EKSISTENSI KOMISI YUDISIAL DALAM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945 SKRIPSI Diajukan untuk Melengkapi Tugas dan Memenuhi Syarat dalam Mencapai Gelar Sarjana Hukum
OLEH
ADWAN MASTA PADANG NIM 040200142
DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih, anugrah dan bimbingannya yang senantiasa menyertai penulis terutama saat penulis menimba ilmu di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini guna melengkapi syarat dalam meraih gelar Sarjana Hukum. Adapun skripsi ini berjudul
“Eksistensi Komisi Yudisial dalam
Peneyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945.” Penulis telah mencurahkan segenap hati , pikiran, waktu dan kerja keras dalam menyusun skripsi ini. Di dalam penulisan skripsi ini, penulis mendapat bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsng maupun tidak langsung. Untuk itu penulis mengucapka terima kasih kepada: 1.
Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H. M. Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
2.
Bapak Armansyah, S.H., M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Tata Negara Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen Pembimbing I penulis yang telah bersedia meluangkan waktu guna memberi arahan dan bimbingan kepada penulis dalam penyelesaian penulisan skripsi ini;
3.
Bapak Yusrin S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang telah meluangkan waktu untuk memberikan bantuan dan bimbingan serta arahan kepada penulis pada saat penulisan skripsi ini;
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
4.
Ibu Aflah, S.H., M.Hum., selaku Dosen Wali dan seluruh dosen serta staf tata usaha di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah mendidik dan membimbing penulis selama mengikuti perkuliahan di Fakultas Hukum Unversitas Sumatera Utara;
5.
Kedua orang tuaku tercinta St. M. Padang, S.Pd dan H.Br. Boangmanalu, A.Md, yang telah memberi doa, kasih sayang, semangat serta dukungan moril maupun spiritual.
Terima kasih atas semua jerih payah dan
pengorbanan yang telah Bapak dan Mama berikan 6.
Saudara-saudariku yang tercinta Sriwasty, Nurmala Sari, Fransjhun Boy, Novantri Ruthana, Memory Yohanes, dan Alpiano Yosua yang senantiasa memberi dukungan doa, kasih sayang dan motivasi.
Kepada Silih P.
Bancin dan keluarga lainnya yang tidak bisa penulis sebutkan satupersatu. 7.
Bapak Bupati dan jajaran Pemkab. Pakpak Bharat, terima kasih atas kesempatan belajar yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU.
8.
Sahabat-sahabatku terutama Januari Sihotang, S.H., Luhut P. Purba, S.H., Rapael Sinaga, S.H, Choki Pangaribuan, SH, Maeka, Chandra Simbolon SE, Taripar Simare-mare, Amd., Nurlely, Wietra, Neira, Brando, Sheila, Alwan, Daniel, dan lain-lain. Terima kasih atas dukungan selama penulis menyelesaikan skripsi ini.
i
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
9.
Rekan-rekan di Kantor Kepegawaian Daerah terutama, Bapak J. Angkat, SH, Ibu Tiurma Berutu, Bapak Pantas Bancin, bang Elias Cibro, SH., Darianus Berutu, S.Psi, Sabar Boangmanalu, Atur Sayang Berasa ,SH, Kak Merry Bintang, Kak Siti Nurmita, Erika, Irfan, Nia, dan yang lainnya. Di dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari masih memiliki banyak
kekurangan dan masih jauh dari sempurna. mengharapkan
kritik
dan
menyempurnakan skripsi ini.
saran
yang
Untuk itu, penulis sangat bersifat
membangun
demi
Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.
Medan, Desember 2009
Adwan Masta Padang
ii Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................... i DAFTAR ISI ............................................................................................. iii Abstraksi ................................................................................................... iv
BAB I
PENDAHULUAN .................................................................... 1
A. Latar Belakang ...................................................................................... 1 B. Perumusan Masalah .............................................................................. 8 C. Tujuan Penulisan ................................................................................... 8 D. Manfaat Penulisan ................................................................................. 8 E. Keaslian Penulisan ................................................................................ 9 F. Tinjauan Kepustakaan ........................................................................... 9 1. Teori Pemisahan Kekuasaan ............................................................. 9 2. Teori Konstitusi ................................................................................ 12 3. Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia ...................................... 15 G. Metode Penulisan
................................................................................ 17
H. Sistematika Penulisan ............................................................................ 18 BAB II KEKUASAAN KEHAKIMAN INDONESIA ......................... 20 A. Konsepsi Negara Hukum ....................................................................... 20 B. Konsep-Konsep Kekuasaan Kehakiman Indonesia ................................ 27 BAB III
EKSISTENSI KOMISI YUDISIAL DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA ................ 46
A. Sejarah Lahirnya Komisi Yudisial ......................................................... 46 B. Komisi Yudisial sebagai Lembaga Negara Bantu (State Auxiliary Organs) ........................................................................ 56 1. Lembaga Negara Bantu di Indonesia ................................................ 56 2. Komisi Yudisial sebagai Lembaga Negara Bantu ............................. 61 iii
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
C. Hubungan Komisi Yudisial dengan Lembaga Negara Lain dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia ........................................... 69 1. Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Agung .................... 69 2. Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Konstitusi ............... 72 3. Hubungan Komisi Yudisial dengan Dewan Perwakilan Rakyat ......... 75 4. Hubungan Komisi Yudisial dengan Mahkamah Konstitusi ............... 77 BAB IV
PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG KONSTITUSIONAL KOMISI YUDISIAL ........................... 80 A. Mengusulkan Pengangkatan hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat .................................................................... 80 B. Menegakkan Keluhuran Martabat serta Menjaga Perilaku Hakim ................................................................................................... 92
BAB V PENUTUP ................................................................................ 98 A. Kesimpulan ........................................................................................... 98 B. Saran .................................................................................................... 100
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 102
iv
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
ABSTRAKSI EKSISTENSI KOMISI YUDISIAL DALAM PENYELENGGARAAN KEKUASAAN KEHAKIMAN REPUBLIK INDONESIA MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Adwan Masta Padang*1 Armansyah, S.H.,M.H** Yusrin, SH.,M.H**
Kekuasan kehakiman adalah karakteristik negara hukum yang demokratis. Di dalam konteks kekuasaan kehakiman di Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak menghendaki adanya suatu lembaga negara tertentu yang memiliki kekuasaan yang tidak terkontrol, melainkan telah didisain di dalam suatu sistem dimana kekuasaan dipisahkan atau dibagi di dalam fungsi pada lembaga negara yang sederajat serta saling imbang dan saling kontrol (checks and balances). Perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengintroduksi lembaga negara baru yang kewenangannya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang secara konstitusional dikonstruksikan sebagai lembaga negara mandiri dan bebas dari intervensi kekuasaaan manapun. Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang sengaja dibentuk untuk menangani urusan yang berkaitan dengan pengangkatan hakim agung serta menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Komisi Yudisial memiliki peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim. Secara struktural, dapat dikatakan bahwa kedudukan Komisi Yudisial sederajat dengan Mahkamah Agung. Akan tetapi, secara fungsional, peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap kekuasaan kehakiman. Meskipun secara fungsional terkait dengan kekuasaan kehakiman tetapi Komisi Yudisial tidak menjalankan fungsi kehakiman. Walaupun bersifat mandiri dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, Komisi Yudisial tetap memiliki hubungan dengan lembaga negara lainnya. Pada perjalanannya, judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial mengakibatkan beberapa pasal yang berkaitan dengan fungsi pengawasan Komisi Yudisial dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kekuatan hukum tetap. Ke depannya, kedudukan lembaga negara bantu seperti Komisi Yudisial membutuhkan legitimasi hukum yang lebih kuat dan lebih tegas serta dukungan yang lebih besar dari masyarakat. v
* Mahasiswa Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. ** Dosen Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Sumatera Utara. Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan presiden. Peristiwa tersebut merupakan awal datangnya era reformasi di tanah air. 2 Pada awal era reformasi berkembang tuntutan reformasi yang diusung oleh berbagai komponen masyarakat dan bangsa
yang digerakkan oleh
mahasiswa. Tuntutan tersebut antara lain: 1. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945); 2. Penghapusan doktrin dwifungsi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI); 3. Penegakan supremasi hukum, penghormatan hak asasi manusia (HAM), serta pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN); 4. Desentralisasi dan hubungan yang adil antara pusat dan daerah (otonomi daerah); 5. Mewujudkan kebebasan pers, dan; 6. Mewujudkan kehidupan demokrasi. 3 Era reformasi
telah membuka peluang bagi dilakukannya reformasi
konstitusi setelah mengalami fase “sakralisasi UUD 1945” selama pemerintahan Orde Baru. 4 Hal ini selaras dengan pendapat Robert M. G. Dawson dalam bukunya The Government of Canada (1957) yang intinya menolak sakralisasi konstitusi dengan menyatakan bahwa:
2
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok gramedia, Jakarta, 2009, hal. 207. 3 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bakti., Bandung, 2006, hal. 1. 4 Jimly Asshiddiqie, Loc. Cit. Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
“Whether they are in written or unwritten form, rigid or flexible are continually changing and becoming adapted to new ideas, new problems, new national and international forces”. 5 Selama empat tahun (1999-2002) Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan empat kali perubahan yang sangat mendasar terhadap UUD 1945. Bahkan dapat dikatakan bahwa hasil dari perubahan tersebut sebenarnya telah mengahasilkan konstitusi baru, walaupun nama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia masih tetap dipertahankan. 6 Perubahan UUD 1945 cukup mendasar, baik dari segi kuantitas maupun kualitas. 7 Dari segi kuantitas, UUD 1945 yang semula terdiri dari 16 bab, 37 pasal dan 49 ayat menjadi 21 bab, 73 pasal dan 170 ayat. Dari segi kualitasnya, perubahan dapat dilihat dari paradigma pemikiran dan pokok-pokok pikiran yang terkandung di dalam rumusan pasal-pasal UUD 1945 setelah perubahan tersebut yang berbeda dari pokok pikiran yang terkandung dalam naskah asli ketika UUD 1945 pertama kali disahkan pada tanggal 18 Agustus 1945. 8 Salah satu perubahan yang cukup mendasar adalah menyangkut keberadaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 sebelum perubahan menyebutkan: “Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat.” Ketentuan tersebut menempatkan MPR sebagai lembaga pemegang kedaulatan rakyat atau dianggap sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. MPR dijadikan sebagai lembaga tertinggi negara. Hal ini berbeda dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 setelah 5
Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Perpu, UMM Press, Malang,2003, hal. 2. Denny Indrayana, Negara Antara Ada dan Tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Kompas, Jakarta, 2008, hal. 3. 7 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hal. 210. 8 Ibid. 6
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
perubahan yang menyebutkan bahwa: “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar.”
Oleh karena itu,
Indonesia tidak lagi mengenal istilah lembaga tertinggi negara untuk kedudukan MPR, namun seluruh lembaga negara sederajat kedudukannya dalam sistem checks and balances. 9 Menurut Baron de Montesquieu
(1689-1755) terdapat tiga fungsi
kekuasaan yang dikenal secara klasik dalam teori politik maupun hukum yaitu fungsi legislatif, eksekutif dan yudikatif. 10 Montesquieu mengidealkan
ketiga
fungsi kekuasaan negara itu dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara. Dimana satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi (functie) saja dan tidak boleh saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti mutlak. 11 Dewasa ini, teori klasik
pemisahan kekuasaan
tidak relevan lagi
mengingat tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga organisasi tersebut hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. 12 Kenyataan dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan antarcabang kekuasaan harus saling bersentuhan, dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances. 13 Di sisi lain, perkembangan masyarakat di bidang ekonomi, politik, dan sosial budaya, serta pengaruh globalisme dan lokalisme menghendaki struktur organisasi negara yang lebih responsif terhadap tuntutan mereka serta lebih efektif
9
Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hal. v. 10 Ibid, hal. vii. 11 Ibid. 12 Ibid. 13 Ibid. Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
dan efisien dalam melakukan pelayanan publik dalam mencapai tujuan penyelenggaraan pemerintahan. 14 Oleh sebab itu, negara membentuk lembagalembaga negara baru yang diharapkan lebih responsif dalam upaya penyelesaian berbagai permasalahan aktual negara. Dengan demikian, pelaksanaan pelayanan publik dapat lebih efektif dan efisien sesuai dengan fungsi negara dan fungsi pemerintahan. Di Indonesia sendiri, kecenderungan terhadap lahirnya lemabaga-lembaga baru merupakan konsekuensi dari perubahan UUD 1945.
Menurut Jimly
Asshiddiqie di Indonesia terjadi eksperimentasi kelembagaan (institutional experimentation). 15 Hal ini dapat kita lihat dari semakin menjamurnya lembagalembaga negara baru, baik yang bersifat independen (independent agencies) maupun yang masih di bawah kontrol eksekutif (executive agencies). 16 Lebih lanjut Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa fenomena kreatifitas baru untuk memunculkan lembaga baru itu dikarenakan adanya kebutuhan efisiensi, di samping ketidak percayaan kepada lembaga lama. 17 Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman, perubahan
UUD 1945
setidaknya telah menyebabkan empat perubahan penting. Pertama, jaminan kekuasaan kehakiman yang merdeka ditegaskan dalam batang tubuh UUD 1945 yang sebelumnya hanya disebutkan dalam Penjelasan UUD 1945. Kedua, Mahkamah Agung dan badan kehakiman yang lain tidak lagi menjadi satu-
14
Ibid. Ibid. 16 Denny Indrayana, Op. Cit, hal. xi. 17 Buletin Komisi Yudisal Volume I, Februari 2007, hal.7. 15
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
satunya pelaku kehakiman. Ketiga, adanya Komisi Yudisial, dan keempat, adanya Mahkamah Konstitusi. 18 Salah satu lembaga negara baru yang lahir setelah perubahan UUD 1945 adalah Komisi Yudisial. Keberadaan Komisi Yudisal merupakan wujud nyata dari perlunya keseimbangan dan saling kontrol antarlembaga kekuasaan. Kehadiran Komisi Yudisal memberi harapan bagi terciptanya institusi peradilan yang bersih dari segala bentuk penyimpangan. Keberadaan Komisi Yudisal diatur dalam Pasal 24B UUD 1945 yang menyatakan : Ayat (1): Komisi Yudisal bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta keluhuran prilaku hakim. Ayat (2): Anggota Komisi Yudisal harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Ayat (3): Anggota Komisi Yudisal diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Ayat (4): Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisal diatur dengan undang-undang. Mengenai komisi ini diatur lebih lanjut dalam UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisal. Pada Pasal 13 undang-undang tersebut diatur mengenai kewenangan Komisi Yudisal, antara lain: a. Mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR; dan b. Menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Dalam melaksanakan wewenang
mengusulkan pengangkatan hakim
agung kepada DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 13 huruf a, Komisi Yudisal bertugas: 18
Sirajuddin dan Zulkarnaen, Komisi Yudisial & Eksaminasi Publik, Penerbit PT Citra Aditya, Bandung, 2006, hal. 9.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
a. b. c. d.
Melakukan pendaftaran calon Hakim Agung; Melakukan seleksi terhadap calon Hakim Agung; Menetapkan calon Hakim Agung; dan Mengajukan calon Hakim Agung ke DPR. 19
Dalam melaksanakan wewenang menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim sebagaimana diatur pada Pasal 13 huruf b, Komisi Yudisal mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. 20 Apabila kita kaji lebih lanjut rumusan Pasal 24B UUD 1945 setelah perubahan juncto UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisal di atas ternyata masih terdapat ketidakjelasan menyangkut eksistensi Komisi Yudisal. Misalanya, dalam hal perekrutan hakim agung, kewenangan Komisi Yudisal hanya sebatas mengusulkan calon hakim agung kepada DPR. Tidak ada jaminan yang tegas bahwa DPR harus menerima usulan tersebut. Begitu pula dalam hal pengawasan terhadap prilaku
hakim. Pengawasan eksternal yang dilakukan
Komisi Yudisal terjadi tumpang-tindih dengan pengawasan internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi. Dalam prosedur pengawasan, tidak jelas dan tidak tegas ditentukan siapa subjek yang mengawasi, apa objek yang diwasi, instrumen apa yang digunakan serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan. Ketidakjelasan tersebut, memicu konflik antara Komisi Yudisal dan Mahkamah Agung yang melahirkan
19 20
judicial review Mahkamah Konstitusi
Pasal 14 UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisal. Pasal 20 UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisal.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
terhadap UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisal. Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006, fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim dihapus.
Dengan demikian, pasal-pasal yang
mengatur fungsi pengawasan Komisi Yudisal antara lain Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 ayat (1) huruf e dan
ayat (5), Pasal 23 ayat (2), ayat (3), dan ayat (5)
dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Ada pun yang menjadi pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam putusannya adalah sebagai berikut : Bahwa pasal-pasal dalam UU Komisi Yudisal yang mengatur fungsi pengawasan terbukti menimbukan ketidakpastian hukum. UU Komisi Yudisal terbukti tidak rinci mengatur tentang prosedur pengawasan, tidak jelas dan tidak tegas menentukan siapa subjek yang mengawasi, apa objek yang diwasi, instrumen apa yang digunakan serta bagaimana proses pengawasan itu dilaksanakan. Fungsi Komisi Yudisal untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim yang seharusnya hanya memberikan sebagian kewenangan pengawasan etika kepada Komisi Yudisal, secara sadar atau tidak, telah ditafsirkan dan dipraktekkan sebagai pengawasan teknis yudisial dengan cara memeriksa putusan. 21 Dibatalkannya seluruh pasal yang mengatur fungsi pengawasan dalam Undang-Undang
Komisi Yudisal
sangat mempengaruhi eksistensi Komisi
Yudisal. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan, bagaimanakah eksistensi Komisi Yudisal sebagai lembaga negara dalam konsep checks and balances antarlembaga negara? Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis mencoba membahas masalah ini dalam skripsi dengan judul: “Eksistensi Komisi Yudisal dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Menurut UUD 1945”. 21
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 005/PUU-IV/2006, hal. 188.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan hal tersebut di atas, penulis merumuskan beberapa masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah konsep-konsep kekuasaan kehakiman di Indonesia menurut UUD 1945? 2. Bagaimanakah eksistensi Komisi Yudisal dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia? 3. Bagaimanakah pelaksanaan tugas dan wewenang konstitusional Komisi Yudisal? C. Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui konsep-konsep kekuasaan kehakiman di Indonesia menurut UUD 1945. 2. Untuk mengetahui eksistensi Komisi Yudisal dalam sistem ketatanegaraan RI. 3. Untuk mengetahui pelaksanaan tugas dan wewenang konstitusional Komisi Yudisal. D. MANFAAT PENULISAN Adapun manfaat penulisan skripsi ini adalah : 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penulisan skripsi ini diharapkan dapat memberi sumbangan pengetahuan dan pemikiran sebagai salah satu referensi perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara khususnya Departemen Hukum Tata Negara. b. Bagi penulis sendiri, penulisan skripsi ini bermanfaat dalam memenuhi persyaratan guna menyelesaikan studi dan meraih gelas kesarjanaan program strata satu (S-1) di Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penulisan skripsi diharapkan dapat memberi masukan dan sumbangan pemikiran yang bersifat konseptual yang berkaitan dengan kedudukan, tugas, dan wewenang Komisi Yudisal dalam sistem ketatanegaraan RI setelah perubahan UUD 1945.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
b. Hasil penulisan skripsi ini juga diharapkan dapat memberi informasi kepada masyarakat mengenai kedudukan, fungsi, dan wewenang Komisi Yudisal dalam sistem ketata negaraan RI setelah perubahan UUD 1945. E. Keaslian Penulisan Sepanjang pengetahuan penulis di lingkungan Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, “Eksistensi Komisi Yudisial dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman RI Menurut UUD 1945” yang diangkat menjadi judul dalam skripsi ini belum pernah diangkat dan ditulis sebagai sebuah judul skripsi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulisan skripsi ini dilakukan melalui berbagai referensi seperti bukubuku, media cetak dan elektronik, serta bantuan dari berbagai pihak yang dapat menunjang kelengkapan dari skripsi ini. Dengan demikian, penulis berkeyakinan dengan harapan bahwa keaslian skripsi ini dapat dipertanggung jawabkan. F. Tinjauan Kepustakaan 1. Teori Pemisahan Kekuasaan Teori atau konsep ini pertama kali dikemukakan oleh John Locke (1960) yang kemudian dikembangkan oleh Baron de Montesquieu (1689-1755) yang lebih dikenal dengan istilah trias politica. Teori ini dilandasi oleh pemikiran untuk mencegah terjadinya penumpukan kekuasaan secara absolut di tangan satu orang. Sebab hal tersebut sangat berpeluang bagi timbulnya penyalahgunaan kekuasaan (misuse power). Jika kekuasaan yudikatif diletakkan pada penguasa, maka
proses
peradilan
berpotensi
besar
untuk
dijadikan
alat
untuk
mempertahankan kepentingan penguasa. Selanjutnya, jika kekuasaan yudikatif
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
dan kekuasaan legislatif diletakkan pada penguasa maka akan lahir penguasa tirani. 22 Menurut John Locke dalam bukunya Two Treaties of Government, kekuasaan negara dibedakan atas tiga bidang kekuasaan, yaitu: legislative power sebagai pembuat undang-undang, executive power sebagai pelaksana undangundang dan federative power yaitu kekuasaan dalam hal melakukan hubungan diplomatik dengan negara lain. Selanjutnya, Montesquieu dalam bukunya The Spirit of The Laws (1748) membedakan pula kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.
tiga macam kekuasaan yaitu Montesquieu
tidak lagi
memasukkan federative power sebagai salah satu cabang kekuasaan tetapi memasukkan kekuasaan yudikatif yaitu kekuasaan untuk menghukum penjahat atau mengadili dan memutus pertikaian antar individu-individu. 23 Terdapat perbedaan pendapat antara John Locke dan Montesquieu, dimana menurut Locke kekuasaan eksekutif mencakup juga kekuasaan yudikatif karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang sedangkan kekuasaan federatif merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri (onafhankelijk).
Sementara itu
Montesquieu berpendapat bahwa kekuasaan eksekutif mencakup juga kekuasaan federatif karena mengadakan hubungan dengan negara luar adalah termasuk ke dalam kekusaan eksekutif, maka kekuasaan yudikatif merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri (onafhankelijk). 24 Dalam perkembangannya, tugas negara yang semakin banyak dan kompleks mengakibatkan penerapan teori pemisahan kekuasan (separation of 22
Sumali, Op. Cit, hal. 9. Ibid, hal. 10. 24 Ibid. 23
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
power) sulit dipatuhi secara tajam. 25 Pada zaman modern terjadi saling mengkombinasi antara konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) dengan konsep check and balances. 26 Konsep seperti ini umumnya disebut dengan istilah pembagian kekuasaan (distribution of powers). Dalam hal ini, kekuasaan tidak dipisah (secara tegas) tetapi hanya dibagi-bagi, sehingga memungkinkan timbulnya overlapping kekuasaan. 27 Apabila kita telusuri, teori pemisahan kekuasaan secara tegas sebagaimana ajaran trias politica Montesquieu sebenarnya merupakan teori ketatanegaraan yang dahulu dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental. Sedangkan konsep checks and balances merupakan konsep yang dianut oleh para founding fathers negara Amerika Serikat. Dalam hal ini, kekuasaan dibagi-bagikan akan tetapi antara satu sama lain terdapat hubungan yang saling mengawasi tanpa adanya superioritas pada satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya. Terdapat kesamaan mengenai dasar/pokok utama yang dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental dan versi Inggris-Amerika yakni kekuasaan itu berasal dari rakyat yang diperintah (government by consest of the governed) dan harus dibatasi (limited government). 28 Lazimnya, konsep distribution of power membagi cabang-cabang kekuasaan negara menjadi tiga badan yaitu (1) badan legislatif, (2) badan eksekutif, dan (3) badan yudikatif. Ada juga ahli yang berpendapat bahwa ketiga badan tersebut belum cukup dan menambahkan satu badan lain di luar ketiga 25
Saiful Anwar, Sendi-Sendi Hukum Tata Negara, Penerbit PT.Susito, Bandung, 1996, hal. 73-74. Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (rechtstaat), Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 105. 27 Ibid. 28 Jurnal Konstitusi, Volume I Nomor 2, Desember 2004, hal. 155. 26
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
badan tersebut. Misalnya, Van Vollenhoven menambahkan badan politie yang bertugas menjaga tata tertib untuk mengawasai agar semua cabang pemerintahan yang ada dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Dengan demikian, keseluruhan cabang pemerintahan menjadi empat, yaitu (1) regeling (legislatif), (2) bestuur (eksekutif), (3) rechtspraak (yudikatif), dan (4) politie. Sedangkan C.F. Strong membagi cabang kekuasaan menjadi enam badan, yaitu:
(1)
kekuasaan eksekutif, (2) kekuasaan legislatif, (3) kekuasaan yudikatif, (4) kekasaan administratif, (5) kekuasaan militer/pertahanan negara, dan (6) kekuasaan diplomatik. 29 Tidak diraguka n lagi bahwa teori trias politica sangat perlu diaplikasikan dalam suatu sistem pemerintahan yang
baik. 30 Sejarah ketatanegaraan
menunjukkan penerapan teori ini (dengan berbagai variasi) dapat mengantarkan umat manusia ke arah kehidupan yang lebih demokratis sehingga dapat menopang sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara yang dapat kelangsungan kehidupan manusia.
menjamin
Bahkan, penerapan doktrin trias politica
merupakan satu-satunya pilihan bagi setiap negara yang demokratis, maju dan modern. 31 2. Teori Konstitusi Dalam setiap negara hukum, materi hukum biasanya dilembagakan dalam
29
Munir Fuady, Op. Cit, hal. 105-106. Ibid. 31 Ibid, hal. 108. 30
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
bentuk tertentu dengan struktur tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar, baik yang dituangkan dalam hukum tertulis (written constitution) maupun tidak tertulis (unwritten constitution). 32 Menurut Hans Kelsen, konstitusi negara biasa juga disebut sebagai hukum fundamental negara, yaitu dasar dari tata hukum nasional.
Secara yuridis,
konstitusi dapat pula bermakna norma-norma yang mengatur proses pembentukan undang-undang, disamping mengatur pembentukan dan kompetensi organ-organ eksekutif dan yudikatif. 33 K.C Wheare membedakan konstitusi dua pengertian yaitu dalam arti luas (wider sense) dan konstitusi dalam arti sempit (narrower sense). Yang dimaksud dengan konstitusi dalam arti luas yaitu sistem ketatanegaraan suatu negara, kumpulan perturan-peraturan yang mendasari dan mengatur atau mengarahkan pemerintahan. Sebagai sistem pemerintahan, di dalamnya terdapat campuran tata peraturan baik yang bersifat legal dan sebagian bersifat non legal. Sedangkan pengertian konstitusi dalam arti sempit yaitu merupakan hasil seleksi dari peraturan-peraturan hukum yang mengatur pemerintahan negara tersebut dan telah diwujudkan dalam bentuk dokumen. 34 C.F Strong mengemukakan bahwa konstitusi itu merupakan kumpulan asas-asas yang mengatur tiga materi muatan pokok, yaitu : a. Kekuasaan pemerintah (dalam arti luas) b. Hak-hak yang diperintah (hak-hak azasi); dan c. Hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah. 35 32
K.C Wheare, Konstitusi-Konstitusi Modern, Pustaka Eureka, Surabaya, 2003, hal. 21. Sumali, Op. Cit, hal. 19. 34 K.C. Wheare, Op. Cit, hal. 1-3. 35 Nukhthoh Arfawie Kurde, Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal 18. 33
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Berdasarkan penjelasan C. F Strong di atas, dapat disimpulkan bahwa secara esensial kedudukan konstitusi berfungsi membatasi wewenang pemerintah atau penguasa dalam menjalankan pemerintahannya (limited government) dan melindungi hak-hak asas rakyat 36 Dalam penyusunan suatu konstitusi tertulis, nilai-nilai dan norma yang hidup dalam masyarakat dan dalam praktek penyelenggaraan negara turut mempengaruhi perumusan suatu norma ke dalam naskah undang-undang dasar. Karena itu suasana kebathinan (geistichenhentergrund) yang menjadi dasar latar belakang filosofis, sosiologis, politis dan historis perumussan yuridis suatu ketentuan undang-undang dasar, perlu dipahami dengan seksama, untuk dapat mengerti dengan sebaik-baiknya ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal undang-undang dasar. 37 Mahfud MD, menyebutkan bahwa semua konstitusi di dunia, mempunyai tujuan : a. Mengatur lembaga-lembaga negara dan wewenangnya b. Mengatur tentang perlindungan atas hak asasi manusia, karena adanya konstitusi maka dengan sendirinya banyak hal yang diatur di luar konstitusi tapi mempunyai sifat dan kekuatan mengikat seperti konstitusi. 38 Sebagi konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), UUD 1945 telah ditetapkan MPR sebagai sumber hukum dasar nasional. UUD 1945 juga merupakan hukum dasar tertulis negara Republik Indonesia, yang memuat
36
Ibid. Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hal. 29. 38 Mahfud MD, Dasar dan struktur ketatanegaraan Indonesia, edisi revisi, Rineke Cipta, Jakarta, 2001, hal. 72. 37
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
dasar dan garis besar hukum dalam penyelenggaraan negara. 39 Undang-undang dasar (konstitusi) sebagai dasar dan hukum tertinggi mengatur penyelenggaraan negara serta merupakan instrumen hukum untuk membatasi dan mengendalikan kekuasaan negara.
Dengan demikian, semua produk hukum yang berada di
bawahnya harus berdasarkan undang-undang dasar dan tidak boleh bertentangan dengannya. 40 3 Sistem Ketatanegaraan Indonesia Sistem ketatanegaraan diartikan sebagai susunan ketatanegaraan, yaitu segala sesuatu yang berkaitan dengan organisasi negara, baik menyangkut susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara maupun yang berkaitan dengan tugas dan wewenang masing-masing maupun hubungan satu sama lain. 41 Selanjutnya, sistem ketatanegaraan Indonesia dapat diartikan sebagai susunanan ketatanegaraaan Indonesia,
yaitu segala sesuatu yang berkenaan dengan
organisasi Republik Indonesia, baik menyangkut susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara Republik Indonesia yang berkaitan dengan tugas dan wewenang maupun hubungan satu sama lain menurut UUD 1945. Berbicara mengenai sistem ketatanegaraan Indonesia, menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sistem ketatanegaraan Indonesia menurut UUD 1945 merupakan sistem yang unik dan mungkin merupakan sistem yang tidak ada duanya di dunia. 42
Jika dicermati menurut UUD 1945, sistem ketatanegaraan Republik
39
Abdul Rasyid Thalib, Op, Cit,, hal. 94. Ibid, hal. 94-95. 41 Abdy Yuhana, Sistem Ketatangaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Fokus Media, Bandung, 2007, hal. 67. 42 Philipus M. Hadjon, Lembaga Tertinggi Negara dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Menurut UUD 1945, Surabaya, Bina Ilmu,1992, hal. ix. 40
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Indonesia tidak menganut suatu sistem negara mana pun tetapi adalah suatu sistem yang khas menurut kepribadian bangsa Indonesia. 43 Susunan organisasi negara yang diatur dalam UUD 1945 sebelum perubahan, yaitu: (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat, (2) Presiden, (3) Dewan Pertimbangunan Agung, (4) Badan Pemeriksa Keuangan, dan Agung.
(5) Mahkamah
Jika diklasifikasikan, MPR merupakan lembaga tertinggi negara
sedangkan lembaga kenegaraan lainnya merupakan lembaga tinggi negara. Sedangkan dalam susunan organisasi negara yang diatur dalam UUD 1945 setelah perubahan, antara lain: (1) Majelis Permusyawaratan Rakyat, (2) Presiden,
(3)
Dewan Perwakilan Rakyat, (4) Dewan Perwakilan Daerah, (5) Mahkamah Agung (6) Badan Pemeriksa Keuangan (7) Mahkamah Konstitusi, dan (8) Komisi Yudisial. Berbeda dengan sebelum dilakukannya perubahan UUD 1945, hasil perubahan tidak mengenal lembaga tertinggi negara karena lembaga-lembaga negara tersebut mempunyai posisi yang sama atau sebanding antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lainnya. Bentuk nyata dari perubahan UUD 1945 adalah perbedaan dalam hal kelembagaan negara terutama menyangkut lembaga negara, kedudukan, tugas, wewenang, hubungan kerja dan cara kerja lembaga yang bersangkutan. Munculnya gagasan perubahan tentang kelembagaan negara tersebut tak lain
43
Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT Bina Aksara, Jakarta, 1984, hal.41.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
adalah demi terciptanya sistem dan mekanisme checks and balances di dalam sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia. 44 Secara institusional, keseluruhan lembaga negara yang ada merupakan lembaga negara yang berdiri sendiri dimana yang satu bukan merupakan bagian yang lain.
Akan tetapi, dalam menjalankan kekuasaan atau wewenangnya,
lembaga negara yang satu tidak terlepas atau terpisah secara mutlak dengan lembaga negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa UUD 1945 tidak menganut paham pemisahan kekuasaan dalam arti materi (separation of power), melainkan pemisahan kekuasaan dalam arti formal. Dengan kata lain, UUD 1945 menganut konsep pembagian kekuasaan dengan menunjuk pada jumlah badan-badan kenegaraan yang diatur di dalamnya serta hubungan kekuasaan di antara badanbadan kenegaraan yang ada. 45 G. Metode Penulisan Metode penulisan merupakan cara yang digunakan dalam mencapai tujuan untuk menunjang usaha penyusunan dan pembahasan skripsi ini. Maka dalam penyusunan skripsi
ini agar
tujuan dapat
lebih
teratur
dan
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah, maka dipergunakan metode yuridis normatif. 46
Dikatakan demikian karena yang menjadi dasar dalam penulisan
skripsi ini adalah gagasan atau konsep hukum yang mencakup azas-azas hukum, penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan lain-lain. Yang menjadi titik berat dalam penulisan skripsi ini adalah bagaimana kedudukan, tugas, dan wewenang Komisi Yudisal 44
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara, LP3ES, Jakarta, 2007, hal. 65. Abdy Yuhana, Op. Cit, hal. 69. 46 Sorejono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1998, hal. 42. 45
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
dalam melaksanakan kekuasaan kehakiman Republik Indonesia menurut UUD 1945. Pendekatan yang bersifat yuridis normatif tersebut akan dilakukan dengan mempergunakan bahan hukum primer dan sekunder. Adapun bahan hukum primer yang diteliti adalah berupa bahan hukum yang mengikat yang terdiri dari UUD RI 1945, peraturan perundang-undangan maupun peraturan pelaksana yang dianggap menunjang terhadap penulisan skripsi ini. Bahan hukum sekunder yang diteliti adalah berupa karya ilmiah seperti bahan pustaka, dokumen-dokumen, buku-buku dan sebagainya. H. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : BAB I
PENDAHULUAN Pada bab ini penulis membahas dasar-dasar pemikiran penulis dan gambaran umum tentang tujuan tulisan ilmiah serta berisi hal-hal yang menyangkut teknis pelaksanaan penyelesaian skripsi yang dimulai dengan mengemukakan latar belakang pemulihan judul, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metode penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II
KEKUASAAN KEHAKIMAN INDONESIA Pada bab ini penulis akan membahas konsepsi negara hukum dan membahas mengenai kekuasaan kehakiman di Indonesia sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
BAB III
EKSISTENSI
KOMISI
YUDISAL
DALAM
SISTEM
KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA Pada bab ini penulis berusaha menguraikan eksistensi Komisi Yudisal yang berkaitan dengan kedudukan konstitusional Komisi Yudisal dan hubungan Komisi Yudisal dalam hubungannya dengan lembaga negara lain BAB IV
PELAKSANAAN
TUGAS
DAN
WEWENANG
KONSTITUSIONAL KOMISI YUDISAL Pada bab ini memuat analisis yang bertujuan untuk menjelaskan kewenangan konstitusional Komisi Yudisal sebagai lembaga negara dalam hubungannya dengan penerapan konsep checks and balances. BAB V
PENUTUP Bab ini berisikan inti jawaban dari pembahasan sesuai dengan rumusan masalah yang tertuang dalam bentuk kesimpulan ditambah dengan saran-saran dari penulis.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
BAB II KEKUASAAN KEHAKIMAN INDONESIA
A. Konsepsi Negara Hukum Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata ‘konsep’ diartikan sebagai ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret. Sedangkan kata ‘konsepsi’ diartikan sebagai pengertian, pendapat (paham), rancangan (cita-cita dsb) yang telah ada dalam pikiran. 47 Mengenai istilah ‘negara hukum’, Munir Fuady memberikan pengertian sebagai berikut: negara hukum adalah suatu sistem kenegaraan yang diatur berdasarkan hukum yang berlaku yang berkeadilan yang tersusun dalam konstitusi, dimana semua orang dalam negara tersebut, baik yang diperintah maupun yang memerintah, harus tunduk kepada hukum yang sama diperlakukan sama dan setiap orang berbeda diperlakukan berbeda dengan dasar pembedaan yang rasional, tanpa memandang perbedaan warna kulit, ras, gender, agama, kepercayaan, dan kewenangan pemerintah dibatasi berdasarkan suatu prinsip distribusi kekuasaan, sehingga pemerintah tidak bertindak sewenang-wenang dan tidak melanggar hak-hak rakyat, karenanya kepada rakyat diberikan peran sesuai kemampuan dan perannya secara demokratis. 48 Konsepsi negara yang berdasarkan hukum secara esensi bermakna hukum sebagai supreme. 49 Hukum sebagai supreme berarti bahwa hukum menjadi faktor penentu bagi keseluruhan dinamika sosial, ekonomi, dan politik suatu negara. Hal tersebut sejalan dengan pengertian nomocratie yaitu kekuasaan yang 47
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2005, hal. 588. 48 Munir Fuady, Op. Cit, hal. 3. 49 Sumali, Op. Cit, hal. 11. Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
dijalankan oleh hukum dan prinsip the rule of law, and not of the man yang menegaskan bahwa sesungguhnya yang memimpin dalam negara bukanlah manusia atau orang melainkan hukum itu sendiri. 50 Lahirnya konsep negara hukum dimaksudkan sebagai usaha untuk membatasi kekuasaan penguasa negara dari tindakan penyalah gunaan kekuasaan untuk menindas rakyatnya (abuse of power, abus de droit). 51 Pembatasan kekuasaan itu dilakukan melalui supremasi hukum (supremacy of law), yaitu bahwa segala tindakan penguasa harus berdasar dan berakar pada hukum menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 52 Konsepsi negara hukum sudah lama menjadi discourse para ahli. 53 Plato (429-347 S.M), seorang filosof Yunani menjabarkan konsepsi negara hukum di dalam tiga karya besarnya, yaitu: Politeia (the Republica), Politicos (The Statemen), dan Nomoi (The Law). Dalam bukunya Politeia, Plato berkeinginan agar negara diperintah oleh raja yang bijaksana (philosopher king) tanpa perlu tunduk kepada hukum. Akan tetapi, pada kenyataannya keadaan ideal hampir mustahil untuk terwujud. Oleh karena itu, Plato berpendapat dalam bukunya Nomoi bahwa negara harus diperintah oleh seorang kepala negara yang tunduk kepada aturan-aturan yang berlaku. 54
50
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme, Jakarta, Mahkamah Konstitusi dan Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI, 2004, hal. 22. 51 Munir Fuady, Op. Cit. 52 Sirajudin dan Zulkarnain, Komisi Yudisal & Eksaminasi Publik Menuju Peradilan yang Bersih dan Berwibawa, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 13. 53 Ibid, hal. 14. 54 Ellydar Chaidir, Negara Hukum, Demokrasi dan Konstalasi Ketatanegaraan Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2007, hal. 16-17. Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Pemikiran Plato tersebut kemudian dilanjutkan oleh muridnya Aristoteles (384-322 S.M).
Dalam bukunya yang berjudul Politicos beliau menghendaki
agar negara diperintah oleh kepala negara yang tunduk kepada hukum yang berlaku (rule of law). 55 Menurut Aristoteles, negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Hal ini berarti bahwa yang memerintah bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil, sehingga baik dan buruknya
hukum ditentukan oleh kesusilaan.
Untuk itu, manusia harus
dididik berdasarkan kesusilaan yang akhirnya akan menciptakan manusia yang mampu bersikap adil. Kesusilaanlah yang menentukan baik dan buruknya suatu hukum. 56 Apabila keadaan tersebut telah
terwujud terciptalah suatu negara
hukum. Tujuan negara adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas keadilan. 57 Selanjutnya,
Immanuel
Kant
dalam
bukunya
Methaphysiche
Ansfangsgrunde der Rechtslehre mengemukakan konsep negara hukum liberal. Immanuel Kant mengemukakan mengenai konsep negara hukum dalam arti sempit, yaitu bahwa fungsi hukum pada negara hanya sebagai alat perlindungan individu. Negara berstatus pasif yang berarti bahwa rakyat harus tunduk pada peraturan-peraturan
negara
sedangkan
penguasa
dalam
bertindak
harus
berdasarkan hukum. 58 Negara harus menjamin tata tertib dari perseorangan (individu) yang menjadi rakyatnya. Dalam hal ini, fungsi negara hanya dipandang sebagai sang 55
Munir Fuady, Op. Cit, hal. 27. Nukhthoh Arfawie Kurde, Op. Cit, hal. 14. 57 Ellydar Chaidir, Op. Cit, hal. 21. 58 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi & Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005, hal. 5. 56
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
penjaga malam (nachtwachtersstaat). Artinya, negara hanya bertindak apabila hak-hak asasi individu warganya berada dalam bahaya atau ketertiban umum dan keamanan umum terancam. 59 Penyelenggaraan perekonomian dalam negara hukum liberal berasaskan persaingan bebas. Laissez faire, laissez passer, siapa yang kuat dia yang menang. Kepentingan masyarakat tidak usah diperhatikan, yang penting kaum liberal mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Negara sejauh mungkin tidak ikut campur tangan dalam urusan individu warganya.
Dalam hal ini, hukum
administrasi negara sudah mulai muncul walaupun perannya masih sangat terbatas. Lapangan pekerjaan administrasi negara dalam negara hukum semacam ini hanyalah membuat dan mempertahankan hukum. 60 Pendapat Immanuel Kant kemudian diperbaharui oleh Frederich Julius Stahl. Frederich Julius Stahl mengemukakan bahwa negara harus menjadi negara hukum (rechtstaats).
Negara harus
turut campur tangan di seluruh sendi
kehidupan rakyat apabila menyangkut kepentingan rakyat. Akan tetapi campur tangan tersebut haruslah dilakukan menurut saluran-saluran hukum yang sudah ditentukan. Inilah yang menjadi esensi negara hukum formal yaitu bahwa negara hukum mendapat pengesahan dari rakyat, maka negara haruslah bertindak berdasarkan undang-undang.
Negara hukum formal ini disebut pula dengan
negara demokratis yang berlandaskan hukum. 61 F.J. Stahl menyusun unsur-unsur negara hukum formal sebagai berikut: a. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi; 59
Ellydar Chaidir, Op. Cit, hal. 27. Ibid., hal. 27-28. 61 Ni’matul Huda, Op. Cit, hal. 6. 60
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
b. Penyelenggaraan negara berdasarkan trias politica (pemisahan kekuasaan); c. Pemerintahan didasarkan pada undang-undang, dan; d. Adanya peradilan administrasi. 62 Berdasarkan unsur-unsur di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa negara hukum formal bertujuan untuk melindungi hak asasi warga negaranya dengan cara membatasi dan mengawasi gerak langkah dan kekuasaan negara dengan undangundang. 63 Seiring dengan usainya perang dunia kedua, konsep negara hukum formal tersebut banyak mendapat kritikan karena ekes-ekses yang ditimbulkan oleh sistem industrialisasi yang kapitalistik-eksploitatif dan berkembangnya faham sosialisme yang menginginkan pembagian kesejahteraan secara merata.
64
Akibatnya, gagasan yang membatasi pemerintah untuk mengurusi kepentingan warganya mengalami pergeseran ke arah gagasan baru yang mengafirmasi peran pemerintah harus aktif untuk mewudkan kesejahteraan warganya. 65 Prof. Lemaire mengistilahkannya dengan bestuurzorg yaitu bahwa pemerintah ditugaskan untuk menyelenggarakan
kepentingan
umum
yang
meliputi
segala
lapangan
kemasyarakatan. 66 Ide yang mendorong pemerintah untuk bersifat progresif di dalam usuran prifat ini dikenal dengan sebutan welfare state atau paham negara hukum materil. 67 Konsekuensi dari keterlibatan pemerintah di berbagai lapangan kehidupan masyarakat, adalah pemberian kewenangan kepada administrasi negara untuk 62
Ellydar Chaidir Op. Cit, hal.29. Ibid. 64 Sumali., Op. Cit, hal. 12. 65 Ibid. 66 Sudargo Gautama (Gouwgioksiong), Pengertian tentang Negara Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 1973, hal. 17. 67 Sumali,, Op. Cit. 63
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
menjalankan rencana aksinya atas inisiatif sendiri tanpa harus didahului dengan delegasi atau atribusi dari pihak parlemen.
Itulah sebabnya dalam rangka
bestuurzorg,
freis
pemerintah
dibekali
dengan
ermessen
atau
pouvoir
discretionnaire, yaitu kewenangan yang dimiliki pemerintah untuk turut serta dalam kehidupan sosial dan keleluasaan untuk tidak selalu terikat pada produk legislasi parlemen. 68 Dalam prakteknya penggunaan kekuasaan diskresi ini tidak jarang menimbulkan masalah, yakni berupa tindakan sewenang-wenang (a bus de droit/ wilkeur), penyalahgunaan wewenang (detournament de pouvair), kekeliruan dalam menafsirkan hukum (ermeeson unterschreitung), yang akibatnya justru merugikan masyarakat. 69 Untuk itu, seiring dengan semakin luasnya desakan berbagai kalangan yang menghendaki jaminan dan perlindungan warga negara akibat didayagunakannya instrumen freies ermesson tersebut maka International Commission of Jurist
pada konfrensinya di Bangkok (1965) memberikan
rumusan tentang ciri-ciri pemerintahan yang demokratis di bawah rule of law, yaitu: 1. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu, konstitusi harus pula menentukan cara prosedural untuk memperoleh perlindungan atas hak-hak yang dijamin; 2. Badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak; 3. Pemilihan umum yang bebas; 4. Kebebasan menyatakan pendapat; 5. Kebebasan berserikat dan berkumpul; 6. Pendidikan kewarganegaraan. 70
68
Ibid, hal. 13. Ibid. 70 Ibid. 69
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
H. Abdul Latief mengemukakan bahwa dalam pengertian materil, rule of law mencakup ukuran-ukuran tentang baik dan buruknya hukum yang meliputi aspek-aspek berikut: a. Ketaatan dari segenap warga masyarakat terhadap kaedah-kaedah hukum yang dibuat serta diterapkan oleh badan legislatif, eksekutif dan yudikatif; b. Kaidah-kaidah hukum harus selaras dengan hak-hak asasi manusia; c. Negara berkewajiban menciptakan kondisi social yang memungkinkan terwujudnya aspirasi dan penghargaan yang wajar terhadap hak asasi manusia; d. Terdapatnya tata cara yang jelas dalam proses mendapatkan keadilan terhadap perbuatan yang sewenang-wenang dari penguasa; e. Adanya badan yudikatif bebas dan merdeka yang akan dapat memeriksa serta memperbaiki setiap tindakan yang sewenang-wenang dari badanbadan eksekutif dan legislatif. 71 Kelima aspek di atas menjadi tolok ukur negara hukum dalam arti materil. 72 Apabila kelima aspek tersebut dapat terealisasi dalam
praktik
penyelenggaraan kekuasaan negara, maka tujuan negara hukum dalam arti materil dapat tercapai yaitu terlindunginya warga negara terhadap tindakan-tindakan yang sewenang-wenang dari pemerintah, sehingga setiap
warga negara dapat
menikmati martabat hidupnya sebagai manusia yang seutuhnya. 73 Di Indonesia sendiri, sebagai negara yang lahir pada abad modern menyatakan diri sebagai negara hukum. Pembukaan UUD 1945, maupun dalam batang tubuh beserta penjelasan UUD 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang bersumber pada Pancasila dan UUD 1945 dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka. Di dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 setelah perubahan
ditegaskan bahwa indonesia adalah negara hukum.
Ini berarti
kekuasaan tertinggi di dalam negara Indonesia ialah hukum dalam arti konstitusi. 71
H. Abdul Latif, Fungsi Mahkamah Konstitusi, Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi, Total Media, Yogyakarta, 2009, hal. 21. 72 Ibid. 73 Ibid. Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Karena itu kekuasaan tertinggi (dalam arti kedaulatan) berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Negara Indonesia adalah negara kesatuan, yang berbentuk republik, hal ini berarti sistem pemerintahan negara atau cara-cara pengendalian negara memerlukan kekuasaan, namun tidak ada suatu kekuasaan pun di Indonesia yang tidak berdasarkan hukum. 74
B. Konsep-konsep Kekuasaan Kehakiman Indonesia Kekuasaan kehakiman merupakan karakteristik negara hukum yang demokratis. 75 Kekuasaan kehakiman dan negara hukum merupakan satu kesatuan yang berarti bahwa kekuasaan kehakiman merupakan aspek utama negara hukum. Jika aspek tersebut tidak terdapat dalam suatu negara, maka negara tersebut tidak dapat dikatakan sebagai negara hukum.
76
Menurut Wirjono Prodjodikoro, kekuasaan kehakiman berfungsi untuk memutus sengketa hukum yang timbul antara anggota masyarakat satu sama lain dan antara anggota masyarakat dengan pemerintah. 77 Wewenang untuk memutus perkara
tersebut
mengarah
kepada
terwujudnya
perlindungan
hukum
(rechtbescherming) bagi rakyat. Perlindungan hukum bagi rakyat haruslah menegakkan keadilan dan kebenaran, dalam arti mengendalikan kekuasaan agar dalam membuat dan menerapkan hukum atau peraturan perundang-undangan
74
Ibid. hal. 73. Abdulah Zaini, Pengantar Hukum Tata Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991, hal. 78. 76 Ibid. 77 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya Bakti., Bandung, 2006, hal. 152. 75
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
tidak bertindak secara sewenang-wenang, berlaku adil dan benar menurut hukum yang pada akhirnya akan menciptakan kehidupan yang tertib dan damai. 78 Secara umum ada dua prinsip yang dipandang sangat pokok dalam kekuasaan kehakiman, yaitu: (1) prinsip kekuasaan kehakiman yang mandiri (the principle of judicial independence), dan (2) prinsip kekuasan kehakiman yang tidak memihak (the principle of judicial impartiality.)79 Prinsip independensi harus diwujudkan dalam sikap para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara yang dihadapinya. Disamping itu, independensi juga tercermin dalam berbagai pengaturan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengangkatan, masa kerja, pengembangan karir, sistem penggajian dan pemberhentian hakim. Sedangkan prinsip ketidakberpihakan (the principle of impartiality) di dalam praktek mengandung makna dibutuhkan hakim yang tidak saja bekerja secara imparsial (to be impartial), tetapi juga terlihat secara imparsial (to appear to be impartial). 80
Ketidakberpihakan (impartiality) kekuasaan
kehakiman tidak hanya ketiadaan bias atau kecurigaan tertentu terhadap hakim saja, melainkan juga berlaku bagi hal-hal yang berkaitan dengan pertimbanganpertimbangan lain seperti pandangan politik dan agama yang dianut oleh hakim. 81 Bagir Manan menyebutkan beberapa alasan kekuasaan kehakiman harus mandiri yaitu: a. Kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan sendi bagi kehidupan demokrasi dan terjaminnya perlindungan dan penghormatan atas hak azasi manusia; 78
Ibid. Jimly Asshiddiqie, Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,Op. Cit, hal. 531. 80 Ibid, hal. 531-532. 81 Ahsin Thohari, Komisi Yudisal & Reformasi Peradilan, Elsam, Jakarta, 2004, hal. 52. 79
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
b. Kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan sendi tegaknya paham negara berdasarkan konstitusi yang menghendaki agar kekuasaan negara dibatasi; c. Kekuasaan kehakiman yang mandiri diperlukan untuk menjamin netralitas terutama apabila sengketa terjadi antara warga negara dengan negara/pemerintah; d. Penyelesaian sengketa hukum oleh kekuasaan kehakiman yang mandiri merupakan dasar bagi berfungsi sistem hukum dengan baik. 82 Montesquieu menekankan akan pentingnya kekuasaan kehakiman yang terpisah dari kekuasaan lainnya. Beliau mengemukakan: When the legislative and executive powers are united in the same person or in the same body of magistrates, there can be no liberty because apprehensions, les the same monarch or senates should enact tyrannical laws, to executive judiciary power be not separated from the legislative and executive. Were it joined with the legislative, the live and liberty of the subject would be exposed to arbitrary control, or the judge would be the legislator. Were it joined to executive power, the judge might behave with violence and oppression. 83 Berdasarkan teks di atas, Montesquieu memberi penjelasan bahwa jika kekuasaan eksekutif dan legislatif
berada dalam satu tangan apakah itu
perseorangan atau suatu badan, maka kebebasan tidak akan ada. Jika kekuasaan kehakiman disatukan dengan kekuasaan legislatif, kekuasaan atas kehidupan dan kebebasan warga negara akan dijalankan sewenang-wenang karena hakim akan menjadi pembuat hukum (legislator).
Jika kekuasaan kehakiman disatukan
dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim bisa jadi penindas dan bertindak semena-mena.
Dengan demikian maka adanya kekuasaan kehakiman yang
mandiri merupakan upaya untuk mencegah penyelenggaraan negara atau pemerintahan secara sewenang-wenang oleh legislatif maupun eksekutif dan menjamin kebebasan anggota masyarakat negara. 84
82
Sirajudin dan Zulkarnain, Op. Cit, hal. 30-31. Ahmad Mujahidin, Op. Cit, hal. 17. 84 Ibid. 83
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
A. Mukti Arto mengemukakan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandung tiga
tujuan dasar, yaitu: pertama sebagai bagian dari
sistem pemisahan atau pembagian kekuasaan di antara bada-badan penyelenggara negara.
Kekuasaan kehakiman diperlukan untuk menjamin dan melindungi
kebebasan individu. Kedua,
kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan
untuk mencegah agar penyelenggara pemerintahan bertindak tidak semena-mena dan tidak menindas. Ketiga, kekuasaan kehakiman yang merdeka diperlukan untuk dapat menilai keabsahan secara hukum tindakan pemerintah atau suatu peraturan perundang-undangan, sehingga sistem hukum dapat dijalankan dan ditegakkan dengan baik. 85 Prinsip independensi kekuasaan kehakiman telah diakui secara global. Beberapa instrumen hukum internasional mengakui pentingnya independensi perdilan antara lain:
Universal Declaration of Human Rights (article 10),
International Convenanton on Civil and political Rights (article 14), Vienna Declaration on Programme for Actions 1993 (paragraph 27), International Bar Association Codeof Minimum Standards of judicial Independence, New Delhi 1982, Universal declaration on the Independence of Justice, Montreal 1983. Dalam Artikel 10 Universal Declaration of Human Right menegaskan bahwa: “Setiap orang berhak dalam persamaan, yang sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajiban-kewajibannya dan dalam
85
A. Mukti Arto, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Redefinisi Peran dan Fungsi Mahkamah Agung dalam Membangun Indonesia Baru.Pustaka Pelajar. Yogyakarta, hal. 150. Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
setiap tuntutan yang diberikan kepadanya.” 86 Hal ini berarti bahwa independensi kekuasaan kehakiman telah diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia. Maka, pengingkaran terhadap kekuasaan kehakiman yang merdeka dan tidak memihak sama saja dengan mengingkari nilai-nilai hak asasi manusia. Disamping itu, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB)
melalui Kongres
Ketujuh tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku Kejahatan yang berlangsung di Milan, Italia, 1985 telah menggariskan prinsip-prinsip dasar tentang kemandirian kehakiman/peradilan sebagai berikut: a. Kemandirian peradilan harus dijamin oleh negara dan diabadikan dalam konstitusi atau undang-undang negara. Adalah kewajiban semua lembaga pemerintahan atau lembaga-lembaga yang lain untuk menghormati dan menaati kemandirian peradilan. b. Peradilan harus memutus perkara-perkara yang diajukan kepadanya secara adil, atas dasar fakta-fakta dan sesuai dengan undang-undang tanpa pembatasan apa pun, pengaruh-pengaruh yang tidak tepat, bujukanbujukan langsung atau pun tidak langsung, dari arah mana pun atau karena alasan apa pun. c. Peradilan harus memiliki yurisdiksi atau semua pokok masalah yang diajukan untuk memperoleh keputusannya adalah berada dalam kewenangannya, seperti yang ditentukan oleh hukum. d. Tidak boleh ada campur tangan apa pun yang tidak pantas atau tidak diperlukan dalam proses peradilan, juga tidak boleh ada keputusankeputusan yudisial oleh peradilan banding atau pada pelonggaran atau keringanan oleh para penguasa yang berwenang terhadap hukumanhukuman yang dikenakan oleh peradilan sesuai dengan undang-undang. e. Setiap orang berhak diadili oleh peradilan atau tribunal biasa, yang menggunakan prosedur-prosedur proses hukum sebagaimana mestinya tidak boleh diciptakan untuk menggantikan yurisdiksi milik peradilan biasa atau tribunal yudisial. f. Prinsip kemandirian peradilan berhak dan mewajibkan peradilan untuk menjamin bahwa hukum acara peradilan dilakukan dengan adil dan bahwa hak-hak pihak dihormati. g. Adalah kewajiban setiap negara anggota untuk menyediakan sumbersumber yang memadai guna memungkinkan peradilan melaksanakan fungsi-fungsinya dengan tepat.87 86 87
Sirajudin dan Zulkarnain, Op. Cit. Ibid, hal. 32-33.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Selanjutnya, masing-masing negara menegaskan kemandirian kekuasaan kehakiman dalam konstitusinya. 88 Di Indonesia sendiri, penegasan kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam UUD 1945 sebelum perubahan tercantum dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 yang menyebutkan bahwa: “Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah.
Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan dalam undang-
undang tentang kedudukan para hakim.” Hal tersebut semakin ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 setelah perubahan yang menyatakan: “Kekuasaan kehakiman
merupakan
kekuasaan
kehakiman
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Perubahan UUD 1945 (1990-2002) telah membawa perubahan mendasar dalam sistem
ketatanegaraan, khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan
kehakiman di Indonesia. Hal tersebut sejalan dengan pembaruan sistem peradilan sebagai salah satu agenda reformasi di bidang peradilan. Berikut diuraikan secara umum mengenai institusi peradilan dan ruang lingkup kekuasaan kehakiman di Indonesia sebelum dan sesudah perubahan UUD 1945. UUD 1945 sebelum perubahan tidak memberikan penjelasan secara rinci tentang pengertian kekuasaan kehakiman secara tuntas (uitputtend) sebagai salah satu kekuasaan negara. 89 Oleh sebab itu, untuk mengetahui persoalan tersebut hanya dapat dilihat melalui gagasan-gagasan para pendiri bangsa (the founding fathers), baik selama dalam sidang BPUPKI maupun PPKI, dan pikiran-pikiran
88 89
Ibid. A. Mukti Arto., Op. Cit, hal. 146.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
lainnya serta pendapat yang senafas dan sejalan dengan cita-cita proklamasi, tujuan negara RI serta nilai-nilai dasar konstitusi. 90 Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan landasan bagi terbentuknya sistem (tata) hukum baru sistem hukum hukum Indonesia.
yaitu
Hal tersebut merupakan konsekuensi dari
adanya suatu negara yang merdeka yang memiliki kebebasan untuk mengatur sendiri tata negara dan tata hukumnya. 91 Pada tanggal 18 Agustus 1945, Dokuritzu Zyunbi Iinkai (Panitia Persiapan Kemerdekaan Republik Indonesia) mensahkan berlakunya UUD 1945 yang dirancang oleh Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sejak tanggal 29 Mei 1945 yaitu berupa rancangan mukadimah dan rancangan batang tubuh Undang-Undang Dasar. Kemudian pada tanggal 29 Agustus 1945 Komite Nasional Pusat dalam rapatnya mengesahkan Undang-Undang Dasar yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. UUD 1945 sebelum perubahan, ketentuan dasar mengenai organ dan wewenang kehakiman diatur dalam dua pasal, yaitu: Pasal 24: 1. Kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah mahkamah Agung dll. Badan kehekiman menurut Undang-Undang. 2. Susunan dan kekuasaan Badan-Badan Kehakiman itu diatur dengan Undang-Undang Pasal 25: Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai Hakim ditetapkan dengan Undang –Undang. 90
Ibid. Joeniarto, Asas-asas Hukum Tata Negara, Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta, 1968, hal. 49. 91
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Penjelasan resmi dari kedua pasal tersbut menyebutkan: “Kekuasaan kehakuman ialah kekuasaan
yang merdeka artinya terlepas dari pengaruh
kekuasaan Pemerintah. Berhubungan dengan itu harus diadakan jaminan dalam Undang-Undang tentang kedudukan para Hakim.” Prof. Wirjono Prodjodikuro, sebagaimana dikutip oleh Prof. M. Solly Lubis memberi makna dari ketentuan-ketentuan di atas sebagai berikut: a. bahwa ada kekuasaan kehakiman (yudikatif), terpisah dari kekuasaan perundang-undangan (legislatif) dan kekuasaan pemerintah (eksekutif) b. bahwa kekuasaan kehakiman ini adalah merdeka dalam arti terlepas dari pengaruh pemerintahan c. behwa ada satu Mahkamah Agung sebagai badan pengadilan tertinggi di Indonesia d. bahwa adanya badan-badan pengadilan lain di Indonesia diserahkan kepada undang-undan untuk mengaturnya e. bahwa pun syarat-syarat untuk pengangkata dan pemberhentian para hakim diserahkan kepada undang-undang untuk megaturnya f. bahwa ada semacam instruksi kepada pembentuk undang-undang agar dijamin kedudukan yang layak dari para hakim di tengah-tengah masyarakat.92 Undang-Undang yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 di atas adalah undang-undang yang mengatur kekuasaan kehakiman, yaitu a.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 tentang Susunan dan Kekuasan Badan-Badan Kehakiman dan Kejaksaan; b. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman; c. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Sesuai dengan judulnya maka undang-undang yang terluas adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948, karena selain mengatur tentang kekuasaan kehakiman juga mengatur mengenai kekuasaan kejaksaan.
Sebagai
undang-undang pertama yang mengatur kekuasaan kehakiman sejak Indonesia
92
M. Solly Lubis, S.H., Asas-Asas Hukum tata Tata Negara, Penerbit Alumni, Bandung, 1882, hal. 115-116. Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
merdeka, undang-undang ini menganut prinsip univikasi sebagai lawan dari prinsip pluralistik yang diterapkan pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Prinsip ini muncul pada Pasal 6 dan 7 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948. Pasal 6 menyatakan bahwa: “dalam negara Republik Indonesia hanya ada tiga lingkungan peradilan, yakni: 1) Peradilan Umum; 2) Peradilan Tata Usaha Pemerintahan; 3) Peradilan Ketentaraan.” Sementara Pasal 7 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 menegaskan bahwa: “Kekuasaan kehakiman dalam peradilan umum dilaksanakan oleh: 1) Pengadilan negeri; 2) Pengadilan Tinggi; 3) Pengadilan Agung.” Berdasarkan Pasal 6 dan Pasal 7 di atas ternyata Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948 tidak mengatur tentang keberadaan Pengadilan Agama.
93
Akan
tetapi tidak juga mengatur secara tegas penghapusan keberadaan Peradilan Agama. Ketidakjelasan itu dapat ditutupi dengan adanya Pasal 35 ayat (2) yang menyatakan bahwa: Perkara-perkara perdata antara orang Islam yang menurut hukum yang hidup, harus diperiksa dan diputuskan menurut hukum agamanya, harus diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Negeri yang terdiri dari seorang hakim yang beragama Islam sebagai ketua, dan dua orang hakim ahli agama Islam sebagai anggota yang diangkat oleh Presiden atas usul Menteri Agama dengan persetujuan menteri kehakiman.
Begitu juga dengan Pengadilan Adat, tidak terdapat pengaturan yang jelas mengenai keberadaaan pengadilan ini.
93
Ketentuan yang berkaitan dengan hal
Abdul Rasyid Thalib, Op. Cit, hal. 158.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
tersebut adalah Pasal 10 yang menyatakan bahwa: menurut
“Sepanjang perkara yang
hukum yang hidup dalam masyarakat desa dan sebagainya harus
diperiksa dan diputus oleh pemegang kekuasaan dalam masyarakat itu tinggal tetap pada mereka untuk diperiksa dan diputusnya.” 94 Dalam Penjelasan Umum undang-undang Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 menyatakan bahwa pembentukan undang-undang ini didasarkan pada Tap. MPR Nomor II/MPRS/1960 tentang Haluan Negara yang berupa Manipol Usdek dimana salah satu cirinya adalah bahwa Presiden (pimpinan nasional) sebagai Pemimpin Besar Revolusi yang memiliki kedudukan superior terhadap lembaga-lembaga negara lainnya, meliputi juga kekuasaan kehakiman. Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan UUD 1945 bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka dan terlepas dari pengaruh kekuasaan-kekuasaan lain.
Berhubungan dengan hal tersebut, maka adanya
ketentuan yang tercantum dalam Pasal 19 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 yang menyebutkan “Demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turun atau campur tangan salam soal-soal pengadilan”, adalah bertentangan dengan UUD 1945. 95 Mengenai jenis-jenis kekuasaan kehakiman diatur dalam Pasal 7 UndangUndang Nomor 19 Tahun yang secara garis besar Pasal itu berisikan empat hal, yaitu:
94
Ibid. Padmo Wahjono, Beberapa Masalah Ketatanegaraan di Indonesia, Penerbit CV.Rajawali, Jakarta, 1984, hal. 32. 95
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
1) Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh empat jenis peradilan, yaitu: (a) Peradilan Umum, (b) Peradilan Agama, (c) Peradilan Militer dan (d) Peradilan Tata Usaha Negara; 2) Semua Pengadilan berpucak pada Mahkamah Agung yang merupakan pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan peradilan; 3) Keempat jenis peradilan itu secara teknis berada di bawah pimpinan Mahkamah Agung, sedangkan secara organisatoris, administratif dan finansial berada di bawah departemen terkait; 4) Dengan adanya keempat jenis peradilan tidak tertutup kemungkinan penyelesaian perkara perdata secara damai di luar pengadilan. 96 Mengenai jenis-jenis kekuasaan kehakiman tersebut, penjelasan Pasal 7 undang-undang tersebut menyatakan bahwa: 1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 membedakan antara Peradilan Umum, Peradilan Khusus, dan Peradilan Tata Usaha Negara; 2) Peradilan Umum meliputi: Pengadilan Ekonomi, Pengadilan Subversi, dan Pengadilan Korupsi; 3) Peradilan Khusus terdiri dari Pengadilan Agama dan Pengadilan Militer. Berdasarkan penjelasan Pasal 7 di atas tidak disebutkan dengan tegas mengenai jenis Pengadilan Tata Usaha Negara apakah termasuk dalam Peradilan Umum atau Peradilan khusus.
Hal ini berarti bahwa Pengadilan Tata Usaha
Negara tidak dimasukkan dalam Pengadilan Khusus, akan tetapi dinyatakan memiliki jenis peradilan tersendiri, yaitu Peradilan Administratif. 97 Pokok materi yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1964 hampir sama dengan pokok pikiran yang tercantum di dalam UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970. Hanya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 pengaturannya lebih luas karena megatur pula hak menguji dari Mahkamah Agung dan koneksitas. 98 Pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 menyebutkan batasan pengertian mengenai kekuasaan kehakiman, bahwa kekuasaan kehakiman 96
Abdul Rasyid Thalib, Op. Cit, hal. 159. Ibid, hal.160. 98 Padmo Wahjono, beberapa Masalah ketatanegaraan Indonesia, Penerbit CV. Rajawali, Jakarta, 1984, hal 32. 97
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum RI. Selanjutnya, pada Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 menyebutkan bahwa
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman
tercantum dalam Pasal 1 diserahkan kepada badan-badan peradilan dan ditetapkan dengan undang-undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap yang diajukan kepadanya. Kekuasaan
kehakiman
yang
bebas
sering
dihubungkan
dengan
pengangkatan dan penggajian hakim. 99 Hal ini tampak dalam Prasaran Seminar Hukum Nasional Tahun 1968. Dalam hal pengangkatan yang penting adalah adanya kerja sama antara yudikatif, eksekutif dan legislatif. 100 Hal ini tercermin dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 yang antara lain menyebutkan: “untuk memperoleh hakim seperti tersebut di atas perlu ada kerja sama serta konsultasi antara Mahkamah Agung dan Pemerintah khususnya dalam bidang pengangkatan, pemberhentian, pemindahan, kenaikan pangkat, atau pun tindakan/hukuman administratif terhadap Hakim Pengadilan Umum sebelum Pemerintah mengadakan pengangkatan, pemberhentian dan lainnya.” Dalam penjelasan dikemukakan pula: “kerja sama yang dapat berupa usul-usul, pertimbangan atau pun saransaran yang dapat diberikan oleh kedua badan setidaknya dapat mengurangi kemungkinan subjektis visme, apabila soal yang berhubungan dengan kepegawaian hakim ditentukan dan dilakukan secara eksklusif oleh satu eksklusif oleh satu badan dalam soal pengangkatan, pemberhentian dan lainlain.” Ada pun pengaturan mengenai penggajian hakim, karena hakim juga merupakan pegawai negeri sipil maka berlaku peraturan gaji pegawai negeri sipil.
99
Ibid. Ibid.
100
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Selain itu mereka memperoleh tunjangan jabatan hakim yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 1977 tentang Tunjangan Jabatan Hakim pada Mahkamah Agung dan Peradilan Umum. 101 Dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 diatur mengenai hak menguji Mahkamah Agung yang menyatakan tidak sah semua perundangundangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang atas alasan bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi. Putusan Pernyataan tidak sahnya peraturan perundang-undangan tersebut dapat diambil berhubungan dengan pemeriksaan dalam tingkat kasasi. Ada pun pencabutan dari peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah tersebut dilakukan oleh instansi yang besangkutan (legislative review). Berdasarkan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangan pada ayat (2) menyebutkan bahwa Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi.
Penjabaran lebih lanjut mengenai
Mahkamah Agung diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985. Dalam usaha untuk memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, maka sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum dilakukan perubahan terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuanketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970.
101
Ibid.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Melalui perubahan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut telah diletakkan kebijakan bahwa segala urusan mengenai perdilan baik menyangkut teknis yudisial maupun organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Kebijakan ini biasa disebut dengan “kebijakan satu atap”. Kebijakan ini sudah harus dilaksanakan paling lambat lima tahun sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999. Dengan berlakunya undang-undang ini, pembinaan badan peradilan umum, badan peradilan agama, badan peradilan militer, dan badan peradilan Tata Usaha Negara berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Mengingat sejarah perkembangan peradilan agama yang spesifik dalam sistem peradilan nasional, pembinaan terhadap badan peradilan agama dilakukan dengan memerhatikan saran dan pandapat dari Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia. 102 Selanjutnya Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 tersebut diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004. Dalam Pasal 43 dan UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004 ditentukan bahwa sejak dialihkannya organisasi, admisnistrasi, dan finansial kepada kekuasaan Mahkamah Agung, maka: (a) semua pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara menjadi pegawai pada Mahkamah Agung; (b) semua pegawai yang menduduki jabatan structural pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan Tata Usaha Negara, dan pengadilan tinggi tata Usaha Negara tetap menduduki jabatannya dan tetap 102
Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Op. Cit, hal. 513.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
menerima tunjangan jabatan pada Mahkamah Agung; (c) semua aset milik/barang inventaris di lingkungan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi serta pengadilan Tata Usaha Negara dan pengadilan tinggi Tata Usaha Negara beralih ke Mahkamah Agung. Demikian juga halnya dengan lingkungan peradilan agama dan peradilan militer. Perubahan-perubahan yang dilakukan tersebut di atas, sejalan dengan semangat reformasi nasional yang berpuncak pada perubahan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi dalam penyelenggaraan negara Republik Indonesia. Berdasarkan perubahan UUD 1945 (1999-2002) ditentukan bahwa Mahkamah Agung beserta badan-badan peradilan di bawahnya tidak lagi menjadi satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman karena ada Mahkamah Konstitusi dan diperkuat dengan Komisi Yudisal. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi; “Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah agung dan badan-badan peradilan di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.” Mengenai kewenangan Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 24A UUD 1945, yaitu Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang
terhadap undang-
undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang. Disamping itu, Mahkamah Agung memberi pertimbangan dalam hal pemberian
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
grasi dan rehabilitasi oleh Presiden, serta mengajukan tiga orang sebagai hakim konstitusi. 103 Dalam undang-undang Nomor 5 tahun 2004 tentang perubahan Terhadap Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 menyatakan bahwa Mahkamah Agung mempuyai tugas dan wewenang untuk: (a) memutus sengketa tentang kewenangan mengadili antarbadan di bawahnya, (b) mengadakan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, (c) melakukan pengawasan tertinggi terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan pengadilan di bawahnya, (d) memutus pada tingkat pertama dan terakhir terhadap semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang Republik Indonesia, (e) melakukan pengawasan terhadap penasihat hukum dan notaris, dan (f) memberi petunjuk dan meminta keterangan kepada semua pengadilan yang berada di bawahnya. Selanjutnya mengenai Mahkamah Konstitusi diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Pada Pasal 24C ayat (1)
ditegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diatur oleh UndangUndang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Selanjutnya pada ayat (2) digariskan bahwa
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
103
Pasal 14 Ayat (1) jo. Pasal 24C Ayat (3) UUD 1945.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar. Dalam melaksanakan kewenangannya tersebut, Mahkamam Konstitusi mempunyai sembilan orang hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh hakim konstitusi. Hakim konstitusi harus memilikiintegritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara. Selanjutnya mengenai pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi diatur dengan undang-undang. Untuk melaksanakan Pasal 24C UUD 1945 ini, dibentuk Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-undang ini
menegaskan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah salah satu kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
Tentang kekuasaan Mahkamah
Konstitusi diatur dalam Pasal 10 yang merupakan penjabaran dari Pasal 24C ayat (1) dan (2) UUD 1945. Mengenai Komisi Yudisial diatur dalam Pasal 24A dan Pasal 24B UUD 1945. Komisi Yudisal bertugas untuk menyeleksi pengangkatan hakim-hakim agung sekaligus menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim yang diangkat oleh Presiden atas persetujuan DPR. Yudisial bersifat mandiri dan independen.
Komisi
Adapun mengenai susunan,
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
kedudukan, dan keanggotaannya diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisal. Pada bagian pertimbangan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisal menyatakan bahwa Komisi Yudisal mempunyai peran penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta menjaga perilaku
hakim sebagai wujud implementasi dari amanat yang secara tegas
dinyatakan dalam Pasal 24B UUD 1945. Mengenai kewenangan Komisi Yudisal melakukan pengawasan terhadap hakim, pada Pasal 24B ayat (1) “Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung dan melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim.”
Kewenangan mengusulkan pengangkatan
hakim menurut pasal ini
hanya terbatas pada Hakim Agung. Sedangkan untuk hakim tingkat pertama, Komisi Yudisal tidak memiliki kewenangan untuk mengusulkannya.
Namun,
dalam hal pengawasannya terhadap hakim, kewenangan Komisi Yudisal tidak hanya Hakim Agung termasuk juga kepada hakim pada tingkat pertama dan banding. Komisi Yudisal merupakan lembaga yang bersifat mandiri dalam menjalankan otoritas yang diembannya.
Ketentuan Pasal 24B UUD 1945
memberi suatu landasan hukum yang kuat bagi reformasi bidang hukum yakni dengan memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisal untuk mewujudkan cheks and balances.
Walaupun Komisi Yudisal bukan pelaku kekuasan
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
kehakiman tetapi berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. 104 Dengan demikian, dalam sistem dan mekanisme penyelenggaraan kekuasaan kehakiman Republik Indonesia (dalam hal ini sistem peradilan biasa, tidak termasuk sistem peradilan konstitusi yang diselenggarakan oleh Mahkamah Konstitusi), Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tertinggi dapat didampingi oleh Komisi Yudisal sebagai lembaga penunjang (auxiliary state commission). 105
104 105
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hal. 516. Ibid.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
BAB III EKSISTENSI KOMISI YUDISAL DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA
A. Sejarah Lahirnya Komisi Yudisal UUD 1945 dalam perubahan ketiga yang disahkan pada tanggal 10 Nopember 2001 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. 106 Sejalan dengan ketentuan tersebut, maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas
dari campur tangan kekuasaan lain untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan ketertiban, keadilan, kebenaran, dan kepastian hukum yang mampu memberikan pengayoman kepada masyarakat. 107 Berdasarkan perubahan tersebut, ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan lain yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. 108
106
Undang-Undang Dasar 1945 Perubahan III, Bab I Tentang Bentuk dan Kedaulatan, Pasal 1 ayat (3). 107 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 menyebutkan: “Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” 108 Ibid, Pasal 2 menyebutkan bahwa “Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dalam undang-undang ini adalah dilakukan oleh sebuah Mahkama Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Perubahan UUD 1945 yang menyangkut kelembagaan kekuasaan kehakiman sebagaimana di atas, telah mengintroduksi suatu lembaga baru yang kewenangannya berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisal. Kehadiran Komisi Yudisal sebagai lembaga negara baru dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia berdasarkan pada kesepakatan bahwa perlu ada suatu lembaga khusus untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman. 109
Keberadaan Komisi Yudisal
sebagai lembaga negara dijamin kemandiriannya dalam UUD 1945 yaitu dalam hal mengusulkan pengangkatan hakim agung sekaligus berwenang untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. 110 Kekuasaan kehakiman bukanlah suatu lembaga yang dapat menuntaskan segala persoalan yang menyangkut kekuasaan kehakiman. Beberapa aspek seperti pengangkatan, promosi, mutasi, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman terhadap hakim merupakan persoalan di dalam kekuasaan kehakiman yang apabila tidak terkelola dengan baik akan berpengaruh besar terhadap kinerja kekuasaan kehakiman secara keseluruhan. 111 Persoalan menjadi semakin rumit ketika menyangkut perekrutan
hakim agung.
Hal ini dikarenakan hakim agung
adalah jabatan yang sangat strategis sehingga selalu mengundang intervensi pemegang kekuasaan politik (DPR dan Presiden) dalam rangka menempatkan
109
Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Tentang Komisi Yudisal, 2003, hal. 12. 110 Di dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Paragraf 6 menyebutkan “Komisi Yudisal bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan Hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.” 111 A. Ahsin Thohari, Op. Cit, hal. 157. Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
orang-orangnya untuk dapat memperjuangkan kepentingan-kepentingannya di kemudian hari. Sebenarnya gagasan tentang perlunya suatu lembaga khusus untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu yang berhubungan dengan kekuasaan kehakiman bukanlah hal yang baru. Dalam pembahasan Rancangan UndangUndang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman pada tahun 1968, sempat diusulkan pembentukan lembaga yang diberi nama Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim
(MPPH). Majelis ini berfungsi untuk
memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan terakhir mengenai saransaran yang berkaitan dengan pengangkatan, promosi, mutasi, pemberhentian, dan tindakan atau hukuman jabatan hakim,
yang diajukan baik oleh Mahkamah
Agung maupun Departemen Kehakiman.
112
Namun dalam perjalanannya, ide
tersebut tidak berhasil dimasukkan ke dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Akan tetapi, gagasan tersebut kembali muncul dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid seiring dilakukannya reformasi lembaga peradilan. Pada tahun 1998 Majelis Permusyawaratan Rakyat mengeluarkan Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR/1998
tentang Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam
Rangka Penyelamatan dan Normalisasi
Kehidupan Nasional sebagai Haluan
Negara. Kebijakan reformasi di bidang hukum meliputi: 1. Penanggulangan krisis dibidang hukum bertujuan untuk tegaknya dan terlaksananya hukum dengan sasaran terwujudnya ketertiban, ketenangan, dan ketetntraman masyarakat. agenda yang harus dijalankan adalah:
112
Ibid.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
a. Pemisahan secara tegas fungsi dan wewenang aparatur penegak hukum, agar dapat dicapai proporsionalitas profesionalitas, dan integritas yang utuh. b. Meningkatkan dukungan perangkat, sarana, dan prasarana hukum yang lebih menjamin kelancaran dan kelangsungan berperannya hukum sebagai pengatur kehidupan nasional. c. Memantapkan penghormatan dan dan penghargaan terhadap hakhak asasi manusia melalui penegakan hukum dan peningkatan kesadaran hukum bagi seluruh masyarakat. d. Membentuk undang-undang keselamatan dan keamanan negara sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Subversi yang akan dicabut. 2. Pelaksanaan reformasi di bidang hukum dilakasanakan adalah untuk mendukung penanggulangan krisis di bidang hukum. Agenda yang harus dijalankan adalah: a. Pemisahan yang tegas antarfungsi-fungsi yudikatif dan eksekutif b. Mewujudkan sistem hukum nasional melalui program legislasi nasional secara terpadu. c. Menegakkan supremasi hukum dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. d. Terbentuknya sikap dan perilaku anggota masyarakat termasuk para penyelenggara negara yang menghormati dan menjunjung tinggi hukum yang berlaku. 113 Berangkat dari persoalan di atas, berdasar kepada Keppres No. 21/1999 dibentuklah Tim Kerja Terpadu Mengenai Pengkajian Pelaksanaan Ketetatapan MPR Nomor X/MPR/1998 Berkaitan dengan Pemisahan yang Tegas antara Fungsi-fungsi Yudikatif dan Eksekutif. Tim ini menyimpulkan bahwa penyatuan atap tanpa perombakan sistem tertentu berpotensi untuk melahirkan monopoli kekuasaan kehakiman. Oleh karena itu, tim kerja terpadu tersebut yang diketuai oleh Ketua Muda Mahkamah Agung dan beranggotakan unsur hakim, akademisi, advokat dan pemerintah memberikan rekomendasi perlunya penyatuan atap di satu sisi dan perlunya pembentukan dewan kehormatan hakim yang berwenang mengawasi perilaku hakim,
113
memberikan rekomendasi mengenai rekruitmen,
Ibid, hal. 163-164.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
promosi dan mutasi hakim serta menyusun code of conduct bagi hakim di sisi lain. 114 Bertolak dari gagasan penyatuan sistim satu atap kekuasaan kehakiman yang memberikan kewenangan yang besar kepada Mahkamah Agung, maka dalam Seminar Hukum Nasional Ketujuh bertema Reformasi Hukum Menuju Masyarakat Madani yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 12-15 Oktober 1999 merekomendasikan tentang kemandirian kekuasaan kehakiman sebagai berikut : 1. Perlu dipikirkan agar hakim mempunyai kekebalan, yakni tidak dapat digugat dalam hal memutus suatu perkara. Kekebalan ini harus ada imbangannya, yakni tingkah laku para hakim. Di luar negeri hakim dapat di-impeacht. Apakah hal ini dapat berlaku di Indonesia? Bagaimana mekanismenya? Siapa yang melakukannya? Hal ini memerlukan pengkajian-pengkajian lebih lanjut. 2. Tentang mekanisme kontrol terhadap kekuasaan kehakiman di masa datang, diusulkan adanya mekanisme kontrol internal dan eksternal. Kontrol internal dilaksanakan dengan adanya suatu kode etik dan dewan kehormatan kehakiman. Sedangkan eksternal kontrol memerlukan adanya suatu dewan pengawas kinerja kekuasaan kehakiman yang anggotanya terdiri dari para ahli di bidang kehakiman. Dewan ini yang memberikan saran-saran kepada Ketua Mahkamah Agung untuk memberdayakan kekuasaan kehakiman. Di samping itu, dewan ini juga dapat mengusulkan proses impeachment para hakim. 115 Rekomendasi Tim Kerja Terpadu kemudian diadopsi
dalam Undang-
Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pasal 1 angka 1 dan angka 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 menyebutkan bahwa kewenangan pembinaan administrasi, organisasi dan finansial hakim diserahkan ke Mahkamah Agung. Penyerahan tersebut harus dilakukan paling lambat lima 114 115
Mahkamah Agung Republik Indonesia, hal.14. Sirajuddin dan Zulkarnain, Op. Cit, hal. 69.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
tahun yaitu sampai dengan tahun 2004. Nomor 39 Tahun 1999
Penjelasan Umum Undang-Undang
menyatakan bahwa untuk meningkatkan checks and
balances terhadap lembaga peradilan antara lain perlu diusahakan agar putusanputusan pengadilan dapat diketahui secara tebuka dan transparan oleh masyarakat dan dibentuk Dewan Kehormatan Hakim (DKH) yang berwenang mengawasi perilaku hakim, memberikan rekomendasi mengenai perekrutan, promosi dan mutasi hakim serta menyusun kode etik (code of conduct) dari para hakim. Akan tetapi, gagasan penyatuan atap kekuasaan kehakiman ke dalam Mahkamah Agung menimbulkan kekhawatiran terjadinya monopoli kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung. Mengingat tujuan utama penyatuan atap adalah untuk membuat lembaga-peradilan menjadi lebih independen dari campur tangan kekuasaan politik. Dengan diserahkannya wewenang pembinaan dan pengawasan pengadilan sepenuhnya (mutlak) kepada Mahkamah Agung, maka tidak memungkinkan dilakukannya checks and balances antarlembaga negara. 116 Kekhawatiran tersebut didukung oleh pengalaman di masa lalu. Pada sekitar tahun 1966, Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) sering menentang kebijakan Soerjadi Ketua Mahkamah Agung kala itu, yang dianggap membiarkan kepentingan politik mengintervensi lembaga peradilan. Oleh karena itu kemudian Soerjadi berusaha ‘memutasi’ pimpinan IKAHI yang kritis seperti Asikin Kusumahatmadja, Sri Widyowati dan Bustanul Arifin dari Jakarta ke daerah. Ia meminta Menteri Kehakiman saat itu, Seno Adji, untuk menyetujui usulan pemindahan ketiga hakim tersebut. Karena beberapa hal, Seno Adji menolak
116
Ibid, hal. 163.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
permintaan tersebut. Ini adalah kasus pertama dimana Departemen Kehakiman menolak permintaan dari Mahkamah Agung. Peristiwa tersebut menggambarkan adanya potensi abuse of power yang mengancam independensi hakim apabila dilakukannya penyatuan atap yang tidak disertai dengan adanya sistem yang baik. 117 Selain itu, kondisi Mahkamah Agung pada saat itu dianggap tidak akan mampu menjalankan tugas barunya tersebut. Mengingat Mahkamah Agung selama ini sudah disibukkan dengan persoalan-persoalan teknis seperti perekrutan hakim, mutasi dan promosi serta pengangkatan ketua dan wakil ketua pengadilan, pengawasan dan lain-lain. Adanya kekhawatiran tersebut didasarkan
pada
kenyataan bahwa pada masa lalu Mahkamah Agung dianggap gagal dalam menjalankan tugas dan wewenangnya menyangkut rekruitmen hakim, mutasi, promosi, termasuk pengangkatan ketua dan wakil ketua pengadilan.
Dimana
pada masa lalu Mahkamah Agung tidak pernah menggunakan ukuran-ukuran yang objektif dalam menentukan mutasi dan promosi hakim. Demikian juga dalam hal pengawasan terhadap hakim, Mahkamah Agung tidak dapat melakukakannya dengan efektif.
Selain itu, kemampuan manajemen sumber daya manusia,
keuangan dan manajemen perkara masih mempunyai kelemahan. Ditambah lagi dengan kualitas dan integritas personal Mahkamah Agung yang masih diragukan. 118 Setelah gagasan pembentukan Majelis Pertimbangan dan Penelitian Hakim (MPPH) dan Dewan Kehormatan Hakim (DKH), muncul wacana baru yang 117 118
Mahkamah Agung, Op. Cit, hal. 23-24. Ibid. hal. 168-169.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
kemudian dikenal dengan sebutan Komisi Yudisal. Penyebutan Komisi Yudisial secara ekplisit dimulai pada saat ditetapkanya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) Tahun 2000-2004. Dalam undang-undang ini dikemukakan kegiatan-kegiatan pokok yang berkaitan dengan program pemberdayaan lembaga peradilan dan penegak hukum lainnya. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain: 1. Meningkatkan pengawasan dalam proses peradilan secara transparan untuk memudahkan partisipasi masyarakat dalam rangka pengawasan dan pembentukan terhadap sistem manajemen dan administrasi peradilan. 2. Menyusun rekruitmen dan promosi yang lebih ketat dan pengawasan terhadap proses rekruitmen dan promosi dengan memegang asas kompetensi, transparansi dan partisipasi baik bagi para hakim dan penegak hukum lainnya. 3. Meningkatkan kesejahteraan hakim dan aparat penegak hukum lainnya seperti: jaksa, polisi dan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS). Melalui peningkatan gaji dan tunjangan-tunjangan lainnya sampai pada tingkat pemenuhuan kebutuhan hidup yang disesuaikan dengan tugas dan wewenang dan tanggung jawab kerja yang diemban. 4. Membentuk Komisi Yudisal dan Dewan Kehormatan Hakim untuk melakukan fugsi pengawasan. Pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas mengenai amandemen ketiga UUD 1945, telah disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisal.
Lahirlah Pasal 24B yang menyatakan perlunya
dibentuk Komisi Yudisal yang bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim
agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Selain itu, dalam Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 diatur secara umum mengenai persyaratan anggota Komisi Yudisal, mekanisme pengangkatannya dan perlunya pengaturan rinci hal-hal lain dalam undang-undang. Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Sebagai tindak lanjut amanat konstitusi, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat membentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisal (Undang-Undang Komisi Yudisal) untuk mengatur lebih lanjut susunan, kedudukan dan hal-hal lainnya yang terkait dengan tugas dan wewenang Komisi Yudisal. Pada tahun 1999, seorang ahli hukum yang bernama Van Voermen melakukan penelitian terhadap lembaga semacam Komisi Yudisal di beberapa negara Uni Eropa.
Dalam salah satu kesimpulannya mengemukakan bahwa
insentif yang penting untuk mendirikan Komisi Yudisal di hampir semua negara yang diteliti adalah untuk memajukan independensi peradilan. 119 Sejalan dengan hal tersebut, A. Ahsin Thohari menyimpulkan bahwa alasan-alasan utama yang menyebabkan munculnya gagasan pembentukan Komisi Yudisal, antara lain: 1. Lemahnya monitoring yang intensif terhadap kekuasaan kehakiman karena monitoring hanya dilakukan secara internal saja; 2. Tidak adanya lembaga yang menjadi penghubung antarkekuasaan pemerintah dalam hal ini Departemen Kehakiman dan kekuasaan kehakim an; 3. Kekuasaan kehakiman dianggap tindak mempunyai efisiensi dan efektifitas yang memadai dalam menjalankan tugasnya apabila masih disibukkan dengan persoaln-persoalan teknis menghukum; 4. Rendahnya kualitas dan tidak adanya konsistensi putusan lembaga peradilan karena tidak diawasi secara intensif oleh lembaga yang benarbenar independen; dan 5. Pola rekruitmen hakim terlalu bias dengan masalah politik karena lembaga yang mengusulkan dan merekrutnya adalah lembaga-lembaga politik. 120 Selain itu, Menurut jimly Asshiddiqie maksud dibentuknya Komisi Yudisal dalam struktur kekuasaan kehakiman Indonesia adalah agar warga di luar 119 120
Sirajuddin dan Zulkarnain, Op. Cit, hal. 72. A. Ahsin Thohari, Op. Cit, hal. 217-218
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
struktur resmi lembaga parlemen dapat dilibatkan dalam poses pengangkatan, penilaian kinerja, dan kemungkinan pemberhentian hakim.
Semua itu
dimaksudkan untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim
dalam rangka mewujudkan kebenaran dan keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan kehormatan dan keluhuran martabatnya itu kekuasaan kehakiman yang merdeka dan bersifat imparsial (independent and impartial judiciary) diharapkan dapat diwujudkan sekaligus diimbangi oleh prinsip akuntabilitas kekuasaan kehakiman, baik dari segi hukum mupun dari segi etika.
Untuk itu, diperlukan institusi pengawasan yang
independen terhadap para hakim itu sendiri yaitu Komisi Yudisal yang berkaitan dengan fungsi pengawasan eksternal terhadap kekuasaan kehakiman.
121
Keberadaan lembaga semacam Komisi Yudisial sudah bukan hal yang baru di dunia. Untuk lembaga sejenis Komisi Yudisial, lembaga-lembaga ini mempunyai garis- besar yang sama dan hanya dibedakan pada fungsi, organisasi atau penamaan lembaga. Di Afrika Selatan misalnya, lembaga semacam Komisi Yudisial dikenal dengan nama Judicial Service Commission yang berfungsi memberikan rekomendasi pemberhentian hakim,
mengajukan calon Ketua
Mahkamah Agung, dan memberikan masukan dalam hal pengangkatan Ketua serta Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Filipina memiliki lembaga sejenis Komisi Yudisial dengan nama Judicial and Bar Council yang berfungsi memberikan rekomendasi kepada Presiden dalam hal pengangkatan hakim dan komisi ombudsman serta menjalankan tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh
121
Ibid, hal. xiv
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Mahkamah Agung.
Negara-negara Eropa Selatan, seperti Perancis, Italia,
Spanyol, dan Portugal juga memiliki lembaga sejenis Komisi Yudisial. Lembaga tersebut cenderung memiliki kewenangan terbatas, yaitu rekruitmen hakim, mutasi dan promosi serta pengawasan dan pendisiplinan hakim. Dan di negaranegara Eropa Barat seperti Swedia, Irlandia, dan Denmark, lembaga sejenis Komisi Yudisial mempunyai fungsi lebih luas yaitu juga melakukan pengawasan terhadap administrasi pengadilan, keuangan pengadilan, manajemen perkara hingga manajemen pengadilan. 122
B. Komisi Yudisal sebagai Lembaga Negara Bantu (State Auxiliary Organs) 1. Lembaga Negara Bantu di Indonesia Masyarakat yang semakin berkembang ternyata menghendaki negara memiliki struktur organisasi yang lebih responsif terhadap tuntutan mereka. Terwujudnya efektivitas dan efisiensi baik dalam pelaksanaan pelayanan publik maupun dalam pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan juga menjadi harapan masyarakat yang ditumpukan kepada negara. Perkembangan tersebut memberikan pengaruh terhadap struktur organisasi negara, termasuk bentuk serta fungsi lembaga-lembaga negara. Sebagai jawaban atas tuntutan perkembangan tersebut, berdirilah lembaga-lembaga negara baru yang dapat berupa dewan (council), komisi (commission), komite (committee), badan (board), atau otorita (authority) 123 Lahirnya lembaga negara-lembaga negara baru tersebut, dalam
122
Mahkamah Agung RI, Op. Cit, hal. 3. Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, op. cit., hal. vii-viii. 123
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
pelaksanaan fungsinya tidak secara jelas termasuk ke dalam salah satu dari tiga organ negara menurut trias politica. Dalam perkembangannya sebagian besar lembaga yang dibentuk tersebut adalah lembaga-lembaga yang mempunyai fungsi pembantu bukan yang berfungsi utama. Lembaga negara-lembaga negara
baru tersebut disebut dengan state
auxiliary organ, yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai lembaga negara bantu dan merupakan lembaga negara yang bersifat penunjang. 124
Istilah
“lembaga negara bantu” merupakan istilah yang paling umum digunakan, meskipun ada pula yang berpendapat bahwa istilah lain seperti “lembaga negara penunjang”, “komisi negara independen” atau “lembaga negara independen” lebih tepat untuk menyebut jenis lembaga tersebut. Secara teoritis, lembaga negara bantu bermula dari kehendak negara untuk membuat lembaga negara baru yang pengisian anggotanya diambil dari unsur non-negara, diberi otoritas negara, dan dibiayai oleh negara tanpa harus menjadi pegawai negara. Gagasan lembaga negara bantu sebenarnya berawal dari keinginan negara yang sebelumnya kuat ketika berhadapan dengan masyarakat, rela untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengawasi. Jadi, meskipun negara masih tetap kuat, ia diawasi oleh masyarakat sehingga tercipta akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal. 125 Munculnya lembaga negara bantu dimaksudkan pula untuk menjawab tuntutan masyarakat atas terciptanya
124
Ibid, hal. viii. Budiman Tanuredjo, Trias Politica di Zaman yang Berubah, (http://www.kompas.co.id), diakses tanggal 29 Oktober 2009.
125
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
prinsip-prinsip demokrasi dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan melalui lembaga yang akuntabel, independen, serta dapat dipercaya. 126 Menurut John Alder, beberapa lembaga tersebut disebut dengan public corporations atau nationalised industries, beberapa disebut dengan quangos (quasi-autonomous non-government bodies). Akan tetapi secara umum, menurut Alder disebut sebagai Non-departement bodies, public agencies, commissions, board dan authorities. 127 Akan tetapi, pada umumnya lembaga-lembaga tersebut berfungsi sebagai a quasi governmental world of appointed bodies dan bersifat non departmental agencies, single purpose authorities, dan mixed public-private institutions. Sifatnya quasi atau semi pemerintahan, dan diberi fungsi tunggal ataupun kadang-kadang fungsi campuran seperti di satu pihak sebagai pengatur, tetapi juga menghukum seperti yudikatif yang dicampur dengan legislatif. 128 Oleh karena itu, lembaga-lembaga tersebut selain disebut auxiliary state`s organ juga disebut sebagai self regulatory agencies, independent supervisory bodies atau lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi campuran (mix-function). 129 Munculnya
lembaga-lembaga negara bantu merupakan perkembangan
yang umum dalam sistem ketatanegaraan modern di banyak negara maju seperti Amerika Serikat, Perancis, Italia,
dan Jerman. Sebagai contoh, di Amerika
Serikat terdapat lembaga negara bantu yang jumlahnya lebih dari seratus misalnya Federal Communication Commission, Securities Exchange Commission, Federal
126
Riris Katharina dan Poltak Partogi Nainggolan, Pengawasan Peradilan oleh State Auxiliary Institutions, (http://www.hukumonline.com), Diakses tanggal 29 Oktober 2009. 127 Ilhamendra, Konsep Tentang Lembaga Negara Penunjang, (http://ilhamendrawordpress.com), diakses tanggal 29 Oktober 2009. 128 Jimly Asshiddiqqie, Op. Cit, hal. 341. 129 Ibid. Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Trade Commission, National Labour Relation Board, dan lain-lain. Di Perancis, misalnya Commission des Operations de Burse, Commission Informatique et Libertes, Commissions de la Communications de Documents Administratifs dan Counseil Superiour de l’Audiovisuel. Di Inggris, misalnya: Monopolies and Mergers Commissions, Commisions for Racial Equality, Civil Aviation Authority, dan lain-lain. Perkembangan-perkembangan baru
dalam hal bentuk keorganisasian
modern juga dialami Indonesia. Perubahan UUD 1945 yang telah dilakukan sebanyak empat kali menggulirkan berbagai perubahan mendasar dalam struktur ketatanegaraan. Disamping perubahan dan penambahan butir-butir ketentuan, perubahan UUD 1945 juga mengakibatkan adanya perubahan kedudukan dan hubungan beberapa lembaga negara tertentu dan pembentukan lembaga-lembaga negara baru. Berbagai lembaga negara baru tersebut tidak dibentuk dengan dasar hukum yang seragam. Beberapa di antaranya berdiri atas amanat konstitusi, namun ada pula yang memperoleh legitimasi berdasarkan undang-undang ataupun keputusan Presiden. Dalam struktur ketatanegaraan Indonesia terdapat lembaga negara bantu, antara lain: Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (sudah alm.), Komisi perlindungan Anak, Dewan Pers, Dewan Pendidikan dan Pusat Pelaporan & Analisis Transaksi Keuangan, dan lain-lain.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Pembentukan lembaga-lembaga negara bantu tersebut haruslah memiliki landasan pijak yang kuat dan paradigma yang jelas. Dengan demikian, keberadaannya dapat membawa manfaat bagi kepentingan publik pada umumnya serta bagi penataan sistem ketatanegaraan pada khususnya. Ni’matul Huda, mengutip Firmansyah Arifin, dkk. dalam Lembaga Negara dan Sengketa Kewenangan Antarlembaga Negara, mengatakan bahwa aspek kuantitas lembagalembaga tersebut tidak menjadi masalah asalkan keberadaan dan pembentukannya mencerminkan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Prinsip konstitusionalisme. Konstitusionalisme adalah gagasan yang menghendaki agar kekuasaan para pemimpin dan badan-badan pemerintahan yang ada dapat dibatasi. Pembatasan tersebut dapat diperkuat sehingga menjadi suatu mekanisme yang tetap. Dengan demikian, pembentukan lembaga-lembaga negara bantu ditujukan untuk menegaskan dan memperkuat prinsip-prinsip konstitusionalisme agar hakhak dasar warga negara semakin terjamin serta demokrasi dapat terjaga. 2. Prinsip checks and balances. Ketiadaan mekanisme checks and balances dalam sistem bernegara merupakan salah satu penyebab banyaknya penyimpangan di masa lalu. Supremasi MPR dan dominasi kekuatan eksekutif dalam praktik pemerintahan pada masa prareformasi telah menghambat proses demokrasi secara sehat. Ketiadaan mekanisme saling kontrol antarcabang kekuasaan tersebut mengakibatkan pemerintahan yang totaliter serta munculnya praktik penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power. Prinsip checks and balances menjadi roh bagi pembangunan dan pengembangan demokrasi. Pembentukan organ-organ kelembagaan negara harus bertolak dari kerangka dasar sistem UUD Negara RI Tahun 1945 untuk menciptakan mekanisme checks and balances. 3. Prinsip integrasi. Selain harus mempunyai fungsi dan kewenangan yang jelas, konsep kelembagaan negara juga harus membentuk suatu kesatuan yang berproses dalam melaksanakan fungsinya. Pembentukan suatu lembaga negara tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan harus dikaitkan keberadaannya dengan lembaga-lembaga lain yang telah eksis. Proses pembentukan lembaga-lembaga negara yang tidak integral dapat mengakibatkan tumpang-tindihnya kewenangan antarlembaga yang ada sehingga menimbulkan inefektivitas penyelenggaraan pemerintahan. 4. Prinsip kemanfaatan bagi masyarakat. Pada dasarnya, pembentukan lembaga negara ditujukan untuk memenuhi kesejahteraan warganya serta menjamin hak-hak dasar warga negara yang diatur dalam konstitusi. Oleh karena itu, penyelenggaraan pemerintahan serta pembentukan lembagaAdwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
lembaga politik dan hukum harus mengacu kepada prinsip pemerintahan, yaitu harus dijalankan untuk kepentingan umum dan kebaikan masyarakat secara keseluruhan serta tetap memelihara hak-hak individu warga negara. 130 2. Komisi Yudisal sebagai Lembaga Negara Bantu Dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 ditentukan: “Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapat persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.” Pasal 24B UUD 1945 menentukan pula bahwa: (1) Komisi Yudisal bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. (2) Anggota Komisi Yudisal harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum, serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. (3) Anggota Komisi Yudisal diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. (4) Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisal diatur dengan undang-undang. Ketentuan tersebut dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman pada Pasal 34 menentukan: (1) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisal yang diatur dengan undang-undang. (2) Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim diatur dalam undang-undang. (3) Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisal yang diatur dalam undang-undang. Berdasarkan ketentuan tersebut, terdapat dua tugas Komisi Yudisal yaitu, tugas pertama berkenaan dengan rekruitmen hakim agung, dan tugas kedua
130
Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam Masa Transisi Demokrasi, UII Press, Yogyakarta, 2007, hal. 202. Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
berkenaan dengan pembinaan hakim dalam upaya menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Ketentuan Pasal 24B UUD 1945 menyatakan bahwa Komisi Yudisal “bersifat mandiri”. Ketentuan ini kemudian dipertegas pada Pasal 2 UndangUndang Komisi Yudisal yang menyatakan bahwa Komisi Yudisal merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lain. Dari ketentuan tersebut, maka Komisi Yudisal merupakan lembaga yang mandiri (independence).
Secara etimologis istilah “mandiri” berarti keadaan
dapat berdiri sendiri; tidak bergantung kepada orang lain 131. Menurut Jimly Asshiddiqie, ada tiga pengertian independensi, yaitu: 1.
2. 3.
Structural Independence, yaitu independensi kelembagaan dimana struktur suatu organisasi yang dapat digambarkan dalam bagan yang sama sekali terpisah dari organisasi lain. Functional Independence yang dilihat dari segi jaminan pelaksanaan fungsi dan tidak ditekankan dari struktur kelembagaannya. Financial Independece, yaitu dilihat dari kemandiriannya menentukan sendiri anggaran yang dapat dijamin kemandiriannya dalam menjalankan fungsi. 132 Secara struktural, dapat dikatakan bahwa kedudukan Komisi Yudisal
sederajat dengan Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi,
secara fungsional, peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap kekuasaan kehakiman. Meskipun secara fungsional terkait dengan kekuasaan kehakiman, tetapi tidak menjalankan fungsi kehakiman. Komisi Yudisal bukanlah lembaga penegak norma hukum (code of law), melainkan lembaga penegak norma etik
131 132
Departemen Pendidikan Nasional, Op. Cit, hal. 710. Sirajuddin dan Zulkarnain, Op. Cit, hal. 76.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
(code of ethics). Komisi Yudisal hanya berkaitan dengan persoalan kehormatan, keluhuran martabat dan perilaku hakim, bukan dengan lembaga peradilan atau lembaga kekuasaan kehakiman secara institusional.
Keberadaannya pun
sebenarnya berasal dari lingkungan internal hakim sendiri, yaitu dari konsepsi mengenai majelis kehormatan hakim
yang terdapat di dalam dunia profesi
kehakiman dan lingkungan Mahkamah Agung, artinya sebelumnya fungsi ethical auditor ini bersifat internal. Namun untuk lebih menjamin efektifitas kerjanya dalam rangka mengawasi perilaku hakim, maka fungsinya ditarik ke luar menjadi eksternal auditor yang kedudukannya dibuat sederajat dengan para hakim yang berada di lembaga yang sederajat dengan pengawasnya. 133 Komisi Yudisal bukanlah lembaga negara yang digolongkan sebagai lembaga tinggi negara. Meski pun kewenangan Komisi Yudisal, seperti halnya Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi diatur pada dalam UUD 1945. Tepatnya, Mahkamah Agung diatur pada Pasal 24A, Komisi Yudisal diatur pada Pasal 24B, dan Mahkamah Konstitusi diatur pada Pasal 24C UUD 1945. Akan tetapi, pengaturan mengenai kewenangan suatu lembaga dalam konstitusi tidak mutlak harus diartikan bahwa lembaga yang bersangkutan adalah lembaga yang dapat dikategorikan sebagai lembaga tinggi negara. Sama halnya dengan Tentara Nasional
Indonesia
dan
Kepolisian
Republik
Indonesia
kewenangannya dalam UUD 1945, yaitu dalam Pasal 30.
juga
diatur
Namun, fungsi
organisasi tentara dan kepolisian sebenarnya termasuk ke dalam fungsi pemerintahan (eksekutif), sehingga kedudukan protokolernya tidak dapat
133
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum yang Demokratis, Op.Cit, hal 17-18.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
disederajatkan dengan Presiden, Wakil Presiden, DPR, DPD, MPR, MA, MK, dan BPK hanya karena kewenangannya diatur dalam UUD 1945. 134 Menurut Jimly Asshiddiqie, walaupun secara struktural dapat dikatakan bahwa Komisi Yudisal memang sederajat dengan Mahkamah Agung
dan
Mahkamah Konstitusi namun kedudukan protokolernya tidak perlu dipahami sebagai lembaga yang diperlakukan sama dengan Mahkamah Agung
dan
Mahkamah Konstitusi serta DPR, MPR, DPD, dan BPK. Karena sifat fungsinya yang khusus dan bersifat penunjang (auxiliary), maka Komisi Yudisal bukanlah lembaga negara yang menjalankan fungsi kekuasaan yudikatif, eksekutif, apalagi legislatif.
Ia hanya berfungsi menunjang tegaknya kehormatan, keluhuran
martabat, dan perilaku hakim sebagai pejabat penegak hukum yang menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman (judiciary). 135 Komisi Yudisal memang tidak menjalankan fungsi kehakiman,
tetapi
keberadaanya tidak bisa dipisahkan dari kekuasaan kehakiman. Keberadaannya terkait dengan jabatan hakim yang merupakan jabatan kehormatan yang harus dijaga dan ditegakkan kehormatannya oleh suatu lembaga yang bersifat mandiri yang bernama Komisi Yudisal. 136 Selain itu, pada bagian pertimbangan judicial review Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisal, majelis hakim
Mahkamah
Konstitusi menguraikan secara rinci mengenai keberadaan Komisi Yudisal yang digolongkan sebagai lembaga negara bantu (state auxiliary organs), sebagai berikut: 134
Ibid. Ibid, hal. 18-19. 136 A. Ahsin Thohari, Op. Cit, hal. 208 135
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Menimbang bahwa menurut Mahkamah Konstitusi, UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan judikatif yang tercermin dalam fungsi-fungsi MPR, DPR dan DPD, Presiden dan Wakil Presiden , serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga-lembaga negara yang utama (main state organs, principal state organs). Lembagalembaga negara dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama (main state functions, principal state functions), sehingga oleh karenanya lembagalembaga negara itu pula yang dapat disebut sebagai lembaga negara utama (main state organs, principal state organs, atau main state institutions) yang hubungannya satu dengan yang lain diikat oleh prinsip “checks and balances”. Dengan demikian, prinsip “checks and balances” itu terkait erat dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara (separation of powers), dan tidak dapat dikaitkan dengan persoalan pola hubungan antarsemua jenis lembaga negara, seperti misalnya dalam konteks hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Oleh karena itu, memahami hubungan antara lembaga negara dalam perspektif “checks and balances” di luar konteks pemisahan fungsi-fungsi kekuasaan negara (separation of powers), seperti dalam hubungan antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial, adalah tidak tepat. Walaupun benar bahwa Komisi Yudisial dapat diberi peran pengawasan, maka pengawasan itu bukanlah dalam rangka checks and balances dan juga bukan pengawasan terhadap fungsi kekuasaan peradilan, melainkan hanya pengawasan terhadap perilaku individu-individu hakim; Menimbang bahwa prinsip “checks and balances” itu sendiri dalam praktik memang sering dipahami secara tidak tepat. Sebagaimana ternyata dari keterangan dalam persidangan bahwa salah satu perspektif yang digunakan dalam merumuskan ketentuan Pasal 24B dalam hubungannya dengan Pasal 24A UUD 1945 adalah prinsip “checks and balances”, yaitu dalam rangka mengimbangi dan mengendalikan kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Kenyataan ini menggambarkan bahwa “original intent” perumusan suatu norma dalam undang-undang dasar pun dapat didasarkan atas pengertian yang keliru tentang sesuatu pengertian tertentu. Kekeliruan serupa terulang kembali dalam Penjelasan Umum UUKY yang berbunyi, ”Pasal 24B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memberikan landasan hukum yang kuat bagi reformasi bidang hukum yakni dengan memberikan kewenangan kepada Komisi Yudisial untuk mewujudkan checks and balances. Walaupun Komisi Yudisial bukan pelaku kekuasaan kehakiman namun fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakim an”. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga penafsir undang-undang dasar (the sole judicial interpreter of the constitution), tidak boleh hanya semata-mata terpaku kepada metode penafsiran “originalisme” dengan mendasarkan diri hanya kepada “original intent” perumusan pasal UUD 1945, terutama apabila penafsiran demikian Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
justru menyebabkan tidak bekerjanya ketentuan-ketentuan UUD 1945 sebagai suatu sistem dan/atau bertentangan dengan gagasan utama yang melandasi undang-undang dasar itu sendiri secara keseluruhan berkait dengan tujuan yang hendak diwujudkan. Mahkamah Konstitusi harus memahami UUD 1945 dalam konteks keseluruhan jiwa (spirit) yang terkandung di dalamnya guna membangun kehidupan ketatanegaraan yang lebih tepat dalam upaya mencapai cita negara (staatsideé), yaitu mewujudkan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasar atas hukum, yang merupakan penjabaran pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945; Menimbang bahwa di samping lembaga-lembaga negara yang bersifat utama, atau yang biasa disebut sebagai lembaga tinggi negara seperti dimaksud di atas, dalam UUD 1945 juga diatur adanya lembaga-lembaga negara yang bersifat konstitusional lainnya seperti Komisi Yudisial, Kepolisian Negara, Tentara Nasional Indonesia, bank sentral, komisi pemilihan umum, dewan pertimbangan Presiden , dan sebagainya. Namun, pengaturan lembaga-lembaga tersebut dalam UUD 1945, tidaklah dengan sendirinya mengakibatkan lembaga-lembaga negara yang disebutkan dalam UUD 1945 tersebut, termasuk Komisi Yudisial, harus dipahami dalam pengertian lembaga (tinggi) negara sebagai lembaga utama (main organs). Komisi Yudisial sebagai lembaga negara tidaklah menjalankan salah satu fungsi kekuasaan negara sebagaimana yang secara universal dipahami. Sebagai komisi negara, sifat tugas Komisi Yudisial terkait dengan fungsi kekuasaan kehakiman, yaitu dalam hubungan dengan pengangkatan Hakim agung dan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim. Oleh karena itu, keberadaan komisi negara yang demikian biasa disebut sebagai “auxiliary state organs” atau “auxiliary agencies” yang menurut istilah yang dipakai oleh Soetjipno sebagai salah seorang mantan anggota PAH I BP MPR dalam persidangan Mahkamah Konstitusi pada tanggal 10 Mei 2006, Komisi Yudisial merupakan “supporting element” dalam sistem kekuasaan kehakiman (vide Berita Acara Persidangan tanggal 10 Mei 2006). Namun, oleh karena persoalan pengangkatan hakim agung dan persoalan kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku hakim itu dianggap sangat penting, maka ketentuan mengenai hal tersebut dicantumkan dengan tegas dalam UUD 1945. Kedudukan Komisi Yudisial ditentukan pula dalam UUD 1945 sebagai komisi negara yang bersifat mandiri, yang susunan, kedudukan, dan keanggotaannya diatur dengan undang-undang tersendiri, sehingga dengan demikian komisi negara ini tidak berada di bawah pengaruh Mahkamah Agung ataupun dikendalikan oleh cabang-cabang kekuasaan lainnya. Dengan kemandirian dimaksud tidaklah berarti tidak diperlukan adanya koordinasi dan kerja sama antara KY dan MA. Dalam konteks ini, hubungan antara KY dan MA dapat dikatakan bersifat mandiri tetapi saling berkait (independent but interrelated);
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Menimbang, di samping itu, Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa hal diatur atau tidaknya suatu lembaga negara dalam undang-undang dasar juga tidak boleh ditafsirkan sebagai satu-satunya faktor yang menentukan derajat konstitusional lembaga negara yang bersangkutan. Sebagai contoh, diaturnya lembaga kepolisian negara dan kewenangan konstitusionalnya dalam Pasal 30 UUD 1945 dibandingkan dengan tidak diaturnya sama sekali ketentuan mengenai Kejaksaan Agung dalam UUD 1945, tidak dapat diartikan bahwa UUD 1945 memandang Kepolisian Negara itu lebih penting ataupun lebih tinggi kedudukan konstitusionalnya daripada Kejaksaan Agung. Demikian pula halnya dengan komisi-komisi negara seperti Komisi Yudisial (KY) yang diatur secara rinci, Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diatur secara umum dalam UUD 1945, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), dan lain-lain yang dibentuk berdasarkan undang-undang belaka, untuk menentukan status hukum kelembagaannya maupun para anggota dan pimpinannya di bidang protokoler dan lain-lain sebagainya, tergantung kepada pembentuk undang-undang untuk mengaturnya dalam undangundang. Oleh karena itu, agar tidak menimbulkan kekisruhan dalam hubungan antarlembaga negara, pembentuk undang-undang harus berusaha dengan tepat merumuskan kebijakan hukum yang rinci dan jelas dalam undang-undang yang mengatur lembaga-lembaga negara dimaksud; Menimbang pula bahwa KY merupakan organ yang pengaturannya ditempatkan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman, dengan mana terlihat bahwa MA diatur dalam Pasal 24A, KY diatur dalam Pasal 24A ayat (3) dan Pasal 24B, dan MK diatur dalam Pasal 24C. Pengaturan yang demikian sekaligus menunjukkan bahwa menurut UUD 1945 KY berada dalam ruang lingkup kekuasaan kehakiman, meskipun bukan pelaku kekuasaan kehakiman. Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 berbunyi, ”Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden ”. Pengaturan yang demikian menunjukkan keberadaan KY dalam sistem ketatanegaraan adalah terkait dengan MA. Akan tetapi, Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 telah menegaskan bahwa KY bukan merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element atau state auxiliary organ seperti yang ditegaskan oleh seorang mantan anggota PAH I BP MPR yang telah diuraikan di atas yang tidak dibantah oleh para mantan anggota PAH I BP MPR lainnya. Oleh karena itu, sesuai dengan jiwa (spirit) konstitusi dimaksud, prinsip checks and balances tidak benar jika diterapkan dalam pola hubungan internal kekuasaan kehakiman. Karena, hubungan checks and balances tidak dapat berlangsung antara MA sebagai principal organ dengan KY sebagai auxiliary organ. KY bukanlah pelaksana kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting element dalam rangka mendukung kekuasaan kehakiman yang merdeka, bersih, dan
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
berwibawa, meskipun untuk melaksanakan tugasnya tersebut, KY sendiri pun bersifat mandiri; 137 Kehadiran Komisi Yudisal tidaklah dimaksudkan sebagai lembaga tangdingan, atau pun berada pada yang posisi berhadap-hadapan dengan lembaga peradilan. Komisi Yudisal bukanlah lembaga pengawas peradilan atau pengawas kekuasaan kehakiman.
Komisi Yudisal merupakan lembaga yang bersifat
menunjang terhadap pelaksanaan tugas kekuasaan kehakiman yang pada puncaknya diselenggarakan oleh Mahkamah Agung.
Dengan adanya Komisi
Yudisal diharapkan bahwa sistem rule of ethics dapat dikembangkan secara efektif sehingga dapat berpengaruh terhadap upaya membangun sistem peradilan yang terpercaya (respectable judiciary) dan terbebas dari praktek korupsi dan kolusi serta jeratan mafia peradilan. Oleh karena itu, keberhasilan pelaksanaan tugas Komisi Yudisal itu sendiri penting untuk membersihkan pengadilan dari segala praktek yang kotor. Walaupun Komisi Yudisal ditentukan sebagai lembaga yang independen, tidak berarti bahwa Komisi Yudisal tidak diharuskan bertanggung jawab oleh undang-undang. Sebagaimana diatur pada Pasal 38 Undang-Undang Komisi Yudisal menentukan bahwa Komisi Yudisal bertanggung jawab kepada publik melalui DPR 138.
Pertanggungjawaban tersebut dilakukan dengan cara
menerbitkan laporan tahunan dan membuka akses informasi secara lengkap dan akurat 139. Laporan dimaksud setidaknya harus memuat tiga hal, yaitu: pertama, laporan penggunaan anggaran; kedua, data yang berkaitan fungsi pengawasan;
137
Putusan Mahkamah Konstitusi, Op, Cit. hal. 178-182. Pasal 38 ayat (1) UU No. 22 Tahun 2004. 139 Pasal 38 ayat (2) UU No. 22 Tahun 2004. 138
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
dan ketiga data yang berkaitan dengan fungsi rekruitmen hakim
agung 140.
Laporan sebagaimana dimaksud disampaikan kepada Presiden 141.
Selain itu,
keuangan Komisi Yudisal diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan menurut ketentuan undang-undang 142.
C. Hubungan Komisi Yudisal dengan Lembaga Negara Lain dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Menurut Philipus M. Hadjon dalam memaknai kedudukan suatu lembaga negara dapat dilihat dari dua sisi, yaitu: pertama: kedudukan diartikan sebagai suatu posisi lembaga negara dibandingkan dengan lembaga negara lain. Kedua, kedudukan lembaga negara diartikan sebagai posisi yang didasarkan pada fungsi utamanya. 143 Sebagai lembaga negara yang baru lahir setelah perubahan UUD 1945, Komisi Yudisal juga berhubungan dengan lembaga-lembaga negara lain yang telah lebih dulu ada. Dalam penulisan skripsi ini, penulis membahas mengenai hubungan antara Komisi Yudisal dengan Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Rakyat, dan dengan Presiden. 1. Hubungan Komisi Yudisal dengan Mahkamah Agung Komisi Yudisal merupakan organ negara yang wewenangnya diberikan langsung oleh UUD 1945. Pengaturannya ditempatkan dalam Bab IX Kekuasaan Kehakiman menunjukkan bahwa menurut UUD 1945 Komisi Yudisal berkaitan
140
Pasal 38 ayat (3) UU No. 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Ibid, Pasal 38 ayat (4). 142 Ibid, Pasal 38 ayat (5). 143 Philipus M. Hadjon, Lembaga Tertinggi dan Lembaga Tinggi Negara Menurut UUD 1945, Bina Ilmu, Surabaya, 1996, hal. x. 141
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
dengan kekuasaan kehakiman,
walaupun Komisi Yudisal tidak memiliki
kekuasaan kehakiman. Pasal 24A ayat (3) berbunyi, “Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.” Selanjutnya, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyebutkan bahwa “Komisi Yudisal bersifat mandiriyang
berwenang
mengusulkan
pengangkatan
hakim
agung
dan
mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.” Berdasarkan ketentuan tersebut, terdapat dua kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisal, yaitu: pertama, Komisi Yudisial diberikan kewenangan untuk melakukan proses seleksi dan menjaring calon anggota hakim agung yang berkualitas, potensial, mengerti hukum dan profesional. Kedua, Komisi Yudisial diberi kewenangan menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dengan kewenangan Komisi Yudisal untuk mengusulkan pengangkatan hakim Agung,
berkaitan dengan proses seleksi dalam rangka memilih hakim
agung yang berkualitas, potensial, mengerti hukum dan profesional. Akan tetapi wewenang tersebut hanya sebatas mengusulkan calon hakim agung,
sedangkan
wewenang penuh untuk memilih hakim agung berada di tangan DPR. Melalui konstruksi yang demikian, maka kedudukan Komisi Yudisal adalah lemah dikarenakan tidak ada jaminan bahwa calon hakim agung yang diusulkan oleh Komisi Yudisal setelah melalui proses seleksi yang dilakukan oleh Komisi
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Yudisial dapat disetujui oleh DPR. Keadaan yang demikian akan menimbulkan persoalan ketika suatu waktu terjadi penolakan calon hakim agung yang disulkan oleh Komisi Yudisal oleh DPR. Selain kewenangan dalam hal mengusulkan pengangkatan calon hakim agung, Komisi Yudisal juga memiliki kewenangan lain dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan,
keluhuran
Kewenangan Komisi Yudisal
martabat,
serta
perilaku
hakim.
dalam rangka menjaga dan menegakkan
kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim walau pun dalam batasbatas tertentu dapat diartikan sebagai pengawasan, bukanlah kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga peradilan melainkan terhadap individu hakim. Secara spesifik, Pasal 20 Undang-Undang Komisi Yudisal menyatakan upaya menjaga dan
menegakkan kehormatan,martabat, dan perilaku hakim
dilakukan melalui pengawasan perilaku hakim. Kemudian Pasal 22 menyebutkan tugas Komisi Yudisal dalam melaksanakan pengawasan itu, yaitu dengan menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim, pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran hakim,
dan melakukan
serta membuat laporan
pemeriksaan dan rekomendasi kepada Mahkamah Agung dan/atau Mahkamah Konstitusi, serta tindasannya disampaikan kepada Presiden. Terungkapnya kasus-kasus penyalahgunaan wewenang oleh hakim dan pejabat peradilan yang dipublikasikan oleh berbagai media akhir-akhir ini merupakan cerminan dari lemahnya integritas moral dan perilaku hakim, termasuk pejabat dan pegawai lembaga peradilan. Keadaan ini tidak saja terjadi di
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
lingkungan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi, tetapi juga telah memasuki dan terjadi di lingkungan Mahkamah Agung sebagai penyelenggara kekuasaan kehakiman yang tertinggi.
Kondisi demikian menunjukkan bahwa fungsi
pengawasan intern yang ada pada Mahkamah Agung tidak efektif. Untuk itu, Keberadaan Komisi Yudisal diperlukan sebagai pengawas eksternal Mahkamah Agung yang bersifat independen. Berdasarkan pengaturan mengenai Komisi Yudisal di atas menunjukkan keberadaan Komisi Yudisal terkait dengan Mahkamah Agung. sebagaimana
Akan tetapi,
dikemukakan di atas bahwa Komisi Yudisal bukanlah sebagai
pelaku kekuasaan kehakiman, melainkan sebagai supporting organ atau state auxiliary organ.
Oleh karena itu, prinsip cheks and balances tidak dapat
berlangsung antara Mahkamah Agung
sebagai principle organ dan Komisi
Yudisal sebagai auxiliary organ. Dalam prespektif yang demikian, hubungan antara Komisi Yudisal dan Mahkamah Agung dalam bidang pengawasan perilaku hakim lebih tepat dipahami sebagai hubungan kemitraan (partenership) tanpa mengganggu kemandirian masing-masing. 2. Hubungan Komisi Yudisal dengan Mahkamah Konstitusi Perubahan UUD 1945 melahirkan lembaga baru di bidang kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Konstitusi, sebagaimana diatur dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Keberadaan Mahkamah Konstitusi berfungsi untuk menegakkan konstitusi dalam mewujudkan negara hukum Indonesia yang demokratis. Sesuai ketentuan Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945, Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang (a) Menguji undang-undang terhadap UUD; (b) Memutus sengketa
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar; (c) Memutus pembubaran partai politik; (d) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum; dan (e) Memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden
telah melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Berdasarkan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 juncto Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, menegaskan bahwa Komisi Yudisial memiliki dua tugas utama yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Lebih lanjut dalam hal pengawasan hakim, Pasal 20 Undang-Undang Komisi Yudisal menyebutkan bahwa Komisi Yudisal mempunyai tugas pengawasan terhadap perilalu hakim dalam rangka menegakan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim.
Menurut ketentuan Pasal 1
angka 5 Undang-Undang Komisi Yudisal, yang dimaksud dengan hakim adalah hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Dengan
dimasukkannya hakim konstitusi dalam pengawasan Komisi
Yudisal menurut Undang-Undang Komisi Yudisal mengakibatkan lumpuhnya kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam menghadapi kenyataan timbulnya
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
persengketaan kewenangan konstitusional antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisal 144. Padahal Mahkamah Konstitusi merupakan satu-satunya lembaga yang diberikan kewenangan oleh UUD 1945 untuk memutuskan dengan putusan yang final dan mengikat dalam hal terjadinya sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Akan tetapi, dengan dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 16 Agustus 2006 No 005/PUU-IV/2006, Mahkamah Konstitusi mengabulkan sebagian permohonan judicial review yang diajukan oleh 31 hakim agung.
Dua hal prinsip yang tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi
tersebut yaitu pertama, hakim kostitusi tidak termasuk dalam pengertian hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 Angka 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 oleh karenanya pasal tersebut dinyatakan bertentangan dengan UndangUndang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; Kedua, pasal-pasal dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisal yang mengatur mengenai pengawasan dan perilaku hakim dinilai rancu oleh karenanya dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
144
Jimly Asshiddiqie mengemukakan bahwa dimasukkannya hakim konstitusi dalam UndangUndang Komisi Yudisal yang dibahas pada tahun 2004 mencerminkan motif di kalangan pembentuk undang-undang untuk menitipkan kepentingan untuk mengontrol kekuasaan Mahkamah Konstitusi yang dianggap terlalu berkuasa, terutama setelah Mahkamah Konstitusi mengabulkan beberapa pengujian undang-undang, seperti pengujian atas ketentuan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi, pengujian atas UndangUndang tentang Ketenagalistrikan yang dibatalkan seluruhnya, pengujian atas Undang-Undang eks Perpu Pemberlakuan Undang-Undang tentang Anti Terorisme, ketentuan Undang-Undang tentang Pemilu yang membatasi hak warga negara eks anggota PKI untuk ikut serta dalam Pemilu, dan lain sebagainya. Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum tata Negara Indonesia Pasca Amandemen, Op. Cit, hal. 578-579. Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi menyebutkan, hakim konstitusi tidak termasuk pengertian hakim yang harus diawasi Komisi Yudisal berdasarkan Undang-Undang Komisi Yudisal. Hakim Yudisal
karena masa
konstitusi tidak
diawasi Komisi
jabatannya lima tahun setelah itu kembali ke profesi
semula. Hakim konstitusi juga tidak diawasi Komisi Yudisal
karena dalam
keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatan para hakim konstitusi yang diatur UUD 1945 tidak
melibatkan Komisi Yudisal. Argumen lain, hakim
konstitusi tidak diawasi Komisi Yudisal mengganggu imparsialitas hakim
karena jika diawasi berpotensi
konstitusi dalam sengketa kewenangan
antarlembaga negara. 145 Dengan demikian, menyangkut pengawasan hakim konstitusi
dikembalikan
kepada
mekanisme
pengawasan
internal
dilaksanakan oleh majelis kehormatan menurut ketentuan Pasal 23
yang
Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. 3. Hubungan Komisi Yudisal dengan Dewan Perwakilan Rakyat Pada era reformasi terjadi perombakan besar-besaran terhadap tataran kekuasaan pemerintahan mulai dari konstitusi yaitu UUD 1945 yang di amandemen empatkali. Perubahan tersebut mengakibatkan berubahnya tatanan pemerintahan berserta lembaga-lembaganya termasuk kekuasaan kehakiman dan secara khusus tatacara pemilihan hakim agung. hakim
agung mengalami perubahan,
Konfigurasi proses perekrutan
hal tersebut ditandai dengan keadaan
dimana Dewan Perwakilan Rakyat tampil sebagai lembaga yang sangat kuat (powerful). Apabila pada masa Orde baru kekuasaan Pemerintah begitu kuat dan
145
Putusan Mahkamah Konstitusi, Op, Cit. hal. 174.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Dewan Perwakilan Rakyat lemah, maka setelah era reformasi keadaan menjadi sebaliknya, kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat menjadi lebih kuat daripada kekuasaan Pemerintah. Perubahan peta politik tersebut berdampak pula terhadap mekanisme perekrutan hakim agung dan pimpinan Mahkamah Agung. Hubungan fungsional Komisi Yudisal dan Dewan Perwakilan Rakyat terlihat pada rumusan Pasal 24A ayat (3) juncto Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 24B ayat (3) UUD 1945. Berdasarkan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 disebutkan “Calon hakim
agung diusulkan Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan
Rakyat untuk mendapat persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.” Selanjutnya Pasal 24B ayat (1) menyebutkan “Komisi Yudisal bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.” Kemudian Pasal 24B ayat (30) menyebutkan “Anggota Komisi Yudisal diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat .” Berdasarkan ketiga ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan mengenai hubungan fungsional Komisi Yudisal dan DPR meliputi dua hal: pertama, Komisi Yudisal berwenang mengusulkan calon hakim
agung kepada DPR
untuk
mendapat persetujuan dan kedua, anggota Komisi Yudisal diangkat dan diberhentikan oleh DPR dengan persetujuan Presiden.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
4. Hubungan Komisi Yudisal dengan Presiden UUD 1945 secara tegas menyatakan kedudukan Presiden adalah sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan negara (executive power) 146.
Meskipun
demikian, menurut Ismail Sunny Presiden Republik Indonesia tidak menjadi kepala eksekutif dan pemimpin yang sebenarnya dari eksekutif seperti halnya di Amerika Serikat 147. Ada dua alasan yang mendukung pendapat Ismail Sunny tersebut, yaitu: pertama, dalam melaksanakan kekuasaan itu telah ditentukan dalam undang-undang dasar,dan kedua, dalam melaksanakan tugasnya Presiden dibantu oleh para menteri dan para menteri inilah dalam konteks politik melaksanakan tugas-tugas permerintahan. 148 Menurut Moh. Kusnardi dan Harmailiy Ibrahim, ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) tersebut memberi wewenang yang luas dan tidak terperinci kepada Presiden namun tidak berarti presiden dapat berbuat sekehendak hatinya karena dibatasi oleh UUD 1945. 149 Pasal 24B ayat (3) menyebutkan “Anggota Komisi Yudisal diangkat dan diberhentikan oleh Presiden
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Berdasarkan ketentuan tersebut terdapat dua kewenangan Presiden yang berkaitan dengan Komisi Yudisal, yaitu: pertama, pengangkatan anggota Komisi Yudisal, dan kedua, pemberhentian anggota Komisi Yudisal.
146
Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyebutkan “ Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar.” 147 Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1986, hal. 42. 148 Ibid. 149 Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, Sinar Bhakti, 1983, Jakarta hal. 198. Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Mekanisme pengangkatan anggota Komisi Yudisal diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Komisi Yudisal, yaitu: 1. Presiden membentuk panitia seleksi pemilihan anggota Komisi Yudisal. 2. Panitia seleksi terdiri atas unsur pemerintah, praktisi hukum, akademisi hukum, dan anggota masyarakat. 3. Panitia seleksi bertugas: a. mengumumkan pendaftaran penerimaan calon Anggota Komisi Yudisal dalam jangka waktu lima belas hari; b. melakukan pendaftaran dan seleksi administrasi serta seleksi kualitas dan integritas calon anggota Komisi Yudisal dalam jangka waktu enam puluh hari terhitung sejak pengumuman; c. menentukan dan menyampaikan calon anggota Komisi Yudisal sebanyak empat belas calon, dengan memperhatikan komposisi Anggota Komisi Yudisal sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 6 ayat (3) dalam jangka waktu paling lambat tiga puluh hari. Selanjutnya, dalam waktu paling lambat lima belas hari semenjak menerima nama calon dari panitia seleksi, Presiden mengajukan keempat belas nama calon anggota Komisi Yudisal kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Dalam hal ini, Dewan Perwakilan Rakyat wajib memilih dan menetapkan tujuh calon anggota Komisi Yudisal dalam waktu paling lama tiga puluh hari sejak diterima usul dari Presiden
paling lambat lima belas hari terhitung sejak tanggal
berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh Presiden. Calon terpilih disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden paling lambat lima belas hari terhitung sejak tanggal berakhirnya pemilihan untuk disahkan oleh Presiden. Presiden juga wajib menetapkan calon terpilih paling lambat lima belas hari terhitung sejak tanggal diterimanya surat dari pimpinan DPR yang sebelumnya dilakukan pengambilan sumpah dan janji. Sedangkan
dalam
hal
pemberhentian
anggota
Komisi
Yudisal
dikategorikan ke dalam dua hal, yaitu pertama, pemberhentian secara terhormat
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
yaitu pemberhentian atas usul Komisi Yudisal dikarenakan meninggal dunia, permintaan sendiri, sakit jasmani atau rohani terus-menerus, dan berakhir masa jabatan.
Kedua, pemberhentian tidak dengan hormat.
Pemberhentian tidak
dengan hormat dilakukan dengan persetujuan DPR atas usul Komisi Yudisal dengan alasan: (i) melanggar sumpah jabatan; (ii) dijatuhi pidana karena bersalah melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; (3) melakukan perbuatan tercela; (4) terusmenerus melalaikan kewajiban dalam menjalankan tugas pekerjaannya; dan (5) melanggar larangan rangkap jabatan. Pengusulan pemberhentian tidak dengan hormat tersebut dilakukan setelah yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Dewan Kehormatan Komisi Yudisal.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
BAB IV PELAKSANAAN TUGAS DAN WEWENANG KONSTITUSIONAL KOMISI YUDISAL
A. Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat Adalah kewajiban semua aparat penegak hukum untuk mewujudkan cita hukum secara utuh, yakni terciptanya keadilan, kemanfaatan menurut tujuan dan kepastian hukum. Dari keseluruhan aparat penegak hukum, hakim (termasuk hakim agung) memiliki kedudukan yang istimewa.
Hakim merupakan tokoh
sentral dalam proses pengadilan. Untuk itu, seorang hakim diharapkan mampu memberikan putusan yang mencerminkan rasa keadilan masyarakat berdasarkan hukum. Agar dapat mewujudkannya, seorang hakim harus memiliki kemampuan hukum (legal skill) dan pengalaman yang memadai; memiliki integritas, moral dan karakter yang baik; mencerminkan keterwakilan dari masyarakat (baik secara ideologis, etinis, gender, status sosial-ekonomi dan sebagainya); memiliki nalar yang baik; memiliki visi yang luas; memiliki kemampuan berbicara dan menulis; mampu mengakkan negara hukum dan bertindak independen dan imparsial dan memilki kemampuan administratif yang independen 150. Untuk dapat memperoleh hakim (hakim agung) yang memiliki kriteriakriteria di atas, diperlukan suatu sistem yang baik yaitu melalui suatu sistem rekruitmen, seleksi dan pembinaan yang baik. Sistem rekruitmen yang baik harus mengedepankan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, akuntabilitas, right man
150
Mahkamah Agung, Op. Cit, hal. 28.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
in right place, obyektivitas, dan sebagainya. 151 Sistem rekruitmen tersebut tidak dapat terlepas dari siapa yang memiliki
kewenangan untuk menyeleksi,
mengangkat dan bagaimana proses seleksi tersebut berlangsung. Komisi Yudisial sebagai lembaga yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat berperan penting dalam terciptanya rekruitmen hakim agung yang kredibel. Sistem rekruitmen hakim agung memberi pengaruh langsung terhadap kualitas dan tingkah laku hakim agung. Apabila sistem rekruitmen hakim agung tidak didasarkan pada norma-norma profesionalitas maupun integritas yang bersangkutan, maka pada akhirnya akan mengakibatkan penyimpangan dalam proses peradilan. Hal ini akan bermuara pada lahirnya putusan hakim yang tidak memenuhi kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat.
Kondisi seperti ini tentu akan berakibat
ketidakpercayaan masyarakat kepada institusi peradilan. Rekruitmen hakim agung harus bersih dari korupsi, kolusi dan nepotisme. Misalnya, ketika seseorang yang ingin menjadi hakim agung harus mengeluarkan biaya yang besar, maka besar kemungkinan selama memangku jabatannya, hakim agung tersebut berupaya mengembalikan dana yang telah dikeluarkan sekaligus untuk mencari kekayaan dan memakmurkan diri. Selain itu, sistem rekruitmen hakim agung yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat melalui proses fit and proper test harus bersih dari kepentingan politik yang mempengaruhinya. 152 Apabila kondisi yang demikian tidak tercipta maka prinsip kemandirian hakim dalam negara hukum Indonesia mustahil untuk terwujud. Sebagaimana 151
Ibid. Lawren T.P. Siburian, Jurnal Era Hukum Ilmiah Ilmu Hukum, Edisi No. 3/Th.14/Mei/2007, hal. 521-522. 152
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
dikemukakan PH Pane 153, bahwa independensi kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara salah satunya dapat dilihat dari pola rekruitmen hakim (agung) yang tidak bersifat politis. Sebelum perubahan UUD 1945,
mekanisme usulan, pencalonan dan
seleksi hakim agung semata-mata berada di tangan
Presiden selaku kepala
negara. Melihat kenyataan demikian, Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa pencalonan keanggotaan hakim agung jangan diserahkan secara eksklusif kepada satu lembaga karena dapat mempengaruhi kemandirian kekuasaan kehakiman. 154 Pada era reformasi terjadi perombakan besar-besaran terhadap tataran kekuasaan pemerintahan. Hal ini disebabkan perubahan UUD 1945 sebanyak empat kali yang mengakibatkan perubahan lembaga-lembaga negara tak terkecuali
tatanan pemerintahan berserta
kekuasaan kehakiman khususnya
menyangkut tata cara rekruitmen atau pencalonan hakim agung. Konstruksi hukum pasca perubahan UUD 1945 menentukan bahwa mekanisme pengusulan calon hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat merupakan wewenang yang dimiliki dan dilakukan oleh Komisi Yudisal. Landasan konstitusionalnya merujuk kepada Pasal 24A ayat (3) UUD 1945, yang berbunyi:
“Calon hakim agung diusulkan Komisi Yudisial kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden.” Landasan pokok selanjutnya, diatur pada Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Mahkamah Agung. Ayat (1) berbunyi: “ hakim agung diangkat 153 154
Titik Triwulan Tutik, Op. Cit, hal. 155. Ibid.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
oleh Presiden dari calon nama yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat.” Selanjutnya ayat (2) berbunyi: “Calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih Dewan Perwakilan Rakyat dari nama calon yang diusulkan oleh Komisi Yudisal.” Kemudian ayat (3) berbunyi: “Pemilihan calon hakim agung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling lama 14 (empat belas) hari sidang sejak nama calon diterima Dewan Perwakilan Rakyat.” Sebagai landasan hukum pelaksanaan pencalonan hakim agung diatur pada BAB III Pasal 13 sampai dengan Pasal 20 Undang-Undang Komisi Yudisal. Undang-undang inimengatur tata cara pelaksanaan pencalonan hakim agung yang digariskan dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 8 ayat (1), (2), dan (3) Undang-Undang Mahkamah Agung. Bertitik tolak dari ketentuan perundang-undangan yang dikemukakan di atas, proses pengangkatan hakim agung melibatkan lembaga Komisi Yudisal, DPR, dan Presiden. Sehubungan dengan itu, penulis mencoba membahas lebih lanjut sejauh mana porsi dan batas wewenang masing-masing lembaga tersebut dalam proses pengangkatan hakim agung. Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan bebas dari campur tangan pengaruh kekuasaan lainnya.
Komisi Yudisial
melaksanakan kewenangannya melakukan pencalonan hakim agung yang diperintahkan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945.
Perintah dan kewenangan
mengusulkan pngangkatan hakim agung ditegaskan kembali oleh Pasal 3 huruf a Undang-Undang Komisi Yudisial yang berbunyi: “Komisi Yudisial berwenang: a. mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat”.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Dengan demikian, berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut, pengusulan calon hakim agung sepenuhnya diberikan kepada Komisi Yudisal. Tugas yang harus dilaksankan Komisi Yudisial dalam rangka pengusulan pengangkatan hakim agung kepada DPR, diatur dalam Pasal 14, 15 , 16, 17, 18, 19, dan 20 Undang-Undang Komisi Yudisal. Berdasarkan ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf a dan Pasal 15 UndangUndang Komisi Yudisial, dalam rangka pencalonan hakim agung maka Komisi Yudisial terlebih dahulu melakukan pendaftaran calon hakim agung. Menurut Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Komisi Yudisial bahwa dalam hal terjadi peristiwa berakhir masa jabatan seorang atau beberapa hakim agung, maka Mahkamah Agung menyampaikan kepada Komisi Yudisial daftar nama hakim agung yang bersangkutan, hal itu harus disampaikan Mahkamah Agung kepada Komisi Yudisial dalam jangka waktu paling lambat enam bulan sebelum berakhir masa jabatan tersebut. Menurut ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf a jo. Pasal 14 ayat (2) yang menyatakan befungsinya kewenangan Komisi Yudisial melakukan pendaftaran calon hakim agung setelah adanya pemberitahuan dari Mahkamah Agung tentang adanya hakim agung yang
akan berakhir masa jabatannya. Pemberitahuan
Mahkamah Agung tersebut harus dilakuakan paling lambat enam bulan sebelum berakhirnya masa jabatan tersebut. pemberihtaun dari Mahkamah Agung
Hal ini berarti bahwa selama belum ada tentang lowongan jabatan hakim agung
yang timbul sebagai akibat dari adanya masa jabatan hakim agung yang akan
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
berakhir, Komisi Yudisial tidak dapat mengajukan pengangkatan caon hakim agung. Berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Komisi Yudisial, digariskan tindak lanjut yang harus dilakukan Komisi Yudisial setelah mendapat pemberitahuan dari Mahkamah Agung tentang adanya lowongan hakim agung, yaitu (a) paling lambat dalam jangka waktu lima belas hari sejak menerima pemberitahun dari Mahkamah Agung, Komisi Yudisial
mengeluarkan
pengumuman pendaftaran calon hakim agung dan (b) pengumuman tersebut dilakukan selama lima belas hari berturut-turut. Menurut penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Komisi Yudisial disebutkan bahwa yang dimaksud dengan berturut-turut dalam ketentuan ini adalah pengumuman yang dilakukan secara terus-menerus di tempat pengumuman Komisi Yudisial dan dapat pula diumumkan dalam media massa paling sedikit dua kali. Selanjutnya, Pasal 15 ayat (2) mengatur siapa atau pihak mana saja yang dapat atau berhak mengajukan calon hakim agung, antara lain: a. Mahkamah Agung; b. Pemerintah, dan; c. Masyarakat. Berkenaan dengan hal tersebut, sepanjang mengenai Mahkamah Agung tidak ada masalah. Akan tetapi, mengenai Pemerintah terkandung pengertian yang kabur (vague) atau mendua (ambiguity). Apakah yang dimaksudkan pasal ini adalah Presiden atau menteri tertentu.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Berpedoman pada ketentuan Pasal 4 ayat (1) melaksanakan kekuasaan pemerintah adalah Presiden.
UUD 1945, yang Dalam melaksanakan
pemerintahan menurut ketentuan Pasal 17 ayat (1) UUD 1945, Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Bertitik tolak pada ketentuan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa Presiden maupun menteri berwenang mengajukan calon hakim agung kepada Komisi Yudisal.
Dalam hal menteri yang dianggap memiliki
kewenangan untuk itu adalah menteri yang berkaitan dengan dengan masalah penegakan hukum yaitu Menteri Hukum dan HAM. Berkenaan dengan pengertian masyarakat, dapat juga menimbulkan persoalan. Hal ini disebabkan rumusan Pasal 15 ayat (2) hanya menyebutkan kata “masyarakat”
tanpa disertai penjelasan yang lengkap tentang apakah yang
dimaksud dengan masyarakat itu.
Apakah pengertian masyarakat adalah
masyarakat dalam arti individu atau perseorangan? Atau, apakah harus berbentuk kelompok Namun apabila mengacu kepada maksud dari rumusan pasal tersebut, kata “masyarakat” mencakup pengertian anggota masyarakat secara individual maupun sebagai kelompok.
Dengan demikian, orang-perorangan dapat
mencalonkan dirinya sendiri kepada Komisi Yudisial. Jangka waktu pengajuan calon hakim agung kepada Komisi Yudisial oleh Mahkamah Agung, pemerintah maupun masyarakat sebagaimana diatur pada Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Komisi Yudisial
dilakukan dalam jangka
waktu lima belas hari sejak pengumuman pendaftaran penerimaan calon hakim agung dikeluarkan Komisi Yudisial.
Apabila lewat dari jangka waktu yang
tersebut, pengajuan tersebut tidak dapat diterima.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Pengajuan hakim agung kepada Komisi Yudisial harus memperhatikan persyaratan untuk dapat diangkat sebagai hakim
agung
sebagaimana diatur
dalam peraturan perundang-undangan. 155 Syarat formil dan materil diatur dalam Pasal 7 Undang-undang Mahkamah Agung yang meliputi hakim agung karir dan hakim agung non karir. Pada ayat (1) menentukan syarat seorang hakim agung karir, antara lain: a. b. c. d. e. f.
Warga Negara Indonesia; Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; Berijazah Sarjana Hukum yang mempunyai keahlian di bidang hukum; Berusia sekurang-kurangnya lima puluh tahun; Sehat jasmani dan rohani; Berpengalaman sekurang-kurangnya dua puluh tahun menjadi hakim termasuk sekurang-sekurangnya tiga tahun menjadi hakim tunngi. Terhadap persyaratan di atas, menurut M. Yahya Harahap. pembatasan
usia calon hakim agung yakni berusia sekurang-kurangnya lima puluh tahun dianggap kurang realistis dan kurang objektif. 156
Menurutnya, pada konsep
semula dalam Rancangan Undang-Undang Komisi Yudisial adalah 45 tahun. Usulan tersebut didasarkan pada pertimbangan dan pengalaman bahwa pada umur 45 tahun, seorang hakim sudah matang apabila dia cakap serta telah menduduki jenjang karier mulai dari hakim tingkat pertama di Pengadilan Negeri sampai ke tingkat banding di Pengadilan Tinggi.
Idealnya, perekrutan hakim agung
didasarkan kepada gabungan antara faktor kecakapan dengan kemampuan, bukannya mengutamakan faktor senioritas. Selanjutnya pada Pasal 7 ayat (2) mengatur syarat bagi hakim agung non karier, antara lain: 155
Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 2008, hal. 28.
156
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
a. Memenuhi syarat yang disebut pada Pasal 7 ayat (1) huruf a (Warga Negara Indonesia), b (bertaqwa kepada Tuhan Yang MAha Esa), c (berusia sekurang-kurangnya lima puluh tahun), dan huruf e (sehat jasmani dan rohani). b. Berpengalaman dalam profesi hukum dan/atau akademisi hukum sekurang-kurangnya 25 tahun; c. Berijasah magister dalam bidang ilmu hukum dengan dasar Sarjana Hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum 157; d. Tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih. Mengenai syarat administratif diatur pada Pasal 16 ayat (2) UndangUndang Komisi Yudisial yang menegaskan pengajuan calon hakim agung kepada Komisi Yudisial harus memenuhi persyaratan administratif dengan jalan menyerahkan sekurang-kurangnya: a. Daftar riwayat hidup, termasuk riwayat pekerjaan; b. Ijasah asli atau yang dilegalisasi; c. Surat keterangan sehat jasmani dan rohan dari dokte rumash sakit pemerintah; d. Daftar harta kekayaan serta sumber penghasilan calon, dan; e. Nomor Pokok Wajib Pajak. Setelah jangka waktu pengajuan hakim agung yang digariskan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Komisi Yudisial berakhiryakni lima belas hari dari tanggal pengumuman pendaftaran penerimaan calon hakim agung, maka menurut Pasal 14 ayat (1) huruf b Undang-Undang Komisi Yudisial, tugas selanjutnya adalah melakukan proses seleksi dengan proses berikut: a. Komisi Yudisial mengumumkan daftar nama calon hakim agung yang telah memenui syarat 158; b. Komisi Yudisial melakukan penelitian atas informasi atau pendapat masyarakat tehadap calon hakim agung 159;
157
Berdasarkan penjelasan Pasal 7 ayat (2) huruf c, yang dimaksud dengan “sarjana lain” dalam ketentuan ini adalah Sarjana Syariah dan Sarjana Kepolisian. 158 Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. 159 Ibid, Pasal 17 ayat (3) Jo. Pasal 17 ayat (4). Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
c. Menyelenggarakan seleksi kualitas dan kepribadian calon hakim agung secara terbuka 160; d. Mewajibkan calon hakim agung menyusun karya ilmiah yang dipertanggungjawabkan kepada dan di hadapan Komisi Yudisial. 161;
Apabila tahapan seleksi di atas telah selesai dilaksanakan, maka tugas selanjunya menurut kententuan Pasal 18 ayat (5) Jo. Pasal 14 ayat (1) huruf c Undang-Undang Komisi Yudisial adalah menetapkan calon hakim agung yang dilakukan Komisi Yudisial paling lambat lima belas hari terhitung sejak seleksi kualitas dan kepribadian selesai atau berakhir. Menurut ketentuan Pasal Pasal 18 ayat (5), untuk setiap satu calon hakim agung Komisi Yudisial menetapkan tiga orang calon hakim agung.
Hal ini
bertujuan untuk memperoleh calon hakim agung yang ideal. Namun, apabila jumlah tersebut tidak terpenuhi, apakah jangka waktu pencalonan diperpanjang sampai jumlah tersebut terpenuhi? Atau, apakah pencalonan dihentikan karena tidak memenuhi jumlah tersebut sampai jangka waktu yang ditentukan berakhir? Apabila bertitik tolak dari pendekatan efisiensi dan urgensi yang dikaitkan dengan ketentuan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Komisi Yudisial, maka dari segi efisiensi, proses seleksi kualitas dan kepribadian dan penetapan calon hakim agung harus terus dilanjutkan meskipun yang mendaftar tidak memenuhi jumlsh yang ditentukan oleh Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Komisi Yudisial. Begitu pula dari segi urgensitas, memperpanjang pendaftaran yang digariskan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Komisi Yudisial
atau mengulang pendaftaran baru
berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Komisi Yudisial, akan 160 161
Ibid, Pasal 18 ayat (1). Ibid, Pasal 18 ayat (2).
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
mengganggu dan memperlambat pengisian jabatan hakim agung yang lowong dan hal ini akan mengganggu pelaksanaan fungsi Mahkamah Agung. Berdasarkan ketentuan Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Komisi Yudisial, bahwa dalam jangka waktu lima belas hari, Komisi Yudisial harus sudah menetapkan calon hakim agung dan mengusulkannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Tembusan usulan kepada Dewan Perwakilan Rakyat disampaikan kepada Presiden. Tahapan ini merupakan tugas terakhir Komisi Yudisial dalam proses pencalonan hakim agung. Tugas selanjutnya proses pencalonan hakim agung beralih ke Dewan Perwakilan Rakyat sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UndangUndang Komisi Yudisial. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Komisi Yudisial menggariskan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat harus menetapkan calon hakim agung paling lambat dalam jangka waktu tiga puluh hari sejak diterimanya usulan calon hakim agung dari Komisi Yudisial. Yang dimaksud dengan jangka waktu tiga puluh hari dalam ketentuan tersebut adalah hari persidangan, tidak termasuk masa reses. Masih dalam jangka waktu tiga puluh hari tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat mengajukan calon hakim agung yang ditetapkan tersebut kepada Presiden. Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Komisi Yudisial tidak menentukan berapakah calon hakim agung yang dapat diajukan kepada Presiden. Seperti telah diuraikan di atas, bahwa Komisi Yudisial menetapkan tiga orang calon hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Apakah Dewan Perwakilan Rakyat berwenang atau dapat mengurangi jumlah tersebut? Sebagai contoh, Komisi Yudisial mengusulkan tiga orang calon hakim agung kepada Komisi Yudisial
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
untuk mengisi satu jabatan hakim agung yang lowong.
Apakah Dewan
Perwakilan Rakyat dapat mengurangi menjadi dua atau satu calon saja? Atau, tetap mengajukan ketiga calon tersebut kepada Presiden.
Apabila mengacu
kepada ketentuan Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Komisi Yudisial, Dewan Perwakilan Rakyat
dapat saja
mengajukan satu calon saja kepada Presiden.
Namum hal ini dianggap sebagai tindakan yang bersifat fait accompli, yakni proses pencalonan hakim agung telah selesai atau tuntas dimana Presiden hanya tinggal menetapkan pengangkatan hakim agung saja. Terlepas dari tindakan tersebut bersifat fait accompli, tindakan Dewan Perwakilan Rakyat
yang
demikian tidak bertentangan dengan ketentua Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Komisi Yudisial. Proses selanjutnya diatur dalam Pasal
19 ayat (2) yang berbunyi:
“Keputusan Presiden mengenai pengangkatan hakim agung
ditetapkan dalam
jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari sejak Presiden menerima nama calon yang diajukan Dewan Perwakilan Rakyat .” Sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 24A ayat (3) UUD 1945. calon hakim agung diusulkan oleh Komisi Yudisial kepada Presiden untuk
mendapat
persetujuan, dan selanjutnya ditetapkan sebagai hakim agung oleh Presiden. Begitu pula Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Agung menegaskan hakim agung diangkat oleh Presiden dari nama-nama yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Demikian gambaran pelaksanaan rekruitmen
hakim
agung
yang
melibatkan beberapa lembaga negara. Pendaftaran pencalonan melibatkan Komisi
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Yudisial, pemerintah dan Mahkamah Agung.
Selanjutnya melibatkan Komisi
Yudisial, Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden. Dari keseluruhan tahapan tersebut, diharapkan akan dapat dihasilkan hakim agung yang memiliki kualitas dan kepribadian yang ideal serta memiliki integritas dan profesionalisme yang solid.
B.
Menegakkan Kehormatan dan Keluhuran Martabat serta Menjaga
Perilaku Hakim Selain mengusulkan pengangkatan hakim agung, Pasal 24B UUD 1945 juga menggarIskan bahwa Komisi Yudisial “memiliki wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Secara esensial, kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim merujuk kepada kode etik (code of ethics) dan pedoman perilaku hakim (code of conduct) yang menjadi panduan keutamaan bagi para hakim baik dalam menjalankan tugas profesinya maupun dalam melakukan hubungan kemasyarakatan di luar kedinasan. 162 Lalu yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana kode etik (code of ethics) dan pedoman perilaku hakim (code of conduct) ditegakkan? disebutkan dalam Pasal
Sebagaimana
24B ayat (1) UUD 1945, bahwa Komisi Yudisial
diberikan wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, 162
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor KMA/104A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim. Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Selanjutnya ketentuan ini dijabarkan dalam Undang-Undang Komisi Yudisial sebagai bentuk pengawasan terhadap hakim. Ketentuan tentang pengawasan ini diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 25 Undang-Undang Komisi Yudisial. Menurut ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Komisi Yudisial “Hakim adalah hakim agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
serta hakim
Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Namun, menurut putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang Uji Materil
Undang-Undang Komisi Yudisial, Mahkamah Konstitusi
tidak sependapat dengan rumusan Pasal
1 angka 5 tersebut.
Dalam
pertimbangnnya tentang hal ini, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa hakim Mahkamah Konstitusi tidaklah termasuk dalam kategori sebagai hakim yang merupakan objek pengawasan Komisi Yudisial. Beberapa alasan yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa hakim konstitusi tidak termasuk dalam pengawasan Komisi Yudisial sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Komisi Yudisial adalah: 1. Dari sistematika penempatan ketentuan mengenai Komisi Yudisial sesudah pasal yang mengatur tentang Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A dan sebelum pasal yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi yaitu Pasal 24C, sudah dapat dipahami bahwa ketentuan mengenai Komisi Yudisial pada Pasal 24B UUD 1945 itu memang tidak dimaksudkan untuk mencakup pula objek perilaku hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. Hal ini dapat dipastikan dengan bukti risalah-risalah rapat-rapat Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR maupun dari keterangan para mantan anggota Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
2.
3.
4.
5.
Panitia Ad Hoc tersebut dalam persidangan bahwa perumusan ketentuan mengenai KY dalam Pasal 24B UUD 1945 memang tidak pernah dimaksudkan untuk mencakup pengertian hakim konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C UUD 1945. Dalam ketentuan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan UndangUndang Kekuasaan Kehakiman yang dibentuk sebelum pembentukan UndangUndang Komisi Yudisial. Dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, untuk fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim konstitusi ditentukan adanya lembaga majelis kehormatan yang diatur secara tersendiri dalam Pasal 23 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Demikian pula Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman sama sekali tidak menentukan bahwa hakim konstitusi menjadi objek pengawasan oleh Komisi Yudisial. Berbeda halnya dengan hakim biasa, hakim konstitusi pada dasarnya bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. hakim konstitusi hanya diangkat untuk jangka waktu 5 (lima) tahun dan setelah tidak lagi menduduki jabatan hakim konstitusi, yang bersangkutan masing-masing kembali lagi kepada status profesinya yang semula. Dalam keseluruhan mekanisme pemilihan dan pengangkatan para Hakim Konstitusi yang diatur dalam UUD 1945 juga tidak terdapat keterlibatan peran Komisi Yudisial sama sekali. Dengan menjadikan perilaku Hakim Konstitusi sebagai objek pengawasan oleh Komisi Yudisial, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara menjadi terganggu dan terjebak ke dalam anggapan sebagai pihak yang tidak dapat bersikap imparsial, khususnya apabila dalam praktik timbul persengketaan kewenangan antara Komisi Yudisial dengan lembaga lain. 163 Mahkamah Konstitusi juga berpendapat bahwa kewenangan pengawasan
Komisi Yudisial bukan untuk mengawasi lembaga peradilan, melainkan untuk menjaga dan menegakkan perilaku hakim sebagai individu. Selain itu, hubungan Mahkamah Agung
dan Komisi Yudisial bukanlah untuk menerapkan prinsip
checks and balances karena hubungan semacam ini hanya terkait erat dengan prinsip pemisahan kekuasaan negara (separation of power). Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial merupakan lembaga yang berada dalam satu kekuasaan yang sama, dalam hal ini kekuasaan kehakiman (yudikatif). Namun, Komisi Yudisial 163
bukanlah pelaksana dari kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006, hal.173-176.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
berperan dalam pengusulan calon Hakim Agung, sedangkan fungsi pengawasan penuh tetap dipegang oleh Mahkamah Agung. Akan tetapi, dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim ini, Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung harus bekerja sama erat dalam hubungan kemitraan. Dalam kerangka konseptual model pengawasan pelaksanaan tugas para hakim, dilakukan melalui dua jenis pengawasan, yaitu: pertama, pengawasan internal yang dilakukan oleh Badan Pengawas pada Mahkamah Agung. Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung, secara internal Mahkamah Agung dapat membentuk Badan Pengawas di tingkat pusat pada lingkungan Mahkamah Agung dan Badan Pengawas di tingkat daerah pada msing-masing Peradilan Tingkat Banding, yang dalam pelaksanaan tugasnya dibawa pimpinan Ketua Muda Pengawasan Mahkamah Agung. Kedua, pengawasan eksternal yang dilakukan oleh komisi independen dalam hal ini dilakukan oleh Komisi Yudisial. Dalam menjalankan fungsi pengawasan hakim berdasarkan ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Komisi Yudisial, Komisi Yudisial mengawasi perilaku hakim dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
Komisi Yudisial menerima
laporan masyarakat. Subyek terlapor adalah hakim. Untuk memperoleh kepastian benar tidaknya laporan, Komisi Yudisial
meminta keterangan dari terlapor
melalui surat panggilan. Hasil keterangan dibuat berita acara yang ditandatangani oleh terlapor dan anggota Komisi Yudisial. Selanjutnya dilakukan analisis dan pembahasan dalam rapat pleno. Agenda rapat pleno untuk menentukan benar tidaknya laporan masyarakat dan apakah hakim melanggar prinsip penting yang
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
melekat pada jabatan dan tugas hakim, yaitu: kode etik dan pedoman perilaku hakim (code of conduct), prinsip imparsialitas dan profesionalitas hakim. Dari mekanisme ini, tahapan pemeriksaan terhadap hakim adalah penting dan menentukan, apakah laporan masyarakat benar atau salah. Apabila terbukti ada unsur pelanggaran atas prinsip-prinsip di atas, Komisi Yudisial mengajukan rekomendasi sanksi terhadap hakim terlapor. Rekomendasi diajukan kepada ketua Mahkamah Agung,
dengan tembusan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dan Presiden. 164 Perlu diperhatikan bahwa pelaksanaan tugas dan kewenangan Komisi Yudisial tidak boleh mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Dalam melaksanakan perannya sebagai pengawas hakim, Komisi Yudisial wajib menaati norma, hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta menjaga kerahasian keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia Komisi Yudisial yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota Komisi Yudisial. 165 Dalam hal pemanggilan dan meminta keterangan hakim yang diduga melanggar kode etik perilaku hakim, harus didasarkan pada kode etik dan pedoman perilaku hakim (code of conduct) yang telah ditetapkan. Kode etik (code of conduct) dan pedoman perilaku hakim (code of conduct) yang konkret ini menjadi sebuah standar atau tolak ukur dalam melaksanakan pengawasannya. Keseluruhan tindakan pengawasan yang dilakukan Komisi Yudisial berujung pada pemberian 164 165
rekomendasi kepada organisasi profesi yaitu
Pasal 22 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Mahkamah Agung. Berkaitan dengan pasal-pasal usul penjatuhan sanksi atas pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku hakim dilakukan sepenuhnya oleh Mahkamah Agung. Dalam menjalankan peranannya untuk menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim, Komisi Yudisial diberikan wewenang untuk dapat mengusulkan kepada Mahkamah Agung
untuk
memberikan penghargaan kepada hakim atas prestasi dan jasanya dalam rangka menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim. 166 Undang-Undang Komisi Yudisial
tidak secara eksplisit memberikan
kriteria perilaku hakim yang bagaimanakah yang dianggap layak untuk diusulkan memperoleh penghargaan. Akan tetapi kriteria penilaian prestasi hakim tidak lepas dari pedoman perilaku hakim (code of conduct), yaitu: berprilaku adil, berprlaku jujur, berprilaku arif dan bijaksana, bersikap mandiri, berintegritas tinggi, bertanggung jawab, menjunjung tinggi harga diri, berdisiplin tinggi, berprilaku rendah hati dan bersikap profesional.
166
Pasal 24 ayat (1) Undang -Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, penulis mengemukakan beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut: 1. Kekuasaan kehakiman merupakan karakteristik negara hukum yang demokratis dimana kekuasaan kehakiman merupakan aspek utama negara hukum.
Secara umum terdapat dua prinsip pokok dalam kekuasaan
kehakiman, yaitu: a. Prinsip kekuasaan kehakiman yang mandiri (the principle of judicial independence); dan b. Prinsip kekuasaan kehakiman yang tidak memihak (the principle of judicial impartiality). Kedua prinsip tersebut ditegaskan dalam UUD 1945. Dalam UUD 1945 sebelum perubahan tercantum dalam Penjelasan Pasal 24 dan 25 yang menyebutkan bahwa:
“Kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang
merdeka artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan Pemerintah.”
Hal
yersebut semakin dipertegas dalam UUD 1945 setelah perubahan yang memasukkannya dalam batang tubuh UUD 1945 pada Pasal 24 ayat (1) yang menyatakan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” 2. UUD 1945 setelah perubahan telah mengintroduksi sebuah lembaga baru yang kewenangannya berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Lembaga ini berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta perilaku hakim. Berdasarkan kewenannya Komisi Yudisial memiliki dua tugas yaitu, pertama berkenaan dengan rekruimen hakim agung dan kedua berkenaan dengan pembinaan hakim dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim. Keberadaan Komisi Yudisial sebagaimana diatur pada Pasal 24B UUD 1945 menegaskan bahwa Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bebas dari campur tangan atau intervensi kekuasan lain. Secara struktural dapat dikatakan bahwa kedudukan Komisi Yudisial sederajat dengan Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi secara fungsional, peranannya bersifat penunjang (auxiliary) terhadap kekuasan kehakiman. 3. Dalam
menjalankan
wewenang
berkenaan
dengan
mengusulkan
pengangkatan hakim agung, Komisi Yudisial terlebih dahulu menjaring nama-nama bakal calon yang diajukan oleh Mahkamah Agung
dan
masyarakat luas. Kemudian Komisi Yudisial melakukan proses seleksi
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
terhadap bakal calon yang telah disaring mencakup seleksi admisnistratif maupun seleksi kualitas, kepribadian dan integritas calon hakim agung yang dilakukan dengan berbagai metode. Dalam jangka waktu lima belas hari sejak proses seleksi dilakukan, Komisi Yudisial kemudian menetapkan dan mengajukan tiga orang nama calon hakim agung kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Selanjutnya Dewan Perwakilan Rakyat
menetapkan calon hakim agung dan mengajukannya kepada Presiden untuk mengangkat calon hakim agung menjadi hakim agung dengan mengeluarkan Keputusan Presiden. Menyangkut pelaksanaan kewenangan Komisi Yudisial dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Sedangkan dalam menjalankan kewenangan Komisi Yudisial menegakkan kehormatan dan keluhuran serta menjaga perilaku hakim terdapat hubungan kemitraan antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung.
Bahwa objek pengawasan Komisi
Yudisial adalah perilaku hakim sebagai individu di luar dan di dalam kedinasan agar hakim memiliki kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku yang baik. B. Saran Adapun yang menjadi saran penulis adalah: 1.
Peran strategis Komisi Yudisial dalam perekrutan hakim agung dan pengawasan terhadap perilaku hakim hendaknya dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
dari upaya memberantas mafia peradilan khususnya yang melibatkan para hakim. 2.
Perlu dipertegas dan dipertajam kembali fungsi pengawasan Komisi Yudisial melalui mekanisme pengawasan yang elegan dan dasar hukum yang kuat sehingga mekanisme checks and balance antarlembaga negara dapat berjalan sesuai dengan ide pembentukan Komisi Yudisial.
3.
Hakim
konstitusi hendaknya termasuk dalam kategori hakim yang
diawasi Komisi Yudisial. Hal ini penting untuk menjaga mekanisme cheks and balances antarlembaga negara dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU Arfawie, Kurde, H. Nukhtoh, Drs., S.H.,M.H., Telaah Kritis Teori Negara Hukum, Konstitusi dan Demokrasi dalam Rangka Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah berdasarkan UUD 1945, Pustaka Pelajar, 2005. Arto, A. Mukti, Konsepsi Ideal Mahkamah Agung, Redefenisi Peran dan Fungsi Mahkamah Agung untuk Membangan Indonesia Baru, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001. Asshiddiqie, Jimly, S.H.,M.H.,Prof. Dr., Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2005. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta, 2007. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005. Menuju Negara Hukum yang Demokratis, PT. Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta, 2009. Chaidir, Ellydar, S.H.,M.H.,Dr., Negara Hukum, Demokrasi dan Konstalasi Ketatanegaraan Indonesia, Total Media, Yogyakarta, 2007. Fuady, Munir, S.H.,M.H.,LLM.,Dr., Teori Negara Hukum Modern (Rechtstaat), Rafika Aditama, Bandung, 2009. Huda, Ni’Matul, Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta, 2005. Hukum Tata Negara Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005. Hadjon, Philipus, M, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara Menurut UUD 1945 Suatu Analisa Hukum dan Kenegaraan, Cetakan Pertama, Bina Ilmu, Surabaya, 1992. Harahap, Yahya M, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Indrayana, Denny, Negara Antara Ada dan Tiada, Kompas, Jakarta, 2008. Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1984. Kusnardi, Moh., S.H. dan Hermaily Ibrahim, SH, Pengatar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV “Sinar Bakti”, Jakarta Pusat, 1983. Latif, H. Abdul, S.H.,M.H.,Prof.Dr.,Fungsi Mahkamah Konstitusi (Upaya Mewujudkan Negara Hukum Demokrasi), Total Media, Yogyakarta, 2009. Mahkamah Agung Republik Indonesia, Naskah Akademis dan Rancangan Undang-Undang Tentang Komisi Yudisal, Jakarta, 2003. Mujahidin, Ahmad, S.H.,M.H.,Dr., Peradilan Satu Atap di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2007. Moh. Mahfud MD, S.H.,S.U., Prof. Dr., Perdebatan Hukum Tata Negara, LP3ES, Jakarta, 2007. Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Penerbit Rineke Cipta, Jakarta, 2001. Prodjohamidjojo, Martiman, S.H., Kekuasaan Kehakiman dan Wewenang untuk Mengadili, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984. Sirajuddin, S.H.,M.H. dan Zulkarnain, S.H., Komisi Yudisial & Eksaminasi Publik Menuju Peradilan yang Bersih dan Berwibawa, Penerbit PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006. Soemantri M., Sri, Prosedur dan dan Sistem Perubahan Konstitusi, Penerbit PT. Alumni, Bandung. Soekanto, Sorejono, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1998. Sumali, S.H.,M.H., Reduksi Kekuasaan Eksekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu), UMM Press, Malang, 2003. Sunggono, Bambang, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007. Thalib, Abdul Rasyid, SH.,M.hum.,Dr., Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Penerbit PT Citra Aditya, Bandung, 2006.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Thohari, A. Ahsin, Komisi Yudisial & Reformasi Peradilan, Elsam, Jakarta, 2004. Wahjono, Padmo, S.H., Prof., Beberapa Masalah Ketatanegaraan di Indonesia, Penerbit Rajawali, Jakarta, 1984. Yuhana, Abdy, Sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Fokus Media,Bandung, 2007. Zaini, Abdulah, S.H., Pengantar Hukum Tata Negara, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991. INTERNET, JURNAL DAN MAJALAH Budiman Tanuredjo, Trias Politica di Zaman (http://www.kompas.co.id), diakses tanggal 29 Oktober 2009.
yang
Berubah,
Konsep Tentang Lembaga Negara Penunjang, Ilhamendra, (http://ilhamendrawordpress.com), diakses tanggal 29 Oktober 2009. Riris Katharina dan Poltak Partogi Nainggolan, Pengawasan Peradilan oleh State Auxiliary Institutions, (http://www.hukumonline.com), Diakses tanggal 29 Oktober 2009. Jurnal Konstitusi, Volume I Nomor 2, Desember 2004. Buletin Komisi Yudisal Volume I, Februari 2007.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN PUTUSAN PERADILAN Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316). Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 89, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4415).
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.
Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia KMA/104A/SK/XII/2006 tentang Pedoman Perilaku Hakim.
Nomor
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Adwan Masta Padang : Eksistensi Komisi Yudisial Dalam Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia Menurut Undang-Undang Dasar 1945, 2010.