pemerintah presidensiel; dan (d) penguatan cita persatuan dan keragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia ; Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD 1945, Disampaikan dalam symposium nasional yang di lakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departeman Kehakiman dan HAM, Denpasar 14 – 18 Juli 2003, hlm. 1-2.
33
pemisahan kekuasaan, prinsip hubungan check and balances antara poros-poros kekuasaan sebagai sesuatu yang mendasar dan utama. Berpijak pada konstitusionalisme, prinsip pemisahan kekuasaan di maksudkan untuk membatasi kekuasaan negara sehingga diharapkan dapat menghindari terjadinya dominasi satu cabang kekuasaan atas kekuasaan yang lain, yang implikasinya memunculkan penindasan dan tindakan sewenang-wenang oleh penguasa. Pengaturan dan pembatasan kekuasaan menjadi ciri konstitusi, sehingga kemungkinan kesewenangwenangan kekuasaan dapat di kendalikan dan diminimalkan. Disisi lain hubungan kelembagaan yang saling mengontrol dan mengimbangi, membuka ruang bagi munculnya sengketa antar lembaga negara khususnya sengketa kewenangan konstitusional. Pendekatan kelembagaan tidak lagi hierarki struktural. melainkan fungsional, artinya lembaga negara dibedakan secara fungsi. Untuk itu, bagaimana konsepsi dan paradigma
yang digunakan untuk memahami lembaga negara. Misalnya bagaimana
memahami pengertian lembaga negara dalam dalam konteks sebagai alat perlengkapan negara, selanjutnya juga bagaimana memaknai eksistensi lembaga negara yang sesungguhnya dalam konteks bernegara. Masalahnya adalah keberadaan lembaga-lembaga negara yang dibentuk dan diadakan masih belum diletakkan dalam konsepsi ketatanegaraan yang lebih jelas menjamin keberadaan dan akuntabilitas mereka. Perubahan UUD 1945, sekalipun telah mengubah desain kelembagaan negara, belum mengakomodasi perkembangan pesat keberadaan komisi-komisi negara. Padahal, beberapa lembaga dan komisi negara yang dibentuk ketentuan UUD seringkali disebut juga lembaga negara.67 Untuk itu sebagai bagian dari rangkaian proses reformasi, penataan sistem kelembagaan negara pun harus di lakukan. Ketidakjelasan tersebut dapat mempengaruhi proses penataan
kelembagaan
negara dan penyelenggaraan pemerintah secara demokratis. Untuk itu dalam konteks keberadaan komisi-komisi negara ini di Indonesia dewasa ini yang salah satunya adalah
67
Pasal 3 UU No. 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), misalnya, menyebutkan Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun. Demikian juga, pasal 4 (2) UU no. 23/1999 tentang Bank Indonesia menegaskan bank tersebut sebagai lemabaga Negara yang independent bebas mandiri dari ikut campur tangan pemerintah atau pihak-pihak lainnya.
34
Komisi Yudisial, betapapun juga, perlu didudukkan pengaturannya dalam kerangka sistem ketatanegaraan Republik Indonesia, dan sekaligus dalam rangka pengembangan sistem hukum nasional yang lebih menjamin keadilan dan demokrasi di masa yang akan datang. Untuk memahami Komisi Yudisial sebagai salah satu lembaga negara yang meliputi definisi, konsep dan pelembagaannya, harus berpijak pada paradigma baru sistem ketatanegaraan yang telah diwujudkan dalam perubahan UUD 1945 sebagai manifestasi dari kehendak rakyat dan cita- cita demokrasi. Akhirnya dalam perspektif bernegara, pembentukan Komisi Yudisial tersebut harus mempunyai landasan pijak yang kuat dan paradigma jelas sehingga keberadaannya membawa kemanfaatan bagi kepentingan publik dan bagi penataan sistem ketatanegaraan Indonesia pada khususnya. Komisi Yudisial adalah salah satu dari komisi-komisi negara yakni lembaga, badan atau organ negara dan/atau pemerintah yang secara konvensional tidak termasuk organ yang melaksanakan fungsi utama (main function) dalam sistem ketatanegaraan. Komisi-komisi negara termasuk Komisi Yudisial merupakan organ negara yang melaksanakan fungsi pendukung (supporting function) dari pelaksanaan fungsi-fungsi ketatanegaraan. Kualifikasi Komisi Yudisial maksudnya kualifikasi sebagai lembaga negara berdasarkan pengertian, definisi lembaga negara yang merupakan objek kajian utama penelitian ini. Kualifikasi Komisi Yudisial sebagai lembaga negara ini dikaji dari sumber kewenangan dan dari segi wewenang, fungsi dan tugas kelembagaan negara. Artinya dalam penelitian ini kualifikasi Komisi Yudisial berdasarkan sumber kewenangan konstitusional yang mengacu secara teoritis pada „taat asas‟ dan secara normatif mengacu pada hierarki peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan kualifikasi Komisi Yudisial berdasarkan fungsi, tugas, dan wewenang mengacu pada apakah „ bertindak untuk dan atas nama negara‟. Pelembagaan
Komisi
Yudisial
adalah
perbuatan
melembagakan
atau
mengorganisasikan68 Komisi Yudisial yang menyangkut susunan dan kedudukannya dan menyangkut fungsi, tugas, kewajiban dan wewenangnya. Pengertian ini disarikan dari pengertian „lembaga‟ , „melembagakan‟, „pelembagaan‟ dalam Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I, Ed.III, Jakarta: Balai Pustaka, 2001, halm. 112. 68
35
Sedangkan terminologi „sistem ketatanegaraan Indonesia‟ menunjuk pada sistem ketatanegaraan yang berlaku di Indonesia‟. 69 Istilah sistem ketatanegaraan di pergunakan sebagai padanan untuk istilah konstitusional (constitutional system) yang lazim di pakai dalam berbagai literatur hukum konstitusi. Penggunaan istilah ini merupakan bentuk penyesuaian dengan peristilahan hukum tata negara yang merupakan terjemahan dari istilah constitutional law dalam berbagai literatur barbahasa inggris. Hal ini sesuai dengan pendapat Phillips dan Jackson yang melihat konstitusi sebagai suatu “sistem”. Menurut kedua penulis tersebut :70 The constitution of a state in abstract sense is the system of laws, customs, and conventions which define the composition and power of organs of the state and regulate the relation of the various state organs to one another and private citizens. Dapat disimpulkan bahwa suatu konstitusi suatu negara merupakan sebuah sistem hukum, tradisi, dan konvensi, yang kemudian membentuk suatu sistem konstitusi atau ketatanegaraan pada suatu negara.71 Unsur-unsur mengenai sistem, yaitu (i) himpunan bagian-bagian (set of elements or part); (ii) bagian-bagian itu saling terkait (interrelated parts); (iii) masing-masing bagian bekerja secara mandiri dan bersama-sama, satu sama lain saling mendukung (working independently and jointly); (iv) semuanya ditujukan pada pencapaian tujuan
69
I Gede Pantja Astawa, Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945, Disertasi Universitas Padjadjaran, Bandung, 2000, hlm.2-3. Bandingkan dengan Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hlm.2-3. 70
Phillips O Hood and Paul Jackson, Contitutional and Administrative Law. London: Sweet Maxwell, 1987, hlm.5. 71
Bandingkan juga dengan konsep sistem ketatanegaraan menurut Jazim Hamidi : Sistem ketatanegaraan adalah suatu sistem yang terdiri dari beberapa sub-sistem: sub-sistem pertama mencakup organisasi negara, badan atau lembaga negara (termasuk di dalamnya mengenai hubungan antara lembaga negara, cara pengisian jabatan, dan pembagian kewenangannya) serta hubungan antar negara dengan warga negara. Sub-sistem yang lain menunjukak pada sistem penormaan yang berlaku (termasuk di dalamnya berkenaan dengan hierarki atas norma–norma itu. Antara sub-sistem yang satu dengan yang lain saling terkait dan mendinamisasikannya, sehingga terwujud suatu bangunan atau sistem yang disebut sistem ketatanegaraan Republik Indonesia ; Jazim Hamidi, Makna Dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Disertasi program pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, 2005, halm. 10-11.
36
bersama atau tujuan sistem itu (in pursuit of common objectives of the whole); (v) terjadi di dalam lingkungan yang rumit atau kompleks (within a complex environments).72 Berkaitan dengan eksistensi komisi-komisi negara yang berkorelasi dengan kewenangan organ negara, maka konsepsi tentang sistem hukum menjadi sangat penting dari perspektif konstitusi. Sistem hukum yang di maksud dalam penelitian ini adalah sistem hukum sebagai sebuah kesatuan hierarkis asas-asas, norma-norma, aturan-aturan, dan tradisi-tradisi hukum yang bersifat mengacu pada dirinya sendiri ( self-referrential), bersifat tertutup, koheren dan logis dengan UUD sebagai aturan dasar tertinggi. 73
2. Komisi Yudisial Sebagai Pengawas Eksternal Kekuasaan Kehakiman 2.1. Independensi Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan peradilan merupakan pilar ketiga dalam sistem kekuasaan negara modern. Salah satu ciri yang dianggap cukup penting dalam setiap negara hukum yang demokrasi adalah adanya kekuasaa kehakiman yang independen dan tidak berpihak. Pemahaman atas peradilan yang merderka tidak terlepas dari teori pemisahan kekuasaan yang dikemukakan oleh john locke dan motesqueu.Tujuan dan perlunya pemisahan kekuasaan , untuk menjamin adanya kebebasan politik warga negara 74. Kekuasaan kehakiman atau peradillan dalam sebuah negara hukum yang demokratis haruslah mandiri dan terlepas dari campur tangan apapun dari manapun datangnya .Bagir Manan menyebutkan bahwa ada beberapa alasan kekuasaan kehakiman harus mandiri, antara lain: (1) kekusaan kehakiman yang mandiri merupakan sendi bagi kehidupan demokrasi dan terjaminnya perlindungan dan penghormatan atas hak asasi manusia;(2) kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan sendi tegaknya paham negara berdasarkan konstitusi yang menghendaki agar kekuasaan negara dibatasi ; (3) kekuasaan 72
William A Shode dan Jr. Dan Voich, 1974, Organization ans Management: basic Syistem Conceps, Malaisya : Irwin Book Co, Dalam : Tantang M. Amirin, pokok – pokok Teori Sistem, Jakarta: Grafindo persada, 2001, hlm. 4-8. 73 Lord Liyod of Hamstead and M.D.A.Freeman, Liyod‟s Introduction to jurisprudence, stevens & sons, London, 1985, him. 409-412; Donald E. Litowitz, PhostmodernPhilosophy and Law, Kansas, 1997, hlm.22; Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel and Russel, New York, 1997, hlm.110-115; Lihat uraian yang lebih menyeluruh dan luas dalam Joseph Raz, The Concept of a Legal Syistem, Oxflord University Press, Oxford, 1970. 74
Faisal A. Rani , 2002. Fungsi dan Kedudukan MA sebagai Penyelegara Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka sesuai dengan Paham Negara Hukum, Disertai Unpad Bandung , hlm. 75.
37
kehakiman yang mandiri diperlukan untuk menjamin netralitas terutama apabila sengketa terjadi antara warga negara dengan degara/pemerintah; (4) penyelesaian sengketa hukum oleh kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan dasar bagi berfungsi sistem hukum dengan baik75. Montesquieu menekankan pentingnya kemandirian kekuasaan yudikatif , karena kekuasaan kehakiman yang independen akan menjamin kebebasan individu dan hak asasi manusia . prinsip persamaan dimuka hu8kum merupakan elemen yang penting dalam konsep rule of law . Mengenai perlunya pemisahan kekuasaan ke hakiman dipisahkn dari cabangcabang kekuasaan negara lainnya. Montesquieu mengemukakan :76 Kebebasan pun tidak ada jika kekuasaan kehakiman tidak dipisahkan dari Kekuasaan legislatif dan kekuasaan ekskutif . Jika kekuasaan kehakiman disatukan dengan kekuasaan legislatif , maka kekuasaan atas kehidupan dan kebebasan warga negara akan di jalankan sewenang-wenang karena hakim akan menjadi pembuat hukum . jika kekuasaan kehakiman disatukan dengan kekuasaan ekskutif, maka hakim bisa menjadi penindas Aldrich membagi makna kemerdekaan peradilan dalam dua pengertian, yaitu ; Kemerdekaan personal (personal independent) dan kemerdekaan substantif (substantive independent). Kebebasaan personal berarti mencangkup, yaitu ; 77 a. Penghasilan atau gaji yang cukup b. Masa jabatan yang ditetapkan dengan undang-undang; c. Kebal terhadap tuntutan perdata d. Kebal terhadap kesaksian tentang akibat dari keputusn e. Kontrol pengadilan atas pemecatan (perpindahan dan disiplin para hakim sedangkan kemerdekaan subtantif berarti, yaitu; a. Seorang hakim hanya di hadapkan kepada hukum, konstitusi,pertimbangan berdasarkan akal sehat dan; b. Promosi hakim harus di dasarknan atas mutu kinerja Bagir Manan, 2002, “Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan bertangung jawab” dalam Tim Lelp,2002. Andai saya terpilih:Janji-Janji Calon Ketua dan Wakil Ketua MA, Jakarta ;Lelp,hlm 13-24 75
76
Peryataan ini di kutip oleh Andi M.Asrun ,selanjutnya lihat andiM. Asrun ,Krisis ....op Cit hal 32 77
Pendapat Aldrich dikutip oleh faisal A. Rani Fungsi ....o Cit hlm 79
38
Bagi jimly Asshiddiqie78 dalam kegiatan bernegara kedudukan hakim pada pokoknya bersifat sangat khusus .Dalam hubungan kepentingan yang bersifst trisdik antara negara (state),pasar (market) ,dan masyarakat madani(cifil socienty),kedudukan hakim haruslah berada di tengah .Demikian pula dalam hubungan antara negara dan warga negara,hakim harus berada di antaranya secara seimbang. Jika negara di rugikan oleh warga negara, karena warga melanggar hukum negara ,maka hakim harus memutuskan hal itu dngan adil .jika negara dirugikan oleh keputusan- keputsan negara ,baik melalui perkara tata usaha negara maupun perkara yang merupakan pengujian peraturan hakim juga memutus dengan adil,begitu juga dalam perkara antar warga negara maupun dengan lembaga dalam soal keperdataan hakim juga harus memutus dengan seadil- adilnya pula.Sehingga hakim dan kekuasaan yang terdiri. Independensi lembaga tidak lain adalah kebebasan dan kemandirian lembaga peradilan dalam menjalan kan fungsin dan peranannya.kebebasan yang demikian ini menurut Oemar SenoAdji adalah bersifat Zalekeijk fungtional. Sedangkan yang .di mksud dengan kebebasan fungsional menurut Oemar Seno Adji adalah : 79 “Kebebasan fungsional seperti diketahui ,mengandung larangan (verbod) menurut hukum tata negara bagi kekuasaan negara lainya untuk mengadakan intervensi dalam pemeriksaan perkara-perkara oleh hakim, dalam oordervormig meerekka dalam menjatuhkan putusan. Dalam perundang-undangan indonesia ia mengalami ekstensi pengertian ,dengan menyatakan bahwa ia tidak terbatas pada kebebasan campur tangan dari pihak kekuasaan negara lainnya melainkan kebebasan dari peksaan .derektiva atau rekomendasi dari pihak ekstrayudisial ,” Senada dengan pendapat tersebut di atas sudikno merto kusumo juga memberikan makna ter sendiri tentang independensi lembaga peradilan yakni : 80 “Kemandirian kekuasaan kehakiman atau kebebasan hakim merupakan asas yang sifatnya universal, yang terdapat dimana saja dan kapan saja. Asas ini berarti bahwa dalam melaksanakan perdilan, hakim itu pada dasarnya bebas, yaitu bebas dalam / untuk memeriksa dan mengadili, hakim bebas untuk menentukan sendiri cara-cara memeriksa dan mengadili perkara dan bebas dari campur tangan atau turun tangan kekuasaan ekstrayudisial. Jadi pada dasarnya dalam/untuk memeriksa dan mengadili. Kecuali ini 78
Jimly Asshiddiqie,2006. Pengantar Ilmu hukum Tata Negara, Jakarta; Konstitusi
Press,hlm. 79
Oemar Seno Adji,1985.Peradilan Bebas Negara hukum ,Jakarta Erlagga,hlm 253.
Sudikno Mertokusumo. 1997. ”Sistem Peradilan di Indonesia”, artikel dala Jurnal Hukum Ius Qula Iustum Nomor 9 Volume 6 diterbitkan Fak. Hukum UII Yogyakarta, hlm I 80
39
pada dasarnya tidak ada pihak-pihak, baik atasan hakim yang bersangkutan maupun pihak ekstrayudisial yang boleh mencampuri jalannya sidang pengadilan”. Keberadaan kekuasaan kehakiman yang mandiri telah dijustifikasi oleh ketentuanketentuan baik dalam jangkauan yang bersifat internasional. Tidak bisa dibantah lagi gagasan kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan gagasan yang telah diakui secara global dan universal sebagai bagian dari HAM. Pengingkaran terhadap gagasan kekuasaan kehakiman yang mendiri sama saja dengan pengingkaran nilai-nilai HAM. Ada beberapa instrumen hukum internasional yang menyebutkan tentang pentingnya inpendensi kekuasaan kehakiman, instrumen-instrumen tersebut antara lain : (1) ubiversal Declaration of Human Right; (2) International Covenant On Civil and Political Right (ICCPR); (3) Vienna Declaration and Programme for Action 1993; (4) International Bar Association Code of Minimum Standarts of Judicial Independence, New Delhi 1982; (5) Ubiversal Declaration on the Independence of Justice, Montreal 1983; dan (6) Beijing Statement of Principles of the Independence of Judiciary in the Law Asia Region, 1995.81 Selain itu juga beberapa instrumen bersifat non-goverment yang mengemukakan tentang kemerdekaan dan integritas kekuasaan kehakiman di tingkat internasional dan regional, antara lain : (1) Syracuse Principle, 1981; (2) New Delhi Standards, 1982; (3) Montreal Universal Declaration the Independence of Justice, 1983; (3) Universal Charter of the Judge, 1999; (4) Tokyo Principles, 1982; (5) Beijing Principles, 1995; (6) Judges Charter in Europe, 1993; (7) Caracas Declaration, 1998 dan ; (8) Beirut Declaration, 1999. Pasal 10 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM) menegaskan bahwa “Setiap orang berhak dalam persamaan, yang sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan terhadapnya”. International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) article 14 menyatakan bahwa “setiap orang berhak atas pengadilan formal yang kompeten,
81
Tim KRHN dan LeIP, 1999. Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: LeIP, hlm. 3; perhatikan juga Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen (penyunting), 2006. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, Jakarta : diterbitkan atas kerjasama YOI, YLBHI dan KKAA
40
independen dan tidak memihak”. Sementara Vienna Declaration and Programme for Action 1993, paragrap 27 menyatakan bahwa salah satu hal penting dalam mewujudkan hak-hak asasi manusia dan sangat diperlukan dalam proses demokratisasi serta pembangunan berkelanjutan adalah adanya hakim dan profesi hukum yang independen dan sesuai dengan standar yang ada dalam instrumen internasional hak asasi manusia. Selanjutnya PBB melalui Kongres Ketujuh tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku Kejahatan, yang diselenggarakan di Milan dari tanggal 26 Agustus sampai dengan 6 September 1985 dan disahkan dengan Resolusi Majelis Umum tanggal 13 Desember 1958 telah menggariskan Prinsip-Prinsip Dasar Tentang Kemandirian Kehakiman / Peradilan sebagai berikut :82 1. Kemandirian Peradilan harus dijamin oleh negara dan diabadikan dalam konstitusi atau undang-undang negara. Adalah merupakan kewajiban semua lembaga pemerintah atau lembaga-lembaga yang lain untuk menghormati dan mentaati kemandirian peradilan. 2. Peradilan harus memutus perkara-perkara yang diajukan kepadanya secara dil, atas dasar fakta-fakta dans esuai dengan undang-undang, tanpa pembatasan apapun, pengaruh-pengaruh yang tidak tepat, bujukan-bujukan langsung atau tidak langsung, dari arah manapun atau alasan apapun. 3. Peradilan harus memiliki yuridiksi atas semua pokok masalah yang diajukan untuk memperoleh keputusannya adalah berada dalam kewenangannya seperti yang ditentukan oleh hukum. 4. Tidak boleh ada campur tangan apapun yang tidak pantas atau tidak diperlukan terhadap proses peradilan, juga tidak boleh ada keputusankeputusan yudisial oleh peradilan banding atau pada pelonggaran atau keringanan oleh para penguasa yang berwenang terhadap hukuman-hukuman yang dikenakan oleh peradilan sesuai dengan Undang-undang. 5. Setiap orang berhak diadili oleh peradilan atau tribunal biasa, yang menggunakan prosedur-prosedur proses hukum sebagaimana mestinya tidak boleh diciptakan untuk menggantikan yuridiksi milik peradilan biasa atau tribunal yudisial. 82
Ifdhal Kasim (Editor). 2000. Dimensi-Dimensi HAM Pada Administrasi Keadilan, Jakarta: Elsam, hlm. 51-52
41
6. Prinsip kemandirian peradilan berhak dan mewajibkan peradilan untuk menjamin bahwa hukum acara peradilan dilakukan dengan adil dan bahwa hak-hak pihak dihormati. 7. Adalah kewajiban setiap negara anggota untuk menyediakan sumber-sumber yang memadai guna memungkinkan peradilan melaksanakan fungsi-fungsinya dengan tepat.
Selanjutnya International Bar Association pada bulan Agustus 1980, dalam pertemuan ke-18 di Berlin, para anggota IBA setuju untuk membuat suatu proyek untuk mengembangkan suatu Code of Minimum Standarts of Judicial Independence. Proyek ini dipimpin oleh Justice D. K. Haese dari Australia. Proyek ini melakukan berbagai pendapat dari ahli hukum di lebih dari 30 negara yang mewakili berbagai induk sistem hukum dunia. Akhirnya setelah 2 (dua) tahun bekerja, pernyataan tersebut diterima oleh para anggota lembaga tersebut dalam 19th Biennial Conference of the International Bar Association yang dilaksanakan di New Delhi pada 22 Oktober 1982. dokumen standar yang dikemukakan oleh International Bar Association tersebut masih sangat sederhana. Tetapi telah mengemukakan pengertian independensi sebagaimana pada pasal 1 dan pasal 46, sebagai berikut : “Pasal 1 a) Individual judges should enjoy personal independence and substantive independence. (Hakim secara individual harus menikmati independensi personal dan independensi substantif) b) Personal independence means that the terms and conditions of judicial service are edequately secured so as to ensure that individual judges are not subject to execetive control. [Independensi personal berarti bahwa syarat dan kondisi dari pelayanan peradilan memperoleh jaminan yang seimbang untuk menjamin agar hakim secara individual tidak berada dibawah konstrol eksekutif] c) Substantive independence means that in the discharge of his/her judicial function a judge is subject to nothing but the law and the commands of his/her conscience. [independensi substantif berarti
42
dalam menjalankan fungsi yudisialnya sebagai hakim, seorang hanya tunduk pada hukum dan hati nuraninya] 2. The Judiciary as a whole should enjoy autonomy and collective independence vi-a-vis the Executive. [Lembaga peradilans ecara keseluruhan harus menikmati otonomi dan independensi kolektif terhadap eksekutif]
Pasal 46. In the decision-making process, a judge must be independent vis-a-vis his judicial colleagues and supports.” [dalam proses pengambilan keputusan, seorang hakim harus independensi terhadap koleganya sesama hakim dan para pendukungnya]83 Apabila diperhatikan dengans eksama, maka New Delhi Standards ini lebih banyak membicarakan tentang hubungan dan kedudukan lembaga-lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif dalam menjalankan tugas masing-maisng. Pokok perhatian juga mulai diarahkan kepada batas-batas kontrol eksekutif terhadap hakim, administrasi peradilan, dan keuangan. Hal ini jelas dari susunan New Delhi Standarts yang terdiri atas 46 (empat puluh enam) pasal Dalam 7 (tujuh) Bab, yaitu: 1. Hakim dan Eksekutif [Judges and the Executive] 2. Hakim dan Legislatif [Judges and the Legislature] 3. Syarat-syarat dan Pengangkatan Hakim [Terms and Nature of Hudicial Appointments] 4. Media massa, kekuasaan kehakiman dan peradilan [The Press, the Judiciary and the Courts] 5. Kode Etik Profesi [Standards of Conduct] 6. Menjamin imparsialitas dan independensi [Securing Impartiality and Independence] 7. Independensi internal kekuasaan kehakiman [The Internal Independence of the Judiciary]
83
Ibid, hlm. 189; Lihat Juga Adnan Buyung Nasution dkk, 1999. Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: KRHN dan LeIP
43
Pada tanggal 17-18 July 1982, the LAWASIA84 Human Right Standing Committee bertemu di Tokyo, Jepang, untuk mendiskusikan aplikasi dari prinsip independensi kekuasaan kehakiman dalam konteks sejarah dan budaya negara-negara Asia. Pertemuan tersebut bersifat tertutup dan dihadiri oleh Ketua Mahkamah Agung dari India, Filipina, Sri Lanka, Thailand, Jepang dan beberapa hakim agung dan akademisi dari Universitas Tokyo. Dalam Tokyo Principles tidak dikemukakan secara jelas tentang makna atau pengertian dari independensi kekuasaan kehakiman, kecuali dalam Pasal 6 disebutkan : “it is fundamental to the preservation of the independence of the judiciary that it be freed from threats and pressures from any qurter” [adalah sangat mendasar untuk melindungi independensi kekuasaan kehakiman agar bebas dari ancaman dan tekanan dari manapun juga. Titik fokus Tokyo Principles diutamakan kepada tujuan independensi kekuasaan kehakiman, seperti tercantum dalam Pasal 2 Tokyo Principles. 85 Fungsi dan tujuan dari kekuasaan kehakiman, menurut Tokyo Principles adalah (a) untuk menjammin agar setiap orang dapat hidup aman dibawah hukum, (b) mempromosikan, dalam batas-batas fungsi yudisial, suatu perlindungan hak asasi manusia dalam masyarakatnya; dan (c) untuk menjalankan hukum secara imparsial antara warga negara dengan warga negara dan antara warga negara dengan negara. Dalam babakan selanjutnya, organisasi non-pemerintah, khususnya International Association of Judges, pada tanggal 17 November 1999 mengeluarkan suatu deklarasi yang disebut sebagai “Universal Charter of the Judge”. Deklarasi ini sebetulnya tidaklah membicarakan tentang independensi kekuasaan kehakiman secara umum atau kelembagaan, tetapi dalam konteks tugas, peran dan jabatan seorang hakim.
84
LAWASIA adalah organisasi profesi yang beranggotakan berbagai asosiasi profesiprofesi hokum, advokat individu, firma hokum di kawasan Asia Pasific. Organisasi ini bersifat terbuka dan memberikan kesempatan kepada ahli hokum untuk saling bertukar ide dan informasi dalam berbagai masalah di wilayah Asia Pasifik dan untuk menetapkan suatu network hubungan kerja yang dinamis dikawasan Asia Pasifik. LAWASIA juga mempromosikan pelaksanaan rule of law dalam bidang politik, social, budaya dan ekonomi. Lihat Beijing Statement of Principle of The Independence of the Judiciary in the LAWASIA Region, 1997, hlm. 10. Pasal 2 Tokyo Principle “The Maintenance of the independence of the judiciary is essential to the attainment of its objective and the profer performance of its high function (mempertahankan independensi kekuasaan kehakiman adalah penting untuk mencapai tujuannya dan pendayagunaan fungsinya yang tertinggi). 85
44
Pada Pasal 1 Universal Charter of the Judge, membicarakan tentang pengertian independensi dari sudut pandang hakim, yaitu : “Judge Shall in all their work ensure the right everyone to a fair trial. They shall promote the right of individuals to a fair and public hearing within a reasonable time by an independent and impartial tribunal astablished by law, in the determination of their civil right and obligations or of any criminal charge against them. The independence of the judge is indespensable to impartial justice under the law. It is indivisible. All isntitution and authorities, whether national or international, must respect, protect and defend that independence” [Hakim harus dalam segala tugasnya menjamin hak-hak setiap orang untuk memperoleh peradilan yanga dil. Mereka harus mempromosikan hak-hak individu atas suatu peradilan yang adil dan terbuka dalam waktu yang cukup melalui suatu pengadilan yang independen dan tidak memihak yang dibentuk menurut hukum, dalam menentukan hak-hak sipil atau kewajiban atau dalam setiap tuntutan pidana terhadap individu tersebut. Independensi hakim tidak dapat diabaikan untuk keadilan yang tidak memihak dibawah hukum. Hal tersebut tidak dapat diabaikan. Semua institusi dan kekuasaan, baik nasional maupun internasional, harus menghormati,melindungi dan membela independensi tersebut] 86 Dalam forum international judicial conference di Bangalore, India tahun 2001 telah berhasil disepakati draft kode etik dan perilaku hakim se-dunia yang kemudian disebut The Bangalore Draft. Setelah mengalami refisi dan penyempurnaan berkali-kali, draft ini akhirnya diterima luas oleh berbagai kalangan hakim didunia sebagai pedoman bersama dengan sebutan resmi The Bangalore Principle of Judicial Conduct. Terdapat 6 (enam) prinsip penting yang harus dijadikan pegangan bagi para hakim didunia sebagaimana tercantum dalam The Bangalore Principle, yakni :87 1. Independensi (Independence Principle) Independensi hakim merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan, dan prasyarat bagi terwujudnya cita-cita negara hukum. 2. Ketidakberpihakan (Impartiality Principle) Ketidak berpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap setiap perkara yang diajukan kepadanya. 3. Integritas (Integrity Principle) 86
J. Djohansah, Op. Cit, hlm. 200.
87
Dalam Jimly Asshiddiqie, 2006. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta : Konstitusi Press, hlm. 53-56.
45
Integritas hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. 4. Kepantasan dan Kesopanan (Propriety Principle) Kepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan norma kesusilaan antar pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim, baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan kepercayaan. 5. Kesetaraan (Equality Principle) Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang adil dan beradab tanpa membedabedakan satu dengan yang lain atas dasar perbedaan agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, status perkawinan, kondisi fisik, status sosial, ekonomi, umur, pandangan politik ataupun alasan-alasan yang serupa. 6. Kecakapan dan Keseksamaan (Competence dan Diligence Principle) Kecakapan dan kesamaan hakim merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya. Kecakapan tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan dan/atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas. Sedangkan kesamaan merupakan sikap pribadi hakim yang menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan, dan kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim.
2.2. Integritas Hakim Dalam Rangka Fungsi Pengawasan Komisi Yudisial Mengenai pengawasan perilaku hakim, Pasal 22 Ayat (1) UUKY menguraikan tugas Komisi Yudisial dalam melaksanakan tanggung jawab pengawasan ini yaitu: a. menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim; b. meminta laporan secara berkala kepada badan peradilan berkaitan dengan perilaku hakim; c. melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim; d. memanggil dan meminta keterangan dari hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim; dan e. .................... (Pasal 21 Ayat (1) huruf e ini oleh Mahkamah Konstitusi dalam
46
Putusannya No. 005/PUU-IV/2006 dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat). Sedangkan Pedoman Pengawasan perilaku hakim oleh Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, merujuk kepada code of ethics (kode etik) dan/atau code of conduct (kode Perilaku) yang disahkan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi dalam Pertimbangan Hukum Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 hal. 195-198
88
menjelaskan bahwa, Perbedaan antara
code of ethics (kode etik) dan code of conduct (kode Perilaku) adalah; code of conduct menetapkan tingkah laku atau perilaku hakim yang bagaimana yang tidak dapat diterima dan mana yang dapat diterima. Code of conduct akan mengingatkan Hakim mengenai perilaku apa yang dilarang dan bahwa tiap pelanggaran code of conduct mungkin akan menimbulkan sanksi. Code of conduct merupakan satu standar. Setiap hakim harus mengetahui bahwa ia tidak dapat berperilaku di bawah standar yang ditetapkan. Etik berbeda dari perilaku yang dilarang. Etik berkenaan dengan harapan atau cita-cita. Etik adalah tujuan ideal yang dicoba untuk dicapai yaitu untuk sedapat mungkin menjadi hakim yang terbaik. Tetapi ada pertimbangan-pertimbangan etik yang mendorong tercapainya cita-cita atau harapan tersebut. Dengan suatu code of conduct, akan dimungkinkan bagi hakim maupun masyarakat untuk dapat mengatakan bahwa mereka mengetahui apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan hakim. Langkah berikutnya adalah mengembangkan suatu kode etik yang akan memberi motivasi bagi hakim meningkat ke jenjang yang lebih tinggi, lebih baik, lebih efektif dalam melayani masyarakat, maupun menegakkan rule of law. Jadi setelah dibentuk suatu code of conduct, maka untuk mencapai tingkat yang lebih tinggi, mungkin diinginkan untuk membentuk satu kode etik. Meskipun benar bahwa code of conduct berbeda dari code of ethics, akan tetapi code of ethics merupakan sumber nilai dan moralitas yang akan membimbing hakim menjadi hakim yang baik, sebagaimana kemudian dijabarkan ke dalam code of conduct. Dari kode etik kemudian dirumuskan apa yang boleh dan apa yang tidak boleh atau tidak layak dilakukan oleh hakim di dalam maupun di luar dinas. Penindakan atau pemberian sanksi atas pelanggaran Kode Etik dan Perilaku juga dilakukan oleh Mahkamah Agung. Sementara itu, pengawasan atas pelaksanaan Kode 88
disarikan dari Pertimbangan Hukum Majelis Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 005/PUU-IV/2006 hal. 195-198.
47
Etik dan Perilaku selain dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung, juga dapat dilakukan oleh Komisi Yudisial. Hal ini dimaksudkan dalam rangka memenuhi tanggung jawab sosial (social responsibility), yang merupakan salah satu unsur dari profesionalisme, melalui transparansi dan akuntabilitas. Pengawasan oleh Komisi Yudisial dapat dirinci dalam beberapa kegiatan, misalnya pemanggilan, pemeriksaan, penilaian, yang berakhir dengan saran (rekomendasi) kepada Mahkamah Agung. Dalam kekuasaan kehakiman setidaknya terdapat 2 (dua) rezim konsep yang sekilas mungkin dapat dipahami sebagai kontradiktif antara satu dengan lainnya, yakni konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak (independence and impartial judiciary) di satu sisi dan konsep akuntabilitas publik (public accountability) di sisi lain. Kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak atau independensi kekuasaan kehakiman adalah sesuatu yang mutlak harus ada karena merupakan prasyarat bagi terwujudnya cita negara hukum dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan keadilan. Konsep independensi kekuasaan kehakiman ini mengharamkan adanya tekanan, pengaruh, dan campur tangan dari siapa pun. Dalam bahasa putusan Mahkamah Konstitusi, prinsip independensi peradilan melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara dan terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim dan pengadilan terwujud dalam kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi, dari pelbagai pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik atau ekonomi tertentudari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya. Kemerdekaan hakim sangat berkaitan erat dengan sikap tidak berpihak atau sikap imparsial hakim, baik dalam pemeriksaan maupun dalam pengambilan keputusan. Hakim yang tidak independen tidak dapat diharapkan bersikap netral atau imparsial dalam menjalankan tugasnya. Demikian pula lembaga peradilan yang tergantung pada organ lain dalam bidang tertentu dan tidak mampu mengatur dirinya secara mandiri juga akan menyebabkan sikap
48
yang tidak netral dalam menjalankan tugasnya. Kemerdekaan tersebut juga memiliki aspek yang berbeda. Kemerdekaan fungsional, mengandung larangan bagi cabang kekuasaan yang lain untuk mengadakan intervensi terhadap hakim dalam melaksanakan tugas justisialnya. Masih menurut putusan Mahkamah Konstitusi, kemerdekaan tersebut tidak pernah diartikan mengandung sifat yang mutlak, karena dibatasi oleh hukum dan keadilan. Kemerdekaan hakim tersebut bukan merupakan privilege atau hak istimewa hakim, melainkan merupakan hak yang melekat (indispensable right atau inherent right) pada hakim dalam rangka menjamin pemenuhan hak asasi dari warga negara untuk memperoleh peradilan yang bebas dan tidak berpihak (fair trial). Independensi peradilan yang disinggung tersebut adalah independensi peradilan dalam segala ranahnya, baik independensi konstitusional, independensi personal, independensi peraturan yang mengaturnya, dan independensi substantif. Dalam pandangan John Ferejohn, independensi peradilan adalah sebuah konsep yang relatif, bukan absolut. Selengkapnya, Ferejohn menyatakan: ”One definitional problem is that judicial independence is a relative, not an absolute, concept. The following definition of „dependency‟ highlights the relative nature of judicial independence: in [A] person or institution [is] … dependent … [if] unable to do its job without relying on some other institution or group.”89 Dengan demikian, independensi peradilan adalah keadaan di mana peradilan dapat atau sanggup menjalankan tugasnya tanpa memiliki ketergantungan pada pihak lain. Relativitas konsep independensi peradilan ini akhirnya memang selalu memicu perdebatan yang pada akhirnya diterjemahkan secara berbeda-beda di setiap negara. Dalam perkembangannya, independensi peradilan ini harus bersanding dengan konsep lain yang harus berdampingan secara harmonis dengannya, yakni akuntabilitas publik (public accountability). International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence dalam angka 33 menyatakan sebagai berikut: It should be recognised that judicial independence does not render the judges free from public accountability, however, the press and other institutions should be John Ferejohn, “Independent Judges, Dependent Judiciary: Explaining Judicial Independence,” 72 Southern California Law Review 353 (1999) sebagaimana dikutip The Asia Foundation, Judicial Independence Overview and Country-Level Summaries, Asian Development Bank Judicial Independence Project, RETA No. 5987, submitted by The Asia Foundation, October 2003, hlm. 2. 89
49
aware of the potential conflict between judicial independence and excessive pressure on judges.90 Dengan demikian, independensi kekuasaan kehakiman atau peradilan itu memang tidak boleh diartikan secara absolut. Salah satu rumusan penting konferensi International Commission of Jurist menggarisbawahi bahwa "Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary manner”. Oleh karena itu, sejak awal munculnya gagasan mengubah UUDNRI Tahun 1945 telah muncul kesadaran bahwa sebagai pengimbang independensi dan untuk menjaga kewibawaan kekuasaan kehakiman, perlu diadakan pengawasan eksternal yang efektif di bidang etika kehakiman seperti beberapa negara, yaitu dengan dibentuknya Komisi Yudisial.91 Menurut Paulus E. Lotulung, batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri. Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial atau materiil merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman agar dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak sewenang-wenang. Hakim adalah "subordinated” pada Hukum dan tidak dapat bertindak "contra legem". Selanjutnya, harus disadari bahwa kebebasan dan independensi tersebut diikat pula dengan pertanggungjawaban atau akuntabilitas, di mana keduanya pada dasarnya merupakan dua sisi koin mata uang yang sama. Tidak ada kebebasan mutlak tanpa tanggung jawab. Dengan perkataan lain dapat dipahami bahwa dalam konteks kebebasan hakim haruslah diimbangi dengan pasangannya yaitu akuntabilitas peradilan (judicial accountability).92
90
International Bar Association, International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence, The Jerussalem Approved Standards of the 19th IBA Biennial Conference held on Friday, 22nd October 1982, in New Delhi, India. 91
Jimly Asshiddiqie, Bagir Manan, et. al., Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan Presiden secara Langsung, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepeniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006), hlm. 24. Paulus E. Lotulung, “Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum”, (makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, dengan tema “Penegakan hukum dalam era pembangunan berkelanjutan”, diselenggarakarn oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI), Denpasar, 14 -18 juli 2003, hlm. 7.. 92
50
Konsekuensi lebih lanjut dari adanya akuntabilitas adalah adanya pengawasan atau kontrol terhadap kinerja badan-badan peradilan baik mengenai jalannya peradilan maupun termasuk perilaku para aparatnya, agar kemandirian dan kebebasan kekuasaan kehakiman tidak disalahgunakan sehingga dikawatirkan dapat menjadi “tirani Kekuasaan Kehakiman”. Banyak bentuk dan mekanisme pengawasan yang dapat dipikirkan dan dilaksanakan, dan salah satu bentuknya adalah kontrol atau pengawasan melalui media massa. Dengan demikian, aspek akuntabilitas, integritas, transparansi, maupun aspek pengawasan merupakan 4 (empat) rambu-rambu yang menjadi pelengkap dari diakuinya kebebasan dan independensi kekuasaan kehakiman. Dengan demikian, kebebasan hakim yang merupakan personifikasi dari kemandirian kekuasaan kehakiman, tidaklah berada dalam ruang hampa tetapi dibatasi oleh rambu-rambu akuntabilitas, integritas moral dan etika, transparansi, dan pengawasan. Dalam hubungan dengan tugas hakim, independensi hakim masih harus dilengkapi lagi dengan sikap imparsialitas dan profesionalisme dalam bidangnya. Oleh karena itu, sekali lagi, kebebasan hakim sebagai penegak hukum harus dikaitkan dengan akuntabiltas, integritas moral dan etika, transparansi, pengawasan, profesionalisme, dan impartialitas.93 Sistem akuntabilitas kekuasaan kehakiman ini pula yang menjadi dasar pembentukan Komisi Yudisial di Indonesia. Oleh karena itu, studi yang pernah dilakukan oleh Asian Development Bank yang disampaikan oleh The Asia Foundation mengenai keadaan kemerdekaan kekuasaan kehakiman di negara-negara Asia, termasuk Indonesia, menyatakan bahwa “... the establishment of a Judicial Commission is intended to introduce a system of accountability.”94 Dalam sebuah penelitian yang diselenggaran Komisi Hukum Nasional pada tahun 2008, dinyatakan bahwa salah satu hal yang sampai saat ini masih menjadi kontroversi besar adalah perihal apakah frasa “... wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim” berarti juga memperbolehkan Komisi Yudisial dalam rangka pengawasan untuk melakukan pemeriksaan terhadap putusan-putusan yang dibuat oleh hakim. Dalam praktiknya,
93
Ibid., hlm. 8-9.
94
The Asia Foundation, Judicial Independence Overview and Country-Level Summaries, Asian Development Bank Judicial Independence Project, RETA No. 5987, submitted by The Asia Foundation, October 2003, hlm. 53.
51
Komisi Yudisial telah melakukan penelitian putusan hakim di sejumlah daerah bekerja sama dengan kalangan perguruan tinggi, organisasi masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat.95 yang menyatakan bahwa pemeriksaan atau penelitian putusan hakim itu dapat dilakukan Komisi Yudisial dengan alasan bahwa menurut hukum acara putusan hakim yang telah diucapkan di dalam sidang yang terbuka untuk umum menjadi hak publik (public right), sehingga publik mempunyai hak untuk menelaah putusan tersebut, bukan mengubah putusan. Pemeriksaan putusan oleh Komisi Yudisial merupakan entry point untuk mengetahui apakah hakim melanggar kode etik atau tidak. Kalangan hakim merasa keberatan dengan pemeriksaan putusan ini. Hal ini mengingat pengawasan Komisi Yudisial tidak boleh masuk ke dalam teknis yudisial. Akan tetapi, ada juga yang berpandangan bahwa Komisi Yudisial dapat memeriksa putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat (inkracht van gewijsde). Aktivitas melakukan pemeriksaan terhadap putusan-putusan yang dibuat oleh hakim semacam ini, menurut putusan Mahkamah Konstitusi, sudah keluar dari pengertian pengawasan yang harus diartikan hanya sebagai pengawasan etik. Menurut Mahkamah Konstitusi, frasa "dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, yang seharusnya hanya memberikan sebagian kewenangan pengawasan etik kepada Komisi Yudisial, secara sadar ataupun tidak, telah ditafsirkan dan dipraktikkan sebagai pengawasan teknis justisial dengan cara memeriksa putusan. Padahal, norma pengawasan yang berlaku universal di semua sistem hukum yang dikenal di dunia terhadap putusan pengadilan adalah bahwa putusan pengadilan tidak boleh dinilai oleh lembaga lain kecuali melalui proses upaya hukum (rechtsmidellen) sesuai dengan hukum acara. Penilaian terhadap putusan hakim yang dimaksudkan sebagai pengawasan di luar mekanisme hukum acara yang tersedia adalah bertentangan dengan prinsip res judicata pro veritate habetur yang berarti apa yang telah diputus oleh hakim harus dianggap sebagai benar (de inhoud van hetvonnis geld als waard). Sehingga, apabila suatu putusan hakim dianggap mengandung sesuatu kekeliruan maka pengawasan yang dilakukan dengan cara penilaian ataupun koreksi terhadap hal itu harus melalui upaya hukum (rechtsmidellen) menurut ketentuan hukum acara yang berlaku. Prinsip sebagaimana diuraikan di atas tidak mengurangi hak warga negara, 95
Komisi Yudisial Republik Indonesia, Laporan Tahunan Komisi Yudisial Republik Indonesia Tahun 2006, op. cit., hlm. 52.
52
khususnya para ahli hukum, untuk menilai putusan hakim melalui kegiatan ilmiah dalam forum atau media ilmiah, seperti seminar, ulasan dalam jurnal hukum (law review), atau kegiatan ilmiah lainnya. Oleh karena itu, kalaupun misalnya Komisi Yudisial diberi tugas untuk memeriksa putusan yang telah dibuat oleh hakim, sebaiknya kewenangan ini tidak dikaitkan dengan wewenang Komisi Yudisial berupa ”wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim”, melainkan dikaitkan dengan ”Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung”. Dengan demikian, kewenangan Komisi Yudisial untuk memeriksa putusan yang telah dibuat oleh hakim semata-mata untuk melihat apakah rekam jejak putusan yang pernah dibuat dapat mendukung kariernya ke depan, sehingga Komisi Yudisial memiliki preferensi untuk mengusulkannya menjadi hakim agung. Jadi, pemeriksaan putusan hakim oleh Komisi Yudisial tidak ada sangkut pautnya dengan teknis justisial, karena memang putusan pengadilan tidak boleh dinilai oleh lembaga lain kecuali melalui proses upaya hukum (rechtsmidellen). Tegasnya, tugas Komisi Yudisial untuk memeriksa putusan yang telah dibuat oleh hakim sebaiknya diarahkan untuk tujuan yang berupa menggali informasi sebanyak mungkin rekam jejak seorang hakim. Segala logika hukum yang dibangun oleh seorang hakim dalam sebuah putusan dan dissenting opinion seyogianya menjadi salah satu aspek penting bagi Komisi Yudisial untuk menjaring hakim tertentu yang akan diusulkannya menjadi hakim agung kepada DPR. Patut dipertimbangkan pula, misalnya, putusan hakim yang menangani perkara yang kurang lebih berlatar belakang dan berkonstruksi hukum yang sama, tetapi putusan yang dijatuhkan berbeda. Dalam perkara pidana, misalnya, sering dijumpai adanya penjatuhan hukuman kepada pelaku kejahatan yang kurang lebih sama, namun pidana yang dijatuhkan oleh seorang hakim mempunyai selisih yang signifikan. Hal ini lazim disebut dengan “disparitas pidana” (sentencing disparity). Aaron J. Rappaport menyatakan bahwa “... sentencing disparity ... occurred when similarly situated offenders received disparate sentences.”96
Aaron J. Rappaport, “Unprincipled Punishment: The U.S. Sentencing Commission‟s Troubling Silence about the Purposes of Punishment”, Buffalo Criminal Law Review, Vol. 6:1043, January 22, 2004, hlm. 8. 96
53
Menurut Muladi, disparitas pidana (disparity of sentencing) adalah penerapan sanksi pidana yang berbeda-beda tanpa alasan rasional (unwarranted), baik terhadap tindak pidana yang sama maupun tindak pidana yang kurang lebih sama ancaman pidananya. Disparitas pidana menimbulkan sikap tidak puas bagi terpidana, keluarganya, dan bagi praktik penegakan hukum serta pendidikan hukum. Disparitas pidana ini bertentangan dengan salah satu prinsip supremasi hukum, yakni penerapan hukum harus menjunjung tinggi equality, justice, dan certainty. Selain itu, di berbagai negara, disparitas pidana selalau dikaitkan dengan diskriminasi yang diartikan sebagai preferential treatment of a person or a group of people based on certain characteristics such as religion, race, gender, political opinion, property, status, colour, etc.97 Di beberapa negara, terjadinya “disparitas pidana” ini meresahkan para pencari keadilan, karena sangat mengganggu kepastian hukum dan dapat merusak kredibilitas lembaga peradilan. Untuk mengurangi terjadinya “disparitas pidana” ini, beberapa negara membentuk lembaga semacam sentencing commission untuk mengurangi terjadinya “disparitas pemidanaan” dalam putusan hakim. Di negara lain, untuk mengurangi terjadinya “disparitas pemidanaan” ini, dibentuk judicial service commission. Dengan demikian, tugas pemeriksaan putusan hakim oleh Komisi Yudisial sebaiknya tidak dikaitkan dengan aspek pengawasan Komisi Yudisial, melainkan aspek rekrutmen hakim. Jadi, hakim yang dalam putusannya mengandung “disparitas pidana”, misalnya, dan dinilai mencederai nilai-nilai keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum, akan menjadi catatan Komisi Yudisial apabila ia memiliki peluang untuk dicalonkan menjadi hakim agung. Tugas pemeriksaan putusan hakim oleh Komisi Yudisial yang dikaitkan dengan aspek pengawasan Komisi Yudisial hanya akan menuai resistensi dari kalangan hakim dan telah ditegaskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai “sudah keluar dari pengertian pengawasan etik”. Akan tetapi, Pasal 42 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menegaskan bahwa dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, Komisi Yudisial dapat menganalisis putusan Muladi, “Disparitas Pidana (Disparity of Sentencing)”, Makalah disampaikan dalam Kuliah Umum Peserta Pendidikan dan Pelatihan Penyusunan dan Perancangan Peraturan Perundang-undangan Angkatan II, diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan Hak Asasi Manusia Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, di Gedung Lembaga Ketahanan Nasional, Jakarta, 5 Juni 2008, hlm. 1. 97
54
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap sebagai dasar rekomendasi untuk melakukan mutasi hakim.” Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “mutasi” dalam ketentuan ini meliputi juga promosi dan demosi. Ketentuan ini akan rawan untuk diuji di Mahkamah Konstitusi karena dapat disimpulkan bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang
menyatakan bahwa
pemeriksaan putusan sudah keluar dari pengertian pengawasan etik.
2.3. Pola Hubungan MA dengan KY Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006 Kelahiran Undang Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (selanjutnya disebut UUKY) dalam prakteknya telah menimbulkan ketegangan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, Awal dan pokok persoalan yang memicu ketegangan tersebut adalah perbedaan penafsiran terhadap yurisdiksi tugas pengawasan perilaku hakim. Pasal 13 UUKY menegaskan, bahwa KY mempunyai wewenang: a. mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan b. menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Pasal 20 UUKY menegaskan bahwa, Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf b KY mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Terhadap ketentuan Pasal 13 huruf b dan Pasal 20 diatas, KY menganggap bahwa dalam melakukan pengawasan terhadap hakim sudah barang tentu haruslah berlandaskan kekuasaan yang diberikan oleh Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) yang dijabarkan dalam Pasal 22 Ayat (1) UUKY. "Bahwa semua pemeriksaan yang dilakukan KY didasarkan pada UU KY dan Peraturan yang dibuat dan dibentuk KY berdasarkan delegasi atau atribusi kekuasaan, termasuk memasuki wilayah teknis-yudisial peradilan dengan membaca dan mengkaji putusan hakim yang bersangkutan, hal tersebut sebagai pintu masuk (entry point)". Sebab secara universal telah diterima oleh masyarakat beradab bahwa kehormatan dan keluhuran martabat seorang hakim dapat dilihat dari putusan yang dibuatnya. KY bukan saja mengawasi perilaku hakim di luar pengadilan tapi juga mengawasi perilaku hakim dalam melaksanakan tugas peradilan agar tidak terjadi korupsi (judicial corruption) yang saat ini menjadi masalah nasional yang perlu diberantas. KY berpendapat bahwa objek pengawasan meliputi seluruh hakim.Tidak
55
terkecuali Hakim Agung dan Hakim Mahkamah Konstitusi. Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 20 dan Pasal 1 angka 5 UUKY. Selanjutnya terhadap ketentuan tersebut, Mahkamah Agung (MA) menganggap bahwa secara universal kewenangan pengawasan oleh KY tidak menjangkau hakim agung, karena KY adalah mitra MA dalam pengawasan terhadap para hakim pada lingkungan badan-badan peradilan di bawah MA. Pengawasan perilaku oleh KY tidak termasuk pengawasan atas putusan hakim (dan eksekusi putusan). Pengawasan terhadap putusan (teknis yudisial) adalah wewenang MA. Sebab, jika hal tersebut dilakukan oleh KY dapat mengancam independensi hakim. Menurut MA "pengawasan terhadap perilaku Hakim" hanyalah merupakan media dengan tujuan pokoknya adalah "dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku Hakim". semestinya "media pengawasan" haruslah dilakukan dan didasarkan atas semangat itikad baik (good faith), bukannya justru dijadikan media untuk memasuki substansi/wilayah tehnis penyelesaian perkara, yang bukan menjadi tugasnya KY, dan kemudian merekomendasikan pemberhentian Hakim, hal tersebut adalah merupakan bentuk perbuatan yang bukan saja mengintervensi dan mengintimidasi bahkan cenderung telah merusak sistem (lembaga peradilan yang memiliki kemerdekaan yang dijamin oleh konstitusi dan bersifat universal). Terkait dengan tugas Mahkamah Konstitusi untuk mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, pada tanggal 10 Maret 2006 terdapat pengajuan permohonan ke Mahkamah Konstitusi oleh 31 Hakim Agung terhadap peninjauan atas Undang-Undang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan Undang-Undang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dengan registrasi nomor 005/PUU-IV/2006. Dalam permohonan tersebut, 31 Hakim Agung mengajukan judicial review atas pasal 1 angka 5, pasal 20, pasal 21, pasal 22 ayat (1) dan (5), pasal 23 ayat (2), (3), dan (5), pasal 24 ayat (1), pasal 25 ayat (3) dan (4) UndangUndang No. 22 tahun 2004 tentang Komisi yudisial dan pasal 34 ayat (3) UndangUndang No. 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya Nomor 005/PUU/IV-2006, menyatakan bahwa:
56
Pertama,: permohonan para pemohon menyangkut perluasan pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 yang meliputi hakim konstitusi bertentangan dengan UUD 1945. Dengan demikian, hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim yang perilaku etiknya diawasi oleh Komisi Yudisial. Pengawasan Komisi Yudisial terhadap hakim Mahkamah Konstitusi akan mengganggu dan memandulkan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga Negara; Kedua, permohonan para pemohon menyangkut pengertian hakim menurut Pasal 24 B ayat (1) UUD 1945 tidak cukup beralasan. Oleh karena itu, permohonan para pemohon sepanjang menyangkut hakim agung tidak terdapat cukup alasan untuk mengabulkannya. Mahkamah Konstitusi tidak menemukan dasar konstitusionalitas dihapuskannya
pengawasan
Komisi
Yudisial
terhadap
hakim
agung;
Ketiga, Menyangkut fungsi pengawasan, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa segala ketentuan dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2004 tentang UndangUndang Komisi Yudisial yang menyangkut pengawasan dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena terbukti menimbulkan ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid). Putusan MK Nomor 005/ PUU-IV/2006, tanggal 23 Agustus 2006, telah membawa perubahan terhadap Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, dan terhadap sistem hukum Indonesia. Perubahan terbesar dialami oleh Komisi Yudisial, yaitu menyangkut pembatalan fungsi pengawasan Komisi Yudisial. Dengan adanya pembatalan tersebut, mengakibatkan terjadinya kekosongan hukum (rechts vakum) yang berfungsi sebagai dasar pijakan Komisi Yudisial untuk melaksanakan pengawasan terhadap perilaku hakim, sehingga diperlukan secepatnya revisi Undang- Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial khususnya pasalpasal yang berkaitan dengan fungsi pengawasan. “Pola hubungan” MA dengan KY dapat dirumuskan sebagai “Model/bentuk hubungan tata kerja antara MA dengan KY, pada saat kedua lembaga negara tersebut saling
bekerjasama
dan
berhubungan
secara
fungsional
dalam
menyelenggarakan Kekuasaan Kehakiman yang merdeka, bersih dan berwibawa”.
57
rangka
Dalam konteks Hukum Tata Negara pola hubungan antara lembaga-lembaga negara dipahami sebagai suatu sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga Negara satu dengan lembaga negara lainnya. UUD 1945 dengan jelas membedakan cabangcabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden, serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembagalembaga negara yang utama (main state organs, principal state organs). Lembaga-lembaga
negara
dimaksud
itulah
yang
secara
instrumental
mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions, principal state functions), sehingga oleh karenanya lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, principal state organs, atau main state institutions) yang hubungannya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip “checks and balances”. Dengan demikian, prinsip “checks and balances” itu terkait erat dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara (separation of powers), dan tidak dapat dikaitkan dengan persoalan pola hubungan antarsemua jenis lembaga negara, seperti misalnya dalam konteks hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Oleh karena itu, memahami hubungan antara lembaga negara dalam perspektif “checks and balances” di luar konteks pemisahan fungsi-fungsi kekuasaan negara (separation of powers), seperti dalam hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, adalah tidak tepat. Walaupun benar bahwa Komisi Yudisial dapat diberi peran pengawasan, maka pengawasan itu bukanlah dalam rangka checks and balances dan juga bukan pengawasan terhadap fungsi kekuasaan peradilan, melainkan hanya pengawasan terhadap perilaku individu-individu hakim. Kedudukan Komisi Yudisial ditentukan pula dalam UUD 1945 sebagai komisi negara yang bersifat mandiri, yang susunan, kedudukan, dan keanggotaannya diatur dengan undang-undang tersendiri, sehingga dengan demikian komisi negara ini tidak berada di bawah pengaruh Mahkamah Agung ataupun dikendalikan oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Dengan kemandirian dimaksud tidaklah berarti tidak diperlukan adanya koordinasi dan kerja sama antara KY dan MA. Dalam konteks ini, hubungan antara KY dan MA dapat dikatakan bersifat mandiri tetapi saling berkait (independent but interrelated).
58
KY merupakan organ yang pengaturannya ditempatkan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman, dengan mana terlihat bahwa MA diatur dalam Pasal 24A, KY diatur dalam Pasal 24A Ayat (3) dan Pasal 24B, dan MK diatur dalam Pasal 24C. Pengaturan yang demikian sekaligus menunjukkan bahwa menurut UUD 1945 KY berada dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman, meskipun bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Pasal 24A Ayat (3) UUD 1945 berbunyi, "Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden”. Pengaturan yang demikian menunjukkan keberadaan KY dalam sistem ketatanegaraan adalah terkait dengan MA. Akan tetapi, Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan bahwa KY bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element atau state auxiliary. Oleh karena itu, sesuai dengan jiwa (spirit) konstitusi dimaksud, prinsip checks and balances tidak benar jika diterapkan dalam pola hubungan internal kekuasaan kehakiman. Karena, hubungan checks and balances tidak dapat berlangsung antara MA sebagai principal organ dengan KY sebagai auxiliary organ. KY bukanlah pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element dalam rangka mendukung kekuasaan kehakiman yang merdeka, bersih, dan berwibawa, meskipun untuk melaksanakan tugasnya tersebut, KY sendiri pun bersifat mandiri. Oleh karena itu, dalam perspektif yang demikian, hubungan antara KY sebagai supporting organ dan MA sebagai main organ dalam bidang pengawasan perilaku hakim seharusnya lebih tepat dipahami sebagai hubungan kemitraan (partnership) tanpa mengganggu kemandirian masing-masing, Kemudian dalam Pasal 20 dalam undangundang yang sama, dinyatakan bahwa dalam melaksanakan wewenang tersebut Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga), yang menegaskan bahwa Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Rumusan yang terkandung di dalam ketentuan diatas, seharusnya tidak semata-mata diartikan sebagai pengawasan, melainkan juga pembinaan etika profesional hakim untuk memenuhi amanat Pasal 24A Ayat (2) UUD 1945. Pengertian kata “dalam rangka” sebagai bagian wewenang
59
pengawasan oleh KY menunjukkan adanya kewajiban lain yang sama pentingnya yaitu tugas melakukan pembinaan yang meliputi usaha, tindakan, dan kegiatan yang dilakukan secara efisien dan efektif untuk meningkatkan profesionalisme hakim sepanjang menyangkut pelaksanaan kode etik. Dari ketentuan Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945 (Hasil Perubahan Ketiga) ini dapat dielaborasi menjadi (i) menjaga kehormatan hakim; (ii) menjaga keluhuran martabat hakim; (iii) menjaga perilaku hakim; (iv) menegakkan kehormatan hakim; (v) menegakkan keluhuran martabat hakim; dan (vi) menegakkan perilaku hakim. Dalam kata ”menjaga” terkandung pengertian tindakan yang bersifat preventif, sedangkan dalam kata ”menegakkan” terdapat pengertian tindakan yang bersifat korektif. Karena itu, tiga kewenangan yang pertama bersifat preventif atau pencegahan, sedangkan tiga yang kedua bersifat korektif. Sehubungan dengan hal diatas, apabila dihubungkan dengan rumusan pasal 13 huruf b UUKY, rumusan salah satu kewenangan Komisi Yudisial tersebut diubah oleh pembentuk undang-undang menjadi “menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim”, yang jika dielaborasi kembali maka cakupannya menjadi jauh lebih sempit, yaitu hanya (i) menegakkan kehormatan hakim; (ii) menegakkan keluhuran martabat hakim; dan (iii) menjaga perilaku hakim. Hal ini menunjukkan bahwa pembentuk Undang-undang telah mengabaikan asas ”kejelasan rumusan” yang mensyaratkan bahwa setiap peraturan Perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan Perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas, dan mudah dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya. Melihat kembali apa yang tercantum di dalam Pasal 24B Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berpendapat didalam Pertimbangan Hukumnya menyatakan bahwa ruang lingkup pengawasan KY hanyalah sebagian saja, yakni yang menyangkut perilaku hakim. Pengertian Hakim disini adalah dalam pengertian sebagai individu di luar maupun di dalam kedinasan, dengan tujuan agar hakim memiliki kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku yang baik. Pelaksanaan pengawasan yang demikian itu selain tidak dalam pengertian mengawasi badan peradilan, juga tidak meniadakan fungsi pengawasan yang sama yang dimiliki oleh MA. Fungsi demikian adalah berkait dengan wewenang utama KY, yaitu untuk merekrut dan mengusulkan pengangkatan hakim agung, yang menurut
60
Pasal 24A Ayat (2) UUD 1945 dipersyaratkan harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.
3. Eksistensi Komisi Yudisial di Beberapa Negara Terkait dengan konteks kedudukan Komisi Yudisial, di beberapa negara yang mengenal lembaga serupa posisinya cukup beragam. Keragaman ini sebagaimana disebut oleh Wim Voermans, “Komisi Yudisial ditentukan oleh konteks sosial dan ketatanegaraan suatu negara dan perkembangan kultural yang telah dilalui negara tersebut”. Dengan demikian tidak ada suatu bentuk monolitik yang menyebutkan Komisi Yudisial harus seperti begini, atau terbentuk sesuai selera. Kecenderungan umumnya terbentuk menurut konstruksi sosial, struktur ketatanegaraan dan konteks kultural masing-masing.98 Komisi Yudisial di Italia bernama The Superior Council of the Judiciary yang diatar didalam Section 105 Konsititusinya. Komisi ini mempunyai hak mengangkat, memberhentikan, memutasikan, dan mempromosikan anggota badan peradilan dan memberikan tindakan pendisiplinan terhadapnya. 99 Konstitusi Italia tidak mengatur keanggotaan Komisi ini. Komisi Yudisial di Malaysia bernama Judical and legal Service Commission yang diatur didalam Article 138 Konstitusinya. Konstitusi Malaysia tidak mengatur secara eksplisit kewenangan lembaga ini. Hanya dikatakan bahwa Judical and Legal Service Commission mempunyai yurisdiksi setiap anggota peradilan dan pelayanan hukum. Keanggotaan lembaga ini terdiri dari Ketua Public Service Commission sebagai ketua; Jaksa Agung; dan satu (1) orang atau lebih anggota yang diangkat oleh Yang di-Pertuan agong setelah berkonsultasi dengan Ketua Mahkamah Agung. 100
98
Wim Voermans, 2002. Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa, Jakarta
:LeIP. 99
The Consitution of Italia, The Translation of the later amandements by Bernard E. Delury, Jr. Published in 1994. 100
The Constitution of Malaysia.
61
Komisi Yudisial di Samoa bernama Judicial and Legal Service Commission yang diatur didalam Article 72 Konstitusi. Komisi ini berfungsi memberikan advis kepada Kepala Negara mengenai pengangkatan, promosi dan mutasi pejabat pengadilan (selain Ketua Mahkamah Agung). Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung dan satu (1) orang yang dicalonkan oleh Materi Kehakiman. 101 Komisi Yudisial di Solomon Islands bernama Judicial and Legal Service Commission yang diatur di dalam Article 117 (1) Konstitusinya. Komisi ini berfungsi mengangkat, memberhentikan, dan melakukan pendisiplinan para hakim. Keanggotaan Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi; Jaksa Agung; Ketua Public Service Commission, dan anggota tambahan yang diangkat Gubernur Jenderal sesuai dengan advis dari Perdana Menteri. 102 Komisi Yudisial di Spanyol Island bernama General Council of the Judicial Power yang diatur di dalam Article 122 Konstitusinya. Komisi ini menentukan organ administrasi pengadilan khususnya yang berkaitan dengan pengangkatan, promosi, inspeksi dan pendisiplinan. Keorganisasian Komisi ini terdiri dari Ketua Mahkamah Agung sebagai Ketua Komisi dan dua puluh (20) orang hakim, empat (4) orang di antaranya diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat; empat (4) orang oleh Senat yang diambil dari lawyer dan ahli hukum. 103 Pasal 99 (4), 144 (1) dan 144 (3) Konstitusi Argentina mengatur bahwa Council of Magistracy berhak : 1. Mengajukan calon hakim agung 2. Bertanggung jawab atas seleksi hakim dan administrasi kekuasaan kehakiman; 3. Mengembangkan pemilihan hakim tingkat bahwa melalui kompetisi publik; 4. Mengeluarkan usulan tiga nama hakim tingkat bawah; 5. Mengurus sumber daya untuk administrasi pengadilan; 101
The Constitution of Samoa.
102
The Constitution of Solomond Island, 1996.
103
The Constitution of Spain, shall take effect on the and 29 Dec 1978 Consolidated up the amandemend of 27 Aug 1992.
62
6. Melakukan tindakan pendisiplinan terhadap hakim; 7. Memutuskan pemberhentian hakim; dan 8. Mengeluarkan pengaturan tentang organisasi pengadilan untuk menjamin independensi hakim dan efisiensi administrasi pengadilan. 104 Pasal 123 Konstitusi Kroasia menegaskan bahwa National Judical Council berfungsi, “mengangkat dan memberhentikan hakim dan memutuskan segala hal yang berkaitan dengan pertanggung jawaban kedisiplinan. Pasal 64 (1) (2) dan 65 (5) dan (6) Konstitusi Perancis mengatur bahwa Counseil/Superieur de la Magistrature (high Council of the Judiciary) berwenang, membantu
Presiden
dalam
menegakkan
kemerdekaan
kekuasaan
kehakiman;
mengusulkan pengangkatan hakim agung, merekrut hakim banding dan hakim pada pengadilan tingkat pertama; serta bertindak sebagai Dewan Pendisiplinan Hakim. 105 Secara umum dapat dikatakan bahwa keberadaan lembaga Komisi Yudisial ini termasuk fenomena baru dalam sistem ketatanegaraan. Di kebanyakan negara, keberadaan KY sengaja didirikan dan diaktifkan sebagai auxiliry agency (badan pembantu) bagi pengawasan kekuasaan kehakiman. Sebagai auxiliry agency KY bertugas untuk menerima laporan mengenai perilaku yang menyimpang dan tindakan indisipliner bagi hakim maupun pengangkatan pelaksana peradilan yang lain. Di negara-negara yang menganut bentuk negara federal yang sudah mapan, komisi terdapat di setiap negara bagian dengan berkedudukan di Ibu kota negara bagian. Adapun fungsi utama dari Komisi Yudisial adalah penentuan standar hakim dan pengawasan terhadap perilaku hakim. 106 104
Lihat Pendapat Ahli Denny Indrayana dalam Putusan MK Nomor 005/PUU-IV/2006 Mengenai Pengujian UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 yang diterbitkan Setjen MK RI Tahun 2006. 105
Ibid.
106
Kalau hakim-hakim di negara-negara yang menganut tradisi civil law seperti Prancis, Belanda dan lain-lain diangkat dari sarjana lulusan perguruan tinggi hukum dan kemudian dididik dalam pendidikan tambahan/penunjang Profesi hakim, maka sangat berbeda dengan di Amerika Serikat. Untuk menggambarkan perbedaan tersebut, Friedman menyatakan demikian : “The Situation in the United States could hardly be more different. American judge are lawyers, plain and simple. Usually, they are lawyers who are, or have been, politicians. One survey of judges in the United States Courts Appeal, for example, found that about four out of five had been “oilitical activism” at some point in their careers. Lihat Lawrance M. Friedman, 1984. American Law, New York-London : W.W. Norton & Company, hlm.64-65.
63
Sementara di negara bagian Wisconsin, USA, KY dibentuk pada tahun 1971 oleh MA mereka. Tujuh tahun barulah keberadaan KY diperkuat pada tahun 1978. Anggota KY terdiri dari 9 orang, termasuk satu dari hakim pengadilan, 1 hakim keliling dan 2 advokat yang dipilih oleh MA, sedang lima lainnya dari anggota masyarakat yang dipilih oleh Gubernur dengan seijin senat. Komisi Yudisial ini memiliki seorang direktur pelaksana yang dipersyaratkan memiliki ijin advokat. KY Wisconsin juga memiliki investigator dan ahli hukum, yang bertugas memberikan analisis atas hasil investigasi dan untuk langkah penuntutan. KY ini sendiri berwenang untuk memeriksa semua dokumen hakim dan melihat apakah semua dokumen etika sudah dilaksanakan oleh hakim. Jika terjadi Komplain atas seorang hakim, KY ini akan menunjukkan suatu tim khusus untuk melakukan pemeriksaan awal yaitu berupa investigasi. Hasil investigasi kemudian dibawa ke sidang komisi untuk diperiksa ulang. Dari hasil investigasi ini dipergunakan sebagai pijakan pengambilan keputusan apakah kasus ini layak atau tidak diteruskan penyelesaiannya di sidang komisi guna diambil keputusan akhir. Putusan akhir diambil setelah mendengar keterangan hakim yang menjadi terlapor, dengan mengacu kepada hasil investigasi dari tim. 107 Di Negara Bagian Philadelphia USA, KY bertugas menyeleksi dan menilai calon-calon hakim dengan kriteria kemampuan hukum, pengalaman, tempramen, kemampuan administratif, integritas dan kemampuan untuk menggali kualitas hukum. Anggota KY diambil dari berbagai disiplin ilmu hukum dan pernah melaksanakan praktek hukum. Di KY Philadelphia, ada divisi investigasi yang terdiri 9 orang ahli hukum. 9 amggota divisi investigasi ini membuka mata dan telinganya terhadap berbagai hal yang menyangkut tingkah laku hakim-hakim. Dalam hal ini, investigator menulis laporan dan merekomendasikannya kepada komisi. Di Philadelphia, keberadaan divisi ini sangat penting untuk menjaga kredibilitas para hakim. Anggota tim ini diambil dari berbagai profesi penegak hukum, dan mereka bertugas untuk jangka waktu tiga (3) tahun dan dapat dipilih kembali untuk sekali lagi. Tim ini dikoordinatori oleh seorang pengacara yang sangat memahami akan aspek-aspek hukum dan perilaku dari hakim-hakim.
107
Titik Triwulan Tutik, 2007. Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial , Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher, hlm. 86.
64
Berbeda dengan di USA, di Negara Bagian New South Wales Australia, Komisi Yudisial sudah berdiri sejak tahun 1986 yang dibidani oleh sebuah undang-undang. Tugas utama KY ini adalah : (1) memperhatikan konsistensi penerapan hukum; (2) pelaksanaan pendidikan berkelanjutan bagi hakim; (3) menilai keluhan atas hakim; (4) memberi saran kepada jaksa agung; dan (5) bekerja sama dengan orang dan organisasi yang berhubungan dengan kinerja pengadilan dan hakim. Di Afrika Selatan dikenal lembaga yang disebut Judicial Service Commission yang berfungsi memberikan rekomendasi dalam hal pemberhentian hakim, mengajukan calon Ketua Mahkamah Agung, dan memberikan masukan dalam hal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. 108 Negara Bagian California amerika Serikat mengenal lembaga sejenis dengan nama State of California Commision on Judicial Performance. Komisi tersebut memiliki fungsi untuk menerima laporan masyarakat terhadap pelanggaran dan misconduct dari hakim di Negara Bagian California, termasuk didalamnya melakukan investigasi dan pendisiplinan. Filipina memiliki lembaga sejenis dengan nama Judicial and Bar Council yang mempunyai fungsi memberikan rekomendasi kepada Presiden dalam hal pengangkatan dan komisi ombudsman serta menjalankan tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung. Hasil riset yang dilakukan Ahsin Tohari terhadap 143 negara didunia, menemukan 43 negara yang menyebutkan Komisi Yudisial dalam konstitusinya. 109 Dari latar belakang pembentukan, tujuan pembentukan, serta struktur fungsi dan kedudukan Komisi Yudisial, punya kecenderungan yang terlalu beragam. Namun dari 43 negara tersebut, terdapat 16 negara yang diantaranya memiliki prinsip kesamaan dalam menggambarkan fungsi dan kedudukan Komisi Yudisial dengan sangat strategis. Keenambelas negara tersebut adalah Argentina, Italia, Kroasia, Ghana, Makedonia, Nepal, Prancis, Saint Christoper and Nevis, Saint Lucia, Sierra Leona, Solomon Islands, Sri Langka, Thailand, Timor Timor, Tunisia dan Venezuela. Komisi Yudisial merupakan produk perkembangan budaya dari suatu sistem hukum, yang berakar pada perkembangan historis, kultural dan sosial negara-negara 108
Pasal 178 ayat (5) Konstitusi Afrika Selatan.
109
A. Ahsin Thohari, 2004. Komisis Yudisial & Reformasi Peradilan, Jakarta : Elsam.
65
tertentu. Oleh karena itu, setiap Komisi Yudisial bersifat unik dan kita tidak dapat melihat lembaga tersebut di luar konteks negaranya. Dengan demikian, pertanyaan yang harus dijawab mengenai apakah kita dapat mengambil pelajaran dari contoh-contoh Komisi Yudisial dari sistem hukum lainnya, merupakan sebuah pertanyaan yang sulit, dilihat dari berbagai sisi. Namun adalah suatu fakta bahwa contoh-contoh Komisi Yudisial di negara lain tidak dapat ditransfer (diterapkan) secara langsung oleh negara yang lainnya. Pengalaman Komisi Yudisial di negara-negara lain sangat ditentukan oleh konteks sosial dan ketatanegaraan suatu negara serta perkembangan kultural yang telah dilalui oleh negara tersebut. Setiap sistem memiliki mekanisme keseimbangannya sendiri melalui mekanisme „check and balance‟ tertentu. Untuk dapat memperkirakan nilai dan signifikasi sebuah sistem dari luar, dibutuhkan suatu pengetahuan yang luas mengenai situasi dan sejarah dari negara terkait. Dalam banyak hal, keseimbangan antara jaminan konstitusional untuk independensi peradilan dan kontrol publik atas kekuasaan yudikatif mempunyai keterkaitan yang erat. Aspek yang paling menarik dari studi tentang Komisi Yudisial yang dilakukan Wim Voerman adalah riset yang dilakukan di empat negara (Irlandia, Denmark, Republik Ceko dan Belanda), dimana Komisi Yudisial di negara-negara tersebut baru saja dibentuk atau baru akan dibentuk. Di Irlandia, Komisi Yudisial telah dibentuk sejak tahun 1998. Denmark merencanakan pembentukan Komisi Yudisial pada musim panas tahun 1999. Republik Ceko, Komisi Yudisial sudah akan terbentuk pada akhir tahun 1999. Di Belanda sedang dipertimbangkan untuk membentuk Komisi Yudisial pada tanggal 1 Januari 2002.110 Perkembangan yang sama di tiap negara itu tidak seluruhnya bersifat kebetulan. Pertama, model Demstolsverket di Swedia dan pengalaman baik yang mereka alami sendiri telah menjadi sumber inspirasi untuk membentuk Komisi Yudisial, khususnya di Denmark. Di samping itu, rekomendasi Dewan Menteri Yudisial, Dewan Eropa pada tahun 1994 dalam kerangka pasal 6 RVRM mengenai indenpendensi peradilan, peran hakim dan kepantasan pelaksanaan peradilan, memainkan peran dalam perkembangan pembentukan Komisi Yudisial tersebut. Rekomendasi tersebut tidak mengharuskan suatu negara untuk menciptakan sebuah lembaga yang independen sebagai jaminan
110
Wim Voerman, Komisi .....Op.Cit, hlm. 134.
66
independensi peradilan, tetapi mereka mengharuskan, misalnya, agar pengangkatan hakim berlangsung secara independen dan agar organisasi peradilan, dengan berbagai cara, dapat mempengaruhi proses kerja mereka sendiri. Dengan demikian rekomendasi-rekomendasi tersebut sebagian merupakan sebuah katalis. Pada awalnya, manajemen dan dukungan untuk lembaga peradilan Belanda, Denmark dan Irlandia dipercayakan kepada Menteri Kehakiman. Dari sudut pandang menjamin independensi peradilan sebagaimana yang tampak dari pengalaman Swedia manajemen dan dukungan kepada manajemen yang dilakukan dari jarak tertentu dianggap penting. Dan dalam rencana Denmark, Belanda dan Irlandia hal tersebut pandangan sebagai alasan yang penting untuk pembentukan Komisi Yudisial yang independen. Perlawanan terhadap rencana Pemerintah Swedia pada awal tahun 1990 an untuk mengembalikan beberapa wewenang manajerial dari Domstolsverket kepada pemerintah, menunjukkan bahwa setelah beberapa waktu, penempatan tugas-tugas itu pada jarak yang jauh masih dilihat sebagai jaminan yang penting. 111 Komisi Yudisial yang baru dibentuk di beberapa negara memiliki ‟paket‟ tanggung jawab yang menarik. Belanda, Denmark dan Irlandia telah atau akan mempercayakan Komisi Yudisial melakukan tugas-tugas administratif dan pendukung pengadilan (mulai dari pelatihan, akomodasi, otomatisasi, penyediaan informasi, membantu proses rekrutmen dan membantu panitia pengawas masalah pengangkatan), menjalankan wewenang dalam bidang anggaran. Dengan demikian bukan saja semakin banyak Komisi Yudisial yang baru atau akan di bentuk di Eropa, tetapi komisi-komisi yang baru atau akan dibentuk tersebut semuanya merupakan varian dari model Eropa Utara. Dalam model Eropa Selatan, hal tersebut dilakukan melalui suatu sistem tanggung jawab peradilan atas kualitas individu hakim dan perkembangan karirnya. Di negara-negara seperti Perancis dan Italia, melalui kewenangan dalam perekrutan, pelatihan,
evaluasi,
pengangkatan,
kenaikan
pangkat
dan penempatan
hakim,
dilaksanakan oleh para hakim sendiri. Melalui kewenangan dalam hal pemberian sanksi disiplin, sistem Eropa Selatan memungkinkan pemberian peringatan terhadap hakim. Dalam melakukan pengawasan kualitas pelaksanaan peradilan, Komisi Yudisial di negara-negara yang menggunakan model Eropa Selatan biasanya menggunakan
111
Ibid.
67
pendekatan dalam bidang materil. Melalui suatu organisasi sendiri, perhatian ditujukan pada kebutuan organisasi peradilan. Dan dengan kemampuan untuk menangani kebutuhan materil langsung dan memiliki sebuah pusat informasi sentral, Komisi Yudisial model Eropa Selatan berusaha mencapai kualitas tertinggi dalam pemberian jasa peradilan. Peningkatan kualitas pelaksanaan peradilan diusahakan melalui peningkatan efisiensi. 112 Di banyak negara, fungsi pengawasan atau pendisiplinan Komisi Yudisial sudah jamak dan tidak pernah terbatas berlaku hanya untuk level hakim tertentu sebaliknya berlaku untuk semua hakim. Di antara fungsi-fungsi tersebut beberapa diantaranya justru lebih kuat dibandingkan fungsi pengawasan Komisi Yudisial yang ada di Indonesia.
112
Ibid., hlm. 136.
68
DAFTAR BACAAN (Sementara) A. Ahsin Thohari, 2004. Komisis Yudisial & Reformasi Peradilan, Jakarta : Elsam. Adnan Buyung Nasution dan A. Patra M. Zen (penyunting), 2006. Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, Jakarta: diterbitkan atas kerjasama YOI, YLBHI dan KKAA. Adnan Buyung Nasution dkk, 1999. Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: KRHN dan LeIP. Ananda B. kusuma, Lahirnya UUD 1945, Pusat Studi HTN UI, 2004. Antonio Gramsci. 1971. Selection From Prison Notebook, diedit dan diterjemahkan oleh Hoare dan Geoffrey N. Smith, London: Lawrance and Wishart, dalam Anthon F. Susanto, 2004. Wajah Peradilan Kita, Bandung:Refika Aditama. Antony Allot, 1980, The Limits of Law, London : Butterworths & Co. Azhariy,Teori Bernegara Berbangsa Indonesia (Suatu Pemahaman tentang pengertianpengertian dan asas-asas dalam hukum Tata Negara, Pidato pengukuhan di ucapkan pada Upacara Penerimaan Jabatan sebagai Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Indoinesia di Jakarta tanggal 26 Juli 1995. Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan Daerah Berdasarkan asas Desentralisasi Menurut UUD 1945. Disertasi, Pancasarjana Unpad, Bandung, 1990. ---------------, 2002, “Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dan bertangung jawab” dalam Tim Lelp,2002. Andai saya terpilih:Janji-Janji Calon Ketua dan Wakil Ketua MA, Jakarta ; Lelp, ---------------, 2001. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah. Yogyakarta : Pusat Studi Hukum FH-UII. Bruggink, 1996. Refleksi Tentang Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti. Dahlan Thaib, DPR Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Liberty, Yogyakrta 2000. Donald E. Litowitz, PhostmodernPhilosophy and Law, Kansas, 1997. Faisal A. Rani , 2002. Fungsi dan Kedudukan MA sebagai Penyelegara Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka sesuai dengan Paham Negara Hukum, Disertasi, Unpad Bandung, Firmansyah Arifin dkk, Hukum dan Kuasa Konstitusi, KRHN, Jakarta, 2004. Galang Asmara, 2005. Ombudsman Nasional Dalam Sistem Pemerintahan Negara Republik Indonesia, Yogyakarta:Leksbang Pressindo.
69
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russel and Russel, New York, 1997. Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara: Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen, Rajawali, Jakarta, 2005. Ibrahim R, 2003. Sistem Pengawasan Konstitusional antara kekuasaan legislatif dan eksekutif dalam pembaruan UUD 1945, disertasi di Unpad Bandung. Ifdhal Kasim (Editor). 2000. Dimensi-Dimensi HAM Pada Administrasi Keadilan, Jakarta: Elsam. Irfan Fakhrudin, 2004. Pengawasan Peradilan Administrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, Bandung : Alumni. I Gede Pantja Astawa, Hak Angket Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945, Disertasi Universitas Padjadjaran, Bandung, 2000. International Bar Association, International Bar Association Code of Minimum Standards of Judicial Independence, The Jerussalem Approved Standards of the 19th IBA Biennial Conference held on Friday, 22nd October 1982, in New Delhi, India. Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Bumi Aksara, Jakarta, 1986. Jazim Hamidi, Makna Dan Kedudukan Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus 1945 Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia , Disertasi Program pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung, 2005. Joseph Raz, The Concept of a Legal Syistem, Oxflord University Press, Oxford, 1970. Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD 1945, disampaikan dalam symposium nasional yang dilakukan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departeman Kehakiman dan HAM, Denpasar 14 – 18 Juli 2003. ---------------, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Mahkamah Konstitusi-Pusat Studi HTN UI, Jakarta , 2004. -------------, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta; Konstitusi Press, 2006. Jimly Asshiddiqie, Bagir Manan, et. al., Gagasan Amandemen UUD 1945 Pemilihan Presiden secara Langsung, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006). Jimly Asshiddiqie & M. Ali Safa‟at, 2006. Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Jakarta : Konstitusi Press. Karl Loewenstain, Political Power and the Govermental Process. 2end ed. Chicago and London, 1965.
70
La Ode Husen, 2005. Hubungan Fungsi PengawasanDPR dengan BPK dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, Bandung : CV. Utomo. Lawrance M. Friedman, 1984. American Law, New York-London : W.W. Norton & Company. L.Berman, Approaching Democracy”. 1999. Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993. Lili Rasjidi, 1993. Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti. Lord Liyod of Hamstead and M.D.A.Freeman, Liyod‟s Introduction to jurisprudence, stevens & sons, London, 1985. Mahadi Sugiono, 1999. Kritik Antonio Gramsci Terhadap Pembangunan Dunia Ketiga, Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Maria Farida Indriati Soeprapto. Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta, 1998. Miriam Budiarto, Demokrasi Di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, dan dikutip dalam: PSHK, semua harus terwakili: Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga Keprisidenan di Indonesia, PSHK, Jakarta, 2000. Michel Foucult, 1997. Disiplin Tubuh, Bengkel Individu Modern, Yogyakarta: LKIS. Moh. Kusnardi dan Bintan Saragih, Ilmu Negara, Edisi Revisi, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000. Muchsan, 2000. Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah dan PTUN di Indonesia, Yogyakarta : Liberty. Oemar Seno Adji, 1985. Peradilan Bebas Negara hukum, Jakarta, Erlangga. Paulus Efendi Lotulung, 1993. Beberapa Sistem tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Bandung: Citra Aditya Bakti. ------------------, “Kebebasan Hakim dalam Sistem Penegakan Hukum”, Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, dengan tema “Penegakan hukum dalam era pembangunan berkelanjutan”, diselenggarakarn oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia RI), Denpasar, 14 -18 juli 2003. R.M. MacIver, The Modern State, Oxford University Press, London, 1950.
71
S.F Marbun dan Moh. Mahfud MD., Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 1979, Peranan dan Penggunaan Pepustakaan di DalamPpenelitian Hukum, Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. Sudikno Mertokusumo. 1997. ”Sistem Peradilan di Indonesia”, artikel dala Jurnal Hukum Ius Qula Iustum Nomor 9 Volume 6 diterbitkan Fak. Hukum UII Yogyakarta. Sri Soemantri , Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Alumni, Bandung. 1986. Soehino, Asas-asas Hukum Tata Pemerintahan, Liberty, Yogyakarta, 1984. Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Peranan dan Penggunaan Pepustakaan di dalam penelitian Hukum, Pusat Dokumentasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1979. The Asia Foundation, Judicial Independence Overview and Country-Level Summaries, Asian Development Bank Judicial Independence Project, RETA No. 5987, submitted by The Asia Foundation, October 2003. Teuku Amir Hamzah dkk (de), Ilmu Negara: Kuliah Padmo Wahjono, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Indo Hill Co, Jakarta, 2003. Tim penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. I, Ed. III, Jakarta: Balai Pustaka, 2001. Tim KRHN dan LeIP, 1999. Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman, Jakarta: LeIP. Titik Triwulan Tutik, 2007. Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial , Jakarta : Prestasi Pustaka Publisher. Phillips O Hood and Paul Jackson., Contitutional and Administrative Law. London: Sweet Maxwell, 1987. Wim Voermans, 2002. Komisi Yudisial di Beberapa Negara Uni Eropa, Jakarta :LeIP. William A Shode dan Jr. Dan Voich, 1974, Organization ans Management: basic Syistem Conceps, Malaisya : Irwin Book Co, Dalam : Tantang M. Amirin, pokok–pokok Teori Sistem, Jakarta: Grafindo persada, 2001. Wiryono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Tata Negara Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1989. Yasraf Amir Piliang, 2001. Sebuah Dunia yang Menakutkan, Mesin-mesin Kekerasan dalam Jagad Raya Chaos, Bandung: Mizan.
72
Peraturan Perundang-Undangan Undang-Undang Dasar 1945 UU N0. 48 tahun 2009 Tentang Perubahan Atas UU No. 4 tahun 2004 dan UU No. 14 Tahun 1970 Tentang Kekuasaan Kehakiman UU No. 3 tahun 2009 Tentang Perubahan Atas UU No. 5 tahun 2004 dan UU No. 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung Undang-Undang No. 18 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang Undang No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial
73